paper etika
TRANSCRIPT
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dan lingkungan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan begitu pula
dengan lingkungan. Keberlangsungan lingkungan akan bergantung dari bagaimana manusia
memperlakukan dan berbuat terhadap lingkunganya. Hubungan antara manusia dan
lingkungannya saat ini telah menjadi isu penting yang dibahas dan menjadi perhatian manusia
di seluruh dunia. Bukan hanya itu, hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya
juga menjadi topik yang pernting untuk dibahas karena juga berdampak langsung maupun
tidak langsung terhadap lingkungan.
Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang terjadi saat ini baik lokal, regional,
nasional dan internasional sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kondisi ini
merupakan eksternalitas dari ekploitasi lingkungan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan seperti
pencemaran dan kerusakaan lingkungan bersumber dari perilaku manusia yang tidak
bertanggungjawab, serta tidak peduli dan hanya mementingkan kebutuhan diri sendiri atau
kebutuhan dalam jangka pendek. Perilaku manusia yang merusak tersebut tidak
mempertimbangkan keberlangsungan jangka panjang untuk generasi berikutnya.
Oleh karena itu, penting bagi semuanya untuk melestarikan lingkungan demi
keberlangsungan hidup generasi mendatang. Upaya melestarikan lingkungan hidup
memerlukan adanya kesadaran, kemauan dan tanggungjawab moral bahwa lingkungan hidup
tidak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Dalam hal ini
yang perlu diubah adalah pandangan umat manusia, dari penguasa lingkungan menjadi
pembina lingkungan. Perubahan pandangan ini harus dimanifestasikan dalam bentuk
tanggungjawab moral dalam melestarikan lingkungan hidup.
Berdasarkan kondisi demikian, nampaknya menjadi hal penting untuk dapat
merumuskan sutau kebijakan yang dapat mendukung upaya pelestarian lingkungan dan
tindakan pencegahan dalam perusakan lingkungan. Dalam konteks pemerintahan, hal ini
berkaitan dengan political will dari pejabat yang bersangkutan untuk dapat menentukan
kebijakan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan. Tidak jarang, rusaknya lingkungan
dikarenakan masih buruknya kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat birokrat, tidak
berorientasi pada pelestarian lingkungan hidup. Menurut Kumorotomo (2007:150) sudah
menjadi ketentuan bahwa para birokrat yang menanggung kewajiban moral yang besar
terhadap masalah-masalah lingkungan karena merekalah yang memiliki kekuasaan untuk
menentukan pengaturan yang berhubungan dengan lingkungan, seperti peraturan mengenai
proyek-proyek industri, perizinan lokasi, atau terkait sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada
pencemar lingkungan.
Dalam bukunya, Kumorotomo (2007;150) juga menyatakan bahwa saat ini masih
banyak para birokrat yang kurang memperhatikan masalah lingkungan atau silau dengan
pihak-pihak yang mengutamakan kepentingan-kepentingan komersial. Kasus-kasus dampak
negatif akibat kecerobohan pejabat publik dalam mengeluarkan kebijakan, terkait dengan
lingkungan hidup sudah banyak terjadi dibeberapa daerah, terutama di perkotaan. Hal ini
disebabkan semakin menggeliatkan pembangunan industri, pemukiman, perdagangan di kota-
kota besar yang kemudian mnegorbankan keberadaan lahan terbuka, lahan hijau, dan
mengurangi daerah resapan air. Sebagai contoh sekaligus menjadi kasus yang dibahas dalam
tulisan ini adalah kasus Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara yang menghadirkan permsalahan
baru dibalik pemukiman yang mencirikan eksklusivitas dan kehidupan kaum urban. Adanya
alih fungsi lahan yang semula merupakan rawa dan hutan mangrove sebagai daerah resapan
air menjadi lahan permanen yang mengakibatkan air yang semula tertimbun di wilayah
tersebut menjadi genangan yang meluap ketika musim hujan tiba. Lahan di daerah Pantai
Indah Kapuk ini dimanfaatkan untuk berbagai sektor yang bertolak belakang dan tidak saling
mendukung. Wilayah yang semula merupakan ekosistem yang dinamis, diubah menjadi
wilayah yang lebih berorientasi pada aset ekonomi yang memperhatikan profit pihak-pihak
tertentu dibandingkan dengan proyek pelestarian lingkungan dan sumber daya.
