pasangan dalam pewayangan jawa

31
BAB II LANDASAN TEORI A. Sejarah Pewayangan Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang 4

Upload: oruthdian

Post on 26-Jul-2015

698 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sejarah Pewayangan

Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling

menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi

seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat,

dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari

zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan,

hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli

sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia,

khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum

agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di

masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu

Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak

mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan

falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan

filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.

Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari

salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang

bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh punakawan dalam

pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya

budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak

ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap

makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche

Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Hazeau menunjukkan

keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian

wayang dalam disertasi Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir)

4

Page 2: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud

tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

1. Asal Usul Wayang

Ada dua pendapat mengenai asal usul wayang. Pertama, pendapat

bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di

Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para

peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian

sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk

kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan

yang dikemukakan antara lain, bahwa seni wayang masih amat erat

kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,

khususnya orang Jawa. Punakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,

yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan

Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis

pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan

bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India,

yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara

lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers.

Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa

yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe-

wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau

Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya

pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012),

yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.

Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para

pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab

Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan

raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab

5

Page 3: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga

Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke

bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali

dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu

Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk

pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan

cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan

Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu

Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai

ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang

dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa-

yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Sri Mulyono dalam

bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979),

memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-

kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan

Robert von Heine-Geldern, Prehistoric Research in the Netherland Indie

(1945) dan tulisan K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya

bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang

Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara

dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton

hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh

pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh

seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis

seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu

diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman

Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk

pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji;

6

Page 4: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan

sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian

lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi

menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di

antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para

raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga

memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep

religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman

Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang

disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk

pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman

itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,

termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus

berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya,

mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar

cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu

masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh

keluar dari cerita pakem.

Begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa

Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang,

legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah

Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa

pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau

Jawa.

B. Kedudukan Wanita dalam Pewayangan

Sumber cerita wayang purwa adalah epos Ramayana dan Mahabarata,

kedua sumber cerita tersebut berawal dari agama Hindu. Hal itu terbukti dari

adanya tokoh para dewa sebagai penguasa tokoh lainnya. Bahkan raja di jawa

7

Page 5: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

masih dianggap keturunan dewa. Menurut sejarah panengen (dipengaruhi

Islam) raja-raja di tanah Jawa merupakan keturunan nabi.

Kedua agama Hindu maupun Islam bersifat patriarkhat, dimana hak dan

kedudukan wanita ada dibawah laki-laki. Sehingga dalam pewayangan

kedudukan wanita tertinggi hanya sebatas permaisuri. Kewajiban utama kaum

wanita adalah kesetiaannya dalam mendampingi dan melayani suami, serta

mengasuh anak-anaknya.

1. Emansipasi Wanita

Emansipasi wanita dalam dunia pewayangan amat kurang dan

hampir tidak tampak serta lebih didominasi kepentingan kaum laki-laki.

Sebagai bukti ketika Pandawa dan Kurawa berguru kepada Pandhita

Durna, Dewi Lesmanawati yang merupakan anak Raja Duryudana tidak

diikutkan berguru.

Tokoh wanita dalam pewayangan yang mau belajar serta memiliki

kepandaian serta keahlian menggunakan senjata sangat terbatas. Salah

satunya adalah Dewi Wara Srikandhi yang belajar memanah kepada

Arjuna (akhirnya menjadi suami-isteri). Meskipun proses Srikandhi

mencari ilmu mendapat kritikan gencar dari Dewi Drupadi. Srikandhi juga

berani menolak cinta Prabu Jangkungmardeya karena telah memiliki

pilihannya sendiri (Arjuna).

Dewi Kunthi selain amat setia dan berbakti kepada suami dan

anak-anak, juga senang berguru dan mencari ilmu kepada Resi Druwasa.

Begitu pula Dewi Wara Sembadra (istri Arjuna) juga memiliki ilmu

keselamatan diri gendam kemayan “mengubah ingatan lawan”.

Dunia pewayangan berisi beraneka ragam gambaran hidup dan

kehidupan manusia. Masalah emansipasai wanita dalam dunia

pewayangan relatif terbatas pada kepandaian dalam mencari ilmu lahir dan

batin; arif dan bijaksana dalam mendampingi suami, mengurus putra-putri,

mengurusi kebutuhan rumah tangga. Emansipasi dalam hal arta kekayaan,

8

Page 6: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

pekerjaan, dan wirya atau pangkat, derajat, kedudukan, pemimpin kurang

mendapatkan perhatian. (Imam Sutardjo, 2006)

C. Pasangan Kamajaya-Kamaratih

1. Kamajaya

Sang Hyang Kamajaya adalah anak Semar (Hyang Ismaya). Ia

digambarkan sebagai Dewa cinta dan berparas elok. Kamajaya beristrikan

Dewi Kamaratih, putri Sang Hyang Resi Soma. Dewi ini sebangsa

bidadari yang sangat cantiknya. Kamajaya dan Kamaratih tak pernah

terpisahkan.

