patofisiologi peritonsiler abses

6
7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 1/6 PATOFISIOLOGI Patofisiologi peritonsillar abses belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang  paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yangsebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga  permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitiskronis atau  berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut  berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation) 1 . Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrinedan jarum besar (berukuran 16  – 18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Upload: dewa-ayu-ratna-mahaprawitasari

Post on 29-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 1/6

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi peritonsillar abses belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang

 paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama

menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yangsebenarnya (frank abscess

formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena

itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga

tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,

namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga

 permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna

kekuning-kuningan.

Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,uvula bengkak dan terdorong ke sisi

kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan

iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga

dapat terjadi aspirasi ke paru.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitiskronis atau

 berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari

infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang

hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut

 berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang

sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.

Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck 

mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle

inflammation)1.

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).Tempat aspiration

dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrinedan jarum besar (berukuran 16 – 

18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah

(purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 2/6

 

Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan)

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan7:

1.Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit(electrolyte level

measurement), dan kultur darah (blood cultures).

2.Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan

 bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan

evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita

dengan hepatomegaly.

3.“Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang

infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk 

mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

4.Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissueviews) dari nasopharynx

dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 3/6

5.Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex

tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan“peripheral rim enhancement”. 

6.Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2:

1.Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.

2.Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian

dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

3.Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,

meningitis, dan abses otak. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA

diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.Untuk itulah

diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

DIAGNOSIS BANDING

Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurismaarteri karotis interna,

infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksigigi, dan adenitis tonsil2,8,9

.

TERAPI

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-

kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah

 penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin

3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk 

mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral

incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di

lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-

gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesialokal di

ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila  

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 4/6

tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a”tiede, dan bila

tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya

tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses2.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris

 berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai

kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi

dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6 – 8 minggu

kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi

menganjurkan tonsilektomi segera10

.

Gambar 3. Tonsilektomi

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek 

mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik 

 parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours

hospitalized ), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan

kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 5/6

PROGNOSIS

Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka ditunda

sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat

 jeringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

7/14/2019 PATOFISIOLOGI peritonsiler abses

http://slidepdf.com/reader/full/patofisiologi-peritonsiler-abses 6/6

 

DAFTAR PUSTAKA

1.Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring . Dalam:Boies, Buku Ajar 

Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.

2.Fachruddin, darnila. 2006.Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-

Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI,Jakarta.

3.Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar IlmuKesehatan Telinga, Hidung

dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.

4.Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from.www.emedicine.com. Accessed at

Juli 2007.

5.Adrianto, Petrus. 1986. Pen yakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 2 96, 308-09.

EGC, Jakarta.

6.Bailey, Byron J, MD.Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :Head and Neck Surgey Otolaryngology2

ndEdition. Lippincott_RavenPublisher.Philadelphia. P :1224, 1233-34.

7.Anurogo, Dito. 2008.Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil .

Accessed:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248.

8.Preston,M.2008. Peritonsillar Abscess

(Quinsy).accessed:http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/.

9.STEYER, T. E. 2002.Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment .accessed:

http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.