Kebijakan alih fungsi lahan di pantai indah kapuk yang diambil oleh pejabat publik
jika ditinjau dari sisi lingkungan, memiliki dampak yang negatif terhadap lingkungan.
Ekosistem lingkungan yang seharusnya dijaga dan dilindungi seakan diabaikan demi
memperoleh kepentingan ekonomi semata. Padahal seharusnya, dalam membuat suatu
kebijakan, pejabat publik harus memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma tertentu yang
pada akhirnya dapat memberikan dampak baik, bukan hanya kepada masyarakat namun juga
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas “Bagaimana kebijakan
alih fungsi lahan di Pantai Indah Kapuk, jika ditinjau dari sisi etika administrasi?”
II. KERANGKA KONSEPTUAL
II.1. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos, yang artinya kebiasaan atau watak (dalam
Kumorotomo, 1992). Etika merujuk kepada dua hal yakni: (a) etika berkenaan dengan
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya,
(b) etika merupakan permasalahan pokok di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai
hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. De Vos (1987) bahkan secara
eksplisit mengatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan atau moral.
Tujuan etika adalah memberitahukan bagaimana seseorang dapat menolong manusia di dalam
kebutuhannya yang riil yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan. Terdapat empat
hierarki etika yang terdiri dari: (a) etika sosial, (b) etika organisasi, (c) etika profesi, (d)
moralitas pribadi. Etika sosial adalah konsep benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan
hubungan-hubungan sosial, umumnya tidak tertulis, tetapi hidup dalam masyarakat, dan
terinternalisasi melalui sosialisasi nilai. Etika organisasi adalah konsep baik-buruk terkait
dengan kehidupan organisasi, nilai yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip pengelolaan
organisasi modern (efisiensi, efektivitas, keadilan, transparansi, akuntabilitas, demokrasi).
Etika profesi terkait dengan nilai-nilai benar-baik dan baik-buruk yang terkait dengan prinsip-
prinsip profesionalisme (kapabilitas teknis, kualitas kerja, komitmen pada profesi).
Sedangkan moralitas pribadi adalah konsep benar-salah yang telah terinternalisasi dalam diri
individu dan merupakan produk dari sosialisasi nilai masa lalu.
II.2. Etika Lingkungan
Etika lingkungan adalah penuntun tingkah laku yang mengandung nilai-nilai positif
dalam rangka mempertahankan fungsi dan kelestarian lingkungan (Syamsuri, 1996). Menurut
Keraf (2002) terdapat tiga macam etika lingkungan. Pertama, etika lingkungan
antroposentrik yang berorientasi kepada suatu pandangan atau faham bahwa manusia
memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan dengan makhluk yang lain. berdasarkan faham
ini keperluan dan kepentingan manusia berada di atas segalanya. Segala hal yang
menguntungkan manusia dianggap benar dan sebaliknya segala hal yang merugikan manusia
dianggap salah.
Ukuran moral yang ditetapkan manusia sangat subyektif sifatnya, manusoa
memandang dirinya sebagai subyek sedangkan alam lingkungannya dianggap sebagai obyek.
Kedua, etika lingkungan biosentrik berorientasi kepada suatu pandangan bahwa manusia
merupakan anggota dari komunitas kehidupan (Sastrapratedja, 1988 dalam Berita BKPSL,
1990). Dalam faham ini menegaskan bajwa tidak hanya manusia yang memiliki nilai, alam
juga memiliki nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Biosentrik menolak
argumen antroposentrik, mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Kehidupan makhluk hidup apapun pantas
dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan. Ketiga, etika lingkungan
ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori biosentrik, memperluas cakupan komunitas
tidak hanya biotis saja akan tetapi juga mencakup benda-benda abiotis lainnya yang saling
terkait satu sama lain. Pandangan ekosentrisme memahami bahwa secara ekologis makhluk
hidup dan lingkungan abiotiknya saling terkait sehingga kewajiban dan tanggung jawab
moral manusia tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga kepada semua
anggota atau realita ekologi.
