panjak kali wetan

12
Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek |Koleksi Cerpen Pustaka Sanggar Nuun Panjak Kali Wetan Fathulloh | Buah proses pesantren sastra Sanggar Nuun Halaman | 1

Upload: sanggar-nuun

Post on 16-Mar-2016

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Karya hasil pendidikan kelas pesantren sastra sanggar nuun

TRANSCRIPT

Page 1: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

|Koleksi Cerpen Pustaka Sanggar Nuun

Panjak Kali WetanFathulloh | Buah proses pesantren sastra Sanggar Nuun

Halaman | 1

Page 2: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Panjak Kali WetanFathulloh | Buah proses pesantren sastra Sanggar Nuun

Aku, satu waktu masih saja mendengar cerita tentang tobong Wijaya Kusuma. Kelompok

Ludruk pimpinan Cak Madun di Jombang. Melalui cerita tersebut aku dibawa mengaliri arus

kehidupan Mbok Narsi. Perempuan tua yang sejatinya lahir sebagai lelaki namun dunia

panggung Wijaya Kusuma memberikan ruang jiwa perempuan pada tubuh Mbok Narsi.

42 tahun lamanya bermain lakon, pengabdian yang akan melebihi setia abdi pada raja-raja

jawa sekiranya panggung tobong miliknya tidak musnah diberangus.

“Wak Bayan ngeloni sapi,

jarene prawan wetheng e kok geedi”,

parikan itu masih lancar meluncur dari bibir keriput Mbok Narsi, sayup-sayup kudengar,

suaranya yang serak menembus telingaku bercampur aroma asap, tungku pawon yang

menyeruak hidung dan memaksa aku bangun.

“lee…. Somad… arek ganteng….Itu airnya sudah panas, bangun, sana kalau mau bikin

kopi”, itulah keseharian ku, hidup bersama Mbok Narsi. Aku selalu dibangunkan oleh

parikan-parikan yang masih dihafal betul oleh perempuan tua itu dan air panas yang selalu

disediakannya bersama kopi bubuk dan gula pasir, kehangatan sebelum aku bersiap

berangkat kerja.

Halaman | 2

Page 3: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Pagi itu udara dingin begitu bebas menembus celah-celah gedhek, Mbok Narsi masih

berlanjut, memegang gagang sapu dan seakan sibuk membersihkan pekarangan rumah

yang hanya dua meter persegi. Aku duduk berteman segelas kopi dari meja yang

menghadap lurus ke halaman, memandang jelas tubuh renta wanita itu. Entah pikiran apa

yang memaksaku kembali menanyakan banyak hal tentang diriku, keberadaan ku bersama

mbok Narsi sejak kecil, dirawat selayaknya anak sendiri, hingga saat ini aku menjadi lelaki

dewasa yang bekerja sebagai kuli panjat perkebunan Cengkeh di Wonosalam.

Sekian lama aku sudah meredam pikiran itu, telah pula kumantapkan di hati bahwa

menemukan jawaban tentang siapa aku sama sekali tidak penting, karena yang lebih

penting adalah menikmati hidup bersama Mbok Narsi, seniman ludruk yang setiap lekuk

keriputnya menerjemahkan perjalanan panjang pengayom seni tradisi.

Saat Mbok Narsi masih bergulat dengan sapu dan halaman pekarangan, aku semakin larut

dalam lamunan masa kecil ku, dua puluh tahun yang lalu, aku, Somad kecil, sangatlah akrab

dengan dunia ludruk. Ludruk yang ku kenal saat kecil memiliki bagian-bagian yang runtut,

dari tari ngremo, kidungan, dagelan, dan alur cerita. Empat bagian tersebut merupakan

unsur yang tak terpisahkan di setiap pementasan ludruk, seperti yang dilakoni mbok Narsi.

Sementara itu, dua puluh tahun lalu ketika aku belum genap umur 5 tahun, saat kelompok

tobong Wijaya Kusuma menggelar pementasan dan aku berada dalam rombongan. Waktu

itu panggung mulai ramai mendatangkan penonton. Pertunjukan dimulai dengan tari

Halaman | 3

Page 4: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Ngremo, tari Jawa Timur-an, sebuah gerakan tari yang mengambil filosofi kepahlawanan,

disusul kemudian suara kidung, lirik puisi Jawa dengan sekian pesan moralnya.

