pak teken present
TRANSCRIPT
Nama kelompok 3 :1.I.A. Kus Omi Handayani (01)2.Ketut Mariasa (02)3.Ketut Donika Sari (04)4.Kd. Sumitra Dwi W. (05)5.Kd. Nova Yani (08)6.Kd. Ayu Sugiani (18)7.Ketut Yastrini (19)8.Luh Armini (32)
Bahasa Bali Bukanlah
Bahasa Feodal
PENGERTIAN BAHASA BALI
* Bahasa Bali adalah salah satu bahasa
daerah di negara Indonesia.
* Bahasa Bali merupakan bahasa ibu.
* Bahasa bali merupakan suatu ilmu tata
wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki
systematika baik.
* Dalam penerapannya, bahasa bali lebih sering digunakan
dalam dibidang sosiolinguistik.
Dalam perkembangannya bahasa bali
terintegrasi dengan tata krama, etika dan
sopan santun Sor-Singgih Basa Bali
berarti aturan tentang tingkat-tingkatan
atau tinggi rendah yang menyangkut
rasa/ perasaan yang merujuk pada rasa
solidaritas dengan saling hormat
menghormati dalam menggunakan
bahasa Bali terhadap lawan bicara.
Berikut adalah pembagian terhadap tingkatan tingkatan bahasa bali menurut Sor-Singgihnya yang terdiri dari :1. Basa Kasar ,Kasar Pisan/ Kasar Jabag2. Basa Andap3. Basa Madia4. Basa Alus, Alus Sor, Alus Mider, dan Alus Singgih5. Basa Mider
•Pembahasan Basa Kasar
Pembahasan Basa Kasar Jabag
Basa Andap adalah tingkatan bahasa bali yang digunakan dalam suasana bersahaja (
dalam pergaulan akrab dan memiliki nilai kesopanan). Sehingga sering disebut
dengan istilah basa kasar sopan / basa lumrah dipakai dalam kehidupan sehari-hari
bermasyarakat / kapara. Bahasa ini sering digunakan pada masyarakat hindu di bali
yang memiliki wangsa jaba. Disini, bahasa bali sebagai bahasa sopan, digunakan
apabila konteks bergaulnya memiliki sikap keakraban / kekeluargaan yang terjalin
erat, misalnya sesama wangsa. Sama kedudukannya , sama umur, sama pendidikan,
sama jabatan, kawan sederajat dan merupakan bahasa kekeluargaan. Contoh :
Percakapan antar wangsa ksatriya :
“Beli Gus De, dija kejang jajane tuni, Mbok Dayu be kenyel pisan ngalihin”
“Kak Gus De, dimana menaruh kue, Kak Dayu sudah letih sekali mencarinya”
Pembahasan Basa Andap
Basa Madia adalah tingkatan bahasa bali yang tergolong
menengah, yang nilai rasa bahasanya berada diantara
bahasa bali andap dan bahasa bali alus. Artinya bahwa
konotasi bahasa madia tidak kasar, dan juga tidak halus,
karena itulah sering juga disebut dengan bahasa antara
( tidak halus dan juga tidak kasar). Contoh : “Ampunang irika negak, ten tepukin tiang” “Jangan duduk disana, saya tidak melihatmu” “Mara suud ngajeng, suba nagih mepamit” “Baru saja selesai makan, sudah mau pergi”.
Basa Alus adalah sebagai tingkatan bahasa bali yang mempunyai nilai
rasa bahasa yang tinggi atau sangat hormat, biasanya bahasa ini
digunakan dalam situasi resmi ( seperti rapat , pertemuan, seminar,
percakapan adat agama dll). Pembagian basa alus terdiri dari : Basa Alus Sor Adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang mengenai diri
sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk orang lain / objek yang dibicarakan yang patut direndahkan / bias juga karena status sosialnya yang dianggap lebih rendah dari orang yang diajak bicara.
