cognitive neuroscience dan implementasinya dalam pembelajaran

41
COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Mata Kuliah Orientasi Baru Psikologi Pendidikan Oleh Dr. Awaluddin Tjala, M.Pd MAKALAH Disusun Oleh : LARAS RATIH MAHESWARI (NO. REG. 7616120905) PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN KONSENTRASI KEPENGAWASAN PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2013

Upload: sman-1-cisarua

Post on 12-Jun-2015

2.287 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYADALAM PEMBELAJARAN

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Mata KuliahOrientasi Baru Psikologi Pendidikan Oleh Dr. Awaluddin Tjala, M.Pd

MAKALAH

Disusun Oleh :

LARAS RATIH MAHESWARI (NO. REG. 7616120905)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKANKONSENTRASI KEPENGAWASAN

PASCASARJANAUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2013

Page 2: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah-Nya tugas Mata Kuliah Orientasi Baru

Psikologi Pendidikan dapat diselesaikan selesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini berupa

Makalah yang diberi judul: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam

Pembelajaran.

Neurosains Kognitif, bisa dibilang merupakan ilmu yang terus berkembang.

Penemuan ilmiah baru setiap tahun selalu dirilis, untuk menguatkan atau membantah teori

yang sudah ada sebelumnya, maupun menyatakan teori baru. Neurosains Kognitif ini

merupakan suatu ilmu yang luas cakupannya, di mana kemudian membawahi lagi berbagai

teori, multiple intelegence, pembelajaran berbasis otak, berbagai teori dan metode

pembelajaran, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini, kami berusaha memberikan

gambaran, yang walaupun sedikit, namun mengena, mengenai neurosains kognitif ini. Dari

berbagai jurnal dan e-book yang kami dapat, kami juga berusaha menyajikan hasil penelitian

terbaru serta bagaimana menerapkan ilmu inidalam pembelajaran.

Makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga dapat menjadi

berguna bagi semua pihak.

Jakarta, 17 Januari 2013

Penulis

Page 3: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Tujuan ..................................................................................................................... 3

C. Lingkup Kajian .......................................................................................................... 3

BAB II COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN ..... 4

A. Pengertian Neurosains ........................................................................................ 4

B. Neurosains Kognitif .............................................................................................. 4

C. Sejarah Neurosains Kognitif ................................................................................. 6

D. Metode dalam Mempelajari Otak Manusia .......................................................... 8

E. Struktur dan Fungsi Otak .................................................................................... 10

F. Sistem Saraf ........................................................................................................ 18

G. Gangguan pada Otak .......................................................................................... 20

H. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran ....... 23

I. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah ................ 25

J. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif ..................... 28

K. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran ............................. 32

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 35

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 35

B. Rekomendasi ...................................................................................................... 36

DARTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 38

Page 4: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari

neuron (sel saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf

pusat (otak dan saraf tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan

12 pasang saraf kepala). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf

yang ada di otak.1 Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari

lokalisasi fungsi, terutama fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah

spesifik otak yang mengontrol perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan

mengarah pada kemampuan individu dalam ranah kognitifnya.2

Pemahaman tentang bagaimana otak belajar akan mendorong seluruh

komponen terkait dalam sistem pendidikan untuk menempatkan diri secara bijaksana.

UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, sistem pendidikan didefinisikan sebagai

keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai

tujuan pendidikan. Pada Bab II Pasal 3 dikatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Banyak penelitian menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam

memakai otaknya baik untuk memecahkan masalah maupun menciptakan ide-ide baru.

Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus

1 Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup,(Bandung: Mizan, 2006), h. 47.

2 Diana S. Mandar, “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”, Prosiding SnaPP2011Sains, Teknologi, dan Kesehatan,Vol 2 No 1 tahun 2011, h. 369.

1

Page 5: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

2

pada otak luar bagian kiri. Otak ini berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata,

matematika, dan urutan yang dominan untuk pembelajaran akademis. Otak kanan yang

berurusan dengan irama musik, gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat bagian

secara proporsional untuk dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik sebagai

pusat emosi yang belum dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi ini

berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari itu

pemanfaatan seluruh bagian otak (whole brain) secara terpadu belum diaplikasikan

dengan efektif dalam sistem pendidikan. Dalam dasawarsa terakhir ini, otak berhasil

dieksplorasi secara besar-besaran dan menghasilkan kesimpulan bahwa sungguh otak

merupakan pusat berpikir, berkreasi, berperadaban, dan beragama.

Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya

menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan

oleh dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat

ujian. Secara tak sadar kita sebagai guru maupun orangtua telah banyak memasung

potensi berpikir anak-anak dan menghambat pengembangan otaknya. Sistem

pendidikan berperadaban harus memungkinkan peserta didik untuk mencampur-

memisah, mengeraskan-melunakkan, menebalkan-menipiskan, menutup-membuka,

memotong-menyambung sesuatu sehingga menjadi sesuatu yang baru.

Pada dasarnya suatu ide baru merupakan kombinasi dari ide-ide lama, dan tak

ada sesuatu yang betul-betul baru. Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan

hebat untuk menyimpan informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat

untuk menyusun ulang informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru.

Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang

memungkinkan optimalisasi seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan,

penyimpanan dan penggunaan informasi terjadi secara efisien. Sangat inspiratif definisi

Pendidikan yang tercantum dalam Sisdiknas yaitu usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

Page 6: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

3

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

B. Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini antara lain:

1. Pemahaman tentang neurosience kognitif.

2. Mengetahui sejarah neurosience kognitif.

3. Mengetahui metode dalam mempelajari otak manusia.

4. Mengetahui dan memahami Struktur dan fungsi otak dan sistem saraf

5. Mengetahui gangguan pada otak

6. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran

7. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah

8. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif

9. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran

C. Lingkup Kajian

Kajian yang dibahas dalam makalah ini berhubungan dengan Neurosience

Kognitif, yang meliputi:

1. Pengertian Neurosience

2. Pengertian Neurosience Kognitif

3. Sejarah Neurosience Kognitif

4. Metode dalam mempelajari otak manusia

5. Struktur dan fungsi otak dan Sistem Saraf

6. Gangguan pada otak

7. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran

8. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah

9. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif

10. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran

Page 7: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

4

BAB II

COGNITIVE NEUROSCIENCE DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

A. Pengertian Neurosains

Neurosains mengkaji diri manusia sebagai proses yang berlangsung hingga

tingkat sel saraf. Berbagai penemuan neurosains sangat berguna tidak hanya dalam

bidang kedokteran, seperti pengobatan pada penyakit-penyakit otak (misalnya:

parkinson, schizophrenia, autisme, dan lain-lain), tetapi juga dalam bidang manajemen

dan bisnis, psikologi, filsafat, dan bidang pendidikan.

Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari

neuron (sel saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf

pusat (otak dan saraf tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan

12 pasang saraf kepala). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf

yang ada di otak.3 Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari

lokalisasi fungsi, terutama fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah

spesifik otak yang mengontrol perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan

mengarah pada kemampuan individu dalam ranah kognitifnya.4

B. Neurosains Kognitif

Jika dikaitkan dengan pengungkapan hakikat diri manusia, salah satu ilmu yang

mengalami perkembangan sangat pesat adalah neurosains, yang secara harfiah berarti

ilmu tentang otak, terutama neurosains kognitif5. Neurosains kognitif mempelajari otak

manusia hingga tahap molekular. Neurosains kognitif ini merupakan bidang studi yang

3 Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup,(Bandung: Mizan, 2006), h. 47.

4 Diana S. Mandar, “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”, Prosiding SnaPP2011Sains, Teknologi, dan Kesehatan,Vol 2 No 1 tahun 2011, h. 369.

5 Taufik Pasiak, op.cit, h. 45.

4

Page 8: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

5

menghubungkan otak dan aspek-aspek lain sistem syaraf, khususnya otak dengan

pemrosesan kognitif, dan akhirnya dengan perilaku.6

Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang mengontrol langsung

pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap

organ-organ tubuh yang lain. Sementara sistem saraf, merupakan dasar bagi

kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia

sekitar. Melalui sistem ini, manusia menerima, memroses, dan merespon informasi dari

lingkungan.

