ocayyy

22
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 1. Konsep Keluarga 1.1. Definisi Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam kedaan saling ketergantungan (DEPKES RI, 1988 dalam Effendi 1998). Undang-undang No. 10 tahun 1992 dari Suprajitno (2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami- isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan Friedman (1998) mengatakan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Oleh sebab itu keluarga mempunyai pengaruh utama dalam kesehatan fisik dan mental setiap anggota keluarga (Doherty, 1998 dalam Newton, 2006). 1.2. Struktur Keluarga Menurut Effendi (1998) struktur keluarga terdiri dari : a) Patrilineal : Keluarga yang sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dan hubungan itu disusun melalui garis ayah. b) Matrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara beberapa generasi yang disusun melalui garis ibu. c) Matrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga istri. d) Patrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga suami. Universitas Sumatera Utara

Upload: ochaaq

Post on 18-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MANTAP

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN TEORITIS

    1. Konsep Keluarga

    1.1. Definisi Keluarga

    Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala

    keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah

    suatu atap dalam kedaan saling ketergantungan (DEPKES RI, 1988 dalam Effendi

    1998). Undang-undang No. 10 tahun 1992 dari Suprajitno (2004) menyatakan

    bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-

    isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

    anaknya. Sedangkan Friedman (1998) mengatakan bahwa keluarga adalah dua

    orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan

    individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.

    Oleh sebab itu keluarga mempunyai pengaruh utama dalam kesehatan fisik dan

    mental setiap anggota keluarga (Doherty, 1998 dalam Newton, 2006).

    1.2. Struktur Keluarga

    Menurut Effendi (1998) struktur keluarga terdiri dari :

    a) Patrilineal : Keluarga yang sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah

    dalam beberapa generasi, dan hubungan itu disusun melalui garis ayah.

    b) Matrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara beberapa

    generasi yang disusun melalui garis ibu.

    c) Matrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga istri.

    d) Patrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga suami.

    Universitas Sumatera Utara

  • e) Kawinan : Hubungan suami istri sebagai dasar dari pembinaan keluarga. dan

    beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya

    hubungan dengan suami atau istri.

    1.3. Tipe Keluarga

    Menurut Suprajitno (2004) pembagian tipe keluarga bergantung pada

    konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan menjadi dua, yaitu:

    a) Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah,

    ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

    b) Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah anggota

    keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-

    bibi) (Suprajitno, 2004).

    1.4. Fungsi Keluarga

    Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Suprajitno

    (2004) adalah sebagai berikut :

    a) Fungsi afektif (the affective function) berhubungan dengan fungsi-fungsi

    internal keluarga, yaitu berupa pelindungan dan psikososial bagi para anggota

    keluarganya, keluarga harus dapat melakukan tugas-tugas yang dapat

    menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi para anggota

    keluarganya, dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosio emosinal

    keluarganya.

    b) Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social

    placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak

    untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan

    dengan orang lain di luar rumah.

    Universitas Sumatera Utara

  • c) Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk

    mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

    d) Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi untuk

    memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat mengembangkan

    kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

    keluarga.

    e) Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care function),

    yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar

    tetap memiliki produktifitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi peran

    keluarga dibidang kesehatan.

    1.5. Peran Keluarga

    Peran menurut Nye (1976) dalam Friedman (1998) merupakan suatu

    perilaku yang bersifat homogen yang diharapkan secara normatif oleh seseorang

    yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial dan dalam situasi sosial

    tertentu. Jadi peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh

    seseorang dalam konteks keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku

    interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan

    situasi tertentu (Setiadi, 2008).

    Peran dalam keluarga memberikan tujuan homeostasis atau untuk

    mengatur keseimbangan dalam keluarga (Friedman, 1998). Turner, 1970 dalam

    Friedman (1998) menyatakan jika keluarga tidak melaksanakan perannya maka

    keluarga akan menjadi ketergantungan terhadap keberadaan peran-peran diluar

    keluarga (misalkan petugas kesehatan).

