abstrak “nilai-nilai pendidikan islam yang terkandung...
TRANSCRIPT
ABSTRAK
“Nilai-nilai Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Ibadah
Zakat”
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah kepada Allah
dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam
wujud mengkhususkan sejumlah harta atau nilainya dari milik perorangan atau
badan hukum untuk diberikan kepada yang berhak dengan syarat-syarat tertentu,
untuk mensucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi para wajib
zakat, meningkatkan pembangunan.
Dalam zakat ini terkandung nilai-nilai pendidikan didalamnya yaitu berupa
pendidikan rohani, pendidikan jasmani serta pendidikan sosial. Pada pendidikan
rohani zakat meliputi manifestasi syukur atas nikmat allah, pensucian jiwa,
pengendalian diri, membina muslim yang bertakwa, pendidikan jasmani berupa
yang berhubungan dengan kesehatan mental dan pada pendidikan sosial berupa
zakat dan tanggung jawab sosial, mendidik berinfak dan memberi, mewujudkan
rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia, dan mewujudkan
keadilan sosial.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam ibadah zakat, tanpa disadari
dengan zakat juga dapat mempersatujkan jurang pemisah antara kelompok kaya
dengan golongan miskin sehingga tercipta kerukunan antar keduanya yang
menciptakan masyarakat yang adil, tentram dan aman.
i
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai
ungkapan rasa syukur atas segala limpahan nikmat, rahmat dn hidayah-Nya
kepada penulis, sehingga dengan kudrat dan iradat-Nya penulis dapay
menyelesaikan karya karya ilmiah atau skripsi yang sederhana ini dengan baik
sebagai prasyrat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam. Skripsi ini
berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam ibadah zakat.
Sholawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada teladan umat
manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia
untuk mengikuti petunjuk dan risalah yang dibawanya yakni menuju kebahagiaan
di dunia dan di akhirat yang hakiki.
Menyadari bahwa dalam menghantarkan penyelesaikan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dukungan serta bantuan
baik moril maupun materil kepada penulis, sudah menjadi kepatutan sebagai
ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, penulis sampaikan kepada
semua pihak atau orang-orang yang berjasa yaitu kepada :
1. Drs. Dede Rosyada, MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
2. Drs. Abdul Fatah Wibisono, MA, Selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag Sebagai Sekretaris
Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag dan Drs. Rusdy, sebagai pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, saran dan kritik
untuk membimbing penulis hingga terselesainya tugas penulisan skripsi
ini.
4. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ii
wacana keilmuan selama penulis melakukan studi, hingga diselesaikannya
penulisan skripsi ini.
5. Ibunda Suciyani dan Ayahanda Hajiran serta kakak dan adik tercinta:
Yusuf dan Hamidah dan keluarga tercinta yang telah memberikan
dukungan moril dan materil serta doa restuntya kepada penulis.
6. Pimpinan beserta staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu penulis menyediakan berbagai literatur yang snagat
dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
7. Rekan-rekan kuliah angkatan 2005 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam, khususnya kelas B.
8. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir, penulis berdoa semoga Allah SWT membalas jasa dan amal baik
mereka. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca umumnya. Amin
Jakarta, Desember 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ......... 3
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...................... 4
D. Metodologi Penelitian ..................................................... 5
1. Sumber Data.............................................................. 5
2. Pengelolaan Data....................................................... 5
3. Analisa Data .............................................................. 5
4. Variabel Penelitian .................................................... 6
5. Teknik Pengumpulan Data........................................ 6
BAB II PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam .............................. 7
B. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam ............................ 10
1. Dasar Yuridis ............................................................ 10
2. Dasar Religius ........................................................... 13
3. Dasar Sosial Psikologi .............................................. 17
C. Tujuan Pendidikan Agama Islam.................................... 18
BAB III IBADAH ZAKAT
A. Pengertian dan Sejarah Zakat Mal .................................. 21
B. Dasar Legalitas Zakat Mal .............................................. 29
C. Macam-macam Zakat Mal .............................................. 38
D. Mustahiq Zakat................................................................ 59
E. Tujuann dan Hikmah Zakat............................................. 62
iv
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM IBADAH
ZAKAT
A. Pendidikan Rohani .......................................................... 66
B. Pendidikan Jasmani......................................................... 75
C. Pendidikan Sosial ............................................................ 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 91
v
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG
DALAM IBADAH ZAKAT
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syrat
Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Oleh
Nur Alfiah
NIM. 205011000309
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
vi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG
TERKANDUNG DALAM IBADAH ZAKAT” disusun oleh Nur Alfiah dengan
nomor induk mahasiswa 205011000309 Jurusan Pendidikan Agama Islam. Telah
melalui bimbinga dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan
pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas.
Jakarta, Desember 2009
Yang Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Safiuddin Siddiq, MA Drs. Rusydi Jamil NIP. 150 299 477 NIP. 196212311995031005
vii
LEMBAR PERNYATAAN Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang tertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nur Alfiah
NIM : 205011000309
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain,maka saya bersedia menerima
sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Desember 2009
Penulis
Nur Alfiah
viii
i
ABSTRAK
Nama :Ahmad Saiful (205011000267)
Fak/Jur :FITK/PAI
Judul Skripsi :”Aspek-Aspek Pendidikan Islam dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Surat al-Hujurat ayat 11-13)”
Sebagai kitab suci yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia yang ajaran-ajarannya di sampaikan secara variatif dan dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa perintah, larangan, dan nasihat, yang mengandung hikmah dan memuat pesan-pesan yang dapat mengantarkan manusia menuju keimanan kepada Allah SWT.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13.
Surat al-Hujurat ayat 11-13 membahas tentang menciptakan suasana yang harmonis antara lingkungan masyarakat serta menghindari terjadinya permusuhan. Sehingga akan tercipta pribadi yang santun sesuai dengan tuntunan al-Qur’an.
Untuk memperoleh data yang refresentatif dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisa buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dan penulisan skripsi ini adalah kualitatif.
Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi), yaitu, dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan serta menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungannya.
Aspek-aspek pendidikan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat11-13 meliputi: aspek pendidikan akhlak, antara lain larangan merendahkan orang lain, larangan berburuk sangka, larangan menggunjing, aspek pendidikan taubat dan pendidikan takwa. Adapun aplikasinya dalam pendidikan Islam: larangan merendahkan orang lain dapat dilakukan dengan metode ceramah, kisah, mauidzah, dan keteladanan. Larangan berburuk sangka dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, dan pembiasaan. Larangan menggunjing dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, kisah, dan tarhib. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat, keteladanan, dan metode kisah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“Pendidikan merupakan upaya manusia yang diarahkan kepada
manusia lain dengan harapan agar mereka ini, berkat pendidikan
(pengajaran) itu kelak menjadi manusia yang saleh, yang berbuat
sebagaimana yang seharusnya diperbuat dan menjauhi apa yang tidak patut
dilakukannya”.1
Manusia yang baru lahir dari perut ibunya masih sangat lemah, tidak
berdaya dan tidak mengetahui apa-apa. Untuk menjadi hamba Allah yang
selalu menyembah-Nya dengan tulus dan menjadi khalifah-Nya di muka
bumi, anak tersebut membutuhkan perawatan, bimbingan dan pengembangan
segenap potensinya kepada tujuan yang benar. Ia harus dikembangkan segala
1 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1998),
Cet. I, h. 11.
1
2
potensinya ke arah yang positif melaui suatu upaya yang disebut sebagai al-
Tarbiyah, al-Ta’dib, al-Ta’lim, atau yang kita kenal dengan “pendidikan”.2
“Manusia sebagai makhluk paedagogik membawa potensi dapat
dididik dan dapat mendidik. Dengan potensi tersebut manusia mampu
menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia
dilengkapi dengan fitrah Allah berupa keterampilan yang dapat berkembang,
sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia”.3
Dalam al-Qur’an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia.
Tidak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-
Qur’an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat
maupun yang tersirat tidak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari.
Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah berlaku secara universal untuk semua waktu,tempat dan tidak bisa
berubah karena memang tidak ada yang mampu merubahnya.
Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, didalamnya berisi
petunjuk menuju arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia
memanfaatkannya. Meninggalkan nilai-nilai yang ada didalamnya berarti
menanti datangnya masa kehancuran. Sebaiknya kembali kepada al-Qur’an
berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang
terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian.
Ketika umat Islam menjauhi al-Qur’an atau sekedar menjadikan al-Qur’an hanya sebagai bacaan keagamaan ,maka sudah pasti al-Qur’an akan kehilangan relevansinya terhadap realitas-realitas alam semesta. Kenyataannya orang-orang di luar Islam lah yang giat mengkaji realitas alam semesta sehingga mereka dengan
2 Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 1999),
Cet. I, h. 1.
3 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan, 1999), Cet. III, h. 1.
3
mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa lain, padahal umat Islam lah yang seharusnya memegang semangat al-Qur’an.4
Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi kehidupan umat
manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur’an.
Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di
lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi,
yang menunjukkan penyimpangan terhadap nilai yang terdapat didalamnya.
Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman al-Qur’an, akan
semakin memperparah kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh
karena itu, untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan
dengan ajaran Islam, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
kembali kepada ajaran yang terdapat didalamnya.
Selama ini, para orang tua dan pemikir pendidikan amat perihatin
dengan perkembangan pendidikan. Siapakah yang salah jika ada peserta
didik berbuat tidak terpuji? Berbagai tindakan kekerasan, kriminal, prostitusi
sampai korupsi sudah sampai pada tingkat kebobrokan mental, siapakah
yang salah?
Dan berbagai kasus tersebut para ahli dan pemikir pendidikan
mengkajinya terus menerus. Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan
bahwa hal itu disebabkan pendidikan Islam (akhlak) tidak diberikan kepada
peserta didik. Pendapat itu ada benarnya juga karena sesuai dengan hadis
Nabi SAW:
ممكار مألتم تبعث ماان :قال سلم و عليه الله صلى عنالنبي ابيهريرة عن
5﴾حمد ا رواه﴿ االخالق
4 Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1999), Cet.
IV, h. 21.
5 Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid II, h. 381.
4
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, Ia bersabda: ”Sesungguhnya
aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR.Ahmad)
Seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab: “manusia yang
dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan
immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu.
Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan
jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur
tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia
dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal
istilah Adab Al-Din dan Adab al-Dunya”.6
Al-Quran merupakan dasar ideal dari pendidikan Islam, isinya sangat
luas dan dalam, yang semuanya itu mengarah dan meningkatkan kehidupan
manusia ke tingkat yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, semua
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an pada akhirnya mengarahkan
supaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berbagai aktivitas
yang berguna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya.
Dengan memakai dasar al-Qur’an, maka pendidikan Islam harus
mengarah kepada terciptanya manusia yang seimbang antara kehidupan
dunia dan akhirat, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
Untuk membina kepribadian yang sejalan dengan fitrah manusia,
yaitu “fitrah tauhid, akidah iman kepada Allah dan atas dasar kesucian dan
tidak ternoda”7 sebagaimana ditujukan oleh al-Qur-an dan al-Sunnah,
diperlukan proses pendidikan Islam yang terarah dan bertujuan yaitu
mengarahkan manusia kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan
tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan
6 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), Cet. XIX, h.
173.
7 Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1991), Cet. II, h. 148.
5
utuh sebagai umat manusia individual dan sosial serta hamba Allah SWT
yang mengabdikan diri kepada-Nya.
Di dalam al-Quran terdapat perilaku yang terpuji yang hendaknya
diaplikasikan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari.Karena akhlak
mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan,keamanan dan ketertiban
dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan
tiang berdirinya umat,sebagaimana salat sebagai tiang agama Islam.Dengan
kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya.
Melihat fenomena yang terjadi, nampaknya di zaman sekarang ini
aspek- aspek pendidikan Islam khususnya akhlak mulia adalah hal yang
mahal dan sulit diperoleh, terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap
aspek-aspek pendidikan Islam maupun nilai akhlak yang terdapat dalam al-
Qur’an serta besarnya pengaruh lingkungan. Manusia hanya mengikuti
dorongan nafsu dan amarah saja untuk mengejar kedudukan dan harta benda
dengan caranya sendiri, sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai hamba Allah
SWT.Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemerosotan akhlak terjadi akibat
adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang tekhnologi yang tidak
diimbangi dengan keimanan dan telah menggiring manusia kepada sesuatu
yang bertolak belakang dengan nilai al-Qur’an. Namun hal ini tidak
menafikan bahwa manfaat dari kemajuan tekhnologi itu jauh lebih besar
daripada mudharatnya.
Masalah di atas sudah barang tentu memerlukan solusi yang
diharapkan mengantisipasi perilaku yang mulai dilanda krisis moral itu.
Tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan manusia kepada
terjaminnya moral generasi bangsa yang dapat menjadi tumpuan dan harapan
bangsa serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketentraman dan
kebahagiaan di masyarakat.
Mengingat pentingnya pendidikan Islam bagi terciptanya kondisi
lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan
6
nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan Islam berfungsi sebagai
panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu
perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang
buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang, maka
akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak
dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan
dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas
bertentangan dengan nilai atau aspek pendidikan Islam yang terkandung
dalam al-Qur’an.Begitu juga halnya fenomena yang terjadi di lingkungan
masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan elit politik, banyak terjadi hal-
hal yang menyimpang dari norma agama,seperti saling menghina, saling
menuduh, dan merendahkan satu sama lain. Di antara mereka ada yang rela
menghalalkan segala cara demi mempertahankan harga diri, partai, maupun
organisasinya tanpa menghiraukan benar dan salah menurut agama. Padahal
setiap hari Jum’at khatib selalu mengingatkan kaum muslimin untuk selalu
bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Apakah kaum muslim sudah lupa, tidak memahami
dan tidak mengamalkan ajaran al-Qur’an lagi? Padahal di dalam al-Qur’an
jelas ditegaskan tentang semua larangan tersebut.
Penulis melihat bahwa Q.S. al-Hujurat:11-13 memiliki kandungan
(makna) tentang pendidikan Islam yang sangat dalam. Di antara kandungan
yang terdapat didalamnya adalah pendidikan akhlak antara lain larangan
merendahkan orang lain, larangan ghibah (menggunjing), larangan
suudzdzan, pendidikan taubat, dan pendidikan takwa kepada Allah SWT.
Ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan
rujukan dan pedoman bagi umat muslim dalam rangka pembelajaran,
pembentukan serta pembinaan pendidikan Islam. Penulis tertarik untuk
menggali, membahas dan mendalami lebih jauh tentang ayat tersebut sebagai
judul skripsi, meskipun sudah ada yang menulis judul yang sama pada
skripsi terdahulu. Akan tetapi penulis berbeda dengan penulis terdahulu, di
7
skripsi ini akan dibahas lebih lengkap dan terperinci tentang kandungan ayat
demi ayat. Penulis melihat pada skripsi terdahulu pembahasan kandungan
ayatnya dikaji secara global dan garis besarnya saja. Atas pertimbangan di
atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkannya
dalam skripsi dengan judul “ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM
DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR QS. AL-HUJURAT:11-13)”.
B. IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menyajikan
permasalahan yang muncul sehingga dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-
Hujurat: 11-13.
b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.
Al-Hujurat: 11-13.
c. Azas pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat: 11-13.
2. Pembatasan Masalah
Melihat permasalahan yang terdapat pada identifikasi masalah di
atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti pada:
a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-
Hujurat: 11-13.
b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.
Al-Hujurat: 11-13.
