ocayyy
DESCRIPTION
MANTAPTRANSCRIPT
-
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
1. Konsep Keluarga
1.1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah
suatu atap dalam kedaan saling ketergantungan (DEPKES RI, 1988 dalam Effendi
1998). Undang-undang No. 10 tahun 1992 dari Suprajitno (2004) menyatakan
bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-
isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya. Sedangkan Friedman (1998) mengatakan bahwa keluarga adalah dua
orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan
individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.
Oleh sebab itu keluarga mempunyai pengaruh utama dalam kesehatan fisik dan
mental setiap anggota keluarga (Doherty, 1998 dalam Newton, 2006).
1.2. Struktur Keluarga
Menurut Effendi (1998) struktur keluarga terdiri dari :
a) Patrilineal : Keluarga yang sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, dan hubungan itu disusun melalui garis ayah.
b) Matrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara beberapa
generasi yang disusun melalui garis ibu.
c) Matrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga istri.
d) Patrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga suami.
Universitas Sumatera Utara
-
e) Kawinan : Hubungan suami istri sebagai dasar dari pembinaan keluarga. dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami atau istri.
1.3. Tipe Keluarga
Menurut Suprajitno (2004) pembagian tipe keluarga bergantung pada
konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah,
ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.
b) Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah anggota
keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-
bibi) (Suprajitno, 2004).
1.4. Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Suprajitno
(2004) adalah sebagai berikut :
a) Fungsi afektif (the affective function) berhubungan dengan fungsi-fungsi
internal keluarga, yaitu berupa pelindungan dan psikososial bagi para anggota
keluarganya, keluarga harus dapat melakukan tugas-tugas yang dapat
menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi para anggota
keluarganya, dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosio emosinal
keluarganya.
b) Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social
placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
Universitas Sumatera Utara
-
c) Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d) Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat mengembangkan
kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
e) Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care function),
yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktifitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi peran
keluarga dibidang kesehatan.
1.5. Peran Keluarga
Peran menurut Nye (1976) dalam Friedman (1998) merupakan suatu
perilaku yang bersifat homogen yang diharapkan secara normatif oleh seseorang
yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial dan dalam situasi sosial
tertentu. Jadi peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan
situasi tertentu (Setiadi, 2008).
Peran dalam keluarga memberikan tujuan homeostasis atau untuk
mengatur keseimbangan dalam keluarga (Friedman, 1998). Turner, 1970 dalam
Friedman (1998) menyatakan jika keluarga tidak melaksanakan perannya maka
keluarga akan menjadi ketergantungan terhadap keberadaan peran-peran diluar
keluarga (misalkan petugas kesehatan).
Universitas Sumatera Utara
-
1.6. Peran Keluarga dibidang Kesehatan
Sesuai dengan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan, keluarga
mempunyai peran dalam bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan
meliputi:
1.6.1. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan
karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak berarti dan karena kesehatanlah
seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal
keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya.
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam keluarga
(Suprajitno, 2004). Menurut Notoadmojo (2003) mengenal diartikan sebagai
pengingat sesuatu yang sudah dipelajari atau diketahui sebelumnya. Sesuatu
tersebut adalah sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Dalam mengenal masalah kesehatan keluarga
haruslah mampu mengetahui tentang sakit yang dialami pasien.
1.6.2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Peran ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan
siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk
menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan keluarga
diharapkan tepat agar kesehatan masalah dapat dikurangi atau bahkan teratasi
keluarga. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada
Universitas Sumatera Utara
-
orang dilingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan (Suprajitno, 2004).
1.6.3. Memberikan perawatan terhadap keluarga yang sakit
Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau
tangung jawabnya secara penuh, Pemberian perawatan secara fisik merupakan
beban paling berat yang dirasakan keluarga (Friedman, 1998). Keluarga memiliki
keterbatasan dalam mengatasi masalah perawatan keluarga, di rumah keluarga
memiliki kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama, untuk
mengetahuinya dapat dikaji apakah keluarga aktif dalam ikut merawat pasien,
bagaimana keluarga mencari pertolongan dan mengerti tentang perawatan yang
diperlukan pasien, sikap keluarga terhadap pasien, keaktifan keluarga mencari
informasi tentang perawatan terhadap pasien (Suprajitno, 2004).