Cognitive Neuroscience ini sebenarnya merupakan penerapan neurosains

dalam psikologi kognitif. Studi ini mengkaji otak sekaligus mempelajari mental. Bisa

dibilang merupakan cara baru dalam mempelajarai psikologi kognitif. Studi ini

memetakan wilayah-wilayah spesifik di otak beserta fungsinya, dan mengkaitkannya

dengan proses kognitif. Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara

ilmiah substrat biologis dibalik kognisi, dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari

proses mental7. Ia membahas pertanyaan bagaimana fungsi psikologis/kognitif

dihasilkan oleh otak. Neurosains kognitif adalah cabang psikologi maupun neurosains,

bertindihan dengan disiplin seperti psikologi fisiologis, psikologi kognitif dan

neuropsikologi. Neurosains kognitif bertopang pada teori-teori dalam sains kognitif

diselaraskan dengan bukti dari neuropsikologi dan pemodelan komputasional.

Berbagai cara telah dilakukan olah para ahli terdahulu yang menyadari adanya

hubungan antara kognisi dan otak sebagai usaha dalam menemukan fungsi kortikal

pada otak manusia. Banyak cara yang ditempuh, di antaranya: Frenologi,

Psychosurgery, Lobotomi, Teori medan agregat. Meskipun di antara metode-metode

tersebut ada yang runtuh dan dianggap sebagai pseudosains. Para ahli terus melakukan

berbagai eksperimen. Hingga didapat beberapa contoh hasil penelitian eksperiemen

dan klinis terhadap struktur dan proses-proses di otak.

6 Lusi Nur Ardhiani, Psikologi Kognitif, (Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar UniversitasMercubuana, 2011), h.12.

7 Gazzaniga, et.al, Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind, (New York: Norton, 2002), h. xv.

Page 9: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

6

1. Sebagian besar fungsi mental terlokalisasi di region khusus dan gabungan

beberapa region di otak, seperti: region motorik dan terminal-terminal sensoris,

meski pemrosesan lebih lanjut terjadi di daerah-daerah lain.

2. Sebagian besar fungsi mental (kognisi) melibatkan sebuah area yang bebeda di

korteks serebral. Biasanya bersifat redundant (berlebuhan), artinya

pendistribusian diproses secara paralel ke berbagai lokasi.

3. Letak kognisi pada otak adalah pada bagian korteks otak besar yang membentuk

lapisan terluar dari dua bagian otak, yaitu hemisfer otak kanan dan hemisfer otak

kiri. Masing-masing hemisfer otak memiliki spesifikasi tugas yang berbeda.

4. Kerusakan tidak selalu menyebabkan penurunan kinerja kognitif.

Neurosains kognitif merupakan disiplin ilmu yang bertugas membongkar ulang

otak, membedah arsitektur komputasinya menjadi unit-unit pemrosesan informasi

yang terisolasi dan kemudian menentukan bagaimana unit-unit tersebut bekerja secara

komputasi maupun fisik (cosmides tooby).

Meskipun demikian neurosains kognitif lahir dengan kontribusi-kontribusi dari

penelitian awal tentang lobotomi, frenologi, dan lokalisasi fungsi sebagai pendahulu

neuronsains kognitif modern. Karena sifatnya yang multidisiplin, para ilmuan

neurosains kognitif dapat memiliki bermacam latar belakang. Selain disiplin yang

berkaitan di atas, ilmuan neurosains kognitif dapat berasal dari latar belakang

neurobiologi, rekayasa biologi, psikiatri, neurologi, fisika, sains komputer, linguistik,

filsafat dan matematika.

C. Sejarah Neurosains Kognitif

Pusat neurosains kognitif adalah pandangan jika fungsi kognitif tertentu

berkaitan dengan daerah tertentu di otak. Gerakan frenologis gagal memasok landasan

ilmiah untuk teori mereka dan telah ditolak. Walau begitu, asumsi utama frenologis

kalau daerah tertentu di otak berkaitan dengan fungsi tertentu masih berlaku, walau

pengukuran tengkorak masa kini dilakukan secara elektrofisiologi dan apa yang diukur

lebih berhubungan dengan otak dari pada penampakan tengkorak luar.

Page 10: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

7

Akar pertama neurosains kognitif berada pada frenologi, yang merupakan

pendekatan pseudo ilmiah yang mengklaim kalau perilaku dapat ditentukan oleh

bentuk tulang. Pada awal abad ke-19, Franz Joseph Gall dan J. G. Spurzheim percaya

kalau otak manusia terlokalisasi dalam sekitar 35 bagian. Dalam bukunya, The Anatomy

and Physiology of the Nervous System in General, and of the Brain in Particular, Gall

mengklaim bahwa tonjolan besar di salah satu bagian ini berarti daerah otak tersebut

lebih sering digunakan oleh orang tersebut. Teori ini mendapat perhatian publik,

membawa pada publikasi jurnal frenologi dan penciptaan frenometer, yang mengukur

tonjolan di kepala subjek manusia.

Tanggal 11 September 1956, sebuah pertemuan ahli kognitif yang besar terjadi

di MIT. George A Miller menyajikan papernya yang berjudul “The Magical Number

Seven, Plus or Minus Two” sementara Noam Chomsky dan Newell dan Simon

menyajikan temuan mereka dalam sains komputer. Ulrich Neisser memberi komentar

pada banyak penemuan dalam pertemuan ini dalam bukunya Tauhn 1967 berjudul

Cognitive Psychology. Istilah “psikologi” telah memudar Tahun 1950an dan 1960an, dan

membuat bidang ini lebih dikenal sebagai “sains kognitif”.

Pada akhir abad ke-20 teknologi baru berkembang yang sekarang menjadi

metodologi utama dalam neurosains kognitif, termasuk TMS (1985) dan fMRI (1991).

Metode sebelumnya yang dipakai dalam neurosains kognitif adalah EEG (EEG manusia

1920) dan MEG (1968). Neurosaintis kognitif sering juga memakai metode pencitraan

otak lainnya seperti PET dan SPECT.

Pada beberapa hewan, perekaman unit tunggal dapat dipakai. Metode lain

termasuk mikroneurografi, EMG wajah, dan pelacak mata. Neurosains integratif

berusaha mengkonsolidasikan data dalam database, dan membentuk model deskriptif

terpadu dari beragam bidang dan skala: biologi, psikologi, anatomi dan praktek klinis.

Page 11: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

8

D. Metode dalam Mempelajari Otak Manusia

Terdapat beberapa metode dalam mempelajari otak manusia. Sternberg

menjelaskan lima metode, yakni: (1) studi post mortem, (2) studi terhadap hewan, (3)

rekaman-rekaman listrik, (4) teknik pencitraan statis, dan (5) Pencitraan metabolis.8

1. Studi-studi Post-Mortem

Dalam metode ini, peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku manusia

yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak ketika mereka masih hidup.

Mereka mendokumentasikan perilaku pasien sedetail mungkin dalam studi kasus

sebelum pasien meninggal. Selanjutnya, setelah pasien meninggal peneliti menguji

otak pasien untuk mencari lokasi terjadinya lesi (area-area jaringan tubuh yang

mengalami kerusakan seperti karena luka benturan atau penyakit). Peneliti

kemudian mengambil kesimpulan dan melacak kaitan antara tipe perilaku yang

diamati dengan anomaly yang terdapat di lokasi tertentu pada otak.

Contoh kasus yang terjadi misalnya, pasien Paul Broca (1824-1880) yang

diberi nama Tan (dinamai demikian karena hanya suku kata itu yang keluar jika ia

berkata-kata). Tan mengalami gangguan berat dalam kemampuan bicaranya.

Masalah ini berkaitan dengan les di area lobus bagian depan yang sekarang

dinamakan area Broca. Contoh lainnya adalah penelitian yang dilakukanYoung,

Holcomb, Yazdani, Hicks, yang menemukan bahwa depresi disebabkan oleh lebih

banyaknya jumlah sel saraf di thalamus yang digunakan untuk pertukaran emosi.

Kelemahan metode ini adalah, tidak dapat dilakukan kepada makhluk yang

masih hidup. Selain itu, metode ini kurang memberi pendalaman terhadap proses

psikologi yang terjadi dalam otak.

2. Studi terhadap hewan

Studi ini merupakan studi in vivo (dilakukan terhadap makhluk yang masih

hidup), dan oleh karenanya lebih banyak dilakukan terhadap hewan. Langkah yang

dilakukan adalah, Elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak hewan (biasanya

8 Robert J. Sternberg, Cognitive Psychologi, 4th Edition, (Belmont: Wadsworth, Cengage Learning,2008), hh. 48-84

Page 12: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

9

kera atau kucing). Dari sini, didapati rekaman sel tunggal tentang aktivitas sebuah

neuron di otak. Dengan cara ini ilmuan dapat mengukur efek dari jenis-jenis stimuli

tertentu. Termasuk dalam jenis penelitian terhadap hewan adalah dengan

melakukan pelesian selektif (penghilangan atau perusakan bagian otak tertentu

lewat pembedahan) untuk mengamati cacat fungsional yang diakibatkannya.

