panti sosial karya wanita

61
1 MANAGEMEN LAYANAN SOSIAL STUDI PENELITIAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA Dosen Pengampu : Ibu Supartini, M.Si Oleh : Fikriyah Asmawati NIM : 12.200.100.35 KONSENTRASI PEKERJAAN SOSIAL INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Upload: fikriyah-asmawati-asad

Post on 29-Dec-2015

201 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

MANAGEMEN LAYANAN SOSIAL

STUDI PENELITIAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA

Dosen Pengampu :

Ibu Supartini, M.Si

Oleh :

Fikriyah AsmawatiNIM : 12.200.100.35

KONSENTRASI PEKERJAAN SOSIAL

INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2014

2

A. PENDAHULUAN :

Dalam upaya penanganan masalah kesejahteraan sosial yang dilakukan

pemerintah, dalam hal ini yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, baik yang melalui

sistem luar panti maupun sistem panti sejatinya terus dilakukan pembenahan dari sisi

sarana prasarana, metode pelayanan maupun peningkatan kualitas sumber daya

pelaksananya. Pada hakekatnya proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang

dilakukan melalui sistem panti tidak berakhir pada saat penyandang masalah selesai

mendapatkan pelayanan didalam panti, namun hingga yang bersangkutan kembali ke

keluarga maupun masyarakat lingkungannya yang dilayani dengan kegiatan

pembinaan lanjut.

Keterbatasan dari berbagai aspek mengakibatkan pembinaan lanjut belum

dilakukan secara proporsional. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan

penelitian singkat mengenai ‘’Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti

Sosial: Studi kasus Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi

Sosial’’, yang dilakukan untuk mengetahui realisasi pelaksanaan pelayanan dan

pembinaan lanjut yang telah dilakukan panti-panti sosial yang hari ini peneliti rasa

masih minim dilakukan, termasuk kendala yang dihadapi dalam pelayanan. Sasaran

pada penelitian ini adalah Panti Sosial Karya Wanita dibawah koordinasi

Kementerian Sosial, dari beberapa masalah yang terdapat di kota Yogyakarta.

Guna memberikan manfaat yang optimal bagi panti yang diteliti, hasil

penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan pengembangan pelayanan

sosial dalam panti, khususnya unit teknis di lingkungan Kementerian Sosial maupun

pihak lain yang melakukan pelayanan sosial dalam panti. Menyadari akan segala

keterbatasan dan kesempurnaan makalah hasil penelitian ini, maka saran dan kritik

yang membangun dari para dosen pengampu khususnya, serta penggiat pembangunan

kesejahteraan sosial sangat diharapkan.

3

B. PROFILE PSKW

Tuna susila sebagai penyakit masyarakat, selalu muncul dan merupakan

masalah sosial yang sulit untuk ditangani. Dikatakan masalah sosial karena didalam

tindakannnya terdapat penyimpangan-penyimpangan perilaku yang tidak sesuai

dengan norma agama, adat istiadat, selain keberadaannya meresahkan warga

masyarakat Sulitnya menangani masalah tuna susila ini disebabkan berbagai faktor

seperti: faktor ekonomi, sosial, moral, budaya bahkan faktor psikologis. Kartini

Kartono dalam Patologi Sosial menyebutkan bahwa penyebab terjadinya tindak tuna

susila antara lain;

1. adanya dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks diluar ikatan

pekawinan;

2. komersialisasi dari seks;

3. merosotnya norma-norma susila dan agama;

4. kebudayaan eksploitasi

5. faktor ekonomi.

Sedangkan akibat yang ditimbulkan dari tindak tuna susila yaitu; 1)

penyebarluasan penyakit kelamin; 2) merusak sendi-sendi kehidupan keluarga; 3)

memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan; 4) merusak sendi-sendi

moral, susila, hukum, agama; 5) adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya.

Walaupun permasalahan tersebut sulit ditangani, namun pemerintah dan masyarakat

tetap berupaya untuk menangani masalah tersebut melalui sistem panti maupun non

panti. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Sidoarum yang secara prinsip bertugas

melakukan pelayanan rehabilitasi eks tuna susila. Namun dalam prakteknya PSKW

Sidoarum hanya melakukan upaya prefentif (pencegahan) yakni dengan mendidik

klien-klien berjenis kelamin perempuan dengan rentan usia antara 13-40 tahun yang

dianggap rentan menjadi PMKS.

4

1. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL

a. Kelembagaan

Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial DIY sebagai lembaga pelayanan masyarakat (Public Service) yang memberikan pelayanan konsultasi, rehabilitasi dan pelayanan sosial untuk membantu merubah sikap dan perilaku psikologis Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP), keluarga dan lingkungan.

b. Lokasi

Cokrobedog, Sidoarum, Godean, Sleman, Yogyakarta Telp./ Fax (0274) 7984754 Email : [email protected]

c. Sejarah PSKW

Tahun 1981 : Kanwil Depsos Prov. DIY mendirikan tempat rehabilitasi wanita

rawan sosial psikologis dengan nama SASANA REHABILITASI KARYA

WANITA (SRKW)

Tahun 1995 : Nama SRKW berubah menjadi PANTI SOSIAL KARYA

WANITA (PSKW) YOGYAKARTA sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial RI

No. 22/HUK/1995

Tahun 2002: Dengan dibubarkannya Departemen Sosial, dalam era otonomi

daerah PSKW menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dengan peraturan

Daerah Provinsi DIY Jo SK Gubernur Nomor 160 Tahun 2002 tentang Uraian

tugas dan tata kerja di UPTD di lingkungan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan

sosial Provinsi DIY.

Tahun 2008 : Diterbitkan Peraturan Daerah Nomor : 6 Tahun 2008 tentang

Organisasi dan Tata KerjaDinas Sosial Provinsi DIY dan Peraturan Daerah Nomor

: 36 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPTD Provinsi DIY.

5

d. VISI

Terwujudnya wanita yang bermanfaat, berguna, dan mandiri.

e. MISI

Meningkatkan sumberdaya wanita melalaui pelatihan – pelatihan sosial, mental, ketrampilan usaha untuk kemandirian

Melindungi dan meningkatkan martabat wanita melalui rehabilitasi dan pelayanan sosial

Meningkatkan peran wanita dalam pembangunan Mengembangkan teknologi pelayanan dan potensi pegawai melalui studi dan

penelitian, sebagai laboratorium Menggali potensi masyarakat untuk dapat berpartisipasi melalui informasi dan

kegiatan sosial kemasyarakatan PSKW Mengembangkan jalinan kerja dan jaringan sosial untuk pengembangan PSKW

Yogyakartaf. Tujuan

Pulihnya kembali harga diri, kepercayaan diri, tanggungjawab sosial serta kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam bermasyarakat yang normatif serta mengembangkan potensi warga binaan untuk hidup produktif.

g. Struktur Organisasi

6

h. Sasaran

Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP) yaitu wanita usia 17 – 40 tahun yang secara pribadi maupun lingkungannya rawan terhadap penyimpangan norma, psikologis dan sosial.

i.Sumber-daya Manusia

Dalam menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, PSKW

Sidoarum didukung dengan sumber daya manusia berjumlah 50 pegawai. Sumber

daya tersebut terdiri dari, pejabat struktural, pejabat fungsional, pembimbing

keterampilan, dan tenaga lainnya. Latar belakang pendidikan pegawai cukup

bervariasi, mulai dari SD hingga S2 dengan rincian sebagai berikut: S2 (1 orang),

S1 (20 orang), SLTA (17 orang), D3 (6 orang), S2 (3 orang), dan SLTP, SD

(masingmasing 2 orang).

Dari komposisi latar belakang pendidikan tersebut, nampak bahwa SDM

yang ada di PSKW Sidoarum cukup memadai. Khusus pendidikan S2 dimiliki oleh

kepalapanti dan pekerja sosial. Komposisi tenaga dilihat dari masing-masing

bidang, jumlah tenaga terbanyak pada bidang TU (16 orang), Pekerja Sosial 14

orang, Seksi Rehsos 11 orang dan Seksi PAS 8 orang. Berdasarkan golongan,

pegawai yang sudah menempati golongan IV (6 orang), golongan III (31 orang)

dan selebihnya golongan II.

Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan, PSKW Sidoarum juga didukung

tenaga fungsional arsiparis, penyuluh sosial, dan terutama pekerja sosial. Saat ini,

jumlah tenaga fungsional arsiparis dan penyuluh sosial masing-masing 1 orang.

