pbl22 neuroscience and behaviour 2
DESCRIPTION
gangguan somatisasiTRANSCRIPT
Tinjauan Pustaka
Gangguan Somatoform dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental
Andreas
102011218 / E7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : [email protected]
Bab I :Pendahuluan
Gangguan somatoform, merupakan masalah kesehatan yang serius, terutama jika berlangsung
terus menerus dan tidak diatasi. Gangguan ini terutama disebabkan dari kondisi mental pasien.
Pasien dengan gangguan somatoform sering datang berobat ke dokter dengan keluhan fisik,
seperti nyeri dada atau sesak. Karena gejala fisiknya, gangguan somatoform sering salah
didiagnosis sebagai penyakit fisik yang terkait dengan keluhan pasien, sehingga seringkali pasien
dirugikan dengan kesalahan diagnosis tersebut. Akibatnya, keluhan pasien tidak membaik dan
juga pasien dapat berisiko terkena efek samping obat karena mengonsumsi obat yang tidak perlu.
Dalam makalah tinjauan pustaka ini, akan dibahas kaitan penyakit diabetes melitus dalam
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan dan
prognosis untuk konsep pemahaman dalam menegakkan diagnosis gangguan somatoform.
1
Bab II : Pembahasan
Skenario
Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan keluhan fisik, rasa tidak enak di
perut, kembung, terasa naik ke atas sehingga pasien merasa sesak, keluhan lain rasa sakit di dada
kiri yang kadang menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain di ada rasa pegal di leher dan
kesemutan di tungkai atas sampai ke dua belah kaki. Keluhan ini sudah berlangsung sejak kurang
lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari beberapa dokter. Ditambahkan
bahwa siklus menstruasi pasien normal.
Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis, tanyakanlah hal-hal yang logik mengenai penyakit pasien,
dengarkanlah dengan baik apa yang dikatakan pasien, jangan memotong pembicaraan pasien
bila tidak perlu. Bila ada hal-hal yang tidak jelas atau pasien menceritakan sesuatu secara tidak
runut, maka tanyakanlah kembali dengan baik agar pasien menjelaskan kembali. Anamnesis
yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga,
anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya,
kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).1
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua
atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, dan
agama. Keluhan utama adalah keluhan yang diarasakan pasien yang membawa pasien pergi ke
dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan
indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Riwayat perjalanan penyakit
merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.1
Riwayat psikiatrik adalah catatan tentang riwayat penyakit, gangguan jiwa, dan riwayat hidup
2
pasien yang diperlukan untuk memahami siapa pasiennya, darimana pasien berasal dan kira-kira
akan ke arah mana pasien selanjutnya pada masa mendatang. Riwayat ini didapatkan selama
wawancara psikiatrik, diceritakan oleh pasien dari sudut pandang pasien sendiri. Kadangkala
diperlukan keterangan tambahan dari sumber lain seperti orang tua atau pasangan hidup pasien.
Hal-hal yang ditelusuri dalam pengumpulan keterangan tentang riwayat penyakit adalah data
konkrit tentang kronologi gejala atau gangguan yang dialami pasien, riwayat tentang gangguan
psikiatrik dan medis, ciri-ciri kepribadian termasuk kekuatan dan kelemahan pasien, hubungan
pasien dengan orang-orang yang dekat dirinya di masa sekarang dan masa lampau, serta riwayat
perkembangan pasien.2
Pemeriksaan psikiatrik dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai pasien
sebagai pribadi, jiwa dan raga yang tak terpisahkan, bukan semata-mata untuk menentukan
"keadaan jiwanya" atau "apa penyakit jiwanva". Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang pemeriksa agar dapat memberikan penatalaksanaan psikiatrik adalah:2
Memiliki pengertian yang jelas mengenai data-data mana yang diperlukan untuk
memahami kasus vang dihadapi.
Sanggup melaksanakan pemeriksaan secara berkesinambungan dan berarah tujuan.
Menghadapi pasien dengan keikhlasan dan minat untuk menolong.
Kesediaan untuk mencurahkan waktu dan tenaga yang diperlukan untuk meletakkan
hubungan yang baik demi penanggulangan persoalan yang dihadapi pasien (demi
keberhasilan terapi).
