nilai-nilai pendidikan islam dalam ghazwah ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4379/1/nur...
TRANSCRIPT
i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM GHAZWAH
RASULULLAH SAW
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
NUR WAKHID AL GHUFRON
NIM. 12114004
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ii
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Telp. (0298) 6031364 Salatiga 50716
Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: [email protected]
iv
v
vi
MOTTO
ىهم فسقة كل مه وفس فلىل كافة ليىفسوا ٱلمؤمىىن كان وما فى ليتفقهىا طائفة م
يه يحرزون لعلهم إليهم زجعىا إذا قىمهم وليىرزوا ٱلد
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
(At-Taubah (9): 122).
vii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,
karya skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ibunda Siti Nihayah dan adik tersayang Luvilla Salsabilla Nurunnisa,
yang selalu ada, berdoa dan terus memberikan dukungan.
2. Keluarga tercinta Pak Khadik Ubaidillah, Bulek Nurul Chasanah. Adik-
adik tersayang, dek Naila Fathin Zuhrotun Niswah, dek Kayyisa Elma
Mazeya, yang terus memberikan dorongan dan motivasi.
3. Bapak ibu guru dan bapak ibu dosen yang telah membuka cakrawala
keilmuan. Khususnya para Kyai yang telah mengajarkan arti kehidupan.
4. Sahabat-sahabat yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
5. Keluarga Besar PAI 2014, teman-teman PPL SMP Muhammadiyah
Suruh, teman-teman KKN desa Klewor yang saling berbagi motivasi
dalam menempuh gelar sarjana ini.
viii
KATA PENGANTAR
الرحي ممهللاالرح نبس Alhamdulillahirobbil„alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kekuatan, petunjuk, dan
perlindungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah Rasulullah. Shalawat serta
salam tak lupa penulis haturkan kepada nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan
para sahabatnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan di dalamnya. Selain itu, penulis juga
banyak memperoleh bantuan, bimbingan, pengarahan, dan motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis
mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Dekan FTIK IAIN Salatiga, Bapak Suwardi, M.Pd.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga, sekaligus
Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis selama menempuh studi di IAIN Salatiga.
4. Bapak Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan dan meluangkan waktunya untuk
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan. Serta seluruh karyawan IAIN Salatiga yang telah
membantu seluruh proses akademik selama kuliah.
6. Semua pihak yang terlibat dan dengan ikhlas memberikan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa berdoa
kepada Allah SWT, semoga amal kebaikan yang tercurahkan diridhoi oleh Allah
SWT dengan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
ix
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca. Dengan keterbatasan dan kemampuan, skripsi
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
x
ABSTRAK
Al Ghufron, Nur Wakhid. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag.
Kata kunci: nilai, pendidikan Islam, ghazwah.
Tujuan penelitian dala skripsi ini ada tiga hal, yaitu : (1) Bagaimana sejarah
terjadinya ghazwah Rasulullah?, (2) Apa nilai-nilai pendidikan Islam yang
terkandung dalam ghazwah Rasulullah?, (3) Bagaimana relevansi nilai-nilai
pendidikan Islam dalam ghazwah Rasulullah dengan pendidikan Islam saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan
metode library research. Karena penelitian di sini adalah kajian pustaka atau
literer, maka penulis dalam mengkaji nilai-nilai pendidikan Islam dalam ghazwah
Rasulullah dengan menggunakan buku-buku sirah nabawiyah maupun buku-buku
tentang sejarah Islam yang menyangkut kehidupan Rasulullah.
Hasil temuan dari penelitian ghazwah Rasulullah menunjukkan bahwa: (1)
Di antara sebab terjadinya ghazwah Rasulullah adalah, (a) untuk menunjukkan
eksistensi kekuasaan kaum muslimin di Madinah, (b) mempertahankan diri dari
serangan pihak musuh, (c) memberikan pelajaran bagi mereka yang berkhianat dan,
(d) memberikan pelajaran bagi mereka yang ingin mengganggu stabilitas
keamanan. (2) Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ghazwah
Rasulullah adalah: (a) Nilai i‟tiqodiyah, (b) Nilai amaliah, (c) Nilai khuluqiyah.
Nilai i‟tiqodiyah dalam ghazwah Rasulullah meliputi iman kepada Allah, iman
kepada Malaikat, iman kepada Kitab, iman kepada Rasul, dan iman kepada Hari
akhir. Nilai amaliah meliputi shalat, sedekah, doa, jihad, dan qishas. Nilai
khuluqiyah meliputi takwa, sabar, disiplin, keteladanan, berbuat baik, menepati
janji, menghargai pendapat, mudah memaafkan, dan menjaga lingkungan. (3) Nilai-
nilai pendidikan Islam dalam ghazwah Rasulullah memiliki relevansi terhadap
pendidikan Islam saat ini. (a) Nilai i‟tiqodiyah relevan dengan pendidikan Islam
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam pada materi akidah. (b) Nilai amaliah
relevan dengan pendidikan Islam dalam pembelajaran pendidikan agama Islam
pada materi fiqh. (c) Nilai khuluqiyah relevan dengan pendidikan Islam dalam
pembelajaran pendidikan agama Islam pada materi akidah akhlak dan tasawuf.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... iv
DEKLARASI ........................................................................................................ v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN. ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR... ....................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 6
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 7
E. Kajian Pustaka .................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ............................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
xii
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Nilai .................................................................................. 16
B. Pengertian Pendidikan Islam .............................................................. 16
C. Sumber Pendidikan Islam................................................................... 22
D. Tujuan Pendidikan Islam .................................................................... 26
E. Nilai-Nilai Pendidikan Islam .............................................................. 28
BAB III DESKRIPSI GHAZWAH RASULULLAH
A. Izin Berperang .................................................................................... 30
B. Ghazwah Rasulullah ........................................................................... 31
1. Perang Waddan .............................................................................. 32
2. Perang Buwath............................................................................... 33
3. Perang Usyairah............................................................................. 33
4. Perang Badar Awal ........................................................................ 34
5. Perang Qarqaratul Kadar ............................................................... 34
6. Perang Badar Kubra ...................................................................... 34
7. Perang Bani Qainuqa‟.................................................................... 37
8. Perang Sawiq ................................................................................. 37
9. Perang Ghatafan ............................................................................ 38
10. Perang Burhan .............................................................................. 39
11. Perang Uhud ................................................................................. 40
12. Perang Hamraul Asad ................................................................... 42
13. Perang Bani Nadzir....................................................................... 43
14. Perang Dzatu Riqo‟ ....................................................................... 43
15. Perang Badar Akhir ...................................................................... 44
16. Perang Dumatul Jandal ................................................................. 45
17. Perang Bani Musthaliq ................................................................. 46
18. Perang Khandaq............................................................................ 47
19. Perang Bani Quraidlah ................................................................. 50
20. Perang Bani Lahyan ..................................................................... 51
xiii
21. Perang Ghabah.............................................................................. 52
22. Perang Khaibar ............................................................................. 52
23. Perang Mu‟tah .............................................................................. 53
24. Penaklukan Makkah ..................................................................... 45
25. Perang Hunain .............................................................................. 56
26. Perang Thaif ................................................................................. 57
27. Perang Tabuk ................................................................................ 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah Rasulullah .......................... 62
1. Nilai I‟tiqodiyah ............................................................................ 62
2. Nilai Amaliah ................................................................................ 67
3. Nilai Khuluqiyah ........................................................................... 71
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah Rasulullah
Terhadap Pendidikan Islam ............................................................... 75
1. Relevansi Nilai I‟tiqodiyah ............................................................ 76
2. Relevansi Nilai Amaliah................................................................ 76
3. Relevansi Nilai Khuluqiyah .......................................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 79
B. Saran ................................................................................................... 80
C. Daftar Pustaka .................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan
pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Tujuan akhir dari proses
pendidikan Islam adalah terbentuknya Insan Kamil, yaitu manusia yang dapat
menyelaraskan kebutuhan jasmani-ruhani, struktur kehidupan dunia-akhirat,
keseimbangan pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba-khalifah Allah dan
keseimbangan pelaksanaan trilogi hubungan manusia (Umar, 2011: 29-30).
Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad saw merupakan masa
pembinaan. Proses penyampaian seruan agama dengan berdakwah,
menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan berbuat,
memberi motivasi, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung
pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim merupakan bentuk dari
pendidikan (Daradjat, 2011: 27).
Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad telah berhasil memerankan
berbagai peran yang berbeda dalam kehidupan. Ia tidak hanya seorang Nabi,
melainkan juga sebagai kepala negara, pendidik, panglima perang, ahli
strategi, dll. Maka banyak peneliti yang kemudian tertarik mengkaji Sejarah
hidup Nabi Muhammad melalui berbagai sudut pandang yang berbeda.
2
Michael H. Hart dalam bukunya, “100 orang paling berpengaruh di
Dunia”, menilai Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang
sejarah manusia. Menurutnya, Muhammad adalah satu-satunya orang yang
berhasil meraih keberhasilan luar biasa, baik dalam hal spiritual maupun
kemasyarakatan. Muhammad tidak hanya pemimpin religius, tetapi juga
seorang pemimpin politik. Bahkan, sebagai kekuatan di balik penaklukan-
penaklukan Arab, dia mungkin merupakan pemimpin politik paling
berpengaruh sepanjang sejarah (Hart, 2017: 9-11).
Pribadi Rasulullah sebagai uswatun hasanah tak pernah lekang
menjadi sorotan dunia. Karena itu, beragam tulisan tentang Rasulullah terus
bermunculan, baik buku-buku sirah nabawiyah, tarikh, dan penelitian-
penelitian ilmiah tentang sejarah kehidupan beliau.
Sirah Rasulullah tidak pernah lekang dan lapuk untuk menjadi bahan
baku sejarah yang diambil manfaatnya oleh para generasi pewaris nubuwah
sebagai bekal perjalanan dan penopang eksistensinya. Bagi siapapun yang
mempelajari Sirah Rasulullah, akan memperoleh gambaran sejarah yang amat
menakjubkan, bagaimana beliau dan para sahabatnya mampu menundukkan
pesona duniawi dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan hingga ke suatu
tingkatan yang tidak pernah disaksikan oleh lembaga sejarah dimanapun
berada (Mubarakfuri, 2014: vii). Beragam peristiwa yang dilalui Nabi
Muhammad mengandung hikmah dan pelajaran berharga. Khususnya
perjalanan dakwah yang dihiasi berbagai tantangan, mulai dari pemboikotan
hingga pada percobaan pembunuhan.
3
Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri membagi masa dakwah
Rasulullah menjadi dua periode. “Periode Makkah berjalan kurang lebih 13
tahun, dan periode Madinah berjalan selama 10 tahun penuh”. Periode
Makkah merupakan masa-masa sulit yang dihadapi oleh Rasulullah dan umat
Islam. Jumlah umat Islam yang masih sedikit, terus menerus mendapat
tekanan dan siksaan dari kafir Quraisy. Hingga akhirnya datanglah perintah
untuk Hijrah dari Makkah menuju Madinah (Al Mubarakfuri, 2014: 72).
Tidak lama setelah Rasulullah tinggal di madinah, mulai terjadi
peperangan-peperangan antara beliau dan kaum Quraisy serta para
pendukungnya dari kabilah-kabilah Arab (As-Siba‟i, 2013: 86). Tercatat
kurang lebih 74 kali terjadi peperangan di masa Rasulullah. Para sejarawan
muslim membagi peperangan pada masa Rasulullah menjadi dua, yaitu
Ghazwah dan Sariyyah. Ghazwah adalah setiap peperangan yang diikuti
Nabi, kurang lebih tercatat 27 kali. Sedangkan Sariyyah adalah peperangan
kecil yang tidak diikuti Nabi, Tercatat kurang lebih terjadi 47 kali sariyyah
(Abdul Jabar, tt: 9).
Peperangan merupakan salah satu dari serangkaian kisah perjalanan
dakwah Rasulullah. Peperangan yang selalu identik dengan kekerasan dan
beragam hal negatif lainnya, sungguh berbeda dengan peperangan dalam
Islam. Al Hasyimi menyatakan bahwa perang merupakan jalan akhir yang
ditempuh tatkala gagal mencapai kesepakatan damai. Islam menyerukan
untuk mengambil langkah peperangan berdasarkan sebab-sebab tertentu.
Seperti jika ada sekelompok dari kaum muslimin yang dizalimi, maka mereka
4
wajib untuk membela diri dan memerangi kezaliman (Al Hasyimi, 2009:
444). Syaikh Ramadhan Al Buthi menjelaskan keluarnya izin perang
mempertahankan diri, sebagai upaya seluruh penduduk Madinah menjaga
negara. Sudah barang tentu ini tidak saja khusus sahabat Muhajirin, tapi
menyeluruh termasuk sahabat Anshar. Negara terdiri dari tiga unsur, tanah
atau wilayah tetitorial, rakyat atau umat, dan sistem kekuasaan yang
mengejawantahkan entitas umat dan mengokohkan hubungannya dengan
tanah air. Saat Muhajirin dan Anshar menyatu dalam entitas warga negara
Madinah maka itu berarti telah lahir negara Madinah. Izin dari Allah untuk
melakukan perang adalah dalam rangka mempertahankan tiga unsur yang
merupakan elemen-elemen sebuah negara (Maimun, 2015: 16).
Perang Nabi adalah perang bermoral dan terjadi karena sebab-sebab
yang rasional secara hukum serta untuk tujuan agung. Islam tidak pernah
memaksa penganut agama samawi yang lain untuk mengubah keyakinannya.
Abu Bakar secara indah merangkum ujaran Islam tentang perang sewaktu
berpesan kepada tentara Usamah bin Zaid yang hendak ke Suriah.
“sebentar! Aku ingin berpesan kepada kalian sepuluh hal.
Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah. Jangan
berkhianat, melanggar janji, dan memotong-motong tubuh mayat.
Jangan membunuh anak kecil, orang lanjut usia, dan perempuan.
Jangan menebang pohon serta merusak dan membakar pohon kurma.
Jangan menyembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian
akan melewati suatu kaum yang menyepi di biara-biara, biarkan
mereka. Perangilah orang yang memerangi kalian dan berdamailah
dengan orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampaui batas
karena Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas (Abazhah,
2014: 328-329).
5
Tak satupun bangsa di dunia ini yang menandingi Islam dalam
menyeru perdamaian. Perang Nabi adalah untuk mewujudkan keadilan dan
menegakkan perdamaian. Jika banyak orang dari para komandan perang dan
pasukan perang tidak lagi mempedulikan apapun ditengah kecamuk
pertempuran kecuali ambisi untuk menteror musuh dan menghancurkannya.
Bahkan mereka yang tidak ikut berperangpun terkena akibatnya. Berbeda
dengan Islam yang berpesan agar tidak memerangi kecuali orang yang ikut
berperang dan memperingatkan dari berbuat khianat atau kelicikan, melarang
mencincang mayat, menebang pepohonan, menghancurkan bangunan,
melarang membunuh wanita, anak-anak, orang-orang tua, para pendeta yang
beribadah dan para petani yang bercocok tanam (Qaradhawi, 2013: 117).
Nizhar Abazhah menyebutkan, ada tiga alasan Nabi berperang.
Pertama, melayani serangan musuh, seperti yang terjadi pada perang Badar,
Uhud, dan Khandaq. Nabi meladeni perang-perang itu untuk
mempertahankan diri. Kedua, memberi pelajaran terhadap musuh yang
mencari masalah atau bersekongkol mengganggu kaum muslim meskipun
sudah ada nota perjanjian atau kerja sama. Seperti diunjukkan melalui Perang
Bani Quraizah, Khaibar, Mu‟tah, dan sejumlah penggerebekan terhadap kaum
badui yang berencana menyerang kaum muslim atau yang tidak berkomitmen
menjaga perjanjian dan perlindungan yang diberikan Nabi kepada mereka.
Semua itu merupakan perang penertiban atau penghukuman.
Ketiga,menggagalkan rencana musuh yang mengancam kaum muslim,
seperti Perang Tabuk dan sejumlah ekspedisi detasemen yang dikirim Nabi
6
untuk mencegah suku-suku mempersiapkan penyerangan terhadap kaum
muslim di Madinah (Abazhah, 2011: 271-272). Oleh karena Rasulullah
datang membawa misi kebenaran. Maka kemenangan pasti selalu berpihak
padanya. Misi kerasulan beliau pastilah bersifat universal yang mengandung
segala aspek kebaikan dalam kehidupan manusia sehingga tidak satupun
diantara nilai-nilai kebaikan yang tidak terangkut dalam misi kerasulannya,
sebab beliau datang ke dunia ini sebagai Rasul terakhir (Al Sya‟rawi, 2011:
197).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut tentang “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM
GHAZWAH RASULULLAH SAW”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah terjadinya Ghazwah Rasulullah?