Contoh penelitian dengan metode ini dilakukan oleh Disterhoft &

Matthew pada tahun 2003 dengan membandingkan antara Hippocampal

pyramidal neuron pada kelinci tua dan kelinci muda. Ditemukan bahwa kelinci

yang sudah tua tidak dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Setelah

diinjeksikan Metrifonate, galanthamine, and CI-1017 pada kelinci tua, mereka

dapat belajar secepat kelinci muda.

3. Rekaman-rekaman listrik

Metode ini dimungkinkan dilakukan pada manusia yang masih hidup.

Elektroencephalogram (EEG) adalah rekaman-rekaman tentang frekuensi dan

intensitas listrik otak yang hidup, biasanya direkam di sebuah periode yang relatif

lama. melalui EEG dimungkinkan untuk mempelajari aktivitas gelombang otak

yang menindikasikan perubahan konsisi-kondisi mental, seperti tidur lelap atau

bermimpi. Metode ini dilakukan dengan memasangkan elektroda di beberapa titik

kulit kepala. Aktivitas listrik di otak kemudian direkam.

Contohnya rekaman-rekaman EEG yang diambil selama tidur

menyingkapkan pola-pola perubahan aktivitas listrik yang melibatkan seluruh

bagian otak. Pola-pola yang muncul ketika sesorang bermimpi sangat berbeda

ketika dia tertidur lelap. Contoh penelitian lain dilakukan oleh Dehaene-Lambertz,

Pena, M., Christophe, & Landrieu pada tahun 2004 untuk memeriksa kemampuan

berbahasa bayi.

4. Teknik-teknik Pencitraan Statis

Teknik-teknik ini mencakup angiogram, pemindaian tomografi aksial

dengan menggunakan komputer (CAT, computerized axial tomography) dan

pemindaian dengan pencitraan resonansi magnetis (MRI) .Teknik yang berbasis

Page 13: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

10

sinar X (CAT) memungkinkan pengamatan yag lebih mendetail tentang

abnormalitas otak skala besar seperti kerusakan yang diakibatkan benturan atau

tumor, namun terbatas dalam resolusi sehingga tidak bisa menyediakan banyak

informasi tentang lesi-lesi dan penyimpangan yang lebih kecil.

Pemindaian MRI memberikan gambar dengan resolusi tinggi tentang

struktur otak hidup dengan mengomputasi dan menganalisi perubahan-perubahan

magnetis didalam energi dari orbit-orbit partikel didalam molekul-molekul tubuh.

Namun MRI relatif mahal dan tidak menyediakan banyak informasi mengenai

proses-proses fisiologis.

5. Pencitraan metabolis

Teknik ini mengandalkan perubahan-perubahan yang berlangsung di

dalam otak sebagai hasil dari peningkatan konsumsi glukosa dan oksigen di area-

area aktif dantidak aktif. Ide dasarnya adalah area-area aktif didalam otak

mengonsumsi lebih banyak glukosa dan oksigen ketimbang area-area yang tidak

aktif. Dua teknik dengan metode ini di antaranya adalah PET (Positron Emission

Tomography ) dan fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging).

Pemindaian PET mengukur peningkatan di dalam konsumsi glukosa di

area-area aktif otak selama menjalankan pemrosesan informasi tertentu.

Pencitraan melalui resonansi magnetis secara fungsional (fMRI) adalah teknik

penggambaran neuron yang menggunakan medan-medan magnetis untuk

mengonstruksikan gambar detil tiga dimensi tenntang aktivitas di beragam bagian

otak pada satu momen tertentu. Teknik ini disusun berdasarkan MRI, namun ia

menggunakan peningkatan di dalam pengonsumsian oksigen untuk

mengonstruksikan gambaran-gambaran aktivitas otak.

E. Struktur dan Fungsi Otak

Otak adalah sebuah jaringan yang sangat vital dalam tubuh manusia. Otak tidak

hanya berfungsi untuk berpikir, tetapi juga menunjang kehidupan itu sendiri. sebuah

Page 14: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

11

penelitian menunjukkan bahwa, seseorang yang sudah meninggal dunia beberapa saat

yang lalu, menunjukkan otaknya secara fisiologis masih hidup.

Secara struktural, seluruh otak manusia adalah sama. Kelainan pada struktur

otak, akan mengakibatkan kelainan pada perilaku atau menunjukkan perilaku-perilaku

yang abnormal. Contoh perilaku-perilaku yang ditengarai di sebabkan oleh kelainan

pada struktur otak adalah epilepsi, skizofrenia, pembunuh berantai, autisme pada anak

dan lain-lain.

Pada orang normal yang dewasa, berat otak berkisar 1,5 kg dengan perbedaan

volume pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki dewasa, volume otak berkisar

1.130 cm3 dan pada wanita berkisar 1260 cm3. Jumlah sel neuron pada otak

diperkirakan sekitar 100 juta sel saraf. Tetapi dalam populasi di dapatkan bahwa, variasi

berat otak dan volumenya sangat besar. Kemungkinan inilah yang menyebabkan variasi

kemampuan berpikir dalam populasi. Di sinyalir bahwa, orang dengan volume dan

berat otak yang besar, mempunyai kemampan berpikir yang lebih tinggi. Tetapi asumsi

ini belum banyak dibuktikan dalam sebuah penelitian ilmiah.

Otak manusia dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan struktur dan

fungsinya. Pembagian yang paling populer adalah berdasarkan lobus. Ada empat

macam lobus yaitu lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksiptalis dan lobus

temporalis. Otak juga dapat dikelompokkan berdarkan letak dan fungsinya, menjadi

serebrum, serebellum, braistem, dan sistem limbik.

Gambar 1: Bagian Otak berdasarkan Letak

Sumber: Robert J. Sternberg, Cognitive Psychologi, 4th Edition, ppt

Page 15: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

12

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Cerebrum (Otak Besar)

2. Cerebellum (Otak Kecil)

3. Brainstem (Batang Otak)

4. Limbic System (Sistem Limbik)

1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut

dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan

bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat

manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,

perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual seseorang

juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.

Cerebrum terbagi menjadi empat bagian lobus, yakni: Lobus Frontal, Lobus

Parietal, Lobus Occipital, dan Lobus Temporal.

a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak

Besar. Bagian anterior (depan atas) mempunyai peran dalam tingkah laku

tidak sadar. Misalnya: kepribadian, tingkah laku social, memberi alasan,

memberi pendapat dan aktifitas itelektual, kreativitas, kontrol perasaan,

kontrol perilaku seksual, dan kemampuan bahasa secara umum. Bagian

sentral posterior (depan belakang) mengatur fungsi motorik.

b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor

perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

c. Lobus Temporal menerima input dari tiga indera perasa, yaitu: pendengaran,

pengecap, dan penciuman dan mempunyai peran dalam proses memori.

d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan

rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan

interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. Misalnya

penglihatan, menerima informasi dan menafsirkan warna, juga berperan

Page 16: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

13

dalam refleks visual untuk menentukan mata pada sebuah objek yang diam

dan bergerak.

Gambar 2: Cerebrum dan Bagian-bagiannya

Cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan

otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel

saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri

tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat

dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan

berpikir rasional.

Laterisasi / Belahan Otak

Salah satu riset yang mengawali pembedaan otak kiri dan kanan adalah

penelitian Gazaninga dan kawan-kawan, yang berusaha mengatasi kejang epilepsy

dengan memotong serabut saraf – korpus kalosum – yang menjembatani kedua

belahan otak, dan mendapati bahwa serangan kejang menghilang.9 Selanjutnya,

berbagai penelitian mendapati bahwa otak kiri dan kanan berperilaku secara

terpisah. Belakangan, Damasio (1994) dan mitranya menemukan bukti yang

mendukung bahwa kedua belahan otak tidak simetris dalam cara memproses

emosi.

9 Barbara K. Given, Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang MelibatkanOtak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2, Penj. Lala Herawati Dharma,(Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 49.

Page 17: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

14

Secara anatomis, otak manusia dibedakan antara hemisfer kiri (belahan

otak kiri) dan hemisfer kanan (belahan otak kanan). Setiap belahan pada otak

berfungsi mengendalikan bagian tubuh secara berlawanan. Otak belahan kanan

mengendalikan fungsi tubuh bagian kiri. Sedangkan otak belajan kiri

mengendalikan fungsi tubuh bagian kanan.

Gambar 3: Lateralisasi Otak

Kedua belahan otak kiri dan kanan di hubungkan oleh bundel saraf yang

sangat besar yang disebut dengan corpus callosum. yang melintasi garis tengah di

atas tingkat thalamus. Di samping itu ada juga penghubung antara belahan kiri dan

belahan kanan, tetapi ukurannya kecil tetapi banyak yanitu commisure anterior

dan commisure hippocampus serta penghubung subkrtikal juga banyak yang

melintasi garis tengah otak.