Menurut Soerjani dkk (1987) etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral
lingkungan yang merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam
mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Terdapat beberapa prinsip-prinsip etika
lingkungan yakni: (a) tanggung jawab, bukan hanya bersifat individu melainkan juga
kolektif yang menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan
bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan isinya,(b) solidaritas yaitu prinsip
yang membangkitkan rasa solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan
makhluk hidup lainnya sehingga mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan,(c)
kasih sayang dan kepedulian yang merupakan prinsip satu arah, menuju yang lain tanpa
mengharapkan balasan, tidak didasarkan kepada kepentingan pribadi tetapi semata-mata
untuk alam,(d) hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai
bagian dari alam semesta seluruhnya,(e) tidak membahayakan atau tidak merusak,(f)
hidup sederhana dan selaras dengan alam, hal ini berarti pola konsumsi dan produksi
manusia modern harus dibatasi, menyadari bahwa alam tidak boleh dieksploitasi secara terus
menerus dan tidak menempatkannya sebagai pemuas kepentingan hidup manusia,(g)
keadilan terkait dengan akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat
dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam dan
dalam ikut menikmati manfaat sumber daya alam secara lestari,(h) demokrasi yang terkait
dengan pengambilan kebijakan menentukan baik-buruknya, rusak-tidaknya suatu sumber
daya alam yang mengikutsertakan berbagai pihak dengan keanekaragaman latar belakang,(i)
integritas moral yang menuntut pejabat publik agar memiliki sikap dan perilaku moral yang
terhormat serta memegang teguh untuk mengamankan kepentingan publik yang terkait
dengan sumber daya alam.
III. GAMBARAN UMUM
Secara geografis kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) berada di
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Disebelah utara PIK adalah Laut Jawa yang
sepanjang pantainya masih terdapat hutan bakau, di sebelah timur adalah Kelurahan Pluit,
di sebelah selatan adalah Kelurahan Kapuk Muara (Jl. Kapuk Raya), dan di sebelah barat
adalah Kelurahan Kamal Muara. Kawasan PIK dengan luas 831,63 Ha dibangun atas dasar
rekomendasi Ketua Bappeda DKI no 143/-1.777.6/11/1989 pada 1989, dari sebelumnya
hutan konservasi diurug seluas 472 Ha atau 56,7 persennya untuk dibangun pemukiman
mewah. PIK terdiri dari beberapa kompleks perumahan, area komersial dan area rekreasi.
Sisi sebelah timur kawasan PIK merupakan kawasan perumahan Pluit yang dibangun dan
dikelola oleh BPP Pluit. Di sebelah selatan kawasan PIK berkembang lahan untuk industri,
pergudangan dan permukiman. Kawasan PIK berada pada ketinggian sekitar 5 meter di atas
permukaan laut, dan merupakan kawasan reklamasi sehingga mempunyai kontur yang
relatif datar. Fasilitas yang ada di kawasan PIK cukup lengkap yaitu fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan yang terletak di Sektor Utara dan Timur, fasilitas rekreasi dan hiburan
berupa golf club house terletak di sektor Utara ñ Barat, PIK garden cafe yang terletak di
Sektor Utara dan Timur, dan pusat pemancingan yang terletak di Sektor Selatan dan Timur.
Dulunya kawasan Pantai Indah Kapuk oleh pemerintah ditetapkan menjadi:
a. Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m
b. Cagar Alam Muara Angke
c. Hutan Wisata
d. Kebun Pembibitan Kehutanan
e. Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI).
Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI, Jakarta sesuai
arahan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI 1965-1985, bertujuan untuk
mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk
perumahan dan fungsi perkotaan lainnya, namun kenyataannya sekarang pembangunan
Kawasan Pantai Indah Kapuk tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
IV.1 Kebijakan Alih Fungsi Lahan di PIK jika ditinjau dari Teori Etika Lingkungan
Pantai Indah Kapuk merupakan salah satu permukiman mewah yang terletak di
Jakarta. Pada awalnya area ini merupakan rawa yang terletak di bagian utara Jakarta yang
berfungsi sebagai daerah resapan air. Bahkan di dalam area ini terdapat hutan konservasi
yang seharusnya dilindungi, akan tetapi keadaan hutan konservasi tersebut sangat
memprihatinkan dengan adanya sampah-sampah yang berserakan, semak belukar dan warna
tanahnya hitam pekat akibat pencemaran minyak. Kawasan Pantai Indah Kapuk juga
merupakan Suaka Margasatwa Muara Angke tempat kawasan hutan mangrove.
Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan bagian dari hutan Angke Kapuk yang
total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian besar hutan Angke Kapuk sudah dikuasai PT
Mandara Permai, pengembang yang membangun kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk.
Dari 1.154,88 hektar hutan yang ada di kawasan hutan Angke Kapuk, 827,18 hektar di
antaranya diambil alih untuk pemukiman, lapangan golf, tempat rekreasi dan olahraga,
bangunan umum, olahraga air, cottage, hotel, dan kondominium (repository.ipb.ac.id, n.d).
Konservasi lahan Pantai Indak Kapuk yang semula difungsikan sebagai daerah
resapan air dan suaka margasatwa menjadi daerah pemukiman, lapangan golf dan lain
sebagainya, jika dipandang dari sudut pandang teori etika lingkungan maka hal ini dapat
dikatakan bahwa pemberian izin pembangunan pantai indah kapuk masih dilandasi pada teori
etika lingkungan yang dangkal dan sempit (shallow enviromental ethics) atau yang disebut
dengan antroposentrisme. Teori ini memandang bahwa manusia dan kepentingannya
dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang
diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perubahan fungsi lahan pantai indah kapuk yang mendapat persetujuan dari
Pemerintah DKI Jakarta menunjukkan bahwa dalam pengambilan kebijakan tersebut, aspek
kepentingan lingkungan bukan menjadi tujuan utama. Dampak yang ditimbulkan dari
konservasi lahan pantai indah kapuk, seperti banjir, berkurangnya luas lahan hutan dan
ancaman terhadap kelangsungan hidup satwa tidak diperhatikan. Menurut data Dinas
Kehutanan Provinsi DKI, luas kawasan hutan yang dipertahankan tinggal 327,7 hektar, terdiri
atas hutan lindung (44,76 hektar), hutan wisata (99,82 hektar), suaka margasatwa (25,02
hektar), kebun pembibitan (10,5 hektar), transmisi PLN (23,70 hektar), Cengkareng Drain
(28,39 hektar), serta untuk keperluan jalan tol dan jalur hijau (95,50 hektar)
(repository.ipb.ac.id, n.d). Sebelum dikembangkan kawasan permukiman, Suaka Margasatwa
Muara Angke juga tempat atau habitat satwa-satwa liar. Beberapa jenis satwa liar seperti
burung kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), kuntul (Egretta spp), pecuk (Phalacrocorax
spp), belibis (Dendrocygna spp), dan raja udang (Todirhampus spp). Di kawasan ini juga
terdapat jenis burung endemik Pulau Jawa, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus). Selain
dilindungi undang-undang, burung ini juga dilindungi oleh aturan internasional karena
termasuk dalam kategori rentan. Selain itu juga banyak terdapat satwa lain seperti biawak
(Varanus salvator) dan berbagai jenis ular seperti sanca (Python reticulatus) dan kobra (Naja
sputatrix). Di tempat itu juga ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang saat ini
jumlahnya lebih kurang 60 ekor, serta berang-berang (Aonix cinnerea).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan fungsi lahan di daerah pantai
indah kapuk memiliki dampak yang negatif terhadap kelestarian lingkungan, baik dari sisi
kerusakan fisik lingkungan seperti penebangan hutan lindung secara besar-besaran dan
mengganggu habitat satwa-satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Pemberian izin
pembangunan pantai indah kapuk menjadi kawasan pemukiman hanya mementingkan aspek
keuntungan ekonomi, sementara dampak dari kerusakan lingkungan tidak dipikirkan lebih
jauh. Hal ini sesuai dengan teori antroposentrisme yang menjadikan alam sebagai alat bagi
kepentingan manusia. Manusia mengabaikan nilai-nilai lingkungan demi memenuhi
kepentingan dan kebutuhannya tanpa mempedulikan alam. Hal ini sangat berlawanan dengan
teori biosentrisme dan ekosentrisme yang memberikan penghargaan tinggi terhadap alam dan
makhluk hidup lainnya serta mengedepankan tanggung jawab moral dalam menjaga
kelestarian lingkungan.