Perlu dikumpulkan data demografi pasien berupa nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa, suku bangsa, dan agama, dan data lainnya yang
berhubungan dengan kehidupan pasien saat ini. Catat pula tempat dan situasi saat dilakukan
wawancara terhadap pasien, sumber informasi, dan apakah gangguan yang dialami pasien adalah
gangguan yang pertama kali dialami pasien. Perlu pula diketahui apakah pasien datang sendiri,
dibawa oleh anggota keluarga, atau dikonsultasikan oleh sejawat.2
Keluhan utama dapat bersifat kabur seperti: " perasaan tegang, ragu, firasat yang aneh", serta
dapat pula tegas dan menyolok, misalnya: pasien menyatakan bahwa ada orang-orang yang jahat
berkomplot untuk membunuhnya. Seringkali pasien mengemukakan sejumlah gejala somatik,
3
sakit kepala, sakit pinggang, mual, muntah, sesak nafas. Pada saat itu pemeriksa tentu tidak dapat
mengetahui sampai dimana gejala-gejala ini berhubungan dengan kelainan organik atau
merupakan reaksi atas situasi hidup (pekerjaan, perkawinan, dll), atau berakar pada konflik
emosional yang mendalam di masa awal kehidupannya. Ada pula pasien yang tidak
mengemukakan keluhan tertentu atau mengaku tidak menderita apa-apa, rupanya ia puas dengan
kehidupan fantasinya, tetapi keluhan datang dari pihak keluarga, sahabat, kerabat lain yang
kuatir tentang perilaku pasien. Bila pasien tidak berbicara, deskripsikan keadaan yang dijumpai
pada saat wawancara.2
Apabila pasien cukup kooperatif hendaknya diceritakan oleh pasien menurut caranya sendiri,
dan baru kemudian dilengkapi dan diatur kronologiknya dengan pertanyaan-pertanyaan khusus.
Penting ditanyakan keterangan mengenai sifat dan situasi pada awal (awitan) timbulnya
penyakit. Pada umumnya, prognosis lebih baik bagi kelainan yang akut dan dramatik,
dibandingkan dengan kelainan yang berkembang lambat laun atau kelainan yang pada awalnya
hampir tidak ketahuan. Prognosis juga relatif lebih baik apabila awal bertepatan dengan kejadian
nyata yang dahsyat di lingkungan, dan tidak begitu baik apabila timbulnya seolah-olah tanpa
kaitan jelas dengan sesuatu kejadian di lingkungan. Keterangan perihal penyakit sekarang
hendaknya memberi kepada pemeriksa suatu gambaran tentang awal dan perkembangan
penyakitnya, riwayat keluhannya sekarang secara kronologis dan menyeluruh, awitan dan faktor
presipitasi, alasan berobat. Perlu pula dinilai faktor lingkungan hidup menjelang awitan
gejala/perubahan perilaku, perkembangan gejala, termasuk gejala yang tidak ada, latar belakang
kepribadian, presipitasi di masa lampau. Dapatkan data mengenai dampak gangguan terhadap
kehidupan pasien sekarang, sifat disfungsinya. Eksplorasi pula kemungkinan adanya gejala
psikofisiologis, kaitan timbal balik antara gejala/faktor psikologis dan gejala fisik, keuntungan
sekunder, serta kecemasan dan sifatnya.2
Riwayat gangguan sebelumnya merupakan keterangan mengenai segala kejadian yang pernah
dialami pasien dari lingkungan luar maupun dari dalam dirinva, dan reaksi-reaksinya
terhadapnya. Sambil bertambahnya keterangan riwayat pasien, muncullah suatu gambaran
keseluruhan mengenai karakteristik kehidupan pasien, mengenai kepribadiannya, dan pola
reaksinya terhadap peristiwa-peristiwa yang dihadapinya. Benih psikopatologi sering dapat
dilacak dan ditemukan dalam fase-fase dini kehidupan pasien, sehingga pemeriksa senantiasa
4
harus mengusahakan mendapat keterangan sejak masa anak. Riwayat lampau meliputi: kelahiran
dan tumbuh kembang, riwayat kesehatan, riwayat sekolah atau pendidikan, riwayat pekerjaan,
minat, kebiasaan. kejadian penyakit sperti ini sebelumnya, perkembangan seksual, dan
kehidupan perkawinan.2
Riwayat gangguan psikiatrik berupa episode terdahulu gejala, derajat disfungsi, terapi, lama
gangguan, kepatuhan terapi perhatian khusus pada episode pertama. Riwayat gangguan medik
berupa penyakit medik, bedah, trauma, yang memerlukan perawatan trauma kepala, penyakit