Corpus callosum adalah jalan utama komunikasi antara dua belahan,

meskipun. Ini menghubungkan setiap titik pada korteks ke titik bayangan cermin di

belahan hemisfer sebaliknya, dan juga menghubungkan ke titik fungsional terkait

di daerah kortikal berbeda.

Secara struktur, belahan otak kanan dan otak kiri berbentuk simetris.

Tetapi beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fungsi antara belahan

otak kiri dan belahan otak kanan berbeda. Misalnya otak kiri lebih dominan pada

pembentukan bahasa (kerusakan pada otak kiri, bisa menyebabkan orang tidak

Page 18: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

15

bisa berbicara dan mengerti pembicaraan). Sedangkan pada otak kanan lebih

dominan pada perkembangan emosi, seni ataupun intuitif.

2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat

dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis

otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,

koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan

serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,

gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada

sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya

orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak

mampu mengancingkan baju.

3. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga

kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum

tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk

pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan,

dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)

saat datangnya bahaya.

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh

karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil

mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan

merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu

dekat dengan anda.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian

teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil.

Page 19: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

16

Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan

mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri

badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla

mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah,

pernafasan, dan pencernaan.

c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak

bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga

atau tertidur.

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak

ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak

ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak

mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,

hipocampus dan korteks limbik.

Gambar 4: Sistem Limbik

Secara umum, sistem limbik berfungsi menghasilkan emosi, motivasi,

berperan dalam menyimpan memori dan pembelajaran. Secara khusus, sistem

limbik mengontrol perasaan dan sikap. Selain itu, juga menyimpan memori

emosional, mengontrol nafsu makan dan siklus tidur.Sistem limbik juga

memungkinkan kita untuk fleksibel dalam bersikap dan merespon perubahan

lingkungan.

Page 20: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

17

Anatomi Sistem Limbik

Gambar 5: Anatomi Sistem Limbik dan Fungsinya

Sumber: Cognitive Psychology, 4th Ed, Robert J. Sternberg.

Beberapa bagian sistem limbik yang penting adalah sebagai berikut.

1. Amygdala: terlibat dalam rasa marah dan keinginan untuk menyerang.

2. Septum: terlibat dalam rasa marah dan ketakutan

3. Hippocampus penting dalam pembentukan memori, gangguan pada bagian ini

menyebabkan hilangnya memori deklaratif, namun memori prosedural tidak

terganggu. Kedua memori ini termasuk memori jangka panjang. Memori

deklaratif termasuk pada kemampuan menyebutkan pengetahuan dan fakta,

sementara memori prosedural merupakan memori yang diperoleh dari

pengulangan terus menerus, dan merupakan memori jangka panjang.

Kerusakan pada bagian hippocampus juga dapat menyebabkan Korsakoff’s

syndrome, yakni hilangnya fungsi memori akibat malnutrisi ataupun perilaku

alkoholik parah.10

4. Thalamus: menghantarkan informasi ke cerebral cortex, juga memiliki kontrol

terhadap tidur dan berjalan.

5. Hypothalamus: penting dalam perilaku metabolisme, makan dan minum,

perilaku seksual, dan mengatur emosi.

10 http://en.wikipedia.org/wiki/Korsakoff%27s_syndrome, diakses 15 Januari 2013.

Page 21: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

18

F. Sistem Saraf

Central Nervous System/Sistem Saraf Pusat (CNS/SSP) terdiri dari otak dan

sumsum tulang belakang.

1. Otak : merupakan CNS (central nervous system) yang berfungsi untuk menerima,

memproses, menginterpretasikan dan menyimpan informasi sensoris yang datang,

seperti rasa, suara, bau, warna, tekanan pada kulit, dll.

2. Saraf tulang belakang kumpulan neuron dan jaringan pendukung yang dimulai dari

dasar otak sebagai perpanjangan otak yang menjulur di sepanjang punggung

bagian tengah dan dilindungi oleh tulang belakang.

Gambar 5: Saraf Tulang Belakang

Sumber: Pustekkom Depdiknas

Neuron

Neuron adalah unsur dasar pembentuk CNS (Central Nervous System), yakni sel

khusus yang mengirimkan informasi sepanjang sistem syaraf, berjumlah sangat padat.

Otak manusia tersusun dari massa neuron yang sangat padat, berfungsi menerima &

mengirimkan impuls neural ke ribuan neuron lain. Neuron memiliki ukuran dan bentuk

yang berlainan tergantung dari lokasi dan fungsinya, di antarannya Syaraf tulang

belakang, Talamus, Serebelum, dan Korteks.

Page 22: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

19

Gambar 6: Neuron dan Bagian-bagiannya

Bagian utama dalam neuron adalah sebagai berikut:

1. Dendrit, yang menerima impuls neural dari neuron lain, dendrit berbentuk seperti

pohon (arborized), lengkap dengan cabang dan ranting.

2. Tubuh sel, yang bertanggung jawab menjaga kondisi dasar neuron. Tubuh sel

(menerima) nutrisi dan melenyapkan limbah organik dan menyerang limbah

tersebut melalui dinding sel yang permeabel

3. Akson, serabut perluasan yang membawa dan menghantarkan impuls dari tubuh

sel ke neuron lain.

4. Terminal prasinaptik, terminal-terminal tempat berakhirnya akson terletak dekat

permukaan dendrit pada neuron lain (yang bersifat reseptif) meskipun tidak

berhubungna langusng, terminal prasinaptik dan dendrit bersama-sama

membentuk sinapsis.

Sinapsis memiliki tugas penting yaitu berperan menukarkan informasi kimia

yang disebut neurotransmitter dari satu neuron ke neuron lain. Muatan listrik mengalir

sepanjang akson, dan ketika muatan listrik mencapai dendrit, neurotransmitter

dilepaskan. Neorutransmitter kimiawi ini mengubah polaritas/potensi elektrik pada

dendrit penerima.

Neurotransmitter adalah pesan kimiawi yang diaktifkan yang memiliki efek

inhibitoris dan efek eksitetoris. Dan terdapat senyawa-senyawa lain disebut

Page 23: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

20

acetylcholine. Kecepatan perjalanan impuls pada akson bergantung pada panjang

akson tersebut. Neurotransmiter membawa informasi antara neuron dan

memungkinkan pesan kimia untuk dikirim dari satu bagian tubuh ke otak,dan

sebaliknya. Ada berbagai neurotransmiter yang mempengaruhi tubuh dalam berbagai

cara. Misalnya, dopamin neurotransmitter yang terlibat dalam gerakan dan belajar.

Jumlah dopamine yang berlebihan telah dikaitkan dengan gangguan psikologis seperti

skizofrenia, sedangkan terlalu sedikit dopamin diasosiasikan dengan penyakit

Parkinson.

Bagian penting lainnya dari sistem saraf adalah Peripheral Nervous System,

yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Somatik Nervous System: mengendalikan tindakan otot rangka.

b. Sistem saraf otonom: mengatur proses otomatis seperti detak jantung, bernapas,

dan tekanan darah. Ada dua bagian dari sistem saraf otonom:

a. Sistem saraf simpatis: mengontrol fight or flight "reflex”. Refleks ini

mempersiapkan tubuh untuk merespon bahaya dalam lingkungan.

b. Sistem saraf parasimpatis: sistem ini berfungsi untuk membawa tubuh Anda

kembali ke keadaan normal setelah melawan atau penerbangan refleks.

G. Gangguan pada Otak

Gazzaniga dan kawan-kawan (dalam Sternberg) melakukan penelitian tentang

gangguan otak, yang pada akhirnya mempengaruhi kognisi manusia. Beberapa contoh

gangguan pada otak adalah stroke, tumor otak, dan luka pada kepala11.

Lebih lanjut seperti dijelaskan berikut ini:

1. Stroke

Stroke terjadi ketika aliran darak ke otak mengalami hambatan. Orang-

orang yang mengalami stroke biasanya menunjukkan hilangnya fungsi-fungsi

kognitif. Bentuk hilangnya fungsi-fungsi ini bergantung kepada area otak mana

11 Robert .J. Sternberg, op.cit, hh. 64-84.

Page 24: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

21

yang dipengaruhi stroke. Simptom stroke biasanya Iangsung terjadi setelah stroke

terjadi, berikut simptom stroke yang paling umum:

a. Mati rasa atau kelelahan diwajah, lengah atau kaki

b. Rasa bingun, kesulitan bicara atau memahami ucapan

c. Gangguan pada penglihatan

d. Pusing, mual-mual, sulit berjalan, hilang keseimbangan atau koordinasi

anggota tubuh.

e. Sakit kepala berat tanpa diketahui penyebabnya

2. Tumor otak

Tumor otak disebut juga neoplasma, dapat memengaruhi fungsi kognitif

dengan cara yang sangat serius. Ada dua jenis tumor otak:

a. tumor yang dimulai dari otak. Kebanyakan anak yang mengalami tumorjenis

ini.

b. tumor otak yang merupakan efek dari pertumbuhan tumor di bagian tubuh

lain Tumor (notcancerous), misalnya paru-paru, or malignant (cancerous).

