paper slum area 3

30
TUGAS PERMASALAHAN PEMBANGUNAN “SLUM SEATTLEMENT SEBAGAI BAGIAN KEHIDUPAN URBAN” OLEH : ABIMANYU DJU (14/372713/PTK/9861) EKA KUSUMA RENY (14/372904/9904) TRI HESTI MILANINGRUM (14/372838/PTK/9890) PROGRAM STUDI S2 TEKNIK ARSITEKTUR

Upload: mairo-shiroyama

Post on 22-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

belum jadi

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Slum Area 3

TUGAS PERMASALAHAN PEMBANGUNAN

“SLUM SEATTLEMENT SEBAGAI BAGIAN KEHIDUPAN URBAN”

OLEH :

ABIMANYU DJU (14/372713/PTK/9861)

EKA KUSUMA RENY (14/372904/9904)

TRI HESTI MILANINGRUM (14/372838/PTK/9890)

PROGRAM STUDI S2 TEKNIK ARSITEKTUR

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2015

Page 2: Paper Slum Area 3

Abstrak

Permukiman kumuh adalah suatu permukiman padat perkotaan yang terbentuk oleh kemiskinan. Permukiman kumuh memiliki karakteristik dan luas yang berbeda-beda disetiap negara. Namun pada dasarnya memiliki banyak kesamaan yaitu, kurangnya penyediaan air bersih, sanitasi yang buruk, sistem kelistrikan yang seadanya, kurangnya penegak hukum, dan fasilitas kesehatan. Permukiman kumuh sangat bervariasi bentuknya, dari rumah gubuk yang dibangun seadanya, hingga rumah susun yang karena desain maupun konstruksinya dibangun dengan buruk bertransformasi menjadi permukiman kumuh.

1. Pendahuluan

Kondisi kumuh suatu permukiman merupakan masalah yang masih

belum dapat diatasi hingga kini. Menurut UN Habitat (2010), jumlah

permukiman kumuh di dunia tumbuh sekitar 10 % setiap tahunnya.

Banyak penduduk yang masih hidup di daerah kurang layak, baik dari

sanitasi, kebutuhan air yang tidak memadai, fasilitas umum yang kurang

baik, penjaminan kepemilikan lahan yang tidak jelas, dan ruang hidup

yang manusiawi. Banyak faktor yang menyebabkan permukiman menjadi

kumuh salah satunya adalah faktor rendahnya tingkat ekonomi. Tingkat

ekonomi memengaruhi kualitas hidup seseorang dimana akan

mempengaruhi juga ke lingkungan. Apabila beberapa kelompok orang

dengan tingkat ekonomi yang sama, maka lingkungan yang tercipta akan

mencerminkan kelompok orang tersebut. Banyak dampak yang muncul

akibat adanya slum settlement ini, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya,

dan kesehatan. Slum settlement ini memiliki beberapa tahap dalam

pengembangannya dari tahap mula hinggu tingkat jenuh kepadatan suatu

permukiman kumuh.

Menurut UN-HABITAT, sekitar 33% dari penduduk perkotaan di

negara berkembang pada tahun 2012, atau sekitar 863.000.000 orang

tinggal di daerah kumuh. Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di

1

Page 3: Paper Slum Area 3

daerah kumuh tertinggi di Sub-Sahara Afrika (61,7%), diikuti oleh Asia

Selatan (35%), Asia Tenggara (31%), Asia Timur (28,2%), Asia

Barat (24,6%), Oceania (24,1%), Amerika Latin dan Karibia (23,5%),

dan Afrika Utara (13,3%). Di antara masing-masing negara, proporsi

penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh pada tahun 2009 yang

tertinggi di Republik Afrika Tengah (95,9%). Antara tahun 1990 dan 2010

persentase penduduk yang tinggal di daerah kumuh menurun, bahkan

ketika jumlah penduduk perkotaan mengalami peningkatan. Kota kumuh

terbesar di dunia adalah di Mexico City.

1.1. Pengertian Permukiman

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya.

Permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang

artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya

permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau

kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya.

Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses

2

Presentase Penghuni Slum Area berdasarkan WilayahSumber : UN Habitat, 2010

Page 4: Paper Slum Area 3

dan land settlement. Sedangkan permukiman memberikan kesan

tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan

perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman

menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati

yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat

hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.

1.2. Pengertian Kumuh

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang

sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan

penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan

sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah

mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Menurut kamus

ilmu-ilmu sosial slum diartikan sebagai suatu daerah yang kotor yang

bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah

slum dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk

dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan

perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai

perumahan yang sehat. Slum merupakan lingkungan hunian yang legal

tetapi kondisinya tidak layak huni atau tidak memenuhi persyaratan

sebagai tempat permukiman (Utomo, 2000). Slum yaitu permukiman

diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot (kumuh) baik

perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus

sosiologi Slum yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus

ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat

kesehatan. (Soekanto, 1985).

1.3. Permukiman Kumuh

Diana Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman

(Distarkim) Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh

3

Page 5: Paper Slum Area 3

berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman

yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk

baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak

memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung

membahayakan bagi penghuninya. Menurut Diana, ciri permukiman

kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan

bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah

yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan

sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah. Kawasan

kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat

di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan

prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik

standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,

kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan

prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial

lainnya.

Di banyak kota dimana kumuh berkembang, bermula dari

mereka yang berpindah dan datang dari daerah pedesaan, jarang

menetap dan permukiman tetap yang menjadi padat dan kumuh.

Lingkungan berkembang lebih lanjut dari waktu ke waktu menjadi padat

dan secara fisik jenuh.

Lingkungan seperti digambarkan diatas yang menunjukkan

pertambahan dan proses pembangunan kumuh yang tak terstruktur.

4

Proses Fisik Tahap Perkembangan Slum AreaSumber : Sliuzas, et al., 2008

Page 6: Paper Slum Area 3

Menurut Sori (2012), tahapannya dari perkembangan slum adalah

infancy (pertumbuhan), consolidation (peleburan) and saturation

(penjenuhan).

- Infancy (perpindahan) merupakan tahap awal hunian di mana lahan

kosong yang terletak seperti di tanah sisi curam, rawa-rawa, dekat

tepi sungai, daerah berbahaya, daerah konservasi, dll dijadikan

kawasan hunian kumuh. (terkait dengan tidak ada kepemilikan hak

lahan) Dalam hal ini magnet yang menjadikan lokasi dijadikan

hunian adalah fasilitas umum yang memadai, misal ketersediaan

air

- Consolidation adalah tahap peralihan antara infancy dan saturasi.

Sangat cepat menyebar dan lahan yang digunakan tadi akan

berkurang dengan adanya bangunan tambahan (misal mendirikan

bangunan untuk usaha disamping bangunan hunian).

- Saturation adalah tahap di mana ekspansi berhenti karena tanah

kosong telah penuh. Pada tahap ini kepadatan penduduk adalah

tertinggi dan menurunkan standar hidup penghuni kawasan kumuh.

Perkembangan kumuh mungkin terjadi dengan mengorbankan

lahan pertanian utama, dengan mengorbankan pemandangan alam

atau ruang terbuka publik.

Ciri-ciri permukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof.

DR. Parsudi Suparlan adalah :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan

ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu

atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi

dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman

5

Page 7: Paper Slum Area 3

kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata

ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan

komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas

kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara,

dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari

sebuah RT atau sebuah RW.

c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai

sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai

sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.

5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi

tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan

tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal

muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga

dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas

kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah

mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai

mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa

permukiman kumuh memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan

permukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya

yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan ruang tersebut berada

pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga

berubah menjadi fungsi permukiman, seperti muncul pada daerah

sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Keadaan demikian

menunjukan bahwa penghuninya yang kurang mampu untuk membeli

atau menyewa rumah di daerah perkotaan dengan harga

lahan/bangunan yang tinggi, sedangkan lahan kosong di daerah

6

Page 8: Paper Slum Area 3

perkotaan sudah tidak ada. Permukiman tersebut muncul dengan

sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang

kurang baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi

kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang berada pada

kawasan SUTET, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, dan

sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh.

Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau

daerah perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial

ekonomi adalah sebagai berikut

1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan

berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang

rentan.

2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di

sektor informal Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan

prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat

bermukim, misalnya memiliki:

a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2

b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha

c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi,

drainase, dan persampahan)

d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun

<20% dari luas persampahan

e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak

memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal

f. Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit

dan keamanan

g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi

menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia

dan lingkungannya

7

Page 9: Paper Slum Area 3

Para ahli dan praktisi pembangunan kota melihat bahwa belum

berhasilnya pembangunan permukiman di berbagai kota besar di

Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan persoalan urbanisasi

(penduduk miskin), keterbatasan lahan perkotaan dan kurang tepatnya

program-program pembangunan kota. Interaksi ketiganya telah

memunculkan kehidupan masyarakat miskin pendatang dengan

fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak layak di

perkampungan padat penduduk (permukiman/perkampungan kumuh).

Namun sebenarnya akar masalah pemicu munculnya permukiman

kumuh di perkotaan juga berkaitan dengan masalah paradigma proyek

dan pemerataan pembangunan (Prasojo dalam Santosa, tt).

Bahkan akar masalah permukiman kumuh lebih bersifat

kompleks yaitu karena adanya:

1. Pembiaran (neglegiance) berkembangnya ruang-ruang

marjinal perkotaan;

2. Lemahnya pengelolaan kota;

3. Belum adanya pengenalan terhadap kebutuhan (housing

need assessment) dan persediaan rumah (housing stock

evaluation) secara utuh dan partisipatif; dan

4. Belum adanya pengembangan sistem penyediaan perumahan

secara utuh (housing delivery system) M.J Siregar (2012).

Dengan melihat berbagai faktor penyebab permukiman kumuh

tersebut, maka permasalahan tentang bagaimana pemerintah

memperlakukan penduduk miskin perkotaan dalam proses

pembangunan kota sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar

untuk didiskusikan. Hal ini karena terkait dengan tanggung jawab utama

pemerintah dalam pelaksanaan fungsi mewujudkan kesejahteraan,

ketertiban, pelayanan publik, dan lainnya di bidang pembangunan

permukiman yang harus mewujudkan kepentingan publik (masyarakat

miskin perkotaan).

8

Page 10: Paper Slum Area 3

2. Eksplorasi Permasalahan Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh muncul sebagai akibat dari beberapa faktor

yang berlangsung secara terus menerus dan tanpa perencanaan yang

benar. Penyebab terjadinya permukiman kumuh antara lain adalah:

1. Pertumbuhan penduduk (fertilitas)

2. Perpindahan penduduk (urbanisasi)

3. Perkembangan penduduk perkotaan yang tidak selalu dapat

diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota

4. Permasalah-permasalahan di daerah perkotaan

5. Kesempatan kerja bagi kaum migran

6. Kebutuhan rumah sebagai tempat bermukim tidak dibarengi

dengan kemampuan ekonomi para calon penghuni

Permukiman kumuh menurut proses pembangunannya dapat

dibagi menjadi 2. Yaitu permukiman kumuh informal dan formal.

Permukiman kumuh informal adalah permukiman kumuh yang terbentuk

secara alami oleh masyarakat, menempati lahan yang tidak jelas siapa

pemiliknya, dan membangun sendiri rumahnya dengan bahan yang

tersedia. Permukiman kumuh formal adalah sebuah permukiman yang

biasanya vertikal yang dibangun oleh pemerintah untuk mengatasi

permukiman kumuh yang ada, namun penduduknya tidak dapat

meninggalkan kebiasaan lamanya dipermukiman kumuh. Sehingga lambat

laun permukiman tersebut menjadi kumuh.

Pada beberapa kasus, permukiman kumuh tumbuh di infrastuktur

yang telah ditinggalkan (abandoned). Mereka menempati gedung-gedung

yang ditinggalkan investor. Kadang juga mereka menempati daerah yang

kurang pengawasannya, seperti kolong jembatan, pinggiran rel, bantaran

kali, dan gorong-gorong (sewer).

9

Page 11: Paper Slum Area 3

Perkembangan slum area pada suatu kota berdampak langsung

terhadap penduduk perkotaan, dampak tersebut meliputi dampak sosial,

ekonomi dan budaya.

