nomor 5 kolesterol

11
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolesterol Kolesterol merupakan steroid hewani yang terdapat paling meluas dan dijumpai dalam hampir semua jaringan hewan. Kolesterol merupakan zat antara yang diperlukan dalam biosintesis hormon steroid. Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 1a. Kolesterol memiliki 2 gugus metil yang terikat pada rantai C-13 dan C-10 dengan 5 ikatan rangkap. Rantai cabang hidrokarbon terikat pada atom C-17, sedangkan gugus hidroksil terdapat pada atom C-3. Kolesterol memiliki fungsi alkohol dan juga membentuk ester dengan asam lemak (ester sterol), sehingga termasuk kedalam senyawa yang paling hidrofobik diantara semua lipid didalam tubuh (Muchtadi, Palupi, dan Astawan 1993). Terdapat sedikit perbedaan struktur antara fitosterol (Gambar 1b.) dan kolesterol, yaitu sama- sama memiliki 1 gugus OH, namun berbeda pada rantai C-21. Fitosterol terdapat percabangan di rantai C-21 dan C-22, sedangkan pada kolesterol hanya ada 1 cabang yaitu pada C-22. (a.) (b.) Gambar 1. Struktur kolesterol (a) dan fitosterol (b) (Hart 2003). Steroid lain yang umum dijumpai dalam jaringan hewan dan memainkan peran biologis yang penting, seperti asam kolat, estradiol, dan progesteron (Hart 2003). Secara biologis, kolesterol merupakan prekursor penting dalam proses pembentukan asam empedu, provitamin D3 dan beberapa hormon steroid. Penentuan kolesterol secara akurat menjadi penting karena berhubungan erat dengan terjadinya penyakit jantung koroner. Penentuan kadar kolesterol dalam pangan sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam menganalisisnya, baik pada saat ekstraksi maupun saat penentuan kuantitatifnya. Kolesterol dan fitosterol merupakan jenis sterol yang berbeda keberadaannya. Menurut Bender (2001), kolesterol hanya terdapat dalam produk hewani dan tidak terdapat produk nabati. Jumlah kandungan kolesterol pada beberapa produk pangan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Upload: rahim-pain

Post on 03-Jan-2016

50 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: nomor 5 kolesterol

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolesterol Kolesterol merupakan steroid hewani yang terdapat paling meluas dan dijumpai dalam

hampir semua jaringan hewan. Kolesterol merupakan zat antara yang diperlukan dalam biosintesis hormon steroid. Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 1a. Kolesterol memiliki 2 gugus metil yang terikat pada rantai C-13 dan C-10 dengan 5 ikatan rangkap. Rantai cabang hidrokarbon terikat pada atom C-17, sedangkan gugus hidroksil terdapat pada atom C-3. Kolesterol memiliki fungsi alkohol dan juga membentuk ester dengan asam lemak (ester sterol), sehingga termasuk kedalam senyawa yang paling hidrofobik diantara semua lipid didalam tubuh (Muchtadi, Palupi, dan Astawan 1993). Terdapat sedikit perbedaan struktur antara fitosterol (Gambar 1b.) dan kolesterol, yaitu sama-sama memiliki 1 gugus OH, namun berbeda pada rantai C-21. Fitosterol terdapat percabangan di rantai C-21 dan C-22, sedangkan pada kolesterol hanya ada 1 cabang yaitu pada C-22.

(a.) (b.) Gambar 1. Struktur kolesterol (a) dan fitosterol (b) (Hart 2003).

Steroid lain yang umum dijumpai dalam jaringan hewan dan memainkan peran biologis yang

penting, seperti asam kolat, estradiol, dan progesteron (Hart 2003). Secara biologis, kolesterol merupakan prekursor penting dalam proses pembentukan asam empedu, provitamin D3 dan beberapa hormon steroid. Penentuan kolesterol secara akurat menjadi penting karena berhubungan erat dengan terjadinya penyakit jantung koroner. Penentuan kadar kolesterol dalam pangan sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam menganalisisnya, baik pada saat ekstraksi maupun saat penentuan kuantitatifnya.

Kolesterol dan fitosterol merupakan jenis sterol yang berbeda keberadaannya. Menurut Bender (2001), kolesterol hanya terdapat dalam produk hewani dan tidak terdapat produk nabati. Jumlah kandungan kolesterol pada beberapa produk pangan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Page 2: nomor 5 kolesterol

4

Tabel 1. Kandungan kolesterol pada beberapa produk pangan. Jenis Pangan Jumlah kandungan kolesterol (mg/100g)

Produk daging sapi 57 – 100 Keju cheddar 100

Produk daging ayam 38 – 103 Produk ikan 42 – 70 Buah apel 0

Blackberries 0 Beras 0

Minyak babati 0 Sumber: Bender (2001).

