pasangan dalam pewayangan jawa
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sejarah Pewayangan
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi
seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat,
dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari
zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan,
hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli
sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum
agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di
masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu
Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak
mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan
falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.
Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari
salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang
bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh punakawan dalam
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak
ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap
makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Hazeau menunjukkan
keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian
wayang dalam disertasi Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir)
4
dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud
tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
1. Asal Usul Wayang
Ada dua pendapat mengenai asal usul wayang. Pertama, pendapat
bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para
peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian
sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk
kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan
yang dikemukakan antara lain, bahwa seni wayang masih amat erat
kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Punakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,
yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan
Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan
bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India,
yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara
lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers.
Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa
yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe-
wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau
Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya
pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012),
yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para
pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan
raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab
5
Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga
Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke
bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali
dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu
Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk
pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan
cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan
Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu
Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai
ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang
dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa-
yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Sri Mulyono dalam
bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979),
memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-
kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan
Robert von Heine-Geldern, Prehistoric Research in the Netherland Indie
(1945) dan tulisan K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang
Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara
dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton
hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh
pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh
seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis
seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu
diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman
Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk
pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji;
6
yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan
sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian
lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di
antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para
raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga
memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep
religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman
Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang
disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk
pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman
itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,
termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus
berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya,
mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar
cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu
masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh
keluar dari cerita pakem.
Begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa
Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang,
legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah
Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa
pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau
Jawa.
B. Kedudukan Wanita dalam Pewayangan
Sumber cerita wayang purwa adalah epos Ramayana dan Mahabarata,
kedua sumber cerita tersebut berawal dari agama Hindu. Hal itu terbukti dari
adanya tokoh para dewa sebagai penguasa tokoh lainnya. Bahkan raja di jawa
7
masih dianggap keturunan dewa. Menurut sejarah panengen (dipengaruhi
Islam) raja-raja di tanah Jawa merupakan keturunan nabi.
Kedua agama Hindu maupun Islam bersifat patriarkhat, dimana hak dan
kedudukan wanita ada dibawah laki-laki. Sehingga dalam pewayangan
kedudukan wanita tertinggi hanya sebatas permaisuri. Kewajiban utama kaum
wanita adalah kesetiaannya dalam mendampingi dan melayani suami, serta
mengasuh anak-anaknya.
1. Emansipasi Wanita
Emansipasi wanita dalam dunia pewayangan amat kurang dan
hampir tidak tampak serta lebih didominasi kepentingan kaum laki-laki.
Sebagai bukti ketika Pandawa dan Kurawa berguru kepada Pandhita
Durna, Dewi Lesmanawati yang merupakan anak Raja Duryudana tidak
diikutkan berguru.
Tokoh wanita dalam pewayangan yang mau belajar serta memiliki
kepandaian serta keahlian menggunakan senjata sangat terbatas. Salah
satunya adalah Dewi Wara Srikandhi yang belajar memanah kepada
Arjuna (akhirnya menjadi suami-isteri). Meskipun proses Srikandhi
mencari ilmu mendapat kritikan gencar dari Dewi Drupadi. Srikandhi juga
berani menolak cinta Prabu Jangkungmardeya karena telah memiliki
pilihannya sendiri (Arjuna).
Dewi Kunthi selain amat setia dan berbakti kepada suami dan
anak-anak, juga senang berguru dan mencari ilmu kepada Resi Druwasa.
Begitu pula Dewi Wara Sembadra (istri Arjuna) juga memiliki ilmu
keselamatan diri gendam kemayan “mengubah ingatan lawan”.
Dunia pewayangan berisi beraneka ragam gambaran hidup dan
kehidupan manusia. Masalah emansipasai wanita dalam dunia
pewayangan relatif terbatas pada kepandaian dalam mencari ilmu lahir dan
batin; arif dan bijaksana dalam mendampingi suami, mengurus putra-putri,
mengurusi kebutuhan rumah tangga. Emansipasi dalam hal arta kekayaan,
8
pekerjaan, dan wirya atau pangkat, derajat, kedudukan, pemimpin kurang
mendapatkan perhatian. (Imam Sutardjo, 2006)
C. Pasangan Kamajaya-Kamaratih
1. Kamajaya
Sang Hyang Kamajaya adalah anak Semar (Hyang Ismaya). Ia
digambarkan sebagai Dewa cinta dan berparas elok. Kamajaya beristrikan
Dewi Kamaratih, putri Sang Hyang Resi Soma. Dewi ini sebangsa
bidadari yang sangat cantiknya. Kamajaya dan Kamaratih tak pernah
terpisahkan.