IV.2 Kebijakan Alih Fungsi Lahan PIK ditinjau dari Prinsip Etika Lingkungan
Pemanfaatan PIK berupa pembangunan perumahan tersebut bertolak belakang dari
fungsi lahan yang sebenarnya. Fungsi lahan Kawasan Pantai Indah Kapuk ditujukan sebagai
kawasan hutan lindung dan sisanya untuk hutan wisata dan pembibitan. Prinsip tanggung
jawab (moral responsibility for nature) menjabarkan bahwa kewajiban menjaga alam semesta
seisinya merupakan tanggug jawab sosial bersama bukan semata-mata tanggung jawab
individu. Tanggung jawab tersebut salah satunya dapat diwujudkan melalui menjaga
kelestarian Kawasan Pantai Indah Kapuk. Salah satu pihak yang seharusnya menjaga
kelestarian Kawasan Pantai Indah Kapuk dan dapat menghimpun partisipasi masyarakat
dalam pemanfaatan lahan tersebut adalah pemerintah. Pemerintah merupakan pihak yang
paling berwenang dalam mengelola dan memberi izin pembangunan pada kawasan tersebut.
Namun dari realitas yang ada, prinsip tanggung jawab tersebut tidak dapat ditemukan dalam
rangka menjaga kelestarian Kawasan Pantai Indah Kapuk sebagai kawasan lindung seperti
yang tertera dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK). Tanggung jawab tersebut dengan mudah teralihkan oleh masalah ekonomi di mana
dengan memberikan izin pembangunan di Kawasan Pantai Indah Kapuk pendapatan daerah
DKI Jakarta akan meningkat. Secara umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur prinsip tanggung jawab
untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Tertera pada Pasal 67 dan 68,
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” (Pasal 67)
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup” (Pasal 68)
Prinsip tanggung jawab tersebut juga berkaitan dengan prinsip solidaritas (solidarity).
Prinsip solidaritas merupakan salah satu pendorong yang baik bagi manusia untuk dapat
dapat melestarikan lingkungan hidup. Prinsip ini juga berfungsi sebagai pengendali moral
yang dapat digunakan manusia untuk dapat hidup beriringan dengan alam. Dengan
memberikan izin membangun, pemerintah telah mengabaikan sosial dan lingkungan yang
juga telah mengesampingkan rasa solidaritas terhadap warga jakarta yang lain yang terkena
dampak dari pembangunan perumahan di Kawasan Pantai Indah Kapuk. Pembangunan yang
ada telah menyebabkan kondisi sosial di DKI Jakarta semakin memburuk dengan semakin
parahnya banjir yang disebabkan oleh pembangunan perumahan di kawasan tersebut.
Dengan tidak adanya prinsip solidaritas, juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak
menegakkan prinsip kasih sayang dan kepedulian (caring for nature). Prinsip kasih sayang
dan kepedulian merupakan prinsip yang didasarkan pada kepentingan alam atas pertimbangan
kepentingan bersama. Alam merupakan anugerah bagi manusia, sudah seharusnya sebagai
tanggung jawab manusia untuk peduli dan memberikan rasa kasih sayangnya atas apa yang
telah alam berikan kepada manusia. Kawasan Pantai Indah Kapuk merupakan anugerah yang
seharusnya dapat dijadikan pelindung warga jakarta dari bencana banjir, tetapi dengan
dialihfungsikannya lahan tersebut, warga jakarta menanggung akibatnya ketika musim hujan
tiba dimana tidak terdapat tempat yang tepat untuk menampung tumpahan air hujan tersebut.
Pola pembangunan Kawasan Pantai Indah Kapuk sejak awal tidak memperhatikan aspek
sosial dan lingkungan tetapi hanaya berfokus pada aspek ekonomi sehingga dapat dikatakan
pula bahwa tidak ada bentuk kasih sayang dan kepedulian terhadap kawasan lindung tersebut
yang sebenarnya manfaatnya lebih besar bagi kemaslahatan bersama jika tetap menjadi
kawasan lindung.