Berdasarkan penelitian mengenai metode ekstraksi kolesterol yang dilakukan oleh Osman dan Chin (2006), penggunaan metode Bohac merupakan metode ekstraksi kolesterol yang memiliki nilai rekoveri yang paling baik dibandingkan metode Beyer dan Jensen, dan motede Queensland Health Science Institute (Tabel 2.). Haisl pengujian rekoveri yang dilakukan oleh Osman dan Chin (2006) dapat dilihat pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Hasil uji rekoveri kolesterol pada sampel matrik miyak sawit.

Instrumen Cara Ekstraksi

Konsentrasi kolesterol

sebenarnya (mg/mL)

* Konsentrasi kolesterol yang

terdeteksi (mg/mL)

RSD (%)

Rekoveri (%)

Spektrofotometer UV-VIS

- Bohac 0,3 0,26 6,66 86,67 - Beyer dan Jensen 0,3 0,11 18,17 36,67 - Queensland SE. 0,3 0,38 18,42 126,67

HPLC-UV detector

- Bohac 0,3 0,29 7,50 96,67 - Beyer dan Jensen 0,3 0,22 9,10 73,33 - Queensland SE 0,3 0,33 9,56 110

Gas Chromatography

- Bohac 0,3 0,25 28,57 83,33 - Beyer dan Jensen 0,3 0,18 51,23 60,00 - Queensland SE 0,3 0,44 34,38 146,67

Keterangan: * = rata-rata dari 8 kali ekstraksi. Sumber: Osman, Chin (2006).

Instrumen yang bisa digunakan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas kolesterol dalam

pangan menurut Osman dan Chin (2006) adalah Spektofotometer UV-VIS, HPLC-UV detector, dan GC dengan tingkat sensitifitas yang berbeda-beda (Tabel 3). Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa instrumen HPLC-UV detector memiliki tingkat sensitifitas yang paling baik, karena memiliki nilai LOD dan LOQ yang paling rendah.

Page 3: nomor 5 kolesterol

5

Tabel 3. Tingkat sensitifitas instrumen terhadap kandungan kolesterol pada sampel (Osman dan Chin 2006).

Instrumen Kandungan

kolestrol sebenarnya (mg)

Ketepatan * LOD (μg/mL)

LOQ (µg/mL)

Pengukuran (mg)

RSD (%)

Spektrofotometer UV-VIS 0,27 0,203 ± 0,032 5,76 13 15 HPLC UV detector 0,27 0,263 ± 0,013 4,94 0,08 0,60 Gas Chromatography 0,27 0,202 ±0,048 23,76 4,00 13 Keterangan * n = 8

2.2. Kandungan Kolesterol dalam Telur dan Analisisnya Komposisi fisik dan kualitas telur ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya bangsa

ayam, umur, musim, penyakit, lingkungan (suhu dan kelembaban), pakan dan sistem pengelolaan ayam tersebut (Rahayu 2003), yang pada gilirannya kualitas ini akan berperan pada keputusan konsumen dalam menentukan pilihan.

Struktur telur terbagi atas tiga bagian utama yaitu cangkang telur, putih telur dan kuning telur. Menurut Anton (2007), kolesterol dalam telur hanya ditemukan di bagian kuning telur. Hal ini dikarenakan lemak pada kuning telur mencapai 30,5% sedangkan di bagian putihnya hanya 0,0% perberat kering telur. Berikut adalah komposisi kimia dari telur (Tabel 4). Tabel 4. Komposisi kimia telur ayam.

Komponen Putih Telur Kuning Telur Telur Utuh Kadar air (g/100g) 88,3 51 75,1 Protein (g/100g) 9,0 16,1 12,5 Lemak (g/100g) 0,0 30,5 10,8 Karbohidrat (g/100g) 0,0 0,0 0,0 Kalori (kj/100g) 151 1419 615 Kolesterol (mg/100g) 0,0 1120 385 Keterangan : - = tidak dianalisis. Sumber: Bender (2001).

Perbandingan kandungan kolesterol dalam berbagai jenis telur dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada telur ayam (kuning telur) memiliki kandungan kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan jenis produk lainnya.

