parasuicide
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Bunuh diri merupakan salah satu masalah penting yang terjadi di seluruh
dunia. Hampir satu juta orang mati karena bunuh diri di berbagai tempat di dunia.
Sehingga diperlukan pencegahan yang signifikan untuk mengurangi kejadian ini.
Bunuh diri (suicide) merupakan perbuatan memusnahkan diri karena
enggan berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani.
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu
berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang
maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak
integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini didahului oleh
respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.1,2
Lyttle (1986) membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha
bunuh diri (parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh diri (suicide)
sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam
kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious
self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada
tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang
mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide),
biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).2,3
Pada tahun 1998, WHO menunjukkan bahwa bunuh diri menjadi sebagai
penyebab utama kedua belas kematian di seluruh dunia. Di sebagian besar negara
kejadian bunuh diri lebih tinggi dari kejadian pembunuhan yang disengaja. Pada
tahun 2006, WHO menyatakan bahwa hampir satu juta orang melakukan bunuh
diri setiap tahun, lebih banyak dari mereka yang dibunuh atau terbunuh dalam
perang. Data WHO menunjukkan bunuh diri terjadi di suatu tempat di dunia
setiap 40 detik.9
Menurut Institut Nasional Kesehatan Mental, bunuh diri dan parasuicide
adalah masalah yang serius, terutama bagi kaum muda. Bunuh diri dapat terjadi
1
pada remaja rentan karena ekspos bunuh diri yang nyata atau fiksi, termasuk
liputan bunuh diri dari media, seperti pelaporan intensif bunuh diri selebriti atau
idola.10
Dari tahun 1970 hingga 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan bunuh
diri di Amerika Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20 menit, 75 bunuh diri dalam
sehari. Angka bunuh diri total agak tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh
diri berada dalam puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada
dalam urutan kedelapan dari semua penyebab kematian di Amerika Serikat,
setelah penyakit jantung, kanker, penyakit serebrovaskular, kecelakaan,
pneumonia, diabetes melitus, dan sirosis.2,4
Di Indonesia sendiri, tahun 2005 tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai
masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada
2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap
tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan
bunuh diri per harinya. Dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data yang
diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri
dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh
diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan
overdosis mencapai 356 orang.9
2
BAB II
BUNUH DIRI
2.1 Definisi Suicide dan Parasuicide
Bunuh diri (Suicide) merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri
sendiri dan disengaja dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan.
Sebaliknya, bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah atau krisis yang
hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.1
Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan
berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut
Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena
individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang
maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak
integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini didahului oleh
respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.2,3
Lyttle (1986) membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha
bunuh diri (parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh diri (suicide)
sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam
kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious
self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada
tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang
mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide),
biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).2,4
Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah
yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri
sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal.4
Menurut Hoeksema (2001), bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk
melukai diri sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang
melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang merupakan
3
perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan juga merupakan
manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian.5
Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang asli
(genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide).
Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar
ingin mati dan tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya
tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang salah (miscalculation).3,4
Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak
sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah
percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain.3,4
2.2 Epidemiologi
Di sebagian besar negara kejadian bunuh diri lebih tinggi dari kejadian
pembunuhan yang disengaja. Pada tahun 2006, WHO menyatakan bahwa hampir
satu juta orang melakukan bunuh diri setiap tahun, lebih banyak dari mereka yang
dibunuh atau terbunuh dalam perang. Data WHO menunjukkan bunuh diri terjadi
di suatu tempat di dunia setiap 40 detik.9
Menurut Institut Nasional Kesehatan Mental, bunuh diri dan parasuicide
adalah masalah yang serius, terutama bagi kaum muda. Bunuh diri dapat terjadi
pada remaja rentan karena ekspos bunuh diri yang nyata atau fiksi, termasuk
liputan bunuh diri dari media, seperti pelaporan intensif bunuh diri selebriti atau
idola.10
Tingkat bunuh diri tertinggi adalah di Eropa yaitu negara-negara Baltik