Contoh : - Titiang jagi grereh pakaryan sane patut anggen pangupa
jiwa Saya ingin mencari pekerjaan yang sesuai untuk
pemenuhan hidup
Pembahasan Basa Alus
Basa Alus Mider Adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang memiliki nilai rasa
tinggi atau sangat hormat yang dapat digunakan untuk golongan bawah dan juga untuk golongan atas. Basa alus mider adalah bahasa bali alus dwi fungsi, bisa masuk dalam basa bali alus singgih dan juga bias masuk dalam basa bali alus sor. Contoh “Ipun makta asiki, ida makta kekalih”“Ia membawa satu, beliau membawa dua”
Basa Alus Singgih Adalah tingkatan bahasa bali alus atau hormat yang hanya dapat
digunakan oleh pembicara untuk menghormati atau memuliakan orang yang patut dihormati atau dimuliakan.
Contoh : “ I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi?” “Ratu, yening wenten karya ring geria, nikain titiang”
Adalah kata-kata dalam bahasa bali yang tidak memiliki
tingkatan-tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini
dapat digunakan untuk dan kepada siapa saja. Selain itu
dalam pemakaiannya tidak terikat dengan status social
dalam masyarakat, situasi / kondisi pembicaraan.
Contoh : (kata sifat) nyongkok, kija, ke kantor (tempat),
televisi/ radio (kata benda),
Itulah tingkatan-tingkatan bahasa bali yang digunakan
dalam kehidupan bermasyarakat di bali pada umumnya.
Pembahasan Basa Mider
Penggunaan bahasa bali ini adalah salah satunya banyak
ditemukan dalam upacara ritual keagamaan khususnya
hindu “Mabebaosan”atau “Pewarah” serta sekaligus
penggunaan aksara / huruf bahasa bali pada upakara “
ulap-ulap” serta aksara “Kajang” yang digunakan pada
ritual hindu pada upacara Ngaben (Pitra Yadnya) dan
pada saat upacara Catur Yadnya , saat rapat / Sabha /
Paum desa pakraman / adat .
Wangsa disini dapat diartikan sebagai pembagian golongan masyarakat berdasarkan
kelahirannya. Jadi yang dimaksud Catur Wangsa / Warna adalah empat golongan
yang terdapat pada masyarakat hindu di Bali. Pembagian Catur Wangsa itu terdiri dari:
Wangsa Brahmana : Wangsa yang paling dihormati dan biasanya jika ditinjau dari
kelahirannya, mempunyai kedudukan tinggi sebagai guru yang memberikan
pencerahan kerohanian / suci kepada para wangsa lainnya. Biasanya bahasa yang
digunakan adalah bahasa alus singgih.
Wangsa Ksatriya : Wangsa yang dihormati dan biasanya jika ditinjau dari
kelahirannya, mempunyai kedudukan sebagai seorang pemimpin / kepemerintahan.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa alus sor, dan basa alus mider, basa madia.
Catur Wangsa yang ada di Bali.
Wangsa Wesia : Dalam Wangsa ini , jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai
kedudukan dalam bidang “pertukangan” / ulet melaksanakan pekerjaan sesuai dengan profesi
yang digelutinya (pande). Bahasa yang digunakan biasanya basa alus sor, basa andap, basa
madia, dan basa kasar jabag
Wangsa Sudra : Wangsa ini merupakan wangsa terakhir dalam penggolongan Catur
Wangsa. Jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai kedudukan dalam bidang
keniagaan/ kewirausahaan “dagang” yang melakukan aktifitas jual beli sebagai mata
pencaharian dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa yang digunakan , basa madia, basa
andap, basa kasar jabag.
Itulah system pembagian dalam penggunaan Bahasa Bali ditinjau dari penggolongan warna/
wangsa yang ada di dalam masyarakat hindu di Bali menurut kelahiran pada umunya .