Matriks pangan pada telur sangat beragam, mulai dari karbohidrat, protein, lemak, dan fosfolipid (Astawan 2008). Oleh karena itu diperlukan perlakuan hidrolisis oleh asam untuk melepaskan lemak yang terkandung pada telur. Lemak pada telur terdiri dari trigliserida (lemak netral), fosfolipida yang umumnya berupa lesitin dan kolesterol (Astawan 2008). Skema keterikatan kolesterol dalam kuning telur dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 4: nomor 5 kolesterol

6

Tabel 5. Kandungan kolesterol dalam telur dan produknya.

No. Sumber kolesterol dalam makanan Kandungan kolesterol

dalam mg/ 100 g produk 1 Telur ayam, kuning telur, kering 2335,00 2 Telur ayam, utuh, kering, 2017,00 3 Telur ayam, utuh, kering 1715,00 4 Telur ayam, kuning telur, mentah, segar 1234,00 5 Telur ayam, kuning telur, mentah, beku 1075,00 6 Telur ayam, kuning telur, mentah, beku, ditambah gula 959,00 7 Telur ayam, kuning telur, mentah, beku, ditambah garam 955,00 8 Telur, kalkun, utuh, segar, mentah 933,00 9 Telur, bebek, utuh, segar, mentah 884,00

10 Telur, angsa, utuh, segar, mentah 852,00 11 Telur, puyuh, utuh, segar, mentah 844,00 12 Telur ayam sustitusi, bubuk 572,00 13 Telur ayam, utuh, masak, goreng 457,00 14 Telur ayam, utuh, mentah, beku 432,00 15 McDONALD'S, Telur ayam acak 427,00 16 Fast foods, telur ayam, acak 426,00 17 Telur ayam, utuh, masak, rebus matang 424,00 18 Telur ayam, utuh, mentah, segar 423,00 19 Telur ayam, utuh, masak, kukus tanpa kulit 422,00 20 Telur ayam, utuh, masak, omelet 356,00 21 Telur ayam, utuh, masak, acak 352,00

Sumber: USDA (2011).

Gambar 2. Skema keterikatan kolesterol dalam matriks kuning telur (Anton 2007).

Analisis yang bisa digunakan untuk mengukur jumlah kolesterol dalam produk pangan adalah

metode Lieberman-Buchard Color Reaction (Arifin 2005) yang menggunakan alat Spektrofotometer. Hasil yang diperoleh pada pengukuran kandungan kolesterol kuning telur yang dijual di pasar berdasarkan analisis tersebut adalah 25,68 mg/g (Wardiny 2006). Metode lain yang dapat digunakan dalam mengukur kadar kolesterol dalam telur adalah digunakan dengan metode Gas-Liquid Chromatographic (GLC), dengan menggunakan metode ini dapat diketahui kolesterol total dan kolesterol bebas dengan nilai rekoveri mencapai 99.5% ± 0.6. Total kolesterol yang diperoleh adalah 0,326 mg/g pasta telur (Agulló dan Gelós 1996). Menurut Letter (1992), kandungan kolesterol dalam

Page 5: nomor 5 kolesterol

7

kuning telur kering adalah 1,50 mg/mL yang dianalisis menggunakan HPLC-ELSD. Berikut adalah hasil analisis kuning telur kering dengan menggunakan instrumen HPLC-ELSD (Gambar 3).

Gambar 3. Klasifikasi phospholipid dalam kuning telur kering dengan menggunakan HPLC - ELSD

(1. kolesterol, 2. fosfatidiletanolamin, 3. fosfatidilkolin dan 4. spingomielin). 2.3. Analisis Dengan Menggunakan HPLC – ELSD

HPLC adalah instrumen yang sering digunakan untuk mengindentifikasi komponen pangan.

Komponen yang diidentifikasi dengan HPLC harus larut dalam pelarut yang juga berperan sebagai fase gerak. Dengan adanya interaksi komponen dengan fase diam menyebabkan komponen akan keluar dengan waktu retensi yang berbeda. Komponen standar dari HPLC adalah gradien controller, pompa/sistem dampning, sampel introduction, column/precolumn, detektor, dan data hasil (Gambar 4.).