Dewa dan Dewi ini senantiasa menjaga keselamatan umat manusia
di dunia ini, terutama keluarga Pendawa. Kamajaya malahan disebut juga
Dewanya Arjuna, oleh karena ia sangat sayang pada Arjuna. Di dalam
Lakon Cekel Indralaya, Arjuna menjadi pendeta dan Kamajaya datang ke
Dwarawati menyamar sebagai Arjuna untuk menentang Kurawa yang akan
datang menggoda Dewi Wara Sembadra, istri Arjuna.
Menurut kepercayaan orang Jawa, pada waktu seorang wanita
hamil untuk pertama kalinya dan diadakan selamatan hamil tujuh bulan
(Jawa: mitoni), maka disajikan juga sebuah kelapa gading yang digambar
Kamajaya dan Kamaratih dengan harapan semoga mendapat berkah dari
Dewa dan Dewi tersebut. Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan
istri berusia 7 bulan), kelapa muda yg hendak dipecahkan ayah calon bayi
sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari
buah cinta.
Sang Hyang Kamajaya bermata jaitan, berhidung mancung, dan
bergigi hitam karena sisik. Berpakaian seperti Dewa, tapi pada bagian
kepala tampak sebagai ksatria. Dia bersemayam di Cakrakembang tempat
tersendiri bagi Kamajaya dan Kamaratih.
9
Gambar 1 Batara Kamajaya
2. Kamaratih
Dewi Kamaratih atau Ratih adalah dewi cinta dalam
kepercayaan Hindu Jawa kuna. Ia adalah anak perempuan Daksha dan
istri batara Kamajaya.
Ketika suaminya terbakar api dari mata ke tiga Batara Guru, ia
meminta Batara Guru untuk membunuh dirinya sekalian, sebagai wujud
kesetiaannya kepada Batara Kamajaya. Ia adalah Dewi yang sangat cantik,
sehingga muncul kepercayaan di masyarakat agar melukiskan Dewi
Kamaratih pada kelapa muda sewaktu upacara Mitoni, sehingga apabila
nanti anak yang lahir adalah perempuan, ia akan secantik Kamaratih.
Gambar 2 Dewi Kamaratih
3. Kisah Kamajaya-Kamaratih
Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta dan istrinya bernama Dewi
Kamaratih. Batara Kamajaya sendiri putra dari Semar dan Dewi Sanggani
10
Putri. Batara Kamajaya dan istri dalam masyarakat Jawa di simbolkan
sebagai lambang kerukunan suami istri.
Batara Kamajaya adalah salah satu di antara banyak dewa dalam
agama Hindu maupun dalam cerita wayang purwa. Ia terkenal tampan
(cakap), berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan kasih sayang kepada
isteri. Isterinya bernama Dewi Ratih tidak kalah terkenal karena cantiknya
dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan
suami isteri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga
kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.
Dalam kehidupan khususnya masyarakat Jawa, kerukunan
pasangan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih merupakan idola. Setiap
upacara pengantin Jawa, selalu diharapkan agar pasangan itu hidup rukun,
damai dan saling setia seperti pasangan Kamajaya dan Dewi Ratih.
Apabila di kemudian hari pengantin itu dikaruniai putra agar berwajah
tampan seperti Batara Kamajaya dan apabila putri agar berwajah cantik
seperti Dewi Ratih.
Salah satu karya sastra lama yang menceriterakan kisah cinta
Batara Kamajaya dan Dewi Ratih ialah Serat Smaradahana. Penulis buku
Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan
Kediri. Dalam buku itu dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya (smara =
asmara; dahana = api). Penyebab terbakarnya Batara Kamajaya adalah
mata ketiga Dewa Siwa (Batara Guru).
Ada pendapat, bahwa isi buku Smaradahana merupakan gambar
kisah cinta putera Kerajaan Daha (sebelum bernama Kediri) dengan puteri
Kerajaan Jenggala. Putera Kerajaan Daha bernama Hinu Kertapati dan
puteri Kerajaan Jenggala bernama Candra Kairana. Masyarakat Kerajaan
Daha pada waktu itu percaya bahwa Hinu Kertapati adalah penjelmaan
(titisan) Bhatara Kamajaya, sedang Candra Kairana penjelmaan Dewi
Ratih. Maka nama buku Smaradahana merupakan sindiran “Kisah cinta di
Kerajaan Daha”.