1. Sosial

a. Perkembangan suatu daerah yang tadinya homogen

berubah menjadi heterogen karena terjadinya urbanisasi

b. Menjadi pusat pengangguran, kejahatan, dan penyakit

c. Proses transformasi para migran tidak dapat berlangsung

dengan wajar

d. Peningkatan jumlah penduduk miskin kota

2. Budaya

a. Dipandangan merusak keindahan/citra kota

b. Cultural shock akibat perbedaan budaya yang dibawa para

migran dari desa ke kota

c. Cultural alienation (merasa asing dengan kebiasaan atau

kebudayaan kota) dan cultural lag (perbedaan tingkat

kemajuan unsur-unsur kebudayaan)

3. Ekonomi

a. Mendorong pemerintah untuk membangun rumah susun bagi

warga yang tinggal di daerah kumuh

b. Degradasi tingkat ekonomi penduduk kota yang ditandai oleh

semakin bertambahnya penduduk miskin dan pengangguran

di daerah kumuh

c. Kota menjadi semakin padat dan pengaturan ruang semakin

rumit

d. Menjadi pendorong kegiatan ekonomi sektor informal

3. Studi Kasus Slum Settlement

a. Kibera, Nairobi, Kenya

10

Page 12: Paper Slum Area 3

Kibera merupakan permukiman kumuh terbesar di Kenya.

Sebagian besar penduduknya merupakan pekerja serabutan

dengan penghasilan kurang dari 100 Shilling per hari. Mereka ikut

serta dalam aktivitas ekonomi kecil seperti seni, dansa, drama,

proyek olahraga, komunitas sosial, dan bisnis berskala kecil lain

(CGS Kibera,2007). Dari laporan UN Habitat 2006, masalah air

dan sanitasi merupakan salah satu pokok masalah utama yang

ada di Kibera. Walaupun sudah banyak pembangunan untuk

mengatasi masalah air, sanitasi, dan kesehatan tapi hal tersebut

tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. Daerah

tersebut juga kekurangan akses untuk kesehatan, sekolah, dan

listrik.

Sekitar 60% penduduk yang berusia kurang dari 21 tahun

buta huruf atau semi buta huruf, sebagian besar hanya

mendapatkan pendidikan tingkat dasar. Kurangnya pekerjaan juga

menjadi masalah utama dan mengarah keperilaku sosial yang

tidak sehat seperti alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, dan

kriminalitas. Sekitar 80% penduduknya terinfeksi atau terkena

dampak AIDS (Funken, 2008).

Slum Tourism

Slum tourism bertujuan untuk membuka peluang bagi kaum

miskin untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi,

memberikan mata pencaharian, dan berpartisipasi dalam

mengambil keputusan (Ashley, Roe, and Goodwin, 2001). Slum

tourism juga dapat membantu menggerser fokus pariwisata dari

wisata yang berbasis lingkungan dan wisata berbasis alam liar

menjadi berfokus kepada wisata pengentasan kemiskinan yang

akan lebih bermanfaat bagi penduduk miskin dan memiliki dampak

yang lebih kecil terhadap lingkungan. Menurut Rolfers (2009),

slum tourism dikembangkan di negara berkembang pada

11

Page 13: Paper Slum Area 3

pertengahan 1990an. Pokok terpenting dari wisata ini adalah

untuk mengunjungi daerah paling tertinggal di dalam kota.

Sekarang ini, banyak biro wisata profesional yang

menjalankan dan memasarkan wisata ke daerah kumuh. Slum

tourism memiliki banyak objek pilihan seperti Johannesburg dan

Cape Town di Afrika Selatan, Calcutta, Mumbai, dan Delhi di

India, dan Rio de Janeiro di Brazil. Biasanya wisata ini

memfokuskan untuk menarik wisatawan asing untuk datang.

Diperkirakan 40.000 turis berkunjung di kawasan kumuh De

Janeiro tiap tahunnya, sedangkan di Cape Town sekitar 300.000

(Rolfers, 2009).