Selain itu dalam masyarakat hindu di Bali selalu berpedoman pada tiga kerangka
dasar agama hindu yaitu filsafat, etika dan upakara dalam pelaksaan kehidupan
bermasyarakat, ritual keagamaan, dan bersosial. Selain itu penggunaan bahasa yang
memakai system pembedaan kelas masyarakat selalu memperhatikan pedoman
“Desa Kala Patra” yang artinya penggunaan bahasa yang sebagai
keterampilan berbicara harus sesuai dengan tempat/ situasi kondisi
lingkungan dalam konteks pembicaraan (desa), waktu (kala) sesuai dengan
topic pembicaraan terkini dibicarakan, dan (patra) menganut fungsi /
pembicaraan yang kita sampaikan memiliki daya guna yang tepat ,padat dan
berisi yang dapat dijadikan sebagai pedoman / direalisasikan / mempunyai
daya interpretasi bagi penyimaknya yang sebagai lawan pembicara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kata Fe·o·dal
/féodal/ ada tiga definisi mengenai kata tersebut yaitu :
Berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan
Mengenai kaum bangsawan (tentang sikap, cara hidup, dsb)
Mengenai cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa
Jika ditinjau dari segi paham Feodalisme mempunyai arti sistem politik dan militer
antara seorang bangsawan feodal (bangsawan atau Paduka), dan pengikut-Nya.
Feodalisme berkembang dari abad kesembilan hingga abad kelima belas. Dalam
pengertian yang paling klasik, feodalisme mengacu pada sistem politik Abad
Pertengahan Eropa terdiri dari seperangkat kewajiban hukum dan militer timbal
balik antara bangsawan prajurit, bergulir di sekitar tiga konsep kunci dari tuhan,
pengikut, dan para tuan.
Arti Kata Feodal
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak
pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan
istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan
yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena
penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para
pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan
dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, kata feodal ini
mengalami pergeseran makna secara peyoratif dimana seringkali digunakan untuk
merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang
lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang
sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian
politiknya.
Jika berbicara mengenai eksistensi penggunaan bahasa yang memiliki tingkatan
ini pada era masa kini , sungguh suatu permasalahan yang pelik bagi
masyarakat bali pada umumnya. Apalagi di era Globalisasi ini, banyak sekali
beberapa pengaruh yang masuk dalam kehidupan masyarakat bali, baik dari
segi kebudayaan, berbahasa, seni, dan sastra yang berkembang pesat sehingga
menjadi suatu pencampuran alkulturasi didalamnya. Pada hal, penggunaan
Bahasa Bali dengan memperhatikan Sor-Singgih Basa Bali ini mencerminkan
identitas dan status social diantara mereka sebagai pembicara dan lawan
biacara. Dan sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih
manusia, khususnya kaum muda hindu bali, memperhatikan situasi social, dan
saling menghormati serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap
adanya perbedaan social masyarakat.
Bahasa Bali bukanlah bahasa feodal
Tetapi terkadang tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan para
pengguna bahasa bali di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat
sekarang cenderung mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa
bali dengan memperhatikan sor singgih basa bali terutama pada seorang
pembicara / pewarah yang menyampaikan suatu informasi kepada kaum
brahmana atau kaum bangsawan dianggap Bahasa Bali itu sebagai bahasa
feodal, atau bahasa yang kolot, tidak modern atau ketinggalan zaman,
bahasa yang sudah lama bahkan ditinggalkan, atau bagi pengguna bahasa
bali yang demikian cenderung ditanggapi negative, yaitu “dengan
menggunakan bahasa bali, diartikan orang tersebut ingin selalu dihormati
oleh orang lain,” oleh para pendengarnya di kehidupan masyarakat.
Salah satu yang menyebabkan bahasa Bali dikatakan bukan bahasa
feodal dapat dilihat dari sejarah kebudayaan penutur Bahasa Bali.
Bahasa Bali digunakan untuk menunjukkan identitas penuturnya,
dalam hal ini adalah untuk menunjukkan identitas etnik Bali.
Disamping itu pula bahwa penggunaan tingkat tutur (sor-singgih basa)
dapat juga berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia,
khususnya kaum muda, memperhatikan status sosial dan menghormati
manusia lain serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap
adanya perbedaan sosial antar manusia, bukan feodalis.