    Universitas Sumatera Utara

  • 1.6. Peran Keluarga dibidang Kesehatan

    Sesuai dengan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan, keluarga

    mempunyai peran dalam bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan

    meliputi:

    1.6.1. Mengenal masalah kesehatan keluarga

    Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan

    karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak berarti dan karena kesehatanlah

    seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal

    keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya.

    Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung

    akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam keluarga

    (Suprajitno, 2004). Menurut Notoadmojo (2003) mengenal diartikan sebagai

    pengingat sesuatu yang sudah dipelajari atau diketahui sebelumnya. Sesuatu

    tersebut adalah sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

    rangsangan yang telah diterima. Dalam mengenal masalah kesehatan keluarga

    haruslah mampu mengetahui tentang sakit yang dialami pasien.

    1.6.2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga

    Peran ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari

    pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan

    siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk

    menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan keluarga

    diharapkan tepat agar kesehatan masalah dapat dikurangi atau bahkan teratasi

    keluarga. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada

    Universitas Sumatera Utara

  • orang dilingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan (Suprajitno, 2004).

    1.6.3. Memberikan perawatan terhadap keluarga yang sakit

    Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau

    tangung jawabnya secara penuh, Pemberian perawatan secara fisik merupakan

    beban paling berat yang dirasakan keluarga (Friedman, 1998). Keluarga memiliki

    keterbatasan dalam mengatasi masalah perawatan keluarga, di rumah keluarga

    memiliki kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama, untuk

    mengetahuinya dapat dikaji apakah keluarga aktif dalam ikut merawat pasien,

    bagaimana keluarga mencari pertolongan dan mengerti tentang perawatan yang

    diperlukan pasien, sikap keluarga terhadap pasien, keaktifan keluarga mencari

    informasi tentang perawatan terhadap pasien (Suprajitno, 2004).

    1.6.4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan

    keluarga

    Dalam memelihara kesehatan hal-hal yang perlu dilakukan keluarga

    diantaranya keluarga harus bisa memodifikasi lingkungan yang menjamin

    kesehatan keluarga. Oleh sebab itu keluarga harus mengetahui tentang pentingnya

    sanitasi lingkungan dan manfaatnya, memiliki kebersamaan dalam meningkatkan

    dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan (Friedman, 1998).

    1.6.5. Menggunakan pelayanan kesehatan

    Menurut Effendi (1998) pada keluarga tertentu bila ada anggota keluarga

    yang sakit jarang dibawa ke puskesmas tapi ke mantri atau dukun. Untuk

    mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana kesehatan perlu

    dikaji tentang pengetahuan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang dapat

    dijangkau keluarga, keuntungan dari adanya fasilitas kesehatan, kepercayaan

    Universitas Sumatera Utara

  • keluarga terhadap fasilitas kesehatan yang ada, fasilitas kesehatan yang dapat

    terjangkau oleh keluarga.

    1.7. Peran keluarga dalam merawat penderita TB paru

    Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama

    keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan

    proses terapetik. Pada penderita TB, peran keluarga sangat dibutuhkan khususnya

    dalam memberikan perawatan, tidak hanya perawatan secara fisik namun juga

    perawatan secara psikososial (International Union Against Tuberculosis and Lung

    Disease, 2007). Hal ini dikarenakan keluarga merupakan orang terdekat dari klien

    dan juga sesuai dengan salah satu fungsi keluarga yaitu memberikan perawatan

    pada anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).

    Penderita TB sangat membutuhkan dukungan, kasih sayang, dan perhatian

    khususnya dari keluarga, hal ini dapat ditunjukkan dari keikutsertaan keluarga

    dalam membantu perawatan pada penderita TB, baik memberikan perawatan

    secara fisik maupun secara psikis karena banyaknya stigma buruk berkembang di

    masyarakat terhadap penderita TB, sehingga dengan adanya dukungan, kasih

    sayang serta perawatan yang baik tersebut akan membantu mempercepat

    kesembuhan pasien TB (Lhl.no).