2. Apa nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Ghazwah
Rasulullah?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah dengan Pendidikan Islam saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang
ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui sejarah terjadinya Ghazwah Rasulullah.
7
2. Mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam
Ghazwah Rasulullah.
3. Mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah dengan Pendidikan Islam saat ini.
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat mendiskripsikan konsep nilai pendidikan Islam dalam
Ghazwah Rasulullah serta relevansinya dengan pendidikan Islam saat
ini.
b. Dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan pengetahuan dalam
pembelajaran pendidikan Agama Islam khususnya sejarah Islam,
mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam
Ghazwah Rasulullah.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis, diharapkan dapat mempermudah dalam memahami
pesan-pesan berupa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
b. Bagi pembaca, diharapkan menjadi tambahan informasi serta
motivasi dalam mendalami serta menggali nilai-nilai yang terdapat di
dalam kehidupan Rasulullah.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
kemajuan dalam dunia pendidikan Islam dengan menggali nilai-nilai
8
pendidikan Islam dalam ghazwah Rasulullah, serta mengetahui
relevansinya dengan pendidikan Islam saat ini.
E. Kajian Pustaka
1. Penelitian terdahulu
Setelah dilakukan penelusuran terkait tema yang akan diteliti,
penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini, antara lain:
a. Skripsi yang ditulis oleh Anang Umar, Progam Studi Pendidikan
Agama Islam STAIN Ponorogo tahun 2015 yang berjudul Nilai-nilai
Keteladanan Nabi Muhammad Pada Perang Badar al-Kubra dan
Relevansinya dengan Kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam.
Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa nilai keteladanan Nabi
Muhammad dalam perang Badar meliputi; nilai kepribadian, nilai
sosial, nilai kecerdasan, nilai motivasi, nilai memahami orang lain dan
nilai ketegasan. Sedangkan relevansinya dengan kompetensi
pendidikan dalam pendidikan Islam adalah; nilai kepribadian relevan
dengan kompetensi kepribadian-religius, nilai sosial relevan dengan
kompetensi sosial-religius, nilai kecerdasan relevan dengan
kompetensi profesional-religius, nilai motivasi, nilai memahami orang
lain dan nilai ketegasan relevan dengan kompetensi pedagogik-
religius. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang
akan penulis teliti. Penelitian ini menggali nilai keteladanan
sedangkan penulis menggali nilai pendidikan Islam. Penelitian ini
9
fokus dalam salah satu perang Rasulullah, yakni perang badar
sedangkan penulis meneliti secara umum seluruh ghazwah Rasulullah.
b. Skripsi yang ditulis oleh Inas Nur Kosmeini, Progam studi Pendidikan
Agama Islam STAIN Purwokerto tahun 2015 dengan judul, Nilai-nilai
pendidikan Akhlak Dalam Sirah Nabawiyah Pada Kitab Ar-Rahiq Al
Makhtum Karya Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa nilai pendidikan akhlak
dalam kitab tersebut di antaranya; nilai pendidikan akhlak terhadap
Allah (beriman dan ikhlas), nilai pendidikan akhlak terhadap sesama
manusia (adil, sabar, dermawan, dan pemaaf), serta nilai pendidikan
akhlak terhadap lingkungan (memelihara serta merawat semua ciptaan
Allah dengan baik). Penelitian ini memiliki perbedaan dengan
penelitian yang akan penulis teliti. Penelitian ini menggali nilai
pendidikan akhlak sedangkan penulis menggali nilai pendidikan
Islam. Penelitian ini fokus menggali nilai pendidikan akhlak dalam
kitab Ar-Rahiq Al Makhtum, sedangkan penulis meneliti nilai
pendidikan Islam dalam ghazwah Rasulullah melalui beberapa kitab
sirah.
Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa penelitian
yang dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan dengan beberapa
penelitian terdahulu.
10
2. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori tentang
nilai. Menurut Milto Roceach dan James Bank dalam Lubis (2011: 16),
nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup
sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari
suatu tindakan, atau mengenai suatu tindakan yang pantas atau tidak
pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai.
Pendidikan Islam adalah sistem pengajaran yang didasarkan pada
ajaran agama Islam dengan Al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai sumbernya
(Umar, 2010: 33). Umar menyebutkan bahwa nilai-nilai pendidikan Islam
sebagaimana dalam Al-Qur‟an terdiri dari tiga pilar utama, yaitu:
Pertama, I‟tiqodiyyah, yang berkaitan dengan nilai pendidikan keimanan
atau aqidah. Kedua, Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan nilai pendidikan
etika atau akhlak. Ketiga, Amaliyyah, yang berkaitan dengan nilai
pendidikkan ibadah (Umar, 2010: 77).
Sedangkan objek penelitian yang akan dikaji adalah Ghazwah
Rasulullah. Ghazwah secara bahasa berasal dari kata ghaza-yaghzu-
ghazwan jamaknya ghazawatun memiliki arti pergi berperang, dan
peperangan (Al Habsyi, 1991: 284). Sedangkan secara istilah Ghazwah
adalah peperangan-peperangan yang diikuti oleh Rasulullah (Abdul
Jabbar, tt: 9). Tercatat ada 27 kali peperangan yang diikuti Rasulullah, di
antaranya: perang Waddan- perang Buwath- perang „Usyairah- perang
Badar Awal- perang Qarqaratul Kadar- perang Badar Kubro- perang Bani
11
Qainuqa‟- perang Sawiq- perang Ghatafan- perang Bahran- perang Uhud-
perang Hamraul Asad- perang Bani Nadzir- perang Dzatu Riqo‟- perang
Badar Akhir- perang Dumatul Jandal- perang Banu Musthaliq- perang
Khandaq- perang Bani Quraidlah- perang Bani Lahyan- perang Ghabah-
Perang Khaibar- perang Mu‟tah- penaklukan Makkah- perang Hunain-
Perang Thaif- perang Tabuk.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Zed
(2008: 3) mengartikan penelitian kepustakaan (library research) adalah
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mengolah bahan penelitian. Fathoni (2006: 95-96)
menambahkan bahwa penelitian pustaka dilakukan di ruang perpustakaan
untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari
perpustakaan, baik berupa buku-buku, periodikal-periodikal, seperti
majalah ilmiah, dokumen, dan materi perpustakaan lainnya yang dapat
dijadikan sumber rujukan dalam menyususn suatu laporan ilmiah.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, karena menekankan analisis pada proses penyimpulan deduktif
dan induktif dengan menggunakan logika ilmiah. Penelitian ini
menghasilkan data yang berupa data deskriptif. Pendekatan ini
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga mudah
dipahami (Anwar, 2006: 6).
12
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
metode dokumentasi, yaitu teknik untuk memperoleh informasi dari
dokumen. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu
yang dinyatakan dalam bentuk tulisan maupun lisan (Satori, 2013: 148).
Penulis melakukan pengumpulan data dengan mencari data
mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274)
dalam hal ini penulis mengkaji dan menganalisis Ghazwah atau
peperangan-peperangan yang diikuti Rasulullah.
3. Sumber data
Sumber data pada penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan
sekunder.
a. Sumber primer, adalah sumber yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti. Sumber primer penelitian ini antara lain:
1) Drs. Bukhari Umar, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam, 2011, Jakarta:
Amzah.
2) Umar Abdul Jabbar, Khulasoh Nurul Yaqin juz 2, tt, Surabaya:
Pustaka Ahmad Nabhan.
3) Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah,
terjemahan oleh Kathur Suhardi, 2014, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
13
4) Dr. Nizhar Abazhah, Perang Muhammad: kisah perjuangan dan
pertempuran, terjemahan oleh Asy‟ari Khatib, 2011, Jakarta:
Zaman.
5) Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Peperangan Rasulullah,
terjemahan oleh Arbi, Nila Noer Fajariyah, 2017, Jakarta: Ummul
Qura.
b. Sumber sekunder, data yang diperoleh untuki pendukung dan
memperjelas sumber primer, diantaranya:
1) Prof. H.M. Arifin, M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
2014, Jakarta: PT Bumi Aksara.
2) Abdul Mun‟im al Hasyimi, Akhlak Rasul menurut Bukhari dan
Muslim, terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, 2009, Jakarta:
Gema Insani.
3) Michael H Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia,
terjemahan oleh Ken Ndaru dan M Nurul Islam, 2017, Jakarta:
Penerbit Noura.
Serta Karya Ilmiah lain berupa buku-buku, jurnal penelitian
dan lainnya, yang relevan dengan tema penelitian ini.
4. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah, penulis menggunakan pendekatan Content Analysis atau
metode kajian isi. Holsti dalam Moleong (2009: 220) mendefinisikan
14
bahwa Content Analysis atau kajian isi adalah teknik apapun yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan, dilakukan secara objektif dan sistematis.
Dalam melakukan Content Analysis ini, metode yang penulis
gunakan adalah metode deskriptif. Metode ini terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu: pengumpulan data sekaligus reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan (Arifin, 2011: 177-173).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka disusun
sistematika penelitian. Skripsi ini terdiri dari lima bab dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, bab ini akan menguraikan: Latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian Teori, bab ini akan menguraikan tentang nilai-nilai
pendidikan Islam, meliputi: pengertian nilai, pengertian pendidikan Islam,
sumber-sumber pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, dan nilai-nilai
pendidikan Islam.
BAB III : Deskripsi Ghazwah Rasulullah, bab ini akan menguraikan
tentang peperangan yang diikuti Rasulullah (ghazwah), meliputi: Izin
berperang, latar belakang serta peristiwa yang terjadi dalam perang Waddan-
perang Buwath-perang „Usyairah- perang Badar Awal- perang Qarqaratul
Kadar- perang Badar Kubro- perang Bani Qainuqa‟- perang Sawiq- perang
15
Ghatafan- perang Bahran- perang Uhud- perang Hamraul Asad- perang Bani
Nadzir- perang Dzatu Riqo‟- perang Badar Akhir- perang Dumatul Jandal-
perang Banu Musthaliq- perang Khandaq- perang Bani Quraidlah- perang
Bani Lahyan- perang Ghabah- Perang Khaibar- perang Mu‟tah- penaklukan
Makkah- perang Hunain- perang Thaif- perang Tabuk.
BAB IV : Analisis Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah, bab ini meliputi: uraian tentang nilai pendidikan Islam yang
terkandung dalam Ghazwah Rasulullah, dan relevansi nilai pendidikan Islam
dalam Ghazwah Rasulullah dengan pendidikan Islam saat ini.
Bab V, merupakan penutup. Pada bab ini dikemukakan tentang
kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah, saran, dan kata penutup.
16
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Nilai
Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya,
menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai
bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang
menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan
tidak dikehendaki. Sedangkan menurut Chabib Thoha sendiri, nilai
merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sitem kepercayaan) yang telah
berhubungan dengan subjek yang memberi arti atau manusia yang meyakini
(Thoha, 1996: 61).
Nilai juga bisa diartikan sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan
paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga
prefensinya tercermin dalam perilaku, sikap dan perbuatannya (Maslikhah,
2009: 106). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan, bahwa nilai merupakan
sesuatu yang bersifat abstrak dan ideal yang melekat pada manusia yang
meyakininya, sehingga prefensinya tercermin pada perilaku, sikap dan
perbuatannya.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memaknai secara tepat arti dari pendidikan Islam, kita perlu
merujuk pada pengertian pendidikan Islam secara etimologis dan
terminologis.
17
1. Pengertian Pendidikan Islam Secara Etimologis
Bila kita melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka
kita harus melihat kepada bahasa Arab, karena ajaran Islam diturunkan
dalam bahasa tersebut (Daradjat, 2011: 25). Di antara beberapa istilah
yang digunakan untuk menunjuk pengertian pendidikan Islam diambil
dari Al-Qur‟an maupun hadist. Istilah yang biasanya digunakan dalam
menjelaskan makna pendidikan Islam mencakup tiga hal, yaitu; kata
tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib (Mujtahid, 2011: 2). Ketiga istilah inilah
yang digunakan untuk menjelaskan pengertian pendidikan secara
etimologis.
a. Tarbiyah
Abdurrahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Umar
(2011: 21-22) mengemukakan bahwa menurut kamus bahasa Arab,
lafal tarbiyah berasal dari tiga kata. Pertama, raba-yarbu yang berarti
bertambah dan tumbuh (Umar, 2011: 21). Makna ini dapat dilihat
dalam firman Allah:
د الل اه اىبس فل سب ع ف أ زبب ىسب ت ب آت ....
“Dan suatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar
dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah....” (QS. Ar-Rum (30): 39).
Dari situ maka dapat dikatakan, bahwa pendidikan merupakan
proses menumbuhkan dan mengembangkan segala potensi yang
dimiliki peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual
(Mujtahid, 2011: 3). Kedua, rabiya-yarba dengan wazan khafiya-
18
yakhfa, yang berarti menjadi besar. Pendidikan dimaksudkan untuk
menumbuhkan kedewasaan pola pikir, sikap, emosi serta tindakan
perbuatan peserta didik. Ketiga, rabba-yarubbu dengan wazan madda-
yamuddu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun,
menjaga, dan memelihara. Kata tarbiyah merupakan bentuk masdar
dari rabba-yurabbiy-tarbiyatan dengan wazan fa‟ala-yufa‟ilu-taf‟ilan.
Kata ini ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Isra‟ (17): 24:
ب زة .... ب ازح ب م صغسا زب
“....Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil”
(QS. Al-Isra‟ (17): 24).
Dari ketiga asal kata di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan
terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara
fitrah anak menjelang dewasa; kedua, mengembangkan seluruh
potensi dan kesiapan yang bermacam-macam; ketiga, mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi anak menuju kepada kebaikan dan
kesempurnaan yang layak baginya; keempat, proses ini dilaksanakan
secara bertahap (Umar, 2011: 23). Pendidikan dengan pemaknaan
seperti ini dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan
pendampingan kepada anak (peserta didik) menuju pengembangan
pribadi yang lebih baik.
b. Ta‟lim
Istilah lain dari pendidikan adalah ta‟lim, merupakan masdar
dari kata „allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau
19
penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Penunjukan
kata ta‟lim pada pengertian pendidikan sesuai dengan firman Allah:
عي بء آد ب الس مي ث لئنت عي عسض بئ فقبه اى بء أ بأس
ؤلء إ ت م صبدق
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-
benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-
nama benda itu jika kamu memang termasuk orang-orang
yang benar”. (QS. Al-Baqarah (1): 31).
Berdasarkan pengertian di atas, kata ta‟lim memiliki
pengertian yang sempit. Pengertian ta‟lim hanya sebatas proses
pentransferan seperangkat nilai yang disampaikan. Ia hanya terbatas
pada penguasaan nilai yang ditransfer secara afektif dan psikomotorik,
akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif (Mufron, 2015: 6).
Maka pengertian ta‟lim, lebih dekat pada penambahan wawasan
sebatas pengetahuan, menjadikan seseorang yang sebelumnya tidak
tahu menjadi tahu.
c. Ta‟dib
Kata ta‟dib mengacu pada pengetahuan („ilm), pengajaran
(ta‟lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Oelh karena itu, ta‟dib
dianggap merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk
menunjukkan pendidikan dalam Islam. Dari sini dapat dipahami
bahwa Naquib melihat ta‟dib sebagai sebuah sistem Islam yang di
dalamnya terdapat tiga sub sistem; pengetahuan, pengajaran, dan
pengasuhan (Mufron, 2015: 7). Dalam Al-Qur‟an, lafadz ta‟dib
20
memang tidak ditemukan, akan tetapi lafadz tersebut diambil dari
sebuah hadist Nabi:
ب تأد أدب زب فأحس
“Tuhanku telah mendidikku sehingga menjadi baik
pendidikanku"
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa ta‟dib adalah
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu
di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing
ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan
di dalam tatanan wujud dan keberadaannya (Umar, 2011: 26). Ketiga
kata bahasa Arab yang digunakan untuk memberikan pengertian
pendidikan secara etimologis tersebut, merupakan kata yang saling
berkaitan erat. Dari situ tersirat, bahwa pendidikan adalah sebuah
proses, yang diawali dengan pemberian pengetahuan (ta‟lim),
melakukan bimbingan dan pendampingan (tarbiyah), hingga pada
pembentukan karakter (ta‟dib) yang dilakukan secara terus-menerus
sehingga terwujud insan kamil.
2. Pengertian Pendidikan Islam secara Terminologis
Melalui perspektif dan pendekatan terminologis, konsep
pendidikan Islam digali dari pendapat para ahli dan pakar pendidikan.
