paper disaster diplomacy.docx

26
Perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait dengan Isu Bencana Alam: Urgensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia tentang Penanggulangan Bencana Asap Lintas Batas Negara dari Perspektif Diplomasi Bencana Alam Bondan Gazali Muchtar [email protected] ABSTRAKSI Bencana alam kabut asap yang terjadi di wilayah Indonesia yaitu Riau dan sekitarnya hingga tahun 2014 menyebabkan kerugian bukan hanya pihak Indonesia saja namun juga negara- negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Sebagai negara yang rawan bencana kebakaran lahan dan hutan dan posisinya yang berbatasan langsung dengan negara lain, kebijakan luar negeri yang tepat dan efektif mengenai penanggulangan bencana alam terutama bencana kabut asap tentunya sangat perlu untuk diterapkan oleh Indonesia. Dengan menggunakan perspektif diplomasi bencana alam, tulisan singkat ini akan membahas tentang urgensi perumusan kebijakan luar negeri Indonesia mengenai penanggulangan bencana kabut asap yang terjadi lintas negara. Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia dalam upaya penanggulangan bencana kabut asap lintas batas 1

Upload: bondan-muchtar

Post on 16-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait dengan Isu Bencana Alam: Urgensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia tentang Penanggulangan Bencana Asap Lintas Batas Negara dari Perspektif Diplomasi Bencana AlamBondan Gazali [email protected]

ABSTRAKSIBencana alam kabut asap yang terjadi di wilayah Indonesia yaitu Riau dan sekitarnya hingga tahun 2014 menyebabkan kerugian bukan hanya pihak Indonesia saja namun juga negara- negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Sebagai negara yang rawan bencana kebakaran lahan dan hutan dan posisinya yang berbatasan langsung dengan negara lain, kebijakan luar negeri yang tepat dan efektif mengenai penanggulangan bencana alam terutama bencana kabut asap tentunya sangat perlu untuk diterapkan oleh Indonesia. Dengan menggunakan perspektif diplomasi bencana alam, tulisan singkat ini akan membahas tentang urgensi perumusan kebijakan luar negeri Indonesia mengenai penanggulangan bencana kabut asap yang terjadi lintas negara. Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia dalam upaya penanggulangan bencana kabut asap lintas batas negara baru terlihat hasil nyatanya melalui diratifikasinya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas pada September 2014 yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan perumusan undang- undang nasional berbasis perjanjian internasional di level regional ASEAN dan diplomasi bencana alam antar negara ASEAN. Kata kunci: kebijakan luar negeri, diplomasi bencana alam, ratifikasi, ASEAN.LATAR BELAKANGIndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rawan akan bencana alam. Letak geografisnya yang memiliki sebagian besar wilayah laut, iklim yang tropis dan juga tempat dimana banyak gunung berapi yang masih aktif membuat Indonesia menjadi sarat akan bencana. Sedikit melihat ke belakang, bencana alam tsunami di Aceh tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 merupakan sebagian dari bencana alam besar yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa hilang dan kerusakan infrastruktur. Belum lama ini juga terjadi tanah longsor di Banjarnegara yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa manusia beserta harta bendanya.Bukan hanya rawan akan bencana yang disebabkan oleh gejolak alam saja seperti gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor, Indonesia juga rawan akan bencana alam yang disebabkan oleh tingkah laku dan ulah manusia seperti banjir, kerusakan hutan dan kebakaran hutan. Terjadinya bencana alam yang menimbulkan banyak kerugian baik nyawa, harta benda maupun infrastruktur menunjukkan pentingnya memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik dan efektif.Belum lama ini di tahun 2014 masih terjadi bencana alam asap yang berkepanjangan di pulau Sumatera Indonesia. Di wilayah Riau, 49.000 orang menderita gangguan pernafasan di Pekanbaru dan sekitarnya dimana yang memiliki resiko kesehatan paling tinggi adalah ank- anak, bayi, ibu hamil dan manusia lanjut usia. Bencana alam kabut asap ini menyebabkan krisis udara bersih di Riau dan sekitarnya (BBC Indonesia, 2014). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kondisi kualitas udara disana sudah pada level berbahaya. Bencana kabut asap ini disebabkan oleh pembakaran lahan dan hutan di wilayah Riau yang semakin meluas dan tidak terkendali sehingga dampaknya dirasakan oleh masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di Riau dan juga Sumatera Barat. Permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana kabut asap di Riau bukan hanya menimbulkan kerugian bagi pihak Indonesia saja, namun juga warga negara tetangga yang terdampak asap kebakaran lahan dan hutan Indonesia. Malaysia dan Singapura menjadi negara korban kabut asap Indonesia yang begitu sulit ditanggulangi. Permasalahan bencana alam yang melibatkan kerugian negara lain menjadi hal penting untuk menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan permintaan maafnya kepada masyarakat dan pemerintah Malaysia dan Singapura dan rasa tanggung jawabnya atas kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kabut asap yang terjadi. Permintaan maaf yang disampaikan di bulan Juni 2013 itu ditindaklanjuti dengan menghentikan kebakaran yang terjadi di ladang- ladang di Riau dan sekitarnya. Susilo Bambang Yudhoyono juga menghimbau pejabat negara baik di pusat maupun daerah untuk berkoordinasi dalam mengatasi dan mencegah bencana serupa (Tribun News, 2013). Akan tetapi, permintaan maaf dan himbauan pemerintah saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dan juga timbulnya kerugian kesehatan yang diderita oleh masyarakat Indonesia sendiri terutama warga Riau dan sekitarnya. Kebijakan luar negeri yang tepat dan efektif tentunya sangat perlu untuk diterapkan oleh Indonesia karena rawannya kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera yang mungkin masih terjadi di kemudian hari. Kebijakan mengenai manajemen penanggulangan bencana alam khususnya kebijakan luar negeri bukan hanya akan menyelamatkan sebuah negara dalam hal manusia dan sumber dayanya namun juga memberi peluang bagi negara tersebut untuk menemukan elemen- elemen yang bisa diperbaiki untuk mengurangi resiko dari bencana alam itu sendiri. Berdasarkan fakta di atas, tulisan singkat ini akan membahas tentang perumusan kebijakan luar negeri Indonesia mengenai penanggulangan bencana kabut asap yang terjadi lintas negara.KAJIAN PUSTAKARiset tentang bencana alam kabut asap yang terjadi di Riau dan sekitarnya cukup sering dilaksanakan oleh para peneliti di Indonesia. Hasyim dan kawan- kawan pada tahun 2007 pernah melakukan penelitian berjudul Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Penelitiannya (Hasyim, 2007) berfokus pada pentingnya Indonesia untuk merumuskan kebijakan penanggulangan bencana berbasis masyarakat dengan membangun kemitraan yang baik untuk menciptakan pemahaman dan kesadaran masyarakat. Hasyim memilih untuk menjadikan Jepang sebagai negara pembanding dimana Jepang juga merupakan negara rawan bencana seperti Indonesia namun memiliki manajemen penanggulangan bencana yang lebih baik. Adapun konsep yang digunakan adalah pendekatan yang bertumpu pada manusia dan mengutamakan perlindungan masyarakat melalui upaya top down dan pemberdayaan masyarakat dengan upaya bottom up (Kementrian Sosial RI, 2007). Ristrini, Rukmini dan Oktarina juga pernah melakukan penelitian mengenai kebijakan penanggulangan bencana di Sumatera Barat. Mereka (Ristrini dkk, 2012) menekankan pentingnya penanggulangan bencana yang mengusung kolaborasi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam mengembangkan peraturan kesiapsiagaan bencana di bidang kesehatan. Tujuan dari penelitian tersebut lebih cenderung pada pengkajian aspek legal kebijakan, kelembagaan, peran dan koordinasi pihak- pihak terkait dan juga pendanaan serta program penanggulangan bencana.Berbeda dengan penelitian serupa di atas, kali ini penulis akan mengkaji urgensi atau pentingnya perumusan kebijakan luar negeri Indonesia mengenai bencana alam kabut asap. Berangkat dari timbulnya bencana kabut asap di wilayah Riau dan sekitarnya, penulis menyadari bahwa perumusan kebijakan yang efektif dan tepat sangatlah