otitis media.pdf

17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007). Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007). Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media Universitas Sumatera Utara

Upload: silpi-hamidiyah

Post on 23-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Definisi dan Klasifikasi

    Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,

    tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

    Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan

    tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik

    dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,

    muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada

    pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya

    efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada

    membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat

    cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

    Otitis media berdasarkan gejalanya

    dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing

    memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,

    seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis

    media adhesiva (Djaafar, 2007).

    Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

    2.2. Etiologi

    1. Bakteri

    Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,

    65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri

    terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-

    patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri

    penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh

    Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%

    kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-

    hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus

    dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani

    rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita.

    Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang

    dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Virus

    Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau

    bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada

    anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus

    (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau

    enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,

    menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat

    antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).

    Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific

    enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan

    telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

    Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme yang

    diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di Pittsburgh Otitis

    Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan 1989 adalah seperti berikut:

    Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien

    OMA.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3. Faktor Risiko

    Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,

    status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,

    lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,

    status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba

    Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

    Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA

    pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang

    atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi

    anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi

    dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan

    Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras

    lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti

    kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah,

    dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-

    anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang

    kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan

    anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.

    Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat

    penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas

    kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut

    terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan

    komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus

    (Kerschner, 2007).

    2.4. Gejala Klinis

    Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak

    yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping

    suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak

    Universitas Sumatera Utara

  • yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan

    pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan

    anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada

    stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,

    kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur

    membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur

    tenang (Djaafar, 2007).

    Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu

    penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien

    tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani

    yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari

    (2005), skor OMA adalah seperti berikut:

    Tabel 2.1. Skor OMA

    Skor Suhu (C) Gelisah Tarik

    telinga

    Kemerahan

    pada membran

    timpani

    Bengkak pada

    membran timpani

    (bulging)

    0 39,0 Berat Berat Berat Berat, termasuk

    otore

    Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,

    berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

    Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau

    sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila

    nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari,

    2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis

    2.5.1. Tuba Eustachius

    Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.

    Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan

    nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan

    sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

    Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka

    apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan

    dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini

    apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai

    dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi,

    proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam

    telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga

    tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring

    ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga

    tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

    2.5.2. Patogenesis OMA

    Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran

    pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa

    saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi

    sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan

    demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri

    dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah

    bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari

    nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses

    inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor

    pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,

    drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di

    Universitas Sumatera Utara

  • telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari

    infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang

    dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat

    meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum

    pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses

    inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-

    tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang

    terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang

    meninggi (Kerschner, 2007).

    Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.

    Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu

    timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,

    sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal

    dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor

    ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

    2.5.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA

    Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang

    dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya

    lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih

    mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak

    di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang

    terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens

    terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah

    berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi

    obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah

    sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah

    satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak,

    adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan

    dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu

    Universitas Sumatera Utara

  • terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian

    menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

    Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

    2.6. Stadium OMA

    OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung

    pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,

    stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan

    stadium resolusi (Djaafar, 2007).

    Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

    1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

    Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi

    membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,

    dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus

    menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba

    Universitas Sumatera Utara

  • Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-

    kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi

    mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan

    tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam

    pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

    2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

    Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang

    ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret

    eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang

    berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi

    berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan

    tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh

    dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,

    tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara

    yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai

    dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

    Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

    3. Stadium Supurasi

    Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah

    di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga

    tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat

    yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging

    ke arah liang telinga luar.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta

    rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.

    Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat

    disertai muntah dan kejang.

    Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan

    menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan

    submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di

    kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler

    membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih

    lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.

    Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah

    kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah

    akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran

    timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi

    lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya

    tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

    Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

    4. Stadium Perforasi

    Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa

    nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.

    Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering

    disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.

    Universitas Sumatera Utara

  • Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat

    tertidur nyenyak.

    Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap

    berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif

    subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah

    sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik

    (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

    Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

    5. Stadium Resolusi

    Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya

    dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal

    hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang

    dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun

    tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan

    virulensi kuman rendah.

    Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media

    supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,

    dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.

    Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media

    serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami

    perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.7. Diagnosis

    2.7.1. Kriteria Diagnosis OMA

    Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal

    berikut, yaitu:

    1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

    2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga

    tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti

    menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan

    pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,

    dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

    3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan

    adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada

    membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas

    normal.

    Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu

    ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di

    telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di

    belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang

    purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti

    demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran

    timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan

    demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

    2.7.2. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

    OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.

    Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan

    Universitas Sumatera Utara

  • otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan

    pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

    Table 2.2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

    Gejala dan tanda Otitis Media

    Akut

    Otitis Media

    dengan Efusi

    Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga

    (tugging)

    + -

    Inflamasi akut, demam + -

    Efusi telinga tengah + +

    Membran timpani membengkak

    (bulging), rasa penuh di telinga

    +/- -

    Gerakan membran timpani berkurang

    atau tidak ada

    + +

    Warna membran timpani abnormal

    seperti menjadi putih, kuning, dan biru

    + +

    Gangguan pendengaran + +

    Otore purulen akut + -

    Kemerahan membran timpani, erythema + -

    2.8. Penatalaksanaa

    2.8.1. Pengobatan

    Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada

    stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian

    antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis

    media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin

    terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi

    membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

    Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba

    Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung

    HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl

    Universitas Sumatera Utara

  • efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang

    dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

    Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.

    Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi

    resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk

    terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah

    sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa

    dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap

    penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari

    yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50

    mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

    Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk

    melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang

    dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

    Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara

    berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai

    dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan

    hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar,

    2007).

    Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak

    ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di

    liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan

    sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,

    2007).

    Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.

    Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua

    sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera

    dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah

    yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik

    meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),

    Universitas Sumatera Utara

  • mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan

    antibiotik sebagai berikut.

    Table 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

    Usia Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan

    (uncertain)

    Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik

    6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,

    observasi jika gejala ringan

    2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala berat,

    observasi jika gejala ringan

    Observasi

    Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi

    telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan

    adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir.

    Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan

    observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai

    dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan

    pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti

    asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

    Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line

    terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari.

    Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan

    terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi

    seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella

    catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-

    valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media

    (American Academic of Pediatric, 2004).

    2.8.2. Pembedahan

    Universitas Sumatera Utara

  • Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

    seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman,

    2003).

    1. Miringotomi

    Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi

    drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan

    secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat

    dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang

    diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di

    telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah

    nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,

    labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada

    pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode

    OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak

    OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi

    mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).

    2. Timpanosintesis

    Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan

    pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk

    tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,

    terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh

    rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA

    seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding

    dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

    3. Adenoidektomi

    Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi

    dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba

    timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA

    rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,

    kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.9. Komplikasi

    Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses

    subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi

    tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003)

    dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal

    (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,

    petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,

    tromboflebitis).

    2.10. Pencegahan

    Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA

    pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan

    pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan

    merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

    Universitas Sumatera Utara