Kata Islam yang menjadi imbuhan pada kata pendidikan menunjukkan
warna, model, bentuk, dan ciri bagi pendidikan, yaitu pendidikan
bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami (Mujtahid, 2011: 16).
21
Para ahli pendidikan Islam telah memformulasikan definisi
pendidikan Islam, di antaranya:
a. Al Syaibany yang dikutip oleh Ali Mufron mengemukakan, bahwa
pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu
peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat
(Mufron, 2015: 12).
b. Muhammad Fadhil Al Jamaly dikutip oleh Ali Mufron
mendefinisikan, pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan
nilai-nilai yang tinggi dan sempurna, baik yang berkaitan dengan akal,
perasaan, maupun perbuatan (Mufron, 2015: 12).
c. Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama atau insan kamil (Marimba, 1989: 19).
d. Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa pendidikan Islam sebagai
bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara
maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 1992: 32).
e. Achmadi mendefiniskan pendidikan Islam sebagai segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
22
insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia
seutuhnya sesuai dengan norma Islam (Achmadi, 1992: 14).
Dari beberapa pengertian para ahli pendidikan Islam di atas dapat
dikatakan, bahwa pendidikan Islam adalah proses dan upaya memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia baik jasmani maupun rohani,
melalui pengajaran dan bimbingan secara sadar oleh pendidik dengan
berlandaskan nilai-nilai Islam yang tinggi dan sempurna menuju
terbentuknya insan kamil.
C. Sumber Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan, dan tindakan yang disengaja untuk mencapai
suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak atau sumber yang
baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu usaha
membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan
semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan atau
sumber tersebut terdiri dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW
yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah mursalah, istihsan,
qiyas, dan sebagainya (Daradjat, 2011: 19).
1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan
oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. di dalamnya terkandung
ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an
terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah
23
keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amal
yang disebut syari‟ah (Daradjat, 2011: 19). Penetapan A-Qur‟an sebagai
dasar dan sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat-ayat
Al-Qur‟an itu sendiri, seperti firman Allah:
ب زىب ل أ إل اىنتبة عي ىتب اختيفا اىر ى د ف ت زح ىق
ؤ
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (Al-
Qur‟an) itu melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka perselisihan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman”. (QS An-Nahl (16): 64).
زىب متبة ل أ ببزك إى ىدبسا ىترمس آبت الىببة أى
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-
Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran”. (QS Sad (38): 29).
Para ulama dalam menetapkan Al-Qur‟an sebagai dasar pemikiran
untuk membina sistem pendidikan Islam, memberi penekanan-penekanan
tersendiri untuk memperkokoh landasannya. Moh Fadhil seperti yang
dikutip oleh Ali Mufron misalnya, menekankan bahwa pada hakikatnya
Al-Qur‟an itu merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan
manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya adalah kitab
pendidikan masyarakat, moril dan spriritual (Mufron, 2013: 14-15). Nilai
esensi dalam Al-Qur‟an selamanya abadi dan selalu relevan, tanpa ada
perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut
masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut
masalah teknik operasional. Pendidikan Islam ideal harus sepenuhnya
24
mengacu pada nilai dasar Al-Qur‟an tanpa sedikitpun menghindarinya,
karena Al-Qur‟an di antaranya memuat tentang sejarah pendidikan Islam
dan nilai-nilai normatif dalam pendidikan Islam (Umar, 2011: 33).
Meskipun zaman terus mengalami perubahan, nilai-nilai dalam Al-
Qur‟an akan tetap relevan. Kelengkapan serta kesempurnaan isi dan
nilai-nilai Al-Qur‟an menjadikannya sebagai sumber landasan utama
pendidikan Islam.
2. As-Sunnah
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan
Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan Rasulullah ialah
kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan
beliau membiarkan kejadian atau perbuatan tersebut berjalan. Sunnah
merupakan sumber ajaran kedua setelah A-Qur‟an. Seperti Al-Qur‟an,
Sunnah juga berisi aqidah dan syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk untuk
kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina
umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa (Daradjat,
2011: 21-22). Sunnah menjadi sumber utama dalam kehidupan sehari-
hari, termasuk juga dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada firman
Allah:
ىقد مب زسه ف ىن ة الل حست أس ى سج مب الل اى خس ا
ذمس مثسا الل
“sesungguhnya telah ada pada (diri)Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
25
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut nama Allah”. (QS Al-Ahzab (33): 21).
Kemudian dalam hadist, Rasulullah bersabda:
ست ب ب متبة الل ب سنت بت ا تضي ى س أ ن تسمت ف
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu
tidak akan tersesat berpegang padanya, yaitu kitab Allah (Al-
Qur‟an) dan Sunnah Rasulullah”.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Rasulullah sendiri menjadi
pendidik utama. Fenomena ini dapat dilihat dari praktek-praktek edukatif
Rasulullah itu sendiri. Pertama, beliau menggunakan rumah al Arqam
ibnu Abi al Arqam untuk mendidik dan mengajar. Kedua, beliau
memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, dan ketiga,
beliau mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam
(Mufron, 2013: 17). Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa Rasulullah
sangatlah memperhatikan masalah pendidikan. Sehingga setiap praktek
kehidupan yang beliau lakukan tidak lepas dari upaya memberikan
pendidikan.
3. Ijtihad
Ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al masyaqqah (yang
sulit) dan badzl al wus‟i wa ath-thaqah (pengerahan kesanggupan dan
kekuatan). Sa‟id At-Taftani yang dikutip oleh Bukhari Umar memberi
arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (membawa ke arah yang membutuhkan
kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk
memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya (Umar, 2011: 45).
26
Secara sederhana ijtihad dapat dipahami dengan sebuah proses berfikir
menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari‟at Islam
untuk menetapkan sesuatu hukum syari‟at Islam dalam hal-hal yang
ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur‟an dan Sunnah. Ijtihad
dalam hal ini dapat meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk bidang
pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur‟an dan Sunnah.
Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang
diatur oleh para mujtahid dan tidak boleh bertentangan dengan isi Al-
Qur‟an dan Sunnah. Karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu
sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah
Rasulullah wafat. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan
mendesak. Tidak saja di bidang materi atau isi, melainkan juga di bidang
sistem dalam artinya yang luas (Daradjat, 2011: 21). Perkembangan dan
perubahan zaman menuntut adanya pembaharuan dan inovasi dalam
bidang pendidikan. Karena itu, maka ijtihad dalam pendidikan sangat
dibutuhkan sebagai landasan dalam membuat inovasi dan pembaharuan,
sehingga perkembangan pendidikan di masa yang akan datang tidak lepas
dari nilai-nilai Al-Qur‟an dan As Sunnah.
D. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan diartikan sesuatu yang dicita-citakan di masa yang akan datang
dan ingin diwujudkan dengan berbagai daya dan upaya. Membahas tujuan
pendidikan Islam sangatlah penting guna melahirkan formulasi yang
27
gamblang untuk memberikan pencerahan di masa yang akan datang
(Mujtahid, 2011: 25). Hal ini karena tujuan merupakan sesuatu yang
diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Sebab
pendidikan merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui
tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, yang tujuannya bertahap dan bertingkat.
Maka tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan
statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. (Daradjat, 2011: 29).
Zakiah Daradjat memformulasikan tujuan pendidikan Islam kepada
tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan oprasional yang
dikaitkan dengan pendidikan formal. Pertama, tujuan umum ialah tujuan yang
akan dicapai dengan semua kegiatan, baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain untuk membentuk manusia menjadi insan kamil dengan pola takwa
sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Kedua, tujuan akhir yang dapat
dipahami dari firman Allah:
ب ب أ ا اىر اتقا آ حق الل ل تقبت ت إل ت ت أ سي
“wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa, dan jangan kamu mati kecuali dalam
keadaan muslim”. (QS Ali Imron (3): 102).
Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim
merupakan ujung dari takwa, sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi
kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan yang dapat dianggap
sebagai tujuan akhirnya. Ketiga, tujuan sementara ialah tujuan yang dicapai
stelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu dalam suatu kurikulum
28
pendidikan formal. Dan keempat, tujuan operasional berupa tujuan praktis
yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Dalam
pendidikan formal, tujuan operasional dikembangkan menjadi tujuan
intruksional umum dan khusus (Daradjat, 2011: 29-30).
Berdasarkan pemaparan tentang tujuan pendidikan Islam tersebut,
dapat dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam berdasarkan waktu
pencapaiannya dapat dibagi menjadi dua; tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Pertama, tujuan jangka pendek, yaitu tujuan yang bersifat
praktis dan dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan formal dalam
sekolah, baik melalui pembelajaran maupun kegiatan-kegiatan tertentu.
Pencapaian dari tujuan pendidikan Islam dalam jangka pendek dapat dilihat
setelah melaksanakan kegiatan formal dalam sekolah. Kedua, tujuan jangka
panjang, merupakan proses pendidikan Islam yang dilakukan secara terus
menerus sehingga terbentuk insan kamil yang mampu memelihara ketakwaan
hingga akhir hidupnya.
E. Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Al-Qur‟an memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam
pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri dari tiga pilar utama, yaitu:
1. Nilai i‟tiqadiyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti
percaya kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari akhir, dan Takdir,
yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
29
2. Nilai khuluqiyah, yang berkaitan dengan pendidikan akhlak, yang
bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi
diri dengan perilaku terpuji.
3. Nilai amaliyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku sehari-
hari, baik yang berhubungan dengan pendidikan ibadah yang memuat
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dan pendidikan muamalah
yang memuat hubungan antara manusia, baik secara individual maupun
institusional (Umar, 2011: 37-38).
Dari situ dapat dikatakan, bahwa nilai-nilai normatif dalam
pendidikan Islam tidaklah terlepas dari tiga hal yang dijadikan sebagai dasar
pendidikan Islam. Nilai i‟tiqodiyah yang berkaitan dengan pendidikan
keimanan, melalui pendidikan tauhid sebagai landasan keyakinan. Nilai
khuluqiyah, yang berkaitan dengan pendidikan akhlak melalui penanaman
dan pembiasaan melaksanakan budi pekerti yang baik. Nilai amaliah, yang
berkaitan dengan pendidikan ibadah dan muamalah yang ditanamkan melalui
pembelajaran ibadah dan muamalah, sebagai bekal melaksanakan kewajiban
beribadah di dunia.
30
BAB III
DESKRIPSI GHAZWAH RASULULLAH
A. Izin Berperang
Pasca hijrah Nabi dan para sahabat ke Madinah, orang-orang kafir
Quraisy tetap melakukan teror kepada kaum muslimin. Bahaya yang
mengancam tidak hanya kepada diri Rasulullah melainkan kepada orang-
orang muslim seluruhnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ubay bin
Ka‟ab,
“Tatkala Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah,
lalu dilindungi Anshar, maka seluruh bangsa Arab sudah sepakat
untuk melontarkan satu anak panah kepada mereka. Tidak pagi atau
sore saja, melainkan mereka selalu siap dengan senjatanya” (Al
Mubarakfuri, 2014: 222).
Dalam kondisi yang rawan ini, dan karena adanya ancaman terhadap
eksistensi orang-orang Islam di Madinah, terlebih ancaman dari orang-orang
kafir Quraisy. Maka Allah menurunkan ayat dan mengizinkan orang-orang
Islam untuk berperang:
ىقدس عي صس الل إ ا ظي بأ قبتي ىير أذ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu”
(QS. Al Hajj (22): 39)
Ayat ini turun di antara ayat-ayat yang memberi petunjuk, bahwa izin
ini hanya dimaksudkan untuk mengenyahkan kebatilan dan menegakkan
syiar-syiar Allah. Tidak perlu diragukan lagi, bahwa izin untuk berperang
turun di Madinah setelah hijrah. Meskipun telah turun ayat yang mengizinkan
31
berperang, Rasulullah tetap memilih menunjukkan kekuatan kaum muslimin
melalui jalan kekuasaan, khususnya jalur perdagangan. Untuk menunjukkan
kekuasaan ini Rasulullah menempuh dua jalan. Pertama, melalui perjanjian-
perjanjian dengan beberapa kabilah di sekitar Madinah serta yang berdekatan
dengan jalur perdagangan ke Syam. Kedua, mengirim utusan secara terus
menerus ke jalur perdagangan ini (Al mubarakfuri, 2014: 222-223).
Dr. Nizar Abazhah menyebutkan, ada tiga alasan Nabi berperang.
Pertama, melayani serangan musuh, seperti yang terjadi pada perang Badar,
Uhud, dan Khandaq. Kedua, memberi pelajaran terhadap musuh yang
bersekongkol mengganggu kaum muslimin meskipun sudah ada nota
perjanjian, seperti yang terjadi pada perang Bani Quraidlah, Khaibar, Mu‟tah
dan beberapa peperangan lain. Ketiga, menggagalkan rencana musuh yang
mengancam kaum muslimin, seperti pada perang Tabuk dan sejumlah
peperangan lain (Abazhah, 2011: 271). Dari ketiga alasan tersebut, dapat
dikatakan bahwa peperangan adalah pilihan terakhir yang ditempuh, setelah
berbagai upaya untuk berdamai telah diusahakan.
B. Ghazwah Rasulullah
Dalam beberapa literatur sejarah Islam, tercatat pada saat Rasulullah
di Madinah banyak terjadi peperangan, terjadi kurang lebih 74 peperangan
yang di antaranya ada 27 kali peperangan yang diikuti Rasulullah atau yang
lebih dikenal dengan istilah Ghazwah, di antara peperangan yang diikuti Nabi
adalah: perang Waddan, perang Buwath, perang „Usyairah, perang Badar
Awal, perang Qarqaratul Kadar, perang Badar Kubro, perang Bani Qainuqa‟,
32
perang Sawiq, perang Ghatafan, perang Bahran, perang Uhud, perang
Hamraul Asad, perang Bani Nadzir, perang Dzatu Riqo‟, perang Badar Akhir,
perang Dumatul Jandal, perang Banu Musthaliq, perang Khandaq, perang
Bani Quraidlah, perang Bani Lahyan, perang Ghabah, perang Khaibar, perang
Mu‟tah, penaklukan Makkah, perang Hunain, perang Thaif, dan perang
Tabuk.
1. Perang Waddan
Perang Waddan atau Abwa‟ terjadi pada bulan Shafar 2 H.
Rasulullah mengangkat Sa‟d bin Ubadah sebagai wakil Beliau di
Madinah. Rasulullah memimpin perang Waddan dengan membawa 70
orang Muhajirin dengan tujuan menghadang kafilah dagang kafir
Quraisy. Beliau pergi hingga tiba di Waddan, namun tidak terjadi apa-
apa (Al Mubarakfuri, 2014: 225). Pada kesempatan itu Nabi berhasil
menjalin perjanjian damai dengan Bani Dhamrah yang sepakat untuk
bersikap netral, beliau menulis surat untuk mereka,
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Pemurah. Surat ini dari Muhammad utusan Allah untuk Bani
Dhamrah. Bahwa mereka aman menyangkut harta dan jiwa.
Bahwa mereka boleh membantu siapa yang ingin bergabung
dengan mereka –sampai kapanpun- kecuali mereka berperang
dalam agama Allah. Bahwa bila Nabi meminta bantuan, mereka
akan menyambut beliau. Dengan begitu, mereka mendapat
jaminan Allah dan Rasul-Nya, dan mereka boleh membantu siapa
yang berbuat baik dan meminta suaka kepada mereka (Abazhah,
2011: 35).
Ini merupakan peperangan pertama yang dilakukan Rasulullah.
Kepergiannya untuk tujuan peperangan itu selama lima belas hari.
33
Bendera perang berwarna putih, dan pembawanya adalah Hamzah bin
Abdul Muthalib (Al Mubarakfuri, 2014: 225).
2. Perang Buwath
Terjadi pada bulan Rabiul Awwal 2 H, Rasulullah pergi bersama
200 sahabat untuk menghadang kafilah dagang kafir Quraisy yang
dipimpin Umayyah bin Khalaf beserta 100 orang kafir Quraisy serta
membawa 2.500 unta yang membawa barang dagangan. Beliau tiba di
Buwath dari arah Radhwa. Namun kali ini tidak terjadi apa-apa.
Rasulullah mengangkat Sa‟d bin Mua‟dz sebagai wakil beliau di
Madinah. Sementara bendera perang berwarna putih dibawa oleh Sa‟d
bin Abi Waqqash (Al Mubarakfuri, 2014: 225).