neurologis, tumor, kejang, gangguan kesadaran, HIV, sifilis, gangguan psikosomatik, dan
penggunaan zat psikoaktif, seperti stimulan, alkohol, morfin, dan lain-lain.2
Pemeriksaan status mental merupakan gambaran keseluruhan tentang pasien yang didapat dari
hasil observasi pemeriksa dan kesan yang dimunculkan oleh pasien saat wawancara. Status
mental pasien dapat berubah-ubah dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Bagian yang
diperiksa meliputi penampilan, pembicaraan, perilaku, pemikiran pasien yang tampak selama
berlangsungnya wawancara dan pemeriksaan psikiatrik. Walaupun pada situasi pasien sama
sekali tidak berbicara, inkoheren, atau menolak untuk menjawab pertanyaan, pemeriksa tetap
bisa mendapatkan informasi yang memadai melalui observasi yang cermat.2
Pemeriksaan fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisis, dapat diperhatikan bagaimana keadaan umum pasien
melalui ekspresi wajahnya, gaya berjalannya dan tanda-tanda spesifik lain yang segera tampak
begitu kita melihat pasien. Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan, sakit
sedang, atau sakit berat. Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai apakah keadaan pasien
dalam keadaan darurat medik atau tidak. Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi
dengan melihat reaksi pasien secara wajar terhadap stimulus visual, auditor, maupun taktil.
Seorang yang sadar dapat tertidur, tapi segera bagun bila dirangasang. Bila perlu, tingkat
kesadaran dapat diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri.1
Suhu tubuh yang normal adalah 36o-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada
sore hari mendekati 37oC. Pengukuran suhu di rektum juga akan lebih tinggi 0,5o-1oC,
5
dibandingkan suhu mulut dan suhu mulut 0,5oC lebih tinggi dibandingkan suhu aksila. Pada
keadaan demam, suhu akan meningkat, sehingga suhu dapat dianggap sebagai termostat kedaan
pasien. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter (sfigmomanometer), yaitu
dengan cara melingkarkan manset pada lengan kanan 11/2 cm di atas fossa kubiti anterior,
kemudian tekanan tensimeter dinaikkan sambil meraba denyut A. radialis sampai kira-kira 20
mmHg di atas tekanan sistolik, kemudian tekanan diturunkan perlahan-lahan sambil meletakkan
stetoskop pada fossa kubiti anterior di atas A. brakialis. Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan
dengan melakukan palpasi A. radialis. Bila dianggap perlu, dapat juga dilakukan di tempat lain.
Pada pemeriksaan nadi, perlu diperhatikan frekuensi denyut nadi, irama nadi, isi nadi, kualitas
nadi, dan dinding arteri. Frekuensi napas dalam keadaan normal berkisar antara 12-20 kali per
menit. Bila kurang dari 12 kali disebut bradipneu, sedangkan bila lebih dari 20 kali per menit
disebut takipneu. Pernapasan yang dalam disebut hiperpneu dan pernapasan yang dangkal
disebut hipopneu.1
Pada pemeriksaan abdomen, lakukanlah inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pada inspeksi abdomen,
amati apakah ada distensi, asimetris, massa, jaringan parut, gerakan peristaltis yang jelas, dan
stoma. Saat palpasi tanyakan jika ada nyeri atau nyeri tekan, sangat berhati-hati saat melakukan
palpasi terutama jika ada nyeri. Lakukan palpasi pada semua area abdomen. Setiap massa atau
kelainan harus dicatat dengan teliti mengenai ukuran, posisi, bentuk, konsistensi, lokasi, tepi,
mobilitas saat respirasi, dan pulsatilitas. Periksa juga apakah ada nyeri tekan, kekakuan, nyeri
lepas, dan tahanan pada abdomen. Auskultasi dilakukan untuk mendengarkan bising usus.3
Inspeksi jantung, secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung diamati,
misalnya tampak lelah, kelelahan karena cardiac output rendah, sesak yang menunjukkan adanya
bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing finger dan kaki berkaitan
dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada tidaknya edem. Khusus
inspeksi organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal, pulmonal, aorta.
