paper 3 hpi

Upload: oga-yogananda

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    1/14

    Nama : Oga Yogananda

    NPM : 110120130045

    Penegakkan Hukum Pidana Internasional

    Penegakkan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah mengenai

    hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Dimana aspek-aspek internasional

    dalam hukum pidana yang terdapat di dalamnya. Penegakkan hukum pidana internasional

    terbagi menjadi 2 yaitu direct enforcement system (sistem penegakkan langsung) dan

    Indirect enforcement system (penegakkan hukum secara tidak langsung) yang dalam

    perkembangannya terdapat juga yang disebut dengan hybrid model atau model campuran

    yang mengakomodasi penegakkan hukum pidana internasional melalui hukum pidana

    nasional dan internasional.

    A. Penegakan Hukum Internasional secara langsung

    Penegakan hukum pidana internasional secara langsung atau direct enforcement

    system adalah penegakan hukum pidana internasonal oleh Mahkamah Pidana

    Internasional. Dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional, direct

    enforcement system yang dilakukan terhadap para pelaku kejahatan internasional bersifat

    ad-hoc, kendatipun dunia telah memiliki Mahkamah Pidana Internasional permanen yang

    lahir berdasarkan Statuta Roma. Adapun yang termasuk penegakan hukum internasional

    yang bersifat permanen disini adalah :

    1. Mahkamah Pidana Internasional Permanen (I nternational Criminal

    Court)

    Pada tanggal 17 juli 1998 Statuta Roma melahirkan Mahkamah Pidana

    Internasional yang berada dibawah PBB dengan tempat kedudukan di Den Haag,

    belanda. Yuridiksinya meliputi kejahatan Agresi, kejahatan Genosida, Kejahatan

    terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Sejak terbentuk pada tahun 1998 dan

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    2/14

    efektif berlaku pada tanggal 1 juli 2002, untuk pertama kalinya mahkamah pidana

    internasional melakukan pengadilan adalah dalam kasus kejahatan perang dengan

    terdakwa Thomas Lubanga Dylodimana Lubanga adalah pendiri dan pemimpin

    Union of Congolose Patrots (UPC) yang melakukan perekrutan terhadap anak

    dibawah umur 15 tahun, pembunuhan dengan skala besar, pemerkosaan, dan

    penyiksaan.lubanga didakwa dengan tuduhan kejahatan perang.

    2. Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc

    Penegakkan hukum pidana internasional secara langsung dalam sejarah

    perkembangan hukum pidana internasional untuk pertama kalinya dilakukan

    pasca-perang dunia kedua di Nuremberg yang kemudian dikenal dengan

    Nuremberg trial yang selanjutnya muncul peradilan yang bersifat Ad-hoc lainnya

    yaitu Mahkamah Tokyo, internatonal criminal tribunal for the former Yugoslavia

    dan international criminal tribunal for Rwanda

    Kemudian saya coba perbandingkan efektifitas penegakkan hukum pidana

    internasional secara langsung ini yakni melalui Mahkamah Pidana Internasional

    permanen ataupun ad-hoc terhadap kejahatan internasional, lalu bagaimana dengan

    kondisi di Gaza saat ini? Yang sudah jelas apa yang dilakukan oleh militer Israel yang

    juga membunuh sipil ? yang padahal bila melihat dalam kasus serupa, yakni dalam

    Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg disana terdapat 3 jenis kejahatan

    yaitu terhadap kejahatan perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap

    kemanusiaan, yang perlu digaris bawahi adalah crimes against humanity yakni segala

    bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil (non-combatant) selama peperangan

    berlangsung. Kemudian bila kita bandingkan lagi dalam kasus tindakan turki atas

    kekejaman yang dilakukannya selama perang terhadap populasi Armenia di turki, yang

    akhirnya muncul istilah crimes against civilization and humanity. Tetapi mengapa dalamtindakan Israel terhadap gaza ini terasa adanya kesan pengabaian, yang padahal sudah

    terdapat kejahatan internasional didalamnya, apakah belum menimbulkan ancaman

    terhadap perdamaian dan keamanan internasional? Mengapa tidak seperti dalam

    pengadilan tindak pidana internasional di rwanda dalam mengambil preseden pengadilan

    Yugoslavia.