    Hal-hal yang dapat lakukan keluarga dalam merawat penderita TB paru

    diantaranya mengawasi klien dalam meminum obat secara teratur hingga klien

    menelan obatnya, pasien harus meminum obatnya pada pagi hari karena obat

    tersebut paling baik bekerja ketika pagi hari, keluarga juga harus dapat

    memotivasi pasien agar sabar dalam pengobatannya, menempatkan obat di tempat

    yang bersih dan kering, tidak terpapar langsung dengan sinar matahari dan aman

    Universitas Sumatera Utara

  • dari jangkauan anak-anak, selain itu keluarga dapat membawa atau mengajak

    pasien ke fasilitas kesehatan setiap dua minggu sekali untuk melihat

    perkembangan penyakitnya atau jika pasien mengalami keluhan-keluhan yang

    harus segera di tangani. Keluarga juga harus lebih terbuka dan memahami serta

    menghargai perasaan klien, mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan

    klien, menanyakan apa yang saat ini klien rasakan, ini merupakan salah satu

    bentuk dukungan dari keluarga secara psikis. Untuk kebutuhan nutrisinya

    keluarga harus memberikan makan yang cukup gizi pada pasien untuk

    menguatkan dan meningkatkan daya dahan tubuh agar bisa menangkal kuman TB

    yang merusak paru-paru, kebersihan lingkungan rumah juga harus diperhatikan

    misalnya dengan pengaturan ventilasi yang cukup, ajarkan keluarga untuk tidak

    meludah sembarangan, menutup mulut ketika batuk atau bersin, keluarga juga

    dapat menjemur tempat tidur bekas pasien secara teratur, membuka jendela lebar-

    lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, karena kuman TB paru

    akan mati bila terkena sinar matahari (BPN, 2007).

    2. Konsep Diri

    2.1. Definisi Konsep Diri

    Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan pendirian yang

    diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam

    berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Sedangkan menurut

    Potter & Perry (2005) konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya

    sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada

    seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada

    Universitas Sumatera Utara

  • gambaran tubuh dan peran yang tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan

    spiritual diri. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Beck, William

    dan Rawlin (1986) yang menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu

    memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional, intelektual, sosial dan

    spiritual. Oleh sebab itu Konsep diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan

    individu, karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam

    berbagai situasi (Calhoun & Acoxcella, 1995).

    2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

    Menurut Stuart & Sundeen (1991) dalam Salbiah (2003) ada beberapa

    faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut

    terdiri dari teori perkembangan, significant other (orang yang terpenting atau yang

    terdekat) dan persepsi diri sendiri.

    2.2.1. Teori perkembangan

    Konsep diri belum ada sejak lahir tapi berkembang secara bertahap dan

    juga dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang

    lain dan objek disekitarnya. Konsep diri dipelajari dari pengalaman yang unik

    melalui proses eksplorasi diri sendiri, hubungan dengan orang dekat dan berarti

    bagi dirinya. Konsep diri berkembang dengan baik apabila budaya dan

    pengalaman dalam keluarga memberikan pengalaman yang positif, individu

    memperoleh kemampuan yang berarti serta dapat menemukan aktualisasi diri

    sehingga individu menyadari potensi yang ada pada dirinya. Pengalaman awal

    dalam kehidupan keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena

    keluarga dapat memberikan perasaan diri adekuat atau tidak adekuat, perasaan

    Universitas Sumatera Utara

  • diterima atau ditolak, kesempatan untuk identifikasi serta penghargaan tentang

    tujuan, perilaku dan nilai (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).

    2.2.2. Significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat)

    Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain,

    dengan mengamati cerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan

    oleh orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri (Stuart &

    Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).

    Keluarga memberikan pengaruh yang paling kuat karena kontak sosial

    yang paling awal dialami manusia adalah dengan keluarga. Orang tua memberikan

    informasi yang menetap tentang diri individu, mereka juga menetapkan

    pengharapan bagi anaknya, orang tua juga mengajarkan anak bagaimana menilai

    diri sendiri. Teman sebaya menduduki tempat kedua setelah keluarga terutama

    dalam mempengaruhi konsep diri seseorang. Masalah penerimaan atau penolakan

    dalam kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap diri seseorang. Masyarakat

    juga berpengaruh terhadap konsep diri seseorang, masyarakat punya harapan

    tertentu terhadap seseorang dan harapan ini masuk ke dalam diri individu, dimana

    individu akan berusaha melaksanakan harapan tersebut (Calhoun & Acocella,

    1995).

