nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-qur’ane-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2046/1/skripsi...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM AL-QUR’AN
SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
ANA ZUHROTUN NISAK
NIM 11113059
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM AL-QUR’AN
SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
ANA ZUHROTUN NISAK
NIM 11113059
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
iii
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jl. Lingkar Salatiga Km. 02 Sidorejo Telepon: (0298) 6031364 Salatiga 50716
Website: www.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
SKRIPSI
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN
SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ana Zuhrotun Nisak
NIM : 111 13 059
Jurusan : S1 – Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Menyatakan bahwa sripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah. Skripsi ini boleh di upload di perpustakaan IAIN Salatiga.
Salatiga, 13 September 2017
v
MOTTO
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab,
33:21).
اكمل المؤمني إيانــــــــــــــا أحسنـهم خلقــــــــــــــــا“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”
(HR. Imam Tirmidzi, No. 1187).
vi
PERSEMBAHAN
Yang utama dari segalanya, ucap syukur kepada Allah Swt. atas taburan
cinta dan kasih sayang-Nya yang telah memberikan kekuatan,membekali dengan
ilmu, serta memperkenalkan dengan cinta, atas karuniaserta kemudahan yang
Allah berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini penulis
persembahkan kepada:
1. Terkhusus kepada ayahanda dan ibunda tercinta, terimakasih yang tak
terhingga karena selama ini telah mendidik dan merawatku dengan kasih
sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan.
2. Saudara-saudaraku yang telah mewarnai hari-hari indah dalam
kebersamaan serta memberi semangat, do‟a, nasihat dan seluruh
bantuannya.
3. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan motivasi serta pengarahan sampai selesainya skripsi ini.
4. Sahabat-sahabat PAI 2013 terimakasih telah memberikan banyak
kenangan yang indah dan teman-teman seperjuangan yang telah
memberikan dukungan semangat dan do‟a sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Teman-teman PPL 2016, KKN 2017 yang telah memberikan banyak
pelajaran tentang artinya kebersamaan dan kekeluargaan.
6. Dan tidak lupa kepada pembaca yang budiman sekalian.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah Swt. atas segala limpahan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan.
Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an
Surat Al-An‟am Ayat 151-153” disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) jurusan Pendidikan Agama Islam di
IAIN Salatiga.
Penulisan skripsi ini dapat selesai tidak lepas dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan moril maupun materiil. Dengan kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Tarbiyah yang telah
memberikan kesempatan yang luas untuk menyelesaikan studi.
4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I. selaku pembimbing yang telah dengan ikhlas
dan sabar mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya
dalam membimbing penyelesaian dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Abdul Syukur, M.SI. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menyampaikan banyak ilmu pengetahuan
dan pengalaman dengan penuh kesabaran, serta karyawan IAIN Saltiga yang
telah memberikan bekal ilmu dan pelayanan hingga studi ini selesai.
7. Para guru yang menyampaikan pengetahuannya, semoga Allah memberikan
balasannya.
8. Ayah dan ibu yang selalu memberi semangat dan mendo‟akan.
viii
9. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat semua yang telah membantu
memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah Swt. serta
mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Amin.
Penulis menyadari dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan serta
pengetahuan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangan
bagi pengembangan dunia pendidikan khususnya pendididikan agama Islam.
Amin-amin ya rabbal ‟alamin
Salatiga, 13 September 2017
Penulis
Ana Zuhrotun Nisak
NIM: 111-13-059
ix
ABSTRAKSI
Nisak, Ana Zuhrotun. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an
Surat Al-An‟am Ayat 151-153. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I.
Kata Kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
Penelitian ini tentang nilai-nilai akhlak dalam Al-Qur‟an surat al-
An‟am ayat 151-153, bahwa akhlak Islam adalah nilai-nilai yang terdapat
dalam Al-Qur‟an dan as-Sunnah. Akhlak menjadi bagian yang penting
dalam substansi pendidikan Islam sehingga Al-Qur‟an menganggapnya
sebagai rujukan penting bagi kaum muslim. Melihat realitas kehidupan
saat ini, terlihat banyak manusia yang mulai jauh dari nilai-nilai Al-
Qur‟an, untuk itu pendidikan akhlak menjadi alternatif utama untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Dengan begitu, upaya menanamkan
kembali nilai-nilai akhlak mulia menjadi sangat urgen, dengan
berpedoman pada Al-Qur‟an dan sunnah Rasul Saw. Seperti sepuluh
wasiat Allah dalam surat al-An‟am ayat 151-153 yang memiliki
kandungan nilai-nilai akhlak yang patut untuk dikaji lebih lanjut seiring
dengan perkembangan zaman, karena itu penelitian ini diharapkan dapat
menggali nilai-nilai akhlak di dalamnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimanakah nilai-
nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-
An‟am ayat 151-153? (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan
akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153
dalam kehidupan sehari-hari?
Untuk menjawab penelitian tersebut, penulis menggunakan
penelitian library research dengan mengambil naskah surat al-An‟am
ayat 151-153. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi yaitu
teks yang dianalisis sesuai dengan isi atau pesan yang terkandung dalam
teks tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terdapat akhlak yang baik dan
buruk, diantaranya: tidak berbuat buruk terhadap Allah, berbuat baik
kepada orang tua, tidak membunuh anak karena takut miskin, tidak
membunuh tanpa sebab yang benar, menjauhi perbuatan keji, tidak
mendekati harta anak yatim, menyempurnakan timbangan, berkata
dengan adil, memenuhi janji Allah, dan mengikuti jalan yang lurus.
Implementasi atau penerapannya adalah membiasakan akhlak-akhlak
baik tersebut ke dalam kehidupan dan selalu menyadari perbuatan yang
dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban sehingga perbuatan buruk
dapat dihindari.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR BERLOGO
JUDUL .................................................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ iv
MOTTO ................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAKSI ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 6
E. Kajian Pustaka ..................................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 9
G. Definisi Operasioanal ........................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak........................................................... 15
B. Dasar Pendidikan Akhlak .................................................................. 18
C. Tujuan Pendidikan Akhlak ................................................................ 20
D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .................................................. 21
xi
E. Kalsifikasi Pendidikan Akhlak .......................................................... 33
BAB III DESKRIPSI SURAT AL-AN‟AM AYAT 151-153
A. Redaksi Ayat dan Terjemahan QS. Al-An‟am Ayat 151-153 .......... 36
B. Tafsir QS. Al-An‟am Ayat 151-153 .................................................. 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PPEMBAHASAN
A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam QS. Al-An‟am Ayat
151-153 .............................................................................................. 64
B. Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari ..................................... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 92
B. Saran-saran ....................................................................................... 93
C. Penutup .............................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 96
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak akan bisa berkembang dan mengembangkan
kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan. Pendidikan
menjadi suatu keharusan bagi manusia karena pada hakikatnya manusia lahir
dalam keadaan tidak berdaya, dan tidak langsung dapat berdiri sendiri atau
dapat memelihara dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
eksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar untuk
meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia (Sadulloh, 2014:10).
Islam memandang ilmu pengetahuan dengan mengembalikan kepada
fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan, dapat diketahui di dalam
Al-Qur‟an banyak ditemukan ayat yang menjelaskan tentang sains serta
mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Di dalamnya terkandung ajaran-
ajaran pokok menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang kemudian
dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan
kapanpun masanya akan hadir secara fungsional memecahkan persoalan
kemanusiaan, salah satunya adalah permasalahan pendidikan yang selalu
ramai diperbincangkan umat. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‟an adalah
sumber ilmu pengetahuan yang diturunkan bagi manusia sebagai pedoman dan
petunjuk dalam menganalisis setiap kejadian di alam ini, sekaligus menjadi
inspirasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (Nizar, 2002:227).
2
Al-Qur‟an merupakan bacaan yang sempurna dan mulia, tidak ada satu
bacaan pun selain Al-Qur‟an yang dipelajari dan diketahui sejarahnya bukan
sekedar secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi tahun, bulan, masa,
dan musim turunnya, malam atau siang, dalam perjalanan atau di tempat
berdomisili penerimanya (Nabi Muhammad Saw.), bahkan sebab-sebab serta
saat turunnya ayat, demikianlah kemukjizatan Al-Qur‟an dengan segala
kesempurnaannya (Shihab, 2014:21).
Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an diklasifikasikan menjadi tiga;
pertama, aspek akidah yang memuat ajaran tentang keimanan akan keesaan
Tuhan serta kepercayaan pada hari akhir, kedua, aspek syari‟ah memuat ajaran
tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya, ketiga, aspek
akhlak memuat ajaran tentang norma-norma keagamaan dan sosial yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif
(Shihab, 1994:40). Salah satu konsep dasar bahwa Islam adalah sumber akhlak
telah dikemukakan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw. yang berkaitan dengan
tugas beliau sebagai seorang utusan Allah, yaitu:
م مكارم الخلق انما بعثت لتم
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.
Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991:504).
Al-Qur‟an mengajak manusia untuk menyandang akhlak yang mulia,
dan sebaliknya, Al-Qur‟an mengingatkan manusia untuk berusaha keras
menghindari bermacam-macam jenis moral yang tidak terpuji, dinyatakan
dalam firman Allah Surat Al-Hajj ayat 77:
3
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan
kemenangan.”(Q.S. Al-Hajj, 22:77).
Akhlak mulia berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai
aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang disertai dengan akhlak mulia akan
dapat memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan manusia. Sebaliknya,
orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki
kekuasaan, dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia,
maka semuanya dapat disalahgunakan yang berakibat bencana di muka bumi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak bertujuan
untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui
perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan baik berusaha
dilakukan, dan terhadap perbuatan yang buruk berusaha dihindari (Nata,
2002:15).
Melihat realitas kehidupan saat ini, terlihat banyak manusia mulai jauh
dari nilai-nilai Al-Qur‟an yang dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari,
lemahnya pemahaman terhadap Al-Qur‟an membuat berbagai macam
penyimpangan dalam kehidupan marak terjadi. Masih terlihat jelas fenomena
kemerosotan akhlak di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini,
indikator-indikator tersebut dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari seperti
4
pergaulan bebas, tindak kriminal, kekerasan, korupsi, penipuan, dan perilaku-
perilaku tercela lainnya, sehingga sifat-sifat terpuji seperti toleransi, kejujuran,
kepedulian, saling bantu, kepekaan sosial, yang merupakan jati diri bangsa
sejak berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal (Juwariyah,
2010:21), padahal dalam surat al-An‟am ayat 151-153 ditekankan adanya
keharusan manusia untuk menghindari keburukan akhlak, baik terhadap Allah
maupun pada sesama manusia.