Perlu juga melihat bentuk dada dan pergerakan napas.4
Pada palpasi, dengan menggunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung rasa
sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang
diperhatikan dalam pemeriksaan antara lain pulsasi, thrill, heaving, lift, dan ictus cordis. Dalam
6
melakukan perkusi, telapak tangan kiri berikut jari-jarinya diletakkan di dinding dada, dengan
jari tengah sebagai landasan ketok, sedangkan telapak dan keempat jari lain agak diangkat.
Tujuannya agar tidak meredam suara ketukan. Hal yang dilakukan dalam perkusi adalah mencari
batas jantung kanan, kiri, atas, bawah, dan pinggang jantung.4
Dengan auskultasi akan didengarkan bunyi-bunyi dari jantung dan juga bising jantung bila ada
kelainan. Bunyi jantung normal terdiri atas bunyi jantung (BJ) I dan II. Di area apeks dan
tirkuspidalis BJ I lebih keras daripada BJ II, sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta,
BJ I lebih lemah daripada BJ II.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan gangguan somatisasi tidak banyak bermakna dan
tidak dapat untuk menegakkan diagnosis, namun pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit fisik.5
Differential diagnosis
Diagnosis banding dari gangguan somatisasi antara lain:
1. Gangguan ansietas.
Gangguan ansietas dapat dijelaskan sebagai respon yang normal dan adaptif yang
memiliki kualitas penyelamat jiwa, dan memperingatkan tubuh akan ancaman dari
kerusakan tubuh, rasa sakit, ketidakberdayaan, hukuman yang mungkin diterima, atau
frustasi akan kebutuhan sosial atau biologis; perpisahan dari orang yang dicintai;
ancaman akan status atau kedudukan seseorang; dan ancaman terhadap hubungan baik.
Ansietas membuat seseorang mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasi
ancaman atau untuk mengurangi dampak negatifnya. Hal ini dibarengi dengan
peningkatan aktivitas somatik dan autonomik yang dikendalikan oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis.5
7
2. Hipokondriasis
Hipokondriasis adalah gangguan somatoform yang memiliki karakteristik preokupasi
general dan nondelusional dengan ketakutan akan peny, atau memiliki asumsi bahwa
dirinya memiliki penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah dari gejala pada
tubuhnya, dan berlangsung selama 6 bulan atau lebih.preokupasi ini mengakibatkan
distress yang signifikan dan gangguan pada kehidupan pasien; dan pasien dengan
gangguan ini biasanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang gangguan
hipokondriasis pada dirinya. Biasanya pasien mengeluh tentang abdomennya, tetapi
kelainan ini dapat terjadi di bagian tubuh yang lain.5
Working diagnosis
Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi merupakan penyakit berupa keluhan fisik yang beragam pada berbagai
organ yang muncul dalam waktu beberapa tahun dan menyebabkan gangguan yang signifikan,
dan pasien berusaha mencari perawatan. Gangguan somatisasi berbeda dari gangguan
somatoform lainnya karena jumlah keluhan pasien yang beragam dan efek pada sistem organ
yang juga beragam. Gangguan ini merupakan gangguan kronik dan berhubungan dengan
gangguan pskikologi yang signifikan, gangguan fungsi sosial dan okupasional, dan perilaku
mencari bantuan medis yang berlebihan.5
Etiologi
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Rumusan psikososial dari penyebab berhubungan
dengan interpretasi dari gejala sebagai komunikasi sosial yang hasilnya adalah menghindari
kewajiban, untuk mengekspresikan emosi, atau sebagai symbol dari perasaan atau kepercayaan.