    2.2.3. Persepsi diri sendiri

    Persepsi diri yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya,

    serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri

    dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga

    konsep diri merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu.

    Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dilihat dari

    Universitas Sumatera Utara

  • kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.

    Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan

    sosial yang terganggu (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).

    2.3 Komponen Konsep Diri

    2.3.1. Citra Tubuh

    Citra tubuh merupakan sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar

    dan tidak sadar terhadap tubuhnya yang mencakup persepsi dan perasaan tentang

    ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang

    secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru. Citra tubuh

    dapat juga dipengaruhi oleh persepsi dari pandangan orang lain. Citra tubuh hanya

    bergantung sebagian pada realitas tubuh, dan umumnya seseorang tidak

    mengadaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi dalam fisik tubuhnya

    (Stuart & Sundeen, 1998).

    Banyak faktor dapat yang mempengaruhi citra tubuh seseorang, seperti

    operasi (misalnya mastektomi, amputasi, ileostomi), Kegagalan fungsi tubuh

    (seperti hemiplegi, buta, tuli), seseorang yang tergantung pada mesin, perubahan

    tubuh seiring dengan bertambahnya usia, umpan balik interpersonal yang negatif,

    Umpan balik ini berupa tanggapan yang tidak baik misalnya celaan atau makian

    sehingga dapat membuat seseorang menarik diri, dan lain-lain (Perry & Potter,

    2005).

    Beberapa gangguan pada citra tubuh dapat menunjukan tanda dan gejala,

    seperti syok psikologis yang merupakan reaksi emosional terhadap dampak

    perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan, menarik diri dimana klien

    ingin lari dari kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau

    Universitas Sumatera Utara

  • menghindar secara emosional sehingga klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada

    motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya. Setelah klien sadar

    akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka akan muncul. Setelah fase

    ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan citra tubuh yang baru. Tanda dan

    gejala dari gangguan citra tubuh tersebut adalah proses yang adaptif, jika tampak

    gejala dan tanda-tanda berikut secara menetap maka respon klien dianggap

    maladaptif sehingga terjadi gangguan citra tubuh, tanda dan gejalanya berupa

    menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah, tidak dapat

    menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh, mengurangi kontak sosial

    sehingga terjadi menarik diri, perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh,

    preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang, mengungkapkan

    keputusasaan, mengungkapkan ketakutan ditolak, depersonalisasi, dan menolak

    penjelasan tentang perubahan tubuh (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah,

    2003).

    2.3.2. Harga Diri

    Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh

    dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.

    Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku

    berdasarkan standard, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart &

    Sundeen, 1998). Secara umum seseorang yang hampir memenuhi ideal diri

    mempunyai harga diri yang tinggi sementara seseorang yang konsep dirinya

    mempunyai variasi luas dari ideal dirinya mempunyai harga diri yang rendah

    (Perry & Potter, 2005). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar

    dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,

    Universitas Sumatera Utara

  • kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seseorang yang penting dan

    berharga (Stuart & Sundeen, 1998). Harga diri tinggi terkait dengan ansietas yang

    rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain, sedangkan harga

    diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko terjadi

    depresi dan skizofrenia. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik

    mengakibatkan harga diri rendah. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai

    perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri. Harga diri

    rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi

    yang telah berlangsung lama), dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak

    langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan harga diri, meliputi

    penolakan orang tua, ideal diri tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,

    gangguan fisik dan mental, sistem keluarga yang tidak berfungsi, pengalaman

    traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual dan

    ketergantungan pada orang lain (Stuart & Sundeen, 1998).