Dewa dan Dewi ini senantiasa menjaga keselamatan umat manusia

di dunia ini, terutama keluarga Pendawa. Kamajaya malahan disebut juga

Dewanya Arjuna, oleh karena ia sangat sayang pada Arjuna. Di dalam

Lakon Cekel Indralaya, Arjuna menjadi pendeta dan Kamajaya datang ke

Dwarawati menyamar sebagai Arjuna untuk menentang Kurawa yang akan

datang menggoda Dewi Wara Sembadra, istri Arjuna.

Menurut kepercayaan orang Jawa, pada waktu seorang wanita

hamil untuk pertama kalinya dan diadakan selamatan hamil tujuh bulan

(Jawa: mitoni), maka disajikan juga sebuah kelapa gading yang digambar

Kamajaya dan Kamaratih dengan harapan semoga mendapat berkah dari

Dewa dan Dewi tersebut. Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan

istri berusia 7 bulan), kelapa muda yg hendak dipecahkan ayah calon bayi

sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari

buah cinta.

Sang Hyang Kamajaya bermata jaitan, berhidung mancung, dan

bergigi hitam karena sisik. Berpakaian seperti Dewa, tapi pada bagian

kepala tampak sebagai ksatria. Dia bersemayam di Cakrakembang tempat

tersendiri bagi Kamajaya dan Kamaratih.

9

Page 7: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Gambar 1 Batara Kamajaya

2. Kamaratih

Dewi Kamaratih atau Ratih adalah dewi cinta dalam

kepercayaan Hindu Jawa kuna. Ia adalah anak perempuan Daksha dan

istri batara Kamajaya.

Ketika suaminya terbakar api dari mata ke tiga Batara Guru, ia

meminta Batara Guru untuk membunuh dirinya sekalian, sebagai wujud

kesetiaannya kepada Batara Kamajaya. Ia adalah Dewi yang sangat cantik,

sehingga muncul kepercayaan di masyarakat agar melukiskan Dewi

Kamaratih pada kelapa muda sewaktu upacara Mitoni, sehingga apabila

nanti anak yang lahir adalah perempuan, ia akan secantik Kamaratih.

Gambar 2 Dewi Kamaratih

3. Kisah Kamajaya-Kamaratih

Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta dan istrinya bernama Dewi

Kamaratih. Batara Kamajaya sendiri putra dari Semar dan Dewi Sanggani

10

Page 8: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Putri. Batara Kamajaya dan istri dalam masyarakat Jawa di simbolkan

sebagai lambang kerukunan suami istri.

Batara Kamajaya adalah salah satu di antara banyak dewa dalam

agama Hindu maupun dalam cerita wayang purwa. Ia terkenal tampan

(cakap), berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan kasih sayang kepada

isteri. Isterinya bernama Dewi Ratih tidak kalah terkenal karena cantiknya

dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan

suami isteri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga

kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.

Dalam kehidupan khususnya masyarakat Jawa, kerukunan

pasangan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih merupakan idola. Setiap

upacara pengantin Jawa, selalu diharapkan agar pasangan itu hidup rukun,

damai dan saling setia seperti pasangan Kamajaya dan Dewi Ratih.

Apabila di kemudian hari pengantin itu dikaruniai putra agar berwajah

tampan seperti Batara Kamajaya dan apabila putri agar berwajah cantik

seperti Dewi Ratih.

Salah satu karya sastra lama yang menceriterakan kisah cinta

Batara Kamajaya dan Dewi Ratih ialah Serat Smaradahana. Penulis buku

Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan

Kediri. Dalam buku itu dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya (smara =

asmara; dahana = api). Penyebab terbakarnya Batara Kamajaya adalah

mata ketiga Dewa Siwa (Batara Guru).