Peran keluarga dan sekolah memiliki peran penting dalam membentuk
akhlak, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang menjadi
dasar pengembangan bagi watak anak dalam mengikuti perkembangan
pendidikan selanjutnya. Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi begitu kompleks, di mana keluarga tidak mampu untuk
menyampaikan secara lengkap dan utuh kepada anak-anaknya, maka
dibutuhkan lingkungan sekolah yang lebih mampu menyampaikan ilmu
pengetahuan teknologi tersebut (Sadulloh, 2014:196).
Namun, persoalan pendidikan abad ini memang sangat kompleks dan
heterogen, ditambah lagi dengan lahirnya berbagai macam lembaga
pendidikan yang terkadang kurang memperhatikan atau bahkan
mengesampingkan faktor nilai dan agama dalam proses pendidikannya.
Sehubungan dengan hal itu, sudah menjadi tugas para pendidik dan para
pengelola di dunia pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer ilmu
pengetahuan ke kepala anak, akan tetapi juga harus sanggup menempatkan
5
dirinya sebagai uswatun hasanah dalam setiap tutur kata dan perbuatan,
karena keberadaannya merupakan cermin anak didik.
Melihat persoalan tersebut, maka upaya menanamkan kembali nilai-
nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an menjadi sangat urgen, salah satu cara
menuju akhlak mulia tentu harus mencontoh pribadi Rasulullah Saw. yang
memiliki sifat-sifat terpuji dan menjadi pedoman bagi umatnya, karena akhlak
beliau adalah akhlak Al-Qur‟an (Ya‟qub, 2005:257). Tak terelakkan lagi
bahwa dengan akhlak mulia, keteguhan iman, dan budi pekerti luhur
Rasulullah dapat merubah peradaban bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu,
bangsa tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat yang uncivilized dalam
hampir segala aspek, terutama aspek moralitas. Agar kebiasaan Jahiliyah
tersebut tidak terulang masa kini, maka harus berpedoman pada ajaran Al-
Qur‟an dan sunnah Rasulullah Saw. yang menjadi cermin Al-Qur‟an. Seperti
sepuluh wasiat Allah dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terkandung nilai-
nilai akhlak yang layak untuk dikaji seiring dengan perkembangan zaman.
Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang materi ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Surat Al-An‟am Ayat 151-153”.
6
B. Rumusan Masalah
Dari judul penelitian di atas, penulis berusaha untuk mengetahui
pendidikan akhlak maka dalam penelitian ini ada beberapa permasalahan
diantaranya:
1. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Al-
Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dalam kehidupan sehari-
hari?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah yang dirumuskan, berkembang menjadi
beberapa poin yang akan menjadi tujuan penelitian, tujuan itu adalah:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
Al-Qur‟an al-An‟am ayat 151-153.
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dalam
kehidupan sehari-hari.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pendidikan Islam
pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya, terutama
7
mengenai nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur‟an dan nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-An‟am ayat 151-153.
2. Manfaat Praktis
Dapat memberi manfaat bagi para pendidik dan pemikir di masa
mendatang tentang akhlak dengan dimensi akhlak terpuji dan akhlak
tercela, serta dapat mensosialisakikan pendidikan akhlak di masyarakat
yang sejalur dengan ajaran Islam.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah suatu istilah untuk mengkaji bahan atau literatur
kepustakaan (literature review). Bentuk kegiatan ini memaparkan dan
mendeskripsikan pengetahuan, argumen, dalil, konsep, atau ketentuan-
ketentuan yang pernah diungkapkan dan diketemukan oleh peneliti
sebelumnya yang terkait dengan objek masalah yang hendak dibahas. Adapun
karya-karya yang mendukung dan dijadikan kajian pustaka sebagai berikut:
1. Penelitian yang ditulis oleh Fatkhul Manan Jazuli dengan judul skripsi
“Konsep Pendidikan Akhlak Anak Terhadap Orang Tua dalam Al-Qur‟an
Surat Al-Isra‟ 23-25”. Menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak
berdasarkan QS. Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia pendidikan Islam yaitu:
pendidikan akidah di sekolah hendaknya mengajarkan tauhid yang
dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan pendidikan
birru al-walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).
2. Penelitian yang ditulis oleh Siti Khoerotunnisa, IAIN Salatiga, jurusan
PAI (2016) dengan judul skripsi “Nilai-nilai Akhlak dalam Perspektif
8
Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11-13)”.
Menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an mengandung nilai-nilai yang universal
dan menjadi penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, pada ayat 11
dijelakan larangan saling mengolok satu sama lain, ayat ke 12 dijelaskan
tentang ghibah atau pergunjingan, serta taubat. dan ayat 13 menjelaskan
tentang ta‟aruf atau saling mengenal.
3. Penelitian yang ditulis oleh Muhammad Khoirul Anwar, IAIN Salatiga,
jurusan PAI (2017) dengan judul skripsi “Peran Keluarga dalam
Membentuk Karakter Anak (Telaah Surat An-Nahl Ayat 78)”.
Menyimpulkan bahwa keluarga mempunyai peran penting dalam
membentuk karakter/akhlak anak dengan mengoptimalkan potensi pada
anak (pendengaran, peglihatan, dan hati), berinteraksi sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan anak, serta keluarga harus memberikan
uswah atau teladan yang baik bagi anak. Upaya yang dapat dilakukan
dalam membentuk karakter anak dalam surat an-Nahl ayat 78 yaitu dengan
cara menanamkan nilai akidah, nilai dan ajaran ibadah, jiwa sosial,
memberikan pengawasan dan perhatian, serta menjaga jasmani dan
kesehatannya.
Dari beberapa skripsi yang sudah disebutkan di atas berbeda dengan
skripsi yang penulis buat, persamaannya yaitu sama-sama membahas tentang
akhlak akan tetapi pengambilan ayat berbeda, penulis mengambil surat al-
An‟am ayat 151-153.
9
F. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik yang relevan
untuk sampai pada tujuan penelitian, yang meliputi:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu library
research, penelitian dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan
dengan objek penelitian, bahwa jenis penelitian yang dilakukan
menggunakan metode library research. Dengan mengumpulkan data-data
yang diperlukan, baik yang primer maupun skunder, dicari dari sumber-
sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel, dan jurnal (Kuswaya,
2009:11).
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dari Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat
151-153, selain itu, sumber data penulis juga diambil dari buku-buku yang
relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Sumber data di sini yaitu
sumber data primer dan sumber data skunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan
langsung dengan penelitian yaitu Al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 151-
153 beserta tafsirannya menurut para ulama, diantaranya kitab tafsir
Al-Misbah karya Quraisy Syihab, kitab tafsir Al-Maraghi, kitab tafsir
An-Nur, dan kitab-kitab lain yang relevan.
10
b. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder adalah pengumpulan data yang dicari di
dalam dokumen atau sumber pustaka, data tersebut adalah data
skunder yang telah tertulis atau diolah oleh orang lain (Wiratama,
2006:36). Data skunder merupakan sumber data yang mengandung dan
melengkapi sumber-sumber data primer, yang diambil dengan cara
mencari, menganalisis buku-buku, internet, dan informasi lainnya yang
berkaitan dengan judul skripsi.
3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan adalah metode analisis isi (content
analysis). Menurut Sumadi Suryabrata (2010:85), metode analisis isi
adalah data deskriptif atau textular yang sering dianalisis menurut isinya
atau pesan yang terkandung dalam teks tersebut.
Metode ini digunakan penulis untuk mendeskripsikan isi atau
kandungan yang ada dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153
mengenai nilai-nilai akhlak apa saja yang terkandung dalam ayat tersebut.
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas makna judul serta menghindari penafsiran dan
penjelasan juga sebagai batasan penulisan. Maka penulis akan menjelaskan
istilah-istilah yang penting di dalam judul. Adapun istilah-istilah itu:
1. Nilai Pendidikan Akhlak
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sifat-sifat
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Tim Redaksi KBBI,
11
2007:789). Nilai adalah sesuatu yang memberikan makna pada hidup yang
memberi acuan, titik tolak, dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang
dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.
Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, selalu menyangkut pola pikir dan
tindakan sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika
(Adisusilo, 2012:56). Dalam pembahasan ini, nilai yang dimaksud adalah
nilai pendidikan akhlak dalam Q.S. Al-An‟am ayat 151-153.
Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari istilah
pedagogi yang berasal dari bahasa Yunani Kuno paidos (budak) dan agoo
(membimbing). Jadi, pedagogi diartikan sebagai „budak yang
mengantarkan anak majikan untuk belajar (Jumali dkk, 2004:19).
Dinamakan pendidikan jika kegiatan mencakup dimensi pengetahuan
sekaligus kepribadian, dengan demikian hakikat pendidikan adalah
kegiatan formal yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi,
administrasi yang secara simultan memproses peserta didik bertambah
pengetahuan, skill, dan nilai kepribadian dalam suatu kalender akademik.
Akhlak secara etimologi, akhlak merupakan bentuk jamak dari
khuluq (خلق) yang berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat
(Munawir, 1984:364). Akhlak dalam perspektif pendidikan Islam yaitu
untuk membentuk manusia yang memiliki karakter baik, keras kemauan,
sopan dalam bertutur kata dan perbuatan, tingkah laku mulia, bersifat
bijaksana, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci.
12
Dengan kata lain, pendidikan akhlak memiliki tujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui
perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan baik berusaha
dilakukan, dan terhadap perbuatan yang buruk berusaha dihindari supaya
melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah), serta
berprinsip untuk mencapai kebahagiaan dalam berhubungan dengan Allah
Swt. (hablun minallah) disamping berhubungan dengan manusia (hablun
minannas) dan alam sekitar, agar tercipta manusia yang memiliki
kesempurnaan dibanding makhluk lainnya (Nata, 2002:16).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan
akhlak adalah sesuatu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maupun
bangsa yang dilakukan untuk mengetahui, mengembangkan, menciptakan
sifat atau tingkah laku pada seseorang untuk berlaku sesuai dengan nilai
dan norma yang ada.
2. Al-Qur‟an Surat Al-An‟am Ayat 151-153
Surat ini terdapat pada juz 7-8 dan merupakan urutan surat yang
ke-enam, terdiri atas 165 ayat, dan termasuk golongan surat Makkiyah,
secara harfiah al-An‟am bermakna ternak, dinamai demikian karena sekian
ayatnya berbicara soal ternak dalam konteks kehalalan dan keharamannya.
Menurut sejumlah riwayat, keseluruhan ayatnya turun sekaligus, tidak ada
surat panjang lain yang turun sekaligus, kecuali surat ini (Shihab, 2012:3).