8
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di atas,maka persoalan inti yang menjadi
rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
a. Aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung di dalam surat
al-Hujurat:11-13?
b. Bagaimana aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung
dalam surat al-Hujurat ayat 11-13?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung
dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11-13.
b. Untuk mengetahui aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang
terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13.
2. Manfaat Penelitian :
a. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi
penulis.
b. Dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan, khususnya
dalam dunia pendidikan Islam.
c. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh
peneliti berikutnya.
9
D. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pure library
research (penelitian kepustakaan murni), yakni mengambil data, pendapat
para ahli yang telah diformulasikan ke dalam buku-buku tafsir dan
pendidikan. Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 11-13; Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Munir, Tafsir Fakhrur Razi, Tafsir Wadhih, Tafsir Fathu;
Qadir dan Tasir al-Azhar. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku
pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
Dalam menganalisis data yang telah terkumpul,penulis menggunakan
metode content analysis (analisis isi), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan memafarkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya.
Sementara tekhnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Bahasa
“Dalam Islam ada beberapa istilah yang digunakan untuk pendidikan, yaitu yang pertama, kata tarbiyah ( تربية ) yang berasal dari kata ( تربيا تربيةيربي يرب ) yang berarti mendidik, yang kedua kata ta’lim ( تعليم ) yang berasal dari kata ( تعليمم م يعلعل ) yang berarti mendidik,mengajarkan, dan yang ketiga kata ta’dib (تأديب) yang berasal dari kata ( ادب يؤدب تأديبا ) yang berarti mengajarkan”.1
Irsyad Djuwaeli mengutip pendapat Fuad Abd. Al-Baqy dalam
bukunya: Al-Mu’jam Al-Mufahras li al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim: “di
dalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang sempurna
dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut pada
mulanya digunakan dalam arti Insya al-syai’ halan fa halan ila al-had
1 Louis Ma’Louf, Al-Lughoh Wa Al-Lughoh Wa Al-a’lam, (Beirut : Dar Al-Masyiq,
1986), Cet. XVI, h. 526.
10
11
al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu
setahap demi setahap sampai batas yang sempurna”.2
Istilah tarbiyah,menurut para pendukungnya berakar pada tiga kata:
“Pertama,kata raba yarbu ( ربا يربو ) yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba ( ي يربورب ) yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu ( رب يرب ) yang berarti memperbaiki,menguasai,memimpin, menjaga dan memelihara sesuatu kepada kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur”.3
Kata rabb digunakan untuk menjelaskan berbagai hal,antara lain menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, misalnya rabbul ‘alamin ( لعالمينارب ) yang berarti pemelihara, pendidik, penguasa dan penjaga alam. Kata rabb selain digunakan untuk arti sebagaimana di atas, digunakan pula untuk arti yang objeknya lebih diperinci lagi, baik benda-benda yang bersifat fisik maupun non fisik. Dengan demikian pendidikan mengandung arti pemeliharaan terhadap seluruh makhluk Tuhan.4
Abuddin Nata juga menjelaskan: “kata ta’lim yang berakar pada
kata ‘allama digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang
dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau
pengaruh pada diri seseorang”.5 “Kata ta’lim dengan berbagai kata yang
serumpun dengannya di dalam al-Qur’an disebut sebanyak 840 kali dan
digunakan untuk arti bermacam-macam, seperti digunakan Tuhan untuk
menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada umat manusia, dan
digunakan untuk menerangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa atas segala
sesuatu”.6
2 Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa
Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 3. 3 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999),
Cet. II, h. 4 4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), Cet. II, h. 6 5 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), Cet. II, h. 7 6 Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama
Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4
12
Adapun mengenai kata ta’dib yang berasal dari kata addaba tidak
dijumpai dalam al-Qur’an.Kata tersebut hanya dijumpai dalam hadis yang
berbunyi:
يي ربنبم اد وسلليه عالله صلى اهللالوس رالعن ابن مسعود رضي اهللا عنه قال ق
7)رواه البخاري (يبي دأ تنس حفا
Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR.Bukhari).
Meskipun kata ta’dib tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi kata ini
menurut Naqib al-Attas yang dikutip oleh Irsyad Djuwaeli justru memiliki
fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan, karena kata tersebut lebih
khusus ditekankan kepada pembinaan manusia. Sedangkan kata tarbiyah
mengandung pengertian lebih luas mencakup pemeliharaan seluruh
makhluk Tuhan, termasuk hewan.8
Berdasarkan pengertian ketiga kata di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tarbiyah merupakan upaya sadar akan pemeliharaan,
pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai fitrahnya dan
perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya, sementara
kata ta’lim mengesankan proses pemberian ilmu pengetahuan penyadaran
akan fitrah dan tugas-tugas kemanusiaannya yang harus diwujudkan dalam
kehidupan nyata. Sedangkan kata ta’dib mengesankan proses pembinaan
kepribadian dan sikap moral serta etika dalam kehidupan.
Dengan demikian, ketiga kata tersebut pada dasarnya mengacu
kepada pemeliharaan dan perlindungan keseluruhan potensi diri manusia.
7 Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, al-Jami’ As-Shagir, (Dar Al-Ihya
Al-Kutub Al-Arobiyah), Jilid. I, h. 14.
8 Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4.
13
2. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Istilah
Pengertian pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang
berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini
sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata didik. Bila kata ini diberi awalan me-
menjadi mendidik yang berarti “memelihara dan memberi latihan (ajaran,
tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya
pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.9
Banyak para ahli berbeda versi dalam memberikan pengertian
pendidikan, namun pada dasarnya mempunyai maksud yang sama.
Tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat bahwa:
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin, pendidikan adalah kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.10
Sedangkan Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa:
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “didik”, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : balai Pustaka, 1996), Edisi Kedua, Cet. VII, h. 232 10 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.
II, h. 9.
14
menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusan ini Ahmad D. Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; (1) usaha (kegiatan) yang bersifat membimbing, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar, (2) ada pendidik, (3) ada yang di didik (4) adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan (5) dalam usaha tersebut tentu ada alat-alat yang digunakan.11
Dan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2
Tahun 1989: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran dan atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang”.12
Dari beberapa rumusan pendidikan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja,
seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa,
yang berarti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
menyampaikannya kepada anak didik. Dan apa yang diberikan kepada
anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di
masyarakat kelak mereka hidup.
Kemudian tentang rumusan tentang pendidikan Islam, para ahli pun
berbeda pendapat dalam merumuskannya. Misalnya Muhammad Atiyah
memberikan pengertian pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip oleh
Ramayulis bahwa “Tarbiyah Islamiyah adalah upaya mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah
air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya,
halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya, baik
dengan lisan atau tulisan”.13
Sementara menurut Prof. Dr. Omar al-Toumy, pendidikan Islam
diartikan sebagai “Usaha mengubah tingkah laku individu dalam
11 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-
Ma’arif,1986), h. 131 12 UUSPN, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), Cet. III, h. 2 13 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 3-4
15
kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan
dengan alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Perubahan itu
dilandasi dengan nilai-nilai Islami”.14
Syahminan Zaini dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi
Pendidikan Islam memaparkan bahwa “Pendidikan Islam adalah usaha
mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran-ajaran Islam, agar
terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia”.15
Dan Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam”.16
Dari beberapa defenisi di atas tentang pendidikan Islam terkandung
hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam itu mempunyai dasar dan tujuan yang jelas,sesuai
dengan ajaran Islam.
2. Pendidikan menurut Islam tidak terbatas sampai dewasa,tetapi
sampai terwujud kehidupan yang sempurna,makmur dan bahagia.
3. Hakikat pendidikan Islam adalah merupakan usaha mengarahkan dan
membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah manusia kea
rah titik maksimal perkembangan dan pertumbuhannya.
14 Omar Muhammad Al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1979), Cet. I, h. 399 15 Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta : kalam
Mulia, 1986), Cet. I, h. 4 16 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-
Ma’arif,1986), h. 131
16
B. Dasar Pendidikan Islam
“Dasar (Arab: asas, Inggris: poundation, Perancis: fondemen, Latin:
fundementum ) secara bahasa berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal
segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”.17
“Dasar adalah landasan unuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah
memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai
landasan untuk berdirinya sesuatu”.18 Dasar ilmu pendidikan Islam adalah
Islam dan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan
Ijtihad (hasil pikiran manusia). Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan
disebut ilmu pendidikan Islam. Tanpa dasar ini, tidak akan ada ilmu
pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dirinci sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT untuk
menjadi pedoman bagi seluruh umat, dengan segala petunjuk-Nya yang
lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Nabi
Muhammad SAW sebagai pendidik pertama (pada masa awal
pertumbuhan Islam) telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar
pendidikan Islam.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam
dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
17 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut : Dar Al-Fikr), h. 211. 18 HQ Shaleh, dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV. Penerbit Diponegoro,
2000), h. 12.
17
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu Yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah dengan dan Tuhan mullah Yang Paling Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4), Dia mengajarkan kpada manusia apa yang tidak diketahuinya (5), (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
2. Sunnah
Dasar yang kedua setelah Al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah,
amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap
hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah
al-Qur’an karena Allah SWT menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi
umatnya, sebagai firman-Nya:
⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧ ﴾٢١׃٣٣\االحذاب﴿
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu ( yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Dalam suatu hadis Nabi SAW bersabda:
ترآت : هللا عليه وسلمعن أبى هريرة رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلى ا مالك رواه( رسوله سنة و هللا آتاب ابدا تضل لن بهما تمسكتم ان ما نامري فيكم
(19
Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal (perkara), kamu sekalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (HR.Imam Malik)
19 Abu Abdillah bin Anas (Imam Malik), al- Muwaththa, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), h.
785.
18
As-Sunah ialah perkataan ( اقوال ), perbuatan ( افعال ) ataupun
pengakuan ( تقرير ) Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan
ialah kejadian atau perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang
diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau membiarkan saja
kejadian atau perbuatan itu terjadi. Sunnah merupakan sumber ajaran
kedua sesudah Al-Qur’an yang juga berisi petunjuk (pedoman) untuk
kemaslahatan hidup manusia dengan segala aspeknya.
Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan, bahwa dalam lapangan
pendidikan, Sunnah mempunyai dua faedah:
a. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagai terdapat di dalam Al-
Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di
dalamnya.
b. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat
dipraktekkan.20
3. Ijtihad
Ijtihad ialah para fuqaha yaitu berpikir dengan menggunakan
seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam dalam hal-hal
yang ternyata belum dipertegaskan lagi hukumnya oleh Al-Qur’an dan
Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan
Sunnah.
Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari Al-
Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli
pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di sesuatu tempat pada
20 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, h. 32.
19
kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hal-hal ijtihad
harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.
Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran
Islam yang terdapat dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sebagian besar
bersifat pokok-pokok dan prinsipnya saja termasuk dalam aspek
pendidikan. Sejak diturunkannya ajaran Islam sampai wafatnya Nabi
Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad
yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan
berkembang pula.
C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Fungsi Pendidikan Islam
Menurut Ahmad Tafsir,"pendidikan adalah pengembangan pribadi
dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
lingkungan, dan orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal
dan hati.”21 Hal ini memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam
berfungsi mengembangkan semua potensi pada peserta didik sehingga
dapat mencapai kemampuan maksimal. Sehingga ia mampu memahami
dirinya, orang lain dan lingkungan disekitarnya.
Selain itu, dengan merujuk kepada konsep rububiyah Allah SWT
terhadap manusia, maka pendidikan Islam berfungsi untuk mempersiapkan
manusia agar mampu melaksanakan tugas dan fungsi kekhalifahan di
muka bumi dengan baik.
2. Tujuan Pendidikan Islam
21 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 26.
20
Setiap manusia mempunyai tujuan: tujuan pendidikan dengan
tujuan hidup manusia terdapat keterkaitan. Karena, pada dasarnya
pendidikan bertujuan memelihara kehidupan manusia dan isi tujuan
pendidikan Islam merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia di
muka bumi ini. Maka pada hakikatnya tujuan dari pendidikan Islam itu
adalah realisasi dari cita-cita ajaran itu sendiri, yang membawa misi
kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat bagi umat Islam.
Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Zainuddin dalam buku
Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, memandang dan membagi tujuan
pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu:
a. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
b. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan berkepribadian yang kuat.
c. Aspek ke-Tuhanan, yang menghantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.22
Dalam hal ini, Abuddin Nata mencoba memberikan ciri-ciri tujuan
pendidikan Islam. Antara lain adalah:
a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak-Nya.
b. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWt sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalahgunakan.
d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memilki keterampilan, ilmu serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.
22 Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara,
1991), Cet. I, h. 48
21
e. Mengarahkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.23
Berdasarkan hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam dalah mengarahkan manusia dalam melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah dan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT,
mengembangkan aspek keilmuan aspek kerohanian dan juga aspek ke-
Tuhanan serta mengarahkan kepada dua kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Metode Pendidikan Islam
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, metode diartikan dengan
“cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai suatu maksud”.24
Adapun beberapa metode pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu “suatu metode
pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta
didik, baik dalam ucapan maupun perbuatan”.25
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang
diterapkan Rasulullah SAW dan dianggap paling banyak pengaruhnya
terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan
banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan
metode yang paling berhasil. Abdullah Ulwan misalnya, dalam kutipan
Hery Noer Ali dikatakan bahwa, “pendidikan barangkali akan merasa
mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan
merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat
pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”.26
23 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53 24 WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984),
Cet. VII, h. 250 25 Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza,
1999), Cet. I, h. 155 26 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
178
22
Hal ini disebabkan karena “secara psikologis anak adalah seorang
peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan
menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal”.27
2. Metode Pembiasaan
“Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedang
kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan
hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya).”28
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada
tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan pola pikir. Pembiasaan ini
bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang
telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakannya dengan
mudah dan senang hati. Bahkan, sesuatu yang telah dibiasakan dan
akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda diperlukan terapi dan
pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
3. Metode Memberi Nasihat
Hery Noer Ali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan nasihat
adalah “penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan
menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya
ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat”.29
Dalam penggunaan metode memberi nasihat ini pendidik
mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik
kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Diantaranya dengan
27 Ramayulis, Metode Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001), Cet. III,
h. 127 28 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
184. 29 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
191.
23
menggunakan kisah-kisah Qur’ani, baik kisah-kisah Nabawi maupun umat
terdahulu yang banyak terdapat pelajaran yang dapat dipetik.
4. Metode Motivasi dan Intimidasi
Metode motivasi dan intimidasi ini dalam bahasa Arab disebut
dengan uslub al-targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan tarhib.
Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai yang kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya.
Tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti, menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamnya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT.30
“Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang dalam
psikologis belajar yang disebut sebagai law of happiness atau prinsip yang
mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar”.31 Dan metode
intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain
seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan
tujuan.
5. Metode Persuasi
Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu
ajaran dengan kekuatan akal. Penggunaan metode persuasi didasarkan atas
30 Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 121
31 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 197
24
pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam
memerintahkan kepada manusia untuk mengguakan akalnya dalam
membedakan antara yang benar dan salah serta antara yang baik dan
buruk.
Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam
menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan
logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak
dilandaskan pertimbangan rasional dan pengetahuan.
“Selain metode-metode di atas masih terdapat metode-metode
lainnya antara lain metode Amsal, metode kisah Qur’ani, metode Ibrah dan
Mauizah, metode Tajribi (latihan pengalaman) dan metode Hiwar”.32
32 Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza,
1999), Cet. I, h. 61
BAB III
TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13
A. Asbabun Nuzul
Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13:
⌦
☺
☺
⌧
☺
⌧
24
25
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha” ( QS. Al-Hujurat (49) : 11-13)
Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan
seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil
dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai
larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan nama-nama gelar di zaman
jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan
gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada beliau bahwa gelar itu tidak
disukainya. Maka turunlah ayat yang melarang memanggil orang dewasa yang
tidak disukainya.1
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat turun
berkenaan dengan Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan
mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan perbuatannya itu.
Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat menceritakan
keaiban orang lain.2
1 HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995),
Cet.XVII, h. 473 2 HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995),
Cet.XVII, h. 474
26
Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa
penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan
mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak hitam
adzan di atas Ka’bah ?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah
membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai
penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia
adalah yang paling takwa.3 (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Ibnu Abi Mulaikah)
Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hidin akan dikawinkan
oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata :
“Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada
budak-budak kami ?”.
Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan
antara bekas budak dengan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di
dalam kitab Mubhamad yang bersumber dari Abu bakar bin Abi Daud di dalam
tafsirnya.
B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13
Surat yang tidak lebih dari 18 ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.4
Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang
ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan
apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia
3 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’,
1993), Cet-I, h. 496 4 Sayyid Qutbah, Sayyid Qutbah, tafsir Qur’an, Terj. As’as Yasin, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), Cet. I, Jilid X, h. 407
27
secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang
diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu
menjauhi sikap mengolok-golok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan
yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan
saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama.
Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan
menafsirkannya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini :
السخريةMengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan).Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya As-sukhriyah dan As-sikhriyah (huruf sin didhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk.5
م والق
Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutif Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyam yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu.6
تلمزوا وال
Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin aalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.
بااللقاب والتنابزوا
Saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai orang lain.
5 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 220 6 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. I, h
235
28
سم الا
Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.
اجتنبوا
Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguh-sungguh untuk menjauhinya.
ماالث
Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.
تجسسوا
Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang.
بةالغي
Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.
انثى و رآ ذ من
Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)
الشعوب
Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang.7
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan
manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia
menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling
menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan/tertib, disiplin,
menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian
7 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, … h. 235
29
itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan
tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan
keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surat
al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan
manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu
kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah untuk melakukan
perdamaian (ishlah) setelah terjadinya pertikaian, serta penjelasan tentang
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian, sehingga umat Muslim
diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian
tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan
oleh hal yang sederhana, seperti halnya mengolok-ngolok. Berikut penulis akan
menjelaskan kandungan makna surat al-Hujurat ayat 11 berdasarkan pendapat
para mufassir, adapun uraian tafsir dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok
kaum yang lain. Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman adalah
mereka yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan
juga Rasul-Nya.8 “Kata ( خرسي ) yaskhar/memperolok-olokkan ialah menyebut
kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik
dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku.9 Contoh mengolok-ngolok misalnya
dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau
menertawakan perkataan orang yang diolokan apabila ia keliru perkataannya
terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah juga berarti menghina
dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas haram.
8 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIII, h. 585 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Volume XIII, h.
251
30
Kata ( قوم ) qaum merupakan (kata) yang menunjukan arti jamak dari
sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak.10
Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa
menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas
menyebut pula secara khusus wanita.
“Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-Qur’an
yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap
individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan
kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok
pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu”.11
Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan
kesayangan “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu kaum
mengolok-ngolok kaum yang lain.
Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta.12
Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah
hadits yang berbunyi :
ال يدخل ا لجنة : "ل اقسلم عنه عن النبى صلى اهللا عليه و رضي اهللا مسعود اهللا بن عن عبد
به حسنا ونعله ول يحب ان يكون ثان الر ج : ل رجلافق "من آبر مثقا ل ذرةهبآان في قلمن
رواه التر مذ (13" النا سلكبر بطر الحق وغمضل ايحب الجماان ا هللا جميل : " ؟ قال ةحسن
)يDari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji Dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah
10 Fakhrur Razi, tafsir Fukhrur Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) h. 132 11 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 12 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar, 2004), Cet-1, h. 387 13 Muhammad Jamil Athtar, Sunan Tirmizi, (Beirut: Daril Fikr, 1994), Juz III, h. 402
31
Indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia (HR. Tirmidzi)
Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-ngolok itu hukumnya haram
karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan
permusuhan.
ن يكو نوا خيرا منهم أىسع Boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih
baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut
penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah
dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang
ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada
tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas
nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu.
Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina
orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala.14
Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua
kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia
menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam ayat
ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya lebih
mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok.
Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan
berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau
pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang
memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam
hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat
tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat,
ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat
ampunan karenannya.15
ا منهنريخ وال نساء من نساء عسى أن يكن
14 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222 15 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi.., h. 223
32
Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena
barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang
mengolok-olok (dalam pandangan Allah).
Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minat/wanita-wanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( ءنسا ) nisa /perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka.16
Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan
mengolok-ngolok itu dilakukan ditengaj orang banyak, sehingga sekian banyak
orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang
sakit hati.17 Firmannya “Asa an yakunna khairam minhunna, boleh jadi mereka
yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan
tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang
boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak
nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau
orang lain, justeru sangat keliru. Kekliruan itu mengantar mereka menghina dan
melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian.18
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan
penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi allah melihat
keikhlasan amal yang dilakukannya.
ما يسرنى ": فقال العليه و سلم رج للنبى صلى اهللا حكيت:شة قالتر مذى عن عا ئ التروي
بيدها فقلت يا ر سول ا هللا ان صفية ا مر أة وقا لت قا لت ,وآذا وان لى آذا حكيت رجالأنى
رواه (19 لو مزحت بما ء البحر لمز حته ةكلمبلقد مز حت : فقال , تعنى أنها قصيرةاهكذ
)تر مذ ىال
16 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, … h. 388 17 Ahmad Maraqhi, Tafsir al-Maraghi.., h. 222 18 M. Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, …, h. 252 19 Shalih bin Abdul Aziz, Jamiut Turmuzdi, (Riyadh: Darussalam, 1999), h. 185
33
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri dan begini/” Aisyaj berkata, maka yang berkata, “Ya Rasulullah, sesunggunya Shadiyah itu seorang wanita … ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu kata-kata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. (HR. Tirmizdi).
Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan rupa
(ketampanan) dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal
perbuatanmu.
والتلمزوا أنفسكم
Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata ( ز والم ت ) talmizu
terambil dari kata ( اللمز ) al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memakai
kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung
dihadapkan kepada yang yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-
kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini aalah salah satu bentuk
kekurangan dan penganiayaan.20 Menurut Yusuf al-Qardawi al-lamz berarti al-
wakhzu ‘serangan’ dan ath-tha’nu ‘tusukan’ makna yang dimaksud disini adalah
celaan. Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan
pedangnya dan tusukan tombak kepadanya. Penafsiran ini tepat sekali, bahkan
serangan lidah lebih dahsyat dan lebih menyakitkan.21 Menurut Ibn Katsir
mencela bisa dilakukan dengan perbuatan (al-hamz), dan perkataan (al-lamz).
Baik al-hamz maupun al-lamz dua-duanya dilarang. Mengadu domba adalah
termasuk mencela lewat perkataan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,
“Kecelakaanlah bagi setiap pencela dengan perkataan dan perbuatan.” (QS Al-
Humazah [104]:1).22
Larangan ini (mencela diri-sendirinya) hampir sama dengan firman-Nya
“Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama
20 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251 21 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam …., h. 388 22 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Ahim, (Beirut: Darul Fikr) Juz IV, h. 212
34
المؤ: ا هللا صلى ا هللا عليه وسلم قال ر سو ل : ن بن بشير ر ضى ا هللا عنهما قا ل عن النعما
ر الجسد الجسد اذا شتكى منه عضو تداعى سائل تر ا حمهم وتوادهم وتعا طفهم آمثمنين فى
)رواه البخارى (23 والحمىبا لسهر Dari Nu’man bin Basyir ra., berkata Nabi SAW bersabda, Anda akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarkan kepada lain-lain anggota sehingga badanya terasa panas dan tidak dapat tidur. (HR. Bukhari) Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri.
Tetapi maksudnya adalah orang lain. Karena ejekan yang dilakukan oleh
seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya (yang
mengejek). Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing
dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain
menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek
diri sendiri.
بقلالوأبازبناتالوDan janganlah kamu panggl-memanggil dengan gelar-gelar buruk
Kata ( تنابز وا ) terampil dari kata ( ا لنبذ ) an-Nabz yakni buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang
23 Mustafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 665
35
Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya
memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang
munafiq. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan
panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseornag: wahai anjing,
keledai dan babi.25 Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena,
diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan
hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang
dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu
menyinggung dna mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.26
Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain-
lain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat
dengan taubatan nashuha, haruslah dipanggil dengan panggilan yang
menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya.
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (sI rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).27
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh
memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai
menyakitkan perasaannya.
الفسو ق بعداال يمنس االسمبئ
Seburuk-buruk panggilan ialah kefasihan sesudah iman kata ( ا ال سم ) al-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan.
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252 25 Wahbah Zyhaili, Tafsir Munir…, h. 584 26 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah …, h. 252
36
Wabah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ( ا لفسوق ) memberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang
jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan
fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya.29 Menurut pendapat
lain yang ini mengandung makna seburuk-buruk pengenalan/tanda kepada
seseorang yang tidak masuk Islam adalah menyebutnya dengan sebutan fasiq atau
Yahudi.30
Dari yat ini dapatdipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap
umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini
bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk
meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi
kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap
berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan
pamggilan yang menyakitkan.
ونملالظ ام هكنلو فابتين لم موSiapa saja yang tidak yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuesinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.31
28 M. Quraish Shihab, Fafsir al-Misbah…, h. 253 29 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 30 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133 31 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maragi…, h. 225
37
Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang
lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya
menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim.32
Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas
mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan
mulia tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini
mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat :
1. Mengolok-olok orang lain
2. Mengejek diri kamu sendiri
3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk.
Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman :
⌧
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan),
Kata (اجتنبوا) Ijtanibu terambil dari kata (جنب) Janb yang berarti samping.
Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini
kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata tersebut
berfungsi penekanan yang berarti kata Ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah.
Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.33
Kata آثيرا banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau
diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan
adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang
indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki
32 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254
38
Yang dimaksud dengan dhann (dugaan) adalah batas pertengahan antara
yakin dan ragu, dhann (dugaan) bisa bersifat kuat (mendekati benar) dan juga
bersifat lemah.35
Allah swt melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesame manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang Baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu.36
Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orang-
orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari
mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang
baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah
paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan
prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah.
Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang
disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya.
“Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan
dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman
dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka
terhadapnya.”37
Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih
34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 35 Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, (Beirut, Dar al-Jil, tt), Jilid III, h. 507 36Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27. 37 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 254.
39
sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 38 Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan.
Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut
berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny/dugaan, dan
tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan
yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini :
39)رواه الطبرانى(ألطيرة والحسد وسوء الظن : ثالث ال زمات المتىTiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka. (HR at-Thabrani) Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat
sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat
buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya,
“Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?”
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah
kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa
benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakanla saja rencanamu.”
ن إثمإن بعض الظ Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan
alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa.
Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah
melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang
38 Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578. 39 Abbas Ahmad Shiqr dan Ahmad Abdul Jawad, Jamiul Ahadits.., Juz.IV, h. 157
40
terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk
sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan).
Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, yakni dugaan yang tidak
berdasar, adapun apabila ada bukti yang kuat yang mendukung dugaan seseorang
maka hal itu tidak mengapa. “Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti
kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk
menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak
menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut.40
Memang islam tidak melarang adanya bisikan yang hanya terlintas dalam benak
seseorang, aslakan bisikan tadi tidak dilanjutkan dengan dugaan buruk.
وال تجسسواDan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain.
Dalam ayat ini Allah SWT melarang dari memata-matai terhadap orang lain.
Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi yang disebut tajassus. (
) dari sini mata-mata dinamai ,( جس ) tajassasu terambil dari kata ( تجسسوا
jasus. Imam Al-ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan ( جاسوس
tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang
berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Dengan
demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu.
Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif
terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 41
Allah melarang hamba-Nya mengikuti dugaan (buruk) dan janganlah
seseorang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keyakinan tentang aib
(kekurangan) manusia.
Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang.
Tajassus dapat menggantikan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga,
tajassus demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ini dapat
40 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255. 41 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
41
dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat
yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih
dilarang. Siapa saja yang menutup aib orang lain, maka ia bagaikan
menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup. Dalam kesempatan yang
lain tajassus merupakan kegiatan mengiringi dugaan dan terhadap pula sebagai
kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan seseorang. Al-
Qur’an memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan
kalbu dan kecenderungan buruk itu, yang hendak mengungkap aib dan keburukan
tersebut.
Sedangkan tahassus adalah mencari berita tentang orang lain dan apabila hal
tersebut diketahui oleh yang bersangkutan maka ia tidak senang. Tahassus
biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berarti baik sekaligus juga
yang jelek. Seperti firman Allah SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub as
yaitu, Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya.
Tidak adanya kepercayaan kepada orang lain, akan mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan batin berupa prasangka buruk dan mendorong
melakukan tindakan lahir berupa tajassus ‘memata-matai,’ “Islam membangun
masyarakatnya atas dasar kesucian lahir dan batin sekaligus. Oleh karena
itu,larangan tajassus ini dibarengkan dengan su’suzhzhan. Dan, sering terjadi
bahwa su’uzhzhan menyebabkan tajassus.”42
واليغتب بعضكم بعضاDan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain.
Kata ( يغتب ) yaghtab terambil dari kata ( غيبه ) ghibah yang berasal dari
kata ( غيب ) ghaib.43 Menurut ijma ulama ghibah adalah termasuk dosa besar
(kabair) dan haram hukumnya, tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini.
Menurut al-Hasan ghibah itu ada tiga macam yang semuanya tercantum dalam
kitab Allah SWT, yaitu ghibah, al-ihkfu dan al-Buhtan. Ghibah maksudnya ialah
berkata-kata mengenai saudaramu tentang sesuatu yang ada pada dia. Al-Ikhfu
42 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam….., h. 390. 43 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 256.
42
adalah berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa yang sampai kepadamu
mengenai dia, adapun al-Buhton, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang
tidak terdapat pada dirinya.
Ayat ini menjadi isyarat wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin
ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan
ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasululah SAW,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
bahwa Abu Hurairah ra berkata,
اتدرون : عن أبى هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال
ذآرك أخاك بما يكره قيل أفرأيت في أخي ما : قال. اهللا ورسوله أعلم: وامالغيبة؟ قال
رواه (أن آان فيه ما تقرل فقد عتيته وان لم يكن فيه ما تقول فقد بهته : اقوال؟ قال
)الترمذيAbu Hurairah r.a berkata, Rsulullah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Jawab sahabat, “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Jawab Nabi,”Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan apa yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terhadap apa yang kami katakan, maka kamu telah berbohong. (HR Turmudzi)
Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada dihadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghbah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain. 44
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwa
rasulullah bersabda,”Tatkala dimikrajkan, aku meliahat suatu kaum yang berkuku
tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril, siapakah
mereka itu?’ Jibril menjawab, mereka adalah orang yang suka makan daging
44 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam….., h. 394.
43
manusia dan menodai kehormatannya.” 45Orang yang menggunjing berarti ia telah
menodai kehormatan orang lain.
خيه ميتاأتحب أحدآم أن يأآل لحم أ Apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia meninggal dunia.