diperlukan. Penulis akan lebih fokus pada penanggulangan bencana kabut asap ini terkait dampak lintas negara yang ditimbulkan. Mengacu pada fakta yang menunjukkan bahwa bencana ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan pemerintah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, maka kebijakan yang diperlukan bukan hanya kebijakan di level nasional namun berupa kebijakan luar negeri. Untuk itu penulis akan menggunakan perspektif diplomasi bencana alam yang meyakini bahwa bencana alam bukan hanya membawa penderitaan dan keburukan bagi sebuah negara. Di sisi lain, bencana alam dapat memberi peluang bagi negara tersebut untuk menemukan elemen- elemen yang bisa diperbaiki untuk mengurangi resiko dari bencana alam itu sendiri.Diplomasi bencana alam dimaknai sebagai sebuah instrumen yang penting untuk memperjuangkan kepentingan politik seperti perdamaian dan kepentingan ekonomi seperti kolaborasi kerjasama ekonomi antar negara secara lebih intensif, atau kepentingan sosial budaya untuk membangun komunitas humanis dan berkeadaban. Jika konsep ini dipahami dalam perspektif positif maka sebuah bencana yang terjadi di suatu negara justru mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar untuk menyelesaikan berbagai problem kemanusian yang seringnya tidak dapat terselesaikan melalui diplomasi politik maupun ekonomi (Surwandono, 2011). Terlebih lagi, isu bencana kabut asap yang terjadi di wilayah Riau dan sekitarnya bukanlah hanya sebuah bencana nasional. Karena dampaknya yang lintas batas negara, isu ini juga menjadi isu internasional yang penyelesaiannya tidak cukup hanya menggunakan kebijakan dalam negeri saja. Konsep diplomasi bencana alam juga digunakan oleh I. Kelman dalam studi penelitiannya. Ia berpendapat bahwa bencana tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas tertentu dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik yang selama ini tak terpecahkan, baik dalam konteks persoalan dalam level nasional maupun antara negara. Menurut Ilan Kelman, bencana justru memberikan ruang yang besar bagi pihak-pihak yang memiliki potensi sebagai daerah yang rawan bencana untuk mencari ruang yang bisa dikerjakan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari bencana alam itu sendiri. Dalam tulisannya yang berjudul Tsunami Diplomacy, hubungan diplomasi antar negara yang didasarkan pada penanggulangan bencana dapat mengesampingkan konflik- konflik yang pernah muncul dan mengaburkan hubungan yang tidak baik serta menciptakan perdamaian antara pihak- pihak yang terlibat di dalamnya (Kelman, 2005).Studi tentang diplomasi bencana alam juga dilakukan oleh Weizhun. Menurut Weizhun, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang progresif tidak dapat dilepaskan dari upaya kapitalisasi pemerintah Tiongkok untuk mengelola bencana alam, sebagai sarana membangun kerjasama internasional dengan negara-negara yang selama ini mencurigai kebijakan Tiongkok yang interventif. Tiongkok justru menunjukan politik empati untuk terlibat dalam kerjasama dengan negara-negara yang rawan bencana alam sehingga memungkinkan Tiongkok untuk menanamkan investasinya di berbagai negara yang sebelumnya skeptis terhadap Tiongkok (Surwandono, 2011). Menurut Ratih Herningtyas dan Surwandono, Indonesia sebagai negara rawan bencana harus mengelola bencana dengan baik sehingga bencana justru dapat digunakan sebagai soft power dalam diplomasi Indonesia (BHP UMY, 2014). Seperti yang diungkapkan oleh S.L. Roy, soft power diplomacy adalah sebuah diplomasi yang dijalankan atas dasar kesepahaman baik dari negara subyek atau obyek untuk mencapao sebuah tujuan yang saling menguntungkan (Roy, 1991).PEMBAHASAN A. Bencana Kabut Asap di IndonesiaBencana alam kabut asap yang selama berkepanjangan terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Riau dan sekitarnya disebabkan oleh kebakaran lahan dan hutan di Pulau Sumatra. Kebakaran hutan di Sumatra terjadi hampir setiap tahun dan menghambat aktivitas dan merugikan kesehatan masyarakat yang tinggal disana. Efek dari kabut asap juga dirasakan oleh Malaysia dan Singapura yang berbatasan dengan wilayah Indonesia di Sumatera. Pemerintah kedua negara tersebut mengirimkan