Tumor otak ada yang lunak dan ada ganas ganas. Tumor lunak tidak

mengandung sel-sel kanker, biasanya tumor ini bisa dihilangkan dan tidak akan

tumbuh kembali. Sel-sel tumor lunak tidak menyerang sel-sel sel sekitarnya atau

menyebar kebagian tubuh yang lain, namun jika akhirnya ia menekan area-area

sensitif otak, tumor akan mengakibatkan gangguan kognitif yang serius.

3. Luka pada kepala

Luka-luka pada kepala bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor

seperti kecelakaan kendaraan, kontak dengan benda keras, dan terkena peluru.

Luka-luka ini memiliki 2 jenis; luka dalam dan luka luar. Pada luka dalam, tengkorak

masih utuh namun terjadi kerusakan pada otak, biasanya dari daya mekanis suatu

hantaman pada kepala. Pada luka luar, tengkorak tidak lagi utuh karena sudah

terjadi rembesan darah yang keluar dari kepala, luka terkena peluru salah satu

contohnya.

Page 25: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

22

Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, terdapat beberapa kelainan pada

otak, yang mempengaruhi proses kognisi seseorang. Tiga kelainan yang banyak

ditelaah saat ini adalah: disleksia, diskalkulia, dan ADHD.12

1. Disleksia

Kemampuan membaca pada orang dewasa, melibatkan penggunaan otak kiri,

termasuk posterior superior temporal cortex. Area otak ini penting dalam

kemampuan memisahkan kata-kata dalam komponen berdasarkan

pelafaannya. Pada anak dengan disleksia, area otak ini menunjukkan

penurunan aktivitas, yang mengakibatkan kesulitan mengeja, mambaca, dan

mengenali huruf atau angka.

2. Diskalkulia

Diskalkulia merupakan kesulitan dalam mengenali konsep angka, baik secara

sederhana, ataupun penggunaan angka. Aktivitas pada area penghitung dan

pengenalan bahasa mengalami penurunan pada kelainan ini.

3. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

Anak dengan kelainan ini, menampilkan perilaku cenderung impulsive, tidak

perhatian, dan banyak bertingkah. Penelitian mengenai ADHD ini belum

mencapai kata sepakat. Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa anak

dengan dugaan ADHD mengalami kelainan pada the anterior cingulate dan

prefrontal cortex.

Ketiga kelainan ini mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar, dank

arena penelitian untuk penyembuhannya masih terus dilakukan, peran guru dalam

menggunakan metode pembelajaran sangat penting untuk membantu mengatasi

kelainan ini.

12 Paul Howard-Jones, et.al, Neuroscience and Education: Research and Opportunities, (London: TLRP& ESRC, 2012), hh. 12-14.

Page 26: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

23

H. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran

Saat yang tepat untuk memulai pembelajaran, terutama melalui jalur

pendidikan formal, dapat dikaitkan dengan proses perkembangan otak. Secara umum,

otak mengalami restrukturisasi pada usia dini, usia remaja, dan dewasa. Di bawah ini

adalah gambaran perkembangan otak pada tiga fase tersebut, yang dikaitkan dengan

kemampuan otak untuk belajar.

1. Perkembangan Otak pada Usia Dini

Sekalipun pendidikan formal pada usia dini semakin populer, sebenarnya

tidak ada bukti meyakinkan di bidang neurosains untuk memulai pendidikan

formal lebih awal.13 Tiga pendapat menjadi dasar bagi pemikiran ini, namun

dengan bukti yang masih sedikit, dengan interpretasi yang berlebihan. Pendapat

pertama, bahwa synaptogenesis, pembuat sinapsis yang menghubungkan antar

neuron, terbentuk pada tingkat yang lebih tinggi pada anak-anak dibandingkat

orang dewasa. Penelitian ini sebenarnya didasarkan pada penelitian primata selain

manusia. Rakic (dalam Jones) menyebutkan bahwa proses pembentukan

synaptogenesis pada monyet terjadi paling banyak di tiga tahun pertama14. Hal ini

menjadikan asumsi bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang lebih baik untuk

belajar. Bagaimanapun juga, penelitian selanjutnya tentang perkembangan otak

membuktikan bahwa perubahan struktur pada otak, termasuk pembentukan

synaptogenesis, berlangsung dengan baik hingga masa pubertas, bahkan hingga

dewasa.

Pendapat kedua, berkaitan dengan argumen pertama, tentang adanya

“jendela emas” perkembangan anak, yang penting untuk pembelajaran berbagai

kemampuan dan keterampilan. Bagaimanpun juga, ilmuwan saat ini lebih

mempercayai bahwa masa tersebut adalah masa sensitif, yang mana tidak selalu

sama dan tidak pasti. Masa tersebut lebih berupa perbedaan halus pada

kemampuan otak untuk dapat dibentuk oleh lingkungan. Masa ini lebih terutama

13 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 714 Ibid, h. 8.

Page 27: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

24

melibatkan fungsi visual, motorik, dan memori yang dipelajari secara alami pada

lingkungan normal. Jones et.al berpendapat bahwa, sekalipun masa sensitif ini

sangat menarik untuk dikaji, belumlah cukup untuk memberi kontribusi pada

pendidikan formal.15

Pendapat ketiga, menunjuk pada efek pengkayaan lingkungan kepada

pengembangan sinapsis. Bagaimanapun juga, sperti yang disebutkan Diamond

et.al dalam Jones, penelitian ini dilakukan pada tikus laboraturium. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa lingkungan seadanya dapat menghambat

perkembangan neural, namun, tidak ada bukti bahwa lingkungan yang diperkaya,

akan meningkatkan perkembangan neural tersebut.

2. Perkembangan Otak Saat Remaja

Neurosains menunjukkan bahwa, di saat remaja pun, otak tetap

mengalami perkembangan. Namun demikian,berbagai penelitian menunjukkan

bahwa otak remaja berusia belasan tahun, tidak lebih siap dari otak dewasa untuk

mengerjakan berbagai proses. Beberapa proses ini, misalnya, mengarahkan

perhatian, merencanakan masa depan, mencegah perilaku tidak pantas,

multitasking, dan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan sosial. Dapat

disimpulkan bahwa reorganisasi otak tahap kedua, setelah masa kanak-kanak,

terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja ini, otak masih dapat dipertajam dan

dibentuk. Oleh karenanya, kurikulum yang tepat dalam pendidikan formal dapat

membantu pengembangan otak remaja.

3. Perkembangan Otak Saat Dewasa

Walaupun perubahan tidak lebih radikal seperti yang terjadi pada masa

remaja, otak terus berubah dan berkembang pada masa dewasa. Dengan

meningkatnya usia, otak menjadi lebih sedikit dapat ditempa, dan neuron mulai

hilang dalam tingkat yang lebih besar, walaupun efek pendidikan terhadap

hilangnya neuron ini masih belum dapat dijelaskan.16 Sekalipun demikian, ternyata

15 Ibid.16 Ibid, h.9.

Page 28: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

25

neuron baru lahir di satu bagian otak: hippocampus, satu bagian di otak yang

memegang peranan penting dalam belajar dan mengingat.

Kondisi ini menunjukkan otak sangat fleksibel dan memungkinkan

penggunanya untuk belajar sepanjang hayat, terus beradaptasi terhadap keadaan

baru dan pengalaman baru. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa pendidikan

dapat mempengaruhi struktur otak, termasuk pada orang dewasa.

Penelitian Dragansky dan kawan-kawan (dalam Jones) menunjukkan

bahwa bagian otak tertentu membesar setelah dilakukan pendidikan dan

pelatihan selama tiga bulan. Tiga bulan setelah pelatihan tersebut usai, volume

otak kembali menyusut ke asalnya17. Penelitian juga menunjukkan bahwa

kemungkinan untuk menderita alzheimers menurun dengan adanya pencapaian

pendidikan, atau dengan peningkatan tantangan dalam pekerjaan. 18

Dengan melihat pemaparan di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya, otak

manusia dapat melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Sekalipun pentingnya

pendidikan formal yang dimulai di usia dini masih menjadi pertentangan,

pendidikan formal hingga usia remaja adalah hal yang penting. Otak juga dapat

terus memperbaharui neuronnya, sehingga melanjutkan pendidikan hingga usia

dewasa, bahkan tua, bukanlah permasalahan. Pembelajaran terus menerus

bahkan ditengarai dapat mengurangi terjadinya gangguan otak.

I. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak : Penafsiran yang Salah

Paradigma program belajar dengan berbasis kemampuan otak ini, mulai

diperkenalkan sejaktahun 1990, dan mulai bermunculan berbagai program dengan

tema “brain-based”. Sekalipun demikian, tampaknya bercampur antara ekliktik dan

neurosains, sehingga tidak seluruh program berbasis kemampuan otak yang umumnya

diketahui guru dan masyarakat awam, benar-benar berdasarkan neurosains kognitif.

Berikut ini adalah beberapa contoh.

17 Ibid, h. 21.18 Wilson, R.S., “Mental Challange in the Workplace and Risk of Dementia in Old Age: Is There a

Connection?”, Occupational and Environmental Medicine vol 62, h. 72-73.

Page 29: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

26

1. Senam Otak (Brain Gym).

Program ini mengajukan ide bahwa mekanisme kerja otak dapat

ditingkatkan dengan latihan-latihan tertentu. 19 Termasuk dalam senam otak ini,

misalnya, gerakan cross crawl, pergerakan bagian kanan dan kiri tubuh bergantian

yang diklaim dapat mengaktifkan otak kiri dan kanan. Sekalipun penjelasan dan

argumentasi yang diajukan tampak logis, sebenarnya konsep ini tidak dikenal

dalam neurosains. Senam otak menekankan sinergi dan keseimbangan antara otak

kiri dan kanan, sehingga menciptakan “jalan” baru antara otak kiri dan kanan. Pada

kenyataannya, antara otak bagian kiri dan kanan, memang sudah terhubung

secara permanen, yang dapat dilihat dengan jelas melalui corpus callosum.

Menciptakan jalan jalan atau rangkaian hubungan baru antara kedua otak, hingga

saat ini belum dapat dibuktikan.20

2. Learning Style Preferences

Konsep Learning Style Preferences, atau pilihan gaya belajar, cukup

populer digunakan di bidang pendidikan. Umumnya, gaya belajar siswa dibedakan

menjadi tiga: visual, auditori, atau kinestetik. Konsep yang banyak digunakan

adalah, penggunaan salah satu gaya belajar yang cocok dengan seorang individu,

akan meningkatkan pembelajaran. Namun, terdapat kekurangan dalam hal

metode penentuan gaya belajar yang sesuai dengan tiap individu. Penelitian

terbaru menunjukkan bahwa menyajikan pembelajaran secara khusus yang cocok

dengan satu jenis gaya belajar saja, adalah membuang-buang waktu.21 Sekalipun

demikian, guru yang menggunakan berbagai jenis media yang menjangkau semua

murid apapun gaya belajarnya, tetap memiliki nilai tambah. Penelitian yang ada,

tidak mendukung keharusan memberi label pada siswa berdasarkan gaya belajar

tertentu.

19 S.J. Pickering dan Joward-Jones, “Educator’s View of the Role of Neuroscience InEducation: A Studyof UK and International Perspective, Mind, Brain and Education, Vol 1, h.3.

20 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 1521 Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. Learning styles and pedagogy in post-16 learning: A

systematic and critical review, (Report No. 041543). (London: Learning and Skills Research Centre,2004).

Page 30: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

27

3. Kecenderungan Pembedaan Otak Kiri atau Otak Kanan

Beberapa buku teks menyarankan guru mengetahui apakah siswa mereka

termasuk pengguna otak kanan atau otak kiri. Penelitian lama memang

menganjurkan pengkhususan tersebut. Jerre Levy dan Sperry (dalam Given)

misalnya, menegaskan perbedaan antara kedua belahan otak dengan menyatakan

bahwa belahan kanan khusus untuk proses holistic, dan belahan kiri untuk proses

analitik.22 Laporan ini menimbulkan kegairahan guru untuk menerapkan konsep ini

dalam bidang pendidikan.

Namun penelitian yang lebih baru, seperti yang dilakukan oleh Gazaninga,

mendapati bahwa pada beberapa individu, kedua belahan otak sama-sama

mampu merespon input visual dan tugas menggambar. Demikian pula interpretasi

bahasa, ada di kedua belahan otak ini.23

Berbagai penelitian lanjutan yang berupaya mengaburkan perbedaan

global dan analitik tentang kedua belahan otak, tampaknya belum dihiraukan.

Bagaimanapun juga, kedua belahan otak ini secara normal memang selalu aktif.

Selain itu, kebanyakan tugas belajar sehari-hari, mensyaratkan kedua belahan otak

untuk bekerja sama dalam sistem yang kompleks.24 Tidak terdapat bukti yang kuat

bahwa kategorisasi siswa menjadi kecenderungan otak kanan atau kiri, dapat

membantu proses pembelajaran.

Walaupun secara konsep, belum terdapat bukti yang jelas mengenai

kaitan maksimalisasi kemampuan otak dalam proses pembelajaran, beberapa

pendapat di atas bisa jadi berguna. Senam otak, misalnya, walaupun tidak terbukti

menciptakan keseimbangan otak kiri dan kanan, namun dapat meningkatkan

respon dan kesiagaan. Oleh karenanya, penelitian lebih lanjut amat diperlukan

mengenai konsep “brain-based”, dalam rangka menjembatani penerapan

neurosains kognitif dalam pendidikan.

22 Barbara K. Given, op.cit, h. 48.23 Ibid, h. 50.24 Paul Howard-Jones, et.al, op.cit, h. 16.

Page 31: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

28

J. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif

Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis

otak menurut Caine dan Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami25.

Prinsip ini menjadi dasar bagi brain-based learning yang banyak berkembang kini.

Kedua belas prinsip tersebut disajikan sebagai berikut.

1. Otak merupakan processor parallel. Pikiran, perasaan, sifat bawaan, dan emosi

saling berhubungan satu sama lain dan berinteraksi dengan berbagai macam

model informasi yang diterima otak.

2. Belajar melibatkan seluruh fisiologi tubuh. Hal ini berarti bahwa kesehatan fisik

seseorang, seperti jumlah waktu tidur, nutrisi yang dikonsumsi, kondisi lelah,

mempengaruhi otak.

3. Pencarian makna dilakukan secara innate. Kita secara alamiah terprogram untuk

mencari makna dalam segala hal. Kebutuhan otak untuk selalu mencari makna

juga beberapa hal familiar yang akan terdaftar secara otomatis saat melakukan

pencarian dan merespon makna secara terus-menerus untuk menambah stimulus.

Kelengkapan pembelajaran harus dibuat untuk memuaskan semangat siswa untuk

membuat karangan baru, penemuan terbaru, juga untuk meraih kesempatan baru.

Di saat yang sama, tugas-tugas yang diberikan pun harus bermakna dan semenarik

mungkin, juga menawarkan banyak pilihan pada siswanya. Dalam pendidikan, satu

hal yang diizinkan bagi siswa adalah ketika siswa diberikan banyak pengalaman

belajar, lalu mereka diberikan waktu untuk merasakan pengalaman yang mereka

lakukan. Mereka berhak diberikan kesempatan untuk menanggapi segala

sesuatunya, untuk melihat keterkaitan yang satu dengan yang lain.

4. Pencarian makna terjadi dengan "berpola." Berpola disini lebih dimaksudkan pada

pengorganisasian dan pengkategorian dari informasi. Otak menolak pola

mengagumkan dari sesuatu yang tanpa makna. Saat kemampuan alamiah otak

mengintegrasikan informasi lalu diingatkan dalam pembelajaran, aktivitas dan

25 http://www.cainelearning.com/files/Learning.html, An understanding of learning based on theCaines' renowned 12 brain/mind learning principles, (diakses 15 Januari 2013).

Page 32: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

29

informasi yang terjadi secara acak dapat ditampilkan dan diasimilasi. Otak

mencoba untuk membuat pengertian dari informasi dengan mengurangi kata-kata

acak yang tidak berhubungan dengan suatu pola yang lebih familiar.

5. Emosi merupakan salah satu bagian penting dalam pembentukan pola. Dalam

otak, kita tidak bisa memisahkan emosi dengan kemampuan otak dalam berpikir

secara kognitif, karena kedua hal tersebut merupakan faktor yang saling

berhubungan. Emosi merupakan sesuatu hal yang membuat kita lebih

bersemangat untuk belajar, untuk membuat sesuatu.