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    3/14

    B. Penegakan Hukum Internasional secara Tidak Langsung

    Penegakan hukum internasional secara tidak langsung atau indirect enforcement

    system adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional

    masing-masing Negara dimana kejahatan internasional tersebut terjadi. Dalam konteks

    Indonesia, indirect enforcement system pernah dilakukan dalam mengadili kasus

    Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (pelanggaran HAM berat) pasca-jajak pendapat

    Tim-Tim. Menurut hukum nasional Indonesia, Pelanggaran HAM Berat hanya meliputi

    dua kejahatan, yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Pasca-jajak pendapat yang menghasilkan Tim-Tim merdeka, ternyata berbagai

    kekerasan meningkat hamper di seluruh wilayah Tim-tim berupa pembunuhan,

    penculikan, pemerkosaan, pengrusakkan, penjarahan harta benda dan tempat tinggal,

    pembakaran dan penghancuran instalasi militer, perkantoran dan rumah penduduk, serta

    pengungsian secara paksa. Situasi yang tidak menentu pasca-jajak pendapat di Tim-Tim,

    memaksa Dewan Keamanan PBBmengeluarkan Resolusi Nomor 1264 pada tanggal 15

    september 1999. Isi resolusi tersebut selain mengutuk berbagai aksi kekerasan di Tim-

    Tim, juga mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk mengadili para pelaku yang

    bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia

    (Pengadilan HAM)Ad-Hoc.

    Resolusi Dewan Keamanan PBB selanjutnya ditindaklanjuti dengan

    penyelenggaraanspecial session oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tanggal 23-

    27 September 1999 yang menghasilkan resolusi 1999/S-4/1. Resolusi tersebut menuntut

    kepada Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi

    Manusia menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan

    dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia diadili. Sebagai reaksi terhadap

    resolusi tersebut Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan terkaitpenyelesaian kasus Tim-Tim pasca jajak pendapat yang antara lain adalah :

    1. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 770/TUA/IX/99 Tahun

    1999 tentang pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi

    Manusia di Timor-Timur (KPP-HAM Tim-Tim).

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    4/14

    Hukum

    internasional

    Hukum

    Pidana

    Nasional

    2. Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 1999 yang kemudian dicabut dan

    diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

    Hak Asasi Manusia.

    3. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang

    Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad-Hoc untuk pelanggaran hak

    asasi manusia yang berat di Tim-Tim.

    4. Surat Keputusan Presiden Nomor 6/m/2002 Tahun 2002 tentang

    Pengangkatan HakimAd-Hocpada pengadilan Hak Asasi Manusia.

    Kemudian saya akan lebih mencoba menggambarkan apa yang disebut direct dan

    indirect enforcement

    H.P.I

    Direct Enforcement

    Indirect Enforcement

    Ketika kita bicara mengenai Indirect adalah ketika penegakkan hukum pidana

    internasional melalui hukum pidana nasional masing-masing Negara dimana kejahatan

    itu terjadi didalamnya bisa terkait dengan substansi ataupun mekanismenya, intinya

    adalah ketika hukum pidana nasional dikedepankan yaitu melalui penegakkan-nya yang

    dilakukan oleh hukum pidana nasional suatu Negara ketika terjadinya suatu kejahatan.

    Lalu ketika kita berbicara mengenai Direct enforcement sesuai dengan gambar

    diatas adalah ketika hukum internasional yang dikedepankan, menurut prof romli, tujuan

    dari direct enforcement itu ada dua, pertama, merupakan suatu upaya untuk

    melaksanakan pembentukkan suatu mahkamah pidana internasional, kedua, suatu upaya

    mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    5/14

    mahkamah pidana internasional, lalu kemudian pada tanggal 17 juli 1998 statuta roma

    melahirkan yang namanya mahkamah pidana internasional dimana tujuan pertama dan

    tujuan kedua terkait yang dikemukakan oleh prof romli sudah tercapai, kemudian

    muncul pertanyaan apakah mahkamah pidana internasional sudah dapat dikatakan

    sebagai penegakkan langsung atau direct enforcement? Pertanyaan ini muncul terkait

    dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam statute roma yakni sebagai berikut:

    Pertama, bersifat komplementer artinya jika terjadi kejahatan yang menjadi

    yurisdiksi mahkamah pidana internasional, maka pengadilan terhadap pelaku kejahatan

    terlebih dahulu diserahkan kepada hukum nasional Negara dimana kejahatan tersebut

    dilakukan, apabila Negara tersebut tidak dapat mengadili si pelaku kejahatan tersebut,

    maka pengadilan terhadap pelaku dilakukan oleh mahkamah pidana internasional.

    Kedua, asas legalitas berlaku secara absolut dan tidak dimungkinkan

    penyimpangan terhadapnya selama menyangkut kejahatan-kejahatan yang menjadi

    yurisdiksi mahkamah pidana internasional, tidak hanya larangan hukum berlaku surut

    atau prinsip non-retroaktif, larangan terhadap analogi juga termaktub secara eksplisit

    dalam statuta roma. Bahkan dalam hal terdapat keragu-raguan atau perubahan peraturan,

    maka harus ditetapkan aturan yang meringankan orang yang disidik, dituntut, atau diadili

    berdasarkan statuta roma.

    Ketiga, asas ne bis in idem yang berarti seseorang tidak dapat dituntut lebih dari

    satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama. Akan tetapi dalam statuta roma

    asas ini tidak berlaku mutlak, artinya asas tersebut dapat disimpangi jika pengadilan

    nasional yang mengadili pelaku kejahatan tersebut tidak berjalan fair atau bermaksud

    untuk membebaskan pelaku dari segala tuntutan. Keempat, prinsip pertanggung jawaban

    pribadi sebagaimana yang dianut dalam hukum pidana. Kelima, percobaan, penyertaan

    dan pemufakatan jahat untuk melakukan perbuatan yang merupakan yurisdiksi

    mahkamah. Keenam, tidak mengenal relevansi jabatan resmi dan tidak berlaku tanggung

    jawab komando dan atasan lainnya. Ketujuh, tidak dimasukkannya yurisdiksi anak-anak

    dibawah umur 18 tahun.

    Kemudian berangkat dari asas-asas yang disampaikan tadi kemudian berdasarkan

    apa yang digambarkan diatas apakah mahkamah pidana internasional masih dapat disebut

    penegakkan secara langsung? Yang artinya bahwa seharusnya hukum internasional yang

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    6/14

    dikedepankan, tetapi menurut asas-asas tersebut bahwa hukum nasional tetap

    dikedepankan dan kemudian baru ditangani oleh mahkamah internasional. Menurut

    pemahaman saya penegakkan secara langsung adalah dimana kewenangan untuk

    mengadili salah satunya mengenai mekanisme dalam peradilannya mahkamah

    internasional secara langsung mengadili pelaku kejahatan tersebut, bukan melalui

    penegakkan hukum nasional saja, yang artinya secara tidak langsung untuk mengadili.

    Bicara mengenai penegakkan hukum internasional secara langsung adalah ketika

    ditangani langsung oleh mahkamah pidana internasional, walaupun di dalam statuta roma

    penanganannya lebih dikedepankan hukum nasional dahulu baru kemudian kepada

    mahkamah pidana internasional. Namun dalam pandangannya saya bahwa dalam

    penegakkan secara langsung adalah ketika penegakkan hukum pidana internasional yang

    secara langsung ditangani oleh mahkamah pidana internasional.

    C. Hybrid Model

    Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa selain direct enforcement system dan

    indirect enforcement system dalam penegakan hukum pidana internasional, berdasarkan

    perkembangan hukum pidana internasional dikenalHybrid Model atau model campuran,

    hybrid modelini adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum nasional

    dan hukum internasional yang pertama kali dilakukan terhadap para pelaku killing field di

    kamboja, dimana selama kurang lebih 4 tahun, 17 april 1975 sampai dengan 7 januari

    1979, kamboja menjadi lahan pembantaian umat manusia oleh Khmer Merah dibawah

    pimpinan Pol Pot. Lebih dari dua juta jiwa melayang selama masa tersebut. Dimana

    terdiri dari hakim kamboja dan hakim asing.