3. Perang „Usyairah
Terjadi pada bulan Jumadal Ula dan Jumadal Akhir tahun ke 2 H,
bersama 150-200 an Muhajirin, Rasulullah keluar untuk menghadang
kafilah dari kafir Quraisy yang hendak pergi ke Syam. Kabar yang
sampai pada beliau bahwa kafilah tersebut membawa harta orang-orang
kafir Quraisy. Namun tatkala tiba di Dzul „Usyairah, rombongan kafir
Quraisy sudah melewati tempat itu beberapa hari sebelumnya, sehingga
tidak terjadi peperangan. Kepergian beliau dilakukan pada akhir bulan
Jumadal Ula dan kembali pada akhir buan Jumadal Akhir seperti yang
dituturkan Ibnu Ishaq. Boleh jadi inilah yang menyebabkan perbedaan
pendapat dikalangan ahli Sirah tentang penetapan bulan terjadinya
peperangan ini. Dalam kesempatan itu beliau mengikat perjanjian
34
damai dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhamrah (Al
Mubarakfuri, 2014: 226).
4. Perang Badar Awal
Perang Badar awal juga disebut perang Safawan, terjadi pada
bulan Rabiul Awal tahun 2 H. Sebab terjadinya peperangan, karena
Kurs bin Jabir Al Fihri bersama beberapa orang musyrik menyerbu
kandang hewan gembala di Madinah dan berhasil merampok domba-
dombanya. Maka bersama 70 sahabat, dengan pembawa bendera Ali
bin Abi Thalib Rasulullah hendak mengejar dan mengusirnya, hingga
beliau tiba di sebuah wadi yang disebut Safawan, dari arah Badar. Akan
tetapi Kurs dan rekan-rekannya tidak dapat ditemukan. Maka beliau
kembali ke Madinah tanpa ada peperangan (Al Mubarakfuri, 2014: 225-
226).
5. Perang Qarqaratul Kadar
Terjadi pada tahun ke 2 H, Nabi menerima informasi bahwa
Bani Sulaym dan Ghathafan mengerahkan orang-orangnya di
Qarqaratul Kadar (sebuah tempat dekat kota Madinah), timur laut
Madinah. Atas dasar informasi itu, Nabi menuju ke sana bersama 200
sahabat dengan membawa bendera perang yang dipegang Ali bin Abi
Thalib. Tapi setibanya di mata air al Kadar, beliau tidak bertemu siapa-
siapa (Abazhah, 2011: 67).
35
6. Perang Badar Kubro
Perang Badar Kubro adalah suatu bukti yang dengannya Allah
memuliakan agama Islam, menegakkan panji-Nya, menghapuskan
kemusyrikan dan membongkar akar-akarnya (Djabbar, tt: 11).
Rasulullah berangkat dari Madinah bertepatan dengan 17 Ramadhan
tahun 2 H. Keluarnya beliau dengan para sahabat tidaklah dengan
niatan berperang, tetapi hanya menargetkan harta yang dibawa kaum
kafir Quraisy. Pada saat itu antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy
sedang dalam status berperang. Maka sudah maklum apabila dalam
status perang, harta dan nyawa musuh hukumnya adalah mubah.
Apalagi sebagian harta yang dibawa kafilah dagang kaum kafir Quraisy
adalah milik kaum muslimin, muhajirin dari Makkah yang telah
dirampas oleh orang-orang kafir Quraisy dengan tidak adil dan zalim
(Ash Sallabi, 2017: 67-68).
Syekh Safiyurrahman Al Mubarakfuri menyatakan bahwa
Rasulullah mengadakan persiapan keluar beserta 313 atau hingga 317
orang, terdiri dari 82 hingga 86 dari Muhajirin, 61 dari suku Aus dan
170 dari suku Khazraj. Mush‟ab ibn Umair tampil di depan membawa
bendera putih. Di depan Nabi ada dua bendera berwarna hitam. Satu
dipegang oleh Ali bin Abi Thalib dan yang satu dipegang oleh Sa‟d bin
Mu‟adz (Al Mubarakfuri, 2014: 234). Kaum muslim menggiring tujuh
puluh ekor unta yang mereka tunggangi secara bergantian, tiap unta tiga
orang, juga dua atau tiga ekor kuda, sedang sisanya berjalan kaki
36
(Abazhah, 2011: 46). Abu Sufyan, pemimpin kafilah dagang kafir
Quraisy mendapat informasi yang meyakinkan bahwa Muhammad
SAW telah pergi bersama rekan-rekannya untuk menghadang kafilah.
Maka Abu Sufyan mengupah Dhamdham bin Amr Al Ghifari agar pergi
ke Makkah, memberitahu orang-orang kafir Quraisy guna mengirim
pertolongan untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka dan
menghadapi Muhammad beserta rekan-rekannya.
Mendengar berita itu maka orang-orang Makkah segera
melakukan persiapan perang. Kekuatan pasukan Makkah tercatat ada
1.300 pada mulanya, 100 kuda, memiliki 600 baju besi dan unta yang
cukup banyak jumlahnya. Komando tertinggi depegang oleh Abu Jahal
bin Hisyam. Terdapat sembilan pemuka kafir Quraisy yang
bertanggung jawab terhadap perbekalan yang dibutuhkan seluruh
pasukan. Sehari mereka menyembelih sembilan hingga sepuluh ekor
unta untuk konsumsi (Al Mubarakfuri, 2014: 235).
Perang Badar berakhir dengan kemenangan kaum muslimin atas
kaum musyrikin. Korban dari pihak kafir Quraisy sebanyak 70 orang,
sedangkan 70 lainnya tertawan. Kebanyakan dari yang tewas dan
tertawan adalah pemuka kafir Quraisy. Sementara, mereka yang syahid
dalam pasukan kaum muslimin berjumlah 14 orang. Setelah
kemenangan diraih oleh kaum muslimin, maka Rasulullah mengutus
Abdullah bin Rawahah dan Zaid bin Tsabit untuk menyampaikan kabar
ini kepada muslimin yang ada di Madinah. Setelah peperangan
37
Rasulullah menetap di Badar selama tiga hari (Ash Shallabi, 2017:
111).
7. Perang Bani Qainuqa‟
Bani Qainuqa‟ merupakan kabilah Yahudi yang menampakkan
permusuhan kepada orang-orang Islam dan menghianati perjanjian yang
telah dibuat bersama Rasulullah. Karena demikian, maka pada tahun ke
2 H mereka dikepung selama 15 malam, hingga mereka merasa takut
dan akhirnya menyerah. Kemudian mereka meminta kepada Rasulullah
supaya mereka ditinggalkan dengan mengambil harta bendanya.
Permintaan tersebut diterima, maka orang-orang Islam mengambil harta
benda dan mengusir Bani Qainuqa‟ dari Madinah (Abdul Jabbar, tt: 9-
10).
8. Perang Sawiq
Terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 3 Hijrah, tepatnya dua
bulan setelah perang Badar. Shafwan bin Umayyah menjalin
persengkokolan dan konspirasi dengan orang-orang Yahudi serta
Munafik. Abu Sufyan berfikir untuk melakukan sesuatu yang sedikit
menyerempet bahaya, dengan maksud untuk menjaga kaumnya dan
menunjukan kekuatan yang mereka miliki. Maka bersama dua ratus
orang dia melaksanakan keinginannya, hingga tiba di suatu jalan
terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaraknya dari Madinah
kurang lebih dua belas mil. Dia mengutus beberapa orang pilihan di
antara tentaranya agar pergi ke arah Madinah dan berhenti di Al-
38
Uraidh. Di sana mereka membabati pohon dan membakar pagar-pagar
kebun kurma. Mereka mendapati seorang Anshar dan rekannya di
kebun itu, lalu mereka membunuhnya. Setelah itu mereka kembali ke
Makkah.
Rasulullah yang mendengar kabar ini segera mengejar Abu
Sufyan dan rekan-rekannya. Namun mereka buru-buru pergi dengan
meninggalkan tepung makanan yang mereka bawa sebagai bekal dan
bahan makanan lain agar tidak memberati. Beliau mengejar mereka
sampai tiba di Qarqaratul Kadr. Tetapi mereka tidak terkejar lagi.
Setiba di sana, beliau kembali lagi karena tidak mendapati mereka.
Sedangkan orang-orang Muslim membawa sawiq (tepung gandum)
yang ditinggalkan Abu Sufyan dan pasukannya. Sehingga peperangan
ini disebut perang sawiq (Al Mubarakfuri, 2014: 282-283).
9. Perang Ghatafan
Ini merupakan pasukan paling besar yang dipimpin Rasulullah
sebelum perang Uhud. Terjadi pada bulan Muharram tahun 3 H.
Adapun sebabnya, karena mata-mata Madinah menyampaikan kabar
kepada beliau bahwa sebagian Bani Tsa‟labah dan Muharib berhimpun
untuk menyerbu daerah-daerah sekitar Madinah. Maka beliau segera
mempersiapkan orang-orang Muslim dan pergi bersama 450 prajurit.
Sebagian berjalan kaki dan sebagian lainnya menaiki hewan, sementara
Madinah diserahkan kepada Utsman bin Affan. Nabi beserta
pasukannya tiba di tempat berkumpulnya musuh, yaitu di sebuah mata
39
air yang disebut Dzi Amar. Beliau menetap di sana selama sebulan
penuh, yaitu pada bulan Shafar 3 H. Tujuannya untuk menunjukkan
kekuatan pasukan Muslimin dan menimbulkan keengganan pada bangsa
Arab. Setelah itu beliau kembali ke Madinah tanpa berperang, karena
saat mendengar kedatangan pasukan Muslimin, musuh lari dan
berpencar ke puncak gunung. (Al Mubarakfuri, 2014: 283).
Pada waktu itu terdapat sebuah peristiwa. Ketika Rasulullah
melepaskan bajunya, utuk dijemur karena basah kehujanan dan
beristirahat di bawah pohon, jauh dari para sahabat. Pada saat itulah
Da‟tsur menyelinap mendekati Nabi, ia berdiri dengan pedang
mengarah tepat pada kepala beliau, kemudian berkata, “siapakah yang
bisa melindungimu sekarang?” Nabi tidak bergerak, lalu menjawab
dengan tenang, “Allah”. Setelah mendengar jawaban tersebut maka
gemetar tubuh Da‟tsur, hingga terjatuh pedang yang ia bawa. Kemudian
Nabi memungut pedang itu dan berkata, “siapakah yang bisa
melindungimu sekarang hai Da‟tsur ?” ia menjawab, “tidak ada”.
Rasulullah kemudian mengampuninya, hingga masuk Islamlah ia dan
kemudian mengajak kaumnya masuk Islam pula (Abazhah, 2011: 68).
10. Perang Burhan
Shafiyurrahman Al Mubarakfuri menyatakan bahwa perang
Burhan terjadi pada bulan Rabi‟ul Akhir tahun 3 H. Sebab terjadinya,
karena Rasulullah mendapat kabar tentang Bani Salim yang tengah
berkumpul di Bahran, dalam sebuah pasukan besar (Al Mubarakfuri,
40
2014: 288). Beliau pun bergerak ke sana dengan kekuatan 300 prajurit.
Namun sesampainya di sana, tidak ditemukan siapapun. Bani Salim
sudah bubar dan menyebar ke pusat-pusat mata air mereka (Abazhah,
2011: 68-69). Rasulullah menetap di sana hingga habis bulan Rabi‟ul
Akhir dan Jumadal Ula. Akan tetapi tidak terjadi apa-apa, lalu beliau
kembali ke Madinah (Al Mubarakfuri, 2014: 288).
11. Perang Uhud
Perang uhud terjadi pada tanggal 15 syawal tahun ke 3 H. Latar
belakang terjadinya perang Uhud adalah, kafir Quraisy yang ingin balas
dendam atas kekalahan mereka dalam perang Badar. Mereka
mempersiapkan diri, dengan keluar bersama 3.000 tentara selain para
sekutu. Di antara mereka terdapat 700 tentara berbaju besi dan 200
tentara berkuda. Mereka juga membawa 17 perempuan, di antaranya
adalah Hindun binti „Utbah, istri Abu Sufyan (As Siba‟i, 2013: 92).
Uhud merupakan sebuah bukit yang sangat tinggi, terletak di
sebelah utara Madinah, berjarak dua mil dari Madinah. Rasulullah dan
sebagian sahabat berpendapat, bahwa sebaiknya kaum muslimin tidak
keluar menghadapi mereka dan tetap tinggal di Madinah. Jika kaum
musyrikin menyerang Madinah, mereka dapat mencegahnya. Namun,
beberapa pemuda serta beberapa sahabat khususnya yang tidak
mengikuti perang Badar dan belum mendapat kemuliaan dalam
peperangan tersebut sangat bersemangat untuk keluar menghadapi
kaum musyrikin di tempat mereka. Akhirnya Rasulullah keluar bersama
41
1.000 orang, 100 diantaranya adalah prajurit yang mengenakan baju
besi dan tentara berkuda. Akan tetapi di tengah perjalanan, Abdullah
bin Ubay bin Salul bersama 300 orang munafik memisahkan diri dari
kaum muslimin, sehingga jumlah kaum muslimin tinggal 700 tentara
saja. Sementara itu Rasulullah tetap melanjutkan perjalanan hingga
sampai di lokasi gunung Uhud (As Siba‟i, 2013: 93).
Setelah sampai di Uhud, Rasulullah memerintahkan 50 orang
ahli pemanah untuk bertahan di bukit. Beliau berpesan kepada mereka,
supaya jangan sampai meninggalkan bukit itu, baik dalam keadaan
menang ataupun kalah. Pada waktu itu kemenangan hampir diperoleh
kaum muslimin, andaikan barisan pemanah yang diperintahkan
Rasulullah untuk menetap di bukit tidak melanggar amanah yang telah
diberikan Rasulullah. Ketika Khalid bin Walid mengetahui bahwa bukit
tempat para pemanah muslimin kosong, diserbulah orang-orang Islam
dari belakang dengan serbuan yang hebat sehingga membuat barisan
kaum muslimin kocar-kacir (Abdul Jabbar, tt: 17-18).
Pasukan muslimin yang syahid pada perang Uhud sebanyak 70
orang, di antaranya adalah Hamzah paman Nabi, salah satu tonggak
perjuangan Islam. Nabi juga mendapatkan luka dalam pertempuran
tersebut dan jatuh ke dalam lubang yang disiapkan oleh musuh (Bagian
Kurikulum KMI, 2004: 17). Dalam peristiwa tersebut, Nabi
memerintahkan para sahabat untuk melepaskan baju besi dari tubuh
para syuhada, mengubur mereka dengan darah dan pakaian mereka,
42
tanpa memandikannya. Karena tidak cukup kain yang tersedia, maka
satu kain digunakan untuk dua atau tiga jenazah dan disemayamkan
dalam satu makam. Bahkan tidak ada kain untuk Hamzah kecuali hanya
selembar kain. Apabila ditutupkan ke kepalanya, terlihat kakinya, jika
ditutupkan kaki maka terlihat kepalanya. Maka Nabi menyuruh
menutup kepalanya dengan kain, sedangkan kakinya ditutup dengan
dedaunan (Abazhah, 2011: 91).
12. Perang Hamraul Asad
Perang Hamraul Asad ini bukanlah perang yang berdiri sendiri,
melainkan bagian dari perang Uhud dan kelanjutannya (Al
Mubarakfuri, 2014: 338). Esok pagi, setelah kembali dari perang Uhud,
Rasulullah mendengar kabar bahwa Abu Sufyan dan pasukannya
hendak menyerang Madinah. Maka Rasulullah memerintahkan untuk
bersiap menyerang musuh. Nabi berangkat dengan kaum muslimin dan
mendirikan kemah di Hamraul Asad. Tiga malam mereka di sana, setiap
malam membakar lima ratus api unggun. Nyala api terlihat dari jauh,
bunyi pasukan dan suara kayu yang terbakar terdengar dari segala
penjuru. Dalam peristiwa ini tidak terjadi peperangan, sebab Ma‟bad
bin Abu Ma‟bad asal Khaza‟ah yang merupakan sekutu kaum muslimin
merasa prihatin dengan keadaan kaum muslimin saat itu. Kemudian dia
membuat siasat dengan menakut-nakuti Abu Sufyan bin Harb dan
pasukannya yang hendak menyerang Madinah, dengan menyampaikan
kabar, bahwa kaum muslimin telah bersiap mengejar pasukan Abu
43
Sufyan dengan jumlah yang lebih besar. Atas informasi itu nyali Abu
Sufyan bin Harb dan pasukannya menjadi ciut, akhirnya mereka
memutuskan untuk kembali ke Makkah (Abazhah, 2011: 94-96).