1.6.4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan
keluarga
Dalam memelihara kesehatan hal-hal yang perlu dilakukan keluarga
diantaranya keluarga harus bisa memodifikasi lingkungan yang menjamin
kesehatan keluarga. Oleh sebab itu keluarga harus mengetahui tentang pentingnya
sanitasi lingkungan dan manfaatnya, memiliki kebersamaan dalam meningkatkan
dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan (Friedman, 1998).
1.6.5. Menggunakan pelayanan kesehatan
Menurut Effendi (1998) pada keluarga tertentu bila ada anggota keluarga
yang sakit jarang dibawa ke puskesmas tapi ke mantri atau dukun. Untuk
mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana kesehatan perlu
dikaji tentang pengetahuan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang dapat
dijangkau keluarga, keuntungan dari adanya fasilitas kesehatan, kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
-
keluarga terhadap fasilitas kesehatan yang ada, fasilitas kesehatan yang dapat
terjangkau oleh keluarga.
1.7. Peran keluarga dalam merawat penderita TB paru
Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama
keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan
proses terapetik. Pada penderita TB, peran keluarga sangat dibutuhkan khususnya
dalam memberikan perawatan, tidak hanya perawatan secara fisik namun juga
perawatan secara psikososial (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease, 2007). Hal ini dikarenakan keluarga merupakan orang terdekat dari klien
dan juga sesuai dengan salah satu fungsi keluarga yaitu memberikan perawatan
pada anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).
Penderita TB sangat membutuhkan dukungan, kasih sayang, dan perhatian
khususnya dari keluarga, hal ini dapat ditunjukkan dari keikutsertaan keluarga
dalam membantu perawatan pada penderita TB, baik memberikan perawatan
secara fisik maupun secara psikis karena banyaknya stigma buruk berkembang di
masyarakat terhadap penderita TB, sehingga dengan adanya dukungan, kasih
sayang serta perawatan yang baik tersebut akan membantu mempercepat
kesembuhan pasien TB (Lhl.no).
Hal-hal yang dapat lakukan keluarga dalam merawat penderita TB paru
diantaranya mengawasi klien dalam meminum obat secara teratur hingga klien
menelan obatnya, pasien harus meminum obatnya pada pagi hari karena obat
tersebut paling baik bekerja ketika pagi hari, keluarga juga harus dapat
memotivasi pasien agar sabar dalam pengobatannya, menempatkan obat di tempat
yang bersih dan kering, tidak terpapar langsung dengan sinar matahari dan aman
Universitas Sumatera Utara
-
dari jangkauan anak-anak, selain itu keluarga dapat membawa atau mengajak
pasien ke fasilitas kesehatan setiap dua minggu sekali untuk melihat
perkembangan penyakitnya atau jika pasien mengalami keluhan-keluhan yang
harus segera di tangani. Keluarga juga harus lebih terbuka dan memahami serta
menghargai perasaan klien, mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan
klien, menanyakan apa yang saat ini klien rasakan, ini merupakan salah satu
bentuk dukungan dari keluarga secara psikis. Untuk kebutuhan nutrisinya
keluarga harus memberikan makan yang cukup gizi pada pasien untuk
menguatkan dan meningkatkan daya dahan tubuh agar bisa menangkal kuman TB
yang merusak paru-paru, kebersihan lingkungan rumah juga harus diperhatikan
misalnya dengan pengaturan ventilasi yang cukup, ajarkan keluarga untuk tidak
meludah sembarangan, menutup mulut ketika batuk atau bersin, keluarga juga
dapat menjemur tempat tidur bekas pasien secara teratur, membuka jendela lebar-
lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, karena kuman TB paru
akan mati bila terkena sinar matahari (BPN, 2007).
2. Konsep Diri
2.1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Sedangkan menurut
Potter & Perry (2005) konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya
sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada
seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada
Universitas Sumatera Utara
-
gambaran tubuh dan peran yang tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan
spiritual diri. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Beck, William
dan Rawlin (1986) yang menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu
memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional, intelektual, sosial dan
spiritual. Oleh sebab itu Konsep diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan
individu, karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam
berbagai situasi (Calhoun & Acoxcella, 1995).