11
Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian buku
Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa
Belanda disimpan di Perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli
ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tembang
(puisi). Porbatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat
dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latin bahasa Jawa
halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun
1952. Ringkasan isi buku Smaradahana sebagai berikut:
Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya
(Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan
dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu
menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik
bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa
Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para
dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara
Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah
Batara Kamajaya ke pertapaan Batara Guru.
Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat.
Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk
membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya
melepaskan panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah
bunga adalah kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan
kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya
tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan
kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya = rindu). “Panca Wisaya” itu
berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian
kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru
timbul rasa rindu kepada Dewi Uma, permaisurinya. Setelah bangun dari
tapanya, ternyata yang ditatap di depannya adalah Batara Kamajaya.
Timbul marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang
memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu
12
memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara
Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali ke
Kahyangan.
Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar berita suaminya mati
terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama suaminya
sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat
suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya
terbakar, maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih
besar. Lambaian nyapa api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara
Kamajaya memanggil Dewi Ratih agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih
tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi
Ratih telah menyatu dengan suaminya.
Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar
bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para dewa
untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu
para Dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat
oleh Batara Kamajaya. Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru
berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan
tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena
mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki
keturunan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia). Maka
Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa
orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang
perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu
timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat
dipertahankan.
D. Pasangan Rama-Sinta
1. Rama
Dalam agama Hindu, Rama atau Ramacandra adalah seorang raja
legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman
13
Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari
Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia
merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada
zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal
dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana,
tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera
sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai
Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah
dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita,
inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan
Lawa.
Gambar 3 Rama
2. Dewi Sinta
Sita (juga dieja Shinta) adalah tokoh protagonis dalam wiracarita
Ramayana. Dalam tradisi pewayangan Jawa, Sita lebih sering dieja dengan
nama Shinta. Ia merupakan istri dari Sri Rama, tokoh utama kisah tersebut.
Menurut pandangan Hindu, Sita merupakan inkarnasi dari Laksmi, dewi
keberuntungan, istri Dewa Wisnu.
Gambar 4 Dewi Sinta atau Sita
14
3. Kisah Ramayana
Ramayana menceritakan bahwa Sita bukan putri kandung Janaka.
Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja
melakukan upacara atau yadnya di suatu area ladang antara lain dengan
cara membajak tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah
peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak
angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan.
Sita dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan
Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun
mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat
bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur
pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Sri Rama,
seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sita pun tinggal
bersama suaminya di Ayodhya, ibu kota Kosala.
Selanjutnya dikisahkan, ibu tiri Rama yang bernama Kaikeyi lebih
menginginkan putra kandungnya, yaitu Bharata yang menjadi raja
Ayodhya, bukan Rama. Kaikeyi pun mendesak Dasarata agar membuang
Rama ke hutan selama 14 tahun.
Dasarata yang terikat sumpah terpaksa menuruti permintaan istri
keduanya itu. sebagai putra yang berbakti, Rama pun menjalani keputusan
itu dengan ikhlas. Sita yang setia mengikuti perjalanan Rama, begitu pula
adik Rama yang lahir dari ibu lain, yaitu Laksmana. Ketiganya
meninggalkan istana Ayodhya untuk memulai hidup di dalam hutan.
Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rama, Sita, dan
Laksmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga
menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka.
Rahwana adalah raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka.
Pasukannya yang bertugas di Janastana habis ditumpas Rama karena
mereka gemar mengganggu kaum brahmana. Rahwana pun melakukan
pembalasan ditemani pembantunya yang bernama Marica.
15
Mula-mula Marica menyamar menjadi seekor kijang berbulu
keemasan dan menampakkan diri di depan pondok Rama. Menyaksikan
keindahan kijang tersebut, Sita menjadi tertarik dan ingin memilikinya.
Karena terus didesak, Rama akhirnya mengejar dan berusaha
menangkapnya.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rama di kejauhan. Sita pun
menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya itu. Namun Laksmana
yakin kalau kijang tersebut adalah jelmaan raksasa yang sekaligus meniru
suara jeritan Rama. Sita marah mendengar jawaban Laksmana dan
menuduh adik iparnya itu berkhianat dan memiliki maksud kurang baik.