    Penegakan hukum pidana internasional dengan hybrid modeljuga terjadi di Sierra

    leone. Dimana pemerintah sierra leone dan PBB membentuk pengadilan yang mengadili

    pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    7/14

    Yurisdiksi Negara Menurut Princeton Principal of Universal Jurisdiction

    Subjek dalam Princeton Principal of Universal Jurisdiction adalah Hak Asasi

    Manusia. Hal ini dipicu karena banyaknya kejahatan terhadap hak asasi manusia yang

    tidak ditindaklanjuti dengan baik, dipicu pula dengan globalisasi dan permbukaan batas-

    batas negara membuat bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia menjadi semakin

    banyak dan rumit untuk ditangani.

    Princeton Principal of Universal Jurisdiction berdasar pada ide bahwa terdapat

    beberapa kejahatan yang membahayakan kepentingan internasional dimana negara

    memiliki kewenangan untuk meberi cara untuk melawan pelaku kejahatan, tanpa

    menghiraukan tempat dimana kejahatan itu berlangsung atau nasionalitas dari pelaku

    kejahatan ataupun korban.

    Universal jurisdiction ini bertujuan untuk dapat digunakan dan berguna bagi para

    permbuat undang-undang agar dapat menjamin bahwa hukum nasional dapat

    menyesuaikan diri dengan hukum internasional, untuk para hakim agar dapat

    menginterpretasi dan mengaplikasikan hukum internasional dan untuk

    mempertimbangkan apakah hukum nasional menyesuaikan diri kepada obligasi legal

    internasional negaranya, kepada pemerintah agar melaksanakan kekuasaan yang

    dimilikinya dibawah baik hukum nasionalnya juga hukum internasionalnya, untuk

    organisasi non pemerintah dan masyarakat sipil agar aktif dalam dalam mempromosikan

    international criminal justice dan hak asasi manusia.

    Prinsip 1Asas Pokok dari Universal Jurisdiction

    1. Untuk kepentingan prinsip-prinsip ini, Universal Jurisdiction merupakan yurisdiksi

    kriminal yang semata-mata berdasar pada sifat dari kejahatan, tanpa melihat dimana

    suatu kejahatan dilakukan, nasionalitas dari yang dinyatakan atau yang dicurigai

    sebagai pelaku kejahatan, nasionalitas korban, atau hubungan lainnya kepada negara

    yang menggunakan suatu yurisdiksi.

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    8/14

    2. Yurisdiksi universal dapat dilakukan oleh badan peradilan yang kompeten dari negara

    manapun dalam upayanya untuk menindak pihak yang sepatutnya dituntut karena

    melakukan kejahatan serius dibawah hukum internasional seperti yang terdapat dalam

    Prinsip 2(1), dengan syarat bahwa orang tersebut hadir dalam badan peradilan

    tersebut.

    3. Negara dapat bersandar pada yurisdiksi internasional sebagai dasar untuk memberi

    ekstradisi kepada seseorang terdakwa atau narapidana atas kasus kejahatan serius

    dibawah hukum internasional seperti yang terdapat dalam Prinsip 2(1), dengan syarat

    bahwa telah diterapkan kasusprima faciedari kesalahan seseorang dan bahwa orang

    tersebut yang akan diekstradisi akan diadili atau hukuman yang dibawa sesuai dengan

    norma internasional dan standar pada perlindungan hak asasi manusia dalam konteks

    proses pidana.

    4. Dalam menggunakan yuridiksi universal dalam pencarian ekstradisi, negara dan

    badan peradilannya harus memperhatikan norma-norma proses peradilan

    internasional termasuk namun tidak terbatas pada yang melibatkan hak-hak korban

    dan terdakwa, kewajaran proses, dan saling ketergantungan dan imparsialitas

    peradilan (selanjutnya dirujuk sebagai "internasional norma proses hukum")

    5. negara harus melaksanakan yurisdiksi universal dengan itikad baik dan sesuai dengan

    hak dan kewajibannya di bawah hukum internasional.