Ada pendapat, bahwa isi buku Smaradahana merupakan gambar

kisah cinta putera Kerajaan Daha (sebelum bernama Kediri) dengan puteri

Kerajaan Jenggala. Putera Kerajaan Daha bernama Hinu Kertapati dan

puteri Kerajaan Jenggala bernama Candra Kairana. Masyarakat Kerajaan

Daha pada waktu itu percaya bahwa Hinu Kertapati adalah penjelmaan

(titisan) Bhatara Kamajaya, sedang Candra Kairana penjelmaan Dewi

Ratih. Maka nama buku Smaradahana merupakan sindiran “Kisah cinta di

Kerajaan Daha”.

11

Page 9: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian buku

Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa

Belanda disimpan di Perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli

ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tembang

(puisi). Porbatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat

dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latin bahasa Jawa

halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun

1952. Ringkasan isi buku Smaradahana sebagai berikut:

Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya

(Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan

dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu

menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik

bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa

Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para

dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara

Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah

Batara Kamajaya ke pertapaan Batara Guru.

Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat.

Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk

membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya

melepaskan panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah

bunga adalah kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan

kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya

tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan

kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya = rindu). “Panca Wisaya” itu

berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian

kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru

timbul rasa rindu kepada Dewi Uma, permaisurinya. Setelah bangun dari

tapanya, ternyata yang ditatap di depannya adalah Batara Kamajaya.

Timbul marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang

memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu

12

Page 10: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara

Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali ke

Kahyangan.

Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar berita suaminya mati

terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama suaminya

sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat

suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya

terbakar, maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih

besar. Lambaian nyapa api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara

Kamajaya memanggil Dewi Ratih agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih

tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi

Ratih telah menyatu dengan suaminya.

Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar

bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para dewa

untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu

para Dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat

oleh Batara Kamajaya. Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru

berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan

tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena

mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki

keturunan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia). Maka

Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa

orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang

perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu

timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat

dipertahankan.

D. Pasangan Rama-Sinta

1. Rama

Dalam agama Hindu, Rama atau Ramacandra adalah seorang raja

legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman

13

Page 11: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari

Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia

merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada

zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal

dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana,

tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera

sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai

Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah

dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita,

inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan

Lawa.

Gambar 3 Rama

2. Dewi Sinta

Sita (juga dieja Shinta) adalah tokoh protagonis dalam wiracarita

Ramayana. Dalam tradisi pewayangan Jawa, Sita lebih sering dieja dengan

nama Shinta. Ia merupakan istri dari Sri Rama, tokoh utama kisah tersebut.

Menurut pandangan Hindu, Sita merupakan inkarnasi dari Laksmi, dewi

keberuntungan, istri Dewa Wisnu.

Gambar 4 Dewi Sinta atau Sita

14

Page 12: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

3. Kisah Ramayana

Ramayana menceritakan bahwa Sita bukan putri kandung Janaka.

Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja

melakukan upacara atau yadnya di suatu area ladang antara lain dengan

cara membajak tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah

peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak

angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan.

Sita dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan

Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun

mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat

bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur

pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Sri Rama,

seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sita pun tinggal

bersama suaminya di Ayodhya, ibu kota Kosala.

Selanjutnya dikisahkan, ibu tiri Rama yang bernama Kaikeyi lebih

menginginkan putra kandungnya, yaitu Bharata yang menjadi raja

Ayodhya, bukan Rama. Kaikeyi pun mendesak Dasarata agar membuang

Rama ke hutan selama 14 tahun.

Dasarata yang terikat sumpah terpaksa menuruti permintaan istri

keduanya itu. sebagai putra yang berbakti, Rama pun menjalani keputusan

itu dengan ikhlas. Sita yang setia mengikuti perjalanan Rama, begitu pula

adik Rama yang lahir dari ibu lain, yaitu Laksmana. Ketiganya

meninggalkan istana Ayodhya untuk memulai hidup di dalam hutan.

Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rama, Sita, dan

Laksmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga

menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka.

Rahwana adalah raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka.

Pasukannya yang bertugas di Janastana habis ditumpas Rama karena

mereka gemar mengganggu kaum brahmana. Rahwana pun melakukan

pembalasan ditemani pembantunya yang bernama Marica.

15

Page 13: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Mula-mula Marica menyamar menjadi seekor kijang berbulu

keemasan dan menampakkan diri di depan pondok Rama. Menyaksikan

keindahan kijang tersebut, Sita menjadi tertarik dan ingin memilikinya.

Karena terus didesak, Rama akhirnya mengejar dan berusaha

menangkapnya.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rama di kejauhan. Sita pun

menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya itu. Namun Laksmana

yakin kalau kijang tersebut adalah jelmaan raksasa yang sekaligus meniru

suara jeritan Rama. Sita marah mendengar jawaban Laksmana dan

menuduh adik iparnya itu berkhianat dan memiliki maksud kurang baik.