13. Perang Bani Nadzir
Bani Nadzir adalah suatu golongan kelompok kaum Yahudi
Madinah yang pernah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah, salah
satu isinya berupa pernyataan untuk tidak saling menyerang. Pada tahun
ke 4 H, saat Rasulullah bersama beberapa sahabat berkunjung kepada
mereka, diketahui beberapa dari mereka berunding untuk membunuh
Rasulullah. Hal itu kemudian diketahui oleh Rasulullah, maka beliau
segera keluar dari tempat itu dengan diikuti oleh para sahabat. Karena
mereka melanggar perjanjian, maka Rasulullah memerintahkan sahabat
untuk mengusir mereka. pada awalnya mereka menurut, akan tetapi
karena hasutan dari orang munafik maka mereka kemudian menentang.
Karena hal itu, kemudian Rasulullah mengepung mereka hingga mereka
menyerah dan meminta keluar dari negerinya. Permintaan itu
dikabulkan Rasulullah, mereka keluar dengan membawa keluarga serta
harta benda yang dapat dimuat pada unta mereka (Abdul Jabbar, tt: 23-
24).
14. Perang Dzatu Riqo‟
Syaikh Al Buthi dikutip oleh Dr. Muhammad Ali Ash Shallabi,
menyebutkan bahwa perang tersebut terjadi pada tanggal 4 H, setelah
berlalu kurang lebih satu setengah bulan dari pengusiran Yahudi Bani
44
Nadhir, dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas pakar Sirah.
Adapun sebab terjadinya perang ini adalah penghianatan yang
dilakukan oleh kabilah-kabilah Najd terhadap kaum muslimin.
Penghianatan itu tampak jelas dengan adanya tragedi pembunuhan tujuh
puluh da‟i yang dikirim untuk berdakwah ke jalan Allah (Ash Shallabi,
2017: 359-360).
Rasulullah berangkat bersama 700 prajurit untuk memerangi
beberapa kabilah dari negeri Najd yang bersatu untuk memerangi
Rasulullah, yaitu; Bani Tsa‟labah dan bani Muharib. Akan tetapi
mereka melarikan diri setelah mendengar keberangkatan Rasulullah
beserta kaum muslimin untuk memerangi mereka, sehingga tidak terjadi
peperangan. Dalam peperangan ini, turun malaikat Jibril memberi
pelajaran tentang shalat khauf dan kelonggaran bertayamum (Abdul
Jabbar, tt: 23).
15. Perang Badar Akhir
Setelah orang-orang muslim dapat membungkam dan
menghentikan gangguan orang-orang Arab Badui, mereka mulai
bersiap-siap menghadapi musuh terbesar. Setahun hampir berlalu, dan
saat yang dijanjikan untuk bertempur dengan orang kafir Quraisy
sewaktu perang Uhud hampir tiba. Maka pada bulan Sya‟ban tahun 4 H,
Rasulullah pergi pada hari yang dijanjikan bersama 1.500 prajurit.
Pasukan ini diperkuat dengan 10 penunggang kuda. Bendera dipegang
oleh Ali bin Abi Thalib sedangkan Madinah diwakilkan kepada
45
Abdullah bin Rawahah. Kaum Muslimin tiba di Badr dan menunggu
orang-orang Musyrik.
Sedangkan dari pihak musuh, Abu Sufyan pergi bersama 2.000
prajurit dengan diperkuat 50 orang penunggang kuda. Mereka tiba di
Zahran sejauh satu marhalah dari Makkah dan bermalam di Majannah,
pangkalan air di daerah itu. Sebenarnya berat sekali bagi Abu Sufyan
untuk pergi berperang, karena memikirkan dampak dari peperangan
melawan kaum Muslimin. Karena ketakutan yang menyelimuti Abu
Sufyan dan pasukannya semakin besar, maka nyali mereka menciut.
Akhirnya ia dan pasukannya kembali ke Makkah tanpa berperang.
Orang-orang Muslim menunggu kedatangan kafir Quraisy di Badar
selama delapan hari dan pulang ke Madinah dengan membawa pamor
yang harum serta keberadaan mereka disegani (Al Mubarakfuri, 2014:
354).
16. Perang Dumatul Jandal
Setelah perang Badar Akhir, Rasulullah menetap di Madinah
selama enam bulan. Kemudian datang berita kepada beliau bahwa
beberapa kabilah di sekitar Dumatul Jandal, tak jauh dari Syam, suka
merampas dan merampok siapa saja yang melewati daerah itu. Bahkan
mereka telah menghimpun kekuatan untuk menyerang Madinah (Al
Mubarakfuri, 2014: 355). Maka pada tahun 5 H, Rasulullah berangkat
dengan 1.000 orang laki-laki berangkat ke Dumatul Jandal, sebuah
negeri di antara Syam dan Madinah untuk memerangi mereka yang
46
telah menganiaya orang-orang yang melalui negerinya. Tidak terjadi
pertempuran dalam peristiwa ini, karena setelah Rasulullah datang,
mereka lari dan meninggalkan ternak mereka (Abdul Jabbar, tt: 25).
17. Perang Bani Musthaliq
Para Ulama berselisih pendapat tentang waktu terjadinya perang
Bani Musthaliq. Di antaranya berpendapat bahwa perang ini terjadi
pada bulan Sya‟ban tahun ke 6 H, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Ishaq, Khalifah bin Khayyath, dan Ibnu Jarir At Thabari. Ada yang
berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun ke 4 H, seperti Al
Mas‟udi. Dan ada yang berpendapat terjadi pada bulan Sya‟ban tahun
ke 5 H, mereka adalah Musa bin Uqbah, Ibnu Sa‟d, Ibnu Qutaibah, Al
Baladziri, Adz Zahabi, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, dan Ibnu Katsir serta
beberapa Ulama kontemporer seperti Al Khudari Bek, Al Ghazali, dan
Al Buthi (Ash Shallabi, 2017:381).
Sebab peperangan ini, karena Nabi mendengar kabar bahwa
Harits bin Abu Dhirar, pemimpin Bani Musthaliq tengah menghimpun
kaumnya dan orang-orang kabilah lain di Arab untuk menggempur
kaum Muslimin. Nabi segera bertindak dengan memimpin 700 prajurit.
Kaum munafik yang sebelumnya tidak pernah terlibat, ikut serta dalam
peperangan ini. Sebelum perang, Nabi menyuruh Umar bin Khatab
untuk mengajak mereka masuk Islam. Karena mereka menolak, maka
terjadilah peperangan (Abazhah, 2011: 112). Dari pihak musuh sepuluh
orang terbunuh, sedangkan lainnya ditawan. Di antara tawanan itu
47
terdapat seorang perempuan bernama Barrah, ia merupakan anak kepala
suku Bani Musthaliq yang kemudian dinikahi oleh Rasulullah dan
kemudian dinamai Juwairiyah. Setelah mendengar hal tersebut, masuk
Islamlah orang-orang bani Musthaliq dan menjadi pembela Islam
(Abdul Jabbar, tt: 25-26). Dalam peperangan ini, kaum munafik ulah di
Muraisi‟. Mereka di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul
menghasut dan mengadu domba kaum Muhajirin dan Anshar. Hampir
saja terjadi pertumpahan darah yang sia-sia antara Muhajirin dan
Anshar. Beruntung Nabi dapat merangkul keduanya dengan bijak.
Kaum munafik juga melakukan provokasi serupa dengan menebar gosip
tentang Aisyah. Namun Allah membebaskan Aisyah dari segala
tuduhan keji tersebut (Abazhah, 2014: 113).
18. Perang Khandaq
Dalam tahun ke 5 H terjadi perang Khandaq, yang juga dikenal
dengan perang Ahzab. Sebab terjadinya perang, karena banyak dari
kabilah Arab dan Yahudi berkumpul untuk mengepung kota madinah
dan memerangi orang-orang Islam. Mereka membawa 10.000 orang
laki-laki di bawah komando Abu Sufyan bin harb (Abdul Jabbar, tt: 28).
Semua golongan ini nantinya akan bergerak ke arah Madinah secara
serentak seperti yang telah mereka sepakati. Dalam beberapa hari saja,
di sekitar Madinah akan berhimpun pasukan musuh sangat besar, yang
jumlah mereka bahkan lebih banyak daripada seluruh penduduk
Madinah, termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua. Tetapi model
48
kepemimpinan Madinah tak pernah terpejam sekejap pun. Sebelum
pasukan musuh beranjak dari tempatnya, informasi tentang rencana
mereka sudah tercium di Madinah. Berdasarkan informasi yang telah
sampai pada beliau, maka Rasulullah mengadakan musyawarah dengan
para sahabat. Di dalam musyawarah tersebut, disetujui usulan dari
Salaman Al Farisi. Dia mengusulkan untuk menggali parit di sekitar
Madinah sebagai benteng pertahanan. Ini merupakan langkah yang
amat bijaksana, yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab (Al
Mubarakfuri, 2014: 358).
Rasulullah segera melaksanakan rencana itu. Setiap sepuluh
orang laki-laki diberi tugas menggali parit sepanjang empat puluh hasta.
Dengan penuh semangat kaum muslimin menggali parit yang panjang.
Rasulullah terus memompa semangat mereka dan terjun langsung di
lapangan. Selama penggalian parit ini terjadi beberapa tanda nubuwah
yang berkaitan degan rasa lapar yang mendera mereka. Jabir bin
Abdullah melihat beliau benar-benar tersiksa karena lapar dengan
mengikat perutnya dengan batu. Lalu ia menyembelih seekor hewan
dan menanak satu sha‟ tepung gandum untuk Rasulullah dan beberapa
sahabat. Tetapi kemudian Rasulullah membagikan makanan itu kepada
semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya mencapai
seribu orang, mereka makan hingga kenyang bahkan masih ada sisa dari
makanan itu. Saudara perempuan An Nu‟man bin Basyir datang ke
tempat penggalian dengan membawa kurma setangkup tangan untuk
49
ayah dan pamannya. Ketika itu Rasulullah yang lewat didekatnya
meminta kurma tersebut, lalu beliau letakkan di atas selembar kain.
Setelah itu beliau memanggil semua orang dan mereka pun
memakannya. Setelah semua memakannya, ternyata kurma yang hanya
setangkup tangan itu masih tersisa hingga ada yang tercecer keluar dari
hamparan kain. Di saat penggalian parit terdapat sebongkah tanah
keras, hampir semua sahabat mencoba menghancurkannya dan tidak
berhasil. Maka kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada
Rasulullah. Kemudian beliau mengambil cangkul dan memukul
bongkahan itu tiga kali, maka hancurlah sebongkah tanah yang keras itu
(Al Mubarakfuri, 2014: 358).
Tak lama setelah penggalian parit selesai, pasukan gabungan
kaum musyrik itu sampai Madinah. Nabi mengerahkan 3.000 prajurit
dan berdiri berseberangan dengan parit dan tentara kaum musyrik yang
terkejut dengan siasat kaum Muslimin yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Karena terhalang parit, pasukan gabungan musuh
mengepung sekitar Madinah. Terjadi kontak senjata antara pasukan
musyrik dengan muslim. Setiap pasukan musuh ingin memasuki parit,
maka mereka akan dihujani dengan anak panah sehingga mereka tidak
berani mendekati parit. Hampir sebulan pengepungan ini berlangsung,
kedua pihak bertahan pada posisinya masing-masing. Melihat situasi
yang tidak menguntungkan orang-orang Musyrik, maka Abu Sufyan
mengutus Huyay bin Akhtab untuk mendatangi Bani Quraidlah dan
50
membujuk mereka supaya membatalkan perjanjian damai yang mereka
buat dengan Rasulullah. Atas bujukan Huyay bin Akhtab, maka pada
peperangan ini terjadi penghianatan yang dilakukan oleh Bani
Quraidlah (Abazhah, 2011: 119-120).
Setelah ketegangan dalam peperangan ini mencapai puncaknya,
Allah menyiapkan kemenangan untuk Nabi-Nya. Suatu malam
datanglah Nu‟aim bin Mas‟ud Al Asyja‟i, ia mengatakan bahwa
kaumnya belum mengetahui bahwa Nu‟aim telah masuk Islam.
Akhirnya dia membuat siasat untuk membuat perpecahan di kalangan
kaum musyrikin. Tepat pada saat pasukan gabungan saling menghianati
dan terpecah belah, Allah mengirimkan angin topan. Malam itu angin
topan memadamkan nyala api penerangan, menghantam tenda-tenda,
dan mematahkan tiang-tiang. Perkemahan yang mereka buat di sekitar
Madinah rata dengan tanah. Tak lama setelah peristiwa itu, Abu Sufyan
memerintahkan pasukannya untuk pergi. Kemenangan diraih setelah 24
malam pada musim kemarau yang dinginnya menusuk tulang
(Abazhah, 2011: 124-128).
19. Perang Bani Quraidlah
Setelah perang Khandaq selesai, Rasulullah diperintahkan Allah
Swt untuk memerangi Bani Quraidlah. Sebab pertempuran, karena
mereka mengkhianati perjanjian dan menampakkan permusuhan kepada
orang-orang Islam pada saat perang Khandaq. Rasulullah berangkat
bersama dengan 3.000 pasukan dan mengepung mereka selama 25 hari,
51
hingga akhirnya mereka menyerah (Abdul Jabbar, tt: 29). Atas dasar
penghianatan yang dilakukan oleh Bani Quraidlah, maka mereka
menerima hukuman mati. Semua yang terlibat dalam penghianatan
mendapatkan hukuman ini, Jumlah mereka sekitar enam ratus hingga
tujuh ratus orang. sedangkan perempuan dan anak-anak menjadi
tawanan (Al Mubarakfuri, 2014: 376).
20. Perang Bani Lahyan
Sebab terjadinya perang ini, karena Bani Lahyan pernah
menghianati sepuluh orang sahabat dan membunuh mereka di Ar Raji‟.
Karena tempat mereka yang masuk di wilayah Hijaz dan berbatasan
langsung dengan Makkah, maka Nabi tidak berniat memasuki wilayah
tersebut karena posisi mereka yang beredekatan dengan musuh terbesar.
Kejadian ini terjadi sebelum meletus peperangan antara kaum muslimin
dengan kafir Quraisy dan beberapa kabilah Arab lainnya. Setelah situasi
yang memungkinkan, maka beliau melancarkan balasan atas
penghianatan yang dilakukan Bani Lahyan.
Pada bulan Rabi‟ul Awal atau Jumadal Ula tahun 6 H, beliau
pergi bersama 200 sahabat. Beliau membuat kamuflase, seakan-akan
hendak pergi ke Syam, agar mereka lengah. Perjalanan dipercepat
hingga tiba di Ghuran, suatu lembah yang terletak antara Amaj dan
Usfan. Di situlah dulu para sahabat beliau dibunuh. Beliau tampak
beresedih, lalu mendoakan kebaikan untuk mereka yang terbunuh. Pada
peristiwa ini tidak terjadi pertempuran, karena Bani Lahyan yang
52
mendengar kedatangan kaum muslimin langsung melarikan diri ke
puncak-puncak gunung. Tak seorang pun di antara mereka yang
tertangkap. Beliau menetap di perkampungan Bani Lahyan selama dua
hari, lalu kembali ke Madinah (Al Mubarakfuri, 2014: 382-383).
21. Perang Ghabah
Di tahun 6 H tersebut juga terjadi perang Ghabah. Ghabah ialah
suatu tempat antara Makkah dan Madinah. Rasulullah berangkat
bersama 500 orang laki-laki untuk memerangi orang-orang Arab yang
telah menyerbu dan merampas unta-unta beliau serta membunuh sang
penggembala, Abi Dzar. Padahal sebelumnya Rasulullah telah
memberikan hadiah kepada pimpinan mereka yaitu, Uyainah bin Hisn
berupa sebidang tanah. Akibat pertempuran ini, terbunuh satu orang
muslim dan dua orang musyrik (Abdul Jabbar, tt: 35)
22. Perang Khaibar
Pada tahun 7 H, Rasulullah berangkat ke Khaibar untuk
memerangi penduduknya, yaitu golongan Yahudi dari Bani Nadhir
yang termasuk sekutu kaum musyrik yang menakut-nakuti kaum
muslimin dengan meniupkan kabar bohong dan menentang dalam
perang Khandaq. Sesampainya kaum muslimin di sekitar benteng
Khaibar, mereka lalu bertakbir dan berdoa dengan suara yang
menggemparkan orang-orang Khaibar. Karena demikian maka
Rasulullah bersabda “jangan kamu mengeraskan suaramu dalam
berdoa, karena kamu tidak berdoa pada Tuhan yang tuli dan jauh
53
melainkan kamu berdoa kepada Tuhan yang Maha Mendengar dan
Maha dekat”. Untuk mempercepat kemenangan maka kaum muslimin
memotong pohon-pohon kurma milik orang-orang Yahudi dan
mengepung mereka selama 6 hari, agar mereka mau menyerah.