Sedangkan jumlah pekerja sosial sebanyak 12 orang. Jika dilihat banyaknya klien

yang harus ditangani selama satu angkatan selama 6 bulan sebanyak 110 orang,

maka jumlah pekerja sosial yang ada saat ini belumlah memadai. Dimana satu

orang pekerja sosial harus menangani 10 orang klien dalam satu angkatan.

7

j.Sistem Pelayanan

Penyelenggaraan Rehabilitasi melalui sistem dalam panti yaitu sistem pelayanan sercara khusus dan intensif menyangkut nilai-nilai keberfungsian sosial serta pengembangan potensi warga binaan. Sistem penerimaan warga binaan dilaksanakan secara buka tutup setiap bulan.

k. Waktu Pelayanan

Program bimbingan dilaksanakan maksimal satu tahun pelayanan.

l. Tahap Pelayanan

1) TAHAP SOSIALISASIa) Penyebarluasan informasi

Melakukan koordinasi dengan wilayah Kabupaten dan Kota se-DIY yang ditindaklanjuti dengan penyebaran informasi langsung pada masyarakat.

b) Penjangkauan

c) Rekrutmen kelayanRekrutmen kelayan berasal dari :

Laporan masyarakat Rujukan dari tokoh masyarakat, PSM, Orsos/LSM, PKK dan

instansi terkait lainnya. Pendaftaran diri/ serah diri calon kelayan

2) TAHAP PENERIMAANa) Pendekatan Awal b) Orientasi dan Konsultasi c) Identifikasi d) Motivasi e) Seleksi f) Registrasi

Pencatatan Memberian Nomor Registrasi Pengenalan Liningkungan Panti

g) Pengungkapan dan Penelaahan Masalah (Assessment) Tes Psikologi Tes Bakat Minat

h) Penempatan kelayan dalam asramai) Penempatan dalam Program Pelayanan

8

3) TAHAP REHABILITASI SOSIAL a) Bimbingan fisik, mental dan sosial

Pemeliharaan kesehatan, olah raga dan sarana kebersihan Makan dan minum setiap hari Bimbingan Keagamaan Bimbingan Kedisiplinan Bimbingan Budi Pekerti Pendampingan Asrama Dinamika Kelompok Kerja bakti lingkungan Konseling Terapi Kelompok Art Therapy Muatan lokal

b) Bimbingan Ketrampilan Jahit, Bordir dan Kerajinan Tata Rias/Salon Olahan Pangan

4) TAHAP RESOSIALISASIa) Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

Melibatkan warga binaan dalam kegiatan kemasyarakatan sekitar.

Koordinasi /kerjasama dengan aparat desa setempat Koordinasi/kerjasama dengan stakeholder Bakti sosial jasa ketrampilan Kerja bakti Pentas seni

b) Bimbingan Usaha/Kerja Achievment Motivation Training (AMT) Field Study Perusahaan Praktek Belajar Kerja (PBK) Sertifikasi

c) Penyaluran Penempatan kerja Usaha Mandiri Pemberian bantuan Stimulan

9

5) TAHAP BIMBINGAN LANJUTa) Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat b) Bimbingan penempatan usaha c) Bantuan pengembangan usaha

Pelaksanaan Bimbingan Lanjut, yaitu dengan :

Konseling Home visit Temu alumni Rujukan sebagai upaya tindak lanjut untuk mencegah kerawanan Visit di tempat kerja Bantuan stimulan Evaluasi

6) TAHAP TERMINASIa) Penutupan pencatatan kasus b) Penutupan hubungan pelayanan

m. Kegiatan Penunjang Pelayanan

1) Pertemuan Pra Pemulangan Orang Tua Warga Binaan2) Kajian Tingkat Keberhasilan Pelayanan3) Pengembangan Aplikasi Database Pelayanan4) Pertemuan Jejaring Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial5) Workshop Program PSKW Yogyakarta

n. OUT PUT

1) Wanita Rawan Sosial Psikologisa) Wanita dengan permasalahan psikologis dan ekonomi

Memiliki kepercayaan diri Hidup dan besosialisasi secara normatif Berfungsi secara sosial di dalam masyarakat Mampu mempraktekan ketrampilan yang dimiliki Bertahan hidup mandiri Hidup harmonis dalam keluarga dan masyarakat Mampu membangun masa depan lebih baik

10

b) Korban Kekerasan dan Korban Perdagangan Orang (Trafficking) Keluar dari lingkungan kekerasan/trafficking Pulih secara fisik, sosial dan psikologis Pulih dari trauma Mampu melindungi diri sendiri Memiliki kepercayaan diri dan berfungsi secara sosial

2) Mantan Tuna Susilaa) Hidup dan besosialisasi secara normatifb) Berfungsi secara sosial di dalam masyarakatc) Mampu mempraktekan ketrampilan yang dimilikid) Hidup mandiri bekerja secara layak dan normatif.

o. Sarana dan Prasarana

Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, panti memiliki fasilitas

yang cukup memadai. Sarana dan prasarana yang dimiliki Panti Sosial Karya

Wanita Sidoarum, sampai dengan tahun 2013 terdiri dari :

a. Sarana dan Prasarana

PSKW Sidoarum menempati luas seluruhnya 9,995 M2. Pemanfaatan lahan

tersebut untuk gedung perkantoran yang terdiri dari: ruang kerja/kantor, ruang

rapat, aula/ ruang serbaguna, ruang seleksi, ruang konsultasi, dan ruang data.

Sedangkan untuk kepentingan proses keterampilan, disediakan gedung

pendidikan antara lain untuk ruang keterampilan tata rias dan olah pangan,

ruang keterampilan menjahit manual, ruang menjahit High Speed dan bordir,

serta ruang untuk pendidikan.

b. Untuk klien PSKW Sidoarum disediakan fasilitas berupa asrama, wisma,

kamar, ruang makan dan dapur, serta poliklinik dan ruang perawatan. Beberapa

fasilitas penunjang berupa lapangan tenis, lapangan olah raga, taman, lahan

pertanian, dan sarana ibadah berupa masjid dan mushola.

11

p. Kondisi Alumni

Berdasarkan data jumlah alumni PSKW Yogyakarta tahun 2007 – 2013

adalah 191 orang. Dari data tersebut, diketahui 188 orang telah bekerja (81,7%),

32 orang membuka usaha mandiri (16,7%) dan 3 orang belum bekerja (1,6%).

Dari 191 orang alumni tersebut sejumlah 83 orang (43,5%) telah mengikuti

kegiatan sertifikasi tahun 2007 – 2012, sejumlah 20 orang (10,4%) alumni

mengikuti kegiatan sertifikasi tahun 2013. Peserta sertifikasi memperoleh bantuan

stimulan sesuai dengan bidang ketrampilan masing-masing. Dengan bantuan

stimulan tersebut, diharapkan peserta sertifikasi mampu memanfaatkan bantuan

stimulan yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas, membuka usaha

mandiri serta mengembangkan lapangan kerja baru dalam masyarakat.

C. PEMBAHASAN :

Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas

dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan

penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental

dan sosial.1 Oleh sebab itu pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya

merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan

pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya.

Menurut Data data yang kami terima Kementerian Sosial Republik Indonesia,

memiliki Rencana Strategis tahun 2010 - 2014 bahwasanya Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Panti Sosial merupakan pusat kesejahteraan sosial yang berada di baris paling

depan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan

pilar intervensi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS. UPT panti sosial adalah

sebuah pilihan yang harus tersedia disamping pilihan utama lainnya yakni pelayanan

sosial berbasis keluarga dan komunitas dan/atau swasta, sehingga masyarakat

terutama PMKS memiliki pilihan sesuai dengan kondisi mereka. Panti sosial

mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan

1 Astuti, M. (2010). Penelitian Tentang Rehabilitasi Sosial di PSBG. Jakarta: P3KS Press.

12

kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi

pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem

rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip

prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain

yang sejenis adalah:

1. Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk

mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien

dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat;

2. Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan,

perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan;

3. Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan

secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang

berkesinambungan;

4. Menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi

sosialnya; dan

5. Memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam

usaha-usaha pertolongan yang diberikan.2

Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen;

(3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca

pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan,

pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut merupakan

tahapan terakhir dari proses pelayanan sosial dan rangkaian proses rehabilitasi sosial

atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan berperan aktif

dalam keluarga dan masyarakat. Pembinaan lanjut di panti-panti sosial mengalami

berbagai kendala diantaranya data eks klien yang tersebar hingga ke pelosok desa,

anggaran yang tidak memadai, dan pemahaman tentang pembinaan lanjut yang masih

beragam mengakibatkan pelaksanaan pembinaan lanjut belum optimal.

