patofisiologi tetanus.docx

14
PATOFISIOLOGI TETANUS Disusun oleh : Vilma Swari 030.08.251 Pembimbing Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi Periode 10 Juni 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

Upload: liany-agnes

Post on 12-Jul-2016

25 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

PATOFISIOLOGI

TETANUS

Disusun oleh :

Vilma Swari 030.08.251

Pembimbing

Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Bekasi

Periode 10 Juni 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

Page 2: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi saya hikmat dan

berkat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya

saya tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan

Anak RSUD Bekasi Program Studi Kedokteran Universitas Trisakti.

Saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing,

khususnya Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A, yang telah membimbing dalam melaksanakan

kepaniteraan dan menyusun makalah ini.

Saya menyadari dalam makalah ini tentu masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saya

memohon saran dan kritiknya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta

menambah wawasan kepada pembaca.

Terima kasih.

Jakarta, Juni 2013

Penyusun

Page 3: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

TETANUS

Pendahuluan

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan

kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi

pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan

tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula. Di

negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah

sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di

sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah.

Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot

dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk

didalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata, dan gangguan neurologis lokal.

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob murni. Spora

C.tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini

terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptik, pemanasan 100˚C, dan bahkan pada

autoclave 120˚C selama 15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbeda, spora ini tidak jarang

ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing, dan kucing. Toksin diproduksi

oleh vegetatifnya.

Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif

bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini

dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah

tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal

dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor

endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf

tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi

Page 4: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga

mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi

eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada

otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang

makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang.

Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum

yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi

gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran

kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,

hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang

dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan

diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf

otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.

Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan

kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat

hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat,

dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi,

masa inkubasi makin panjang.

Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung

hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah

baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :

- Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala

awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga

mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus

masih berlangsung.

- Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus).

Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi

mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar

ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus),

karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.

Page 5: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan

tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang.

(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit

bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah

dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan

dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

- Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang

refleks. Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini

bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar.

Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya

berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi

yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat

menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang

belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti

karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan

saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan

penderita tidak dapat menelan.

Secara klinis, tetanus dibedakan atas :

1) Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini

dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat

berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.

2) Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak,

trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat

terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai

kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang

karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut

menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan

opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan

ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.

Page 6: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

3) Tetanus sefalik

Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala,

wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini

mempunyai prognosis buruk.

4) Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal

apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu

yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat

yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan,

dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu

pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spasme merupakan

gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan

retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik karena

pemeriksaan C.tetani belum tentu berhasil.

- Anamnesis

Kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman, trismus, risus sardonikus,

kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan, atau kejang tanpa penurunan

kesadaran.

Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali

pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK),

atau gangren gigi.

Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.

- Pemeriksaan fisik

Adanya kekakuan lokal atau trismus.

Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.

Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit.

Page 7: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

Tonus otot Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf SimpatisGangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihanpada tetanus -Hipertermi

-Hipotermi-Aritmia-Takikardi

Hipoksia berat

O2 di otak

Kesadaran

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan

-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas Verbal -Kurangnya pengetahuan

Ortu-Dx,Prognosa, Perawatan

Pengelolaan

Terapi dasar tetanus :

1. Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi

·        Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau

·        Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam

Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.

2. Imunisasi aktif-pasif

·        Anti tetanus serum (ATS) Antitoksin 20.000 iu/1.m/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan

setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas., diberikan intramuskular. Untuk

neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus

immunoglobulin (HTIG)   3000-6000 IU i.m.

Terpapar kuman Clostridium

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum Tulang Belakang Otak Saraf Otonom

Hilangnya keseimbangan tonus otot

Kekakuan otot

Sistem Sistem Pernafasan

Page 8: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

3. Anti konvulsi

Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik

(titrasi) :

·        Bila datang dengan kejang diberi diazepam :

-       neonatus bolus 5 mg iv

-       anak bolus 10 mg iv

·        Dosis rumatan maximal :

-       anak 240 mg/hari

-       neonatus 120 mg/hari

·        Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat,

bilamana ada gangguan saraf otonom.

4. Perawatan luka

Dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan

spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.

Terapi suportif

Bebaskan jalan nafas

Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi

pasien)

Pemberian oksigen

Perawatan dengan stimulasi minimal

Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak

memperkuat kejang

Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum

Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Pencegahan

1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk adanya

jaringan mati dan nanah.

2. Pemberian ATS profilaksis.

3. Imunisasi aktif.

4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu

persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali

pusat.

Page 9: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan

lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan

lanjutan.

Monitoring

I.  Sekuele

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung

lebih lama.

Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.

Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung

selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang

Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak

mengganggu tumbuh kembang anak.

Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh

karena hipoksia yang berat.

 

Page 10: PATOFISIOLOGI tetanus.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from

: www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc.

2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from :

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15.

3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from :

www.pediatrik.com.

4. Silalahi, L., 2004. Tetanus. Available from : www.tempointeraktif.com.

5. Tami, 2005. Tetanus, Infeksi yang Mematikan. Available from :

www.jilbab.or.id/content/view/456/36/.

6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan

Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.