    Prinsip 2Kejahatan Serius di Bawah Hukum Internasional

    1. Untuk kepentingan rangkaian prinsip ini, kejahatan serius dibawah hukum

    internasional adalah : (1) pembajakan; (2) perbudakan; (3) kejahatan perang; (4)

    kejahatan melawan perdamaian; (5) kejahatan melawan kemanusiaan; (6) genosida;

    dan (7) penyiksaan2. Pelaksanaan dari yurisdiksi internasional kepada kejahatan dalam pasal 1 adalah

    tanpa prasangka untuk aplikasi yurisdiksi internasional kepada kejahatan lainnya

    dibawah hukum internasional

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    9/14

    Prinsip 3 Ketergantungan pada Yurisdiksi Internasional dalam Ketiadaan

    Legislasi Nasional

    Sehubungan dengan kejahatan serius di bawah hukum internasional sebagaimana

    tercantum dalam Prinsip 2 (1), organ peradilan nasional dapat bergantung pada yurisdiksi

    universal bahkan jika undang-undang nasional mereka tidak secara khusus menyediakan

    untuk itu.

    Prinsip 4 - Kewajiban untuk Mendukung Akuntabilitas

    1. Sebuah negara harus mematuhi semua kewajiban internasional yang berlaku untuk:

    menuntut atau mengekstradisi terdakwa atau narapidana dengan kejahatan di bawah

    hukum internasional sesuai dengan proses hukum yang sesuai dengan norma-norma

    proses peradilan internasional, memberikan negara-negara lain menyelidiki atau

    mengadili kejahatan tersebut dengan segala cara yang tersedia melalui bantuan

    administratif dan hukum, dan melakukan langkah-langkah yang perlu dan tepat

    sejenis lainnya yang konsisten dengan norma dan standar internasional.

    2. Sebuah negara, dalam pelaksanaan yurisdiksi universal, mungkin, untuk tujuan

    penuntutan, meminta bantuan pengadilan untuk mendapatkan bukti dari negara lain,

    asalkan negara peminta memiliki dasar itikad baik dan bahwa bukti yang dicari akan

    digunakan sesuai dengan norma-norma proses peradilan internasional.

    Prinsip 5 - Kekebalan

    Sehubungan dengan kejahatan serius di bawah hukum internasional sebagaimana

    tercantum dalam Prinsip 2 (1), posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, baik sebagai

    kepala negara atau pemerintahan atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung

    jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau

    mengurangi hukuman.

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    10/14

    Prinsip 6 - Statuta Keterbatasan

    Statuta pembatasan atau bentuk lain dari hal semacam itu tidak berlaku untuk

    kejahatan serius di bawah hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Prinsip 2

    (1).

    Prinsip 7 - Amnesti

    1. Amnesti umumnya konsisten dengan kewajiban negara untuk memberikan

    pertanggungjawaban atas kejahatan serius di bawah hukum internasional

    sebagaimana tercantum dalam Prinsip dalam 2 (1).

    2.

    Pelaksanaan yurisdiksi universal terhadap kejahatan serius di bawah hukum

    internasional sebagaimana tercantum dalam Prinsip 2 (1) tidak dilarang oleh amnesti

    yang tidak sesuai dengan kewajiban hukum internasional dari negara pemberi.

    Prinsip 8 - Resolusi dari Bersaing Yurisdiksi Nasional

    Dimana lebih dari satu negara memiliki atau mungkin menegaskan yurisdiksi atas

    seseorang dan di mana negara yang memiliki hak asuh dari orang tersebut tidak memiliki

    dasar untuk yurisdiksi selain prinsip universalitas, negara itu atau organ peradilan wajib,

    dalam memutuskan apakah akan mengadili atau mengekstradisi, mendasarkan keputusan

    mereka pada saldo keseluruhan dari kriteria berikut:

    a) kewajiban perjanjian multilateral atau bilateral;

    b) tempat pelaksanaan kejahatan;

    c) koneksi kewarganegaraan tersangka ke negara peminta;

    d)

    koneksi kebangsaan korban ke negara peminta;

    e) hubungan lain antara negara peminta dan tersangka, kejahatan, atau korban;

    f) kemungkinan, itikad baik, dan efektivitas penuntutan di negara peminta;

    g) keadilan dan ketidakberpihakan proses di negara peminta;

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    11/14

    h) kemudahan kepada para pihak dan saksi-saksi, serta ketersediaan bukti di negara

    peminta; dan

    i) kepentingan keadilan.