Orang yang berghibah berarti ia telah merobek-robek kehormatan saudaranya,
sehingga diumpamakan seperti memakan bangkai daging saudaranya. “Namun
perlu dipahami bahwa ghibah yang dilarang adalah terhadap orang mukmin,
bukan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakannya seperti
memakan bangkai saudara (akhi). Sedangkan orang kafir bukan saudara (orang
mukmin), oleh karena itu ghibah trhadap orang kafir dibolehkan.”46 Dari ayat
diatas dapat dipahami bahwa ghibah merupakan perbuatan yang tercela yang
harus dihindari oleh setiap umat muslim khususnya. Dalam sebuah hadits
dikatakan bahwa ghibah itu haram hukumnya bahkan lebih keras daripada zina.
Ajaran islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan
tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah :
1. Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang
yang membuatnya marah maka, untuk mencairkan amarah orang tersebut
menggunjingnya.
2. Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dank
arena hendak membantu mereka.
3. Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain.
Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan
saya tidak seperti itu.
4. Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan
maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit
orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini.47
فكرهتموه
45 Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 421. 46 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 134. 47 Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), Cet.
44
Maka kamu telah jijik kepadanya merupakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh srtiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan pertama pada gay pertanyaan yang dinamai istifham taqriri yakni yang bukan tujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi. Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang diantara kamu.” Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri. Kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri.48
Sebagai akhlak tercela, ghibah haruslah diobati. Adapun cara mengobati
penyakit ghibah ialah dengan menyadarkan orang yang menggibah bahwa
perbuatan itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan
berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika tidak mempunyai kebaikan, maka
keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapapun yang
menyadari hal ini, tentu lidahnya tidak akan berani melakukan ghibah. Jika
terlintas untuk mengghibah, maka hendaklah dia intropeksi diri dengan melihat
aib diri sendiri lalu berusaha untuk meperbaikinya. Orang yang melakukan ghibah
semestinya dia merasa malu sementara dirinya masih banyak memiliki
kekurangan di sana sini.
واا اهللاوأتق “Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada
Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu. Waspadalah
dan takutlah kamu kepada Allah.”49
إن اهللا تواب رحيمSesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyanyang. Kata atawwah serinhkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini ( التواب )belum mencerminkan secara penuh kandungan kata attawwah, walaupun tidak dapat menilainya keliru. Imam Ghazali mengartikan at-Tawwaah sebagai Dia (Allah) yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hambaNya. Dengan jalan menampakkan
48 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., volume XIII, h. 257. 49 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 232.
45
Terkait dengan masalah ghibah/menggunjing, jumhur ulama berpendapat,
seseorang yang menggunjing saudaranya wajib bertaubat kepada Allah dengan
cara berhenti dari perbuatan tersebut, serta berazam untuk tidak mengulanginya
lagi. Apakah diisyaratkan bagi orang yang menggunjing meminta maaf kepada
yang digunjingnya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut sebagian
pendapat wajib bagi orang yang menggunjing meminta kehalalan (maaf) dari
orang yang digunjingnya tadi, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain tidak
diisyaratkan untuk kehalalan kepada orang yang digunjingnya, karena hal ini bisa
menyakitkan perasaan orang tersebut. “Bila demikian halnya, maka cara yang
mesti ditempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah
digunjingnya itu di tempat dimana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan, agar
dia menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan
kemampuannya. Umpatan dibayar dengan pujian.”51 Sesunggunhnya Allah Maha
Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni
melaksanakan taubatan nasuhan, dan inilah taubat yang sebenarnya.
Dengan demikian ayat 12 di atas mengandung kesimpulan bahwa:
1. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka,
mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing.
2. Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu
seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati.
3. Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa karena Dia adalah maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat 13 surat al-Hujurat Allah SWT berfirman:
يأيها الناس إن خلقنكم من ذآر وأنثى
50 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 259. 51 Muhammad Nasab Rifa’I, Kemudahan dari Allah…., h. 436.
46
Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan
Hawa. “Maka kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu
mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersudara dalam nasib dan sangat
mengherankan bila saling mencela sesame saudaramu atau saling mengejek atau
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”52 “Karena semua manusia
berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa. Berdasarkan ayat ini
maka dapat dikatakan bahwa kedudukan setiap manusia adalah sama. Oleh karena
itu, maka tidak ada tempat untuk saling membanggakan dan menyombongkan
diri.”53
Dengan demikian ayat ini menjelaskan larangan mengolok-olok, mencela diri
sendiri, memanggil dengan gelar yang buruk, suudhdhan, tajassus, dan
menggunjing. Karena pada dasarnya manusia berasal dari keturunan yang sama
yaitu Adam dan hawa.
وجعلنكم شعوبا وقبائلDan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Kata ( شعوب ) syu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( شعب ). Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompk yang dinamai bathn. Di bawah bath nada sekian ifakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yeng terkecil.54
Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa
yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna
timbale balik, dengan demikian berarti saling mengenal.”55 Upaya saling
mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing-
masing dan saling menolong di antara sesame kerabat. Dengan demikian, dengan
52 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 236. 53 Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qadir. (Beirut: Darul Ma’rifah,tt), h. 83. 54 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 55 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261.
47
Upaya saling mengenal dapt dilakukan dengan proses bersilahturahmi. Akan
tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang
enggan berinteraksi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut.
Padahal perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu Sunnatullah dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk saling mengenal.
أن أآرمكم عند اهللا أتقنكمSesunggunhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa. “kata ( اآرمكم ) akramakum terambil dari kata ( آرم ) karuma yang
pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang
baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesame makhluk.”56
Firman inna akramakum inda Allah atqaamakum mengandung dua makna yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seeorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal disbanding yang kedua.57
Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat
dikatakan takwa adalah manifestasi dari ‘amal’ sedangkan ilmu adalah kemuliaan.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang ‘alim adalah lebih dibenci
syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu.
Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang yang alim”
maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan
demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu, dan tidak
bias dipisahkan. Orang ‘alim tetapi tidak bertakwa adalah seperti pohon yang
tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama dibanding
56 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 262. 57 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 139.
48
yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat
kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang ‘alim yang tidak
bertakwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka.
Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan
berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa
kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau
garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dank arena itu banyak
yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan
dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang
mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah
sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus
membahagiaan secara terus menerus. “Kemuliaan abadi dan langgeng iu ada di
sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-
Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-
sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa dan dengan demikian yang
paling mulia di sisi Allah adalah yang palin bertakwa.”58
Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan
mengetahui keutamaan manusia. Ya.itu, “sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. “Orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia
menurut pandangan Allah. “Dengan demikian, berguguranlah segala
perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikanlah satu timbangan dengan
satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk
menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam
menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat
bernaung di bawahnya yaitu panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT.
Inilah panji yang dikerok islam untuk menyelamatkan umat manusia dari
fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah.59
58M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 263 59Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 422.
49
Semua ini merupakan kejahiliahan uang kemudian dikemas dalam berbagai
model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semua merupakan kejahiliahan yang
tidak berkaitan dengan islam.
Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya
agar system islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji
yaitu panji Allah. Bukan panji Negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji
keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak
dikenal islam.
Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), nabi SAW berpesan antara lain: “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tidak juga non arab atas orang arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah, (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.60
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durra
binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang
sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulullah, manusia
manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab, Manusia yang paling baik
adalah yang paling rajin membaca Al-Qur’an, yang paling bertakwa kepada Allah,
yang paling sering memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silahturahmi.
Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan
tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah
sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab
maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling
bertakwa kepada Allah SWT.
إن اهللا عليم خبيرSesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, maksudnya
Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha Mengenal/teliti terhadap semua
60 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261.
50
urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan
menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang
dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada
yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha
Teliti dalam semua urusan tersebut.
Sifat ‘Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui buakn pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.61
Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan
bahwa:
1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan
seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong.
2. Kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur
dengan ketakwaannya kepada Allah SWT
61 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 263.
51
BAB III
TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13
A. Asbabun Nuzul
Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13:
⌦
☺
☺
⌧
☺
⌧
25
26
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha” ( QS. Al-Hujurat (49) : 11-13)
Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan
dengan seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu
sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah
ayat ini sebagai larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan nama-
nama gelar di zaman jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW
memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan
kepada beliau bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat yang
melarang memanggil orang dewasa yang tidak disukainya.1
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat
turun berkenaan dengan “Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus
tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan
1 HQ Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1995),
Cet. XVII, h. 473.
27
perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang
mengumpat menceritakan keaiban orang lain”.2
Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa
penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan
mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak
hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya
Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun
sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang
paling mulia adalah yang paling takwa.3
Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan “Abi Hidin akan
dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani
Bayadlah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan
puteri-puteri kami kepada budak-budak kami ?”.Ayat ini turun sebagai
penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak
dengan orang merdeka”.4
B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13
Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.5
Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang
2 HQ Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1995),
Cet. XVII, h. 474. 3 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’,
1993), Cet-I, h. 496. 4 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’,
1993), Cet-I, h. 496. 5 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), Cet. I, Jilid X, h. 407.
28
menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan
ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya
dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian.
Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan
menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-olok, mengejek diri
sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah,
serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena
derajat manusia di hadapan Allah SWT sama.
Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis
akan menafsirkannya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini :
السخريةMengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan).Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya As-sukhriyah dan As-sikhriyah (huruf sin didhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk.6
م والق
Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutip Abuddin Nata,” kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu, qiyam, yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu”.7
تلمزوا وال
Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin adalah seperti satu
6 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 220. 7 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. I, h.
235.
29
jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.8
بااللقاب والتنابزوا
Janganlah saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai oleh seseorang.9
سم الا
Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.”10
اجتنبوا
Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguh-sungguh untuk menjauhinya.
ماالث
Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.
تجسسوا
Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang.11
الغيبة
Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.
8 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 220. 9Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 221.
10 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 221.
11 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 226.
30
انثى و رآ ذ من
Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)
الشعوب
Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang.12
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan
manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia
menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling
menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan/tertib, disiplin,
menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang
demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai
aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat
merugikan dirinya.
Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan
keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Surat al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata
kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur.
Salah satu kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah
untuk melakukan perdamaian (ishlah) setelah terjadinya pertikaian, serta
penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian,
sehingga umat Muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk
mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan
ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan oleh hal yang sederhana, seperti halnya
mengolok-olok. Berikut penulis akan menjelaskan kandungan makna surat al-
Hujurat ayat 11 berdasarkan pendapat para mufassir, adapun uraian tafsir dari
ayat tersebut adalah sebagai berikut :
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿..…
12 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, … h. 237.
31
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain.
“Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman adalah mereka
yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan juga
Rasul-Nya”.13 “Kata ( خرسي ) yaskhar/memperolok-olokkan ialah menyebut
kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik
dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku”.14 Contoh mengolok-ngolok
misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan
isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru
perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah
juga berarti menghina dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas
haram.
“Kata ( قوم ) qaum merupakan (kata) yang menunjukan arti jamak dari
sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-
anak”.15 Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia.
Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena
ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita.
“Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-
Qur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu
setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia
merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti
mengolok-olok pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan
kehormatannya pun satu”.16 Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan
etika tersebut melalui panggilan kesayangan “Hai orang-orang yang
beriman.” Dia melarang suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain.
Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya
13 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIII, h. 585 14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Volume XIII, h.
251 15 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) h. 132 16 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418
32
pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta.17
Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah
hadits yang berbunyi :
لخد يال : "ل اقسلم عنه عن النبى صلى اهللا عليه و رضي اهللا مسعود اهللا بن عن عبد
نوك ين ابح يل ج الرنا : لج رلاقف "رب آنم ةر ذا لقث مهبقلي ف انآ ن مةنجا ل
ضمغ وقح الرط بربكل الماج البحي ليم ج ا هللانا : "ل ؟ قاةنس ح هلعنا ونس حهبوث
18 )رواه التر مذ ي ("ا سالنDari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia (HR. Tirmidzi)
Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-olok itu hukumnya haram
karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan
permusuhan.
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿… ن يكو نوا خيرا منهم أىسع…
…boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok…
Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala.19
17 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Terj.Wahid Ahmadi,dkk,( Solo: Era
Intermedia, 2007), Cet.IV, h. 435. 18 Muhammad Jamil Athtar, Sunan Tirmizi, (Beirut: Darul Fikr, 1994), Juz III, h. 402 19 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222
33
Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua
kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia
menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam
ayat ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya
lebih mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok.
Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat ampunan karenannya.20
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿…ا منهنخير وال نساء من نساء عسى أن يكن…
Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok (dalam pandangan Allah). Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minat/wanita-wanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( ءنسا ) nisa /perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “Ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka”.21
“Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan
mengolok-olok itu dilakukan ditengah orang banyak, sehingga sekian banyak
orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang
sakit hati”.22 Firmannya ‘Asa an yakunna khairan minhunna, boleh jadi mereka
yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan
tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang
20 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., h. 223. 21 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam,Terj. Wahid Ahmadi, dkk … h. 436. 22 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., h. 222.
34
boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak
nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau
orang lain, justeru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan
melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang
ditetapkan Alah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.23 Dalam
sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan
penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi Allah melihat
keikhlasan amal yang dilakukannya.
ىنرسا ي م" :القف الجم ر صلى اهللا عليه و سلىبلن لتيكح :تال قةشا ئ عنى عذمر التيور
ا هدي ب تلقا وة أر م اةيف صن ا ا هللالوسا ر يتل فقتقا ل ,"آذاوذا آى لنا والج رتيكح ىنأ
رواه ( هت حزم لرحب الءام بتحز مو لةملكب ت حز مدقل : الق ف,ةريصها قى أننع تاذكه
24 )ىمذترال
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka Beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri begini dan begini,” Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Shafiyah itu seorang wanita. ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa Shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu kata-kata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. (HR. Tirmizdi).
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿…والتلمزوا أنفسكم… Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri.
“Kata ( زوالم ت ) talmizu terambil dari kata ( اللمز ) al-lamz. Para ulama
berbeda pendapat dalam memakai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya
dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang yang diejek, baik
dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau
23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …, h. 252. 24 Shalih bin Abdul Aziz, Jamiut Turmuzdi, (Riyadh: Darussalam, 1999), h. 185
35
Larangan ini (mencela diri-sendirinya) hampir sama dengan firman-Nya
“Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama
lain saling membunuh. Sebuah syair mengatakan: janganlah kamu membuka-
buka keburukan orang lain, selagi mereka menutupinya. Maka Allah takkan
membukakan keburukanmu. Sebutlah kebaikan yang ada pada mereka, bila nama
mereka disebut-sebut. Janganlah kamu mencela seorang pun dari mereka dengan
keburukan yang justru ada pada diri kamu sendiri. Dalam sebuah hadits
digambarkan bahwa antara mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu
tubuh, sehingga apabila seseorang mencela orang lain berarti ia telah mencela
dirinya sendiri:
: م عليه وسلهللا هللا صلى ا ل رسوالق : لمان بن بشير ر ضى ا هللا عنهما قاعن النع
ى تداعى منه عضوتك اذا شدسجال لمثهم آفا طعت و هم وتوادمهمحار تى فنين مؤملاتر
28 )رواه البخارى ( مىوالح هر با لس الجسدرائسDari Nu’man bin Basyir ra., berkata, Nabi SAW bersabda, kamu akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarlah kepada anggota-anggota lain, sehingga badannya terasa panas dan tidak dapat tidur. (HR. Bukhari)
25 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251 26 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam,Terj. Wahid Ahmadi,dkk …., h. 436. 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adhim, (Beirut: Darul Fikr, 2000), Juz IV, h. 256. 28 Mustafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 665
36
Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri.