Telaah ini penulis fokuskan pada ayat 151-153 yang berisi nilai-
nilai pendidikan akhlak, menurut Quraish Shihab (2012:3), ayat ini dapat
13
dinilai sebagai sepuluh wasiat Allah yang dianugerahkan-Nya pada umat
al-Qur‟an. Dalam realita kita temui banyak akhlak tercela yang masih
sering dianggap remeh dalam prakteknya, namun sebenarnya banyak
akibat berbahaya yang ditimbulkan. Penelitian ini juga ditujukan agar
lebih memahami nilai beretika dalam hidup berdampingan dan lebih
berhati-hati dalam menyikapi kondisi tertentu dalam menjalani kehidupan.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan skripsi yang disusun terbagi dalam tiga bagian
awal, yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir. Bagian awal terdiri dari
sampul, lembar berlogo, halaman judul, halaman perstujuan pembimbing,
halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan orisinalitas, halaman
motto dan persembahan, halaman kata pengantar, halaman abstrak, halaman
daftar isi, dan halaman daftar lampiran.
Bagian isi dalam penelitian ini, penulis menyusun ke dalam 5 bab
yang rinciannya adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas latar belakang
penelitian, rumusan dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka,
metodologi penelitian, definisi operasional, dan diteruskan sistematika
pembahasan yang digunakan dalam membuat penelitian ini agar lebih
terstruktur dan sistematis.
Bab II Landasan Teori. Pada bab II akan dibahas tentang pengertian
pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang
lingkup, dan klasifikasi pendidikan akhlak.
14
Bab III Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Al-An‟am
Ayat 151-153. Berisi redaksi Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dan
terjemahya, asbab an-nuzul surat al-An‟am, munasabah ayat, dan dilanjutkan
penafsiran Q.S. Al-An‟am ayat 151-153.
Bab IV Analisis. Pada bab ini dibahas tentang nilai-nilai pendidikan
akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153,
dilanjutkan pembahasan mengenai implementasinya dalam kehidupan sehari-
hari.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang
berisi kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran, serta
kalimat penutup.
15
BAB II
LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak terbentuk dari dua kata yaitu, pendidikan dan
akhlak. Pengertian pendidikan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan yang berupa proses, cara, dan perbuatan mendidik (KBBI,
1990:263). Sedangkan pengertian pendidikan dalam Undang-undang RI No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 yaitu:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam buku Materi Umum Untuk Guru
Sekolah (2007:3), pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak dalam rangka
kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk menumbuhkan potensi peserta didik
16
dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya, salah
satu hal yang perlu dikembangkan adalah persoalan tentang akhlak.
Pengertian akhlak dari segi bahasa (lughatan), term “akhlak” berasal
dari bahasa Arab dari kata اق ل خ – ق ل خ ي – ق ل خ artinya menjadikan, membuat,
menciptakan (Munawir, 1984:120). Kata akhlak seakar dengan kata Khaliq
(Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kata khuluq
tercantum dalam QS. Al-Qalam ayat 4, ayat yang dinilai sebagai konsiderans
pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang
agung”(QS. Al-Qalam 68:4).
Pengertian akhlak secara istilah (isthilahan) dapat merujuk pada
beberapa pendapat pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih yang dikenal sebagai
pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu mengatakan bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Nata, 2002:3).
Sementara itu, Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam
(Pembela Islam) menjelaskan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa, yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2007:2).
Menurut Ahmad Amin, akhlak didefinisikan sebagai kehendak yang
dibiasakan, sedangkan Abdullah Darraz mengemukakan bahwa akhlak adalah
17
suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, yang membawa kecenderungan
kepada pemilihan pada pihak yang benar (akhlaq al-mahmudah) atau pihak
yang jahat (akhlaq al-madzmumah) (Supadie, dkk, 2012:216-217).
Kesimpulannya, akhlak adalah suatu perbuatan yang dimiliki manusia
sejak lahir dan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam jiwa, sehingga akan
muncul secara spontan ketika diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau
pertimbangan serta dorongan dari luar.
Term akhlak dalam pendidikan, akhlak menunjukkan bahwa
pendidikan sangat menekankan pada perilaku. Dalam ajaran Islam, akhlak
sangat penting bagi kehidupan manusia karena hakekatnya pendidikan akhlak
selalu bersumber pada Al-Qur‟an dan hadis, dengan kedua pedoman tersebut
diharapkan memperoleh gambaran tentang pendidikan akhlak.
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai
usaha sadar yang dilakukan secara berkesinambungan dalam membina sikap
manusia agar terbentuk sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat
yang tercela. Pendidikan akhlak ini berkaitan dengan perubahan perilaku,
maka dalam pendekatannya menggunakan cara keteladanan, latihan, dan
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam buku Pendidikan Islam karya Haidar Putra Daulay (2007:228)
pendidikan akhlak diistilahkan dengan budi pekerti, yaitu bagian integral
yang tidak dapat dipisahkan dari pembentukan manusia seutuhnya, karena
pendidikan budi pekerti tersebut memiliki kedudukan strategis yang selama
ini diterapkan melalui pendidikan agama.
18
Menurut Ilyas dalam buku kuliah akhlak (2007:11), kedudukan akhlak
adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah menempatkan penyempurnaaan akhlak mulia sebagai misi
pokok risalah Islam.
b. Akhlak merupakan salah satu pokok ajaran Islam.
c. Akhlak yang baik (mahmudah) akan memberatkan timbangan kebaikan
seseorang pada hari kiamat.
d. Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai kualitas
seseorang di hari kiamat.
e. Iman menjadikan akhlak terpuji sebagai bukti dari ibadah kepada Allah.
f. Nabi Muhammad selalu berdo‟a agar Allah membaikkan akhlak beliau.
g. Banyak ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan akhlak.
B. Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak dalam Islam bersumber pada Al-Qur‟an dan
hadis karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam
(Ahmad dan Salimi, 1994:199). Al-Qur‟an merupakan dasar utama dalam
Islam yang memberikan petunjuk di jalan kebenaran dan mengantarkan pada
pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dasar pendidikan akhlak
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 14:
19
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3:104).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menganjurkan hambanya
untuk dapat menasehati, mengajar, membimbing, dan mendidik sesamanya
dalam hal melakukan kebajikan dan meninggalkan keburukan. Dengan
demikian, Allah telah memberikan dasar yang jelas mengenai pendidikan
akhlak yang merupakan suatu usaha untuk membimbing dan mengarahkan
manusia supaya berakhlak mulia.
Dasar pendidikan akhlak dalam hadis dijelaskan Rasulullah dalam
sabda beliau:
م مكارم الخلق انما بعثت لتم
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
(HR. Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991:504).
Dari ayat Al-Qur‟an dan hadis di atas menunjukkan bahwa dasar
pendidikan akhlak adalah Al-Qur‟an dan hadis, dari dasar tersebut dapat
diketahui bahwa kriteria suatu perbuatan itu bersifat baik atau buruk.
C. Tujuan Pendidikan Akkhlak
Pendidikan akhlak merupakan upaya untuk melahirkan manusia
berkepribadian muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum
dan ketetapan syari‟at yang diperintahkan, atau dengan kata lain tujuan
pendidikan akhlak yaitu untuk membentuk karakter muslim yang taat dan
mempunyai akhlaq al-karimah (Syafri, 2014:104).
20
Sebagaimana akhlak mulia yang terdapat pada Nabi Muhammad Saw.
yang mana dari situlah akhlak mulia dapat dicontoh dan senantiasa berada
dalam kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Perintah untuk
menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan terdapat pada firman Allah
Surat al-Ahzab ayat 21:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-
Ahzab, 33:21).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. merupakan figur
utama sebagai utusan Allah Swt. yang patut dijadikan panutan dalam
menjalani kehidupan di dunia dan mencapai kehidupan di akhirat. Maka,
dapat diketahui bahwa tujuan utama pendidikan akhlak yaitu agar manusia
berada dalam kebenaran dan selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang
digariskan oleh Allah Swt. Inilah yang akan mengantarkan manusia pada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika
perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an.
Tujuan lain pendidikan akhlak yaitu:
a. Mempersiapkan manusia beriman yang senantiasa beramal shalih.
b. Mempersiapkan insan beriman dan shaleh yang dapat berinteraksi
dengan baik dengan muslim maupun non muslim.
21
c. Mempersiapkan insan beriman dan shaleh yang mampu dan mau berbuat
amar ma‟ruf nahi munkar, serta berjuang di jalan Allah demi tegaknya
Islam (Mahmud, 2004:159).
D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Ruang lingkup pendidikan akhlak sangat luas, mencakup seluruh
aspek dalam kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun
secara horizontal sesama makhluk-Nya (manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Ruang lingkup akhlak
tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluq dan
kepada Tuhan sebagai Khaliq. Sekurang-kurangnya ada 4 alasan
mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu:
a. Karena Allah yang telah menciptakan manusia.
b. Karena Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indera,
berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari,
disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada
manusia.
c. Karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana
yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan
makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang
ternak dan sebagainya.
22
d. Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan menguasai daratan dan lautan.
Namun demikian, meskipun Allah telah memberikan berbagai
kenikmatan terhadap manusia, bukan menjadi alasan Allah perlu
dihormati. Bagi Allah, dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi
kemuliaan-Nya, akan tetapi sebagai manusia sudah sewajarnya
menunjukkan akhlak yang pas kepada Allah (Nata, 2002:147-148).
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah, Dia memiliki sifat terpuji
yang begitu agung, jangankan manusia, malaikat pun tidak ada yang
mampu menjangkau hakikat-Nya (Shihab, 1999:261). Banyak cara yang
dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah Swt., diantaranya: tidak
menyekutukan-Nya (mentauhidkan-Nya), mencintai-Nya, taqwa, ridha
dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya, selalu berdo‟a kepada-Nya,
selalu berusaha mencari ridha Allah, dan sebagainya (Nata, 2002:148).
2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
a. Akhlak Terhadap Rasulullah
Menurut M. A. Salamullah (2008:36), beberapa akhlak yang
harus dilakukan oleh setiap muslim terhadap Rasulullah Saw. yaitu:
1) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah Saw
Umat Islam wajib beriman kepada Rasulullah Saw.
beserta risalah yang dibawanya. Makna mengenai ajaran
Rasulullah adalah menjalankan ajarannya, menaati perintahnya,
23
dan berhukum dengan ketetapannya. Allah berfirman dalam
dalam QS. Al-Hasyr ayat 7:
...
Artinya: “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr, 59:7).
Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah Saw.
wajib ditaati dan semua larangannya dijauhi sebagai bukti cinta
kepada Rasulullah Saw.
2) Mencintai Rasulullah Saw.
Cinta kepada Rasulullah tidak cukup hanya dibuktikan
dengan membaca shalawat dan salam, tetapi juga harus
diwujudkan dengan tindakan konkret, diantaranya adalah
menjalankan ajaran Rasulullah Saw., rindu bertemu beliau serta
memperbanyak membaca shalawat dan pujian kepada Rasul.
3) Meneladani Akhlak Rasulullah Saw.