6. Setiap otak, secara simultan mengamati dan membangun suatu informasi mulai

dari bagian-bagian terkecil, hingga keseluruhan bagian. Dalam pembelajaran,

penting untuk melibatkan kedua belahan hemisfer pada otak secara bersamaan.

7. Belajar melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi sekitar. Setiap anak

belajar dari segala hal. Oleh karena itu, keadaan sekeliling menjadi sangat penting.

Jika mereka mempelajari sesuatu di dalam kelas dan tidak pernah

menggunakannya di luar kelas, lalu proses belajar yang mereka lakukan, setiap

hubungan yang terjalin dalam otak mereka, akan berhenti di kondisi tersebut.

8. Belajar selalu melibatkan proses yang terjadi secara langsung dan tidak langsung.

Kita belajar lebih banyak dari segala sesuatu yang secara langsung dapat kita

pahami. Banyak komponen-komponen belajar yang diterima dari lingkungan

sekeliling kita dan langsung masuk ke dalam otak kita tanpa kita sadari dan

langsung berinteraksi dengan level proses belajar secara tidak langsung. Proses

pembelajaran yang aktif mengizinkan siswa untuk meninjau bagaimana dan hal

apa saja yang telah mereka serap, jadi mereka dapat memulai untuk memberi

petunjuk mengenai pembelajaran yang mereka lakukan dan perkembangan

tentang hal-hal apa saja yang telah mereka pahami.

9. Kita memiliki paling sedikit dua tipe memori sistem memori spatial dan satu

pasang sistem untuk pembelajaran hafalan. Sistem memori spatial/sistem

autobiografi tidak membutuhkan latihan dan izin untuk melakukan percobaan dari

memory instan. Pada tingkatan dari sistem memori, segala sesuatu dipelajari

Page 33: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

30

dengan cara dihafal. Kita mengingat segala informasi, tetapi bukan berarti kita

dapat menggunakan segala informasi yang kita terima. Saat kita melakukan

percobaan baru yang menstimulus otak siswa untuk mencari makna dari

pembelajaran yang sedang dilakukan, maka akan tumbuh hubungan baru pada sel-

sel otak. Pada proses belajar berarti informasi-informasi yang didapat saling

berhubungan dan dihubungkan dengan si pembelajar. Saat belajar, informasi-

informasi yang diterima perlu diulang dan lebih mudah jika kita mulai dari

gambaran keseluruhan lalu menyusun bagian-bagian kecil konsep agar seluruh

bagiannya dapat dipelajari dengan baik.

10. Otak mengerti dan mengingat dengan sangat baik saat fakta/kenyataan

ditanamkan pada sistem memory spatial. Solusinya adalah menanam tingkatan

pembelajaran dengan menempatkan si pembelajar pada lingkungan belajar seperti

dunia sungguhan/nyata, meminimalkan ancaman, dan memberikan banyak

kesempatan.

11. Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak kesempatan dan dilarang adanya

ancaman. Belajar akan terjadi secara optimum, saat otak dikondisikan pada

keadaan "waspada yang rileks." Selain itu, ritme/pola hidup kita juga ikut

berpengaruh pada cara belajar yang kita lakukan.

12. Setiap otak itu unik. Hal ini terlihat dari gaya belajar dan cara seseorang

menyimpan informasi dalam sebuah pola. Setiap individu mungkin saja memiliki

banyak kesamaan, tapi sebenarnya mereka sungguh berbeda.

Selain prinsip yang diajukan oleh Caine dan Caine di atas, riset menunjukkan

bahwa otak mengembangkan lima sistem pembelajaran. Given menjelaskan kelima

kerangka ini sebagai berikut.26

1. Sistem Pembelajaran emosional

Guru perlu menciptakan iklim kelas yang nyaman dan kondusif bagi keamanan

emosional dan hubungan pribadi siswa. Guru berfungsi sebagai mentor yang

membantu siswa menemukan hasrat untuk belajar. Ini harus didukung dengan

26 Barbara K. Given, op.cit, hh. 59 - 69

Page 34: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

31

membuat pembelajaran yang menarik, relevan, berkaitan, dan bisa dicapai, yakni

mampu menyelesaikan tugas secara mandiri ataupun dibantu guru dan rekan.

2. Sistem Pembelajaran Sosial

Ini merupakan kecenderuangan alamiah untuk menjadi bagian dari kelompok.

Guru perlu menerima perbedaan sebagai kelebihan siswa, memberi penghargaan

dan perhatian kepada siswa. Guru berkolaborasi dengan siswa sebagai mitra

setara, alih-alih sebagai gudang informasi yang menyimpan dan membagi

jawaban.

3. Sistem Pembelajaran Kognitif

Sistem ini berhubungan dengan membaca, menulis, berhitung, dan semua aspek

lain dalam pengembangan kecakapan akademis. Menurut pandangan neurosains

kognitif, guru lebih berperan sebagai fasilitator pembelajaran, sementara siswa

berperan sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata. Konsep

menghapal informasi, juga tidak sesuai dengan neurosains, terutama jika tidak

terdapat keterkaitan antara informasi baru dengan apa yang sudah diketahui

siswa.

4. Sistem Pembelajaran Fisik

Pembelajaran memiliki kecenderungan siswa untuk terlibat aktif dalam banyak hal.

Sistem pembelajaran fisik tugas akademis yang menantang mirip olahraga, dengan

guru melatih, emngilhami, dam mendukung partisipasi aktif siswa.

5. Sistem Pembelajaran Reflektif

Sistem ini melibatkan pertimbangan pribadi terhadap pembelajarannya sendiri. Ia

menimbang-nimbang prestasi dan kegagalannya, mana yang berhasil atau tidak,

dan mana yang perlu ditingkatkan. Ketika guru merencanakan pembelajaran dan

mengajarkannya, mereka harus mempertimbangan semua sistem pembelajaran,

karena setiap sistem sangat penting bagi keseluruhan dan tidak dapat diabaikan

tanpa mengganggu lainnya.

Page 35: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

32

K. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran

Cognitive Neuroscience mulai diperkenalkan dalam bidang pendidikan dengan

adanya paradigma brain-based learning (PBL – Pembelajaran Berbasis Otak). Dalam

pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, melibatkan pembelajar secara penuh, di

mana pola pembelajaran diubah dari rileks menjadi pola pembelajaran aktif sehingga

setiap simpul-simpul dalam otak dapat memainkan perannya secara utuh.27 Model

pembelajaran ini diyakini juga secara langsung berperan terhadap proses pengkayaan

(enrichment) otak. Adanya pengalaman-pengalaman baru mampu merangsang

pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak.

Lima kunci dalam proses pengkayaan otak ini adalah:

1. Memberikan stimulus baru.

2. Stimulus yang diberikan harus bersifat menantang.

3. Stimulus yang diberikan harus koheren dan bermakna.

4. Pembelajaran terjadi sepanjang waktu.

5. Harus ada sebuah cara bagi otak untuk belajar dari stimuli baru yang menantang

dan menimbulkan umpan balik.

Oleh karenanya, dalam pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, perlu

dilaksanakan tahapan kemampuan sebagai berikut: (1) Pra-perencanaan, (2) Persiapan,

(3) Inisiasi dan akuisisi, (4) Elaborasi, (5) Memasukkan memori, (6) Verivikasi dan

pengecekan keyakinan, dan (7) Pengkayaan dan integrasi.

Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan (dalam Kushartanti) adalah: 1)

Bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat, menyeluruh, dan

efisien; 2) Bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah, dan 3)

Bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide. 28

Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak

secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.

27 Diana S. Mandar, op.cit, h. 374.28 Wara Kushartanti, “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di TK”, disampaikan

dalam dies natalis UNY ke 40, (Yogyakarta: UNY), hh. 18-21.

Page 36: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

33

Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi otak dalam kegiatan

pembelajaran adalah sebagai berikut:29

1. Penggunaan berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang berbeda

merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun

kanan, rasional maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna,

bentuk, tekstur, dan suara sangat dianjurkan.

2. Menciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya

endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps.

Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf

menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan

aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh

suasana gembira akan mempengaruhi cara ota dalam memproses, menyimpan,

dan mengambil kembali informasi.

3. Mengkondisikan otak untuk waspada sekaligus relaks. Hal ini dapat dilakukan

dengan musik yang menenangkan dan latihan pernapasan yang dapat

menghilangkan pikiran yang mengganggu. Musik juga dapat mengaktifkan otak

kanan untuk siaga menerima informasi dan membantu memindahkan informasi

tersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada

merupakan pintu masuk bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi

musik, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan lebih

cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.

4. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah

pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan.