Pada hari ketujuh, Rasulullah menyerahkan bendera perang
kepada Ali bin Abi Thalib untuk memimpin penyerbuan. Sebelum
menerima tugas tersebut, Ali bin Abi Thalib terkena sakit mata maka
kemudian kedua mata Ali ditiup oleh Rasulullah dan seketika itu juga
sembuh. Setelah komando serbuan dari Ali, pasukan kaum muslimin
terus menyerbu hingga mendapat kemenangan dan menguasai seluruh
Khaibar setelah mengusir semua penduduknya (abdul Jabbar, tt: 40).
Setelah Khaibar dapat dikuasai, penduduk Fadak yang berada di
wilayah utara Khaibar segera meminta perjanjian damai agar mereka
dibebaskan dan tetap hidup. Mereka juga bersedia menyerahkan harta
bendanya kepada Rasulullah. Setelah itu kaum muslimin mengepung
Wadil Qura, ia adalah sejumlah desa antara Khaibar dengan Taima‟
ditempuh dalam beberapa malam. Mereka dikepung hingga akhirnya
menyerah, sementara penduduk Taima‟ meminta perjanjian damai
kepada Rasulullah. Dengan begitu maka seluruh benteng Yahudi
berjatuhan di tangan kaum muslimin (Ash Shallabi, 2017: 510-511).
23. Perang Mu‟tah
Mu‟tah merupakan sebuah desa di antara beberapa desa yang
ada di Syam. Pada tahun 8 H, Rasulullah menyiapkan pasukan
54
sebanyak 3.000 orang ke Mu‟tah untuk memerangi golongan yang
membunuh utusan beliau. Sebelum keberangkatan, Rasulullah berpesan
memberi amanat yang sangat berharga. Di antaranya:
“kamu nanti akan berjumpa beberapa lelaki yang
menyendiri beribadat di dalam gereja-gereja, maka janganlah
sekali-kali kamu mengganggu mereka. janganlah kamu
membunuh perempuan, anak kecil, orang tua yang lemah dan
jangan kamu memotong pohon dan merobohkan bangunan”.
sesampainya bala tentara Islam di Mu‟tah, mereka bertemu
dengan tentara Romawi jumlahnya sekitar 150.000 orang yang sedang
mempertahankan Mu‟tah. Karena demikian maka terjadi pertempuran
yang dahsyat, sehingga terbunuhlah jenderal Islam yaitu Zaid bin
Haritsah. Dengan cepat laksana kilat Ja‟far bin Abi Thalib mengambil
dan memegang bendera perang, lalu terus maju ke medan pertempuran.
Karena pedang musuh tangannya putus. Kemudian ia mempertahankan
bendera itu dengan tangan kirinya. Tetapi tangan kiri Ja‟far juga putus
karena sabetan pedang. Namun demikian semangatnya terus berkobar
dan menyala, maka diapitlah bendera perang tersebut pada dadanya
hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian bendera
dipegang oleh Abdullah bin Rawahah, tetapi ia kemudian juga
terbunuh.
Akhirnya bendera dipegang oleh seorang pahlawan yang gagah
berani yaitu Khalid bin Walid. Dengan kepandaian dan keberaniannya
maka Khalid memulai siasat baru, hingga dari pihak musuh banyak
menderita kerugian dalam peperangan yang dahsyat itu. Sedang orang-
55
orang Islam dapat menyelamatkan diri dari kepungan musuh dan
kembali ke Madinah. Setiba di sana Rasulullah memuji Khalid bin
Walid (Abdul Jabbar, tt: 45-46).
24. Penaklukan Makkah
Terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Karena kaum kafir
Quraisy telah melanggar perjanjian Hudaibiyah dengan membantu
golongan yang memusuhi Rasulullah, maka terpaksa umat Islam
mengangkat senjata untuk menaklukan Makkah. Rasulullah berangkat
bersama 10.000 orang untuk memerangi mereka. pada waktu itu beliau
sedang berpuasa, dan di tengah perjalanan beliau berbuka. Di tengah
perjalanan tentara Islam menjumpai Abu Sufyan yang sedang memata-
matai kekuatan kaum muslimin, karena itu ia ditawan dan dihadapkan
pada Rasulullah. Kemudian Abu Sufyan masuk Islam, maka Rasulullah
mengampuninya atas segala kesalahan yang diperbuatnya sebelum
masuk Islam. Kemudian beliau mengirim satu pasukan yang dipimpin
oleh Khalid bin Walid untuk memasuki Makkah dari sebelah selatan.
Beliau berpesan kepadanya, supaya jangan menyerang dan
menggempur kecuali orang-orang memeranginya. Oleh karena
segolongan kabilah berusaha menghalang-halangi, maka terpaksalah
Khalid dan pasukannya memasuki negeri itu dengan bertempur.
Adapun Rasulullah memasuki Makkah dari sebelah utara. Karena tidak
ada yang menghalang-halangi, maka beliau memasuki negeri itu dengan
damai tanpa pertempuran (Abdul Jabbar, tt: 46-47).
56
25. Perang Hunain
Kemenangan gemilang yang dicapai oleh orang Islam dalam
penaklukan Makkah dikhawatirkan akan menjalar terus, sehingga
kabilah Tsaqif dan Hawazin mengadakan persekutuan dengan kabilah
lain untuk memerangi orang-orang Islam sebelum mereka diserang.
Setelah mengetahui hal ini, maka Rasulullah mendahului berangkat
untuk menyerang mereka dengan 12.080 pasukan, yaitu; 10.000 dari
muslim Madinah, 2.000 dari orang-orang yang baru masuk Islam ketika
penaklukan Makkah, 80 dari orang-orang musyrik. Rupanya jumlah
pasukan yang besar tersebut membuat sebagian kaum muslimin
menganggap remeh musuh. Hingga sebagian mereka ada yang berkata
“hari ini kita tidak mungkin kalah, karena jumlah kita tidaklah sedikit”.
Setibanya di Hunain, musuh yang sudah lama menanti dan
mempersiapkan diri dengan berlindung di celah-celah lembah mulai
melempari pasukan kaum muslimin dengan batu-batu besar dan kecil
laksana hujan yang lebat. Akibatnya pasukan muslimin menjadi kacau
balau dan banyak yang lari. Pada waktu itu hanya Rasulullah dan
beberapa sahabat yang tetap bertahan di tempat, diantaranya ialah Abu
Bakar, Umar, Ali, Abbas, dan Abu Sufyan bin Harits. Maka Abbas
kemudia memanggil mereka yang lari dan mundur dengan suara yang
keras “hai para sahabat yang telah bersumpah dalam Bai‟atur Ridwan”.
Dengan seruan itu, lalu para sahabat Ansar menjawabnya “ya, ya, kami
maju”. Kemudian mereka kembali maju dan bertempur di samping
57
Rasulullah. Maka Allah Swt menurunkan rahmat dan pertolongan-Nya
kepada Rasulullah dan kaum muslimin dengan bala tentara yang tidak
terlihat. Orang-orang Islam terus maju hingga semakin dahsyat
pertempuran itu, orang-orang musyrik kemudian mundur dan melarikan
diri. Tetapi kemudian terus dikejar oleh kaum muslimin (Abdul Jabbar,
tt: 51-52).
26. Perang Thaif
Rasulullah berangkat ke Thaif untuk mencari sisa-sisa musuh
yang melarikan diri dalam perang Hunain. Tatkala mereka melihat dan
mengetahui pasukan Islam, maka dengan cepat mereka menghujani
panah sehingga banyak sahabat yang menderita luka parah hingga 12
orang meninggal. Kemudian Rasulullah membalas dengan
menggunakan manjaniq dan mengepung mereka dalam benteng hingga
18 hari lalu beliau meninggalkan mereka dalam bentengnya dan berdoa
“ Ya Allah, berikanlah rasa takut kepada kabilah Tsaqif dan jadikanlah
mereka orang-orang yang menyerah”. Kemudian beliau kembali ke
Ji‟ranah untuk membagi harta rampasan perang Hunain. Beberapa hari
sesudah itu, datang menghadap dan menyerah pada beliau utusan
Hawazin, lalu beliau menanyakan padanya untuk memilih di antara dua
perkara, yaitu; memilih antara pembebasan tawanan atau mengambil
kembali harta yang menjadi rampasan. Kemudian mereka memilih
pembebasan tawanan (Abdul Jabbar, tt: 52-53).
58
27. Perang Tabuk
Rasulullah berangkat untuk perang ini pada bulan Rajab tahun 9
H, kurang lebih enam bulan setelah kembali dari Thaif. Perang ini
dikenal perang Tabuk, dinisbatkan kepada sebuah tempat yaitu mata air
Tabuk, tempat tujuan perjalanan tentara kaum muslimin (Ash Shallabi,
2017: 685). Adapun lokasi Tabuk terletak di sebelah utara Hijaz, sejauh
778 mil dari kota Madinah, berdasarkan jalanan aspal saat ini. Ketika
itu Tabuk termasuk bagian wilayah kabilah Qudha‟ah yang tunduk
kepada kekuasaan Romawi (Ash Shallabi, 2017: 687).
Para ahli sejarah menyebutkan sebab terjadinya perang ini
adalah, adanya informasi yang sampai kepada Nabi bahwa Romawi
telah menghimpun sebuah pasukan besar dan bergabung dengan mereka
kabilah Lakhm, Judzam, dan selain mereka dari kalangan pemeluk
kristen Arab. Maka Nabi hendak memerangi mereka sebelum mereka
memerangi beliau (Ash Shallabi, 2017: 688). Beliau menyiapkan diri
untuk menghadapi mereka dengan pasukan sebesar 30.000 orang.
Pasukan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Jaisyul Usrah, dikenal
demikian karena pasukan tersebut berangkat pada masa kesukaran,
disebabkan kurangnya bahan makanan dan panasnya matahari yang
sangat terik. Karena belanja dan biaya perang itu besar, maka
Rasulullah meminta bantuan dan sokongan kepada hartawan Islam
untuk mengorbankan sebagian harta bendanya demi kepentingan
agama, di antara mereka adalah Utsman bin Affan. Akan tetapi setelah
59
pasukan Islam berangkat ke Tabuk, baliau tidak menjumpai musuh
sebagaimana yang beliau dengar, sehingga tidak terjadi peperangan
(Abdul Jabbar, tt: 55-56). Peperangan ini mempunyai pengaruh yang
sangat besar bagi pamor orang-orang mukmin dan menguatkan mereka
di Jazirah Arab. Ini orang-orang mulai menyadari bahwa tidak ada satu
kekuatan kecuali kekuatan Islam. Sisa harapan dan angan-angan yang
masih bersemayam di hati orang-orang munafik dan jahiliyah mulai
sirna. Sebelumnya mereka masih berharap pada pasukan Romawi untuk
melumat pasukan muslimin. Namun setelah peperangan ini, membuat
mereka sudah kehilangan nyali dan pasrah terhadap kekuatan yang ada,
karena mereka sudah tidak memiliki celah dan peluang untuk
melakukan konspirasi (Al Mubarakfuri, 2014: 537).
Dari ulasan di atas dapat dikatakan bahwa dari total 74 peperangan di
zaman Rasulullah. 27 kali Rasulullah telah memimpin pertempuran
sedangkan 47 lainnya beliau mengirimkan pasukan yang disebut sariyyah.
Ayat tentang sariyyah ini dapat dilihat pada surat at Taubah ayat 122:
ب مب ؤ ل مبفت ىفسا ٱى فس في فسقت مو ا طبئفت ف ىتفق ٱىد
ىرزا ا إذا ق زجع إى ىعي حرز
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya” (Surat At-Taubah (9): 122).
60
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan
penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyyah-
sariyyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyyah lantaran Nabi
saw tidak ikut (Jalalain, tt: 170). Dengan begitu dapat dikatakan bahwa,
dalam sariyyah tidaklah semua kaum muslimin boleh berangkat, kecuali
mereka yang telah mendapatkan izin dari nabi. Sedangkan dalam ghazwah,
seluruh kaum muslimin harus ikut serta kecuali mereka yang memiliki udzur
syar‟i atau mendapatkan tugas dari nabi untuk menjaga Madinah.
Setelah membaca gahzwah yang dilalui oleh Rasulullah, kita dapat
melihat beberapa perubahan yang dilakukan oleh beliau. Di antara yang
dirombak oleh Rasulullah adalah tujuan dan sasaran perang yang sebelumnya
hendak diraih masyarakat jahiliyah. Apabila sebelumnya peperangan
merupakan aksi tentang perampasan, penjarahan, pembunuhan, kezhaliman,
kesewenang-wenangan, kebencian, permusuhan, melampiaskan dendam
mencari keuntungan dengan cara apapun, melumatkan pihak yang lemah,
menghancurkan segala yang ada, merobohkan bangunan, melanggar
kehormatan wanita, berbuat kasar pada pihak yang lemah dan anak-anak,
merusak tanaman dan keturunan, menciptakan kerusakan di bumi, maka
peperangan dalam Islam adalah jihad untuk mewujudkan tujuan yang mulia,
terpuji dan kemaslahatan secara menyeluruh, untuk mengangkat kedudukan
manusia di segala tempat dan zaman. Peperangan dalam Islam adalah jihad
untuk membebaskan bumi dari penghianatan, pelanggaran, dan dosa
permusuhan sehingga menjadi bumi yang penuh dengan keamanan,
61
ketenangan, kedamaian, kasih sayang, dan perlindungan terhadap hak dan
kesucian (Al Mubarakfuri, 2014: 541).
Setelah kita mengamati peperangan-peperangan yang diikuti oleh
Rasulullah, dapat dikatakan bahwa beliau adalah pemimpin terbaik. Tercatat
27 kali peperangan yang beliau ikut terjun langsung, dimulai dengan perang
Waddan yang terjadi pada tahun ke 2 H dan diakhiri dengan perang Tabuk
pada tahun ke 9 H, Rasulullah telah menerapkan berbagai macam kebijakan
dan strategi yang berbeda. Karena itu beliau tidak pernah mengalami
kegagalan karena salah dalam mengambil kebijakan, atau dalam menyusun
strategi peperangan. Adapun dalam peristiwa pada perang Uhud dan perang
Hunain lebih disebabkan pada kesalahan anggota pasukan yang melanggar
atau menyalahi aturan beliau. Meski demikian, peristiwa Uhud dan Hunain
justru menampakkan keberanian dan kecerdikan Rasulullah ketika
menghadapi tekanan dari musuh, sehingga bisa meminimalisir kekalahan
bahkan dapat membalikkan keadaan. Di antara sebab terjadinya peperangan
adalah, untuk menunjukkan eksistensi kekuasaan kaum muslimin di Madinah,
mempertahankan diri dari serangan pihak musuh, memberikan pelajaran bagi
mereka yang berkhianat, dan memerikan pelajaran bagi mereka yang ingin
mengganggu stabilitas keamanan.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah Rasulullah SAW
Rasulullah adalah teladan untuk seluruh manusia, karena ia diutus
sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Di antara episode kehidupan
Rasulullah adalah terjadinya peperangan-peperangan pasca hijrah dari
Makkah ke Madinah. Setelah penulis menganalisis peristiwa peperangan yang
terjadi dan diikuti langsung oleh Rasulullah, penulis mendapati berbagai nilai
pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Adapun nilai tersebut
menyangkut nilai I‟tiqodiyah, nilai amaliah, dan nilai khuluqiyah.
1. Nilai I‟tiqodiyah
Keimanan yang kuat merupakan dasar yang harus dimiliki setiap
muslim. Tanpa keimanan yang kuat, maka akidah seorang muslim akan
mudah goyah dengan berbagai hal yang terjadi. Oleh karena itu, salah
satu dari nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam adalah nilai
i‟tiqodiyah. Nilai-nilai i‟tiqodiyah yang ditanamkan melalui pendidikan
Islam meliputi, iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, serta
takdir. Berikut ini merupakan nilai pendidikan Islam dalam bingkai
keimanan yang terdapat dalam kisah ghazwah Rasulullah.
a) Iman kepada Allah
Dasar dari akidah adalah iman kepada Allah. Salah satu kisah
dalam ghazwah Rasulullah yang menekankan keimanan kepada
Allah adalah sebagai berikut.
63
“Ucapkanlah tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa.
Dia telah menepati janji-Nya, menolong hamban-Nya, dan
mengalahkan pasukan musuh bersendirian (Abazhah, 2014:
204).