Tetapi maksudnya adalah orang lain. Karena ejekan yang dilakukan oleh
seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya (yang
mengejek). Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing
dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain
menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek
diri sendiri.
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿…بقلالوأبازبناتالو…Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar buruk
Kata ( تنابز وا ) terampil dari kata ( ا لنبذ ) an-Nabz yakni buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.29
Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya
“memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang
munafik. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan
panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseorang: wahai anjing,
keledai dan babi”.30 “Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena,
diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan
hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang
dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu
menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia”.31
Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain-
lain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat
dengan taubatan nashuha, haruslah dipanggil dengan panggilan yang
menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya.
29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252 30 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 31 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418
37
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (si rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as- Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).32
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh
memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai
menyakitkan perasaannya.
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿…ن الفسو ق بعداال يمس االسمبئ … …seburuk-buruk panggilan ialah kepasikan sesudah iman… Kata ( ا ال سم ) al-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati, ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “seburuk-buruk tanda pengenal yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain.33
Wahbah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ( ا لفسوق ) “memberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang
jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan
fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya”.34 Menurut
pendapat lain yang mengandung makna seburuk-buruk pengenalan/tanda kepada
seseorang yang tidak masuk Islam adalah “menyebutnya dengan sebutan fasiq
atau Yahudi.”35
32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah …, h. 252 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 253 34 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 35 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133
38
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap
umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini
bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk
meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi
kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap
berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan
pamggilan yang menyakitkan.
﴾١١׃٤٩\الحجرات﴿ ونملالظ ام هكنلو فابتين لم مو… …dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Siapa saja yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.36
“Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang
lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya
menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim.”37
Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas
mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan
mulia tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini
mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat :
1. Mengolok-olok orang lain.
2. Mengejek diri kamu sendiri.
3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk.
Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman :
36 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maragi…, h. 225 37 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133
39
⌧
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿…Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan)… “Kata ( بوااجتن ) ijtanibu terambil dari kata (جنب) janb yang berarti samping.
Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini
kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata tersebut
berfungsi penekanan yang berarti kata ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah.
Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.”38
Kata آثيرا banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.39
“Yang dimaksud dengan dhann (dugaan) adalah batas pertengahan antara
yakin dan ragu, dhann (dugaan) bisa bersifat kuat (mendekati benar) dan juga
bersifat lemah.”40
Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesama manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu.41
38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 39 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 40 Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, (Beirut, Dar al-Jil, tt), Jilid III, h. 507 41Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27.
40
Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orang-
orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari
mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang
baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah
paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan
prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah.
Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang
disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya.
“Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan
dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman
dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka
terhadapnya.”42
Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 43 Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan.
Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut
berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny/dugaan, dan
tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan
yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini :
44)رواه الطبرانى(ألطيرة والحسد وسوء الظن : ثالث ال زمات المتى
42 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 254. 43 Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578. 44 Abbas Ahmad Shiqr dan Ahmad Abdul Jawad, Jamiul Ahadits.., Juz.IV, h. 157
41
Tiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka. (HR. at-Thabrani) Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat
sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat
buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya,
“Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?”
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah
kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa
benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakan saja rencanamu.”
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿ ن إثمإن بعض الظ … … …sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa…
Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan
tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah
menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam
kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim
hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif
thinking (husnudhdhan).
Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, yakni dugaan yang tidak
berdasar, adapun apabila ada bukti yang kuat yang mendukung dugaan seseorang
maka hal itu tidak mengapa. “Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti
kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk
menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak
menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut.”45
Memang islam tidak melarang adanya bisikan yang hanya terlintas dalam benak
seseorang, aslakan bisikan tadi tidak dilanjutkan dengan dugaan buruk.
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿…وال تجسسوا……dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain...
Dalam ayat ini Allah SWT melarang dari memata-matai terhadap orang lain. Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi yang disebut tajassus.
45 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
42
dari sini mata-mata dinamai ,( جس ) tajassasu terambil dari kata ( تجسسوا ) ,jasus. Imam Al-ghazali memahami larangan ini dalam arti ( جاسوس )jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Dengan demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 46 Allah melarang hamba-Nya mengikuti dugaan (buruk) dan janganlah
seseorang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keyakinan tentang aib
(kekurangan) manusia.
Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang.
Tajassus dapat memutuskan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga,
tajassus demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ini dapat
dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat
yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih
dilarang. Siapa saja yang menutup aib orang lain, maka ia bagaikan
menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup. Dalam kesempatan yang
lain tajassus merupakan kegiatan mengiringi dugaan dan terhadap pula sebagai
kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan seseorang. Al-
Qur’an memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan
kalbu dan kecenderungan buruk itu, yang hendak mengungkap aib dan keburukan
tersebut.
Sedangkan tahassus adalah mencari berita tentang orang lain dan apabila hal
tersebut diketahui oleh yang bersangkutan maka ia tidak senang. Tahassus
biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berarti baik sekaligus juga
yang jelek. Seperti firman Allah SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub as
yaitu, “Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya”.
Tidak adanya kepercayaan kepada orang lain, akan mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan batin berupa prasangka buruk dan mendorong
melakukan tindakan lahir berupa tajassus ‘memata-matai,’ “Islam membangun
46 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
43
masyarakatnya atas dasar kesucian lahir dan batin sekaligus. Oleh karena
itu,larangan tajassus ini dibarengkan dengan su’suzhzhan. Dan, sering terjadi
bahwa su’uzhzhan menyebabkan tajassus.”47
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿…واليغتب بعضكم بعضا……dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain…
“Kata ( يغتب ) yaghtab terambil dari kata ( غيبة) ghibah yang berasal dari
kata ( غيب ) ghaib.”48 Menurut ijma ulama ghibah adalah termasuk dosa besar
(kabair) dan haram hukumnya, tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini.
Menurut al-Hasan ghibah itu ada tiga macam yang semuanya tercantum dalam
kitab Allah SWT, yaitu ghibah, al-ihkfu dan al-buhtan. Ghibah maksudnya ialah
berkata-kata mengenai saudaramu tentang sesuatu yang ada pada dia. Al-Ikhfu
adalah berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa yang sampai kepadamu
mengenai dia, adapun al-buhtan, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang
tidak terdapat pada dirinya.
Ayat ini menjadi isyarat wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin
ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan
ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasululah SAW,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
bahwa Abu Hurairah ra berkata,
اتدرون : عن أبى هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال
ا يكره قيل أفرأيت في أخي ما ذآرك أخاك بم: قال. اهللا ورسوله أعلم: مالغيبة؟ قالوا
رواه (ته وان لم يكن فيه ما تقول فقد بهته اغتبل فقد تقوأن آان فيه ما : ل؟ قالاقو
49)الترمذيAbu Hurairah r.a berkata, Rasulullah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Jawab sahabat, “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak
47 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam….., h. 390. 48 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 256. 49 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh : Darus Salam, 1998), Cet. I, h. 1132.
44
disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Jawab Nabi,”Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan apa yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terhadap apa yang kami katakan, maka kamu telah berbohong. (HR Turmudzi)
Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada dihadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghibah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain. 50
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Tatkala dimikrajkan, aku melihat suatu kaum yang
berkuku tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril,
siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, mereka adalah orang yang suka makan
daging manusia dan menodai kehormatannya.” 51Orang yang menggunjing berarti
ia telah menodai kehormatan orang lain.
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿ … أتحب أحدآم أن يأآل لحم أخيه ميتا……apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia meninggal dunia... Orang yang berghibah berarti ia telah merobek-robek kehormatan saudaranya,
sehingga diumpamakan seperti memakan bangkai daging saudaranya. “Namun
perlu dipahami bahwa ghibah yang dilarang adalah terhadap orang mukmin,
bukan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakannya seperti
memakan bangkai saudara (akhi). Sedangkan orang kafir bukan saudara (orang
mukmin), oleh karena itu ghibah terhadap orang kafir dibolehkan.”52 Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa ghibah merupakan perbuatan yang tercela yang harus
50 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam….., h. 394. 51 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 421. 52 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi….., h. 134.
45
dihindari oleh setiap umat muslim khususnya. Dalam sebuah hadits dikatakan
bahwa ghibah itu haram hukumnya bahkan lebih keras daripada zina.
Ajaran Islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah :
1. Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah, maka untuk mencairkan amarah orang tersebut menggunjingnya.
2. Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka.
3. Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu.
4. Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini.53
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿ …فكرهتموه…
…maka kamu telah jijik kepadanya… Maka kamu telah jijik kepadanya merupakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan pertama pada gaya pertanyaan yang dinamai istifham taqriri yakni yang bukan tujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua, ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi. Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang diantara kamu.” Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri. Kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri.54
Sebagai akhlak tercela, ghibah haruslah diobati. Adapun cara mengobati
penyakit ghibah ialah dengan menyadarkan orang yang menggibah bahwa
perbuatan itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan
berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika tidak mempunyai kebaikan, maka
keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapapun yang
menyadari hal ini, tentu lidahnya tidak akan berani melakukan ghibah. Jika
53 Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), Cet. I, h. 215.
54 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., volume XIII, h. 257.
46
terlintas untuk mengghibah, maka hendaklah dia intropeksi diri dengan melihat
aib diri sendiri lalu berusaha untuk memperbaikinya. Orang yang melakukan
ghibah semestinya dia merasa malu sementara dirinya masih banyak memiliki
kekurangan di sana sini.
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿ … اهللاوأتقوا……dan bertakwalah kepada Allah…
“Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada
Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu. Waspadalah
dan takutlah kamu kepada Allah.”55
﴾١٢׃٤٩\الحجرات﴿ إن اهللا تواب رحيم……sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyanyang. Kata ( التواب ) at-Tawwab seringkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandungan kata at-Tawwab, walaupun tidak dapat menilainya keliru. Imam Ghazali mengartikan at-Tawwab sebagai Dia (Allah) yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hambaNya. Dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaranNya. Menggiring kepada mereka peringatan-peringatan-Nya, serta mengingatkan ancaman-ancaman-Nya. Sehingga bila mereka telah sadar akan akibat dari dosa-dosa dan merasa takut dari ancaman-ancaman-Nya, mereka kembali (bertaubat) dan Allah pun kembali kepada mereka dengan anugerah pengabulan.56
Terkait dengan masalah ghibah/menggunjing, jumhur ulama berpendapat,
seseorang yang menggunjing saudaranya wajib bertaubat kepada Allah dengan
cara berhenti dari perbuatan tersebut, serta bercita-cita untuk tidak mengulanginya
lagi. Apakah diisyaratkan bagi orang yang menggunjing meminta maaf kepada
yang digunjingnya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut sebagian
pendapat wajib bagi orang yang menggunjing meminta kehalalan (maaf) dari
orang yang digunjingnya tadi, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain tidak
diisyaratkan untuk kehalalan kepada orang yang digunjingnya, karena hal ini bisa
menyakitkan perasaan orang tersebut. “Bila demikian halnya, maka cara yang
mesti ditempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah
55 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 232. 56 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 259.
47
digunjingnya itu di tempat dimana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan agar
dia menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan
kemampuannya. Umpatan dibayar dengan pujian.”57 Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni
melaksanakan taubatan nasuha, dan inilah taubat yang sebenarnya.
Dengan demikian ayat 12 di atas mengandung kesimpulan bahwa:
1. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka,
mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing.
2. Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu
seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati.
3. Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa karena Dia adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat 13 surat al-Hujurat Allah SWT berfirman:
﴾١٣׃٤٩\الحجرات﴿… خلقنكم من ذآر وأنثىنايأيها الناس إHai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari Adam
dan Hawa…
Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan
Hawa “Maka kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu
mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersudara dalam nasib dan sangat
mengherankan bila saling mencela sesama saudaramu atau saling mengejek atau
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”58 “Karena semua manusia
berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa. Berdasarkan ayat ini
maka dapat dikatakan bahwa kedudukan setiap manusia adalah sama. Oleh karena
itu, maka tidak ada tempat untuk saling membanggakan dan menyombongkan
diri.”59
Dengan demikian ayat ini menjelaskan larangan mengolok-olok, mencela
diri sendiri, memanggil dengan gelar yang buruk, suudhdhan, tajassus, dan
57 Muhammad Nasab Rifa’I, Kemudahan dari Allah…., h. 436. 58 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 236. 59 Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qadir. (Beirut: Darul Ma’rifah,tt), h. 83.
48
﴾١٣׃٤٩\الحجرات﴿…وجعلنكم شعوبا وقبائل…Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Kata ( شعوب ) syu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( شعب ). Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompok yang dinamai bathn. Di bawah bath ada sekian ifakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil.60
Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa
yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna
timbal balik, dengan demikian berarti saling mengenal.”61 Upaya saling mengenal
ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing-masing dan
saling menolong di antara sesama kerabat. Dengan demikian, dengan ayat ini
menjadi alasan bahwa diciptakannya manusia adalah untuk saling mengenal dan
tolong menolong, bukan untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri.
Upaya saling mengenal dapat dilakukan dengan proses bersilahturahmi.
Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat
orang enggan berinteraksi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan
tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu Sunnatullah dan
tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal.
﴾١٣׃٤٩\الحجرات﴿…كمأن أآرمكم عند اهللا أتق……sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa…
“Kata ( اآرمكم ) akramakum terambil dari kata ( آرم ) karuma yang pada
dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang baik
adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk.”62
60 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 61 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 62 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 262.
49
Firman inna akramakum inda Allah atqaakum mengandung dua makna. Yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seeorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal dibanding yang kedua.63 Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat
dikatakan takwa adalah manifestasi dari ‘amal’ sedangkan ilmu adalah kemuliaan.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang ‘alim adalah lebih dibenci
syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu.
Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang yang alim”
maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan
demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu, dan tidak
bisa dipisahkan. Orang ‘alim tetapi tidak bertakwa adalah seperti pohon yang
tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama dibanding
yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat
kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang ‘alim yang tidak
bertakwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka.
Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan
berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa
kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau
garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki, karena itu banyak
yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan
dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang
mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah
sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus
membahagiaan secara terus menerus. “Kemuliaan abadi dan langgeng iu ada di
sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-
Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-
63 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrul Razi….., h. 139.
50
sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa dan dengan demikian yang
paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”64
Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. “Orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. “Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikkanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerok Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah.65 Semua ini merupakan kejahiliahan uang kemudian dikemas dalam berbagai
model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semua merupakan kejahiliahan yang
tidak berkaitan dengan Islam.
Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya
agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji
yaitu panji Allah. Bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji
keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak
dikenal Islam.
Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), Nabi SAW berpesan antara lain: “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tidak juga non arab atas orang arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah, (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.66
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durra
binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang
sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulullah, manusia
manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab, Manusia yang paling baik
adalah yang paling rajin membaca Al-Qur’an, yang paling bertakwa kepada Allah,
64M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 263 65Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 422. 66 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261.
51
yang paling sering memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silahturahmi.
Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan
tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah
sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab
maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling
bertakwa kepada Allah SWT.
﴾١٣׃٤٩\الحجرات﴿إن اهللا عليم خبير……sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha
Mengenal/teliti terhadap semua urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada
yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan
menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan
merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha Bijaksana, Maha
Mengetahui, dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut.
Sifat ‘Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.67
Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan
bahwa:
1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan
seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong.
2. Kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur
dengan ketakwaannya kepada Allah SWT.
67 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 263.