(Lithuania dan Belarusia), di mana sekitar 40 orang per 100.000 meninggal karena
bunuh diri setiap tahun, di baris kedua adalah di Sub-Sahara Afrika di mana 32
orang per 100.000 meninggal karena bunuh diri setiap tahun. Tingkat terendah
ditemukan terutama di Amerika Latin dan beberapa negara di Asia.9
Tiap tahun kira-kira 30.000 kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh
bunuh diri. Angka tersebut adalah untuk bunuh diri yang berhasil; jumlah usaha
bunuh diri diperkirakan 8 sampai 10 kali lebih besar dari angka tersebut. Antara
tahun 1970 dan 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan bunuh diri di Amerika
Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20 menit, 75 bunuh diri dalam sehari. Angka
4
bunuh diri total agak tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh diri berada
dalam puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada dalam
urutan kedelapan dari semua penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah
penyakit jantung, kanker, penyakit serebrovaskular, kecelakaan, pneumonia,
diabetes melitus, dan sirosis.2,3,7
Insiden bunuh diri di Amerika Serikat terjadi pada usia 15-24 tahun
sedangkan dalam survey nasional baru-baru ini terhadap siswa senior sekolah
lanjutan 27% dari mereka pernah memikirkan secara serius untuk bunuh diri dan
salah satunya pernah mencobanya. Secara internasional, angka bunuh diri yang
lebih dari 25 per 100.000 orang terjadi di Skandinavia, Swiss, Jerman, Austria,
Negara-negara Eropa Timur, dan Jepang. Sedangkan yang kurang dari 10 per
100.000 orang terjadi di Spanyol, Italia, Irlandia, Mesir, dan Belanda. Tempat
bunuh diri nomor satu di dunia adalah Jembatan Golden Gate di San Francisco,
dengan lebih dari 800 bunuh diri sejak di buka tahun 1937.2,4,7
Di Indonesia sendiri, tahun 2005 tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai
masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada
2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap
tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan
bunuh diri per harinya. Dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data yang
diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri
dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh
diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan
overdosis mencapai 356 orang.9
2.3 Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri dan
parasuicide, diantaranya adalah:1,3,8
Faktor Biologis
Genetika
Teori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan. Penelitian
menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Sebagai
contohnya,
5
pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat bunuh diri
dalam keluarga lebih banyak secara bermakna daripada orang yang tidak
pernah melakukan bunuh diri.
Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk sanak
saudara dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih tinggi dibanding sanak
saudara dari kontrol. Selain itu, resiko bunuh diri pada sanak saudara pasien
psikiatri yang melakukan bunuh diri adalah empat kali lebih tinggi
dibandingkan pada sanak saudara pasien psikiatri yang tidak melakukan bunuh
diri.
Neurokimia
Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-
hydroxyindo-leacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien
depresi yang mencoba bunuh diri. Pasien depresi yang mencoba bunuh diri
dengan cara keras (contoh, senjata api atau meloncat) memiliki kadar 5-HIAA
yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinalisnya dibandingkan pasien
depresi yang tidak melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh diri dengan
cara yang kurang keras (overdosis zat).
Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah menyatakan
suatu hubungan antara defisiensi sistem serotonin sentral dan pengendalian
impuls yang buruk. Beberapa peneliti telah memandang bunuh diri sebagai
salah satu tipe perilaku impulsif. Kelompok pasien lain yang diperkirakan
memiliki masalah dengan pengendalian impuls adalah pelaku kekerasan,
pembakar rumah dan mereka dengan ketergantungan alkohol.
Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan
elektroensefalogram (EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh diri.
Sampel darah dari kelompok sukarelawan normal yang dianalisis untuk
monoamin oksidase trombosit menemukan bahwa orang dengan kadar enzim
yang terendah didalam trombositnya memiliki prevalensi bunuh diri delapan
kali lebih besar didalam keluarganya, dibandingkan dengan orang yang
memiliki kadar enzim yang tinggi.
6
Faktor Sosial
Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian pengaruh
sosial dan kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada akhir abad yang lalu
oleh ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola
statistikal, Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial :
egoistik, altruistik, dan anomik.
Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak terintegrasi secara
kuat ke dalam kelompok sosial. Tidak adanya integrasi keluarga dapat
digunakan untuk menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah adalah
lebih rentan terhadap bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang
menikah dan mengapa pasangan dengan anak-anak adalah kelompok yang
paling terlindung dari semua kelompok. Masyarakat perkotaan memiliki
lebih banyak integrasi sosial dibandingkan dengan daerah pedesaan, jadi
lebih sedikit bunuh diri.
Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan
sosial yang kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok, hampir
seperti bunuh diri ritual Jepang “Seppuku” yang dilakukan ketika
kekacauan melada masyarakat.
Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut “Anomie” atau
keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang seperti
menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya
apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa norma dan peraturan
yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa mereka dengan situasi ekonomi yang berubah
secara drastik lebih rentan dibandingkan mereka sebelum perubahan
keberuntungan mereka. Anomik juga dimaksudkan pada ketidakstabilan
sosial, dengan kehancuran standar dan nilai-nilai masyarakat.