2 Departemen Sosial RI, (2007). Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.

13

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa belum adanya dukungan dari

masyarakat termasuk dunia usaha terhadap eks klien. Padahal pembinaan lanjut

dalam praktik pekerjaan sosial cukup penting untuk mencapai keberhasilan

pelayanan, dan merupakan bagian dari manajemen kasus. Menurut Maguire dan

Lambert,3 manajemen kasus digunakan untuk mengelola, mengkoordinasi, dan

memandu klien melalui serangkaian langkah-langkah tertentu di lapangan. Langkah

tersebut antara lain assessmen awal yang mendefinisikan masalah dan kekuatan,

perencanaan, penghubungan dan pengkoordinasian, pemantauan dan perubahan yang

mendukung, dan pada akhirnya meringkas serta menyelesaikannya melalui terminasi

dan dilanjut dengan tahap pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari

prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial.

Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi, diantaranya: 4

1. Seorang pekerja sosial harus dapat memaksimalkan pemberdayaan kliennya;

2. Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap

kemajuan dari perubahan yang dicapai klien;

3. Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan

profesi pekerjaan sosial.

Menurut Woodside dan Mc.Clam (2003), Keberlanjutan pelayanan memiliki

dua pengertian: 5

1. Keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus

dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya.

2. Keberlanjutan pelayanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif.

Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara

3 Lambert, M. D. (2001). Clinical Social Work Beyond Generalist Practice with Individuals, Groups and Families. London: Brook/Cole. (E-book diakses pada 4 Januari 2014)

4 Sheafor, S. (2003). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)

5 Woodside, M. D. (2003). Generalist Case Management; A Method of HumanService Delivery. Pacific Groove CA: Brooks Cole. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)

14

hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang

menghubungkan dengan pelayanan-pelayanan yang ada.

Berdasarkan prinsip-prinsip pekerjaan sosial, maka bimbingan lanjut dianggap

perlu untuk dilakukan. Adapun tahapan dari bimbingan lanjut adalah sebagai berikut:

1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks

penerima program pelayanan kesejahteraan sosial.

2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima

program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial.

3. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima

program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan pendampingan

secara individual.

4. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima

program pelayanan kesejahteraan sosial melalui koordinasi dengan pihak terkait.

5. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima

program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan

sistem sumber yang tersedia.

6. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima

program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan

memberikan bantuan pengembangan usaha.

7. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial

dalam masyarakat.

8. Mengidetifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut

terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. Memberikan

supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja

sosial di bawahnya.

9. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut

terhadap pekerja sosial di bawahnya.

D. KERANGKA EVALUASI

15

Evaluasi pelaksanaan Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di PSKW

Sidoarum menggunakan Model CIPP. Di dalam pembahasan ini akan dilakukan

evaluasi ke empat komponen, yaitu Konteks, Input, Proses dan Output. Di samping

itu juga merujuk pada Indikator Kinerja dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

bidang pelayanan dan rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI

(Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008) sebagai panduan dalam

melaksanakan program. Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial adalah ketentuan

mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar bidang sosial yang merupakan urusan

wajib daerah yang berhak diperoleh setiap Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial secara minimal. Selanjutnya pada Tahun 2007, Direktorat Pelayanan dan

Rehabilitasi Tuna Sosial menetapkan Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan

Rehabilitasi Tuna Susila. Beberapa peraturan ini akan menjadi dasar dalam

mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di PSKW

Sidoarum. Penetapan indikator kinerja dan target SPM Bidang Sosial yang

ditetapkan untuk Provinsi merupakan target minimal yang harus dicapai secara

bertahap sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Sosial sampai dengan Tahun 2015.

Jadi hasil kajian melalui evaluasi ini sekaligus dapat menjadi petunjuk kemajuan

PSKW dalam mencapai SPM.

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 111/HUK/2009 menjelaskan

bahwaIndikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial adalah suatu ukuran

kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat usaha, pencapaian

sasaran, dan tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Indikator Kinerja terdiri dari

indicator masukan (input), indicator keluaran (output), indicator manfaat (outcome)

dan indicator dampak (impact).

Indikator input adalah segala sumber daya yang dibutuhkan dan digunakan

agar tujuan pembangunan kesejahteraan sosial dapat tercapai. Indikator output

adalah segala sesuatu yang diperoreh dan dicapai dalam pembangunan

kesejahteraan sosial sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Indikator outcome

16

adalah segala sesuatu yang diperoleh dengan berfungsinya keluaran yang dicapai

secara optimal dalam pembangunan kesejahteraan sosial. sedangkan Indikator

impact adalah segala pengaruh yang ditimbulkan dari manfaat yang diperoleh dari

hasil kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial.

1.Indikator Input (Masukan)

Indikator masukan merupakan segala potensi yang dapat dijadikan sumber

daya untuk melaksanakan program, yang meliputi ketersediaan sumber daya

manusia, sarana prasarana, anggaran dan pemanfaatannya serta norma, standard,

prosedur, dan kriteria (NSPK).

Indikator ketersediaan sumber daya manusia kesejahteraan sosial meliputi

segala potensi dan kemampuan yang dimiliki baik pegawai maupun tenaga

kesejahteraan sosial yang melaksanakan program pelayanan dan rehabilitasi sosial.

Dalam mengevaluasi kinerja sumber daya manusia sebagai bagian dari indikator

input (masukan), maka akan dilihat melalui ketersediaan Pekerja Sosial Profesional,

Tenaga Kesejahteraan Sosial terlatih. Selain itu juga ketersediaan tenaga profesional

lain yang mendukung proses pelayanan, seperti instruktur ketrampilan, psikolog,

maupun tenaga medis. Secara kuantitatif akan dilihat proporsi jumlah sumber daya

manusia dengan jumlah klien atau warga binaan yang diyalani. Selain itu secara

kualitatif juga akan dilihat latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja dalam

bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial. Secara terperinci Kementerian Sosial telah

menetapkan standar pelayanan minimal untuk sumber daya manusia dalam

pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi tuna susila yaitu :

a. Pimpinan

1) Memiliki Latar Belakang Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Sosial

2) Memiliki Pengalaman di bidang sosial

3) Pernah mengikuti pelatihan manajemen pelayanan panti

b. Tenaga Administrasi

17

1) Memiliki pendidikan serendah-rendahnya SLTA dan diutamakan SMK bidang

Administrasi

2) Pernah mengikuti pelatihan di bidang Administrasi panti

c. Tenaga Pelaksana Teknis

1) Fungsional Pekerja Sosial (rasio 1 : 9)

2) Memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan sosial

3) Pernah mengikuti pelatihan pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam panti

d. Instruktur (rasio 1 : 20)

1) Memiliki sertifikat sesuai bidangnya

2) Adanya kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan

e. Tenaga paruh waktu

1) Memiliki keahlian lainnya sesuai dengan kebutuhan (dokter, para medis,

psikolog, pembimbing rohani)

2) Adanya kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan

f. Tenaga relawan

1) Adanya kesepakatan tentang waktu pelayanan

2) Penempatan sesuai minat dan kebutuhan pelayanan

2. Indikator Proses

Indikator Proses menunjukkan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang

diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan program Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial. Di Dalam Standar Pelayanan Minimal juga sudah ditetapkan prosedur atau

tahap-tahap pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi :

a. Pendekatan Awal dan Penerimaan Klien

1) Kegiatan yang dilakukan

18

a) Orientasi dan Konsultasi kepada Lembaga terkait dan Lintas Sektor untuk

memperoleh dukungan

b) Identifikasi calon klien

c) Motivasi calon klien

d) Seleksi calon klien

e) Kesepakatan pelayanan dengan klien (kontrak pelayanan)

2) Kualifikasi petugas pelaksana

a) Pekerja sosial (Pemerintah maupun swasta)

b) Relawan sosial yang terlatih

3) Frekuensi dan jangka waktu pelaksanaan

Lamanya 1-2 minggu

4) Administrasi dan materi pendukung

a) Formulir pendaftaran

b) Buku registrasi

c) Formulir identifikasi

d) Formulir perjanjian (kontrak pelayanan)

e) Laporan kunjungan

b. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (assessment)