52
BAB IV
ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM
SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13 DAN APLIKASINYA
A. Aspek Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 11-13
Secara fungsional Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia. Yakni sebagai penjelas dan pembeda antara yang hak dan bathil, petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
Dan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an tersebut, menurut Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip Hery Noer Ali, dapat dikelompokkan menjadi tiga pokok, yaitu:
1. Petunjuk tentang akidah atau kepercayaan yang harus dianut oleh manusia (dalam bentuk) yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan serta kepercayaan akan adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan baik individual maupun kolektif.
3. Petunjuk mengenai syari’at dan hukum yang menjelaskan dasar-dasar hukum yang harus dipatuhi oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.1
Penulis mengelompokkan aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS al-Hujurat: 11-13 menjadi tiga bagian, yaitu aspek pendidikan akhlak, meliputi larangan merendahkan orang lain, larangan
1 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I, h. 33.
52
53
suudhdhan, larangan menggunjing, aspek pendidikan taubat, dan aspek pendidikan takwa.
1. Aspek Pendidikan Akhlak
Kata akhlak dalam bentuk tunggalnya (khuluk), secara bahasa oleh Jamil Shaliba dalam kutipan Prof. Dr. H. M. Ardani diartikan dengan “perangai, tabi’at, watak, dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”.2 Dan secara istilah, Al-Ghazali mendefinsikan dengan “ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang kinstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”.3
Berdasarkan pengertian di atas, maka hakikat akhlak Al-Ghazali harus mencakup dua syarat, yaitu bersifat konstan artinya dilakukan berulangkali, (continue) dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan atau habit forming dan yang kedua bersifat reflektif dari jiwa tanpa pertimbangan dan pemikiran. Artinya perbuatan itu tumbuh bukan atas dasar tekanan-tekanan atau pengaruh orang lain.
Pendidikan akhlak adalah salah satu bagian dari pengajaran agama, yang membicarakan nilai suatu perbuatan menurut ajaran agama dan berbagai hal yang langsung mngikuti pembentukan sifat-sifat itu pada diri seseorang secara umum.
Adapun aspek-aspek pendidikan Islam yang meliputi pendidikan akhlak pada QS Al-Hujurat: 11-13 adalah sebagai berikut:
a. Larangan Menghina Orang Lain
Larangan menghina orang lain terdapat dalam firman-Nya :
⌦
2 Moh. Ardani, Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti Dalam Ibadah, Jakarta: CV. Karya Mulia,
2001, cet. Ke-1, h. 25. 3 Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, ct. ke-
1, h. 102.
54
☺
﴾١١׃ ٤٩\الحجرات﴿..…Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman….(Al-Hujurat: 11)
“Tidak halal bagi seorang mukmin yang mengenal Allah yang meyakini kampung akhirat, merendahkan seseorang atau menjadikannya objek tertawaan, hinaan, makian, dan celaan. Perbuatan ini mengandung kesombongan yang tersembunyi, meremehkan orang lain, dan kebodohan terhadap neraca kebaikan di sisi Allah SWT”.4
Masyarakat unggul yang hendak ditegakkan Islam dengan
petunjuk al-Quran ialah masyarakat yang memiliki etika yang luhur.
Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak
boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok
individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab, seluruh
jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu.
Melalui ayat ini, Al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan, “Hai orang-orang yang beriman”. Dia melarang suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, sebab boleh jadi laki-laki yang diolok-olok itu lebih baik dalam pandangan Allah dari pada yang mengolok-olok. Mungkin juga wanita yang diolok-olok itu lebih baik dalam pertimbangan Allah dari pada yang mengolok-olok. 5
Ungkapan ayat mengisyaratkan secara halus bahwa nilai-nilai
lahiriyah yang dilihat laki-laki dan wanita pada dirinya bukanlah nilai
4 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj.(Solo : Era Intermedia, 2000),
Cet. I, h. 444. 5 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani, 2001), Cet. I, h. 327.
55
hakiki yang dijadikan pertimbangan oleh manusia. Di sana ada
sejumlah nilai lain yang tidak mereka ketahui dan hanya diketahui
Allah serta dijadikan pertimbangan oleh sebagian hamba. Karena itu,
kadang-kadang orang kaya menghina orang miskin, orang kuat
menghina orang lemah, dan orang yang sempurna menghina orang
yang cacat. Kadang-kadang orang pandai yang professional menghina
orang lugu yang hanya jadi pelayan. Hal-hal di atas dan perkara
lainnya merupakan nilai duniawi yang tidak dapat dijadikan ukuran.
Timbangan Allah dapat naik dan turun bukan oleh timbangan duniawi
itu.
Termasuk mengolok-olok dan cela-mencela ialah memanggil dengan panggilan yang tidak disuka pemiliknya serta dia merasa terhina dan ternoda dengan panggilan itu. Diantara seorang mukmin yang wajib diberikan mukmin lain ialah dia tidak memanggilnya dengan sebutan yang tidak disukainya. Diantara kesantunan seorang mukmin ialah tidak menyakiti sudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak jahiliah, karena nama atau penggilan itu menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.6
b. Larangan Su’udhdhan (Berburuk Sangka)
Larangan berburuk sangka terdapat dalam firman-Nya yang berbunyi:
⌧
٤٩\الحجرات﴿ …
﴾١٢׃
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa…(QS.Al-Hujurat: 12)
6 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an,… (Jakarta : Gema Insani, 2001), Cet. I, h. 328
56
Berburuk sangka merupakan akhlak tercela dan pelakunya akan
mendapat dosa, oleh karena harus ditinggalkan. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk berpikir positif khususnya bagi orang yang
berkepribadian mulia. Dengan demikian husnudhdhan (berbaik
sangka) haruslah dibiasakan agar kita menjadi pribadi yang unggul.
Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa umat
Muslim harus menjauhi sifat buruk sangka yang tidak memiliki dasar
yang bisa dipertanggungjawabkan.
سلم و عليه الله صلى الله رسول ان عنه الله رضي هريرة أبي حديث
ولا تجسسوا ولا حسسوات ولا الحديث اآذب الظن فان والظن اياآم : يقول
اخوانا الله عباد وآونوا تدابروا ولا تباغضوا ولا سدوا تحا الو جشوا تنا
7 )االدب آتاب في البخاري اخرجه(Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda, berhati-hati kalian dari berburuk sangka sebab buruk sangka itu sedusta-dusta cerita (berita); janganlah menyelidiki; jangan memata-matai (mengamati) hal orang lain, jangan hasut menghasut; jangan benci membenci, dan saling membelakang. Jadilah kalian ini sebagai hamba Allah yang bersaudara. (HR. Bukhari)
Buruk sangka adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek adanya sebab-sebab yang jelas yang memperkuat sangkaannya. Buruk sangka seperti yang dinyatakan dalam hadits di atas sebagai sedusta-dustanya perkataan. Orang yang telah berburuk sangka terhadap orang lain berarti telah menganggap jelek kepadanya padahal ia tidak memiliki dasar sama sekali. Buruk sangka akan mengganggu hubungannya dengan orang yang dituduh jelek, padahal orang tersebut belum tentu sejelek persangkaannya.
Buruk sangka dalam masalah akidah adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, tidak benar jika keimanan kepada Allah SWT hanya berdasarkan dugaan semata. Bila dicermati salah satu penyebab orang-
7 Musthafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 668.
57
orang terdahulu tersesat adalah karena mereka tidak yakin dengan keimanan kepada Allah SWT.
c. Larangan Ghibah (Menggunjing)
Larangan ghibah ini terdapat dalam firman-Nya:
…
☺
﴾١٢׃ ٤٩\الحجرات﴿ .…
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Hujurat: 12)
Rasulullah SAW memberikan definisi tentang ghibah kepada
para sahabatnya dengan metode tanya jawab, seraya bertanya kepada
mereka,
أتدرون :سلم و عليه الله صلى الله رسول قال :قال عنه الله رضي هريرة أبي حديث
آان إن أفرأيت : قيل يكره بما أخاك آركذ : قال. علمأ ورسوله هللاا : قالوا ؟ الغيبة ما
فقد تقول ما فيه يكن لم وإن إغتبته فقد ماتقول فيه آان إن : قال ؟ ماأقول أخي في
8 ).مسلم رواه ( بهته
“Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul- Nya yang lebih tahu.” “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang mereka tidak sukai,” Jelas Rasul SAW. Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana jika yang saya katakan benar adanya?”. Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan benar, engkau menggunjingnya, sedangkan jika yang engkau katakan tidak benar, engkau berbohong kepadanya.”(HR.Muslim)
8 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh : Darus Salam, 1998), Cet. I, h. 1132
58
Pembicaraan negatif yang tidak disenangi orang lain biasanya menyangkut tabi’at, fisik, dan keturunan dan apa-apa yang khas padanya. Sesungguhnya, ghibah adalah ambisi menghancurkan orang lain. Ia juga berambisi untuk menodai harga diri, kemuliaan, dan kehormatan seseorang, disaat orang yang dituju tidak ada. Ia juga menunjukkan sifat pengecut perilakunya, karena ghibah sama dengan menikam dari belakang. Ia juga merupakan perilaku negatif, memukul orang yang tidak berdaya. Ia karenanya adalah penghancur dan sangat sedikit orang yang selamat dari lisan penggunjing, tanpa tertusuk dan terluka.9
Adapun batas-batas dispensasi dalam membolehkan ghibah, antara lain:
a. Meminta fatwa, yakni seorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus tertentu dengan memberi contoh.
b. Menyebut keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan keburukannya di depan umum. Seperti menyebutkan si A pemabuk, karena memang ia sering minum dihadapan umum dan mabuk.
c. Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran.
d. Menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan, misalnya dalam konteks menerima lamarannya.
e. Memperkenalkan seseorang yang tidak dapat dikenal kecuali dengan menyebutkan aib atau kekurangannya.10
Salah satu yang ditetapkan Islam adalah bahwa orang yang mendengarkan gunjingan hukumnya sama dengan orang yang menggunjing. Karenanya, ia harus menolong saudaranya dari gunjingan dengan menolak gunjingan itu, karena sabda Nabi SAW:
عن رد من "سلم و عليه الله صلى النبي عن عنه الله رضي الدرداء أبي عن
9 Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al- Haram fi al- Islam terj. Wahid Ahmadi, (Solo: Era
Intermedia, 2000), Cet. I, h. 453. 10 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah…,h 256.
59
“Siapa membela harga diri saudaranya dari gunjingan, maka Allah akan menghalangi muka orang tersebut dari api neraka di hari kiamat nanti” (HR. Turmudzi dan ia meng”hasankannya”)
2. Pendidikan Taubat
Pendidikan taubat ini terdapat dalam firman-Nya yang berbunyi :
﴾١١׃ ٤٩\الحجرات﴿.…
….dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim…(QS.Al-Hujurat: 11)
Taubat artinya penyesalan atau menyesal karena melakukan suatu kesalahan dengan jalan berjanji sepenuh hati tidak akan lagi melakukan dosa atau kesalahan yang sama dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. “Taubat adalah awal atau permulaan di dalam hidup seseorang yang telah memantapkan diri untuk berjalan di jalan Allah (suluk). Taubat merupakan akar, modal atau pokok pangkal bagi orang-orang yang berhasil meraih kemenangan.”12
Allah swt berfirman :
11 Shalih bin Abdul Azis, Jamiut Tirmidzi,…..,h.450. 12 Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Purwanto, (Bandung ; Marja,2006), Cet. VI, h. 9.
60
... .﴾٨׃ ٦٦\التحريم﴿
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,… (Q.S. At-Tahrim : 8)
Taubat nashuhah adalah taubat yang bersih dari segala dosa,
kekurangan dan kerusakan.
Taubat nashuhah itu meliputi tiga unsur; Pertama, ia mencakup
seluruh dosa, sehingga tidak ada satu dosa pun yang tertinggal. Kedua,
kebulatan tekad untuk itu, sehingga tidak tersisa lagi keragu-raguan dan
kebimbangan. Ketiga, memurnikannya dari berbagai hal yang bisa
merusak keikhlasan taubat itu. Juga agar tetap terjaga rasa takut kepada
Allah dan pengharapan terhadap balasan yang Dia sediakan.
Taubat yang sempurna harus memenuhi lima dimensi : a. Menyadari kesalahan. Karena seseorang tidak mungkin bertaubat
kalau dia tidak menyadari kesalahannya atau tidak merasa bersalah. b. Menyesali kesalahan. Sekalipun seseorang tahu bahwa dia bersalah
tetapi dia tidak menyesal telah melakukannya maka belumlah dikatakan bertaubat.
c. Memohon ampun kepada allah SWT (istighfar), dengan keyakinan atau husn azh-zhan bahwa Allah SWT akan mengampuninya. Semakin banyak dan sering seseorang mengucapkan istighfar kepada Allah SWT semakin baik.
d. Berjanji tidak akan mengulanginya. Janji itu harus keluar dari hati nuraninya dengan sejujurnya, tidak hanya dimulut, sementara di dalam hari masih tersimpan niat untuk kembali mengerjakan dosa itu sewaktu-waktu.
e. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal saleh, untuk membuktikan bahwa di benar-benar telah bertaubat.13 Taubat yang memenuhi syarat pasti akan diterima oleh Allah.
Sesungguhnya cahaya kebaikan itu akan menghapuskan kegelapan
13 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam, 1999), Cet. 1, h. 61.
61
keburukan dari permukaan hati, sebagaimana kegelapan malam tidak
berdaya menahan terangnya cahaya siang.
Setiap hati yang suci dan bersih pasti akan diterima, sebagaimana
pakaian yang bersih pasti akan digemari oleh siapa saja. Maka supaya
taubat dapat diterima, hati harus disucikan dan dibersihkan terlebih dahulu.
Orang-orang yang melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, kemudian
Allah SWT menerima taubatnya maka orang tersebut diibaratkan seperti
orang yang tidak berdosa.
3. Pendidikan Takwa
Pendidikan takwa terdapat dalam firman-Nya:
…
﴾ ١٣׃ ٤٩\الحجرات﴿
…sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.Al-Hujurat: 13)
Takwa adalah sensitifitas di dalam hati, kehalusan dalam perasaan,
rasa khawatir yang terus menerus, dan selalu berhati-hati terhadap duri-
duri yang ada di jalan kehidupan.
M.Rusli Amin mengutip perkataan Prof. DR. Hamka bahwa takwa itu jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil dari arti takwa. Seungguhnya, di dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, sabar dan sebagainya. Memang, kadang-kadang takwa juga diartikan takut. Hal ini terjadi karena susunan ayat yang cenderung pada arti yang terbatas itu saja. Padahal takwa mengumpulkan banyak arti, termasuk juga berani. Dengan demikian, pada pokoknya takwa itu berarti: pelaksanaan iman dan amal saleh, memelihara hubungan dengan Tuhan, bukan saja karena takut, tetapi lebih dari itu, karena kesadaran diri sebagai hamba Allah.14
14 M.Rusli Amin,Pencerahan Spiritual,(Jakarta:Al-Mawardi Prima,2002) Cet.I, h.171.
62
Adapun beberapa keuntungan orang yang bertakwa, antara lain:
a. Orang yang bertakwa akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman sebagai berikut:
٠٠٠
⌧
﴾ ١٠׃ ٤٩\الحجرات﴿
…dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat : 10)
Demikianlah janji Allah kepada oang yang bertakwa, bahwa
kepadanya Allah akan menganugerahi rahmat, padahal
sesungguhnya telah berlimpah-limpah rahmat Allah dicurahkan
kepada manusia. Kita dapat menjalani hidup dengan rahmat Allah
yang bertebaran di sekitar kita. Allah menciptakan matahari, yang
tanpa itu tidak akan berlangsung kehidupan manusia di bumi, sebab
kebutuhan manusia terhadap matahari merupakan sesuatu yang
sangat vital, sesuatu yang prinsipil. Diturunkannya hujan dari langit
yang dengan itu tumbuhlah berbagai macam tumbuh-tumbuhan di
bumi, dan itu juga untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Angin yang bertiup, udara, ikan-ikan di laut. Dipeliharanya setiap
benih yang ditanam oleh petani baik di sawah yang luas, maupun
dikebun-kebun, sehingga tumbuhlah berbagai macam tanaman
yang bermanfaat. Semua itu diberikan secara cuma-cuma kepada
manusia, karena rahmat-Nya sangat luas, karena Allah Maha
Pengasih terhadap makhluk-makhluk-Nya.
b. Orang Yang Bertakwa Akan Mendapatkan Kecintaan Allah.