Slum Tourism di Kibera

Kibera merupakan permukiman kumuh yang paling banyak

dikunjungi di Kenya (Asudi, 2008). Menurut Mowforth (2008),

12

Slum Tourism di Kibera, NairobiSumber : Trip Advisor, 2014

Page 14: Paper Slum Area 3

tujuan dari pengadaan wisata ini adalah untuk mengurangi

permukiman kumuh di Kenya dalam jangka panjang dengan cara

melibatkan masyarakat miskin untuk berpartisipasi secara lebih

efektif untuk mengembangkan pariwisata di Kenya, secara jangka

pendek kegiatan ini memberikan keuntungan finansial untuk

masyarakat permukiman kumuh.

Menurut penelitian yang dilakukan Peniah Chege dan

Andenje Mwisukha, responden dari Kenya Tourism Board (KTB)

menyimpulkan hal yang menarik turis datang berkunjung adalah

untuk melihat kehidupan sehari-hari masyarakat penghuni

permukiman kumuh Kibera dan untuk mengambil foto. Sedangkan

responden dari pegawasi Victoria Safaris dan penduduk Kibera

menyimpulkan bahwa turis tertarik oleh hiburan yang disuguhkan

oleh penduduk (tarian, nyanyian, drama, dan film) dan mengambil

foto-foto.

b. Rooftop Slum, Hong Kong

Rooftop slum adalah permukiman kumuh yang ada diatap-

atap apartemen maupun bangunan lainnya di Hong Kong

(DeWolf, 2011). Hal ini disebabkan oleh kepadatan penduduk,

harga sewa rumah yang mahal, dan ketidak mampuan pemerintah

dalam menyediakan rumah bagi penduduk dengan ekonomi

lemah.

13

Rooftop Slum , Tai Kok Tsui, Hong KongSumber : hongwrong.com, 2013

Page 15: Paper Slum Area 3

Permasalahan yang utama bagi permukiman kumuh ini

adalah higiensi dan kesehatan. Bahan untuk membangun rumah

biasanya seadanya dan dibangun tanpa tenaga ahli sehingga

ketika hujan terjadi kebocoran. Disamping itu rooftop slum tidak

memiliki saluran drainasi. Rooftop slum menjadi sarang tikus,

nyamuk, kecoa, dan lalat yang dapat menyebarkan penyakit dan

mencemari makanan (Wendler, 2012).

Permukiman kumuh ini juga menjadi lahan subur bagi virus

dan bakteri untuk berkembang. Penduduk disini banyak yang

terserang infeksi dan gangguan pernafasan. Pada musim panas

temperature didalam rumah bisa lebih panas daripada diluar

rumah, hal ini dikarenakan oleh ventilasi yang buruk dan

penggunaan material yang menyerap panas. Biasanya apartemen

ini juga tidak memiliki elevator, sehingga menyulitkan bagi orang

lanjut usia.

Permukiman ini juga dibangun dengan mengabaikan

keselamatan. Bangunannya yang menggunakan material ringan

seperti kayu, seng, dan asbes, tidak dirancang untuk bertahan

dalam badai dan angin topan. Bahaya kebakaran juga menjadi

ancaman yang selalu mengintai, mengingat tangga darurat

terkadang tidak memenuhi syarat. Lorong-lorong pun kadang

dipenuhi oleh barang-barang dari penduduk sehingga

mempersempit akses yang ada (Wendler, 2012). Bahaya yang

lain adalah tidak semua atap apartemen dirancang untuk

menahan beban untuk permukiman, sewaktu-waktu dapat

mengalami kegagalan secara struktural sehingga mengakibatkan

atap retak maupun runtuh.

Biasanya penghuni rooftop slum akan membayar sewa

setiap bulannya pada orang yang tinggal di lantai paling atas

apartmen tersebut. Pada beberapa kasus pembayaran dilakukan

14

Page 16: Paper Slum Area 3

kepada orang yang tidak jelas, mereka hanya meninggalkan

amplop yang berisi uang sewa pada lorong apartemen tiap

bulannya.

c. Tower of David, Caracas, Venezuela

Tower of David merupakan sebuah bangunan setinggi 45

lantai yang berada ditengah kota Caracas. Sekitar 3.000 orang

tinggal di bangunan ini. Mayoritas adalah penduduk miskin.

