patofisiologi.docx

Upload: atha-samansa-momot-lagu

Post on 09-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

document ini berisi tentang patofisologi

TRANSCRIPT

PATOFISIOLOGIUnit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktuspengumpul. Dalam keadaan normalalirandarah ginjal danlaju filtrasiglomerolus relatifkonstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah (9): Reseptor regangan miogenik dalamotot polos vascular arteriol aferen Timbal balik tubuloglomerular.Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi otoregulasi. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Pra RenalPada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang mengaktivasi baroreseptor kardiovaskularyang selanjutnya mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotendin-II dan ET-1. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut pre renal atau acute kidney injury fungsional belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACE inhibitor, NSAID terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Renal Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan tubularKelainan vaskular Pada kelainan vaskular terjadi:1. Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.2. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal yang mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.3. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2007)

Kelainan TubularPada kelainan tubular terjadi:1. Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sostolik phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimalis serta terjadi pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan tubuloglomerular.2. Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase, caspases, dan metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.3. Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik, mikrovili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.4. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler.Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan LFG. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Post RenalMerupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal disebabkan oleh obstruksi intrarenal dan ekstra renal. (Sudoyo dkk, 2007)Obstruksi intrarenal Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (mioglobin dan hemoglobin) (Sudoyo dkk, 2007)Obstruksi ekstrarenal Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). (Sudoyo dkk, 2007)AKIpost-renal terjadibila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli dan ureter bilateral, atau obstruksipada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 danA-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik,ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50%dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadipengeluaranmediatorinflamasi danfaktor-faktorpertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)2.6 PENDEKATAN DIAGNOSISAnamnesisPada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada penyakit ginjal kronik (PGK). Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. (Kasper et al, 2005) Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.

Pemeriksaan KlinisPetunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan urine output dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, ACE inhibitor dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom. (Sudoyo dkk, 2007)

Pemeriksaan PenunjangDari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI.Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%. (Schrier, Poole, Mitra; 2004)Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. (Kasper et al, 2005)Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain. (Kasper et al, 2005)

Peranan Penanda BiologisBeberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain:1) Sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat2) Tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau tubulus)3) Tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan.Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat ditangkap oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG). (Han et al, 2008; Coca et al, 2008)Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa: IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI NGAL, IL-18, GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. (Coca et al, 2008)Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia. (Roesli, 2007)2.7 PENATALAKSANAAN1. Terapi nutrisiKebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan DopaminDalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sjabani, 2008).Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).

Komplikasi dan PenatalaksananPengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)

TERAPI PENGGANTI GINJALYang dimaksud Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk menggantikan fungsi ginjal penderita yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan (dialisis/hemofiltrasi). Pada TPG seperti dialysis atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi eksokrin dan fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun integritas tulang tidak dapat digantikan oleh jenis terapi ini. Indikasi TPG pada penderita gagal ginjal akut sangat berbeda bila dibandingkan dengan indikasinya pada gagal ginjal terminal. Indikasi TPG pada gagal ginjal akut adalah untuk mempertahankan homeostasis tubuh (live or organ saving) dengan melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostasis yang terjadi, disamping dapat menghindari terjadinya overhidrasi akibat pengobatan. Sedangkan pada gagal ginjal terminal adalah untuk menggantikan fungsi ginjal secara permanent. Dibawah ini daftar indikasi TPG untuk penderita gagal ginjal akut:Kriteria awal untuk pasien kritis dewasa yang memerlukan terapi pengganti ginjal: Oliguria (output urin 200ml/12 jam) Anuria (output urin 6,5 mmol/L) Asidemia berat (pH 30 mmol/L) Organ signifikan (edema paru) Ensefalopati uremia Perikarditis uremia Neuropati/miopati uremia Disnatremia berat (Na >160 atau 200 mg % ; kalium < 6 mEq/ L ; HCO3 < 10-15 mEq/ L ; pH < 7,1Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknis lebih sederhana, cukup aman, serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan disetiap rumah sakit.

Filtrasi (CRRT) prinsip dasarnya adalah filtrasi/konveksi, dibutuhkan cairan substitusi. CRRT merupakan terapi penggati ginjal yang berkesinambungan. Prinsip dasar CRRTMembuang (translokasi) zat- zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh. Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solute), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat peralutnya yaitu air atau serum darah (solution). Di dalam proses CRRT tranlokasi terjadi di dalam ginjal buatan (dialyzer), yang terdiri dari 2 kompartemen atau ruangan, yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisa. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semipermeabel. Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans membran pressure (TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan dialisat dialirkan ke kompartemen dialisat. Translokasi dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.

2.8 PROGNOSISKematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal ginjal itu sendiri. Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat gagal organ lain. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30%-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal napas 10%, dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya.( Price & Wilson. 2005)