Kemudian kisah lain yang menekankan iman kepada Allah
adalah dalam peristiwa perang Uhud yang dikisahkan sebagai
berikut:
Kabar meninggalnya Rasulullah pada perang Uhud
membuat mental kaum muslimin menjadi ciut, maka Tsabit
bin Ad Dahdah berseru pada kaumnya, “Wahai semua orang
Anshar, kalau pun Muhammad benar-benar terbunuh, Allah
tetap hidup dan tidak mati. Berperanglah atas nama agama
kalian, karena Allah akan memenangkan dan menolong
kalian.” (Al Mubarakfuri, 2014: 312).
Dalam kutipan tersebut, menekankan salah satu dari 20 sifat
wajib bagi Allah, yaitu sifat baqa‟ yang berarti kekal dan abadi.
Bahwa semua yang hidup akan mati kecuali Allah, serta semua yang
ada akan rusak kecuali Allah Swt.
b) Iman kepada Malaikat
Iman kepada malaikat merupakan keyakinan akan adanya
malaikat-malaikat Allah, bahwa mereka merupakan salah satu dari
bermacam-macam ciptaan Allah, tidak mendurhakai Allah dan
mengerjakan apa-apa yang Allah perintahkan. Salah satu kisah yang
menekankan keimanan kepada malaikat adalah dalam peristiwa
perang Badar sebagai berikut:
Tiba-tiba Rasulullah diserang kantuk hanya dalam
sekejap saja. Kemudian beliau mendongakkan kepala seraya
bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar, inilah Jibril
yang datang di atas gulungan-gulungan debu. Orang-orang
muslimin bertempur hebat dengan bantuan para malaikat.
64
Disebutkkan dalam riwayat Ibnu Sa‟d dari Ikrimah, dia
berkata, “Pada saat itu ada kepala salah seorang musyrik
terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah membabatnya, ada
pula tangan yang putus, tanpa diketahui siapa yang
menebasnya.” Ibnu Abbas berkata, “Tatkala seorang dari
pasukan muslimin berusaha keras menghabisi salah seorang
musyrik dihadapannya, tiba-tiba dia mendengar suara lecutan
cambuk di atasnya dan suara seorang penunggang kuda yang
berkata, “majulah terus wahai Haizum” lalu orang nuslim itu
memandang orang musyrik di hadapannya yang sudah
terjerembab.” Seorang Anshar yang melihat kecadian ini
menuturkan kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda,
“Engkau benar, itulah pertolongan dari langit ketiga.” (Al
Mubarakfuri, 2014: 252-253).
Dalam kutipan tersebut menakankan akan adanya malaikat
yang dengan izin Allah memberikan pertolongan dalam perang
Badar melawan kafir Quraisy.
c) Iman kepada Kitab
Iman kepada kitab, merupakan keyakinan yang teguh bahwa
Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada Rasul-Nya, sebagai
petunjuk untuk manusia. Kitab adalah kalam Allah yang diturunkan
melalui perantara malaikat Jibril kepada Rasul-Nya. Salah satu
penekanan iman kepada kitab dalam ghazwah Rasulullah terdapat
pada kutipan pidato beliau saat sampai di Tabuk,
“Saudara-saudara, sesungguhnya sebenar-benar
ucapan adalah Kitab Allah.”
Kutipan dari pidato Rasulullah tersebut memberikan
pengertian untuk mengimani adanya Kitab Allah, sebagai pedoman
dan petunjuk untuk manusia.
65
d) Iman kepada Rasul
Iman kepada Rasul adalah keyakinan yang teguh bahwa
Allah telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul dari mereka
yang mengajak untuk mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya.
Salah satu kisah yang menampakkan keimanan kepada Rasul adalah
dalam musyawarah yang Rasulullah adakan sebelum meletus perang
Badar,
Al Miqdad bin Amr berdiri seraya berkata, “Wahai
Rasulullah majulah terus seperti diperlihatkan Allah kepada
engkau. Kami akan bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan
berkata kepada engkau sebagaimana Bani Israel yang berkata
kepada Musa. „Pergi engkau sendiri bersama Rabb-mu lalu
berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami ingin duduk
menanti di sini saja‟. Tetapi pergilah engkau bersama Rabb-
mu lalu berperanglah kalian bedua, dan sesungguhnya kami
akan berperang bersama kalian berdua. Demi yang
mengutusmu dengan kebenaran, andaikata engkau pergi
membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami pun
siap bertempur bersama engkau hingga bisa mencapai tempat
itu.” (Al Mubarakfuri, 2014: 238-239).
Begitu pula keimanan kepada Rasulullah yang ditunjukkan
oleh komandan perang dari golongan Anshar, Sa‟ad bin Muadz.
Sa‟ad berkata, “Kami sudah beriman kepada engkau.
Kami sudah membenarkan engkau. Kami sudah bersaksi
bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami sudah
memberikan sumpah dan janji kami untuk patuh dan taat.
Maka majulah terus wahai Rasulullah seperti engkau
kehendaki. Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran,
andaikan engkau bersama kami terhalang lautan lalu engkau
terjun dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersamamu.
Tak seorang pun di antara kami yang akan mundur.
Sesungguhnya kami dikenal orang-orang yang sabar alam
peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Allah
memperlihatkan kepadamu tentang diri kami, apa yang
engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan
barakah Allah.” (Al Mubarakfuri, 2014: 239).
66
Kutipan di atas menekankan keimanan dengan sepenuhnya
kepada Rasulullah. Keberuntungan akan diperoleh bagi mereka yang
taat dan patuh kepada Rasulullah. Sekalipun terlihat pahit di awal,
namun pada akhirnya akan membuahkan kebahagiaan.
e) Iman Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir sering dimaknai sebagai keyakinan
yang teguh bahwa kehidupan dunia akan berakhir. Dengan
berakhirnya kehidupan dunia, maka akan dimulai kehidupan di
akhirat. Salah satu kisah dalam ghazwah Rasulullah yang menyiratkan
keimanan kepada hari akhir adalah:
Anas menyebutkan bahwa, Rasulullah pergi ke parit
pada pagi hari yang sangat dingin, sementara orang-orang
Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Mereka tidak
punya orang yang bisa diupah untuk pekerjaan ini. Beliau tahu
perut mereka kosong dan juga letih. Oleh karena itu beliau
bersabda, “Ya Allah sesungguhnya kehidupan yang lebih baik
adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang
Muhajirin dan Anshar.” Mereka menjawab, “Kamilah yang
akan berbaiat kepada Muhammad, siap berjihad selagi kami
masih hidup” (Al Mubarakfuri, 2014: 359).
Kutipan yang menekankan keimanan dengan hari akhir adalah
dalam doa Rasulullah “Sesungguhnya kehidupan yang lebih baik
adalah kehidupan akhirat.” Setelah mendengar hal itu maka para
sahabat menjadi lebih bersemangat dalam penggalian parit saat itu.
2. Nilai Amaliah.
Nilai amaliah berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari, baik
yang berhubungan dengan pendidikan ibadah yang memuat hubungan
67
manusia dengan Tuhannya. Serta pendidikan muamalah yang memuat
hubungan antara manusia (Umar, 2011: 37-38). Adapun nilai-nilai
pendidikan Islam dalam bingkai amaliah yang terdapat dalam kisah
ghazwah Rasulullah adalah,
a) Sholat
Shalat merupakan tiang agama, maka siapa yang
menegakkannya sesungguhnya ia menegakkan agama, sedangkan
siapa yang melalaikannya sejatinya ia sedang menghancurkan
agama. Imam Ghazali menyampaikan, bahwa makna dari shalat
adalah dzikir, bacaan, munajat, dan dialog (Al Ghazali, 2011: 59).
Maka shalat adalah sebuah hubungan antara manusia dengan
Tuhannya yang mesti dijaga disetiap keadaan sebagaimana yang
telah ditentukan. Adapun kisah dalam ghazwah yang menunjukkan
ibadah shalat adalah:
Pasca perang Uhud Muhammad bin Maslamah datang
sambil membawa air segar. Maka Rasulullah meminumnya
dan mendoakan kebaikan baginya. Beliau shalat zuhur di
tempat itu sambil duduk karena lukannya, sedangkan orang-
orang muslim di belakang beliau juga shalat sambil duduk
(Al Mubarakfuri, 2014: 326).
Dalam kutipan tersebut menceritakan kondisi Rasulullah dan
kaum muslimin pasca perang Uhud yang terluka akibat pertempuran.
Maka ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah mengerjakan shalat
dengan duduk, begitu juga kaum muslimin yang menjadi makmum.
68
b) Sedekah
Ahli hikmah Lukman al Hakim pernah menasehati anaknya,
“Apabila engkau terlanjur berbuat dosa, maka segeralah
bersedekah.” Yahya bin Muadz juga pernah mengatakan, “Tidak aku
ketahui satu dzarrah pun yang lebih berat timbangannya dari pada
sebuah bukit kecuali dzarrah atas sedekah yang dikeluarkan secara
ikhlas” (Al Ghazali, 2011: 154). Sedekah yang dilakukan dengan
ikhlas memliki banyak keutamaan, adapun kisah dalam ghazwah
yang menunjukkan sedekah adalah:
Pada perang Tabuk, Rasulullah mendorong mereka
agar mengeluarkan sedekah dan menginfakan kelebihan harta
di jalan Allah (Al Mubarakfuri, 2014: 523).
Atas dorongan dari Rasulullah, maka para sahabat berlomba-
lomba untuk bersedekah. Sebagaimana dalam kutipan berikut,
Maka para sahabat berlomba-lomba untuk
bersedekah. Utsman bin Affan bersedakah 900 ekor unta dan
100 ekor kuda, tidak termasuk uang kontan. Abdurrahman
bin Auf menyerahkan 200 uqiyah perak, abu Bakar
menyerahkan semua hartanya dan tidak menyisakan bagi
keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya, yang nilainya
4000 dirham. Abu Bakar adalah orang pertama yang
menemui Rasul untuk bersedekah. Umar juga datang
menyerahkan sebagian hartanya. Al Abbas juga menyerahkan
harta yang cukup banyak, begitu pula Thalhah, Sa‟d bin
Ubadah, Muhammad bin Maslamah, yang semuanya datang
sambil menyerahkan sedekah. Ashim bin Adi menyerahkan
70 wasaq kurma, lalu disusul orang-orang yang menyerahkan
apa pun yang dimilikinya, ada yang sedikit ada yang banyak.
Bahkan ada di antara mereka yang hanya menyerahkan satu
atau dua mud kurma, karena hanya itu yang mereka punya.
Para wanita juga datang untuk menyerahkan berbagai macam
perhiasan milik mereka (Al Mubarakfuri, 2014: 530).
69
Dari kutipan tersebut, menggambarkan keadaan para sahabat
Rasulullah, meskipun dalam keadaan susah, mereka tetap memenuhi
panggilan Rasulullah untuk bersedekah.
c) Doa
Inti dari ibadah adalah doa, ketika berdoa sejatinya seorang
hamba mengakui kelemahan dirinya serta menyadari bahwa tidak
ada kekuatan yang lebih besar, kecuali kekuatan yang datang dari
Allah. Dalam kisah ghazwah, salah satu yang menunjukkan doa
adalah:
Dalam perang Hunain, Rasulullah turun lalu berdoa,
“Ya Allah, turunkanlah pertolongan-Mu. Ya Allah aku
memohon Engkau penuhi janji-Mu. Ya Allah, tidak pantas
mereka mengalahkan kami. Ya Allah, dengan pertolongan-
Mu aku berdaya upaya, dengan pertolongan-Mu aku tegar
dan perkasa, dengan pertolongan-Mu aku berperang”
(Abazhah, 2014: 200).
Kutipan di atas adalah salah satu peristiwa saat perang
Hunain. Di awal peperangan, pasukan muslim kocar-kacir oleh
serangan musuh yang tiba-tiba. Karena itu Rasulullah berdoa
memohon pertolongan Allah, dan pada akhirnya kaum muslimin
dapat meraih kemenangan.
d) Jihad
Salah satu ibadah dengan nilai pahala yang besar adalah jihad
di jalan Allah. Jihad pada masa awal Islam salah satunya adalah
berperang melawan orang-orang musyrik. Salah satu kisah yang
menggambarkan jihad adalah:
70
Karena mengetahui jumlah pasukan musuh yang
begitu besar, maka pasukan muslim mulai ragu untuk
berperang. Kemudian Abdullah bin Rawahah memberikan
motivasi dengan berkata, “Wahai semua orang, demi Allah,
apa yang tidak kalian sukai dalam berpergian ini sebenarnya
justru merupakan sesuatu yang kita cari, yaitu mati syahid.
Kita tidak berperang dengan manusia karena jumlah,
kekuatan dan banyaknya personil. Kita tidak memerangi
mereka melainkan karena agama ini, yang dengannya Allah
telah memuliakan kita. Maka berangkatlah, karena di sana
hanya dua salah satu dari dia kebaikan, entah kemenangan
ataupun mati syahid” (Al Mubarakfuri, 2014: 471).
Dalam kutipan tersebut menggambarkan peristiwa pada
perang Mu‟tah. Saat kaum muslimin yang berjumlah 3.000 prajurit
berhadapan dengan pasukan musuh yang berjumlah 200.000
sehingga sempat membuat nyali pasukan muslimin menjadi ciut.
Melihat hal itu maka Abdullah bin Rawahah memotivasi kaum
muslimin akan jihad yang mereka lakukan sejatinya untuk
mendapatkan syahid.
e) Qishas
Qishas merupakan salah satu dari bentuk hukuman yang
disyariatkan Allah. Ia merupakan hukuman setimpal yang diberikan
kepada pelaku atas dasar perbuatannya, dia yang membunuh maka
hukumannya adalah dibunuh.
Dalam penggempuran Bani Quraidlah, tak ada wanita
yang di bunuh kecuali seorang wanita sebagai qishas karena
telah melempar kepala Khallad bin Suwaid dengan batu
penggilingan hingga meninggal (Abazhah, 2014: 132).
Salah satu adab dan aturan perang dalam Islam, adalah tidak
mengganggu mereka yang lemah termasuk wanita. Adapun kutipan
71
di atas menceritakan adanya wanita dari Bani Quraidlah yang
dihukum mati sebagai qishas, karena ia telah membunuh salah satu
pasukan muslim.
3. Nilai Khuluqiyah
Nilai khuluqiyah berkaitan dengan pendidikan etika, yang
bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri
dengan perilaku terpuji (Umar, 2011: 37). Di antara pendidikan
khuluqiyah yang terdapat dalam ghazwah Rasulullah adalah sebagai
berikut.
a) Takwa
Takwa secara sederhana dapat dimaknai dengan,
mengerjakan setiap perintah Allah dan menjuhi semua larangan-Nya.
Dengan menumbuhkan ketakwaan, sebenarnya telah menumbuhkan
benteng bagi diri manusia untuk melaksanakan kebaikan dan
menghindari keburukan.
Dalam perang Mu‟tah, Rasulullah menyertai pasukan
hingga bukit al Wada‟, kemudian melepas dan berpesan pada
mereka, “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat baik kepada
kaum muslim yang bersama kalian (Abazhah, 2014: 167).
Dalam kutipan pesan Rasulullah tersebut. Menekankan
kepada kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah, sehingga ia
dapat menjaga dirinya dan memperoleh kebahagiaan dan ketenangan.
b) Sabar
Salah satu yang mesti ditanamkan kepada manusia adalah
melatih kesabaran, karena salah satu sifat dasar manusia adalah
72
tergesa-gesa. Maka seringkali manusia di berikan ujian untuk melatih
kesabaran mereka. salah satu peristiwa yang menggambarkan
kesabaran adalah.
Beliau memeriksa barisan, berkeliling sembari menyamangati
pasukan serta berjanji akan memetik kemenangan jika
mereka sabar dan sungguh-sungguh (Abazhah, 2014: 199).
Salah satu hal yang Rasulullah tekankan dalam kutipan
tersebut adalah kesabaran. Bahwa salah satu syarat mencapai
kemenangan adalah tatkala manusia dapat bersabar.
c) Disiplin
Kedisiplinan merupakan suatu hal yang mesti ditanamkan,
sebab tidak ada yang memperoleh kesuksesan kecuali ia berdisiplin.
Di antara nilai disiplin adalah taat pada perintah yang disampaikan
pimpinan. Untuk menggambar nilai disiplin, terdapat pada kisah
ghazwah Uhud.
Pada saat perang Uhud Rasulullah berpesan pada para
pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair bin An
Nu‟man Al Anshari. Beliau berpesan, “Lindungilah kami
dengan anak panah, agar musuh tidak menyerang dari arah
belakang. Tetaplah di tempatmu, entah kita di atas angin atau
terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu.” Beliau juga
berpesan, “Lindungilah punggung kami, jika kalian melihat
kami sedang bertempur maka kalian tidak perlu membantu
kami. Jika kalian melihat kami telah memperoleh harta
rampasan, maka jangan kalian turut ikut bergabung bersama
kami.” (Al Mubarakfuri, 2014: 299-300).