    Seseorang yang mengalami harga diri rendah ditandai dengan perilaku

    seperti perasaan cemas, mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan

    produktivitas, destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain, gangguan dalam

    berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau

    marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan

    peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, keluhan fisik, pandangan

    hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, dan menarik

    diri (Stuart & Sundeen, 1998).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3.3. Peran

    Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan

    sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial (Stuart &

    Sundeen, 1998). Peran ini mencakup harapan atau standard perilaku yang telah

    diterima oleh keluarga, komunitas, dan kultur. Perilaku tersebut didasarkan pada

    pola yang ditetapkan melalui sosialisasi (Perry & Potter, 2005). Agar dapat

    berfungsi secara efektif dalam peran, seseorang harus mengetahui perilaku dan

    nilai yang diharapkan, harus mempunyai keinginan untuk memastikan perilaku

    dan nilai ini, dan harus mampu memenuhi tuntutan peran. Sebagian besar individu

    mempunyai lebih dari satu peran. Peran yang umum termasuk peran sebagai orang

    tua, istri atau suami, sebagai anak, pencari nafkah atau pengambil keputusan.

    Setiap peran mencakup pemenuhan harapan tertentu dari orang lain. Pemenuhan

    harapan ini mengarah pada penghargaan. Ketidakberhasilan untuk memenuhi

    harapan ini menyebabkan seseorang tidak diterima (Perry & Potter, 2005).

    Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan

    peran, baik yang sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena

    situasional. Hal ini, biasanya disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut

    dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian, seperti a) transisi perkembangan,

    setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap

    perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan

    yang berbedabeda, hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri, b) transisi

    situasi, transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau

    berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status

    sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan

    Universitas Sumatera Utara

  • perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran,

    peran tidak jelas atau peran berlebihan, c) transisi sehat sakit, stresor pada tubuh

    dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat perubahan konsep diri,

    perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu

    gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri.

    Penyebab atau faktor-faktor ganguan peran tersebut dapat di akibatkan

    oleh konflik peran interpersonal, individu dan lingkungan tidak mempunyai

    harapan peran yang selaras, contoh peran yang tidak adekuat, kehilangan

    hubungan yang penting, perubahan peran seksual, keragu-raguan peran,

    perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses

    menua, kurangnya pengertian tentang peran, ketergantungan obat, kurangnya

    keterampilan sosial, perbedaan budaya, harga diri rendah, dan konflik antar peran

    yang sekaligus diperankan. Gangguan-gangguan peran yang terjadi dapat ditandai

    dengan tanda dan gejala, seperti mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau

    kemampuan menampilkan peran, mengingkari atau menghindari peran, kegagalan

    transisi peran, ketegangan peran, kemunduran pola tanggung jawab yang biasa

    dalam peran, proses berkabung yang tidak berfungsi, dan kejenuhan pekerjaan

    (Stuart & Sundeen, 1998).

    2.3.4. Identitas

    Identitas merupakan pengorganisasian prinsip dari sistem kepribadian

    yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kontniuitas, keunikan, dan konsistensi

    dari kepribadian (Stuart & Sundeen, 1998). Seseorang yang mempunyai perasaan

    identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik

    dan tidak ada duannya. Identitas juga mencakup rasa internal tentang

    Universitas Sumatera Utara

  • individualitas, keutuhan dan konsistensi seseorang sepanjang waktu dan dalam

    berbagai situasi (Potter & Perry, 2005). Menurut Erikson (1963) dalam Perry &

    Potter (2005) seseorang belajar tentang nilai, perilaku dan peran sesuai dengan

    kultur, untuk dapat membentuk identitas seseorang harus mampu membawa

    semua perilaku yang dipelajari ke dalam keutuhan yang koheren, konsisten dan

    unik. Perasaan dan prilaku yang kuat akan indentitas diri individu dapat ditandai

    dengan memandang dirinya secara unik, merasakan dirinya berbeda dengan orang

    lain, merasakan otonomi, menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima

    diri, dapat mengontrol diri, mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan

    konsep diri.