Faktor Psikologis
Teori Freud
Tilikan psikologis pertama yang paling penting ke dalam bunuh diri berasal
dari Sigmund Freud. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang mencoba
7
bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Dalam tulisannya
“Mourning and Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh
diri mencerminkan agresi yang dibelokkan ke dalam objek cinta yang
terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen.
Teori Menninger
Berdasarkan konsep Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri
adalah pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan
sebagai akibat kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri
sendiri atau digunakan sebagai pengampunan akan hukuman.
Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri
(konsep Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga komponen permusuhan
dalam bunuh diri : keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan
keinginan untuk mati.
Teori-teori Baru
Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur psikodinamika atau
kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh diri. Tetapi mereka telah
menulis bahwa banyak yang dipelajari tentang psikodinamika pasien bunuh
diri dari khayalan mereka seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika
mereka melakukan bunuh diri. Khayalan tersebut sering kali termasuk
keinginan untuk balas dendam, kekuatan, pengendalian atau hukuman; untuk
pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk meloloskan diri atau untuk
tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali, berkumpul kembali dengan
orang yang telah meninggal atau untuk hidup baru. Pasien bunuh diri yang
paling mungkin melakukan khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah
menderita kehilangan objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang
mengalami efek berat seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau yang
teridentifikasi dengan seorang korban bunuh diri. Dinamika kelompok
mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi di Masada dan Jonestown.
8
2.4 Faktor yang terkait
Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri dan
percobaan bunuh diri (parasuicide) adalah:1,2,5
1. Jenis Kelamin
Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan
wanita. Akan tetapi wanita adalah empat kali lebih mungkin berusaha
bunuh diri dibandingkan laki-laki.
2. Metode
Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki adalah
berhubungan dengan metode yang digunakan dimana laki-laki
menggunakan pistol, menggantung diri, atau lompat dari tempat yang
tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat psikoaktif
secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka
mulai lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya.
3. Usia
Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki, puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah
terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia
kurang sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan orang muda
tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk mereka yang berusia 75 tahun
atau lebih adalah lebih dari tiga kali dibandingkan angka untuk orang
muda.
4. Ras
Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua kali
lebih besar dari angka bulan kulit putih, tetapi angka tersebut masih
diragukan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam adalah meninggi.
5. Status perkawinan
Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna
menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak
pernah menikah memiliki angka hampir dua kali lipat angka untuk orang
9
yang menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya pernah menikah
menunjukan angka yang jelas lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak
pernah menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang memiliki
riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang terisolasi secara sosial.
Yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary suicide) adalah bunuh
diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut hidupnya pada hari yang
sama seperti yang dilakukan oleh anggota keluarganya.
6. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko bunuh
diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan risiko. Pada
umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada
orang yang pengangguran dibandingkan orang yang bekerja. Selama resesi
ekonomi dan depresi, angka bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu
tingginya pekerjaan dan selama perang, angka bunuh diri menurun. Dokter
secara tradisional dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri.
Dokter psikiatri dianggap memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi
yang berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi, petugas
hukum, pengacara dan agen asuransi.
7. Kesehatan Fisik
Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna.
Penelitian postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik ditemukan
pada 25 sampai 75 persen dari semua korban bunuh diri. 50% orang
dengan kanker yang melakukan bunuh diri melakukannya dalam satu
tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit sistem saraf pusat
yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi, sklerosis multipel, cedera
kepala, penyakit kardiovaskular, penyakit Huntington, demensia, dan
AIDS. Semua adalah penyakit dimana diketahui terjadi gangguan mood
yang menyertai.
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam bunuh
diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang yang
10
aktivitas fisiknya memiliki kepentingan pekerjaan atau rekreasional;
kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit kronis yang tidak dapat
diobati.
Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan
bunuh diri pada beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah
reserpine (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi (propanolol/Inderal),
dan beberapa obat antikanker.
8. Kesehatan Mental
Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental
lainnya. Hampir 95 persen dari semua pasien yang melakukan bunuh diri
atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan mental yang terdiagnosis.
Pasien yang menderita depresi delusional berada pada resiko tertinggi
untuk bunuh diri sebesar 80%. 25 persen dari semua pasien yang memiliki
riwayat perilaki impulsif atau tindakan kekerasan juga berada dalam resiko
untuk bunuh diri. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun
meningkatkan resiko bunuh diri.1,2
9. Pasien Psikiatrik
Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 sampai
12 kali lebih besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik. Derajat
resikonya adalah bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, diagnosis, dan
status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis psikiatrik yang memiliki
resiko tertinggi untuk bunuh diri pada kedua jenis kelamin adalah
gangguan mood.
Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa dua gangguan mental kronis yang memiliki onset awal,
skizofrenia dan gangguan depresif yang berat rekuren berjumlah lebih dari
setengah dari semua bunuh diri tersebut.2,3,5
11
2.5 Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya percobaan bunuh diri
1. Gangguan mood
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan
dengan bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh
diri dibanding pasien wanita. Kemungkinan orang terdepresi yang
melakukan bunuh meningkat jika tidak menikah, dipisahkan, diceraikan,
janda atau baru saja mengalami kehilangan.2,3
2. Skizofrenia
Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10
persen meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada
masa remaja atau dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang
melakukan bunuh diri melakukannnya selama tahun-tahun pertama
penyakitnya; dengan demikian pasien skizofrenia yang melakukan bunuh
diri cenderung relatif muda.3
Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka.
Hanya sejumlah kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi
halusinasi atau untuk melepaskan waham penyiksaan. Jadi, faktor resiko
untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik adalah usia yang muda, jenis
kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha bunuh diri sebelumnya,
kerentanan terhadap gejala depresif, dan baru dipulangkan dari rumah
sakit.3,5
3. Ketergantungan Alkohol
15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh
diri. Kira-kira 80 persen dari semua korban bunuh diri yang tergantung
alkohol adalah laki-laki. Kelompok terbesar pasien laki-laki yang
ketergantungan alkohol adalah mereka dengan gangguan kepribadian
antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol cenderung
merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak menikah, tidak
memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru saja mulai minum.
4. Ketergantungan Zat Lain .
12
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko
bunuh diri diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang
yang tergantung heroin kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka
untuk populasi umum.2,3
5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam
gangguan kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan
kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri
dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan pada gangguan mental
berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol, dengan
menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial, dengan
mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan, dengan
mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan
dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka,
termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit.3
Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang
dilakukan tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika orang yang
melakukan usaha bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki maksud bunuh
diri yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki maksud
bunuh diri yang rendah, mereka secara bermakna lebih banyak adalah laki-
laki, berusia lebih tua, tidak menikah atau bercerai dan hidup sendirian.
Kesimpulan dari korelasi tersebut adalah bahwa pasien depresi yang
melakukan usaha bunuh diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh
diri dibandingkan dengan mereka yang berusaha bunuh diri.2,4
2.6 Penatalaksanaan
Pada pasien parasuicide, tidak semuanya memerlukan perawatan di rumah
sakit, beberapa dapat diobati dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah
dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus menggunakan pendekatan klinis
yang langsung meminta pasien yang diduga bermaksud bunuh diri untuk setuju
menelepon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin akan
13
kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang
dapat membuat persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka
memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan
berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak dapat memenuhi komitmen ini, maka
perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus diambil.1,2,3
Penanganan parasuicide lainnya adalah hospitalization atau rawat inap di
rumah sakit. Anak dan remaja yang mengalami depresi dan menunjukkan
keinginan bunuh diri membutuhkan evaluasi secara luas di rumah sakit untuk
menyediakan perlindungan maksimal sebagai untuk melawan tindakan dari pasien
untuk bunuh diri. Indikasi untuk rawat inap pasien remaja yang memiliki
keinginan untuk bunuh diri terdapat dalam tabel 2.1 (dikutip dari Suicide in
Adolescents: A Worldwide Preventable Tragedy. Greydanus DE, 2009).
Tabel 2.1 Alasan merawat inap pasien remaja dengan ide bunuh diri
- Psikosis- Kejang-kejang yang berulang dan berat- Sedang dalam fase mania- Mengalami intoksikasi (kelebihan dosis obat)- Pasien laki-laki (risiko meningkat 10 kali)- Ada anggota keluarga yang meninggal bunuh diri- Gagal dengan terapi rawat jalan yang intensif- Riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya (risiko meningkat 15 kali)- Gangguan penyalahgunaan zat yang berat- Keterbatasan perhatian dan perawatan di rumah- Masalah medis lainnya
Rawat inap tidak hanya dapat melindungi pasien tetapi juga menyediakan
waktu aman untuk memulai penanganan, menurunkan risiko, mobilisasi
dukungan, dan merencanakan keamanan pasien setelah perawan di rumah sakit.9
Meski demikian, rawat inap tidak dapat mencegah secara penuh tindakan bunuh
diri sampai masalah pencetusnya terselesaikan.11
Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif praktis
untuk menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti:2
1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi lingkungan
pasien yang penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari pasangan,
perusahaan atau teman.