Gambar 4. Komponen standar HPLC.

a b c

d

f

e

Keterangan: a = pengontrol laju fase gerak d = kolom b = pompa e = detektor c = sempel injektor f = data output

Page 6: nomor 5 kolesterol

8

Terdapat berbagai jenis detektor yang dapat digunakan pada instrumen HPLC seperti UV-VIS, RI, dan ELSD. Detektor UV-Vis memiliki sensitivitas yang bagus, dan juga paling seletid terhadap gugus-gugus dan struktur-struktur yang tidak jenuh. Detektor RI merupakan detektor yang bersifat universal setelah detektor UV-VIS, memiliki tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari detektor UV-VIS, dan dangat sensitif terhadap perubahan suhu sekitar. Detektor RI tidak dapat digunakan pada elusi bergradien. Menurut Megoulas dan Koupparis (2005), HPLC-ELSD adalah suatu detektor universal, yang mempunyai tingkat selektivitas rendah dan dapat digunakan untuk menganalisis sampel yang memiliki matrik kompleks.

HPLC-ELSD telah digunakan untuk mengklasifikasikan phospholipid pada konsentrasi 350µg/µL (Letter 1992). Penentuan kolesterol dianggap penting karena korelasi yang erat terhadap terjadinya penyakit jantung koroner. Metode analisis kolesterol sebelumnya sangat bergantung pada metode spektroskopi dan gravimetri. Metode spektrofotometer didasarkan pada pengukuran secara enzimatik dan digunakan untuk analisis kolesterol dalam darah, sehingga tidak cocok untuk diaplikasikan pada sampel makanan. Metode kromatografi lebih handal, selektif, dan akurat karena gangguan dari sterol lainnya dapat dihindari. Menurut Graeve dan Janssen (2009), diketahui bahwa HLPC-ELSD dengan kolom silika mampu memisahkan 16 kelas lipid.

Terdapat tiga tahapan proses dalam pengoperasian HPLC-ELSD yaitu Nebulization, Evaporation dan Detection (Megoulas, Koupparis 2005) (Gambar 5.). Tahap nebulization adalah ketika kolom eluen melalui sebuah jarum dan bercampur dengan gas nitrogen dan membentuk dispersi droplets. Tahap kedua adalah tahap evaporation, droplet melewati pemanas (driff tube) dimana fase bergeraknya terevaporasi. Tahap ketiga adalah tahap detection, partikel sampel melewati sebuah sell dan mengenai cahaya laser beam yang menyebar. Adanya deteksi cahaya tersebut akan memberikan sinyal.

Gambar 5. Tahapan proses HPLC-ELSD.

Penggunaan instrumen HPLC-ELSD diantaranya memiliki sensitivitas yang cukup baik

dibandingkan dengan HPLC-UV. Berikut ini adalah contoh perbandingan hasil pengukuran steroid pada konsenstrasi yang sama dengan menggunakan alat HPLC-UV dengan HPLC-ELSD (Gambar 6.) Hasil pada Gambar 6. menunjukkan tinggi masing-masing puncak pada HPLC-ELSD lebih besar dibandingkan tinggi puncak pada hasil HPLC-UV, selain itu signal per noise ratio pada HPLC-ELSD terlihat lebih besar daripada HPLC-UV. Menurut Cunha dan Oliveira (2006), menyatakan bahwa HLPC-ELSD memiliki respon yang tidak linier pada konsentrasi sampel yang sangat rendah ataupun sangat tinggi.

Page 7: nomor 5 kolesterol

9

Gambar 6. Perbandingan hasil pengukuran konsentrasi steroid dengan menggunakan HPLC-UV

dan HPLC-ELSD. Kondisi pengujian pada Gambar 6. dapat dilihat pada Tabel 6. berikut. Tabel 6. Kondisi pengujian kalasifikasi steroid menggunakan HPLC-UV dan HPLC-ELSD.

Kondisi Instrumen

HPLC-UV HPLC-ELSD Kolom ProntoSIL 120-3-C18 H ProntoSIL 120-3-C18 H

Eluent MeOH MeOH

Laju Alir 0,65 0,65

Detektor UV (200 nm) ELSD (PMT gain, T = 40 ºC)

Suhu 30 ºC 30 ºC

Jumlah larutan yang di injeksikan 5 µL 5 µL

Konsentrasi masing – masing 70 ppm 70 ppm Sumber : anonim (2011).

Menurut Letter (1992), HPLC-ELSD juga mampu mengidentifikasi jenis-jenis sterol dengan

jelas pada konsentrasi 350 µg/µL. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7 berikut. Kolesterol muncul di peak no 1 dengan waktu retensi kurang dari 2 menit.