    2.4 Jenis Konsep Diri

    Menurut Calhoun & Acocella (1995), dalam perkembangannya konsep diri

    terbagi menjadi dua jenis :

    2.4.1. Konsep diri positif

    Konsep diri yang positif lebih berupa penerimaan diri, kerendahan hati dan

    kedermawanan dan bukan kepada kebanggan yang besar, keangkuhan serta

    keegoisan. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Seseorang yang

    mempunyai konsep diri positif mengenal dirinya dengan sangat baik, dapat

    memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya

    atau dengan kata lain dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada

    pada dirinya sendiri, evaluasi tehadap dirinya sendiri menjadi positif dan

    menerima keberadaan orang lain serta mampu merancang tujuan-tujuan sesuai

    realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai

    (Calhoun & Acocella, 1995).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4.2 Konsep diri negatif

    Calhoun & Acocella (1995) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe,

    yaitu :

    a) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak

    memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu dengan konsep diri

    negatif tipe ini benar-benar tidak mengetahui siapa dirinya, apa kekuatan dan

    kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya.

    b) Pada tipe kedua hampir merupakan lawan dari tipe yang pertama. Individu

    dengan tipe yang kedua ini memiliki konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu

    teratur, dengan kata lain kaku. Hal ini mungkin dikarenakan didikan yang

    terlalu keras sehingga individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak

    mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam

    pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

    2.5 Dampak Sakit Terhadap Konsep Diri

    Perubahan konsep diri akibat menderita suatu penyakit mungkin bersifat

    kompleks. Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran

    yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.

    Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada penyakit, reaksi

    orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain. Penyakit dengan

    jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan

    menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga.

    Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya dapat

    menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas,

    syok, penolakan, marah, dan menarik diri (Perry & Potter, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Konsep diri dapat terlihat dari bagaimana pasien tersebut memandang

    citra tubuhnya yang merupakan konsep subjektif terhadap penampilan fisiknya.

    Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi

    konsep diri. Perubahan fisik dalam tubuh menyebabkan perubahan citra tubuh,

    dimana identitas dan harga diri juga dapat dipengaruhi. Tidak hanya itu

    dampaknya juga berpengaruh pada perannya dalam keluarga, Setiap orang

    memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil

    keputusan, seorang profesional, dan sebagai orang tua. Saat seseorang menderita

    penyakit peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan. Klien yang

    mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi

    memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan

    konflik, akibatnya anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien

    (Perry & Potter, 2005).

    3. Tuberkulosis Paru (TB Paru)

    3.1. Definisi TB Paru

    Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius yang terutama

    menyerang paru dan dapat juga ditularkan kebagian tubuh lainnya, termasuk

    meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agen infeksius utamanya adalah

    Mycobacterium Tuberkulosis yang merupakan bakteri berbentuk batang, aerobik

    tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar

    ultraviolet (Brunner & Suddarth, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 3.2. Cara Penularan dan Resiko Penularan

    Tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara dari penderita TB BTA

    positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita TB Paru tersebut menyebarkan

    kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang

    mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa

    jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran

    pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya

    melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau

    penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

    Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman

    yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan

    dahak, makin menular pasien tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak

    terlihat kuman), maka pasien tersebut dianggap tidak menular, kemungkinan

    seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan

    lamanya menghirup udara tersebut (BPN, 2007).

    Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko penularan penyakit TB paru

    adalah (1) Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB

    aktif, (2) individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka

    yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV), (3)

    pengguna obat-obat IV dan alkoholik, (4) individu yang memiliki gangguan medis

    yang sudah ada sebelumnya (5) umur dan jenis kelamin, (6) keadaan malnutrisi

    atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain lain yang akan

    mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit

    termasuk TB Paru, (7) individu yang tinggal di institusi (misal: fasilitas perawatan

    Universitas Sumatera Utara

  • jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara), (8) mereka yang tinggal di

    perumahan yang padat, kumuh dan sanitasi yang buruk (Brunner & Suddarth,

    2002).

    3.3. Gejala-gejala Penderita TB Paru

    Gejala-gejala yang terdapat pada seseorang yang menderita TB paru

    diantaranya batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu yang pada awalnya mungkin

    non produktif tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum

    mukopurulen dengan haemoptisis (batuk darah), demam, suhu badan sedikit

    meningkat siang hari/sore hari, menggigil dapat terjadi jika suhu badan naik cepat,

    berkeringat pada malam hari tanpa melakukan aktivitas, anoreksia, berat badan

    menurun, kelelahan (fatigue), nyeri dada, wheezing karena penyempitan lumen

    endobronkus oleh karena sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi,

    ulserasi dan dyspnea yang merupakan late syndrom dari proses lanjut oleh karena

    restriksi dan obstruksi saluran nafas (Crofton, 1998).