14
2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa pasien
mungkin memiliki keluhan yang masuk akal.
3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada
diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan
keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien, tersedianya dukungan
sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko untuk bunuh diri.2,3
Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau
antipsikotik sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi kelompok dan pasien
mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa aman. Tindakan terapeutik
lain tergantung pada diagnosis dasar pasien. Sebagai contohnya, jika
ketergantungan alkohol adalah masalah yang berhubungan, terapi harus diarahkan
untuk menghilangkan kondisi tersebut.1,2
Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang mencoba
bunuh diri dan mengalami depresi adalah memeriksa barang-barang pasien dan
orang yang berkunjung ke bangsal. Hal ini bertujuan untuk mencari benda-benda
yang dapat digunakan untuk bunuh diri dan secara berulang mencari eksaserbasi
gagasan bunuh diri. Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan
mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci dimana jendela
dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat dengan tempat perawat
untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf perawat. Tim yang mengobati harus
memeriksa secara berulang atau terus menerus mengawasi secara langsung.
Terapi yang efektif dengan medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi
elektrokonvulsif (ECT) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang
terdepresi parah yang mungkin memerlukan beberapa kali pengobatan.2,3,6
Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada resiko
khusus. Saat depresi menghilang, pasien menjadi memiliki energi dan mampu
untuk melakukan rencana bunuh dirinya. kadang-kadang pasien depresi dengan
atau tanpa terapi secara tiba-tiba tampak damai dengan dirinya sendiri karena
mereka telah mengambil keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi
15
harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang dramatis tersebut, yang
mungkin meramalkan usaha bunuh diri.1,2
Terapi Psikofarmaka
Seseorang yang sedang dalam krisi karena baru ditinggal mati atau baru
mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapatkan tranquilizer ringan, terutama bila
tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine misalnya
lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama 2 minggu. Hati-hati memberikan
benzodiazepine pada pasien yang hostile, karena penggunaan benzodiazepine
yang teratur dapat meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat
dalam jumlah banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit saja) dan
pasien harus kontrol dalam beberapa hari.2,3
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat darurat,
meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan
bunuh diri adalah antidepresan. Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat
darurat asal dibuat perjanjian kontrol keesokan harinya secara pasti.3
BAB III
KESIMPULAN
16
Bunuh diri (Suicide) merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri
sendiri dan disengaja dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan.
Sebaliknya, bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah atau krisis yang
hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.
Bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri
yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara
sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri
(parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan
dengan pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha
bunuh diri (parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh
diri (attempted suicide).
Tidak semua pasien parasuicide memerlukan perawatan di rumah sakit,
beberapa dapat diobati dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah
dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus menggunakan pendekatan klinis
yang langsung meminta pasien yang diduga bermaksud bunuh diri untuk setuju
menelepon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin akan
kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Hawari, D. 2010. Psikopatologi Bunuh Diri. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2. Kaplan H. I. & Sadock B.J. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri. Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara,
hal 353-367
3. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan,
Surabaya: Airlangga University Press.
4. Prayitno, A. 1984. Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, dalam Hubungannya
dengan Diagnosis Psikiatri dan Faktor Sosiokultural, Disertasi Gelar Doktor
FKUI. Jakarta: FKUI.
5. Nolen-Hoeksema, Susan. 2001. Abnormal Psychology 2nd ed. Boston:
McGraw Hill.
6. Rumah Sakit Jiwa Lawang. 2007. Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko
Gangguan Mental dan Bunuh Diri (online). Diakses dari:
http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html. Diakses tanggal 30 Maret 2013.
7. Teo, GS. 2006. Parasuicide and Suicide: Demographic Features And Changing
Trend Among Cases In Hospital Sungai Bakap 2001-2005. Penang State Health
Department
8. Mann JJ. 2002. A Current Perspective of Suicide and Attempted Suicide.
Annals of Internal Medicine 136: 302-311
9. WHO. 2006. Suicide prevention. WHO Sites: Mental Health.
10. Staff. 2006. Frequently Asked Questions about Suicide. NIMH: Suicide
Prevention. National Institute of Mental Health (United States).
11. Supyanti WE, dkk. 2008. Pencegahan Percobaan Bunuh Diri Pada Anak
Dan Remaja Dengan Gangguan Depresi. Bali: FK Unud/RSUP Sanglah
18