Aku tahu, Ludruk, konon lahir sebagai konsep kesenian yang anti kemapanan, aku paham

betul itu karena struktur masyarakat Jawa Timur dahulu sangatlah feodal, corak kekuasaan

yang penuh skandal dan korup, bagaimana jarak sengaja diciptakan antara rakyat dan status

sosial seorang lurah atau bupati serta keluarganya. Jarak yang masih tersisa hingga

sekarang.

Dalam dominasi kekuasaan tersebut, dari pada melawan secara frontal, masyarakat

memilih bentuk pasemon (sindiran) sebagai gerbang artikulasi yang populer untuk

mengkritik dan mengontrol kebijakan penguasa saat itu. Tak lain tak bukan ludruklah yang

menjadi mediumnya. Parikan menjadi pedang tajam dan siap mblejeti (menelanjangi)

kebejatan-kebejatan moral sosial politik penguasa lewat permainan katanya yang kocak.

Seperti cerita yang sering didongengkan Mbok Narsi, cerita tentang sosok Cak Durasim yang

begitu berani meneriakkan perlawanan atas penjajah jepang melalui parikan-parikannya.

Ahh...bangsat, aku kembali teringat, hingga sebelum mbok Narsi manggung malam itu, aku

masih sangat merasakan semangat anti kemapanan dalam ludruk. Bagi anggota kelompok

ludruk yang didirikan Cak Madun setahun setelah kemerdekaan, semacam telah menjalar

pemahaman bersama bahwa adanya tobong Wijaya Kusuma bukan untuk urip tapi ngurip-

nguripi, bukan untuk mencari penghidupan namun untuk terus menghidupi tradisi dan

menyuarakan kondisi disekitar.

……

Halaman | 4

Page 5: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Aku ingat betul, waktu itu awal tahun 1966, Cak Madun mengajak rombongan ludruk Wijaya

Kusuma nobong di Nganjuk, di sebuah lapangan di samping rumah Solekan, warga Jombang

yang menikah dengan perempuan Desa Kali Wetan.

Karena mengenal Cak Madun, Solekan banyak membantu kebutuan rombongan, mulai ijin

lurah sampai mencarikan truk untuk barang-barang tobong.

“Semua sudah tertata?” Tanya Cak Madun tak jelas pada siapa pertanyaan itu tertuju,

sekadar memastikan kesiapan tata panggung. “ayo ngelumpuk sik” ajak Cak Madun pada

semua anggota tobong, aku pun ikut duduk bersila bersama mbok Narsi, bersandar

dibadannya dengan tangan yang masih setia memegangi kotak bedak, tugas yang

diembankan mbok Narsi padaku.

“Panggung sudah jadi, besok malam kita pentas perdana di kampung Wak Solekan, nah

kita mau pentaskan lakon apa untuk besok malam?” tukas Cak Madun ditengah para

anggota tobong yang duduk melingkar. “Malaikat Kawin” celetuk Mbok Narsi begitu tegas.

Sontak ungkapan Mbok Narsi disambut tawa khas panjak kendang Slamet dan

membubarkan ide-ide yang dipikirkan pemain yang lain. “Mbok Narsi……mbok Narsi,

kamu itu sudah tua masih saja ingin kawin” ujar Slamet ditengah tawanya yang tak henti,

mendengar komentar Slamet, Mbok Narsi pun segera bersoloh “Tuek lak umure, kon ga

ndelok bodi ku ta? Ijik penuh vitamin rek..!” ruangan semakin riuh dengan tawa.

Sementara, aku yang tak mengerti apa yang mereka tertawakan beranjak keluar dari

lingkaran, masih bersama kotak rias, aku mencari semak untuk kencing.

Halaman | 5

Page 6: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Beranjak menuju semak, aku mendapati sepasang sorot mata tajam, sisi sebelah kiri

lapangan, lama kudapati dia dan tampaknya begitu seksama mencuri dengar obrolan

anggota tobong, kemudian berlari, dan menghilang tanpa bekas.