5. Asupan oksigen yang cukup. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel

saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat

kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi

sumber oksigen.

29 Wara Kushartanti, op.cit, hh. 18-21.

Page 37: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

34

6. Belajar melalui praktik, sehingga melibatkan banyak indra sehingga memori akan

lebih mantap. Selain itu, karena tiap orang memiliki dominasi indra yang berbeda,

melibatkan banyak indra akan menyentuh dominasi tersebut dan meningkatkan

optimalisasi otak.

Di Indonesia sendiri, para guru telah disarankan menggunakan berbagai

metode yang dapat memaksimalkan kemampuan otak anak. Bisa dibilang, guru di

Indonesia telah menerapkan neurosains kognitif dalam pembelajaran yang dilakukan,

sekalipun paradigm yang melatarbelakanginya belumlah diketahui jelas oleh guru yang

bersangkutan. Contohnya penerapannya adalah sebagai berikut:

1. Dalam pembuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), guru diminta untuk

melaksanakan tahapan pembelajaran di kelas dengan adanya kegiatan-kegiatan

pendahuluan, inti, dan penutup. Di mana di dalam ketiga tahapan ini terdapat pula

kegiatan elaborasi dan refleksi.

2. Guru semakin menyadari pentingnya penggunaan berbagai metode pembelajaran

dan penggunaan media yang berbeda dalam setiap pertemuan. Termasuk model

pembelajaran berkelompok yang mementingkan keaktifan siswa.

3. Paradigma guru yang kini ditanamkan bukanlah sebagai satu-satunya sumber

kebenaran. SIswa justru diharapkan aktif mencari berbagai sumber belajar,

sehingga membutuhkan pemikiran yang lebih.

4. Pentingnya pembentukan suasana belajar yang menyenangkan semakin disadari,

sehingga pelaksanaan pembelajaran di kelas tidaklah menakutkan atau

membosankan, namun dibentuk agar relaks dan menyenangkan. Dengan semakin

banyaknya penelitian mengenai neurosains kognitif, semakin penting pula

penerapannya dalam pendidikan, sehingga meningkatkan proses dan hasil

pembelajaran.

Page 38: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

35

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Neurosains kognitif ini merupakan bidang studi yang menghubungkan otak dan

aspek-aspek lain sistem syaraf, khususnya otak dengan pemrosesan kognitif, dan

akhirnya dengan perilaku.

Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang mengontrol langsung

pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap

organ-organ tubuh yang lain. Sementara sistem saraf, merupakan dasar bagi

kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia

sekitar. Melalui sistem ini, manusia menerima, memroses, dan merespon informasi dari

lingkungan. Terdapat beberapa metode dalam mempelajari otak manusia. Sternberg

menjelaskan lima metode, yakni: (1) studi post mortem, (2) studi terhadap hewan, (3)

rekaman-rekaman listrik, (4) teknik pencitraan statis, dan (5) Pencitraan metabolis.

Cognitive Neuroscience ini sebenarnya merupakan penerapan neurosains

dalam psikologi kognitif. Studi ini mengkaji otak sekaligus mempelajari mental. Bisa

dibilang merupakan cara baru dalam mempelajarai psikologi kognitif. Studi ini

memetakan wilayah-wilayah spesifik di otak beserta fungsinya, dan mengkaitkannya

dengan proses kognitif. Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara

ilmiah substrat biologis dibalik kognisi, dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari

proses mental.

Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis

otak menurut Caine dan Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami.

Prinsip ini menjadi dasar bagi brain-based learning yang banyak berkembang kini.

Kedua belas prinsip tersebut disajikan sebagai berikut: (1) Otak merupakan processor

parallel, (2) Belajar melibatkan seluruh fisiologi tubuh, (3) Pencarian makna dilakukan

secara innate, (4) Pencarian makna terjadi dengan "berpola.", (5) Emosi merupakan

35

Page 39: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

36

salah satu bagian penting dalam pembentukan pola, (6) Setiap otak, secara simultan

mengamati dan membangun suatu informasi mulai dari bagian-bagian terkecil, hingga

keseluruhan bagian, (7) Belajar melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi

sekitar, (8) Belajar selalu melibatkan proses yang terjadi secara langsung dan tidak

langsung, (9) Kita memiliki paling sedikit dua tipe memori sistem memori spatial dan

satu pasang sistem untuk pembelajaran hafalan, (10) Otak mengerti dan mengingat

dengan sangat baik saat fakta/kenyataan ditanamkan pada sistem memory spatial, (11)

Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak kesempatan dan dilarang adanya

ancaman, dan (12) Setiap otak itu unik.

Cognitive Neuroscience mulai diperkenalkan dalam bidang pendidikan dengan

adanya paradigma brain-based learning (PBL – Pembelajaran Berbasis Otak). Dalam

pembelajaran berbasis kemampuan otak ini, melibatkan pembelajar secara penuh, di

mana pola pembelajaran diubah dari rileks menjadi pola pembelajaran aktif sehingga

setiap simpul-simpul dalam otak dapat memainkan perannya secara utuh.

Adanya pengalaman-pengalaman baru mampu merangsang pertumbuhan dan

perkembangan sel-sel otak. Lima kunci dalam proses pengkayaan otak ini adalah: (1)

Memberikan stimulus baru, (2) Stimulus yang diberikan harus bersifat menantang, (3)

Stimulus yang diberikan harus koheren dan bermakna, (4) Pembelajaran terjadi

sepanjang waktu, dan (5) Harus ada sebuah cara bagi otak untuk belajar dari stimuli

baru yang menantang dan menimbulkan umpan balik.

B. Rekomendasi

Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak

secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.

Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi otak dalam kegiatan

pembelajaran adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang berbeda

merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun

Page 40: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

37

kanan, rasional maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna,

bentuk, tekstur, dan suara sangat dianjurkan.

2. Menciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya

endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps.

Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf

menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan

aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh

suasana gembira akan mempengaruhi cara ota dalam memproses, menyimpan,

dan mengambil kembali informasi.

3. Mengkondisikan otak untuk waspada sekaligus relaks. Hal ini dapat dilakukan

dengan musik yang menenangkan dan latihan pernapasan yang dapat

menghilangkan pikiran yang mengganggu. Musik juga dapat mengaktifkan otak

kanan untuk siaga menerima informasi dan membantu memindahkan informasi

tersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada

merupakan pintu masuk bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi

musik, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan lebih

cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.

4. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah

pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan.

5. Asupan oksigen yang cukup. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel

saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat

kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi

sumber oksigen.

6. Belajar melalui praktik, sehingga melibatkan banyak indra sehingga memori akan

lebih mantap. Selain itu, karena tiap orang memiliki dominasi indra yang berbeda,

melibatkan banyak indra akan menyentuh dominasi tersebut dan meningkatkan

optimalisasi otak.

Page 41: Cognitive Neuroscience dan Implementasinya dalam Pembelajaran

38

DAFTAR PUSTAKA

Barbara K. Given. Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yangMelibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2. Penj.Lala Herawati Dharma. Bandung: Mizan Pustaka. 2007.

Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. “Learning Styles and Pedagogy In Post-16Learning: A Systematic And Critical Review”, (Report No. 041543). London: Learningand Skills Research Centre. 2004.

Diana S. Mandar. “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”. ProsidingSnaPP2011 Sains, Teknologi, dan Kesehatan.Vol 2 No 1 tahun 2011.

Gazzaniga, et.al. Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind. New York: Norton, 2002.

http://www.cainelearning.com/files/Learning.html. An understanding of learning based onthe Caines' renowned 12 brain/mind learning principles. (diakses 15 Januari 2013).

http://en.wikipedia.org/wiki/Korsakoff%27s_syndrome. (diakses 15 Januari 2013).

Lusi Nur Ardhiani. Psikologi Kognitif. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar UniversitasMercubuana. 2011,

Paul Howard-Jones, et.al. Neuroscience and Education: Research and Opportunities.London: TLRP & ESRC. 2012.

Robert J. Sternberg. Cognitive Psychologi, 4th Edition. Belmont: Wadsworth, CengageLearning. 2008.

S.J. Pickering dan Joward-Jones. “Educator’s View of the Role of Neuroscience InEducation:A Study of UK and International Perspective”. Mind, Brain and Education, Vol 1.

Taufik Pasiak. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk KesuksesanHidup. Bandung: Mizan. 2006.

Wara Kushartanti. “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di TK”,disampaikan dalam dies natalis UNY ke 40. Yogyakarta: UNY.

Wilson, R.S. “Mental Challange in the Workplace and Risk of Dementia in Old Age: Is There aConnection?”. Occupational and Environmental Medicine vol 62.