Sikap dan ketaatan Nabi Muhammad Saw. pada ajaran
yang terkandung dalam Al-Qur‟an menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam kehidupannya sehingga patutlah jika umatnya
meneladani akhlak beliau.
24
Akhlak kepada Rasulullah Saw. merupakan wujud
kecintaan dan keimanan umatnya kepada sang pemimpin yaitu
Rasulullah Saw. dengan menaati, menjalankan perintahnya serta
mengikuti jejak beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di
dunia dan akhirat.
b. Akhlak Pada Diri Sendiri
Akhlak terhadap diri sendiri mencakup semua persoalan yang
menyangkut diri sendiri, baik secara rohani maupun secara jasmani
(Nasharuddin, 2015:257). Adapun akhlak pribadi menurut Yunahar
Ilyas (2007:81) dalam buku kuliah akhlak meliputi:
1) Shidiq
Shidiq (ash-sidqu) secara bahasa berasal dari Bahasa
Arab kata صدقا -يصدق –صدق artinya benar, nyata, atau
berkata jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kazib) (Munawir,
1984:770). Seorang muslim dituntut selalu berada dalam
keadaan benar lahir batin yaitu benar hati, benar perkataan, dan
benar perbuatan.
2) Amanah
Amanah secara bahasa berasal dari kata يأمن –أمن-
artinya dapat dipercaya (Munawir, 1984:40). Dalam أمانة
pengertian yang luas, amanah mencakup banyak hal, yaitu
25
menyimpan rahasia orang lain, menjaga kehormatan, menjaga
diri sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan dan lain-
lain. Sifat amanah seakar dengan kata iman, antara keduanya
terdapat kaitan yang sangat erat, sekali menipis keimanan
seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya.
3) Istiqamah
Term istiqamah secara bahasa berasal dari kata استقام–
استقامة -يستقيم yang berarti tegak lurus atau berdiri (Munawir,
1984:361), sedangkan pengertian dalam KBBI, istiqamah
diartikan sikap teguh pendirian dan selalu konskuen. Dalam
terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan keilaman sekalipun menghadapi
berbagai macam tantangan dan godaan.
4) ‘Iffah
Pengertian „iffah, secara etimologi adalah bentuk masdar
dari عفة -يعف –عف artinya menjaga kehormatan diri,
kesucian diri, tak mau mengerjakan yang keji (Munawir,
1984:272). Secara istilah, „iffah adalah memelihara kehormatan
diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan
menjatuhkannya.
26
Nilai dan wibawa seseorang tidaklah ditentukan oleh
kekayaan dan jabatannya dan tidak pula ditentukan oleh
rupanya, tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya. Oleh karena
itu, untuk menjaga kehormatan diri, setiap orang harus
menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang
dilarang Allah Swt. dengan mengendalikan hawa nafsunya,
tidak hanya dari hal-hal yang haram, bahkan kadang-kadang
harus menjaga dirinya dari hal-hal yang halal karena
bertentangan dengan kehormatan dirinya (Ilyas, 2008:90).
5) Mujahadah
Mujahadah berasal dari kata مجاهدة -يجاهد –جاهد
yang berarti berjuang (Munawir, 1984:93). Dalam konteks
akhlak, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan
untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat
pendekatan diri kepada Allah Swt., baik hambatan yang bersifat
internal maupun yang eksternal.
Hambatan yang bersifat internal datang dari jiwa yang
mendorong untuk berbuat keburukan, hawa nafsu yang tak
terkendali, dan kecintaan pada dunia. Sedangkan hambatan
eksternal datang dari syaithan, orang-orang kafir, munafik, serta
para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran.
Untuk mengatasi dan melawan hambatan tersebut
diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh-
27
sungguh yang disebut mujahadah, apabila seseorang
bermujahadah untuk keridhaan Allah Swt. maka Allah akan
menunjukkan jalan kepanya untuk tujuan tersebut.
6) Syaja’ah
Secara bahasa syaja‟ah berasal dari kata يشجع –شجع
شجاعة – artinya berani (Munawir, 1984:695). berani bukan
berarti siap menantang siapa saja tanpa memperdulikan apakah
seseorang berada di pihak yang benar atau yang salah, dan
bukan pula berani memperturutkan hawa nafsu, tetapi berani
yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh
pertimbangan. Keberanian tidaklah ditentukan oleh kekuatan
fisik, tetapi ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa.
Betapa banyak orang yang fisiknya besar dan kuat, tapi hatinya
lemah. Sebaliknya, betapa banyak yang fisiknya lemah tapi
hatinya kuat.
7) Tawadhu’
Tawadhu‟ secara bahasa berasal dari kata يتواضع –تواضع
تواضعا - artinya merendahkan diri, rendah hati, lawan dari
sombong atau takabur (Munawir, 1984:501). Orang yang rendah
hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara
28
orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan.
Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Sekalipun dalam
praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan
dirinya di hadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir
dari rasa tidak percaya diri.
Orang yang tawadhu‟ menyadari bahwa apa saja yang
dimiliki adalah karunia dari Allah Swt. Sikap tawadhu‟
membuat seseorang dihormati dan dihargai, tidak akan membuat
derajat seseorang menjadi rendah.
8) Malu
Malu (al-haya‟) adalah sifat atau perasaan yang
menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang tidak baik.
Orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu
yang tidak baik akan terlihat gugup dan sebaliknya, orang yang
tidak punya rasa malu akan melakukannya dengan tenang tanpa
ada rasa gugup.
Sifat malu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama,
malu kepada Allah Swt. kedua, malu kepada diri sendiri, dan
ketiga, malu kepada orang lain. Orang yang malu kepada Allah
apabila tidak mengerjakan perintah-Nya dan tidak menjauhi
larangan-Nya, dengan sendirinya malu terhadap diri sendiri.
Penolakan datang dari dalam dirinya sendiri, ia akan
29
mengendalikan hawa nafsunya dari keinginan-keinginan yang
tidak baik.
9) Sabar
Pengertian sabar secara bahasa berasal dari kata صبر–
صبرا -يصبر berarti sabar, tabah (Munawir, 1984:760). Secara
terminologis, sabar artinya menahan diri dari segala sesuatu
yang disukai dan tidak disukai karena mengharap ridha Allah.
Hal-hal yang tidak disukai seperti musibah kematian, sakit,
kelaparan dan sebagainya, sedangkan sabar dalam hal-hal yang
disukai misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh
hawa nafsu, sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang
diri dari memperturutkan hawa nafsu.
Menurut Imam Ghazali, sabar merupakan ciri khas
manusia dan binatang, malaikat tidak memerlukan sifat sabar.
Binatang tidak memerlukan sifat sabar karena binatang
diciptakan tunduk sepenuhnya pada hawa nafsu, bahkan hawa
nafsu itulah satu-satunya yang mendorong binatang untuk
bergerak atau diam. Sedangkan malaikat tidak memerlukan sifat
sabar karena memang tidak ada hawa nafsu yang harus
dihadapinya. Malaikat selau cenderung pada kesucian, sehingga
tidak diperlukan sifat sabar untuk memelihara dan
mempertahankan kesuciannya.
30
10) Pemaaf
Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap
kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan
keinginan untuk membalas. Dalam bahasa Arab, sifat pemaaf
disebut dengan al-„afwu yang berarti kelebihan atau yang
berlebih, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 219:
... ...
“...Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan...” (QS.
Al-Baqarah, 2:219).
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang berlebih
seharusnya diberikan agar keluar, dari pengertian mengeluarkan
yang berlebih itu, kata al-„afwu kemudian berkembang
maknanya menjadi menghapus. Dalam konteks ini, memaafkan
berarti menghapus luka atau bekas luka yang ada di dalam hati.
c. Akhlak dalam Keluarga
Setelah manusia lahir, keluarga akan terlihat jelas fungsinya
dalam dunia pendidikan, yaitu memberi pengalaman kepada anak
baik melalui pemeliharaan, pembinaan, ataupun pengaruh yang
menuju terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.
Orang tua (keluarga) menjadi pusat kegiatan rohani pertama pada
anak, baik tentang sikap, cara berbuat atau cara berpikir. Keluarga
31
juga menjadi pelaksana pendidikan Islam yang akan mempengaruhi
pada pembentukan akhlak mulia.
Akhlak dalam keluarga dalam buku Pendidikan Agama Islam
yang dikutip oleh Muhammad Daud Ali (2008:358) diantaranya
yaitu berbakti pada kedua orang tua (birru al-walidain) dengan
ikhlas, saling membina cinta dan kasih sayang dalam kehidupan
keluarga, mendidik anak dengan kasih sayang, dan memelihara
silaturrahim.
d. Akhlak Bermasyarakat
Hidup bermasyarakat adalah hal yang tidak bisa lepas dari
seorang manusia, karena penciptaan manusia sebagai makhluk sosial
membuatnya selalu membutuhkan orang lain. Untuk itu, menjaga
akhlak dalam hidup bermasyarakat adalah hal yang sangat penting
agar hubungan baik dengan orang lain selalu terjalin dengan
harmonis sehingga dapat menciptakan rasa cinta dan damai di
masyarakat.
Akhlak di sini juga termasuk yang ada disekitar, yaitu
tetangga. Akhlak yang dapat diterapkan dalam bermasyarakat
menurut Mohammad Daud Ali (2008:358) di antaranya: memuliakan
tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
bersangkutan, saling menolong dalam kebaikan dan takwa,
menganjurkan anggota masyarakat dan diri sendiri untuk berbuat
32
baik dan mencegah diri serta orang lain melakukan perbuatan
munkar.
e. Akhlak Bernegara
Melihat zaman yang semakin berkembang dari waktu ke
waktu menuntut manusia untuk memahami akhlak secara esensial,
dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai
sikap atau perilaku saja. Melainkan akhlak tersebut
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan akhlak dalam
melaksanakan bakti seseorang terhadap negara, agar menjadi
semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan
negara.
Akhlak bernegara meliputi: Mencintai tanah air, mendirikan
pemerintahan yang adil dan kuat serta menaatinya, mengembangkan
pendidikan, memerangi musuh dan mempertahankan tanah air, serta
menyusun tentara dan membangun pertahanan yang dapat membela
dan menjaga negara (Husein, 2004:21).
3. Akhlak Terhadap Lingkungan
Di samping akhlak kepada manusia, Allah juga memerintahkan
untuk berbuat baik kepada alam sekitar. Akhlak yang diajarkan Al-
Qur‟an terhadap lingkungan pada dasarnya bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah yang menuntut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan
33
mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan, agar
makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil
buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini
berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai
tujuan penciptaannya. Hal ini mengartikan bahwa manusia dituntut untuk
mampu menghormati proses-proses yang berjalan dan terhadap semua
proses yang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung
jawab sehingga tidak melakukan perusakan.
Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa
semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, semuanya
memiliki ketergantungan pada-Nya. Keyakinan ini menghantarkan
manusia untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” yang harus
diperlakukan dengan wajar dan baik (Nata, 2013:129-130).
Uraian tersebut memperlihatkan bahwa akhlak Islami sangat
komprehensif, mencakup berbagai makhluk yang diciptakan Allah, tidak
hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, tetapi juga berbicara
tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuhan, air, dan
sebagainya. Dengan cara demikian, masing-masing makhluk akan
merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.
E. Klasifikasi Akhlak
Keadaan jiwa yang ada pada seseorang itu adakalanya melahirkan
perbuatan terpuji dan adakalanya melahirkan perbuatan tercela. Oleh karena
34
itu, akhlak ditinjau dari sifatnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu akhlak
terpuji dan akhlak tercela (Supadie, dkk, 2012:224). Akhlak yang terpuji
(akhlaq al-mahmudah) adalah segala macam sikap baik (terpuji) yang perlu
diimplementasikan dalam hidup. Contohnya:
a. Mengesakan Allah. Nabi Muhammad Saw. diutus kepada manusia
dengan menyampaikan misi menyampaikan kalimat Tauhid, yaitu
menyembah kepada Allah semata dan tidak menyembah kepada selain-
Nya, karena itu, setiap muslim wajib beriman atau percaya bahwa Tuhan
itu Maha Esa.
b. Berbuat baik kepada orang tua, baik dalam keadaan masih hidup atau
sudah meninggal. Hanya dengan ridha orang tua, seorang anak dapat
menjalani hidupnya dengan damai dan selamat di dunia dan akhirat,
karena dengan ridha orang tualah Allah berkehendak menurunkan ridha-
Nya.
c. Merawat dan mendidik anak dengan kasih sayang. Sebagai amanat yang
dititipkan Allah kepada orang tua, anak wajib dirawat, dibesarkan, dan
diasuh dengan penuh kasih sayang serta mendidiknya dengan baik,
contohnya; memberikan asupan makanan yang bergizi, memenuhi
kebutuhan anak dari nafkah yang halal.
d. Ikhlas, secara bahasa berakar dari kata akhlasha yang berarti bersih,
jernih, murni, tidak bercampur. Secara terminologis, ikhlas adalah
berharap semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt. Pendidikan akhlak
dalam Islam menegaskan pentingnya niat yang ikhlas karena Allah
35
semata, agar akhlak itu senantiasa orisinil tidak dibuat-buat yang berubah
karena perubahan jabatan, lingkungan, waktu, tempat, dan seseorang
yang diajak bergaul (Hafidz dan Kastolani, 2009:111).
Sedangkan akhlak yang Tercela (akhlaq al-madzmumah) adalah
segala macam sikap dan tingkah laku yang buruk (tercela). Contohnya:
a. Dusta atau bohong, yaitu pernyataan tentang sesuatu yang tidak sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya. Dusta tidak hanya berkaitan dengan
perkataan saja, tetapi juga dengan perbuatan (Supadie, 2012:226).
b. Membunuh. Pembunuhan tanpa dasar dilakukan sengaja merupakan
suatu kejahatan, sebab itu merupakan pelanggaran terhadap kreasi Allah
Swt. tidak ada bedanya antara kasus pembunuhan yang dilakukan
sendirian ataupun beramai-ramai, semua pelakunya akan masuk ke
neraka (Az-Zuhaili, 2013:192).
c. Zalim, berarti berbuat aniaya, tidak adil alam memutuskan perkara, berat
sebelah dalam tindakan atau mengambil hak orang lain. Perbuatan
tersebut disebabkan beberapa faktor, yaitu perasaan benci dan cinta, serta
mengutamakan kepentingan diri sendiri (Supadie, 2012:227).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan akhlak
yang harus diajarkan kepada manusia adalah akhlak terpuji dan akhlak
tercela. Akhlak terpuji diajarkan agar manusia selalu melakukan perbuatan
mulia yang diperintahkan Allah Swt., sedangkan akhlak tercela diajarkan
supaya manusia menghindarinya, mengetahui dampak dari perilaku tercela,
dan menjadikannya pelajaran agar tidak diterapkan dalam kehidupan.
36
BAB III
DESKRIPSI SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153
A. Redaksi Ayat dan Terjemahan QS. Al-An’am Ayat 151-153
1. Redaksi ayat dan Terjemahan
37
Artinya:
151. “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,
dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
152. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.
dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil,
Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
153. Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu
yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-An‟am, 6:151-153).
2. Isi Pokok Kandungan
Surat Al-An‟am adalah surat ke-enam, al-An‟am berarti hewan
ternak, terdiri dari 165 dan termasuk golongan surat Makkiyah. Kata al-
An‟am ditemukan dalam surat ini sebanyak enam kali, dinamai al-An‟am
(hewan ternak) karena surat ini banyak menerangkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan hewan ternak dan juga hubungan hewan tersebut
dengan adat istiadat serta kepercayaan orang-orang musyrik. Menurut
kepercayaan mereka, hewan tersebut dapat disembelih sebagai kurban
untuk mendekatkan diri kepada sesembahan mereka (Departemen Agama
RI, 2009:64).
38
Pokok-pokok isinya:
a. Keimanan
Bukti-bukti keesaan Allah serta kesempurnaan sifat-sifat-Nya;
tentang kenabian Muhammad; penegasan Allah atas kenabian
Ibrahim, Ishak, Ya‟kub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa,
Harun, Zakaria, Yahya, Isa, Ilyas, Alyasa‟, Yunus, Luth; penegasan
tentang adanya risalah dan wahyu serta hari pembalasan dan hari
kebangkitan; sesatnya kepercayaan orang musyrik dan keingkaran
mereka terhadap hari kiamat.
b. Hukum
Larangan mengikuti adat istiadat yang dibuat-buat oleh kaum
jahiliyah; makan yang halal dan yang haram; sepuluh wasiat dalam
dalam Al-Qur‟an; Tauhid, keadilan dan hukum, dan larangan mencaci
maki berhala.
c. Kisah
Kisah umat-umat terdahulu yang menentang rasul-rasul; kisah
pengalaman Nabi Muhammad dan para nabi; dan cerita Nabi Ibrahim
membimbing kaumnya kepada agama Tauhid.
d. Lain-lain
Sikap keras kepala kaum musyrik; cara nabi memimpin
umatnya; bidang-bidang kerasulan dan tugas-tugasnya. Tantangan
kaum musyrik untuk melemahkan rasul; kepercayaan orang-orang
musyrik terhadap jin, setan, dan malaikat; beberapa prinsip
39
keagamaan dan kemasyarakatan, dan lain-lain (Departemen Agama
RI, 2009:64).
3. Asbab An-Nuzul
Asbab an-nuzul memiliki arti turunnya ayat-ayat Al-Qur‟an yang
ditrunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. secara
berangsur-angsur bertujuan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak,
dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena
itu dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam
tatanan manusia menjadi sebab turunnya Al-Qur‟an. Asbab an-nuzul
(sebab turunnya ayat) di sini maksudnya sebab-sebab yang secara khusus
berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Sedangkan menurut
sebagian ulama seperti Imam Asy-Sya‟bi mengatakan turunnya Al-
Qur‟an ke Baitul Izzah pertama-tama dimulai dari malam lailatul qadar,
setelah itu turun secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit dalam
berbagai kesempatan dari beberapa waktu yang berlainan (Djalal,
2012:51-55).
Ibnu Kasir (1999:189) mengambil dari Al-Hakim yang
meriwayatkan dalam kitab Mustadraknya, dari Jabir, “Tatkala surat al-
An‟am turun, Rasulullah Saw. bertasbih kemudian bersabda:
لقد شيع هذه السورة من الملئكة ماسد الفق
“Surat ini diantarkan oleh malaikat yang memenuhi cakrawala.” (HR al-
Hakim).
40
Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:313), surat al-An‟am ayat
151-153, menurut sejumlah riwayat, keseluruhan ayat-ayatnya turun
sekaligus. Pakar hadis at-Thabrani meriwayatkan, surat ini diantar oleh
tujuh puluh ribu malaikat dengan alunan tasbih.
Di samping keterangan tersebut, sebagian ulama mengecualikan
beberapa ayat – sekitar enam ayat yang menurut mereka turun setelah
nabi berhijrah ke Madinah, yaitu ayat 90, 93, dan 151-153, karena ada
riwayat yang hanya menyebutkan dua ayat, yaitu ayat 90 dan 91. Riwayat
lain bahkan hanya mengatakan satu ayat, yaitu ayat 90. Tetapi riwayat-
riwayat itu mengandung kelemahan-kelemahan, apalagi seperti tulis pakar
tafsir dan hadis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, “Banyak riwayat
mengatakan seluruh ayat ini turun sekaligus. Persoalan yang
diinformasikan riwayat itu bukan persoalan ijtihad atau nalar tetapi
sejarah, bukan juga persoalan yang berhubungan dengan hawa nafsu yang
dapat mengantar kepada penolakannya, atau persoalan redaksi, yang bisa
menjadikannya memiliki kelemahan. Karena itu, riwayat-riwayat yang
turunnya seluruh ayat-ayat surat ini sekaligus pastilah punya dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan”.
Di sisi lain, riwayat pengecualian beberapa ayat yang dikemukakan
dinilai oleh sekian banyak ulama memiliki kelemahan-kelemahan,
sehingga tidak wajar bila dijadikan dasar untuk menolak riwayat yang
demikian banyak tentang turunnya surat ini sekaligus. Riwayat yang lebih
banyak, karena lemah, dapat saling memperkuat.
41
Tidak ada surat panjang lain yang turun sekaligus kecuali surat al-
An‟am ini, hal ini untuk membuktikan bahwa Allah mampu
menurunkannya sekaligus tanpa berbeda mutu, karena kemaslahatan
menuntut diturunkannya sedikit demi sedikit.
Turunnya sekaligus seluruh ayat surat ini tidak menjadikan riwayat
sebab nuzul beberapa ayatnya harus ditolak. Karena seperti diketahui,
sebab nuzul tidak harus dipahami dalam arti peristiwa yang menjelang
turunnya ayat. Tetapi juga dipahami dalam arti peristiwa-peristiwa yang
petunjuk dan hukumnya dikandung oleh ayat yang bersangkutan, selama
peristiwa yang dinyatakan sebagai sebab nuzul itu terjadi pada periode
turunnya Al-Qur‟an. Baik terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat
yang dimaksud.
Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:314), Imam Suyuthi
menyebut riwayat yang memnginformasikan bahwa surat ini turun di
waktu malam, dan bumi bergoncang menyambut kehadirannya. Riwayat-
riwayat yang disinggung di atas oleh sebagian ulama dinilai sebagai
riwayat-riwayat yang dha‟if atau lemah. Karena itu, tidak halangan untuk
mengakui turunnya surat ini sekaligus. Apalagi seperti tulis Al-Baqi‟,
tujuan utama surat ini adalah memantapkan tauhid dan ushuluddin atau
prinsip-prinsip ajaran agama.
Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:315), Sayyid Quthub
memulai tafsirnya tentang surat ini dengan menguraikan ciri-ciri surat
Makkiyah, di mana surat al-An‟am merupakan salah satu diantaranya.
42
Pakar ini menulis bahwa surat-surat Makkiyah berkisar pada uraian
tentang wujud manusia di alam raya dan kesudahannya, tentang
hubungannya dengan alam dan makhluk hidup lainnya, serta
hubungannya dengan Pencipta alam kehidupan. Uraian surat ini tidak
berbeda dengan tema tersebut. Di sini ayat-ayatnya berbicara tentang
ketuhanan dan penghambaan diri makhluk kepada-Nya, baik di langit
maupun di bumi.
Sayyid Quthub juga meggarisbawahi nama surat al-An‟am. Oleh
pakar, penamaan surat ini dikembalikan pada kenyataan yang hidup
dalam masyarakat ketika itu, berkaitan dengan hakikat hubungan manusia
dengan Allah Swt. masyarakat jahiliyah ketika itu memberi hak kepada
diri mereka untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan
sembelihan, makanan, serta aneka ibadat yang berkaitan dengan binatang,
buah-buahan, bahkan anak-anak. Oleh karena itu, ayat-ayat surat al-
An‟am bermaksud membatalkan pandangan jahiliah itu, agar di dalam
hati manusia tertanam hakikat yang diajarkan oleh ajaran agama ini. Yaitu
hak menghalalkan dan mengharamkan hanyalah wewenang Allah, dan
setiap bagian terkecil bagian kehidupan manusia harus sepenuhnya
tunduk kepada ketentuan hukum-hukum Allah Swt. Dengan demikian,
pada hakikatnya surat ini bertujuan memantapkan tauhid, ushuluddin
sekaligus memantapkan kewenangan Allah Swt. dalam segala persoalan.
Di sini pula maka wajar jika dia turun sekaligus tidak bertahap.
43
Memang, prinsip-prinsip ajaran agama tidak ditetapkan Allah Swt.
secara berahap, berbeda dengan tuntutan yang berkaitan dengan hukum.
Pada dasarnya hukum menuntut pelaksanaan dengan melakukan yang
diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Jika hukum-hukum yang
beraneka ragam dan mencakup banyak hal yang turun sekaligus, tentu
yang dituntut melaksanakannya akan mengalami kesulitan, terlebih jika
ketetapan yang dituntut itu tidak sejalan dengan kebiasaan selama ini.
Itulah sebabnya, dalam bidang hukum Al-Qur‟an sering kali menempuh
cara bertahap seperti yang terlihat dalam tuntutan meninggalkan minuman
keras (Shihab, 2012:315-316).
4. Munasabah Ayat dan Surat
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muraqabah) dan
kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah), munasabah juga berarti
hubungan atau persesuaian. Secara terminologi, munasabah adalah ilmu
Al-Qur‟an yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau
surat dalam Al-Qur‟an secara keseluruhan dan latar belakang penempatan
tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab, sebagaimana yang dikutip oleh
Baidan bahwa munasabah adalah kemirip-miripan yang terdapat pada hal-
hal tertentu dalam Al-Qur‟an baik surat maupun ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya (Baidan, 2010:184-
185). Adapun relevansinya yaitu:
44
a. Munasabah Surat Al-An’am dengan Surat Al-Maidah
Surat al-An‟am merupakan surat ke-6 diturunkan di Makkah
sebelum nabi berhijrah. Dinamai al-An‟am karena surat ini banyak
menerangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan hewan ternak
dan juga hubungan hewan tersebut dengan adat istiadat serta
kepercayaan orang-orang musyrik.
Surat al-Maidah adalah surat ke-5 yang diturunkan di Madinah
sesudah nabi berhijrah dan berjumlah 120 ayat. Dalam surat ini,
beberapa kali Allah menegaskan bahwa Nabi Isa dan ibunya bukanlah
Tuhan sebagaimana anggapan banyak orang Nasrani di Najran. Nabi
Isa adalah seperti rasul-rasul lain, yang mengajak Bani Israil untuk
mengesakan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Dalil yang
menunjukkan hal tersebut yaitu firman Allah:
45
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa
putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia:
"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa
menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan
Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa
yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya Yaitu:
"Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi
saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka
setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka.
dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-
Ma‟idah, 5:116-117).
Maka, pada surat al-An‟am dijelaskan tentang kekuasaan Allah
dalam penciptaan langit, bumi, dan semua isinya, termasuk manusia.
Allah juga memberi petunjuk kepada manusia untuk memilih jalan
yang terang yaitu keimanan, serta meninggalakan jalan yang sesat
yaitu jalan kegelapan. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah
firman Allah dalam surat al-An‟am ayat 153:
Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah
jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
46
beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An‟am, 6:152).
Kemudian, Firman Allah:
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan
apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Al-Ma‟idah, 5:120).
Pada akhir surat al-Ma‟idah tersebut, ditegaskan bahwa milik
Allahlah kerajaan langit dan bumi serta segala apa yang terdapat di
dalamnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pada awal surat al-
An‟am, Allah menegaskan pula bahwa segala puji adalah milik-Nya
yang menciptakan seluruh jagat raya beserta isinya, dan Allah pula
yang menjadikan gelap dan terang dalam kehidupan manusia
(Departemen Agama RI, 2009:65).
Dalam tafsir Al-Maraghi (1992:112), relevansi antara surat al-
An‟am dengan surat al-Maidah adalah sebagai berikut:
1) Sebagian besar kandungan surat al-Maidah menerangkan tentang
bantahan dengan Ahli Kitab, sedang sebagian besar surat al-
An‟am menerangkan tentang bantahan terhadap kaum musyrikin.
2) Surat al-An‟am berisi hukum-hukum tentang makanan yang
diharamkan dan binatang sembelihan diterangkan secara ijmal
(global), sedangkaan surat al-Ma‟idah diterangkan secara rinci,
dan ia diturunkan kemudian.
47
3) Surat al-An‟am dimulai dengan pujian terhadap Allah, sedangkan
surat al-Ma‟idah ditutup dengan penetapan hukum.
b. Munasabah Ayat
Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,
2009:296), surat al-An‟am ayat 151-153 memiliki munasabah
(korelasi) dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya yaitu ayat
145-150 diterangkan beberapa jenis hewan yang diharamkan dan
bantahan kaum musyrikin yang mengharamkan sesuatu yang tidak
diharamkan Allah bagi mereka, serta penolakan alasan mereka yang
dibuat-buat untuk membenarkan kemusyrikan mereka dalam surat al-
An‟am:
48
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala
binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas
mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di
49
punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang
bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah
Maha benar.
Maka jika mereka mendustakan kamu, Katakanlah: "Tuhanmu
mempunyai rahmat yang luas; dan siksa-Nya tidak dapat ditolak dari
kaum yang berdosa.
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan
mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-
bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami
mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-
orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka
merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai
sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu
tidak lain hanyalah berdusta.
Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;
Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu
semuanya".
Katakanlah: "Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat
mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan
yang kamu) haramkan ini" jika mereka mempersaksikan, Maka
janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan
mereka.” (QS. Al-An‟am, 6:145-150).
Sedangkan pada ayat 151-153 ini diterangkan beberapa pokok
larangan yang bersangkutan dengan perkataan dan perbuatan, sifat
yang utama dan beberapa macam kebajikan. Pokok-pokok ajaran itu
terkenal dengan “al-Wasaya al-„Asyr” (Sepuluh Perintah Tuhan).
B. Tafsir QS. Al-An’am Ayat 151-153
1. Ayat 151
Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,
2009:269), permulaan ayat 151 menerangkan tentang perintah Allah
kepada Nabi Muhammad Saw. agar mengatakan kepada kaum
50
musyrikin yang menetapkan hukum menurut kehendak hawa nafsunya
bahwa ia akan membacakan wahyu yang akan diturunkan Allah
kepadanya. Wahyu tersebut memuat beberapa ketentuan tentang hal-
hal yang diharamkan kepada mereka. Ketentuan-ketentuan itu
datangnya dari Allah, maka kententuan-ketentuan itulah yang harus
ditaati karena Dia sendirilah yang berhak menentukan ketentuan
hukum dengan perantara wahyu yang disampaikan oleh malaikat
kepada Rasul-Nya, yang memang diutus untuk menyampaikan
ketentuan-ketentuan hukum kepada umat manusia.
Ketentuan-ketentuan hukum yang disampaikan rasul kepada
kaum musyrikin itu berintikan 10 ajaran pokok yang sangat penting,
yang menjadi inti dari agama Islam dan semua agama yang diturunkan
Allah ke dunia. Lima ketentuan di antara sepuluh ketentuan itu
terdapat dalam ayat ini, empat buah di antaranya terdapat dalam ayat
berikutnya (152), sedang satu ketentuan lagi terdapat dalam ayat 153.
Para ulama menamakan sepuluh ajaran pokok itu “al-washaya
al-„Asyr” (sepuluh perintah), yang mana dalam ayat 151 ini disebutkan
lima yaitu:
a. Jangan mempersekutukan Allah
b. Berbuat baik kepada orang tua (ibu dan bapak)
c. Jangan membunuh anak karena kemiskinan
d. Jangan mendekati (berbuat) kejahatan secara terang-teraangan
maupun secara tersembunyi
51
e. Jangan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya
Adapun larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah
pokok pertama yang paling mutlak, baik dengan perkataan atau dengan
i‟tiqad. Seperti mempercayai bahwa Tuhan itu bersekutu, atau dengan
perbuatan seperti menyembah berhala-berhala atau sembahan-
sembahan lain.
Setelah Allah memerintahkan manusia agar bertauhid dan
jangan mempersekutukan-Nya, maka Allah memerintahkan manusia
agar berbuat baik terhadap kedua orang tua. Urutan ini jelas
menerangkan bagaimana bagaimana pentingnya berbuat baik terhadap
kedua orang tua, meskipun mereka salah atau menyuruh anaknya
mempersekutukan Tuhan, namun seorang anak tetap harus berbuat
baik kepada mereka di dunia ini, dan harus menolak dengan sopan
tentang suruhan atau ajakan orang tua untuk menyekutukan Tuhan,
sebagaimana firman Allah:
...
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik....” (QS. Luqman, 31:15(.