teguran pada pemerintah Indonesia untuk bertanggungjawab atas kerugian yang mereka alami. Bencana asap di Riau yang terjadi dalam periode 2000- 2008 diakibatkan oleh beberapa hal (Miharja, 2015):a. Munculnya bencana asap di Riau setiap tahun diakibatkan oleh izin pemanfaatan ruang yang diberikan terhadap perusahaan besar yang ada di provinsi Riau dengan kontribusi titik api berjumlah sekitar 34.748 atau 60.88%,b. Kebakaran terjadi akibat degradasi lingkungan sebagai akibat dari pemberian izin pemanfaatan ruang pada kawasan yang berkategori lindung menurut Kepres 32 Tahun 1990, PP 47 Tahun 1997 dan PP 26 Tahun 2008,c. Jumlah titik api yang menimbulkan asap berada pada kawasan bergambut padaperiode 2000- 2008dengan jumlah titik api 39.813 atau 69,76% dari total titik api dand. Penyebab dari kebakaran pada kawasan bergambut terjadi karena pembuatan drainase skala besar, sehingga mengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan gambut padamusimkemarau.Menurut Kartodiharjo (2006), kebakaran berulang yang terjadi di Indonesia terutama Pulau Sumatera menunjukkan kegagalan pengelolaan kawasan bergambut sebagai kawasan budidaya. Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi proyek pembangunan menjadi pihak yang dirugikan secara langsung. Selain itu, lingkungan juga menjadi korban dari pelaksanaan proyek yang tidak bertanggungjawab ini. Seharusnya pemerintah Indonesia seharusnya mengambil kebijakan yang tegas dalam hal penanggulangan bencana.B. Kebijakan Indonesia Mengenai Penanggulangan BencanaPemerintah Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan terkait penanggulangan bencana alam. Kebijakan tersebut antara lain UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non- pemerintah dalam Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Keputusan Presiden Nomor 29/M Tahun 2008 tentang Pengangkatan Kepala dan Pejabat Eselon I Badan Nasional Penanggulangan Bencana.Di tingkat nasional, implementasi kebijakan mengenai penanggulangan bencana haruslah mengintegrasikan berbagai komponen seperti pemerintah pusat dan daerah, pelaku sektor swasta dan yang terpenting adalah masyarakat lokal baik kelompok maupun individu. Yang dimaksud pemerintah bukan hanya presiden selaku eksekutif dan perangkat daerah seperti bupati dan walikota namun juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan lembaga pemerintah non-departemen setingkat menteri yang dibentuk oleh pemerintah sebagai badan yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan bencana pada tingkat nasional, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) sebagai lembaga yag dibentuk oleh gubernur untuk tingkat propinsi dan bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota sebagai badan yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan bencana pada tingkat daerah setelah melalui koordinasi dan konsultasi dengan kepala BNPB (Miharja, 2015). Meskipun Indonesia telah memiliki undang- undang dan peraturan mengenai penanggulangan bencana, kebijakan tersebut dinilai belum diterapkan dengan optimal seperti terlihat dari kurang tanggapnya pemerintah dan masyarakat pada saat bencana alam terjadi. Saat bencana tanah longsor yang menimbu satu dusun di Banjarnegara pada bulan Desember 2014 lalu sebenarnya bencana tersebut dapat dihindari dengan merelokasi penduduk di kawasan tersebut karena keadaan alam pegunungan dan tekstur tanahnya memang sangat rawan longsor (VOA Indonesia, 2014). Namun sikap tanggap pemerintah dinilai kurang dalam mengantisipasi bencana tersebut. Kejadian yang memakan banyak korban tersebut sebenarnya bisa dihindari atau paling tidak diantisipasi. Namun sayangnya barulah setelah bencana terjadi, kesadaran dan kehawatiran akan bencana yang sama bisa saja terulang muncul dan menjadi perhatian pemerintah.Seperti halnya bencana tanah longsor, sebenarnya bencana kabut asap di Pulau Sumatera Indonesia yang berdampak pula terhadap udara dan kesehatan masyarakat negara Malaysia dan Singapura bisa dihindari, diantisipasi bahkan dicegah. Bencana yang mencemari udara di tiga negara tersebut terjadi karena ulah manusia terutama diakibatkan oleh lemahnya regulasi pemerintah Indonesia. Sebagai bencana yang berdampak lintas