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart & Sundeen (1991) dalam Salbiah (2003) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut
terdiri dari teori perkembangan, significant other (orang yang terpenting atau yang
terdekat) dan persepsi diri sendiri.
2.2.1. Teori perkembangan
Konsep diri belum ada sejak lahir tapi berkembang secara bertahap dan
juga dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang
lain dan objek disekitarnya. Konsep diri dipelajari dari pengalaman yang unik
melalui proses eksplorasi diri sendiri, hubungan dengan orang dekat dan berarti
bagi dirinya. Konsep diri berkembang dengan baik apabila budaya dan
pengalaman dalam keluarga memberikan pengalaman yang positif, individu
memperoleh kemampuan yang berarti serta dapat menemukan aktualisasi diri
sehingga individu menyadari potensi yang ada pada dirinya. Pengalaman awal
dalam kehidupan keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena
keluarga dapat memberikan perasaan diri adekuat atau tidak adekuat, perasaan
Universitas Sumatera Utara
-
diterima atau ditolak, kesempatan untuk identifikasi serta penghargaan tentang
tujuan, perilaku dan nilai (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).
2.2.2. Significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat)
Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain,
dengan mengamati cerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan
oleh orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri (Stuart &
Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).
Keluarga memberikan pengaruh yang paling kuat karena kontak sosial
yang paling awal dialami manusia adalah dengan keluarga. Orang tua memberikan
informasi yang menetap tentang diri individu, mereka juga menetapkan
pengharapan bagi anaknya, orang tua juga mengajarkan anak bagaimana menilai
diri sendiri. Teman sebaya menduduki tempat kedua setelah keluarga terutama
dalam mempengaruhi konsep diri seseorang. Masalah penerimaan atau penolakan
dalam kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap diri seseorang. Masyarakat
juga berpengaruh terhadap konsep diri seseorang, masyarakat punya harapan
tertentu terhadap seseorang dan harapan ini masuk ke dalam diri individu, dimana
individu akan berusaha melaksanakan harapan tersebut (Calhoun & Acocella,
1995).
2.2.3. Persepsi diri sendiri
Persepsi diri yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya,
serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri
dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga
konsep diri merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu.
Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
-
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.
Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan
sosial yang terganggu (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah, 2003).
2.3 Komponen Konsep Diri
2.3.1. Citra Tubuh
Citra tubuh merupakan sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar
dan tidak sadar terhadap tubuhnya yang mencakup persepsi dan perasaan tentang
ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru. Citra tubuh
dapat juga dipengaruhi oleh persepsi dari pandangan orang lain. Citra tubuh hanya
bergantung sebagian pada realitas tubuh, dan umumnya seseorang tidak
mengadaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi dalam fisik tubuhnya
(Stuart & Sundeen, 1998).
Banyak faktor dapat yang mempengaruhi citra tubuh seseorang, seperti
operasi (misalnya mastektomi, amputasi, ileostomi), Kegagalan fungsi tubuh
(seperti hemiplegi, buta, tuli), seseorang yang tergantung pada mesin, perubahan
tubuh seiring dengan bertambahnya usia, umpan balik interpersonal yang negatif,
Umpan balik ini berupa tanggapan yang tidak baik misalnya celaan atau makian
sehingga dapat membuat seseorang menarik diri, dan lain-lain (Perry & Potter,
2005).
Beberapa gangguan pada citra tubuh dapat menunjukan tanda dan gejala,
seperti syok psikologis yang merupakan reaksi emosional terhadap dampak
perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan, menarik diri dimana klien
ingin lari dari kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau
Universitas Sumatera Utara
-
menghindar secara emosional sehingga klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada
motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya. Setelah klien sadar
akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka akan muncul. Setelah fase
ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan citra tubuh yang baru. Tanda dan
gejala dari gangguan citra tubuh tersebut adalah proses yang adaptif, jika tampak
gejala dan tanda-tanda berikut secara menetap maka respon klien dianggap
maladaptif sehingga terjadi gangguan citra tubuh, tanda dan gejalanya berupa
menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah, tidak dapat
menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh, mengurangi kontak sosial
sehingga terjadi menarik diri, perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh,
preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang, mengungkapkan
keputusasaan, mengungkapkan ketakutan ditolak, depersonalisasi, dan menolak
penjelasan tentang perubahan tubuh (Stuart & Sundeen, 1991 dalam Salbiah,
2003).