Yang dimaksud berbuat baik terhadap kedua orang tua adalah
menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan
52
perbuatan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena
takut atau terpaksa. Penghormatan tersebut wajib, di samping
kewajiban anak membelanjai ibu bapaknya yang tidak mampu, sesuai
dengan kesanggupan anak itu.
Perintah berbuat baik kepada orang tua diikuti dengan larangan
kepada orang tua membunuh anak mereka karena takut kemiskinan,
karena Tuhan akan memberi rizki kepada mereka dan anak-anak
mereka.
Pada ayat ini Allah melarang mendekati perbuatan-perbuatan
keji apalagi mengerjakannya, baik perbuatan seperti; berzina atau
menuduh orang berbuat zina, baik dilakukan terang-terangan atau
sembunyi.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini,
pada masa Jahiliyyah orang-orang tidak memandang jahat melakukan
zina secara tersembunyi, tetapi mereka memandang jahat jika
dilakukan dengan ternag-terangan. Maka, dengan ayat ini Allah
mengharamkan zina secara terang-terangan atau tersembunyi.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan
yang nampak (terang) ialah semua perbuatan dengan anggota tubuh,
sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan hati seperti takabur, iri
hati dan sebagainya. Pada ayat ini Allah juga melarang pula
membunuh jiwa tanpa sebab yang benar menurut ajaran Tuhan.
53
Setelah diterangkan lima dari ajaran pokok yang sangat penting
tersebut, Allah mengakhiri ayat ini dengan suatu penegasan yang
maksudnya: demikian itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu agar
kamu memahami tujuannya bukan seperti tindakanmu yang
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut hawa nafsu
(Departemen Agama RI, 2009:269-272).
Dalam Tafsir Al-Misbah (Shihab, 2001:330) Ayat ini
memerintahkan Rasul Saw. agar mengajak mereka meninggalkan
posisi yang rendah dan hina yang tercermin pada kebejatan moral dan
penghambaan diri kepada selain Allah Swt. menuju ketinggian derajat
dan keluhuran budi pekerti. Pertama dan yang paling utama adalah
larangan mempersekutukan Allah.
Kedua, setelah menyebut causa prima, penyebaab dari segala
sebab wujud dan sumber segala nikmat, disebutnya penyebab
perantara yang berperan dalam kelahiran manusia, sekaligus wajib
disyukuri yakni ibu bapak. Karena itu, disusulkan dan dirangkaikan
perintah pertama dengan perintah ini dalam makna larangan
mendurhakai ibu bapak, sedemikian tegasnya sehingga dikemukakan
dalam bentuk perintah berbakti, yakni dan berbuat baiklah secara dekat
dan melekat kepada kedua orang ibu bapak secara khusus dan
istimewa dengan berbuat kebaktian yang banyak lagi mantap atas
dorongan rasa kasih kepada mereka.
54
Ketiga, setelah menyebut sebab perantara keberadaan manusia
di bumi, dilanjutkan pesan berupa larangan menghilangkan keberadaan
itu yakni larangan membunuh anak karena khawatir ditimpa
kemiskinan dan menyebabkan prasangka bahwa bila seorang anak
lahir akan menambah beban. Sumber rizki hanyalah Allah dan manusia
tinggal berusaha mendapatkannya.
Setelah melarang kekejian yang terbesar setelah syirik, yaitu
durhaka kepada orang tua dan membunuh, kini dilarang mendekati
segala macam kekejian yang menjadi pengajaran keempat, yaitu
jangan mendekati perbuatan-perbuatan keji, seperti membunuh dan
berzina, baik terang-terangan ataupun tersembunyi. Kelima, disebut
secara khusus satu contoh yang sangat buruk dari kekejian itu yakni
larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa sebab yang
dibenarkan, yaitu berdasarkan ketetapan hukum yang jelas (Shihab,
2012:728-729).
Jadi, ayat ke 151 mengandung tuntunan umum menyangkut
prinsip dasar kehidupan yang bersendi kepercayaan akan keesaan
Allah Swt. hubungan antara sesama berdasarkan hak asasi,
kehormatan, dan kejauhan dari segala bentuk kekejian akhlak.
2. Ayat 152
Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,
2009:272), Setelah ayat sebelumnya menyebut lima wasiat Allah yang
merupakan larangan-larangan mutlak, ayat ke-152 dilanjutkan dengan
55
larangan yang berkaitan dengan harta setelah sebelumnya pada
larangan kelima disebut tentang nyawa, karena harta adalah sesuatu
yang nilainya sesudah nyawa.
Adapun larangan mendekati harta anak yatim maksudnya,
siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau memanfaatkan
harta anak yatim baik dari pihak wali maupun dari pihak lain kecuali
pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan harta
anak yatim. Jika anak yatim itu sudah dewasa barulah diserahkan harta
itu kepadanya. Mengenai usia, para ulama menyatakan sekitar 15-18
tahun atau dengan melihat situasi dan kondisi anak, mengingat
kedewasaan tidak hanya didasarkan pada usia tetapi pada kematangan
emosi dan tanggung jawab sehingga bisa memelihara dan
mengembangkan hartanya dan tidak berfoya-foya atau
menghamburkan warisannya. Disebutkan dalam firman Allah:
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra‟, 17:35).
Perintah Tuhan menyempurnakan takaran dan timbangan
adalah sekedar menurut kemampuan yang biasa dilaksanakan dalam
soal ini, karena Tuhan tidak memberati hamba-Nya melainkan sesuai
dengan kemampunnya. Yang penting tidak ada unsur penipuan. Yang
56
dimaksud tentang keharusan berkata adil kendati pun terhadap
keluarga ialah setiap perkataan terutama dalam memberikan
kesaksiandan putusan hukum. Ini sangat penting bagi setiap
pembangunan terutama di bidang akhlak dan sosial tanpa membedakan
orang lain dengan kaum kerabat.
Ayat ini diakhiri dengan ungkapan “semoga kamu ingat”,
sebab semua perintah atau larangan tersebut dalam ayat ini pada
umumnya diketahui dan dilaksanakan orang-orang Arab Jahiliyah,
bahkan mereka bangga karena memiliki sifat-sifat terpuji itu. Jadi ayat
ini megingatkan agar mereka tidak lupa atau agar mereka saling
mengingatkan pentingnya melaksanakan perintah Allah tersebut
(Departemen Agama RI, 2009:274).
M. Quraish Shihab (2012:735) mengemukakan bahwa pada
ayat ini larangan tentang harta dimulai dengan larangan yang keenam
yaitu larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim,
hal ini sangat wajar karena anak-anak yatim tidak dapat melindungi
diri dari penganiayaan akibat kelemahannya, larangan ini tidak sekedar
melarang memakan atau menggunakan, tetapi juga larangan
mendekati.
Dalam mengelola harta termasuk menyerahkan harta anak
yatim, memerlukan tolok ukur, timbangan dan takaran. Maka dalam
ayat ini menyebut wasiat yang ketujuh, yaitu menyempurnakan takaran
57
dan timbangan dengan adil, sehingga kedua belah pihak yang
menimbang dan ditimbangkan merasa senang tidak dirugikan.
Selanjutnya larangan yang kedelapan menyangkut ucapan,
karena ucapan berkaitan dengan penetapan hukum, termasuk dalam
menyampaikan hasil ukuran dan timbangan, lebih-lebih karena
manusia sering kali bersifat egois dan memihak kepada keluarganya.
Untuk itu, dinyatakan bahwa apabila seseorang berucap seperti
menetapkan hukum, persaksian, atau menyampaikan berita maka
janganlah curang dan berbohong. Berlaku adillah tanpa
mempertimbangkan hubungan kekerabatan dan dan kedekatan.
Wasiat yang kesembilan mencakup ucapan dan perbuatan,
yaitu jangan melanggar janji yang kamu ikat dengan dirimu, orang lain
atau dengan Allah. Penuhilah janji Allah itu karena kesemuanya
disaksikan oleh-Nya, dan yang demikian itu diwasiatkan kepada kamu
agar kamu terus menerus ingat, bahwa itulah yang terbaik bagi semua.
Dalam pengamatan sejumlah ulama Al-Qur‟an, ayat-ayat yang
menggunakan kata-kata jangan mendekati seperti ayat di atas biasanya
merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa
atau nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan
mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam
rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah
melakukannya. Adapun pelanggaran yang tidak memiliki rangsangan
58
yang kuat, biasanya larangan langsung tertuju pada perbuatan itu,
bukan larangan mendekatinya.
Dalam hal ini, M. Quraisy Syihab (2012:338) berkata bahwa
ayat di atas menggunakan bentuk perintah menyangkut takaran dan
timbangan. Menurut Thahir Ibn „Asyur, hal tersebut mengisyaratkan
bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan
dan takaran. Perintah ini juga mengandung dorongan untuk
meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang merupakan
salah satu sifat terpuji.
Ayat ini juga menggunakan bentuk perintah menyangkut
berucap yang adil. Hal ini mengisyaratakan bahwa yang disukai Allah
adalah menampakkan sesuatu yang haq, tetapi dalam saat yang sama ia
adil dan bahwa seseorang seharusnya tidak berdiam diri dalam
menghadapi kebenaran.
Ayat ini ditutup dengan wasiat kesembilan yaitu perintah
memenuhi janji Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat berarti apa yang
ditetapkan Allah yang dalam ini adalah syariat agama bisa juga dalam
arti apa yang kamu telah janjikan kepada Allah untuk melakukannya
dan yang telah kamu akui atau bisa juga berarti perjanjian yang Allah
perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi.
3. Ayat 153
Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,
2009:274), ayat 153 menerangkan bahwa Rasulullah diperintahkan
59
untuk menjelaskan kepada kaumnya bahwa ayat Al-Qur‟an yang
mengajak kepada jalan yang benar, menghimbau mereka agar
mengikuti ajaran Al-Qur‟an demi kepentingan hidup mereka, karena
Al-Qur‟an adalah pedoman dan petunjuk dari Allah untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai-Nya. Inilah jalan yang
lurus, ikutilah, dan jangan mengikuti jalan lain yang akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah.
Dalam Sunan Ahmad, an-Nasa‟i, Abu Syaikh dan al-Hakim
dari Abdullah bin Mas‟ud, diriwayatkan dalam sebuah hadis yang
maksudnya: Aku dan beberapa sahabat lainnya duduk bersama
Rasulullah, lalu Rasulullah membuat garis lurus dengan tangannya dan
bersabda, “ini jalan-jalan yang sesat.” Pada setiap ujung jalan dari
jalan-jalan itu ada setan yang mengajak manusia menempuhnya,
kemudian Rasulullah membaca ayat ini (al-An‟am/6:152).
Para ahli tafsir mengatakan bahwa bercerai berai dalam agama
Islam karena perbedaan mazhab dilarang oleh Allah, karena
melemahkan persatuuan mereka dan sangat membahayakan agama itu
sendiri. Kemudian ayat 153 ini diakhiri dengan anjuran bertakwa
karena dengan bertakwalah dapat dicapai kebahagiaan dunia dan
akhirat yang diridhai Allah Swt (Departemen Agama RI, 2009:274).