Interpretasi psikoanalitik yang ketat terhadap gejala berujung pada hipotesis bahwa gejala
merupakan pengganti dari impuls instingual yang ditekan.5
8
Beberapa studi mengaitkan gangguan somatisasi dengan basis neuropsikologikal. Studi-studi ini
menjabarkan bahwa pasien mempunyai karakteristik gangguan kognitif dan perhatian yang
menyebabkan persepsi dan penaksiran yang salah dari input somatosensoris.Gangguan yang
dilaporkan berupa perasaan terganggu yang berlebihan, ketidakmampuan untuk beradaptasi pada
stimulus yang berulang, dan lain-lain. Beberapa studi tentang imaging otak melaporkan
penurunan metabolisme pada lobus frontal dan hemisfer non dominan.5
Data genetik mengindikasikan bahwa setidaknya pada beberapa keluarga, transmisi gangguan
somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung diturunkan dalam
keluarga dan terjadi pada 10-20 persen keturunan pertama perempuan pasien penderita gangguan
somatisasi.5
Sitokin merupakan molekul pengantar yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi antar
sesamanya dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Beberapa eksperimen mengindikasikan
bahwa sitokin berperan dalam beberapa gejala nonspesifik dari penyakit ini, seperti
hypersomnia, anorexia, fatigue, dan depresi. Hipotesis yang menyatakan bahwa regulasi
abnormal dari sitokin yang menyebabkan beberapa gejala gangguan somatisasi masih diteliti.5
Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi secara umum diperkirakan sekitar 0,2-2 persen
pada wanita dan 0,2 persen pada laki-laki. Wanita dengan gangguan somatisasi melebihi pria
sekitar 5-20 kali lebih banyak, namun perkiraan tertinggi mungkin karena kesalahan diagnose
awal gangguan somatisasi pada pasien pria. Gangguan ini adalah gangguan yang umum terjadi.
Dengan rasio wanita berbanding pria 5:1, prevalensi gangguan somatisasi pada wanita dalam
populasi umum sekitar 1-2 persen. Diantara pasien di kantor praktisi umum dan keluarga, 5-10
persen dapat sesuai dengan kriteria diagnostik gangguan somatisasi. Gangguan ini berbanding
terbalik dengan status sosial dan terjadi paling banyak pada pasien dengan pendidikan dan
penghasilan rendah.5
Peneliti telah menginvestigasi aspek epidemiologik seperti gender, status sosioekonomi, tingkat
pendidikan, dan status imigran. Wanita cenderung lebih banyak dari pria, dan individu dengan
9
status sosioekonomi rendah lebih sering terkena dibandingkan yang berstatus sosioekonomi
tinggi. Pada studi ECA, gangguan somatisasi lebih sering muncul pada wanita Afrika-Amerika,
diikuti dengan pria Afrika-Amerika. Temuan ini dapat dikaitkan dengan status pendidikan.
Gangguan somatisasi tidak lebih sering muncul pada Amerika Hispanik daripada grup ras lain.6
Diagnosis
Diagnosis gangguan somatisasi berdasarkan DSM-IV-TR:7
A. Sejarah tentang keluhan fisik yang beragam yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang
muncul selama periode beberapa tahun dan hasil pengobatan sedang dicari atau gangguan
signifikan sosial, okupasional, atau area fungsi penting lainnya.7
B. Setiap kriteria di bawah harus dipenuhi, dengan gejala individual yang muncul kapan saja
saat perjalanan gangguan:7
1) Empat gejala sakit: sejarah sakit yang berhubungan dengan setidaknya empat
tempat atau fungsi berbeda (misalnya kepala, abdomen, pungung, sendi,
ekstremitas, dada, rectum, saat menstruasi, saat berhubungan seksual, atau saat
miksi).7
2) Dua gejala gastrointestinal: sejarah setidaknya dua gejala gastrointestinal selain
sakit(misalnya mual, kembung, muntah selain saat hamil, diare, atau intoleransi
beberapa jenis makanan).7
3) Satu gejala seksual: sejarah setidaknya satu gejalaseksual atau reproduktif selain
sakit (misalnya kurang gairah seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, menstruasi
tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah selama kehamilan).7
4) Satu gejala pseudoneurologikal: sejarah setidaknya satu gejala atau defisit yang
memberi kesan kondisi neurologikal tidak terbatas pada sakit (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal,