Laksmana tersinggung mendengar tuduhan Sita. Sebelum pergi, ia

lebih dulu menciptakan pagar gaib berupa garis pelindung yang

mengelilingi pondok tempat Sita menunggu. Setelah kepergian Laksmana

muncul seorang brahmana tua yang kehausan dan minta diberi minum.

Namun ia tidak dapat memasuki pondok karena terhalang pagar gaib

Laksmana.

Sita yang merasa kasihan mengulurkan tangannya untuk memberi

minum sang brahmana tua. Tiba-tiba brahmana itu menarik lengan Sita

dan membawanya kabur. Brahmana tersebut tidak lain adalah samaran

Rahwana. Ia menggendong tubuh Sita dan membawanya terbang di udara.

Suara tangisan Sita terdengar oleh seekor burung tua bernama

Jatayu, yang bersahabat dengan Dasarata ayah Rama. Jatayu menyerang

Rahwana namun ia justru mengalami kekalahan dan terluka parah. Sita

tetap dibawa kabur oleh Rahwana namun ia sempat menjatuhkan

perhiasannya di tanah sebagai petunjuk untuk Rama.

Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota

Trikuta, Sita pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah,

bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang

bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana

Alengka, Sita selalu berdoa dan berharap Rama datang menolongnya.

16

Page 14: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia

mengaku bernama Hanoman, utusan Sri Rama. Sebagai bukti Hanoman

menyerahkan cincin milik Sita yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia

diculik Rahwana. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rama.

Hanoman membujuk Sita supaya bersedia meninggalkan Alengka

bersama dirinya. Sita menolak karena ia ingin Rama yang datang sendiri

ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rahwana dengan gagah berani.

Hanoman dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.

Berkat bantuan Sugriwa raja bangsa Wanara, serta Wibisana adik

Rahwana, Rama berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah

kematian Rahwana, Rama pun menyuruh Hanoman untuk masuk ke dalam

istana menjemput Sita. Hal ini sempat membuat Sita kecewa karena ia

berharap Rama yang datang sendiri dan melihat secara langsung tentang

keadaannya.

Setelah mandi dan bersuci, Sita menemui Rama. Rupanya Rama

merasa sangsi terhadap kesucian Sita karena istrinya itu tinggal di dalam

istana musuh dalam waktu yang cukup lama. menyadari hal itu, Sita pun

menyuruh Laksmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-

banyaknya dan membuat api unggun. Tak lama kemudian Sita melompat

ke dalam api tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan

Dewa Agni mengangkat tubuh Sita dalam keadaan hidup. Hal ini

membuktikan kesucian Sita sehingga Rama pun dengan lega menerimanya

kembali.

Setelah pulang ke Ayodhya, Rama, Sita, dan Laksmana disambut

oleh Bharata dengan upacara kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan

takhta kerajaan kepada Rama sebagai raja. Dalam pemerintahan Rama

terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian

Sita di dalam istana Rahwana.

Rama merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut. Ia

akhirnya memutuskan untuk membuang Sita yang sedang mengandung ke

17

Page 15: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sita ditolong seorang resi

bernama Walmiki dan diberi tempat tinggal.

Beberapa waktu kemudian, Sita melahirkan sepasang anak kembar

diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam asrama Resi

Walmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Ramacandra,

ayah mereka.

Suatu ketika Rama mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat

dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang

menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya dahulu. Rama pun

menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut yang tidak lain adalah Lawa

dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.

Versi Ramayana di atas cukup berbeda jika dibandingkan dengan

kisah dalam pewayangan, terutama yang berkembang di Jawa. Dalam

versi ini, Sita disebut dengan gelar lengkap Rakyan Wara Sinta. Uniknya,

ia juga disebut sebagai putri kandung Rahwana sendiri.

Rahwana versi Jawa dikisahkan jatuh cinta kepada seorang pendeta

perempuan bernama Widawati. Namun Widawati menolak cintanya dan

memilih bunuh diri. Rahwana pun bertekad akan mencari dan menikahi

reinkarnasi Widawati.