1) Kegiatan

a) Menggali masalah, potensi dan sumber yang dapat diakses

b) Menyusun rencana pelayanan/intervensi

2) Kualifikasi Petugas Profesional

a) Pekerja Sosial Profesional

b) Relawan sosial di bawah supervisi pekerja sosial

3) Frekuensi dan jangka waktu

a) 2 kali melaksanakan assessment terhadap klien

b) 2 kali melakukan assessment terhadap lingkungan klien

c) 1-3 minggu

4) Administrasi dan materi pendukung

19

a) Instrument studi kasus

b) Laporan studi kasus

c) Pembahasan kasus (case conference)

c. Bimbingan sosial, fisik, mental dan ketrampilan

1) Kegiatan

a) Bimbingan sosial (individu, kelompok, masyarakat)

b) Bimbingan fisik (kesehatan, gizi, olah raga, kebersihan lingkungan)

c) Bimbingan mental (spiritual/budipekerti, kepribadian)

d) Bimbingan ketrampilan kerja

e) Bimbingan pendidikan (formal dan non formal)

2) Jenis petugas

a) Pekerjasosial professional

b) Tenagamedis/paramedic

c) Rohaniawan

d) Psikolog

e) Instruktur ketrampilan

3) Frekuensi dan jangka waktu

a) Bimbingan perorangan 4 kali pertemuan/bulan

b) Bimbingan kelompok 2 kali pertemuan/bulan

4) Administrasi dan materi pendukung

a) Laporan proses dan perkembangan

b) Silabus bimbingan (materi pendukung)

d. Resosialisasi

1) Kegiatan

a) Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

b) Magang di tempat kerja sesuai ketrampilannya

c) Dititipkan di dunia usaha

2) Kualifika sipetugas

20

a) Pekerja sosial profesional

b) Relawan sosial terlatih

3) Frekuensi dan jangka waktu

1-3 bulan

4) Administrasi dan materi pendukung

Laporan proses penanganan dan perkembangan

e. Penyaluran

1) Kegiatan

a) Penyaluran kelapangan kerja

b) Bantuan stimulant usaha ekonomi sproduktif (UEP)

c) Pengembalian kekeluarga

d) Rujuk denga nsuami/dinikahkan

2) Kualifikasi petugas

a) Pekerjasosial professional

b) Relawan sosial terlatih

3) Frekuensidanjangkawaktu

Segera setelah resosialisasi

4) Administrasi dan materi pendukung

Formulir penyaluran

f. BimbinganLanjut

1) Kegiatan

a) Memantau dan memotivasi perkembangan eks klien

b) Supervise

2) Kualifikasi petugas

a) Pekerjasosial professional

b) Pekerja sosial terlatih

c) Disiplin lain dari instansi terkait

21

3) Frekuensi dan jangka waktu

a) Frekuensi kontak 2 bulan sekali

b) Jangka waktu 6 bulan

4) Administrasi dan materi pendukung

a) Formulir bimbingan lanjut

b) Laporan bimbingan lanjut

g. Evaluasi

1) Kegiatan

a) Evaluasi pada setiap tahapan proses

b) Evaluasi akhir

2) Kualifikasi petugas

a) Pekerja sosial professional

b) Relawan sosial dengan supervise pekerja sosial

3) Frekuensi dan jangka waktu

4 kali dalam 1 tahun

4) Administrasi dan materi pendukung

a) Formulir evaluasi

b) Laporan akhir

h. Pengakhiran (Terminasi)

1) Kegiatan

a) Pengakhiran kegiatan pelayanan

b) Pendokumentasian/pengarsipan file klien

2) Kualifikasipetugas

Penanggung jawab kegiatan

3) Frekuensi dan jangka waktu

1 kali

4) Administrasi dan materi pendukung

a) Formulir pengakhiran pelayanan

22

b) Surat pemberitahuan pengakhiran pelayanan

3.Indikator Output

Indikator output atau keluaran menunjukkan sejauhmana program pelayanan

dan rehabilitasi sosial dapat menjangkau kelompok sasaran yang dalam hal ini

adalah wanita rawan sosial psikologis dan tuna susila. Indikator output

diformulasikan dengan beberapa komponen yang meliputi jumlah (kuantitas) warga

binaan sosial yang dapat dijangkau dan kualitas atau mutu pelayanan yang dapat

diberikan. Dengan dua kriteria itu, indikator output ditetapkan sebagai berikut :

a. Jumlah warga binaan sosial yang terjangkau program pelayanan dan rehabilitasi

sosial.

b. Jumlah warga binaan sosial yang telah lulus dalam bimbingan mental sosial.

c. Jumlah klien warga binaan sosial yang lulus dalam uji kompetensi ketrampilan

kerja

d. Jumlah klien warga binaan sosial yang mengikuti praktek belajar kerja

e. Jumlah kelompok usaha bersama yang dikelola oleh warga binaan sosial

4. Indikator Manfaat

Indikator manfaat menunjuk pada sejauhmana keluaran dapat berpengaruh

positif atau berfungsi bagi warga binaan sosial, keluarga maupun lingkungan sosial.

Di dalam Peraturan Menteri Sosial, indikator manfaat dilihat dari apakah program

dapat mengubah dan meningkatkan keberfungsian sosial. Keberfungsian sosial

merupakan dalam memenuhi kebutuhan dasar, mengatasi masalah, dan

menampilkan peran sesuai dengan statusnya. Berdasarkan aturan tersebut maka

indikator manfaat dalam program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi warga

binaan sosial dirumuskan sebagai berikut :

a. mempunyai kepercayaan diri

23

b. mampu berkomunikasi yang efektif

c. mampu menghadapi situasi kritis

d. mampu menjalin relasi sosial yang baik dengan lingkungan sosialnya.

e. mampu melaksanakan peranan sosialnya

f. mempunyai ketrampilan kerja dan memudahkan dalam mencari pekerjaan yang

layak atau memungkinkan untuk mengelola usaha mandiri.

Sedangkan indikator manfaat bagi keluarga warga binaan sosial adalah :

a. Mempunyai relasi yang setara di dalam keluarga

b. Terciptanya keadilan dalam pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab dalam

keluarga.

c. Mampu memberikan perlindungan bagi anggota keluarga

d. Mampu menghadapi situasi krisis

e. Mempunyai akses terhadap sumber-sumber pelayanan sosial

f. Mampu berkomunikasi dan menjalin relasi dengan lingkungan sosialnya

5. Indikator Dampak

Indikator dampak Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial diukur dari

peningkatan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial warga binaan sosial

PSKW. Peningkatan kualitas hidup dilihat dari beberapa kondisi, yaitu :

a. Terpenuhi kebutuhan dasar b. Meningkatnya kualitas kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi.c. Mempunyai konsep diri yang positip dan pertumbuhan pribadi yang optimald. Terwujudnya ketenangan, kenyamanan dan keberdayaan psikologis.e. Memiliki waktu dan akses yang terbuka untuk pengembangan pengetahuan dan

ketrampilan.f. Meningkatnya kemampuan dan keberanian dalam membuat keputusan secara

independen.g. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial masyarakat bersama dengan warga

lainnya.h. Mempunyai sumber mata pencaharian yang dapat diandalkan dan sudah

meninggalkan pekerjaannya sebagai WTS.

24

i. Mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan kepemilikan terhadap asset-asset produktif.

j. Terlibat dalam pengambilan keputussan di ranah publik.

E. HASIL EVALUASI PROGRAM

1. Indikator Proses (Assessment)

SPM bidang rehabilitasi sosial wanita tuna susila menetapkan bahwa

bimbingan sosial meliputi bimbingan individu, kelompok, dan masyarakat. Namun

demikian PSKW belum merumuskan dengan jelas materi yang akan disampaikan

dalam bimbingan sosial. Salah satu materi yang dikategorikan dalam bimbingan

sosial adalah bimbingan kedisiplinan dan kesadaran hukum. Materi yang disusun

mengarah pada pemahaman mengenai beberapa peraturan perundangan yangg

relevan dengan kehidupan perempuan, seperti : UU PKDRT, UU Perlindungan

Anak. Akan tetapi UU perkawinan belum disampaikan, begitu pula dengan

perundangan lainnya yang penting bagi perempuan. Di dalam bimbingan

kedisplinan dan kesadaran hukum juga terdapat bahasan mengenai gender.