Sejak saat itu, sosok yang hilang dari semak tersebut menjadi tanda tanya besar dalam

hidupku.

“Ndak kerja kamu le?” Tanya Mbok Narsi yang tiba-tiba berada disampingku,

membubarkan lamunan tentang tobong Wijaya Kusuma dua puluh tahun silam, “Hari ini

aku di rumah saja Mbok..!, perasaan ku sedang tidak enak” jawabku sambil mengamati

Mbok Narsi dengan nafas terengal memperbaiki ikatan sapu lidi yang kendor. “Mbok aku

ingat saat kecil, saat bersamamu ikut rombongan tobong”, sejenak kata-kataku meluncur

tak sedikitpun nenek tua itu memberi respon, baru kemudian aku sadar, bahwa sikap diam

Mbok Narsi, sama hal nya dengan sikap diam yang dulu ditampakkannya saat mendengar

kata tobong, ku dapati matanya berbinar menuntun angan ku berlanjut pada malam saat

pentas dengan lakon “Malaikat Kawin” dilangsungkan.

Sebuah lakon dari seloroh iseng Mbok Narsi yang disepakati anggota tobong.

Saat itu aku melihat dari lubang kecil di balik panggung, mendung sedang bergelayut di atas

langit Anjuk Ladang, kawasan bertemunya angin timur dan barat. Angin seakan telah

menjadi teman karib penduduk Kali Wetan, mereka paham betul bahwa malam itu tak akan

turun hujan, karena bintang timur telah menampakkan diri.

Halaman | 6

Page 7: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Begitulah kiranya pemahaman penduduk Kali Wetan yang kemudian tumpah memadati

lapangan. Sisi lapangan tampak berderet warung dadakan, pedagang tahu solet, bakul

rokok, dan penjual kacang rebus. Aku tak tahu sejak kapan mereka datang dan aku tak

peduli karena tugasku saat itu hanya duduk dibalik panggung, menjaga kotak bedak,

kostum, serta pakaian para pemain ludruk.

Dibalik panggung, aku pun tak pernah mengerti apa yang membuat penonton tertawa

begitu ramai ketika pemain ludruk termasuk Mbok Narsi memasuki panggung, gaya komikal

mereka ataukah kekuatan irama kendang panjak Slamet yang begitu piawai mengikuti

gerakan pemain di panggung?.

Begitulah, malam itu penduduk Kali Wetan, benar-benar larut dalam tawa, terbawa oleh

parikan-parikan konyol yang terkadang liar meletupkan soloroh cabul dari pemain ludruk

Wijaya Kusuma.

Dibalik panggung aku tak bisa menikmati apapun, hanya bermain sepotong kayu dan karet

gelang. Malam itu langit berhasil mengusir mendung dan bulan leluasa memantulkan

sinarnya di pucuk rerumputan. Dari kejauhan aku melihat titik-titik cahaya berbaris,

bergerak menuju lapangan.

Angin sepertinya membawa kabur bebunyian gamelan, aku berada dalam kesunyian. Dua

bola mataku benar-benar memandang titik cahaya yang berbaris di kejauhan. Namun

terhentak kaget ketika dari pandanganku muncul bayangan sosok besar, berlari kearahku,

terjatuh sekali, namun begitu cepat bangkit dan terus berlari ke arah ku, aku mundur

Halaman | 7

Page 8: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

beberapa langkah dan kudapati setengah mati dia berupaya mengatur nafas kemudian

meluncur ucapan yang tampak berat untuk dikatakan.

“Moodd…mod..moddaarrr, lah kalian malam ini…. ” begitu bertenaga ia mengucapkan

kata-kata itu, “hei…, cepat naik panggung, panggil Madun dan Mbok Narsi

kemari…”bentaknya padaku.

Saat itu aku adalah Somad kecil yang benar-benar ketakutan. ”Cepaaat, katakan padanya

ada panjak Kali Wetan”, lelaki yang tadi kulihat sebagai bayangan besar berteriak padaku,

tak lama kemudian, aku melangkah cepat, aku tiba-tiba berada di atas panggung. Sontak

penonton tertawa dan aku baru menyadari telah menjadi bagian dari dunia panggung.