Bangunan ini merupakan bangunan setengah jadi yang

ditinggalkan investornya ketika terjadi krisis pada 1990an.

Bangunan ini tidak aman bagi para penghuninya. Banyak

dinding yang belum terpasang, balkon tanpa railing, dan lubang-

lubang yang menganga. Tidak adanya elevator dan instalasi listrik

yang kurang tidak menciutkan keinginan masyarakat untuk tinggal

secara ilegal disana (Romero, 2011). Letak yang strategis

ditengah kota dan kemudahan transportasi merupakan magnet

yang paling menarik bagi penghuni ilegal yang tinggal didalamnya.

Penghuni melakukan improvisasi untuk membangun

kamar-kamar di dalam gedung tersebut. Pemipaan air bersih

hanya mencapai lantai ke 22. Sepeda motor bisa dengan bebas

berkeliaran hingga lantai ke 10. Penghuni ilegal menggunakan

gedung ini sebagai tempat tinggal hingga lantai ke 28 (Mead,

2014)

15

Page 17: Paper Slum Area 3

Pemerintah Venezuela melakukan relokasi masal pada

tahun 2014. Pemerintah menyediakan rumah susun pagi penghuni

ilegal di kota Cua, sekitar 23 mil Selatan Caracas.

d. Rumah Susun Kumuh, Jakarta, Indonesia

Sejatinya pembangunan rumah susun di Jakarta

diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan

permukiman kumuh yang ada. Namun pada kenyataannya rumah

susun tersebut malah menjadi kantong baru bagi kawasan kumuh

di Jakarta.

16

Tower of David bangunan yang ditelantarkan menjadi permukiman kumuh, Caracas, Venezuela

Sumber : Federico Parra, www.abc.net.au, 2014

Page 18: Paper Slum Area 3

Perilaku masyarakat yang tidak disiplin dalam menjaga

lingkungan rumah susun mengakibatkan sampah berserakan

dihalaman. Lorong-lorong yang sejatinya digunakan untuk akses

beralih fungsi menjadi tempat barang dan jemuran. Pengembang

yang kurang bertanggung jawab juga ikut andil dalam

kesemrawutan ini. Saluran drainase air hujan yang tidak dirancang

dengan baik membuat halaman rumah susun tergenang air saat

hujan. Tembok dengan finishing yang kurang bagus sehingga

ditumbuhi jamur dan lumut. Atap bocor dan rembes menjadi hal

yang biasa dijumpai.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana

meremajakan empat dari delapan blok di Rumah Susun Sewa

(Rusunawa) Tambora, Jakarta Barat. Sejak dibangun pada 1984,

kondisi rusunawa Tambora sudah tidak layak huni. Sesuai amanat

Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan

kawasan pemukiman, luas rumah susun minimal seluas 36 meter

persegi dan maksimal 45 meter persegi. Sementara tipe

bangunan rusunawa Tambora seluas 18 meter persegi per unit.

e. Rusunawa Kaligawe, Semarang, Indonesia

Rusunawa Kaligawe nantinya diperuntukan kepada para

pekerja atau kaum buruh yang berpenghasilan rendah. Terlebih

khusus bagi pekerja yang terkena normalisasi Kaligarang.

Umumnya mereka memiliki penghasilan yang rendah diharapkan

17

Suasana Rumah Susun (Rusun) Angke di Tambora, JakartaSumber : nasional.republika.co.id

Page 19: Paper Slum Area 3

dengan rusunawa ini mereka tetap memiliki kesempatan tinggal di

hunian yang layak dengan harga sewa yang terjangkau.

Lantaran lama tidak kunjung difungsikan banyak kabel dan

instalasi listrik yang dicuri orang. Tidak ada penjaga yang

ditugaskan untuk menjaga rusun tersebut sebelum disewakan. Cat

tembok mulai mengelupas, banyak coretan vandalis di tembok,

sebagian meteran air hilang, beberapa bagian yang menggunakan

besi mulai terlihat berkarat. Terdapat kebocoran air, sampah yang

berserakan, dan rumput liar menandakan kurangnya perhatian

pengelola ataupun penghuni rusun.