Sebenarnya tema ini sangat penting dalam bimbingan sosial, namun tidak sesuai

jika ditempatkan dalam materi mengenai kedisiplinan dan kesadaran hukum. Di

dalam kegiatan bimbingan kedisiplinan lagi-lagi juga diisi dengan kegiatan baris

berbaris yang tidak jelas relevansinya dengan tujuan bimbingan.

Bimbingan ketrampilan kerja dilaksanakan dengan 3 jenis ketrampilan, yaitu

menjahit, olahan pangan dan tata rias. Sejak PSKW berdiri hingga sekarang,

pelatihan difokuskan pada 3 jenis ketrampilan tersebut yang menjadi andalan.

Belum ada pengembangan jenis ketrampilan lain sesuai dengan dinamika

perkembangan potensi pasar yang prospektif. Pada saat awal dimulainya program

rehabilitasi wanita tuna susila, ketiga jenis ketrampilan tersebut dipilih karena

dianggap lebih sesuai dengan perempuan. Ini menunjukkan adanya bias gender

25

karena mengamini gender stereotype dan memasukkannya dalam praktek

implementasi kebijakan dan program.

PSKW juga belum menyelenggarakan bimbingan ketrampilan secara

berjenjang, mulai dari tingkat dasar, menengah hingga mahir. PSKW selalu

mengambil posisi pada pelatihan tingkat dasar padahal pasar menuntut kompetensi

pada jenjang mahir. Warga binaan yang menerima manfaat dari bimbingan

ketrampilan juga sangat menginginkan pelatihan lanjutan.

Evaluasi atas perkembangan yang telah dicapai dilakukan oleh masing-masing

instruktur ketrampilan. Sedangkan evaluasi terhadap perkembangan bimbingan

mental sosial belum dilakukan secara terstruktur, karena belum dirumuskan

instrumen evaluasi yang baku dan standar. Belum semua pekerja sosial

mendokumentasikan secara tertulis evaluasi berkala atas perkembangan psiko

sosial klien.

Pada prinsipnya evaluasi diikuti dengan kegiatan pembahasan kasus, untuk

memecahkan permasalahan yang telah diiidentifikasi. Namun pembahasan kasus

hanya diarahkan pada saat akan menetapkan jurusan ketrampilan dan ketika

menjelang PBK. Akibatnya permasalahan psiko sosial sering tidak dikenali dan

dipecahkan dengan melibatkan para profesional.

Tahap selanjutnya adalah Resosialisasi, yang ditujukan untuk mengembalikan

klien pada kehidupan keluarga dan masyarakat. Terdapat beberapa kegiatan yang

dilaksanakan dalam tahap resosialisasi, yaitu :

a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

b. Magang di tempat kerja sesuai ketrampilannya

c. Dititipkan di dunia usaha

d. Sertifikasi

Kegiatan bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat dilaksanakan

melalui home visit dengan keluarga, melakukan bimbingan dengan orang tua dan

26

memberi motivasi agar para orang tua dan keluarga agar memberi dukungan

kepada anak atau keluarganya yang segera akan selesai mengikuti program

rehabilitasi sosial. Bimbingan ini seharusnya juga dilaksanakan terhadap

masyarakat sekitarnya. Namun, Para pekerja sosial dan petugas PSKW baru

menjangkau aparat desa atau kepala dusun setempat. Bimbingan sosial kesiapan

masyarakat dimaksudkan untuk membangun konteks masyarakat yang tidak

diskriminatif terhadap eks warga binaan PSKW. Masyarakat diharapkan menerima

penuh kehadiran mereka menyatu kembali dalam kehidupan sosial yang wajar.

Bimbingan ketrampilan di PSKW dilengkapi dengan kegiatan Praktek Belajar

Kerja (PBK) atau magang. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari di sejumlah

pengusaha Jahit, olahan pangan dan tata rias. Namun kegiatan ini lebih banyak

bermitra dengan pengusaha UKM dan belum menjangkau perusahaan-perusahaan

besar yang bergerak pada bidang usaha tersebut. Selain itu waktu PBK juga sangat

pendek dan dirasakan belum mampu mengasah kemampuan warga binaan. Salah

satu terobosan yang sudah dikembangkan PSKW adalah uji kompetensi. Setelah

selesai mengikuti PBK warga binaan sosial yang memenuhi syarat akan diuji

kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat. Lembaga Pendidikan Kejuruan

(LPK) bertindak sebagai pelaksana dan berwenang menerbitkan sertifikat. Setiap

tahun program sertifikasi baru diikuti kurang lebih 20 orang warga binaan, padahal

uji kompetensi ini penting untuk melegitimasi kemampuan yang telah mereka

kuasai.

Di dalam SPM ditetapkan bahwa kegiatan–kegiatan dalam tahap Bimbingan

Kesiapan dan peran serta masyarakat dilaksanakan oleh pekerja sosial. Kegiatan

ini berlangsung 1-3 bulan. PSKW telah memenuhi standar ini, meskipun masih

lemah dalam aspek Administrasi dan materi pendukung. Laporan proses

penanganan dan perkembangan klien maupun situasi keluarga dan masyarakat

calon penerima belum disusun secara lengkap. Pekerja sosial maupun staf PSKW

telah melakukan monitoring, home visit, namun tidak diikuti dengan pembuatan

27

laporan secara tertulis. Akibatnya catatan perkembangan klien tidak lengkap,

padahal ini sangat penting ketika nantinya akan melakukan terminasi.

Tahap selanjutnya dalam proses rehabilitasi adalah Penyaluran warga binaan

yang menurut SPM dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :

a. Penyaluran ke lapangan kerja

b. Bantuan stimulan usaha ekonomis produktif (UEP)

c. Pengembalian ke keluarga

d. Rujuk dengan suami/dinikahkan

PSKW telah melaksanakan kegiatan penyaluran warga binaan, sebagian

menjadi karyawan atau bekerja pada usaha orang lain dan sebagiannya lagi

membangun usaha mandiri. Seluruh warga binaan yang telah selesai mengikuti

program rehabilitasi sosial diberikan bantuan stimulan usaha produktif dan

dikembalikan kepada keluarganya. Sedangkan penyaluran dengan pernikahan atau

rujuk dengan suami menjadi kasus yang jarang ditemui. Namun menurut

penjelasan pekerja sosial, ada juga klien dari Trauma Center karena kasus KDRT

yang akhirnya rujuk dengan suami. Pada awal-awal berdirinya PSKW juga ada

beberapa klien yang dipertemukan jodohnya oleh Panti dan dinikahkan.

Sebenarnya standar terakhir yang berada dalam SPM ini mengandung bias gender

pula karena rujuk atau menikah diidealisasikan sebagai sebuah bentuk solusi,

padahal belum tentu itu menjadi alternatif terbaik bagi perempuan.

Bimbingan Lanjut merupakan kegiatan yang dilakukan setelah klien kembali

ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. bimbingan lanjut dilakukan dengan

memantau dan memotivasi perkembangan eks klien serta melakukan supervisi.

PSKW setiap tahun telah mengalokasikan anggaran dan menugaskan Pekerja

sosial dan staf nya untuk melakukan bimbingan lanjut. Namun demikian volume

kegiatan ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah eks warga binaan.

Akibatnya bimbingan lanjut hanya menjangkau sebagian kecil dari eks warga

binaan. Bimbingan lanjut harusnya dilakukan setiap 2 bulan sekali, namun hal ini

28

sulit dicapai karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Supervisi

harusnya diberikan oleh supervisor dari intansi terkait dan profesi yang lain.

Supervisi lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan usaha, sehingga di

dalam supervisi ada transfer pengetahuan teknis mengani bagaimana

mengembangkan usaha jahit, olahan pangan dan tata rias. Supervisi inilah yang

belum dilaksanakan oleh PSKW Sidoarum, padahal ini menjadi kebutuhan nyata

warga binaan yang tengah membangun usaha mandiri, untuk mencari solusi atas

beberapa masalah yang dihadapi usaha ekonominya. Kegiatan bimbingan lanjut

juga belum dibarengi dengan penyediaan administrasi dan materi pendukung yang

memadai. Meskipun formulir bimbingan lanjut sudah tersedia namun Laporan

bimbingan lanjut belum disusun oleh semua pekerja sosial atau staf PSKW yang

melaksanakan kegiatan tersebut.