Keterangan Sampel: 1: hydrocortisone 2: progesterone 3: cholecalciferol 4: ergocalciferol 5: ergosterol 6: kolesterol

Page 8: nomor 5 kolesterol

10

Gambar 7. Kromatogram dari 6 klasifikasi phospholipid standar yang di injeksikan kedalam

HPLC-ELSD (1. kolesterol, 2. fosfatidiletanolamin, 3. fosfatidilserin, 4. fosfatidilkolin dan 5. spingomielin) yang masing-masing sebanyak 350µg/µL.

2.4. Validasi Metode Analisis

Validasi metode menurut JECFA (2006), direkomendasikan untuk memastikan bahwa suatu

metode dapat menghasilkan data yang akurat dan dapat dipercaya. Validasi dipergunakan untuk metode analisa yang baru dibuat dan dikembangkan. Selain itu, validasi metode dilakukan jika terjadi perubahan kondisi antara kondisi analisis dan kondisi pada saat validasi metode terdahulu, atau terjadi perubahan metode dari metode standar. Beberapa manfaat validasi metode analisis yaitu untuk mengevaluasi unjuk kerja suatu metode analisis, menjamin prosedur analisis, menjamin keakuratan dan kedapat ulangan hasil prosedur analisis, dan mengurangi resiko penyimpangan yang mungkin timbul.

Validasi metode dilakukan dengan cara melakukan Ketelitian (precision), akurasi (accuracy), batas deteksi atau limit of detection (LOD), batas kuantitatif atau limit of quantitation (LOQ), selektivitas (specificity), linieritas, ketangguhan (ruggedness), uji kekuatan (robustness) dan kesesuaian sistem (Gambar 8). Terdapat beberapa rujukan validasi metode seperti United State Pharmacopoeia (USP), British Pharmacopoeia (BP), Association of Official Analytical Chemistry (AOAC), International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) dan International Conference on Harmonizaton (ICH). Penelitian ini mengacu pada petunjuk validasi dari JECFA (2006), meliputi pengujian presisi, akurasi, LOD, batas penentuan (Limit Of Determination), linieritas, rekoveri, dan sensitifitas.

1

2

3 4 5

Page 9: nomor 5 kolesterol

11

Gambar 8. Metode validasi.

Uji ketelitian (presisi) digunakan untuk mengevaluasi tingkat kedekatan antara hasil tes

individu sampel tertentu sehingga diketahui kesalahan acak analisis (Harmita 2004). Uji ketelitian tidak berhubungan dengan nilai benar atau tidaknya nilai tersebut. Ukuran ketelitian biasanya dinyatakan dalam ketidaktepatan dan dihitung sebagai RSD dari hasil uji. Uji ketelitian dapat berupa uji keterulangan (ripitabilitas) dan ketertiruan (reprodusibilitas).

Uji ripitabilitas adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi yang sama dan dalam interval waktu yang pendek (Harmita 2004). Ripitabilitas dilakukan dengan menggunakan sampel yang identik dari batch yang sama, sehingga dapat memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Persen ripitabilitas yang dapat diterima, dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Keterimaan persen RSD untuk uji ripitabilitas.

Analat (%) Unit RSD (%) 100 100 % 1,3 10 10 % 2,8 1 1 % 2,7

0,1 0,10 % 3,7 0,01 100 ppm 5,3

0,001 10 ppm 7,3 0,0001 1 ppm 11

0,00001 100 ppb 15 0,000001 10 ppb 21

0,0000001 1 ppb 30 0,00000001 0,1 ppb 43

Sumber: AOAC (1993). Reprodusibilitas adalah keseksamaan metode yang dikerjakan pada kondisi berbeda. Analisis

dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik serta

Metode validasi

Ketelitian

Akurasi

Batas deteksi

Batas Kuantitatif

Selektivitas

Linieritas

Ketangguhan

Uji kekuatan

Kesesuaian Sistem

Page 10: nomor 5 kolesterol

12

dari batch yang sama. Reprodusibilitas dapat juga dilakukan dalam laboratorium yang sama dengan menggunakan peralatan, pereaksi, dan analis yang berbeda. Percobaan ketelitian dilakukan terhadap paling sedikit tujuh replika sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen (AOAC 1993).

Akurasi adalah kemampuan suatu alat ukur untuk memberikan respon yang dekat dengan nilai sebenarnya (Harmita 2004). Akurasi juga dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (rekoveri) analit yang ditambahkan. Akurasi dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode adisi (standard addition method).