Suasana panggung tak terlalu ku perhatikan, karena aku lebih memikirkan bayang-bayang

yang membentakku dan bagaimana menuruti keinginannya untuk menghadirkan Cak

Madun dan Mbok Narsi padanya.

Binar mataku polos menatap wajah garang Cak Madun, “ada panjak Kali Wetan”

kukatakan sembari tenaga kecilku mencoba menyeret Cak Madun dan Mbok Narsi,

semantara panggung dan kehadiran ku membuat Cak Madun dan Mbok Narsi yang sedang

beradegan menjadi ling-lung mendadak, kehilangan kata dan dengan seketika

menggendongku keluar panggung, tertinggal mbok Narsi, “lhooo….lho..lhoo…sak iki

konangan, duwe anak gelap, yhooh.. playumu nang endi tak parani….” Begitulah Mbok

Narsi merespon kehadiranku dan dialognya sebagai motifasi keluar dari panggung,

mengejarku dan Cak Madun.

Halaman | 8

Page 9: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

Dibalik panggung Cak Madun tak kuasa melepas cengkraman lelaki yang tadi kulihat sebagai

bayangan besar yang kemudian ku ketahui bernama Juwono, panjak dari Kali Wetan yang

dahulu pernah bergabung dengan Wijaya Kusuma, namun kini menjadi gembong serikat

tani di Blitar, begitu kiranya kudengar lirih dari mulutnya yang didekatkan di wajah Cak

Madun, sementara aku dalam gendongannya mendongak memperhatikan dengan jelas dua

potret wajah, ketakutan dan kebingungan, keduanya membaur menjadi teror yang

mencekam setelah Juwono menyampaikan berita pembubaran tobong.

Juwono menarikku dari gendongan Cak Madun dan mengoper badan kecilku ke bahu Mbok

Narsi sambil membisikkan sesuatu dan tiba-tiba kami berpencar pontang-panting seperti

gerombolan orang kesurupan, dengan tenaga limbung aku dibawa lari Mbok Narsi ke

semak-semak, menuju ke arah sungai.

Aku rasakan betul dadanya berpacu kencang. Saat itulah aku kembali menghadap titik-titik

cahaya dan kini telah berubah menjadi semacam pucuk-pucuk api yang saling berkumpul

menjadi delapan bagian yang berderet, dengan gemuruh yang membuat jantung siapapun

berdegup,”Ganyang PKI….Ganyang PKI….Ganyang Lekra…”.

Titik api itu semakin jelas adanya adalah obor yang di bawa oleh pelbagai sosok dengan

mata garang yang terus berteriak dari atas truk yang setelah dewasa ku ketahui sebagai truk

komando. Aku kerutkan dahi untuk mendapati lebih jelas pemandangan itu, namun

guncangan di bahu Mbok Narsi membuat semuanya kabur. Memang malam itu semua

Halaman | 9

Page 10: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

berupaya kabur, angin pun tiba-tiba kabur, “Mbok kita mau kemana?”tanyaku. Bukan

jawaban yang ku terima, tetapi mendadak aku dilempar ke atas lumpur persawahan,

sementara itu mata ku tak mau lepas menoleh kebelakang, melihat titik api itu buyar,

menyebar ke segala penjuru tobong dan sisi lapangan.

“Ganyang PKI…Ganyang…. Ganyang.... Lekra, Bangsat, kepalang Laknat, Ganyang

Gembong Setan..”, meskipun lirih masih sayup ku dengar teriakan dilapangan, seperti juga

kulihat cahaya malam memantul jelas dari mata Mbok Narsi yang semakin berair, bedak

dan gincu menor itu luntur oleh keringat. Dengan cepat Mbok Narsi melepas sanggul yang

bergelantungan di pundaknya, kemudian dengan tenaga lelakinya, ia mengambil ancang-

ancang dan melompat tepat disampingku, terjerembab, lututnya belepotan lumpur, namun

bergegas menyeret ku, menyibak tanaman padi yang masih sangat muda.