Allah berfirman :
﴾٤׃ ٩\التوبة﴿ ☺
63
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” . (Q.S. At-Taubah : 4)
Ketika mendapatkan kecintaan dari seseorang atau dari
manusia saja kita telah merasakan kebahagiaan, dan kita merasa
lebih bahagia dan beruntung lagi bila yang menyukai dan mencintai
kita itu adalah seorang yang istimewa, apakah suami, istri, ana-
anak, seorang yang kaya raya, penguasa, padahal cinta manusia itu
relatif. Cinta manusia itu bersumber dari hatinya, sedangkan sifat
hati itu adalah bolak balik atau tidak tetap, sehingga yang terjadi
pada manusia adalah hari ini cinta, besok telah berubah menjadi
benci, hari ini suka besok bisa berubah menjadi tidak suka, hari ini
teman besok bisa berubah menjadi musuh.
c. Orang Yang Bertakwa Akan Diberikan Jalan Keluar Dari Kesulitan
Allah SWT berfirman sebagai berikut :
٠٠٠
☯ ⌧ ﴾٢׃ ٦٥\الطالق﴿
“….barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar”. (QS. At-Talaq : 2)
Adalah sebuah fakta bahwa perjalanan hidup di dunia ini
tidak selamanya mulus sesuai dengan harapan. Banyak kesulitan
yang harus dihadapi. Dari permasalahan-permasalahan yang
muncul di dalam kehidupan seseorang, yang tentunya setiap orang
mempunyai masalah yang relatif berbeda antara seseorang dengan
orang lain, ada yang sanggup di atasi sendiri, ada yang teratasi
64
dengan bantuan orang lain, adapula yang tidak teratasi sekalipun
berbagai upaya telah ditempuh. Diri sendiri dan juga orang lain
tetap sama sebagai manusia, yang mempunyai kelemahan dan
keterbatasan. Bahkan ketika kita mampu mengatasi suatu masalah,
maka sesungguhnya kemampuan tersebut juga karena pemberian
Allah, karena pada dasarnya tidak ada kemampuan sekecil apapun
yang dimiliki manusia, kecuali dengan pertolongan Allah.
“Di samping merupakan sumber dari segala kekuatan, maka
Allah SWT juga merupakan sumber dari segala kekayaan, Allah
Maha Kaya, dan segala kebutuhan manusia, uang, harta, kesehatan,
dan sebagainya, adalah hal-hal yang terlalu murah bagi Allah untuk
diadakan”.15
B. Aplikasi Aspek Pendidikan Islam dalam Surat al-Hujurat ayat 11-13.
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa aspek pendidikan yang
terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 meliputi aspek pendidikan akhlak;
larangan merendahkan orang lain, larangan berburuk sangka, larangan ghibah
(menggunjing), pendidikan taubat, dan pendidikan takwa kepada Allah SWT.
Agar aspek pendidikan tersebut dapat diaplikasikan dengan baik maka
diperlukan sebuah metode. Seorang pendidik harus dapat memilih dan
menggunakan metode secara tepat. Adapun metode, yang dapat digunakan
seperti yang telah dikemukakan meliputi metode keteladanan, metode
pembiasaan, metode membari nasihat, metode motivasi dan intimidasi, dan
metode persuasi.16
15 M.Rusli Amin, Pencerahan Spiritual,(Jakarta:Al-Mawardi Prima,2002) Cet.I, h.217.
16 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 177.
65
Pada dasarnya, metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina
keprinadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini
memungkinkan puluhan ribu kaum Muslimin dapat membuka hati manusia
untuk menerima petunjuk Illahi dan konsep-konsep pendidikan Islam.
Berdasarkan uraian di atas, berikut akan dijelaskan tentang aplikasi
aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat :11-13.
1. Aplikasi Pendidikan Akhlak
Menurut Prof. Dr. H. Zakiah Daradjat, pendidikan akhlak perlu dilakukan dengan cara:
a. Menumbuhkembangkan dorongan dari dalam, yang bersumber pada iman dan takwa. Hal ini bertanda pentingnya pendidikan agama.
b. Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengamalan dan latihan, agar dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
c. Meningkatkan pendidikan kemauan yang dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan agar dapat menumbuhkan kebebasan pada manusia untuk memilih yang baik dan melaksanakannya.
d. Melatih untuk melakukan yang baik dan mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan baik secara bersama-sama tanpa paksaan.
e. Membiasakan dan mengulang melaksanakan yang baik sehingga perbuatan yang baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji.17
Untuk lebih jelasnya, penulis rincikan berdasarkan aspek-aspeknya
masing-masing, sebagai berikut:
a. Larangan Menghina Orang Lain
Larangan menghina orang lain adalah bentuk antisipasi dan
kehati-hatian dari terjerumus ke dalam perbuatan sombong. Masalah
ini adalah masalah yang besar dan penting yang memerlukan
perhatian khusus.
17 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV.
Ruhama, 1995), Cet. II, h. 11.
66
Timbulnya perbuatan menghina orang lain tidak terlepas dari
adanya sifat sombong dalam diri. Artinya selalu merasa lebih tinggi
dan mulia dari orang lain. Salah satu tindakan preventif dari
perbuatan menghina adalah membiasakan hidup tawadhu (tidak
sombong). Proses pendidikan tawadhu pada dasarnya adalah upaya
penanaman nilai kerendahan hati dan untuk menjauhkan diri dari
sifat sombong.
H.M. Saefuddaullah dan Ahmad Basyuni memberikan wasilah-
wasilah sebagai terapi penyembuh sifat sombong (takabur) yaitu:
1. Mengingat akibat-akibat dan bahaya-bahaya sifat sombong.
2. Mengunjungi orang yang sedang dirundung duka, agar dapat menggerakkan hatinya untuk kembali kepada Allah SWT. Seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah dan ziarah kubur.
3. Berteman dengan orang-orang yang memiliki sikap rendah hati. Seperti menghadiri majlis-majlis ta’lim yang diasuh oleh ulama yang memiliki jiwa tawadu’.
4. Senang duduk-duduk bersama dengan orang-orang lemah fakir miskin.
5. Melakukan intropeksi diri untuk mengetahui penyakit-penyakit hati yang bersemayam di dalam dirinya.
6. Merenungkan alam semesta dan nikmat yang telah diperoleh sejak yang paling kecil hingga yang sebenar-benarnya. Dan riwayat hidup orang-orang takabur, seperti Iblis, fir’aun dan Abu Jahal.18
Terapi penyembuhan diri dari kesombongan tersebut merupakan
upaya untuk menjauhkan diri dari penyakit tersebut dan berupaya
menanamkan sikap kerendahan hati di dalam jiwa.
Dalam upaya menanamkan sifat tawaduk dan mencegah anak
didik dari sifat takabur atau sombong, maka pendidik dapat
18 M. Saefuddaulah dan Ahmad Basyuni, Akhlak, Ijtimaiyah, (Jakarta: PT. Pamator,
1998),Cet. I, H. 131.
67
menggunakan beberapa metode diantaranya, metode ceramah, metode
kisah, metode ibrah dan muidzah, dan metode teladan.
Metode ceramah dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk
memberitahukan kepada anak didik, tentang akibat-akibat dan
bahaya menghina orang lain (kesombongan), dan manfaat
kerendahan hati. Penggunaan metode ceramah tersebut diyakini
dapat menumbuhkan dan menanamkan apresiasi dari penghayatan
terhadap kedua sikap tersebut.19 Sehingga dengan penghayatan
tersebut anak didik selalu menjadi teringat sifat tersebut, dan
menjadi pendorong untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Larangan Berburuk Sangka
Di balik larangan berburuk sangka terdapat perintah untuk
selalu positif thinking (berprasangka baik). Oleh karena itu, dalam
mengaplikasikan anjuran untuk berbaik sangka, pendidik dapat
menggunakan beberapa metode diantaranya metode keteladanan
yaitu dengan cara memberi contoh apabila ada siswa yang tidak bisa
masuk sekolah, seorang pendidik menganggap bahwa siswa tersebut
sedang ada keperluan dan tidak menganggap bahwa siswa tersebut
malas belajar. Metode keteladanan dapat dijadikan cara yang lebih
efektif dalam menanamkan sikap berprasangka baik kepada orang
lain, terlebih lagi kepada orang baik. Sebab anak didik cenderung
meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi
dalam segala hal, sebab secara psikologis anak adalah seorang peniru
yang ulung. Selanjutnya pendidik dapat mengaplikasikan aspek
tersebut dengan mengajarkan anak didiknya manfaat berprasangka
baik (metode nasihat) dan menegaskan bahwa berburuk sangka
merupakan perbuatan dosa, serta dapat menguras energy yang luar
19 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet. Ke-3, h. 135
68
biasa, akibatnya hidup menjadi tidak produktif. Metode pembiasaan
juga dapat digunakan yaitu dengan cara membiasakan agar siswa
selalu berprasangka baik dalam segala hal, kecuali bila ditemukan
bukti kuat yang mendukung dugaan tersebut.
Demikianlah metode keteladanan, metode nasihat dan
pembiasaan yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan agar
anak selalu berpikir positif.
c. Larangan Ghibah (Menggunjing)
Bila kita teliti lebih dalam maka kita akan mendapatkan bahwa
sesungguhnya dibalik larangan menggunjing terdapat perintah untuk
bersikap kasih sayang dan menghormati sesama. Artinya jika
terdapat rasa kasih sayang maka tidak akan terjadi seorang
penghinaan terhadap orang lain.
Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan larangan tersebut
pendidik dapat mempergunakan beberapa metode yaitu; metode
keteladanan, metode pembiasaan, metode targhib, tarhib dan metode
kisah.
Proses pendidikan kasih sayang yang diajarkan pada anak didik
bukan hanya merupakan sebuah tindakan preventif dari penghinaan
terhadap orang lain, tetapi lebih besar dari itu. Kasih sayang yang
diberika kepada makhluk yang menjadi sebab turunnya rahmat Allah
SWT dan tentunya kecintaan yang besar dari makhluk tersebut.
Metode keteladanan, yang dapat dijadikan cara yang lebih
efektif oleh pendidik dalam menanamkan sifat kasih sayang tersebut
kepada anak didiknya. Sebab “anak didik cenderung meneladani
gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala
69
hal, sebab secara psikologis anak adalah seorang peniru yang
ulung”.20
Selanjutnya pendidik dapat mengaplikasikan aspek dengan
mengajarkan kepada anak didiknya manfaat kasih sayang serta
menjelaskan bahwa menyakiti dan menghina saudaranya sesama
muslim adalah dosa besar. Sebagaimana firman Allah SWT yang
berbunyi:
☺
☺
☺ )۵٨׃ ٣٣\باالحذا( ☺
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)
Dengan demikian diharapkan anak didik dapat mengambil
pelajaran yang banyak serta dapat menggugah hatinya untuk
menjalankan perintah-Nya. Karena menurut Ibrahim Amini ada dua
tahapan yang harus diterapkan pada diri siswa agar dapat
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yaitu dengan
memberikan penjelasan kepada anak didik tentang betapa pentingnya
melaksanakan perintah agama. Misalnya mengajarkan keagungan
Allah SWT, kebesaran Nabi Muhammad SAW dan kasih sayang-
Nya yang begitu besar dengan menyebutkan tentang karunia Allah
SWT yang sangat melimpah, agar kasih sayang Allah SWT selalu
diingat anak didik. Dan yang kedua dengan mengdisiplinkan artinya
melatih anak didik untuk mengaplikasikan nilai kasih sayang
20 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam,…h. 127.
70
tersebut dalam kehidupan sehari-hari baik kepada teman
sepermainan atau yang lebih tua darinya.21
Selain itu pendidik juga dapat mendidik mereka dengan
membiasakan untuk berkata yang baik kepada pendidik dan teman-
temannya, membiasakan untuk tidak mengejek-ejek, menghina dan
tidak memanggil sesama temannya dengan panggilan yang buruk
(laqob). Serta apabila ada di antara mereka yang bertengkar maka
damaikanlah keduanya. Hal ini adalah tindakan antisipatif yang perlu
ditanamkan dalam jiwa anak didik di samping penanaman rasa
persaudaraan sesama muslim.
Berdasarkan uraian di atas maka aplikasi yang dapat
dilakukan adalah dengan beberapa metode yaitu; metode
keteladanan, metode nasihat, metode kisah dan metode tarhib.
2. Aplikasi Pendidikan Taubat
Taubat merupakan salah satu cara meraih kehagiaan dunia dan akhirat,
orang yang senantiasa bertaubat maka dirinya akan semakin bersih, suci,
dan diwujudkan taubatnya itu dengan melaksanakan amal-amal shaleh.
Para ulama berkata bahwa bertaubat dari segala dosa hukumnya wajib.
Jika kemaksiatan itu dilakukan seorang hamba kepada Allah SWT yang
tidak ada kaitannya dngan hak manusia, maka taubat itu di dalamnya
mempunyai syarat berikut ini:
a. Berusaha menanggalkan segala dosa, dengan cara menghadirkan niat
dan keinginan kuat untuk tidak mengulanginya lagi perbuatan-
perbuatan dosa pada masa yang akan dating dan menyesali segala
dosa yang terlanjur dilakukan.
21 Ibrahim Amini, Agar Tidak Salah Mendidik Anak, Terj. Ahmad Subandi dan Salman
Fardhlullah, (Jakarta: al-Huda, 2006), Cet. I, h. 233.
71
b. Setelah itu diikuti dengan langkah –langkah yang mendukung, yaitu
membebaskan diri dari segala sesuatu ataupun sarana yang dapat
mendorong kepada perbuatan dosa. Misalnya bagi seorang pezina
yang akan berhenti dan kebiasaan keji tersebut, maka pertama kali
yang harus ia lakkan adalah menanamkan keinginan kuat untuk tidak
berzina. Lalu diikuti dengan menghindari berbagai aktivitas yang
dapat menyebabkan dia berzina. Misalnya tidak lagi menonton film
porno dan menjauhkan diri dari orang-orang yang memiliki kebiasaan
berzina. Serta selalu mengisi waktu untuk kegiatan yang bermanfaat.22
c. Berusaha membiasakan diri untuk mengambil air wudhu dan
menyempurkanannya, lalu mengerjakan shalat, seraya memohon
ampun kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memberikan tuntunan
yang mulia ini melalui sabdanya:
م يقو ثم فيحسنالطهور ضأ فيتو انبذ بن ذي عبد من ما
له اهللا غفر اال الذنب لك لذا اهللا يستغفر ثم رآعتين فيصلي
﴾رواهالترمذى﴿
Tiada seorang pun yang melakukan suatu dosa, kemudian ia beranjak untuk mensucikan diri, lalu shalat, kemudian memohon ampun kepada Allah SWT, melainkan Allah akan mengampuni dosanya. (HR. Turmudzi).
d. Banyak-banyak melakukan istighfar, zikir kepada Allah SWT, setiap
saat dalam kondisi apa saja, serta berusaha untuk melakukan berbagai
amal baik (amal shaleh). Karena Allah menegaskan bahwa amal
shaleh itu dapat menghapuskan dosa yang telah lalu. Hal itu tertuang
dalam al-Qur’an.