2.3.2. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku
berdasarkan standard, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart &
Sundeen, 1998). Secara umum seseorang yang hampir memenuhi ideal diri
mempunyai harga diri yang tinggi sementara seseorang yang konsep dirinya
mempunyai variasi luas dari ideal dirinya mempunyai harga diri yang rendah
(Perry & Potter, 2005). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar
dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,
Universitas Sumatera Utara
-
kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seseorang yang penting dan
berharga (Stuart & Sundeen, 1998). Harga diri tinggi terkait dengan ansietas yang
rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain, sedangkan harga
diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko terjadi
depresi dan skizofrenia. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik
mengakibatkan harga diri rendah. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri. Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi
yang telah berlangsung lama), dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak
langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan harga diri, meliputi
penolakan orang tua, ideal diri tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,
gangguan fisik dan mental, sistem keluarga yang tidak berfungsi, pengalaman
traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual dan
ketergantungan pada orang lain (Stuart & Sundeen, 1998).
Seseorang yang mengalami harga diri rendah ditandai dengan perilaku
seperti perasaan cemas, mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain, gangguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau
marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan
peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, keluhan fisik, pandangan
hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, dan menarik
diri (Stuart & Sundeen, 1998).
Universitas Sumatera Utara
-
2.3.3. Peran
Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial (Stuart &
Sundeen, 1998). Peran ini mencakup harapan atau standard perilaku yang telah
diterima oleh keluarga, komunitas, dan kultur. Perilaku tersebut didasarkan pada
pola yang ditetapkan melalui sosialisasi (Perry & Potter, 2005). Agar dapat
berfungsi secara efektif dalam peran, seseorang harus mengetahui perilaku dan
nilai yang diharapkan, harus mempunyai keinginan untuk memastikan perilaku
dan nilai ini, dan harus mampu memenuhi tuntutan peran. Sebagian besar individu
mempunyai lebih dari satu peran. Peran yang umum termasuk peran sebagai orang
tua, istri atau suami, sebagai anak, pencari nafkah atau pengambil keputusan.
Setiap peran mencakup pemenuhan harapan tertentu dari orang lain. Pemenuhan
harapan ini mengarah pada penghargaan. Ketidakberhasilan untuk memenuhi
harapan ini menyebabkan seseorang tidak diterima (Perry & Potter, 2005).
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan
peran, baik yang sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena
situasional. Hal ini, biasanya disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut
dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian, seperti a) transisi perkembangan,
setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap
perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan
yang berbedabeda, hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri, b) transisi
situasi, transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau
berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status
sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
-
perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran,
peran tidak jelas atau peran berlebihan, c) transisi sehat sakit, stresor pada tubuh
dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat perubahan konsep diri,
perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu
gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri.
Penyebab atau faktor-faktor ganguan peran tersebut dapat di akibatkan
oleh konflik peran interpersonal, individu dan lingkungan tidak mempunyai
harapan peran yang selaras, contoh peran yang tidak adekuat, kehilangan
hubungan yang penting, perubahan peran seksual, keragu-raguan peran,
perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses
menua, kurangnya pengertian tentang peran, ketergantungan obat, kurangnya
keterampilan sosial, perbedaan budaya, harga diri rendah, dan konflik antar peran
yang sekaligus diperankan. Gangguan-gangguan peran yang terjadi dapat ditandai
dengan tanda dan gejala, seperti mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau
kemampuan menampilkan peran, mengingkari atau menghindari peran, kegagalan
transisi peran, ketegangan peran, kemunduran pola tanggung jawab yang biasa
dalam peran, proses berkabung yang tidak berfungsi, dan kejenuhan pekerjaan
(Stuart & Sundeen, 1998).