Kasus alih fungsi lahan konservasi menjadi permukiman di PIK merupakan bukti dari
perilaku manusia yang memanfaatkan lingkungan secara eksploitatif tanpa memperhatikan
keberlangsungan lingkungan. Pembangunan kawasan permukiman PIK, termasuk di
dalamnya jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta, berada di kawasan resapan air. Ketika
terjadi konversi fungsi lahan menjadi permukiman, secara otomatis fungsi dari kawasan
resapan air pun akan berkurang. Artinya, semakin banyaknya lahan yang digunakan untuk
permukiman berarti semakin banyak pula kawasan resapan air yang akan hilang. Konversi
hutan bakau seluas 827,18 hektar menjadi hunian ini menyebabkan 6.6 juta meter kubik air
kehilangan daerah resapan, sehingga sudah dapat dipastikan Jakarta Utara akan selalu
mengalami banjir, terlebih drainase daerah tersebut yang buruk. Manfaat hutan mangrove
yang dalam konteks lingkungan sebagai ruang fisik tempat interakasi berbagai makhluk yang
ada dimuka bumi (physical spatial context) menjadi terganggu akibat adanya pembangunan
yang tidak berwawasan lingkungan. Dengan hilangnya hutan mangrove maka tidak ada lagi
yang akan bisa menahan gelombang dan abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut.
Dilihat dari sejarahnya, daerah PIK awalnya merupakan daerah Lahan Peruntukan
Dengan Tujuan Istimewa (LPDTI). Hampir 75% lahan merupakan kawasan hutan lindung
dan 25% untuk suaka margasatwa. Akan tetapi, sifat serakah dan egois manusia pada
akhirnya mengalahkan konsep dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Manusia lupa
bahwa selama ini alamlah yang menopang kehidupan manusia sehingga keberadaan alam
membawa manfaat yang sangat banyak bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam hal ini,
manusia selalu menginginkan kebutuhannya terpenuhi dan seringkali mengabaikan
keterbatasan lingkungan untuk memenuhinya.
Sejak awal, pembangunan kawasan permukiman PIK memang sudah diprediksi akan
menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Namun demikian, pejabat pemerintah rupanya
lebih tergiur dengan iming-iming pendapatan yang akan didapat dengan dibangunnya
kawasan permukiman PIK. Gubernur DKI saat itu, Wiyogo Atmodarminto, juga memutuskan
untuk menyetujui konversi lahan tersebut karena diyakini akan terjadi peningkatan nilai
ekonomi di kawasan tersebut. Jika Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang didapat dari
rawa-rawa dan tambak nelayan hanya sebesar Rp 2.000/ha/tahun, maka dengan diubahnya
kawasan tersebut menjadi permukiman, Pemda DKI bisa mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun.
Dengan demikian, kawasan yang berubah fungsi seluas 827,18 hektar akan mendatangkan
dana mendekati Rp 2 milyar setiap tahun.
Akan tetapi, suatu konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya mementingkan
keuntungan ekonomi semata. Prinsip No Harm yang berarti tidak merugikan atau merusak
lingkungan perlu dicermati lagi. Dalam hal ini, manusia mempunyai kewajiban moral dan
tanggung jawab terhadap alam, paling tidak manusia tidak akan mau merugikan alam secara
tidak perlu. Pada kasus PIK, sudah jelas bahwa pembangunan kawasan permukiman tersebut
telah mengganggu ekosistem alam. Bencana seperti banjir merupakan salah satu indikasi
bahwa kemampuan alam untuk menjaga keseimbangannya telah berkurang. Pejabat
pemerintah dan pengembang tidak bertanggung jawab atas kerusakan alam yang terjadi.
Malahan, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang saat itu menjabat,
Kosasih Wirahadikusuma, mengatakan bahwa banjir yang selama ini terjadi di tol Sedyatmo
tidak ada kaitannya dengan PIK. Dijelaskan pula bahwa air yang masuk di jalan tol
datangnya dari bagian selatan dan mengenangi kawasan permukiman penduduk yang
menjebol tanggul. Padahal tidaklah aneh jika dihilir diuruk dan ditutup, air dari hulu
dipastikan akan membeludak dan menyababkan banjir.
Ketika kasus PIK itu menjadi kontroversi, yang mengemuka adalah pro dan kontra
antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Namun, ternyata, kepentingan ekonomi
mengalahkan kepentingan lingkungan. Bagi para pendukung kepentingan ekonomi, rawa
yang tidak indah itu akan lebih bermanfaat jika dialihfungsikan menjadi permukiman atau
kepentingan komersial lain. Umumnya mereka optimistis, dengan dukungan politik dan dana,
alam bisa disiasati. Kondisi ini terjadi karena manusia tidak dapat menerapkan pola hidup
sederhana dan selaras dengan alam.