Laksmana tersinggung mendengar tuduhan Sita. Sebelum pergi, ia
lebih dulu menciptakan pagar gaib berupa garis pelindung yang
mengelilingi pondok tempat Sita menunggu. Setelah kepergian Laksmana
muncul seorang brahmana tua yang kehausan dan minta diberi minum.
Namun ia tidak dapat memasuki pondok karena terhalang pagar gaib
Laksmana.
Sita yang merasa kasihan mengulurkan tangannya untuk memberi
minum sang brahmana tua. Tiba-tiba brahmana itu menarik lengan Sita
dan membawanya kabur. Brahmana tersebut tidak lain adalah samaran
Rahwana. Ia menggendong tubuh Sita dan membawanya terbang di udara.
Suara tangisan Sita terdengar oleh seekor burung tua bernama
Jatayu, yang bersahabat dengan Dasarata ayah Rama. Jatayu menyerang
Rahwana namun ia justru mengalami kekalahan dan terluka parah. Sita
tetap dibawa kabur oleh Rahwana namun ia sempat menjatuhkan
perhiasannya di tanah sebagai petunjuk untuk Rama.
Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota
Trikuta, Sita pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah,
bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang
bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana
Alengka, Sita selalu berdoa dan berharap Rama datang menolongnya.
16
Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia
mengaku bernama Hanoman, utusan Sri Rama. Sebagai bukti Hanoman
menyerahkan cincin milik Sita yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia
diculik Rahwana. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rama.
Hanoman membujuk Sita supaya bersedia meninggalkan Alengka
bersama dirinya. Sita menolak karena ia ingin Rama yang datang sendiri
ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rahwana dengan gagah berani.
Hanoman dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.
Berkat bantuan Sugriwa raja bangsa Wanara, serta Wibisana adik
Rahwana, Rama berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah
kematian Rahwana, Rama pun menyuruh Hanoman untuk masuk ke dalam
istana menjemput Sita. Hal ini sempat membuat Sita kecewa karena ia
berharap Rama yang datang sendiri dan melihat secara langsung tentang
keadaannya.
Setelah mandi dan bersuci, Sita menemui Rama. Rupanya Rama
merasa sangsi terhadap kesucian Sita karena istrinya itu tinggal di dalam
istana musuh dalam waktu yang cukup lama. menyadari hal itu, Sita pun
menyuruh Laksmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-
banyaknya dan membuat api unggun. Tak lama kemudian Sita melompat
ke dalam api tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan
Dewa Agni mengangkat tubuh Sita dalam keadaan hidup. Hal ini
membuktikan kesucian Sita sehingga Rama pun dengan lega menerimanya
kembali.
Setelah pulang ke Ayodhya, Rama, Sita, dan Laksmana disambut
oleh Bharata dengan upacara kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan
takhta kerajaan kepada Rama sebagai raja. Dalam pemerintahan Rama
terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian
Sita di dalam istana Rahwana.
Rama merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut. Ia
akhirnya memutuskan untuk membuang Sita yang sedang mengandung ke
17
dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sita ditolong seorang resi
bernama Walmiki dan diberi tempat tinggal.
Beberapa waktu kemudian, Sita melahirkan sepasang anak kembar
diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam asrama Resi
Walmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Ramacandra,
ayah mereka.
Suatu ketika Rama mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat
dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang
menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya dahulu. Rama pun
menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut yang tidak lain adalah Lawa
dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.
Versi Ramayana di atas cukup berbeda jika dibandingkan dengan
kisah dalam pewayangan, terutama yang berkembang di Jawa. Dalam
versi ini, Sita disebut dengan gelar lengkap Rakyan Wara Sinta. Uniknya,
ia juga disebut sebagai putri kandung Rahwana sendiri.
Rahwana versi Jawa dikisahkan jatuh cinta kepada seorang pendeta
perempuan bernama Widawati. Namun Widawati menolak cintanya dan
memilih bunuh diri. Rahwana pun bertekad akan mencari dan menikahi
reinkarnasi Widawati.