negara, bencana ini juga menjadi perhatian dari pemerintah negara lain. Urgensi mengambil kebijakan luar negeri menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia agar nantinya bencana serupa bisa dicegah lebih awal. Kebijakan luar negeri yang efektif juga akan menghindari konflik antar negara yang mungkin muncul diantara Indonesia dan negara yang dirugikan. Disinilah muncul konsep diplomasi bencana alam dimana Indonesia bisa mempergunakan momen bencana untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain dalam hal penanggulangan bencana dan tidak menutup kemungkinan dalam kerjasama di bidang lainnya. Undang- undang dan peraturan pemerintah di Indonesia mengenai penanggulangan bencana belum memprioritaskan diplomasi bencana sebagai instrumen penting dalam penanganan bencana alam di Indonesia. C. Perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait Bencana Kabut AsapTerkait bencana kabut asap di wilayah Sumatera, Indonesia yang turut merugikan negara- negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura, ASEAN sebagai organisasi di tingkat regional turut andil dalam upaya penanganan bencana lintas negara tersebut. ASEAN telah membuat sebuah perjanjian yang mengatur tentang pencemaran kabut asap lintas negara yang bernama ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Baru setelah 12 tahun, Indonesia meratifikasi AATHP melalui proses disetujuinya Rancangan Undang- Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas untuk menjadi undang- undang. Pada tanggal 16 September 2014, Wakil Ketua DPR Republik Indonesia pada saat itu, Priyo Budi Santoso beserta Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Luar Negeri, Direktur Perancangan Kementrian Hukum dan HAM dan seluruh fraksi DPR RI meratifikasi undang- undang tentang penanganan kebakaran hutan yang menjadi akar dari permasalahan bencana kabut asap lintas batas negara yang diinisiasi oleh ASEAN.Keputusan Indonesia untuk meratifikasi AATHP merupakan langkah nyata di level regional yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam upaya penanggulangan bencana alam kabut asap. Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki beberapa kebijakan yang bersifat nasional dan dirumuskan tanpa adanya intervensi eksternal. Indonesia belum menjadi bagian dari perjanjian internasional di tingkat regional ASEAN mengenai Pencemaran Asap Lintas Batas. Namun, setelah Indonesia meratifikasi AAHTP pada September 2014, Indonesia menapaki peran dan tanggung jawab barunya di ASEAN dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan pencemaran udara dan kabut asap yang terjadi lintas batas negara. Komitmen Indonesia semakin diperhitungkan dan diharapkan dapat mengatasi bencana kabut asap yang bukan hanya mencemari (lingkungan) namun juga merugikan kesehatan manusia dan mengganggu fasilitas transportasi. AAHTP mulai diberlakukan pada tanggal 25 November tahun 2003. AAHTP merupakan produk kesepakatan Pertemuan Tingkat Tinggi Informal ASEAN II di Kuala Lumpur tahun 1997 sebagai reaksi kebakaran hutan besar- nesaran di tahun tersebut. Bencana kabut asap tahun 1997 yang berdampak pada pencemaran udara lintas batas negara ASEAN menjadi dasar dirumuskannya AAHTP dimana pada tahun 2002 negara anggota ASEAN menandatangani perjanjian tersebut di Kuala Lumpur. Walaupun terbilang terlambat bagi Indonesia karena merupakan negara anggota ASEAN terakhir yang meratifikasi AAHTP, namun ini menjadi kebijakan luar negeri Indonesia yang patut diapresiasi dan telah diharap- harapkan komunitas internasional mengingat fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan hutan terluas di ASEAN sehingga menjadikannya negara paling rawan bencana asap. Konflik antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura turut mempengaruhi keputusan Indonesia untuk meratifikasi AAHTP. Sebelumnya Indonesia harus terlebih dulu didorong oleh haze bill atau peraturan bencana asap di Singapura.Jauh sebelum meratifikasi AAHTP, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto yang menuntutnya untuk berkomitmen mengelola hutan dan lingkungan dengan menurunkan emisi gas rumah kaca yang mencakup sektor kehutanan. Pada kenyataannya, tahun 2013 justru menjadi tahun