4. Kesimpulan

Pada penulisan ini dijelaskan bahwa ekspansi keluar pembentukan

area kumuh dikaitkan dengan urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan

penduduk yang tinggi terutama karena migrasi dari desa ke kota untuk

mencari peluang kerja. Sementara pembentukan kumuh dapat

dikaitkan dengan urbanisasi yang cepat, pertumbuhan penduduk tyang

tinggi, sedikitnya pengetahuan umum tentang kumuh, pelayanan

infrastruktur yang kurang memadai. Pengentasan kekumuhan dengan

18

Rusun Kaligawe yang terlantar, SemarangSumber : administari publik, UNDIP, 2013

Page 20: Paper Slum Area 3

memindahkan penduduk yang menghuni area kumuh dipindahkan ke

rumah susun yang dikelola pemerintah belum menjadi strategi yang

tepat apabila pengawasan dari pengelola juga belum baik serta

kesadaran penghuni sendiri untuk menjaga lingkungan masih minim.

Selain itu desain dari rumah susun juga harus disesuaikan dengan

kebutuhan penghuni sehingga tidak terjadi disfungsi bangunan yang

pada akhirnya malah kekumuhan permukiman pindah tempat menjadi

rumah susun kumuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ashley, C., Roe, D. and Goodwin, H. 2001. Pro-poor Tourism Strategies: Making Tourism Work for the Poor. London. IIED.

Asudi, J. 2008. Pro Poor Tourism in Africa, Pro Poor Tourism in Kenya, Slum Tours in Kenya, Kibera Slum Tours, Africa Slum Tours.

Chege, Peninah; Andenje Mwisukha. 2013. Benefits of Slum Tourism in Kibera Slum in Nairobi, Kenya.

DeWolf, Christopher. 2011. Slum in the Sky: Hong Kong Rooftop Squatters. CNN.

Ditjen Bangda Depdagri

Funken, D. Regional Ethnics Bowl Cases. Poverty Tours. Association for Practional and Professional Ethics.

Herlianto. 1985. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Alumni.

Mead, Derek. 2014. Inside Caracas Tower of David, World’s Tallest Slum. Vice.

19

Page 21: Paper Slum Area 3

Mowforh, M. 2008. Tourist and responsibility: Perspectives from Latin America and the Caribean. Routledge

Puspitasari, Diana. 2010. Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Kota Depok. www.depok.go.id

Rolfres, M. 2009. Township as an Attraction. An Empirical Study of Township Tourism in Cape Town. Universitatsverlag Potsdam.

Romero, Simon; Maria Eugenia Diaz. 2011. CARACAS JOURNAL; In Venezuela Housing Crisis, Squatters Find 45-Story Walkup. The New York Times.

Santosa, Pandji Deddy. Tt. Penangan Permukiman Kumuh Perkotaan; Melalui Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sliuzas, et al. 2008. Report of Expert Group Meeting on Slum Identification and Mapping.

Soekanto, Soerjono. 1985. Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Remaja Karya.

Sori, Negera Dinsa. 2012. Identifying and Classifying Slum Development Stages from Spatial Data. Thesis: University of Twente.

Suparlan, Parsudi. 1984. Kebudayaan Kemiskinan, dalam Kemiskinan Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia—Sinar Harapan.

UN-Habitat. 2006. Tourism and Local Agenda 21—the role of Local Authorities in Sustainable Tourism. United Nations Publications.

UN-Habitat. 2010. State of World’s Cities 2010/2011: Bridging The Urban Devide. Earthscan.

Un-Habitat. 2013. State of the World’s Cities Report 2013/2014: Prosperity of Cities. UNHABITAT.

Utomo, Is Hadri. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Miskin dalam Implementasi Proyek Peremajaan Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Kali Anyar Mojosongo. UNS.

Wendler, Sybil. 2012. Public Broadcasting System (BPS) Once Upon a Rooftop. Youtube

http://www.solusiproperti.com/investigasi/perlindungan-konsumen/artikel/rusun-semakin-terbengkalai-atau-tidak-terawat-baik

(Diakses 09 Maret 2015)

20