Peristiwa Uhud tersebut menggambarkan pentingnya
berdisiplin, karena para pemanah tidak disiplin sebab melanggar
73
pesan Rasulullah, mengakibatkan kaum muslimin menerima resiko
berupa kekalahan di Uhud.
d) Keteladanan
Salah satu peristiwa yang menggambarkan keteladanan dari
Rasulullah adalah pada peristiwa perang Khandaq.
Dengan giat dan penuh semangat orang-orang muslim
menggali sebuah parit yang panjang. Rasulullah terus
memompa semangat mereka dan terjun langsung di lapangan.
Di dalam Shohih Al Bukhari disebutkan dari Sahl bin Sa‟d,
dia berkata, “kami bersama Rasulullah di dalam parit.
Sementara orang-orang menggalinya. Kami mengusung tanah
di pundak kami” (Al Mubarakfuri, 2014: 358).
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa pemimpin
seharusnya memberikan teladan. Bukan hanya memberi perintah,
melainkan ikut melaksanakan keputusan yang sudah dibuat.
e) Berbuat baik pada siapapun
Salah satu bentuk dari akhlak yang tergambar pada ghazwah
Rasulullah adalah akhlak kaum muslimin pada para tawanan perang.
Peristiwa tersebut menggambarkan akan perintah berbuat baik pada
semua orang.
Sambil menuggu penebusan, para sahabat
memperlakukan para tawanan dengan baik. Inilah pengakuan
Abu Uzair bin Umair, saudara Mus‟ab, “Kami memperoleh
makanan enak dari orang Anshar. Mereka memberiku roti
untuk sarapan dan makan malam, padahal mereka hanya
makan kurma sesuai petunjuk Rasulullah. Tak pernah ada roti
di tangan mereka kecuali diberikan kepadaku, sampai-sampai
aku malu dan kukembalikan pada mereka, tetapi mereka
menolak dan tidak menyentuhnya” (Abazhah, 2014: 57).
74
Pada kutipan di atas menunjukkan keharusan berbuat baik
pada semua orang. Meskipun para tawanan perang adalah musuh,
tetap kaum muslimin harus berbuat baik kepada mereka.
f) Menepati Janji
Akhlak kaum muslimin yang Rasulullah ajarkan adalah
menepati janji. Karena salah satu ciri munafik adalah berjanji dan
mengingkari. Salah satu peristiwa yang menggambarkan keteguhan
kaum muslimin dalam menepati janji adalah:
Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah
dan bertahanlah, karena Allah akan memberikan jalan keluar
kepadamu dan orang-orang lemah yang kini bersamamu.
Kami sudah mengukuhkan perjanjian antara kami dengan
mereka. kami telah membuat persetujuan dengan mereka atas
demikian ini dan mereka pun sudah memberikan sumpah atas
nama Allah kepada kami. Maka kami tidak akan
melanggarnya” (Al Mubarakfuri, 2014: 409).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa, wajib bagi mereka
yang sudah mengikat perjanjian untuk memegang teguh janjinya.
g) Menghargai Pendapat Orang Lain
Seringkali perbedaan pendapat membuahkan permusuhan di
antara manusia, padahal sejatinya perbedaan itu akan tetap ada. Maka
untuk dapat mencegah permusuhan adalah dengan adanya sikap
menghargai pendapat meski berbeda dengan kita. Salah satu peristiwa
yang menggambarkan hal tersebut adalah:
Ketika hendak menuju Bani Quraidlah, Rasulullah
memerintahkan kepada seorang muadzin agar berseru kepada
orang-orang, “Siapa yang tunduk dan patuh maka janganlah
sekali-kali mendirikan shalat ashar kecuali di Bani
Quraidlah.” Saat tiba waktu shalat ashar, sebagian dari
75
mereka ada yang masih dalam perjalanan. Sebagian yang lain
berkata, “Kami tidak mendirikan shalat ashar kecuali setelah
tiba di Bani Quraidlah seperti yang diperintahkan
Rasulullah.” Hingga sebagian mereka mendirikan shalat
ashar setelah tiba waktu isya‟. Mereka berkata, “Kami tidak
mempermasalahkan ini. Karena yang dimaksudkan beliau
agar kami cepat-cepat pergi. Sekalipun ada yang
mengerjakannya di tengah perjalanan, tak seorang pun yang
mempermasalahkannya” (Al Mubarakfuri, 2014: 372).
Dalam kutipan di atas, terlihat para sahabat berbeda pendapat
pada perintah Rasulullah yang mengintruksikan agar jangan sholat
ashar kecuali di Bani Quraidlah. Sebagian sahabat berpegang pada
teks perintah tersebut. Sedangkan sebagian lainnya berpegang pada
konteks perintah tersebut. Meskipun berbeda mereka tetep
menghargai perbedaan itu.
h) Mudah Memaafkan
Sikap mudah memaafkan yang di ajarkan Rasulullah alah
satunya tampak pada saat penaklukkan Makkah. Nabi bertemu
dengan musuh Islam saat itu, Abu Sufyan. Sikap tersebut tergambar
pada kutipan berikut.
Maka Abu Sufyan melaksanakan saran Ali. Kemudian
beliau bersabda kepada Abu Sufyan, “Pada hari ini tidak ada
cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni
kalian dan Dia adalah Maha Penyayang di antara penyayang”
(Al Mubarakfuri, 2014: 485).
Kutipan di atas menunjukkan, meskipun Abu Sufyan saat itu
adalah salah satu orang yang sangat memusuhi Islam, Rasulullah
tetap memaafkan dia dan memohonkan ampun untuknya.
76
i) Menjaga lingkungan
Di antara nilai yang ditanamkan Rasulullah adalah untuk
menjaga lingkungan. Seorang muslim hendaknya memiliki
kepedulian terhadap lingkungannya. Nilai ini tergambar dalam salah
satu pesan Rasulullah pada perang Mu‟tah
“kamu nanti akan berjumpa beberapa lelaki yang
menyendiri beribadat di dalam gereja-gereja, maka janganlah
sekali-kali kamu mengganggu mereka. janganlah kamu
membunuh perempuan, anak kecil, orang tua yang lemah dan
jangan kamu memotong pohon dan merobohkan bangunan”
(Abdul Jabbar, tt: 45).
Dalam pesan tersebut, Rasulullah melarang untuk memotong
pohon dan merobohkan bangunan. Hal ini memberikan pesan bahwa,
meskipun dalam kondisi perang sekalipun hendaknya seorang
muslim tetap memelihara dan menjaga lingkungan sekitar dengan
tidak merusaknya.
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah Rasulullah
Terhadap Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah proses dan upaya memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia baik jasmani maupun rohani, melalui
pengajaran dan bimbingan secara sadar oleh pendidik dengan berlandaskan
nilai-nilai Islam yang tinggi dan sempurna menuju terbentuknya insan kamil.
Ghazwah Rasulullah adalah salah satu episode kehidupan beliau yang
mengandung pembelajaran dan hikmah di dalamnya. Ghazwah tidak dapat
lepas dari sejarah umat Islam. Rasulullah sebagai seorang pendidik tentunya
memberikan pendidikan di setiap lini kehidupan. Maka penulis mencoba
77
menggali nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam sejarah
ghazwah Rasulullah dan mencari relevansinya dengan pendidikan Islam
sebagai berikut.
1. Relevansi Nilai I‟tiqodiyah
Nilai i‟tiqodiyah berkaitan dengan pendidikan keimanan.
Merupakan dasar serta pondasi bagi seorang muslim untuk menjalani
kehidupannya di dunia dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Penulis
mendapatkan beberapa nilai i‟tiqodiyah yang terkandung di dalam
ghazwah Rasulullah, di antaranya; Iman Kepada Allah, Malaikat, Kitab,
Rasul dan Hari Akhir. Lima nilai yang terkandung dalam ghazwah
Rasulullah tersebut relevan dengan pendidikan Islam dalam materi
pendidikan akidah yang membahas tentang rukun iman.
2. Relevansi Nilai Amaliah
Nilai amaliah berkaitan dengan pendidikan ibadah dan
muamalah. Ibadah yang merupakan sarana penghubung antara manusia
dengan Tuhannya, dan muamalah yang menghubungkan antara sesama
manusia. Di dalam sejarah ghazwah penulis mendapatkan beberapa nilai
pendidikan Islam dalam bingkai amaliah yang meliputi; sholat, sedekah,
doa, jihad, dan qishas. Nilai pendidikan Islam tersebut relevan dengan
pendidikan Islam dalam materi fiqh. Di dalamnya mencakup ibadah yang
meliputi syarat dan rukunnya.
78
3. Relevansi Nilai Khuluqiyah
Nilai khuluqiyah berkaitan dengan pendidikan etika ataupun
pendidikan akhlak. Akhlak merupakan buah dari keimanan. Maka
seringkali kata akidah berdampingan dengan kata akhlak. Di dalam
sejarah ghazwah penulis mendapatkan nilai pendidikan Islam dalam
bingkai khuluqiyah meliputi; takwa, sabar, disiplin, keteladanan,
berbuat baik, menepati janji, menghargai pendapat, mudah memaafkan,
dan menjaga lingkungan. Kesembilan nilai yang terkandung dalam
ghazwah tersebut relevan dengan pendidikan Islam saat ini yang
menekankan akan pentingnya akhlak. Materi yang membahas tentang
akhlak dapat di jumpai pada materi tasawuf maupun akidah akhlak.
Dari ketiga pemaparan di atas dapat dikatakan, bahwa nilai-nilai
pendidikan Islam dalam kisah ghazwah Rasulullah sangat relevan dengan
pendidikan Islam saat ini. Hal tersebut dapat dilihat kaitannya dengan materi
pembelajaran dalam pendidikan agama Islam. Dalam nilai i‟tiqodiyah
terdapat lima nilai yaitu, iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, dan hari
akhir. Kelima nilai tersebut relevan dengan pendidikan Islam dalam
pembelajaran akidah yang membahas tentang rukun iman. Dalam nilai
amaliah terdapat lima nilai yaitu, shalat, sedekah, doa, jihad, dan qishas.
Kelima nilai tersebut relevan dengan pendidikan Islam dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam pada materi fiqh. Adapun dalam nilai khuluqiyah
terdapat tujuh nilai yang meliputi; takwa, sabar, disiplin, keteladanan, berbuat
baik, menepati janji, menghargai pendapat, mudah memaafkan, menjaga
79
lingkungan. kesembilan nilai tersebut relevan dengan pendidikan Islam
dalam pembelajaran akhlak, seperti pada materi akidah akhlak atau tasawuf.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tentang “Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ghazwah
Rasulullah SAW” dapat disimpulkan bahwa:
1. Ghazwah adalah peperangan yang Rasulullah ikut terjun di dalamnya.
Tercatat 27 ghazwah dimulai dengan perang Waddan yang terjadi pada
tahun ke 2 H, dan berakhir pada perang Tabuk pada tahun ke 9 H. Di
antara sebab terjadinya ghazwah adalah, untuk menunjukkan eksistensi
kekuasaan kaum muslimin di Madinah, mempertahankan diri dari
serangan pihak musuh, memberikan pelajaran bagi mereka yang
berkhianat, dan memberikan pelajaran bagi mereka yang ingin
mengganggu stabilitas keamanan.
2. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ghazwah Rasulullah
di antaranya adalah, nilai i‟tiqodiyah, nilai amaliah, nilai khuluqiyah.
Nilai i‟tiqodiyah meliputi; iman kepada Allah, iman kepada malaikat,
nilai kepada kitab, nilai kepada rasul, dan nilai kepada hari akhir. Nilai
amaliah meliputi; shalat, sedekah, doa, jihad, dan qishas. Serta nilai
khuluqiyah yang meliputi; takwa, sabar, keteladanan, berbuat baik,
menepati janji, menghargai pendapat, dan mudah memaafkan.
3. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ghazwah Rasulullah memiliki
relevansi terhadap pendidikan Islam saat ini. Nilai i‟tiqodiyah relevan
dengan pendidikan Islam dalam pembelajaran pendidikan agama Islam
pada materi akidah. Nilai amaliah relevan dengan pendidikan Islam
81
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam pada materi fiqh. Dan nilai
khuluqiyah relevan dengan pendidikan Islam dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam pada materi akidah akhlak atau tasawuf.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan
dengan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Kepada para pembaca dan mahasiswa, hendaknya memperbanyak literasi
dalam sejarah Islam khususnya sirah nabawiyah. Karena banyak nilai
termasuk nilai dalam bidang pendidikan pada bacaan tersebut. Sejarah
Islam dan sirah nabawiyah memiliki keistimewaan tersendiri, karena
berkisah tentang kehidupan Rasulullah yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan.
2. Kepada para praktisi pendidikan, hendaknya mengetahui dan memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam sirah nabawiyah, sehingga dapat
menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya kepada para
peserta didik dengan berkisah dan mengambil ibrah di dalamnya. Hal ini
karena sirah nabawiyah merupakan rangkaian kisah perjalanan nabi
sehingga siswa akan lebih menikmati pembelajaran.
3. Kepada para peneliti, hendaknya melakukan penelitian pada kisah-kisah
Rasulullah dengan menggali pesan-pesan yang terkandung di dalamnya,
sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan saat ini.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abazhah, Nizhar. 2011. Perang Muhammad: Kisah Perjuangan dan Pertempuran
Rasulullah. Terjemahan oleh Asy‟ari Khatib. Jakarta: Zaman.
Abdul Jabar, Umar. Tanpa tahun. Khulasoh Nurul Yaqin Juz 2. Surabaya: Pustaka
Ahmad Nabhan.
Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media.
Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Al Ghazali. 2011. Ihya Ulumiddin juz 3. Terjemahan oleh Ibnu Ibrahim
Ba‟adillah. Jakarta: PT Gramedia.
Al Habsyi, Husin. 1991. Kamus Al Kautsar Lengkap. Bangil: Yayasan Pesantren
Islam.
Al Hasyimi, Abdul Mun‟im. 2009. Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim.
Terjemahan oleh Abdul Hayyie Al Kattani. Jakarta: Gema Insani.
Al Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2014. Sirah Nabawiyah. Terjemahan oleh
Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Al Qardhawi, Yusuf. 2013. Pengantar Kajian Islam. Terjemahan oleh Setiawan
Budi Utomo. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Al Sya‟rawi, Mutawalli. 2011. Kedudukan Muhammad Saw Sebagai Rahmatan
Lil Alamin Pilihan Allah. Terjemahan oleh Usman Hatim. Jakarta:
Gramedia.
Anwar, Saifuddin.2006. metode penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin, Zaenal. 2011. Penelitian Pendidikan Metode Dan Paradigma Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
As Siba‟i, Musthafa. 2013. Ringkasan Sirah Nabawiyah. Terjemahan oleh
Budiman mustofa dan muhammad suhadi. Solo: Ahad Books.
Ash Shallabi, Ali Muhammad. Peperangan Rasulullah. Terjemahan oleh Arbi,
Nila Noer Fajriyah. Jakarta: Ummul Qura.
Daradjat, Zakiah, dkk. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
83
Fathoni, Abdurrahman. 2006. Metodologi Penelitian Dan Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hart, Michael H. 2017. 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia. Terjemahan
oleh Ken Ndaru dan M Nurul Islam. Jakarta: Penerbit Noura.
Imam Jalalain. Tt. Tafsir Al-Qur‟an Al Adzim. Surabaya: Al Hidayah.
Lubis, Mawardi. 2011. Evaluasi Pendidikan Nilai: Perkembangan Moral
Keagamaan Mahasiswa PTAIN. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maimun, Abdul Ghofur. 2015. Peperangan Nabi Muhammad Saw dan Ayat-Ayat
Qital. Al Itqon, 1(1): 16.
Marimba, Ahmad D. 1998. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bnadung: Al Maarif.
Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: Stain Salatiga Press.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mufron, Ali. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Mujtahid. 2011. Reformasi Pendidikan Islam. Malang. UIN-Malang Press.
Satori, Djam‟an. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Susanto, Ahmad. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Umar, Bukhari. 2011. Ilmu Penddidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nur Wakhid Al Ghufron
Tempat/Tanggal lahir : Kab Semarang, 20 Februari 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lingk. Harjosari rt 07/VII Kecamatan Bawen, Kabupaten
Semarang
Email : [email protected]
No. Hp : 081775460127
Riwayat Pendidikan :
RA Islam Istiqomah Ungaran 1999-2000
SD Islam Istiqomah Ungaran 2000-2006
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo 2007-2013
IAIN Salatiga 2014-2018
2
3
4
5
6
7
8
9
10