kesulitan menelan atau perasaan terganjal pada kerongkongan, aphonia, retensi
urin, halusinasi, kehilangan sensasi sentuh dan sakit, penglihatan ganda, kebutaan,
ketulian, kejang, kehilangan kesadaran selain pingsan).7
C. Antara 1) atau 2):7
10
1) Setelah investigasi yang tepat, setiap gejala pada kriteria B tidak bisa dijelaskan
secara lengkap dengan kondisi medis yang umum atau efek langsung dari suatu
substansi (misalnya penyalahgunaan obat, terapi farmakologis).7
2) Ketika ada gejala umum medis yang berhubungan, keluhan fisik atau hasil dari
gangguan sosial atau okupasional dikeluhkan secara berlebihan dari apa yang
diduga dari sejarah, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.7
D. Gejala-gejala tidak dibuat secara sadar atau pasien berpura-pura sakit.7
Manifestasi klinik
Gangguan somatisasi terdiri atas gejala fisik yang beragam dan rekuren, serta keluhan pada
berbagai sistem organ yang tidakbisa dibuktikan secara objektif atau tidak dapat dijelaskan
secara lengkap berdasarkan kondisi medis yang telah diketahui atau efek langsung dari substansi
tertentu. Gejala yang tidak dapat dijelaskan ini dimulai sebelum usia 30 dan memiliki perjalanan
penyakit yang kronis dan fluktuatif. Gejala sedikitnya harus berjumlah empat gejala, dua gejala
gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis. Sebagai tambahan, gejala
fisik ini cukup hebat untuk dapat mengganggu aktivitas sosial, okupasional, dan fungsi penting
lainnya.6
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatis dan sejarah medis yang
rumit dan panjang. Nausea dan muntah, kesulitan menelan, sakit pada tangan dan kaki, sesak
napas yang tidak berhubungan dengan aktivitas, amnesia, dan komplikasi kehamilan dan
menstruasi merupakan beberapa gejala yang biasa terjadi. Pasien sering percaya bahwa mereka
sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologikal dapat muncul, namun bukan merupakan
tanda patognomonik dari gangguan ini. Berdasarkan DSM-IV-TR, gejalanya termasuk gangguan
koordinasi dan keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, kesulitan menelan atau perasaan
terganjal pada kerongkongan, aphonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi sentuh dan
sakit, penglihatan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, kehilangan kesadaran selain pingsan.5
Distres psikologikal dan masalah interpersonal merupakan tanda yang menonjol; ansietas dan
depresi adalah kondisi psikiatrik yang paling lazim. Keinginan bunuh diri sering diutarakan,
namun tindakan bunuh diri yang nyata jarang terjadi. Jika bunuh diri terjadi, sering dikaitkan
11
dengan penyalahgunaan obat.Sejarah medis pasien sering tidak jelas, samar-samar, tidak tepat,
tidak konsisten, dan tidak teratur. Pasien biasanya mengutarakan keluhannya dengan sikap
dramatis, emosional, dan berlebihan. Pasien wanita dengan gangguan somatisasidapat berpakaian
secara ekhibisionis.5
Penatalaksanaan
Pertama, sebuah strategi manajemen daripada kuratif direkomendasikan untuk gangguan
somatisasi. Dengan ketiadaan terapi definitif yang jelas, sebuah pendekatan yang sederhana,
emipiris, dan praktis harus dilakukan. Dalam pendekatan, dokter juga harus melakukan usaha
untuk mengurangi distres dan gangguan fungsional yang berhubungan dengan keluhan somatik
yang beragam; untuk menghindari prosedur diagnosis dan terapeutis dan pengobatan yang tidak
beralasan; dan untuk mencegah komplikasi potensial seperti keadaan cacat kronik atau
ketergantungan obat. Dalam hal tersebut, rekomendasi umum untuk gangguan somatoform harus
diikuti. Sesuai dengan pedoman tersebut, direkomendasikan untuk memberi dorongan pada
pasien untuk berobat pada satu psikiater yang mengerti dan berpengalaman dalam menangani
gangguan somatisasi. Hal ini membantu membatasi evaluasi dan perawatan yang tidak perlu.7
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki satu pskiater sebagai perawat
utama. Ketika lebih dari satu klinisi yang turut serta, pasien mendapat kesempatan lebih untuk