Atas petunjuk gurunya yang bernama Resi Maruta, Rahwana

mengetahui kalau Widawati akan menitis sebagai putrinya sendiri. Namun

ketika istrinya yang bernama Dewi Kanung melahirkan, Rahwana pergi

untuk memperluas jajahan. Bayi perempuan yang dilahirkan Kanung pun

diambil Wibisana untuk dibuang di sungai dalam sebuah peti. Wibisana

kemudian menukar bayi tersebut dengan bayi laki-laki yang diciptakannya

dari mega di langit. Bayi laki-laki tersebut akhirnya diakui Rahwana

sebagai anaknya, dan kelak terkenal dengan nama Indrajit.

Sementara itu bayi perempuan yang dibuang Wibisana terbawa

aliran sungai sampai ke wilayah Kerajaan Mantili. Raja negeri tersebut

yang bernama Janaka memungut dan menjadikannya putri angkat, dengan

nama Sinta.

18

Page 16: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu

perkawinan Sinta dengan Sri Rama, penculikannya, sampai dengan

kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi Jawa menyebutkan,

setelah perang berakhir Rama tidak menjadi raja di Ayodhya, melainkan

membangun kerajaan baru bernama Pancawati.

Dari perkawinannya dengan Rama, Sinta melahirkan dua orang

putra bernama Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra yang pertama, yaitu

Ramabatlawa menurunkan raja-raja Kerajaan Mandura, antara lain

Basudewa, dan juga putranya yang bernama Kresna.

Kresna versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama, sedangkan

adiknya yang bernama Subadra disebut sebagai reinkarnasi Sinta. Dengan

demikian hubungan Rama dan Sinta yang pada kehidupan sebelumnya

adalah suami-istri berubah menjadi kakak dan adik dalam kehidupan

selanjutnya.

E. Pasangan Arjuna-Srikandi

1. Arjuna

Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita

Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya

dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di

Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu

Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura.

Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan)

Batara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari

kejahatan. Arjuna juga merupakan seorang yang sempat menyaksikan

"wujud semesta Kresna" menjelang perang Bharatayuddha berlangsung.

19

Page 17: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Gambar 5 Raden Janaka

2. Srikandi

Srikandi atau Sikandin adalah salah satu puteri Raja Drupada

dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah

wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi

Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia

diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia

diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral

(waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama,

namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini

merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah

Mahabharata versi India.

Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita

bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa

terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan

untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi

sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.

Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh

Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu

perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri

menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah

memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan

oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada

Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya

20

Page 18: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya

dikembalikan kembali kepada Yaksa.

Gambar 6 Srikandi

3. Perang Baratayudha

Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah

reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita",

ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian

terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan

menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu,

hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan

mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir.

Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18

Bharatayuddha.

4. Srikandi dalam Pewayangan Jawa

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya,

yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran

seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan

Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari

bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi

Drestadyumna.

Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir

dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya

ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam

perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.

21

Page 19: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak

sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian

Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi

Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta,

kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung

balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat

menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu

Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.

Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas

dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura

setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

F. Aspek Konseling Pranikah

Dari ketiga pernikahan tokoh pewayangan di atas, dapat diambil 3 tipe

pernikahan pula. Ketiga pasangan tokoh pewayangan di atas sama-sama saling

mencintai. Berikut ini kesimpulan yang dapat diambil dari bentuk hubungan

ketiga pasangan tokoh pewayangan.

No Pasangan Kesimpulan

1 Kamajaya-

Kamaratih

a. Saling mencintai

b. Selalu pergi bersama-sama

c. Merasa sangat sedih ketika berpisah dengan

pasangan/ pasangannya pergi meninggalkan

d. Bila pasangan meninggal, yang lain merasa

sangat sedih dan ingin segera menyusul

2 Rama-Sinta a. Saling mencintai

b. Menjaga kesetiaan meskipun berpisah jauh

dan mengalami godaan.

c. Terkadang meragukan kesetiaan pasangan.

3. Arjuna- Srikandi a. Salah satu bentuk pernikahan poligami di

dalam dunia pewayangan

b. Kedudukan pria dan wanita seimbang

22

Page 20: Pasangan dalam Pewayangan Jawa

c. Peran wanita membantu suaminya ketika

keadaan susah (perang).

Dari kesimpulan diatas dapat ditarik aspek yang penting dari hubungan

tokoh pewayangan di atas antara lain sebagai berikut:

1. Saling mencintai satu sama lain

2. Menjaga kedekatan dengan pasangan termasuk menjalin komunikasi

yang baik dengan pasangannya.

3. Menjaga kesetiaan ketika sedang tidak bersama-sama.

4. Menempatkan posisi pria dan wanita pada posisi yang seimbang.

5. Saling tolong-menolong ketika pasangan menghadapi suatu

permasalahan.

23