Tahap selanjutnya dalam proses rehabilitasi sosial adalah Evaluasi. Standar

Pelayanan Minimal mensyaratkan evaluasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu

evaluasi pada setiap tahapan proses dan evaluasi akhir dengan Frekuensi dan

jangka waktu 4 kali dalam 1 tahun. Sampai saat ini PSKW menyelenggarakan

evaluasi menjelang selesainya bimbingan, sedangkan evaluasi untuk setiap

tahapan belum dilakukan. Hal ini juga disebabkan kurang didukung adanya

administrasi dan materi pendukung seperti formulir evaluasi dan instrumen

evaluasi lainnya. Pekerja sosial juga belum semuanya menyusun laporan akhir atas

kegiatan evaluasi yang telah dilakukannya. Tahap terakhir dalam proses pelayanan

dan rehabilitasi sosial adalah terminasi atau pengakhiran pelayanan. PSKW telah

melaksanakan kegiatan terminasi, dimana masing-masing pekerja sosial sudah

mempersiapkan formulir pengembalian klien atau surat pemberitahuan

pengakhiran pelayanan.

Dari serangkaian kegiatan yang termasuk dalam kategori indikator proses,

PSKW telah melaksanakannya setiap tahapan, meskipun dalam beberapa

komponen belum dilakukan secara maksimal. Pada tahap pendekatan awal,

29

sosialisasi kurang memberi perhatian pada wilayah yang menjadi lokasi praktek

komodifikasi seksual yang akibatnya semakin menjauhkan PSKW dari mandat

utamanya yang sudah ditetapkan melalui Peraturabn Gubernur. Asesmen juga baru

dilakukan dalam bentuk asesmen awal untuk kepentingan penempatan belum

asesmen yang menggali permasalahan dan potensi atau kekuatan klien. Pada

kegiatan bimbingan mental sosial juga sangat kurang dengan pendekatan

individual karena lebih sering menggunakan pendekatan klasikal berupa

pembelajaran di dalam kelas. Sedangkan dalam bimbingan ketrampilan masih

tersandera oleh 3 jenis ketrampilan dan pada level dasar/pemula. Kegiatan PBK

juga masih dilaksanakan terlalu singkat (20) hari dan belum memberi manfaat

maksimal bagi warga binaan. Salah satu pengembangan kegiatan yang sudah baik

adalah uji kompetensi dalam rangka sertifikasi. Supervisi dan pendampingan

teknis bagi eks warga binaan yang mengelola usaha mandiri yang menjadi

kebutuhan penting juga belum diakomodasi dalam skema bimbingan lanjut. Jadi

meskipun secara prosedural proses rehabilitasi di PSKW telah sesuai dengan

ketentuan dalam SPM, namun itulah beberapa catatan penting dari evaluasi

terhadap seluruh rangkaian kegiatan yang masih harus mendapat perhatian dari

pimpinan dan para pelaksana program.

2. Indikator Output

Indikator output atau keluaran menunjukkan sejauh mana program

pelayanan dan rehabilitasi sosial dapat menjangkau kelompok sasaran yang dalam

hal ini adalah wanita rawan sosial psikologis dan tuna susila. Seperti yang telah

disampaikan pada bagian terdahulu, PSKW selama ini lebih banyak menjangkau

wanita rawan sosial psikologis dari pada tuna susila baik yang masih aktif atau eks

wanita tuna susila. Tidak mudah menjangkau wanita tuna susila dan

memotivasinya untuk mengikuti program rehabilitasi yang syaratnya adalah

tinggal di dalam panti. Sementara hasil razia aparat keamanan tidak lagi dirujuk ke

PSKW tetapi diselesaikan dengan TIPIRING. Inilah agenda mendasar yang harus

30

segera diselesaikan. Jika PSKW ingin kembali ada mandate utamanya maka

sasaran jangkauan tetap menyertakan tuna susila. Karena mandate inilah yang

membedakannya dengan panti yang lain dan menjadi alasan kenapa harus ada

PSKW. Apabila persoalannya adalah pada model rehabilitasi yang berbasis panti

yang banyak ditolak oleh para WTS maka PSKW perlu mengembangkan

pendekatan lain, misalnya melalui pendekatan luar panti. dan jika pendekatan ini-

pun akan sama dengan program yang dilaksanakan oleh Seksi Rehabilitasi Tuna

Sosial, maka Kepala Dinas Sosial membuat kebijakan yang mengatur koodinasi

dan sinergi antara kedua unit kerja tersebut.

Jumlah warga binaan sosial yang terjangkau program pelayanan dan

rehabilitasi sosial 50 orang setiap tahun. Namun PSKW menerapkan sistem

terbuka, sehingga klien tidak harus selama 1 tahun mengikuti rehabilitasi di dalam

panti. Apabila sudah dinilai mampu dan siap untuk mandiri maka setelah

menjalani uji kompetensi sudah dapat kembali kepada keluarganya. Jumlah warga

binaan sosial yang telah lulus dalam bimbingan mental sosial 50 orang setiap

tahun. Jumlah klien warga binaan sosial yang mengikuti praktek belajar kerja atau

magang di atas 75 %. Namun Jumlah klien warga binaan sosial yang lulus dalam

uji kompetensi ketrampilan kerja masih di bawah 50 %. Dahulu PSKW pernah

mengembangkan usaha mandiri secara berkelompok, namun pada saat ini basis

usaha ekonomi dilaksanakan secara perorangan.

3. Indikator Manfaat

Indikator manfaat menunjuk pada sejauhmana keluaran dapat berpengaruh

positif atau berfungsi bagi warga binaan sosial, keluarga maupun lingkungan

sosial. Di dalam SPM juga sudah dirumuskan indikator manfaat dari program

pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu warga binaan sosial ;

a. mempunyai kepercayaan diri

b. mampu berkomunikasi efektif

31

c. mampu menghadapi situasi kritis

d. mampu menjalin relasi sosial yang baik dengan lingkungan sosialnya.

e. mampu melaksanakan peranan sosialnya

f. mempunyai ketrampilan kerja dan memudahkan dalam mencari pekerjaan yang

layak atau memungkinkan untuk mengelola usaha mandiri.

Dalam melakukan evaluasi terhadap kemanfaatan program pelayanan dan

rehabilitasi sosial, Tim Kajian telah melakukan analisis terhadap 102 hasil

wawancara dengan warga binaan serta melalui dokumentasi proses FGD maupun

wawancara mendalam. Ada dua bagian analisis, pertama manfaat

bimbingan/pelatihan ketrampilan dalam meningkatkan kemandirian ekonomi eks

warga binaan, dan kedua manfaatnya dalam membangun keberdayaan psiko

sosialnya.

4. Kemandirian Ekonomi Eks Warga Binaan

Salah satu kegiatan dari Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di

PSKW Sidoarum adalah Pelatihan Ketrampilan. Pelatihan ketrampilan

dimaksudkan untuk memberikan bekal kompetensi yang diharapkan dapat

memudahkan warga binaan untuk mendapatkan pekerjaan. Ada 3 jenis

ketrampilan yang diikuti oleh perempuan warga binaan sosial, yaitu Menjahit,

Olahan Pangan dan Tata Rias. Warga binaan sosial dapat mengikuti salah satu

jenis ketrampilan berdasarkan bakat dan minat-nya yang diketahui melalui

asesmen vokasional.

Bagian ini akan memaparkan hasil kajian tentang dampak dan manfaat

program pelatihan ketrampilan dan bantuan usaha ekonomi bagi perempuan warga

binaan PSKW dalam memperoleh pekerjaan dan mengembangkan usaha. Pada

bagian awal akan menggambarkan sejauhmana manfaat kegiatan pelatihan

ketrampilan sebagai skill yang dapat menguatkan kompetensi untuk masuk dan

bersaing di pasar kerja. Selain itu juga menganalisis daya saing warga binaan

PSKW dengan melihat persentase yang memperoleh pekerjaan berdasarkan jenis

32

ketrampilan yang diikuti. Tingkat pendapatan yang diperoleh juga

menggambarkan kondisi kemampuan ekonomi mereka dan mencerminkan situasi

pekerjaan yang diperoleh pada saat ini. Bagian selanjutnya akan memaparkan

perkembangan usaha mandiri yang dikelola oleh eks warga binaan. Deskripsi

meliputi jenis usaha mandiri yang dikelola, jumlah pendapatan yang diperoleh

serta dinamika dan hambatan dalam mengembangkan usaha.

Dari penjelasan mengenai perkembangan kondisi ekonomi, pembahasan

akan diteruskan dengan menganalisis tingkat kemandirian eks warga binaan.