Konversi lahan di pantai indah kapuk menyebabkan terjadinya bencana banjir yang
memutuskan akses Jalan Tol Sedyatmo menuju Bandara Soekarno Hatta (Soetta), menurut
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pembangunan dan Pengembangan Wilayah,
hal ini tidak bisa lepas dari pembangunan kawasan perumahan elite Pantai Indah Kapuk
(PIK). PIK meupakan salah satu tempat pemukiman elit yang ada di Jakarta. Dibangunnya
PIK ini untuk memenuhi permintaan akan tempat pemukiman karena semakin meningkatnya
jumlah penduduk dan arus urbanisasi yang cukup besar di Jakarta. Hal inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh PT Mandara Permai untuk mengembangkan kawasan permukiman. Tidak
hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai kawasan bisnis yang strategis dengan
memanfaatkan kawasan peresapan air di utara Jakarta yang sekarang menjadi Pondok Indah
Kapuk.
Pembangunan Pantai Indah Kapuk sebagai pemukiman mewah dan kawasan bisnis
strategis, pada akhirnya hanya dapat dijangkau oleh masyarakat menengah keatas. Ditinjau
dari prinsip keadilan, pembangunan kawasan PIK ini tidak memberikan akses yang sama bagi
semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati manfaat sumber daya
alam secara lestari. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan kawasan PIK yang hanya
melibatkan pihak pengembangan dengan pemerintah, tanpa melibatkan masyarakat yang ada
di wilayah tersebut. Selain itu, dampak negatif negatif yang dihasilkan dari pembangunan
kawasan PIK juga dirasakan oleh masyarakat yang berada di luar wilayah tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari banjir yang terjadi tidak hanya dirasakan oleh orang yang berada di
kawasan PIK saja, tetapi juga dirasakan oleh orang-orang yang berada di seluruh wilayah
Jakarta.
Ketidakadilan ini terkait dengan sifat tidak demokratis yang ditunjukkan oleh pejabat
publik dalam membangun kawasan PIK. Pembangunan kawasan PIK ini tidak
memperhatikan prinsip demokrasi yang didasari oleh berbagai jenis perbedaan
keanekaragaman sehingga dalam pengambilan kebijakannya juga ditentukan baik-buruknya,
rusak-tidaknya, suatu sumber daya. Prinsip tidak demokratis ini dapat dilihat dari kebijakan
pemprov DKI yang hanya memeprhatikan keuntungan yang didapatkan dari hasil konversi
tanpa melihat dampaknya pada lingkungan yang ada di sekitar kawasan PIK. Bila
mencermati kembali Rencana Induk 1965-1985 yang ditetapkan semasa Gubernur Jakarta Ali
Sadikin, siapapun tentu tak akan dapat menyangkal bahwa banyak areal resapan air dan
sekaligus green belt dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah telah mengalami
banyak perubahan, karena disesuaikan dengan selera dan kebutuhan para pengembang yang
kemudian diaminkan oleh penguasa. Banyaknya resapan air yang semakin berkurang ini
menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta padahal sebenarnya lokasi PIK semula adalah
kawasan hutan bakau yang dihuni fauna tertentu seperti monyet Ancol, ular , buaya den rawa
pantai sebagai areal parkir jutaan air payau. Areal genangan air ini kemudian dikeringkan den
dijadikan kawasan perumahan dan peruntukan lainnya. Akibat penggusuran dan pemadatan
tanah pada areal seluas 831 ha mengakibatkan sedikitnya air sebanyak 16 juta meter kubik
tidak tertampung. Genangan air pun meluap ke wilayah sekitarnya dan menenggelamkan
badan jalan tol Sedyatmo serta pemukiman penduduk sekitarnya. Terhalangnya aliran air ke
laut karena adanya kawasan pemukiman ditepian pantai membuat keadaan kawasan ini
semakin runyam.