2.3.4. Identitas
Identitas merupakan pengorganisasian prinsip dari sistem kepribadian
yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kontniuitas, keunikan, dan konsistensi
dari kepribadian (Stuart & Sundeen, 1998). Seseorang yang mempunyai perasaan
identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik
dan tidak ada duannya. Identitas juga mencakup rasa internal tentang
Universitas Sumatera Utara
-
individualitas, keutuhan dan konsistensi seseorang sepanjang waktu dan dalam
berbagai situasi (Potter & Perry, 2005). Menurut Erikson (1963) dalam Perry &
Potter (2005) seseorang belajar tentang nilai, perilaku dan peran sesuai dengan
kultur, untuk dapat membentuk identitas seseorang harus mampu membawa
semua perilaku yang dipelajari ke dalam keutuhan yang koheren, konsisten dan
unik. Perasaan dan prilaku yang kuat akan indentitas diri individu dapat ditandai
dengan memandang dirinya secara unik, merasakan dirinya berbeda dengan orang
lain, merasakan otonomi, menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima
diri, dapat mengontrol diri, mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan
konsep diri.
2.4 Jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun & Acocella (1995), dalam perkembangannya konsep diri
terbagi menjadi dua jenis :
2.4.1. Konsep diri positif
Konsep diri yang positif lebih berupa penerimaan diri, kerendahan hati dan
kedermawanan dan bukan kepada kebanggan yang besar, keangkuhan serta
keegoisan. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Seseorang yang
mempunyai konsep diri positif mengenal dirinya dengan sangat baik, dapat
memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya
atau dengan kata lain dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada
pada dirinya sendiri, evaluasi tehadap dirinya sendiri menjadi positif dan
menerima keberadaan orang lain serta mampu merancang tujuan-tujuan sesuai
realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai
(Calhoun & Acocella, 1995).
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.2 Konsep diri negatif
Calhoun & Acocella (1995) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe,
yaitu :
a) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak
memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu dengan konsep diri
negatif tipe ini benar-benar tidak mengetahui siapa dirinya, apa kekuatan dan
kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya.
b) Pada tipe kedua hampir merupakan lawan dari tipe yang pertama. Individu
dengan tipe yang kedua ini memiliki konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu
teratur, dengan kata lain kaku. Hal ini mungkin dikarenakan didikan yang
terlalu keras sehingga individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak
mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam
pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.
2.5 Dampak Sakit Terhadap Konsep Diri
Perubahan konsep diri akibat menderita suatu penyakit mungkin bersifat
kompleks. Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran
yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada penyakit, reaksi
orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain. Penyakit dengan
jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan
menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga.
Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya dapat
menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas,
syok, penolakan, marah, dan menarik diri (Perry & Potter, 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
Konsep diri dapat terlihat dari bagaimana pasien tersebut memandang
citra tubuhnya yang merupakan konsep subjektif terhadap penampilan fisiknya.
Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi
konsep diri. Perubahan fisik dalam tubuh menyebabkan perubahan citra tubuh,
dimana identitas dan harga diri juga dapat dipengaruhi. Tidak hanya itu
dampaknya juga berpengaruh pada perannya dalam keluarga, Setiap orang
memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil
keputusan, seorang profesional, dan sebagai orang tua. Saat seseorang menderita
penyakit peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan. Klien yang
mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi
memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan
konflik, akibatnya anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien
(Perry & Potter, 2005).
3. Tuberkulosis Paru (TB Paru)
3.1. Definisi TB Paru
Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang paru dan dapat juga ditularkan kebagian tubuh lainnya, termasuk
meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agen infeksius utamanya adalah
Mycobacterium Tuberkulosis yang merupakan bakteri berbentuk batang, aerobik
tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar
ultraviolet (Brunner & Suddarth, 2002).
Universitas Sumatera Utara
-
3.2. Cara Penularan dan Resiko Penularan
Tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara dari penderita TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita TB Paru tersebut menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka pasien tersebut dianggap tidak menular, kemungkinan
seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut (BPN, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko penularan penyakit TB paru
adalah (1) Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB
aktif, (2) individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka
yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV), (3)
pengguna obat-obat IV dan alkoholik, (4) individu yang memiliki gangguan medis
yang sudah ada sebelumnya (5) umur dan jenis kelamin, (6) keadaan malnutrisi
atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain lain yang akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit
termasuk TB Paru, (7) individu yang tinggal di institusi (misal: fasilitas perawatan
Universitas Sumatera Utara
-
jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara), (8) mereka yang tinggal di
perumahan yang padat, kumuh dan sanitasi yang buruk (Brunner & Suddarth,
2002).