mengungkapkan keluhan somatik. Psikiater utama harus mengunjungi pasien secara regular,
biasanya sebulan sekali. Kunjungan jangan terlalu lama, meski harus memeriksa fisik pasien
untuk melihat apakah ada keluhan fisik baru. Tes laboratorium dan diagnosis tambahan harus
dihindari. Sekali gangguan somatisasi sudah didiagnosis, psikiater yang merawat harus
mendengarkan keluhan somatik sebagai ungkapan emosional ketimbang keluhan medis. Namun
pasien dengan gangguan somatisasi dapat mempunyai sakit fisik; oleh karena itu, psikiater harus
selalu menggunakan pertimbangannya tentang mana gejala yang harus diterapi dan sampai
sejauh mana diterapi. Strategi jangka panjang yang proporsional bagi psikiater primer yang
merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah untuk meningkatkan perhatian pasien tetang
kemungkinan bahwa faktor psikologis ikut bepengaruh pada gejala sampai pasien mau untuk
menemui klinisi kesehatan mental. Pada kasus kompleks dengan banyak presentasi medis,
12
psikiater sebaiknya dapat mempertimbangkan apakah pasien harus berkonsultasi pada dokter dari
cabang ilmu lain karena pelatihan medis pasien; namun, seorang professional nonmedis di
bidang kesehatan mental dapat menyelidiki etiologi psikologikal dari gangguan, terutama bila
berkonsultasi secara mendalam dengan psikiater.5
Psikoterapi, baik individual dan kelompok, mengurangi pengeluaran pasien untuk kesehatan
sebesar 50%, sebagian besar merupakan pengurangan dari rawat inap. Pada keadaan psikoterapi,
pasien dibantu untuk mengatasi keluhannya, untuk mengungkapkan emosi yang terpendam, dan
untuk membangun strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaan.5
Pemberian obat psikotropika ketika gangguan somatisasi dibarengi dengan gangguan mood atau
ansietas selalu berisiko, tetapi terapi psikofarmakologi, maupun psikoterapi untuk gangguan
penyerta merupakan indikasi. Pemberian obat harus dimonitor, karena pasien dengan gangguan
soamtisasi cenderung menggunakan obat dengan tidak menentu dan tidak benar. Jumlah data
yang menyatakan bahwa terapi farmakologis efektif pada pasien gangguan somatisasi tanpa
gangguan lain hanya sedikit.5
Prognosis
Gangguan somatisasi adalah gangguan yang kronik, timbul-tenggelam, dan memiliki
kekambuhan yang jarang sembuh dengan sempurna. Adalah hal yang tidak biasa bagi pasien
dengan gangguan somatisasi untuk dapat bebas dari gejala lebih dari satu tahun, selama itu pula
mereka mungkin berkonsultasi ke dokter beberapa kali. Penelitian mengungkapkan bahwa
seseorang yang didiagnosis dengan gangguan somatisasi mempunyai sekitar 80 persen
kemungkinan mereka didiagnosis kembali dengan gangguan ini 5 tahun kemudian. Meskipun
pasien dengan gangguan ini menganggap mereka sakit secara medis, namun mereka tidak
memiliki kemungkinan yang lebih besar terserang penyakit medis lain selama 20 tahun ke depan
dibandingkan dengan orang tanpa gangguan somatisasi.5
Kesimpulan
Gangguan somatisasi merupakan salah satu penyakit dalam golongan gangguan somatoform.
Penyakit ini merupakan gangguan mental bermanifestasi sebagai keluhan fisik yang beragam
13
pada berbagai sistem organ. Penatalaksanaannya adalah dengan mengurangi distres mental
pasien dan juga psikoterapi. Terapi farmakologis belum terbukti efektif untuk mengatasi
gangguan ini. Prognosis pasien baik jika ditangani oleh psikiater yang paham dan berpengalaman
mengatasi gangguan ini.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.25-35,50,1873-94.
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010.h.45-58.
3. Bickley LS, Szilagyi PG.Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan.Edisi ke-
8. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 2009.p.10,78,339-44.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.581,634-
6. Phillips KA, editor. Review of psychiatry somatoform an factitious disorders.
Washington DC: American Psychiatric Publishing; 2004.p.7-8.
7. First MB, Tasman A. Clinical guide to the diagnosis and treatment of mental disorders.
2nd ed. United Kingdoms: Wiley-Blackwell; 2010.p.385-92.
15