    3.4. Pengobatan TB Paru

    Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

    kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

    terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) (Brunner &

    Suddarth, 2005).

    Pengobatan TB paru terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan

    fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari paduan

    obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah : INH,

    Rifampisin, Pirazinamid, Sterptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya

    (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, obat lain yang masih dalam penelitian

    Universitas Sumatera Utara

  • yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavunalat. Kemasannnya dapat terdiri dari

    dosis tunggal yaitu obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,

    Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose

    Combination-FDC) kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3-4 obat dalam satu

    tablet (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

    3.5. Efek Samping Obat TB Paru

    Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

    samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

    pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

    selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek

    samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT

    dapat diteruskan.

    Efek-efek samping OAT tersebut diantaranya untuk Isoniazid efek

    samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,

    rasa terbakar di kaki dan nyeri otot, efek samping berat yang ditimbulkan dapat

    berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.

    Pada golongan rifampisin efek samping ringan dapat berupa sindrom flu (demam,

    menggigil, nyeri tulang), sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan

    kadang-kadang diare, gatal-gatal kemerahan, rifampisin dapat juga menyebabkan

    warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur, warna merah tersebut

    terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya, hal ini harus

    diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

    Sedangkan pirazinamid efek samping utama yang ditimbulkan adalah hepatitis

    imbas obat, nyeri sendi, demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.

    Universitas Sumatera Utara

  • Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa kurangnya

    ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau, dan streptomisin dapat

    menimbulkan efek samping berupa kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan

    erat dengan keseimbangan dan pendengaran, gejala efek samping yang terlihat

    ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan

    (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

    3.6. Dampak TB Paru

    Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda ketika dihadapkan dengan

    suatu penyakit, reaksi perilaku dan emosi tersebut tergantung pada penyakit,

    sikap orang tersebut dalam menghadapi suatu penyakit, reaksi orang lain terhadap

    penyakit yang dideritanya, dan lain-lain. Penyakit dengan jangka waktu yang

    singkat dan tidak mengancam kehidupan hanya sedikit menimbulkan sedikit

    perubahan perilaku dalam fungsi orang tersebut dan keluarga, sedangkan penyakit

    berat, apalagi yang mengancam kehidupan dapat menimbulkan perubahan emosi

    dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan

    menarik diri (Perry & Potter, 2005).

    TB paru merupakan contoh klasik penyakit yang tidak hanya

    menimbulkan dampak terhadap perubahan fisik, tetapi mental dan juga sosial

    (Rajeswari, dkk, 2005). Bagi penderita TB paru dampak secara fisik yang

    ditimbulkan diantarnya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus,

    sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat

    pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi. Bagi keluarga pasien

    adanya risiko terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena

    kurangnya pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurangnya

    Universitas Sumatera Utara

  • pengetahuan tentang penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan

    penyakit. Produktivitas juga menurun terutama bila mengenai kepala keluarga

    yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat

    biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan (Efendi, 2008).

    Tidak sedikit pasien yang ketika di diagnosis TB Paru timbul ketakutan

    dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian,

    efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, kehilangan pekerjaan,

    ditolak dan didiskriminasikan, dan lain-lain (International Union Against

    Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh Kabat

    dalam surat kabar Pontianak Post (2005) bahwa penderita TB sering merasa

    rendah diri karena stigma buruk yang berkembang bahkan dikucilkan oleh

    masyarakat. Banyak orang yang menghindari interaksi dengan penderita TB

    karena takut tertular. Padahal, penularan TB tidak terjadi semudah itu, butuh

    kontak yang lama dan sering. Selain itu klien mudah tersinggung, marah, putus

    asa dikarenakan batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari menjadi

    kurang menyenangkan dan karena adanya perasaan rendah diri, klien selalu

    mengisolasi diri karena malu dengan keadaan penyakitnya (Erfandi, 2008).

    Universitas Sumatera Utara