Metode simulasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam plasebo (semua campuran reagent yang digunakan minus analit), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar standar yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo, maka dapat dipakai metode adisi. Dalam metode adisi, sampel dianalisis untuk diketahui komposisi awal analitnya, kemudian sampel ditambahkan sejumlah tertentu standar dan dianalisis kembali. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang ditambahkan).

Hasil uji rekoveri dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya, sehingga akan diketahui nilai analisis error sistematisnya. Analisis dilakukan pada kondisi yang sama antara sampel dan sampel yang ditambahkan standar. Kesalahan sistematis adalah sama dengan minus kesalahan acak dan penyebab dari kesalahan ini tidaklah diketahui. Persen rekoveri yang dapat diterima dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Keterimaan persen rekoveri.

Analat (%) Unit Rata-Rata Rekoveri (%) 100 100 % 98 – 102 10 10 % 98 – 102 1 1 % 97 – 103

0,1 0,10 % 95 – 105 0,01 100 ppm 90 – 107

0,001 10 ppm 80 – 110 0,0001 1 ppm 80 – 110

0,00001 100 ppb 80 – 110 0,000001 10 ppb 60 – 150 0,0000001 1 ppb 40 – 120

Sumber: AOAC (1993). Uji Limit of Detection (LOD) merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat

dideteksi dan memberikan respon yang signifikan oleh alat (Harmita 2004), tetapi konsentrasi tersebut belum tentu dimiliki oleh sampel yang diujikan. Menurut AOAC (1993), LOD disebut juga Instrument Detection Limit (IDL) atau Limit Deteksi Instrumen (LDI). Pengujian LDI dilakukan dengan 7 kali ulangan, kemudian dihitung standar deviasinya. LDI, dinyatakan oleh persamaan:

Keterangan: LDI = Limit Deteksi Instrumen x = rata-rata hasil pembacaan blanko sampel SD = standar deviasi

Page 11: nomor 5 kolesterol

13

Uji Limit of Quantitation (LOQ) menurut Harmita (2004) adalah kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria akurat dan presisi. Harmita (2004) menyatakan bahwa prinsip uji LOQ pada metode yang menggunakan instrumen dilakukan dengan membuat sederet blanko contoh sebanyak 7 – 10 kali ulangan. LOQ dinyatakan oleh persamaan:

Keterangan: LOQ = Limit of Quantitation SD = standar deviasi

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu secara akurat dan presisi walaupun terdapat komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel (Harmita 2004). Selektivitas dinyatakan sebagai derajat penyimpangan metode terhadap sampel yang mengandung cemaran seperti hasil urai atau senyawa sejenis atau senyawa asing lainnya, kemudian dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung cemaran.

Selektivitas metode ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, atau senyawa asing lainnya. Uji selektivitas dapat pula ditunjukkan dengan cara menganalisis sampel yang mengandung cemaran atau hasil uji urai dengan metode yang hendak digunakan lalu dibandingkan dengan metode lain untuk pengujian kemurnian. Derajat kesesuaian kedua hasil analisis tersebut merupakan ukuran selektivita

Linieritas mendefinisikan kemampuan metode untuk mendapatkan hasil uji proporsi dengan konsentrasi analit. Batas linier merupakan kisaran konsentrasi analit dimana metode yang memberikan hasil tes proporsional terhadap konsentrasi analit dan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linieritas yang dapat diterima. Jika terdapat hubungan yang linear, hasil uji harus dievaluasi lebih lanjut secara statistik dengan perhitungan garis regresi. Dalam penentuan linieritas, direkomendasikan untuk menggunakan minimum lima konsentrasi (EMA 1995).

Perlakuan matematik dalam pengujian linieritas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50 – 150% kadar analit dalam sampel. Linieritas yang baik adalah R2 lebih dari 0,99 (EMA 1995).

Ketangguhan metode (ruggedness) adalah derajat ketertiruan hasil uji yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, analisis, instrumen, bahan pereaksi, suhu, dan hari yang berbeda. Ketangguhan biasanya dinyatakan sebagai tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Ketangguhan metode merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara laboraturium dan antar analis.

Uji kekuatan (Robustness) dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari perubahan metodologi yang kecil yang terjadi terus menerus. Uji kekuatan juga berfungsi untuk mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi. Identifikasi sekurang-kurangnya 3 faktor analisis yang dapat mempengaruhi hasil bila diganti atau diubah.