Bahasan ini akan menjawab pertanyaan apakah pendapatan yang diterima cukup

memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarganya bagi

mereka yang sudah mempunyai keluarga, serta strategi apa yang digunakan untuk

tetap menjaga kelangsungan hidupnya.

F. KESIMPULAN & REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan Panti Sosial

Karya Wanita belum cukup mampu mewujudkan keberdayaan psiko sosial bagi

perempuan penerima manfaat. Motivasi diri penerima manfat masih rendah.

Rendahnya motivasi ini disebabkan karena kuatnya pengaruh dari pola

pengasuhan orangtua, jenjang pendidikan yang kurang memadai sehingga

mempengaruhi pola pikir mereka, Usia klien dalam kategori remaja awal, daya

juang rendah dan kurangnya pemantauan dari para pembimbing, instruktur, dan

pendamping.

Penerima manfaat juga belum memiliki persepsi dan tingkat kepercayaan

diri yang tinggi. Masih banyak di antara mereka yang bersikap pasif dan belum

mampu mengambil keputusan termasuk memperhitungkan resiko dalam

mengelola usaha ekonomi mereka. Masih banyak pula penerima manfaat yang

33

belum mengenali potensi diri dan kekuatan-kekuatan yang mereka miliki.

Kemampuan dalam berkomunikasi juga belum cukup baik. Baik dalam bahasa

verbal maupun non verbal, banyak klien masih merasa malu dan canggung ketika

berkomunikasi dengan orang lain, baik komunikasi personal maupun komunikasi

publik.

Banyak penerima manfaat juga masih belum mampu hidup secara mandiri.

bahkan masih banyak yang hidupnya tergantung dengan orang tua. Bagi klien

yang telah berkeluarga, juga masih berada pada posisi subordinat terhadap

suaminya. Banyak penerima manfaat yang terpaksa harus berhenti bekerja atau

mengelola usaha karena harus menjalankan tugas-tugas domestiknya.

Kemandirian dalam berusaha tidak serta merta diikuti dengan kemandirian dalam

menjalani hidup. Berbagai keputusan penting masih sangat ditentukan oleh

orang-orang terdekat di sekitar mereka. Pengambilan keputusan dalam mengelola

usaha juga banyak ditentukan oleh orang tua atau pasangan hidupnya.

Kemampuan dalam menganalisis masalah, membuat alternatif pemecahan

masalah dan mengambil keputusan masih belum dimiliki klien.

Penerima manfaat juga belum cukup mempunyai coping mechanism yang

memadai. Asesment yang dilakukan Tim PSKW belum mengidentifikasi masalah

psiko sosial yang dihadapi klien sehingga banyak problem yang belum

diselesaikan. Selama proses bimbingan dan pendampingan penerima manfaat

juga juga belum banyak dilatih bagaiamana menghandle problem psiko sosial.

Konsep diri yang belum terbangun dengan baik, rendahnya motivasi dan

kepercayaan diri, keterbatasan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan

mekanisme koping merupakan aspek yang saling berkait yang menyebabkan

penerima manaat belum sepenuhnya dapat hidup mandiri.

Posisi sosial para penerima manfaat dalam masyarakat juga belum nampak

terjadi perubahan. Mereka masih belum mampu menujukkan peran yang nyata

34

dan dominan dalam masyarakat. klien yang bekerja atau mengelola usaha jarang

berkomunikasi, berinteraksi dan berpartisipasi dalam aktivitas sosial masyarakat.

apalagi klien yang sudah berkeluarga, sangat jarang yang melibatkan diri dalam

kegiatan masyarakat. Seluruh perhatiannya terfokus untuk menyelesaikan tugas-

tugas domestiknya.

Salah satu temuan positip dari kajian ini adalah pada aspek bimbingan atau

pelatihan ketrampilan. Pelatihan ketrampilan cukup mampu menjadi bekal bagi

penerima manfaat untuk mendapatkan penghasilan. Sebagian penerima manfaat

memperoleh pekerjaan, baik bekerja pada orang lain maupun mengelola usaha

mandiri.

Temuan pada aspek ekonomi ini juga menunjukkan bahwa mengelola

usaha mandiri lebih prospektif dibandingkan dengan dengan bekerja pada orang

lain. Pada tahap memulai usaha memang banyak ditemukan kesulitan dan

hambatan. Namun secara bertahap penerima manfaat dapat mengembangkan

usahanya. Pendapatan yang diterima dari mengelola usaha mandiri lebih besar

dari pada bekerja pada orang lain. Hal ini disebabkan karena penerima manfaat

yang menjadi karyawan bekerja pada perusahaan kecil sebagai pekerja upahan,

jarang yang menjadi karyawan tetap. Sedangkan mereka yang mengelola usaha

mandiri dapat mengembangkan beberapa jenis usaha sehingga pendapatan juga

lebih tinggi.

Di antara jenis usaha olahan pangan, menjahit dan salon, yang paling

prospektif adalah bidang usaha salon. Usaha ini bertumpu pada seberapa baik

kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan, sedangkan bahan dan alat

dapat digunakan secara lebih efisien. Ini berbeda dengan usaha olahan pangan

yang dibatasi oleh waktu kadaluwarsa, apalagi usaha makanan basah. Usaha

penjahitan menghadapi kompetisi yang sangat keras dari usaha pakaian jadi.

Pakaian jadi dapat dibeli dengan harga yang sangat murah, dan konsumen tidak

perlu harus menunggu untuk menggenakan pakaian yang diinginkan. Oleh

35

karenanya usaha penjahitan harus benar-benar mampu membidik segmen

pelanggan dan menentukan spesifikasi jenis jasa penjahitan.

Temuan lain dari kajian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kemandirian

ekonomi penerima manfaat yang mengelola usaha mandiri juga lebih besar

dibanding dengan mereka yang bekerja pada orang lain. Mayoritas pengelola

usaha mandiri menyatakan pendapatan yang diterima dapat digunakan untuk

mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan mayoritas yang bekerja pada

orang lain menyatakan masih didukung oleh orang tua dan keluarga dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hambatan dan kesulitan dalam mengelola usaha mandiri yang

diidentifikasi adalah lokasi tempat usaha yang tidak strategis. Mayoritas

penerima manfaat menggunakan rumah orang tua sebagai tempat usaha. Ini

sangat tidak mendukung pemasaran hasil produksi mereka. Sejumlah penerima

manfaat yang mengelola usaha tata rias atau salon menyewa tempat usaha pada

lokasi yang cukup strategis, dan ini terbukti sangat mendukung keberhasilan

usaha mereka. Namun bagi penerima manfaat yang menekuni usaha penjahitan

dan olahan pangan di rumah, sangat merasa kesulitan untuk mencari pasar,

apalagi mengembangkan usaha.

Hambatan lain yang dihadapi adalah peralatan yang belum lengkap dan

ketrampilan yang belum memadai. Bantuan peralatan dan bahan yang diberikan

PSKW adalah sarana dasar yang bisa digunakan untuk memulai usaha. Namun

dalam perkembangannya masih dibutuhkan alat-alat khusus yang mampu

mendukung perkembangan usaha. Apalagi perubahan, mode selera konsumen

juga sangat pesat sehingga ini perlu disesuaikan dengan penyediaan alat-alat

yang dibutuhkan. Para pengelola usaha juga seringkali belum cukup peraya diri

untuk menerima order yang membutuhkan ketrampilan khusus. Hal ini

disebabkan karena mereka merasa ketrampilan yang dikusasi baru tingkat dasar

36

sehingga merasa kurang mampu untuk mengerjakan order yang lebih rumit, baik

itu untuk produk olahan pangan, model jahitan maupun model tata rias/rambut.

Hambatan lain dalam pengelolaan usaha yang diidentifikasi adalah tugas-

tugas domestik dalam keluarga. Banyak penerima manfaat yang menghentikan

usahanya karena harus mengasuh dan merawat anak. Hal ini menegaskan masih

adanya kesenjangan gender dalam keluarga yang menghambat pencapaian peran

produktif perempuan.

2. REKOMENDASI

Dari pemaparan hasil evaluasi diatas baik terkait aspek administrasi

ataupun dampak ekonomis dan psiko sosial yang dialami oleh penerima bantuan,

tim kajian ini mengajukan beberapa rekomendasi. Rekomendasi ini berupa

langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh PSKW untuk lebih menjamin efektifitas

layanan atau lebih tepatnya meningkatkan dampak positif serta tingkat keberhasilan

program-program PSKW dalam pemberdayaan dan keberfungsian sosial klien.

a. Assesment

Data di lapangan menunjukkan bahwa informasi terkait latar belakang

klien tidak cukup tersedia. Assement terhadap klien misalnya, hanya dilakukan

secara sangat singkat dalam formulir penerimaan klien di awal kegiatan.