3.3. Gejala-gejala Penderita TB Paru
Gejala-gejala yang terdapat pada seseorang yang menderita TB paru
diantaranya batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu yang pada awalnya mungkin
non produktif tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan haemoptisis (batuk darah), demam, suhu badan sedikit
meningkat siang hari/sore hari, menggigil dapat terjadi jika suhu badan naik cepat,
berkeringat pada malam hari tanpa melakukan aktivitas, anoreksia, berat badan
menurun, kelelahan (fatigue), nyeri dada, wheezing karena penyempitan lumen
endobronkus oleh karena sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi,
ulserasi dan dyspnea yang merupakan late syndrom dari proses lanjut oleh karena
restriksi dan obstruksi saluran nafas (Crofton, 1998).
3.4. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) (Brunner &
Suddarth, 2005).
Pengobatan TB paru terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah : INH,
Rifampisin, Pirazinamid, Sterptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya
(lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, obat lain yang masih dalam penelitian
Universitas Sumatera Utara
-
yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavunalat. Kemasannnya dapat terdiri dari
dosis tunggal yaitu obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose
Combination-FDC) kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3-4 obat dalam satu
tablet (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
3.5. Efek Samping Obat TB Paru
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat diteruskan.
Efek-efek samping OAT tersebut diantaranya untuk Isoniazid efek
samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot, efek samping berat yang ditimbulkan dapat
berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.
Pada golongan rifampisin efek samping ringan dapat berupa sindrom flu (demam,
menggigil, nyeri tulang), sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan
kadang-kadang diare, gatal-gatal kemerahan, rifampisin dapat juga menyebabkan
warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur, warna merah tersebut
terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya, hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
Sedangkan pirazinamid efek samping utama yang ditimbulkan adalah hepatitis
imbas obat, nyeri sendi, demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
Universitas Sumatera Utara
-
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa kurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau, dan streptomisin dapat
menimbulkan efek samping berupa kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
erat dengan keseimbangan dan pendengaran, gejala efek samping yang terlihat
ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
3.6. Dampak TB Paru
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda ketika dihadapkan dengan
suatu penyakit, reaksi perilaku dan emosi tersebut tergantung pada penyakit,
sikap orang tersebut dalam menghadapi suatu penyakit, reaksi orang lain terhadap
penyakit yang dideritanya, dan lain-lain. Penyakit dengan jangka waktu yang
singkat dan tidak mengancam kehidupan hanya sedikit menimbulkan sedikit
perubahan perilaku dalam fungsi orang tersebut dan keluarga, sedangkan penyakit
berat, apalagi yang mengancam kehidupan dapat menimbulkan perubahan emosi
dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan
menarik diri (Perry & Potter, 2005).
TB paru merupakan contoh klasik penyakit yang tidak hanya
menimbulkan dampak terhadap perubahan fisik, tetapi mental dan juga sosial
(Rajeswari, dkk, 2005). Bagi penderita TB paru dampak secara fisik yang
ditimbulkan diantarnya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus,
sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat
pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi. Bagi keluarga pasien
adanya risiko terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena
kurangnya pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurangnya
Universitas Sumatera Utara
-
pengetahuan tentang penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan
penyakit. Produktivitas juga menurun terutama bila mengenai kepala keluarga
yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat
biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan (Efendi, 2008).
Tidak sedikit pasien yang ketika di diagnosis TB Paru timbul ketakutan
dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian,
efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, kehilangan pekerjaan,
ditolak dan didiskriminasikan, dan lain-lain (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh Kabat
dalam surat kabar Pontianak Post (2005) bahwa penderita TB sering merasa
rendah diri karena stigma buruk yang berkembang bahkan dikucilkan oleh
masyarakat. Banyak orang yang menghindari interaksi dengan penderita TB
karena takut tertular. Padahal, penularan TB tidak terjadi semudah itu, butuh
kontak yang lama dan sering. Selain itu klien mudah tersinggung, marah, putus
asa dikarenakan batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari menjadi
kurang menyenangkan dan karena adanya perasaan rendah diri, klien selalu
mengisolasi diri karena malu dengan keadaan penyakitnya (Erfandi, 2008).
Universitas Sumatera Utara