Prinsip tidak demokratis yang telah disebutkan di atas terkait juga dengan integritas
moral yang dimiliki oleh pejabat publik. Prinsip ini menuntut pejabat publik agar mempunyai
sikap dan prilaku moral yang terhormat serta memegang teguh untuk mengamankan
kepentingan publik yang terkait dengan sumber daya alam. Dalam kasus pembangunan
kawasan PIK diketahui bahwa pejabat public tidak dapat memegang teguh serta
mengamankan kepentingan masyarakat di sekitar wilayah PIK terkait dengan penggunaan
lahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sikap dai pejabat public yang hanya melihat dari sisi
ekonomis saja tanpa memperhatikan keamanan lingkungan.
Sejak awal pembangunannya, seperti terekam dalam catatan media massa, PIK
memang sudah mengundang berbagai kontroversi. Alur kisahnya berawal dari Izin Menteri
Kehutanan tahun 1984 yang dianggap sangat aneh oleh banyak kalangan. Hal ini karena pada
intinya Menteri Kehutanan telah menyetujui proses Ruilslag (tukar guling), areal hutan
konservasi di kawasan Kapuk dengan lahan hutan di wilayah Sukabumi dan Cianjur. Ditilik
dari berbagai aspek, terutama aspek hydrogeography proses tukar guling ini sangat sulit
dipahami dengan akal sehat. Sebab lokasi PIK tidak dalam satu catchment area dengan hutan
penggantinya. Wajar bila banyak kalangan menduga telah terjadi praktik KKN dibalik
penyimpangan dalam pengelolaan lingkungan tersebut. Namun lebih celaka lagi atas dasar itu
pula, meski tanpa disertai dengan Analisa Dampak Lingkungan Pemda DKI Jakarta serta
merta menerbitkan SIPPT (Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) yang kemudian
dilanjutkan dengan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
V. KESIMPULAN
Kebijakan alih fungsi lahan di Pantai Indah Kapuk, jika ditinjau dari sisi etika
lingkungan maka hal ini dikatakan masih berlandaskan pada shallow enviromental ethics,
yaitu etika lingkungan yang dangkal dan sempit atau disebut juga sebagai etika lingkungan
antroposentrik. Hal ini dikarenakan kebijakan alih fungsi lahan lebih mengarah kepada
kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan kepentingan lingkungan. Selain itu,
kebijakan alih fungsi lahan ini juga tidak memenuhi prinsip-prinsip etika lingkungan.
VI. SARAN
Masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap keputusan atau kebijakan yang
diambil oleh pejabat publik. Kontrol dari masyarakat sangat efektif dalam
mencegah penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik.
Aparatur pemerintah perlu mendapatkan pendidikan mengenai pentingnya nilai-
nilai lingkungan sehingga dalam membuat kebijakan dapat menghasilkan
kebijakan yang berbasis lingkungan dan mendukung terselenggaranya
pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku
Berita Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL), No. 40, Februari 1990. Peranan
Ertika Lingkungan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Pusat Penelitian
Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia.
De Vos,H. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana
Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Bandung: Alfabeta.
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Sastrapratedja, Michael. 1988. Manusia dan Lingkungan Ditinjau Dari Segi Moral Teologis.
Soerjani, dkk. 1987.Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Artikel
DH, 2011 Ant. Menteri Lingkungan: PIK Adalah Kesalahan Besar Masa Lalu
http://arsip.gatra.com//2002-02-11/artikel.php?id=15303 [19 November 2012]
Redaksi. 2008. Banjir Tol Bandara: Perumahan Pantai Indah Kapuk Rusak Lingkungan
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=192082
Redaksi. 2012. Jakarta Banjir Salah Siapa? http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?
option=com_content&view=article&id=426%3AJAKARTA-BANJIR-SIAPA-YANG-
SALAH%3F&Itemid=237&lang=id
Redaksi. 2012. Jakarta Banjir Salah Siapa? http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?
option=com_content&view=article&id=426%3AJAKARTA-BANJIR-SIAPA-YANG-
SALAH%3F&Itemid=237&lang=id
Redaksi. Cantiknya Kawasan Pantai Indah Kapuk. Available online: www.anneahira.com [19 Oktober 2012]
Republik Indonesia UU No. 32 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
......http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40743/BAB%20IV_2007ipa-
5.pdf?sequence=5
....... http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54432/BAB%20IV%20Kondisi
%20Umum%20Lokasi%20Penelitian.pdf?sequence=6