    Prinsip 9 - Non Bis In Idem / Resiko Ganda

    1. Dalam pelaksanaan yurisdiksi universal, negara atau organ peradilan yang harus

    memastikan bahwa orang yang tunduk pada proses pidana tidak akan terkena

    beberapa tuntutan atau hukuman untuk tindak pidana yang sama di mana PROSES

    kriminal sebelumnya atau proses akuntabilitas lainnya telah dilakukan dengan itikad

    baik dan sesuai dengan norma dan standar internasional. Penuntutan palsu atau

    hukuman derisory dihasilkan dari keyakinan atau proses akuntabilitas lainnya tidak

    akan diakui berada dalam ruang lingkup Prinsip ini.

    2. Sebuah negara harus mengakui keabsahan suatu penggunaan yang tepat dari

    yurisdiksi universal oleh negara lain dan harus mengakui penghakiman terakhir dari

    badan peradilan nasional yang kompeten dan biasa atau badan pengadilan

    internasional yang berkompeten melaksanakan yurisdiksi tersebut sesuai dengan

    norma-norma proses peradilan internasional.

    3. Setiap orang diadili atau dihukum oleh negara yang melakukan yurisdiksi universal

    atas kejahatan serius di bawah hukum internasional sebagaimana tercantum dalam

    Prinsip 2 (1) berhak dan memiliki legal standing untuk muncul sebelum badan

    pengadilan nasional atau internasional mengklaim non bis in idem bertentangan

    dengan prosedur pidana lanjut.

    Prinsip 10 - Alasan untuk Penolakan Ekstradisi

    1.

    Sebuah negara atau organ hukumnya menolak untuk mengabulkan permintaan

    ekstradisi berdasarkan yurisdiksi universal jika orang yang mencari ekstradisi tersebut

    memiliki kemungkinan menghadapi hukuman hukuman mati atau menjadi sasaran

    penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, merendahkan, atau hukuman atau

    perlakuan tidak manusiawi, atau jika ada kemungkinan bahwa orang yang dicari akan

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    12/14

    dikenai proses yang palsu di mana norma-norma proses hukum internasional akan

    dilanggar dan tidak ada kepastian yang memuaskan sebaliknya disediakan.

    2. Sebuah negara yang menolak untuk mengekstradisi atas dasar Prinsip ini harus, bila

    diizinkan oleh hukum internasional, menuntut individu dituduh melakukan kejahatan

    serius di bawah hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Prinsip 2 (1) atau

    mengekstradisi orang tersebut ke negara bagian lain di mana ini dapat dilakukan

    tanpa mengekspos dia untuk risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

    Prinsip 11 - Adopsi Legislasi Nasional

    Sebuah negara harus, bila perlu, memberlakukan undang-undang nasional untuk

    memungkinkan pelaksanaan yurisdiksi universal dan penegakan Prinsip-prinsip ini.

    Prinsip 12 - Pencantuman Yurisdiksi Universal di Perjanjian di Masa Depan

    Dalam semua perjanjian di masa depan, dan protokol untuk perjanjian yang ada,

    berkaitan dengan kejahatan serius di bawah hukum internasional sebagaimana tercantum

    dalam Prinsip 2 (1), negara harus mencakup ketentuan untuk yurisdiksi universal.

    Prinsip 13 - Penguatan Akuntabilitas dan Yurisdiksi Universal

    1. Organ peradilan nasional harus menafsirkan hukum nasional dengan cara yang

    konsisten dengan Prinsip-prinsip ini.