22 Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin…, h. 61.
72
)١١٤׃ ١١\دوه(
Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Hud: 114).
e. Hendaklah orang-orang yang bertaubat senantiasa mempraktikkan
doa-doa taubat tertentu yang diajarkan allah SWT dan diberi kekuatan
untuk senantiasa berada dalam taubat yang sebenar-benarnya. Hal ini
berdasrkan karena “kita perlu meniru kiat-kiat para Nabi, sahabat, dan
kaum salafus shalih dalam doa kepada-Nya. Doa-doa mustajab yang
mereka praktikkan itu sebagiannya dapat kita temukan dalam al-
Qur’an.”23 Diantara doa-doa tersebut adalah:
1. Doa Nabi Adam dan Siti Hawa
☺
)٢٣׃ ٧\فاالعرا( Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-‘Araaf: 23)
“Doa ini dibaca apabila kita terlanjur telah menganiaya diri
sendiri atau orang lain, seperti menganiaya anak, orang tua,
tetangga atau siapa saja termasuk menganiaya hewan dan
tumbuhan di alam sekitar”.24
2. Doa Nabi Yunus as.
23 Syamsyuddin Noor, Rahasia Doa-doa dalam al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka al-Mawardi,
2006), Cet. 1, h. 4. 24 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-Doa…, h. 91.
73
…
☺ )٨٧׃ ٢١\النبياءا(
…”.tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."(QS. al-Anbiya: 87).
“Bacalah doa ini ketika anda dalam keadaan sangat sulit atau
membahayakan, juga dalam keadaan bingung dalam menemukan
pemecahan problematika hidup dan masalah lainnya, mudah-
mudahan Allah SWT menyelamatkan Anda. Doa ini mustajab,
yang berasal dari doanya Nabi Yunus as. Ketika ia hampir saja mati
karena ditelan ikan besar di tengah laut”.25
3. Doa Nabi Ibrahim as.
…
☺
)٤١׃ ١٤\برهيما( Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS Ibrahim: 41)
Serangkaian doa Nabi Ibrahm as. yang dapat dibuktikan
keberkahannya, sampai sekarang tanah Mekkah itu aman sebagai
kota suci ibadah dan menjadi kiblat kaum Muslimin. Doa itu adalah
sebagai pelajaran dan amalan bagi setiap umat Islam yang bertakwa
kepada Allah SWT dan senantiasa mengharapkan rahmat dan
ampunannya serta kebaikan bagi dirinya dan anak cucunya.26
4. Doa Nabi Muhammad dan Kaum Mukminin.
25 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 159. 26 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 128.
74
… ☺
⌧ ⌦
)٨׃ ٦٦\لتحريما(
"Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Tahrim: 8)
“Ibnu Abbas dan Imam Mujahid serta para ulama lainnya
mengatakan bahwa doa ini diamalkan oleh kaum Mukminin ketika
Allah SWT memadamkan cahaya orang-orang munafik, yaitu
orang yang kafir yang pura-pura Islam padahal ia musuh Islam”.27
5. Doa Nabi Musa as.
… ☺
)١٦׃ ٢٨\لقصصا(
"Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri Karena itu ampunilah aku". (QS. Al-Qashash: 16)
Doa tersebut dibaca oleh NAbi Musa as. setelah beliau
memukul (karena khilaf) orang yang melawan kepada beliau,
setelah dilerai karena perkelahian. “Musa pun merasa menyesal
sekali dan bingung harus bagaimana, karena ia sebenarnya tidak
memukul terlalu keras dan tidak bermaksud sampai membunuhnya.
Musa kemudian berdoa memohon ampun Allah SWT dan Allah
SWT kemudian mengampuninya”.28
f. “Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan hak Adam (manusia) maka
ditambah dengan menunaikan hak saudaranya. Jika hak itu harta dan
berupa sebagainya, maka dia harus mengembalikannya; jika hak itu
27 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 224. 28 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 189.
75
berupa tuhan zina dan sebagainya dia harus meminta maaf
kepadanya”.29
Dalam rangka menanamkan bebepara petunjuk di atas, maka seorang
guru atau pendidik harus menggunakan beberapa metode: metode
pembiasaan dan metode ceramah. Metode pembiasaan diajarkan kepada
anak didik untuk selalu memohon ampun kepada Allah SWT apabila anak
tersebut melakukan dosa atau maksiat. Misalnya jika anak tersebut berkata
kasar, maka harus dibiasakan dengan kalimat ampunan yaitu mengucapkan
istighfar sebagai pembiasaan untuk selalu melakukan taubat jika
melakukan dosa atau maksiat.
Dengan terbiasa banyak mengucapkan istighfar, maka akan tertanam
di dalam jiwa anak jika melakukan dosa atau maksiat, harus segera
diiringin dengan memohon ampun kepada Allah SWT, yaitu melakukan
taubatan nashuha. Dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
atau maksiat yang sudah dilakukannya.
Metode ceramah juga dapat diajarkan guru atau pendidik kepada anak
didik dalam rangka menanamkan taubat dalam jiwa anak. Secara umum
anak didik harus mengetahui bahwa perbuatan dosa dan maksiat harus
selalu diikuti dengan melakukan taubat. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW yang berbunyi: “Bertakwalah kepada Allah dimana saja
kamu berada dan ikutilah prbuatan jahatmu itu dengan perbuatan baik, dan
pergauli manusia dengan akhlak yang baik.” Jika tidak, maka dirinya akan
menjadi orang yang durhaka kepada Allah SWT karena banyaknya dosa
atau maksiat yang dikerjakannya dan apabila meninggal belum taubat,
maka balasannya adalah siksa yang sangat pedih karena perbuatan
dosanya.
Maka dari itu guru harus menyampaikan materi yang dapat membuat
anak terpacu untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya, jika ia berbuat
29 Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Riyadhush Shalihin…, h. 61.
76
dosa atau maksiat. Misalnya guru menyatakan bahwa manusia itu tidak
pernah luput dari dosa dan maksiat, maka dari itu apabila terlanjur berbuat
dosa dan maksiat maka harus segera diiringi dengan melakukan taubat,
yaitu mohon ampun kepada Allah SWT agar segala dosanya diampuni.
Demikianlah metode ceramah dan pembiasaan yang dapat diterapkan
dalam rangka menanamkan taubat pada peserta didik.
3. Aplikasi Pendidikan Takwa
Terkait dengan upaya menanamkan sikap takwa,maka seorang
pendidik bisa menggunakan metode ceramah dan nasihat.Pendidik
hendaknya memberikan pengertian kepada muridnya bahwa kedudukan
manusia adalah sama,tidak ada perbedaan antara yang kaya dan
miskin,kulit hitam maupun putih,pintar dan bodoh.Karena semua itu
merupakan tolok ukur yang sifatnya sementara.Sedangkan orang yang
paling mulia adalah yang paling takwa kepada Allah SWT. Oleh
karenanya, tidak perlu menyombongkan diri ketika memiliki kelebihan
disbanding yang lain.Bahkan seharusnya orang yang kaya membantu yang
miskin dan pintar membantu yang bodoh.
Metode keteladanan pun bisa digunakan oleh pendidik dalam rangka
menanamkan sikap persamaan derajat (takwa). Misalnya seorang guru
tidak membedakan anak didik berdasarkan status sosialnya. Kedudukan
semua murid adalah sama, artinya ketika melakukan kesalahan maka
siapapun orangnya dengan tidak memandang latar belakang sosialnya ia
harus mendapatkan sanksi yang seimbang atas kesalahan tersebut.
Metode lain yang bisa digunakan pendidik dalam menanamkan bahwa
kedudukan manusia semua manusia adalah sama kecuali takwanya adalah
metode kisah. Seorang pendidik bisa menjelaskan kepada anak didiknya
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah membedakan kedudukan
seseorang berdasarkan warna kulit, kedudukan maupun status sosialnya.
Seperti yang diketahui bahwa Bilal adalah seorang sahabat yang berkulit
77
hitam, namun ia mendapatkan kehormatan untuk mengumandangkan azan.
Padahal pada saat itu masih ada orang lain yang secara fisik lebih baik dari
Bilal, hal ini menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah
membedakan seseorang berdasarkan status sosial maupun warna kulitnya.
Rasulullah SAW tidak lantas memandangnya sebagai orang yang rendah
melihat kondisi warna kulit yang dimiliki Bilal r.a seperti itu.30
Dengan demikian metode yang dapat digunakan oleh pendidik dalam
upaya menanamkan sikap takwa (persamaan derajat), adalah metode
ceramah, metode nasihat, metode keteladanan dan metode kisah.
30 Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,terj. (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 236.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa aspek-aspek
pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 sebagai
berikut:
1. Larangan merendahkan orang lain karena kemungkinan orang lain
itu lebih baik dan lebih mulia daripada kita. Hal ini menunjukkan
bahwa kita harus selalu bersikap rendah hati dan menjauhi sifat
kesombongan diri karena kerendahan hati sangat tinggi derajatnya di
sisi Allah SWT.
2. Larangan berburuk sangka karena merupakan awal dari kejahatan.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus selalu berprasangka baik
agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energi tidak terkuras
hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya.
3. Larangan menggunjing orang lain karena merupakan usaha untuk
menghancurkan kehormatan dan harga diri seseorang. Mendidik
manusia untuk selalu bersikap kasih sayang antar sesama agar
terwujud rasa persaudaraan dan kasih sayang yang kuat.
4. Pendidikan taubat menunjukkan bahwa sebesar apapun dosa manusia
masih dapat pengampunan dari Allah SWT jika manusia tersebut
melakukan taubat.Mendidik manusia agar senantiasa membersihkan
77
78
jiwa mereka. Sehingga wujud dari taubat dengan beramal saleh dapat
dilaksanakan dalam kehidupan.
5. Pendidikan takwa yaitu dengan melaksanakan semua perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya, juga mendidik manusia untuk
saling menghormati dan menghargai orang lain dari kelebihan dan
kekurangan, karena tinggi rendahnya derajat seseorang diukur dari
ketakwaannya.
Adapun aplikasi aspek-aspek tersebut dalam pendidikan Islam sebagai
berikut:
1. Larangan menghina dan merendahkan orang lain dapat disampaikan
dengan metode ceramah,kisah,ibrah,mauidzah dan keteladanan.
2. Larangan berburuk sangka dapat disampaikan dengan metode
keteladanan,nasihat dan pembiasaan.
3. Larangan menggunjing dapat dilakukan dengan metode
keteladanan,nasihat,kisah dan tarhib
4. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan
pemberian nasihat (ceramah).
5. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat,
keteladanan dan metode kisah.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan
metode-metode lain sebagai penerapannya. Karena setiap metode memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, seorang pendidik
dalam menyampaikan materi kepada peserta didik hendaknya menggunakan
beberapa metode, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dalam rangka
menambah wawasan penulis dan memberi manfaat bagi pembaca dari
kandungan QS. al-Hujurat ayat 11-13 antara lain:
79
1. Disadari dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, para pendidik agama
Islam masih lebih banyak berorientasi kepada sisi pengajaran (kognitif)
demi tercapainya dan terselesakannya kurikulum, sedangkan dari segi
afektif dan psikomotorik masih terabaikan. Maka seharusnyalah sebagai
pendidik untuk kembali memperhatikan dan menumbuhkan kembali
landasan paedagogiek dengan tekad, semangat, dan tentunya dengan kerja
keras guna tercapainya ketiga tujuan tersebut.
2. Seorang pendidik, khususnya orang tua sebagai pendidik pertama dalam
keluarga haruslah mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang
dan perhatian, serta menanamkan aspek-aspek agama Islam yang akan
membentengi mereka dari perbuatan-perbuatan tercela dan sangat
dilarang dalam syari’at Islam. Peran orang tua sangat penting sekali dalam
pembentukan akhlak seseorang, karena sebagian besar pendidikan yang
diberikan oleh orang tua di rumah itu jauh lebih banyak ketimbang
pendidikan formal di sekolah yang hanya beberapa jam saja.
Tentunya peranan orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga,
serta pendidik pada umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai
pendidikan agama yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah, sebagai
upaya untuk membentuk kepribadian muslim yang baik sesuai dengan yang
diharapkan.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Angket Siswa
Lampiran 2 : Berita Wawancara Pembina Rohis
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid.
II, 1991.
Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj, Jakarta: Pustaka al- Kautsar, Cet. I,
1997.
Aly, Hery, Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II,
1999.
Amin, Rusli, M, Pencerahan Spritual, Jakarta: al-Mawardi Prima, Cet. I, 2002.
Amini, Ibrahim, Agar Tidak Salah Mendidik Anak, terj, Jakarta: al-Huda, Cet. I,
2006.
Ardani, Moh, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadah, Jakarta: Karya
Mulia, Cet. I, 2001.
Aththar, M. Jamil, Sunan Tirmidzi, Bairut: Dar Al-Fikr, Juz. III, 1994.
Bigha, Dhaib, Mustafa, Mukhtashar Shahih Bukhari, Beirut: Yamamah, 1999.
Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1999.
Djuwaeli, Irsyad, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama
Mandiri, Cet. I, 1998.
Ghazali, Muhammad, Berdialog dengan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. IV,
1999.
Hude, Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. Ke-II, 2002.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, Beirut: Dar al-Fikri, Juz. IV, 2000.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam, Cet. I, 1999.
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj, Bandung: Marja, Cet. VI, 2006.
Imam Malik, al-Muwaththa, Beirut: Dar al-Fikri, 1994.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1998.
Jalal, Abdul Fatah, Azas-Azas Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Cet.
I, 1998.
80
81
Ma’lauf, Louis, Al-Muhid fi Al-Lughoh wa al-A’lam, Beirut: Dar Al-Masyriq,
Cet. XVI, 1986.
Maraghi, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, 1993
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1986.
Muhammad Al-Taumi, Oman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Mustofa, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci al-Qur’an, Semarang: CV. As-Syifa’,
Cet. I, 1993.
Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. II, 1996.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II,
1999.
_____, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, Cet. I, 2002.
Noor, Syamsuddin, Rahasia Do’a-do’a dalam al-Qur’an, Jakarta:Pustaka al-
Mawardi, Cet. I, 2006.
Poerdarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet.
VII, 1984.
Qardawi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, terj, Solo: Intermedia, Cet. IV, 2007.
Qutbh, Sayyid, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I,
2004.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1994.
________, Metode Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. III,
2001.
Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Dar al-Fikri, Jilid XIV, 1985.
Saefuddaulah, M, dkk, Akhlak Ijtimaiyah, Jakarta: PT: Pamator, Cet. I, 1998.
Shaleh, HQ, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000.
Shalih bin Abdul Azis, Jamiut Turmudzi, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1999.
Shihab, Quraish, Muhammad, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.
XIX, 1994.
_____, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Volume XIII, 2003.
82
Shiqr, Ahmad, Jamiul Ahadits, Beirut: Darul Fikr, Juz. IV, 1994.
Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, Jakarta: CV. Mizaka Galiza,
Cet. I, 1999.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. II, 1999.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, Cet. VII, 1996.
Toumy, Omar, Moh, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. I,
1979.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III,
1999.
Zaini, Syahminan, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Dasar Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1986.
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,
Cet. I, 1991.
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikri, Jilid. XIII, 1998.