terbanyak titik api kebakaran hutan.Proses ratifikasi AAHTP melalui proses yang sangat panjang sejak diajukannya RUU pada tahun 2003. Terdapat indikasi bahwa pemilihan presiden baru yang diusung oleh fraksi PDI-P (yang sejak dulu selalu menolak ratifikasi AAHTP) turut mempengaruhi keputusan pemerintah tentang kebijakan luar negerinya dalam hal penanganan kabut asap. Proses ratifikasi diharapkan mampu membuat negara lebih patuh terhadap peraturan AAHTP dan mengimplementasikan dengan efektif dan membangun koordinasi yang baik antara yudikatif, eksekutif dan legislatif. Indonesia berperan sebagai negara terpenting dan signifikan mulai dari penegakkan peraturannya dan pengelolaan lahan dan hutan mengingat wilayah hutannya yang paling luas di ASEAN. Secara internal, perumusan kebijakan luar negeri dengan diratifikasinya AAHTP akan menjadi acuan Indonesia dalam melindungi masyarakatnya dari dampak buruk kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan polusi udara oleh asap yang berkepanjangan. Dengan perlindungan tersebut, kualitas hidup dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakatnya juga bisa dioptimalkan dan dibangkitkan dari keadaan sebelumnya dimana kabut asap membatasi aktivitas masyarakat sehari- hari. Indonesia juga akan berpotensi melindungi sumber daya alam berupa lahan dan hutan dengan pencegahan dan pengelolaan hutan dari kemungkinan terjadinya bencana kebakaran dan kabut asap.KESIMPULANBencana alam kabut asap yang terjadi di Indonesia tepatnya di wilayah Riau dan sekitarnya sejak tahun 2000 bahkan hingga tahun 2014 bukan hanya menjadi bencana nasional yang merugikan masyarakat Indonesia saja. Bencana ini menjadi bencana dengan dampak lintas batas negara karena negara Malaysia dan Singapura juga merasakan efek dari bencana tersebut terutama dalam hal kesehatan masyarakat dan pencemaran lingkungan. Undang- undang dan peraturan pemerintah di Indonesia dinilai belum optimal diterapkan sehingga Indonesia dipandang belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik. Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal penanganan bencana alam kabut asap dapat terlihat belum lama ini pada bulan September 2014 dengan diratifikasinya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas oleh Indonesia. Proses pengambilan kebijakan ini memakan waktu yan cukup lama sejak diberlakukannya perjanjian ini di lingkup ASEAN. Ratifikasi AAHTP oleh Indonesia menjadi langkah awal yang nyata bagi Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya pencegahan dan penanganan bencana alam kabut asap. Sebagai negara dengan hutan terluas di ASEAN dan negara yang paling rawan kebakaran hutan, komitmen Indonesia begitu diharapkan dan diapresiasi komunitas negara- negara ASEAN. Referensi: Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Malau, Srihandiatmo. 2013. Presiden Minta Maaf Soal Kabut Asap yang Ganggu Negara Tetangga. Tribun News diunduh dari http://www.tribunnews.com/nasional/2013/06/24/presiden-minta-maaf-soal-kabut-asap-yang-ganggu-negara-tetangga pada Januari, 2015.Aquina, Dwifantya dan Ali Azumar. 2014. Jumlah Hotspot Riau Meningkat, Negara Tetangga Masih Terdampak Asap. Viva News diunduh dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/538643-jumlah-hotspot-riau-meningkat--negara-tetangga-masih-terdampak-asap pada Januari 2015.BHP UMY. 2014. Penanggulangan Bencana sebagai Soft Power Diplomasi Indonesia. UMY: Yogyakarta diunduh dari http://www.umy.ac.id/penanggulangan-bencana-sebagai-soft-power-diplomasi-indonesia.html pada Januari 2015.Miharja, Helmy. 2015 Kebakaran Hutan di Riau, Salah Siapa?. Academia.edu diunduh dari https://www.academia.edu/6421813/kebakaran_hutan_salah_siapa_ pada Januari 2015.Hasyim, dkk. 2007. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Kementrian Sosial Republik Indonesia diunduh dari http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=406 pada Februari 2015.TDMRC. 2014. Kementrian Luar Negeri dan TDMRC Adakan Seminar Kerjasama ASEAN dalam Penanganan BencanaVOA Indonesia. 2014. Satu Dusun Tertimbun di Banjarnegara. Diunduh dari http://www.voaindonesia.com/content/satu-dusun-tertimbun-di-banjarnegara-jawa-tengah/2557623.html pada Februari 2015.

1