Beberapa saat, gemuruh dilapangan Kali Wetan halus berganti dengan gemuruh air sungai

yang terdengar seakan menawarkan perlindungan dan betapa kami telah merasa cukup

jauh dari lapangan, menyaksikan asap putih menggumpal diatas tobong Wijaya Kusuma,

Mbok Narsi menggendongku, tangannya menutup erat dua mataku, terasa kasar, keringat

yang bercampur lumpur, dan aku dibawanya lari hingga pulas, tak terasa aku sudah tertidur,

berada diayunan dokar dan entah membawa kami menuju mana.

Plak…! Mbok Narsi yang sejak tadi duduk disampingku, tiba-tiba menamparku “jangan

kau ingat lagi pelarian itu”, aku terperanjat kaget dengan keringat yang benar-benar

Halaman | 10

Page 11: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

menetes dari kening dan merayap keseluruh permukaan tanganku yang terasa bergetar.

Keparaat..! aku benar-benar sadar telah begitu jauh, larut dalam petualangan dua puluh

tahun masa laluku.

Seketika kujulurkan tanganku, ku ambil segelas kopi dan ketenggak habis hingga pahit

ampas kopi tak kurasa. Kemudian kusingkirkan keringat bangsat di dahiku, sementara ku

dapati pula pipiku juga basah entah karena keringat bangsat itu ataukah dari air yang

bersumber di sudut pelupuk mataku. Persetan, tak akan aku pedulikan, karena apa yang

ada di kepalaku saat ini tak kuasa ku tahan untuk segera ku tanyakan, “Aku anak siapa

Mbok, kau lelaki tak mungkin melahirkan?”,

“diantara tobong yang tebakar itu ada tubuh bapakmu”, “gembong komunis, yang

menolak mentah ketenarannya sebagai panjak Kali Wetan, bajingan berkumis yang

menitipkan bayinya padaku lima tahun sebelum tobongku terbakar, namun mendadak dia

hadir kembali, mengumpat dan menyuruh kita berlari, sementara tubuhnya hangus

terbakar karna menyelamatkan kita…”.

Tiba-tiba mataku kosong, menyadari nada bicara Mbok Narsi yang semakin memuncak

memaksakan nafas tuanya yang tipis, mengantarku pada sosok Juwono, bayangan besar

yang mucul dari semak kali wetan sebelum semuanya menjadi abu.

Terik dan geliat kehidupan diluar tak sedikitpun berani mendekati aku dan Mbok Narsi yang

Halaman | 11

Page 12: Panjak Kali Wetan

Pustaka Sanggar Nuun | seri cerita pendek

sedang berkecamuk dalam perang masa lalu, kudapati hidung tuanya menarik cukup

banyak udara disekitar, “Somad, Kau, anak Juwono”, itulah kalimat pendek Mbok Narsi,

begitu mantab, dan membekapku dalam kebisuan, menyadari darah yang bergejolak dan

mengaliri nadiku adalah darah Juwono, Panjak alias pemukul gamelan yang tersohor di Kali

Wetan, yang hangus tubuhnya menjadi tumbal ruh Komunisme di tanah jawa. Pada sudut

yang lain kudapati pula luka yang mengutuk sekujur tubuh mbok Narsi sebagai wandu,

karena dominasi agamalah yang melarang peran wanita di atas panggung ludruk dan

dominasi agama pula yang kemudian melarang keras ketika tubuh lelaki Mbok Narsi tak

kuasa merubah peran wanita yang biasa ia lakoni di panggung, dilema yang terbawa pada

dunia keseharian, hidup sebagai seorang wandu (Waria).

Dipeluknya aku erat-erat dalam derai air mata jiwa seorang wandu, didekatkan mulutnya di

selembar telinga kananku, “jika besok aku Mati, kuburkan aku sebagai lelaki, dan biarlah

puas ku kutuk mulut rohaniawan itu dalam kubur….”, sebuah pesan yang mengantarkan

cahaya mentari tepat di ujung atap gubuk tua, pusara derita yang menyisakan aku bersama

Mbok Narsi, terkapar, bergumul makian dan sumpah serapah, ditengah hiruk pikuk

pinggiran kota yang menyimbolkan warna merah dan hijau dalam satu ikatan padu,

Jombang.

Ah.. Bangsat Aku Bukan Siapa-siapa..!

-Selesai-

Lamuk, 16 Agustus 2010

Halaman | 12