Laporan lebih detail masih menjadi “koleksi” pribadi pekerja sosial yang

menangani klien dan tidak selalu di dokumentasikan dalam file klien. Padahal

assement dan evaluasi perkembangan klien seharusnya menjadi aktivitas

berkelanjutan yang dilakukan pada setiap tahapan program sehingga bisa

diketahui perkembangan yang dicapai klien dan juga bisa di identifikasi

kebutuhan atau agenda yang perlu disusun.

37

Secara lebih spesifik assessment yang ada juga masih sangat terfokus

pada individu klien dan belum menyentuh lingkungan sosial klien yang lebih

luas: misalnya keluarga dan lingkungan terdekat. Hal ini berimplikasi pada

tidak terdeteksinya permasalahan-permasalahan yang penting yang dimiliki

klien. Beberapa kasus menunjukan bahwa problem sosial seperti relasi dengan

keluarga, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain yang dimiliki sebelum

mengikuti program tidak teridentifikasi pada asssement dan karenanya tidak

ada langkah intervensi yang dilakukan. Ini berakibat kembalinya klien kembali

ke rumah paska program dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk

menindaklanjuti aktivitas pemberdayaan yang harus dilakukan.

Hal ini menunjukan bahwa proses assessment perlu dilakukan secara

lebih serius dan berkelanjutan serta menggunakan prespektif HBSE (Human

behavior and Social Environment) yang menjadi core intervensi peksos.

Dengan assemsent yang mendalam dan mencakup lingkungan yang lebih luas

maka diharapkan informasi yang didapatkan tentang klien lebih lengkap dan

terbangunnya rencana intervensi yang lebih efektif dan menjamin keberhasilan.

Case conference dijadikan sebagai salah satu standar operasional dan

prosedur pelayanan, sehingga tidak seorang pun klien yang tidak diketahui

masalahnya dan dipecahkan secara komprehensif dengan melibatkan

pandangan dari multi didiplin dan multiprofesi.

b. Perluasan Jaringan dan Sistem Rujukan

Penekanan yang terlampau kuat pada pendekatan individu –sebagaimana

yang telah dipaparkan di atas-- juga terefleksikan pada mekanisme yang

dibangun PSKW dalam program ketrampilan dan pemberdayaan ekonomi.

PSKW masih terfokus pada pemberian ketrampilan kepada klien, tanpa

kemudian dibarengi dengan dukungan dan layanan lanjutan yang signifikan

bagi pengembangan usaha mandiri atau pengembangan karir yang dilakukan

klien. Hampir semua klien misalnya mengakui bahwa hambatan bagi

38

pengembangan usaha yang mereka adalah terbatasnya modal serta jaringan

pemasaran. Klien belum memiliki keberanian dan kemampuan untuk

meningkatkan modal di luar keluarga dan teman. Mereka juga belum memiliki

kemampuan untuk mengakses skope pemasaran yang luas, dan hanya terbatas

pada lingkup yang sangat kecil seperti tetangga dan teman dan level usaha yang

sangat rendah. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi, yang juga berimbas

kepada pemberdayaan psikososial, akan lebih efektif jika bimbingan lanjutan

(binjut) yang diberikan PSKW bisa membangun jaringan dan membangun

rujukan kepada :

1) Lembaga Finansial/ Penyedia Kredit

PSKW hendaknya bisa membantu klien untuk mengakses modal/

kredit dari lembaga financial : i.e. Bank pemerintah atau swasta, lembaga

pemberi kredit ataupun lembaga financial lainnya. Mengingat kebanyakan

klien tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pinjaman dari bank

( misalnya karena tidak memiliki jaminan), maka jaringan dan kerjasama

PSKW perlu membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga modal

tersebut sehingga akses menjadi lebih mudah.

2) Program-program Sosial dan Pemberdayaan Sosial Ekonomi.

PSKW juga bisa membangun sistem rujukan dengan dinas layanan

sosial lainnya sehingga klien PSKW secara otomatis juga menjadi peserta

program perlindungan dan jaminan sosial lainnya seperti jaminan kesehatan,

kelompok usaha ekonomi, program keluarga harapan , pengentasan

kemiskinan dan lainnya.

Klien juga bisa di rujuk kepada program pemberdayaan yang

ditawarkan lembaga-lembaga non profit seperti program CSR, Dompet

Duafa, Rumah Zakat dan sebagainya.

39

c. Membentuk Asosiai dan Jaringan Alumni

Aspek lain yang bisa dibangun oleh PSKW adalah menfasilitasi para

lulusan program untuk membentuk asosiasi sehingga program bimbingan

lannjut bisa dilakukan dengan lebih terarah dan efektif. Adanya asosiasi

lulusan juga sangat bermanfaat bagi penguatan dukungan psiko sosial serta

pengembangan usaha mandiri.

Asosiasi atau jaringan alumni adalah bentuk pengorganisasian

perempuan. Dari aspek psikososial adanya asosiasi lulusan bisa menjadi

support group (self-help-group) yang sangat bermanfaat. Klien bisa tetap

menjalin bahkan mengembangkan persahabatan dengan sesama lulusan dan

menjadikan sebagai satu resource sosial dan support system yang sangat

penting dalam menghadapi masalah dan. Asosiasi alumni juga sangat potensial

untuk pengembangan jaringan dalam rangka pengembangan usaha di kalangan

mereka. Misalkan saja lulusan yang membangun usaha salon pengantin bisa

bekerja sama dengan mereka yang memiliki usaha penjahit untuk membuat

baju dan seragam pengantin yang bisa disewakan pemilik salon. Jika langkah-

langkah ini bisa dilakukan maka asosiasi alumni akan terbentuk menjadi self-

help group yang sangat penting bagi pemberdayaan sosial meningkatkan

kepercayaan diri dan kemampuan mengatasi masalah, pengembangan jaringan

dan akses terhadap sumberdaya dan modal

Asosiasi alumni tidak perlu dikhawatirkan akan menegaskan kembali

stigma masyarakat terhadap warga binaan PSKW. Justru aosisiasi ini akan

menjadi organisasi yang solid yang nantinya akan mampu melakukan advokasi

dan mempunyai kekuatan untuk mendesakan terjadinya perubahan, khususnya

dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan serta meningkatnya akses

layanan bagi kaum perempuan.

d. Re-Evaluasi Mandat PSKW

40

Perlu adanya perumusan ulang tentang tugas dan mandat pokok PSKW

yang bisa digambarkan pada pertanyaan sederhana namun mendasar: mau di

kemanakan PSKW ke depan? Secara garis besar ada dua hal yang bisa

dilakukan :

1) PSKW harus melakukan pengembangan langkah-langkah penjangkauan

(outreach) untuk menarik tuna susila kembali menjadi target utama

pelayanan. Ini bisa dilakukan misalnya dengan kerjama yang erat dengan

dinas ketertiban / satpol PP.

2) PSKW perlu beralih dari pola dan perspektif pelayanan yang sangat

individual: sangat terfokus pada klien, dengan menyentuk aspek yang lebih

struktural. Ini bisa diwujudkan misalnya dengan membangun jaringan /

networking sekaligus menciptakan sistem rujukan (referral system) dengan

berbagai lembaga layanan ataupun stake holder terkait, misalnya satpol PP,

dinas –dinas terkait pada wilayah propinsi maupun kabupaten kota, bank,

universitas dan sebagainya. Secara lebih mendetail pihak-pihak terkait akan

di jelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M. (2010). Penelitian Tentang Rehabilitasi Sosial di PSBG. Jakarta: P3KS Press.

41

Departemen Sosial RI, (2007). Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.

Lambert, M. D. (2001). Clinical Social Work Beyond Generalist Practice with Individuals, Groups and Families. London: Brook/Cole. (E-book diakses pada 4 Januari 2014)

Sheafor, S. (2003). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)

Woodside, M. D. (2003). Generalist Case Management; A Method of HumanService Delivery. Pacific Groove CA: Brooks Cole. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)

Departemen Sosial RI (2004), Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.

Departemen Sosial RI (2007), Standard Pelayanan Minimal Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Tuna Susila.

Kementerian Sosial RI (2010), Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Berbasiskan Masyarakat (RBM).