Atas petunjuk gurunya yang bernama Resi Maruta, Rahwana
mengetahui kalau Widawati akan menitis sebagai putrinya sendiri. Namun
ketika istrinya yang bernama Dewi Kanung melahirkan, Rahwana pergi
untuk memperluas jajahan. Bayi perempuan yang dilahirkan Kanung pun
diambil Wibisana untuk dibuang di sungai dalam sebuah peti. Wibisana
kemudian menukar bayi tersebut dengan bayi laki-laki yang diciptakannya
dari mega di langit. Bayi laki-laki tersebut akhirnya diakui Rahwana
sebagai anaknya, dan kelak terkenal dengan nama Indrajit.
Sementara itu bayi perempuan yang dibuang Wibisana terbawa
aliran sungai sampai ke wilayah Kerajaan Mantili. Raja negeri tersebut
yang bernama Janaka memungut dan menjadikannya putri angkat, dengan
nama Sinta.
18
Kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu
perkawinan Sinta dengan Sri Rama, penculikannya, sampai dengan
kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi Jawa menyebutkan,
setelah perang berakhir Rama tidak menjadi raja di Ayodhya, melainkan
membangun kerajaan baru bernama Pancawati.
Dari perkawinannya dengan Rama, Sinta melahirkan dua orang
putra bernama Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra yang pertama, yaitu
Ramabatlawa menurunkan raja-raja Kerajaan Mandura, antara lain
Basudewa, dan juga putranya yang bernama Kresna.
Kresna versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama, sedangkan
adiknya yang bernama Subadra disebut sebagai reinkarnasi Sinta. Dengan
demikian hubungan Rama dan Sinta yang pada kehidupan sebelumnya
adalah suami-istri berubah menjadi kakak dan adik dalam kehidupan
selanjutnya.
E. Pasangan Arjuna-Srikandi
1. Arjuna
Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita
Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya
dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di
Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu
Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura.
Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan)
Batara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari
kejahatan. Arjuna juga merupakan seorang yang sempat menyaksikan
"wujud semesta Kresna" menjelang perang Bharatayuddha berlangsung.
19
Gambar 5 Raden Janaka
2. Srikandi
Srikandi atau Sikandin adalah salah satu puteri Raja Drupada
dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah
wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi
Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia
diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia
diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral
(waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama,
namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini
merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah
Mahabharata versi India.
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita
bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa
terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan
untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi
sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh
Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu
perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri
menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah
memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan
oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada
Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya
20
dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya
dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Gambar 6 Srikandi
3. Perang Baratayudha
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah
reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita",
ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian
terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan
menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu,
hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan
mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir.
Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18
Bharatayuddha.
4. Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya,
yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran
seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan
Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari
bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi
Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir
dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya
ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam
perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
21
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak
sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian
Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi
Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta,
kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung
balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat
menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu
Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas
dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura
setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
F. Aspek Konseling Pranikah
Dari ketiga pernikahan tokoh pewayangan di atas, dapat diambil 3 tipe
pernikahan pula. Ketiga pasangan tokoh pewayangan di atas sama-sama saling
mencintai. Berikut ini kesimpulan yang dapat diambil dari bentuk hubungan
ketiga pasangan tokoh pewayangan.
No Pasangan Kesimpulan
1 Kamajaya-
Kamaratih
a. Saling mencintai
b. Selalu pergi bersama-sama
c. Merasa sangat sedih ketika berpisah dengan
pasangan/ pasangannya pergi meninggalkan
d. Bila pasangan meninggal, yang lain merasa
sangat sedih dan ingin segera menyusul
2 Rama-Sinta a. Saling mencintai
b. Menjaga kesetiaan meskipun berpisah jauh
dan mengalami godaan.
c. Terkadang meragukan kesetiaan pasangan.
3. Arjuna- Srikandi a. Salah satu bentuk pernikahan poligami di
dalam dunia pewayangan
b. Kedudukan pria dan wanita seimbang
22
c. Peran wanita membantu suaminya ketika
keadaan susah (perang).
Dari kesimpulan diatas dapat ditarik aspek yang penting dari hubungan
tokoh pewayangan di atas antara lain sebagai berikut:
1. Saling mencintai satu sama lain
2. Menjaga kedekatan dengan pasangan termasuk menjalin komunikasi
yang baik dengan pasangannya.
3. Menjaga kesetiaan ketika sedang tidak bersama-sama.
4. Menempatkan posisi pria dan wanita pada posisi yang seimbang.
5. Saling tolong-menolong ketika pasangan menghadapi suatu
permasalahan.
23