    2. Tidak ada dalam Prinsip-prinsip ini akan ditafsirkan untuk membatasi hak dan

    kewajiban negara untuk mencegah atau menghukum, dengan cara yang sah yang

    diakui di bawah hukum internasional, kejahatan di bawah hukum internasional.

    3. Prinsip-prinsip ini tidak akan ditafsirkan sebagai pembatas pengembangan lebih

    lanjut dari yurisdiksi universal dalam hukum internasional.

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    13/14

    Prinsip 14 - Penyelesaian Sengketa

    1. Sesuai dengan hukum internasional dan Piagam negara-negara PBB harus

    menyelesaikan perselisihan mereka yang timbul dari pelaksanaan yurisdiksi universal

    dengan segala cara yang tersedia mengenai penyelesaian sengketa secara damai dan

    khususnya dengan mengirimkan sengketa ke Mahkamah Internasional.

    2. Penundaan penentuan isu dalam sengketa, negara yang ingin menggunakan yurisdiksi

    universal tidak akan menahan terdakwa atau berusaha untuk memiliki orang yang

    ditahan oleh negara lain, kecuali ada risiko yang wajar dari penerbangan dan tidak

    ada cara lain yang wajar dapat ditemukan untuk memastikan penampilan akhirnya

    orang itu sebelum organ-organ peradilan negara berusaha untuk melaksanakan

    yurisdiksinya.

    Dalam melihat bagaimana yurisdiksi negara menurut prinsip-prinsip diatas, kita

    dapat melihat bahwa negara memiliki semacam kewajiban untuk menjalankan yurisdiksi

    universal untuk memutuskan apakah dia akan menuntut atau mengekstradisi seorang

    terdakwa atau narapidana dalam kejahatan serius seperti yang dijelaskan dalam prinsip

    2(1). Negara juga dituntut untuk lebih mengedepankan prinsip ini daripada legislasi

    nasionalnya, hal ini dikarenakan jenis kejahatan yang tersangkut dalam kasus-kasus yang

    membutuhkan yurisdiksi universal.

    Ke-14 Prinsip ini dimaksudkan untuk membantu memandu badan legislatif

    nasional berusaha untuk memberlakukan undang-undang pelaksanaannya; hakim yang

    mungkin diperlukan untuk menafsirkan yurisdiksi universal dalam menerapkan hukum

    domestik atau dalam membuat keputusan ekstradisi; pemerintah yang harus memutuskan

    apakah akan menuntut atau mengekstradisi, atau untuk membantu dalam

    mempromosikan akuntabilitas pidana internasional; dan semua orang di masyarakat sipil

    yang peduli dengan membawa para pelaku kejahatan serius internasional.

    Dalam yurisdiksi universal, ketika telah disepakati bahwa kewajiban telah dibuat

    dalam suatu perjanjian, sistem hukum berbeda dalam bagaimana mereka menggabungkan

    kewajiban internasional ke dalam hukum domestik. Dalam banyak sistem hukum,

  • 7/21/2019 Paper 3 HPI

    14/14

    peradilan nasional tidak dapat menerapkan yurisdiksi universal dalam ketiadaan legislasi

    nasional. Dalam sistem lain adalah mungkin bagi pengadilan bergantung langsung pada

    perjanjian dan hukum kebiasaan internasional tanpa menunggu untuk menerapkan

    undang-undang.

    Dalam Prinsip 3 terdapat dorongan kepada pengadilan untuk mengandalkan

    yurisdiksi universal dalam ketiadaan legislasi nasional, asalkan diizinkan oleh sistem

    hukum mereka untuk melakukannya. Prinsip 11 menyerukan pada badan legislatif untuk

    membuat undang-undang yang memungkinkan pelaksanaan yurisdiksi universal. Prinsip

    12 menyerukan pada negara untuk memberikan yurisdiksi universal dalam perjanjian dan

    protokol di masa depan untuk perjanjian yang ada. Untuk menjadi bahan pertimbangan

    suatu negara dalam menjalankan yurisdiksi universal, maka dijelaskan dalam prinsip ke-8

    mengenai apa-apa saja yang menjadi bahan pertimbangan dijatuhkannya ekstradisi atau

    tuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindakan kejahatan serius.