M. Quraish Shihab (2001:151) mengatakan bahwa ayat ini
melanjutkan wasiat yang kesepuluh yaitu firman Allah yang
penafsirannya adalah: dan bahwa ini, yakni kandungan wasiat-wasiat
60
yang disebut di atas atau ajaran Islam keseluruhan adalah jalan-Ku
yang lapang lagi lurus, maka ikutilah dia dengan kesungguhan dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang bertentangan dengan
jalan-Ku ini, karena jalan-jalan itu adalah jalan yang sesat, sehingga
bila kamu mengikuti ia mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya yang
lurus lagi lapang itu. Yang demikian, yakni wasiat-wasiat yang
sungguh tinggi nilainya itu diwasiatkan kepada kamu agar kamu
bertakwa, sehingga terhindar dari segala macam bencana.
Ketiga ayat di atas menekankan bahwa kesepuluh tuntunan
Allah itu merupakan wasiat-Nya. Wasiat adalah perintah yang baik dan
bermanfaat lagi menyentuh akal dan perasaan agar dilaksanakan oleh
yang diperintah walau di luar kehadiran yang memerintahkannya.
Melaksanakan perintah tanpa kehadiran yang memerintahkannya
merupakan bukti kesadaran pelakunya tentang pelaksanaan perintah itu
serta bukti keikhlasan melakukannya.
Dapat disimpulkan bahwa ayat ke-153 mengandung prinsip
umum yang menyangkut segala tuntunan kebajikan, yaitu mengikuti
jalan kedamaian, jalan Islam, dan memperingatkan agar tidak mencari
jalan kebahagiaan yang menyimpang dari jalan Allah tersebut.
Quraish Shihab mengambil dari pakar tafsir, Fakhrur ar-razi,
yang digelari dengan ”Al-Imam”, diikuti dan dikembangkan
pendapatnya oleh banyak mufasir, lebih kurang menyatakan bahwa
ayat 151 mengandung pesan menyangkut perintah dan larangan yang
61
sangat jelas dan terang. Manusia dapat mengetahui betapa buruknya
hal-hal tersebut dengan mudah. Siapa yang menggunakan akalnya, dia
pasti mengetahui betapa buruknya mempersekutukan Allah, durhaka
pada orangtua, membunuh, dan lain-lain kekejian yang disebut disana.
Manusia yang di anugerahi akal tidak akan melangkahkan kaki ke arah
sana, kecuali jika telah dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Karena itu,
ayat ini menekankan bahwa cukup dengan menggunakan akal yang
sehat manusia akan terdorong untuk menghindarinya. Atau,
kesemuanya harus dipahami baik dengan menggunakan akal yang
sehat. Karena itu, ayat tersebut ditutup dengan agar kamu memahami.
pesan-pesan ayat itu sangat agung lagi mulia, sehingga ia ditutup
dengan menyebut akal yang merupakan sesuatu yang paling agung dan
mulia pada diri manusia, sejalan dengan agung dan mulianya kelima
persoalan yang diuraikan ayat tersebut.
Ayat 152 ditutup dengan ( لعلكم تذكرون) la`llakum tadzakkarun/
agar kamu mengingat. Menurut al-Iskafi dalam tafsir Al Misbah,
karena larangan-larangan disana lebih banyak berkaitan dengan harta,
untuk itu ayat ini megundang manusia mengingat bagaimana jika hal
tersebut terjadi pada diri dan anak-anak mereka. Sedangkan, menurut
Thabathaba`i, yang mengembangkan pendapat ar-Razi, bahwa 4
persoalan yang dirangkum oleh ayat itu adalah hal-hal yang sulit dan
memerlukan penalaran sehingga diperlukan pemikiran dan ingatan
untuk mempertimbangkan kemaslahatan dan mudharat yang di
62
akibatkannya dalam berkehidupan bermasyarakat. Apalagi yang dapat
tersisa dari kebajikan satu masyarakat bila yang kuat atau besar tidak
lagi menyayangi yang lemah atau kecil, bila terjadi kecurangan dalam
timbangan dan takaran, atau bila tidak ada lagi kepastian dan keadilan
hukum? Karena itu, ayat ini ditutup dengan kalimat agar kamu
mengingat. An-Naisaburi menilai bahwa melanggar keempat wasiat
yang dikandung ayat 152 adalah amat buruk. Pesan ayat itu
mengandung peringatan keras dan tuntunan, karena itu, ia ditutup
dengan kata yang menunjuk kepada peringatan itu.
Ayat 153 ditutup dengan ( قون ت ت لعلكم ) la`allakum tattaqun/agar
kamu bertakwa/menghindari dari bencana dan siksa oleh al-Iskafi
dinilai mengandung tuntunan bahwa agama yang disyariatkan Allah
swt. merupakan jalan menuju kebahagiaan abadi. Karena itu ayat ini
menelusuri jalan itu dan tidak menoleh ke jalan-jalan lain sehingga
dapat menghindari kedurhakaan sekaligus dapat bertakwa, yakni
menghindari bencana dan siksa-Nya.
Dapat dikatakan bahwa kebanyakan wasiat ayat pertama
menggunakan bentuk redaksi larangan, yakni mencegah, sehingga
sangat wajar jika ia ditutup dengan kata yang mengandung makna
pencegahaan, yaitu ta`qilun, karena akal adalah “tali” yang mengikat
sesuatu sehingga mencegah kebebasannya. Akal pada manusia adalah
sesuatu yang menghalangi dan mencegah seseorang terjerumus dalam
kesalahan. Adapun ayat 152, kebanyakan wasiatnya disampaikan
63
dalam bentuk perintah, sementara larangan yang dikandungnya tidak
secara eksplisit dan nyata. Untuk mengindahkan wasiat-wasiat itu,
diperlukan daya ingat terus-menerus. Oleh karena itu, ayat 152 ditutup
dengan kalimat agar kamu mengingat secara terus-menerus.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab (2012:153-154)
mengemukakan bahwa kebanyakan wasiat ayat pertama menggunakan
bentuk redaksi larangan, yakni mencengah, maka sangat wajar jika
ditutup dengan kata yang mengandung makna pencegahan, yaitu
ta‟qillun, karena akal adalah “tali” yang mengikat sesuatu, sehingga
mencegah kebebasannya.
Adapun ayat 152 kebanyakan wasiatnya disampaikan berbentuk
perintah, untuk mengindahkannya perlu daya ingat terus-menerus.
Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan kalimat agar kamu mengingat
secara terus-menerus. Pada ayat 153 para ulama menilai bahwa
perurutan penutup ketiga ayat di atas, yakni berakal, mengingat, dan
bertaqwa menunjukan hubungan sebab akibat. Hasil penggunaan akal
adalah terus-menerus awas dan ingat, sedang mereka yang terus awas
dan ingat, akan terhindar dari bencana, dan itulah makna hasil akhir
yang diharapkan yaitu taqwa.
64
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam QS. Al-An’am Ayat 151-153
Berkaitan dengan pendapat para mufassir yang telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, maka dalam Al-Qur‟an Surat al-An‟am ayat 151-153
terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang harus dimiliki oleh manusia dan
diimplementasikan dalam kehidupan, baik terhadap dirinya, keluarga,
masyarakat, dan negara.
151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
(QS. Al-An‟am, 6:151).
65
Nilai-nilai dalam pendidikan akhlak dalam surat al-An‟am ayat 151
diantaranya:
1. Larangan Berakhlak Tercela Terhadap Allah
Larangan berakhlak tercela terhadap Allah dalam hal ini, dilarang
berbuat syirik, yaitu sebesar-besar dosa yang dilakukan seorang hamba
terhadap Tuhan yang telah menciptakan dan memberi berbagai macam
nikmat yang tidak terhingga. Allah Swt. berfirman:
... ...
"...Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia..." (QS.
Al-An‟am, 6:151).
Haram hukumnya menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain,
tidak ada Tuhan selain Allah, Dia memiliki sifat terpuji yang begitu
agung, tidak ada yang dapat menjangkaunya. Berkaitan dengan hal
tersebut, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:112) menyatakan bahwa tidak
boleh menyekutukan Allah dengan sesuatupun, sekalipun besar wujudnya
seperti malaikat, para nabi, dan orang-orang shaleh, karena kebesaran
mereka tidak dapat mengeluarkan mereka dari wujud sebagai makhluk
Allah yang tunduk kepada-Nya dengan kekuasaan dan ridha-Nya.
Syirik dikatakan dosa yang paling besar dan kedzaliman yang
paling besar karena ia menyamakan makhluk dengan Khaliq (Pencipta).
Yang dilakukan manusia umumnya adalah menyekutukan dalam uluhiyah
Allah, yaitu dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah,
seperti berdo‟a kepada selain Allah di samping berdoa kepada Allah, atau
66
memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih kurban,
bernadzar, dan sebagainya kepada selain Allah. Maka dari itu, barang
siapa menyembah dan berdo‟a kepada selain Allah berarti ia meletakan
ibadah tidak pada tempatnya dan memberikan kepada yang tidak berhak,
hal itu merupakan kezaliman yang paling besar.
Syirik dilihat dari sifat dan tingkat sanksinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Syirik Besar (asy-syirku al-akbar). Syirik besar adalah menetapkan
(mengakui) adanya Tuhan selain Allah, menjadikan sekutu bagi Allah.
Syirik besar merupakan dosa yang tidak akan mendapat ampunan
Allah. Seperti berdo‟a kepada selain Allah atau mendekatkan diri
kepadanya atau bernadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin
atau syaitan, dan lainnya.
b. Syirik Kecil (asy-syirku al-asghar). Syirik kecil adalah semua
perkataan dan perbuatan yang akan membawa seseorang kepada
kemusyrikan. Perbuata ini masih diampuni jika pelakunya bertaubat
sebelum meninggal. Syirik kecil termasuk perbuatan dosa yang di
khawatirkan akan menghantarkan pelakunya kepada syirik besar
(Rahman, 2009:35).
Sungguh besar kedzaliman seorang hamba yang berlaku syirik,
maka, Allah telah menetapkan beberapa konsukuensi logis yang akan
diterima oleh orang tersebut sebagai hukuman atas kejehatan terbesar
yang telah diperbuat, sanksi di dunia dan di akhirat. Dengan demikian
67
seharusnya menyembah hanya kepada Allah sesuai yang disyariatkan
lewat Rasul-Nya.
Dapat disimpulkan bahwa syirik adalah perbuatan seorang hamba
yang menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya,
menyamakannya dengan Tuhan, mencintainya seperti mencinta Allah,
takut kepadanya seperti takut kepada Allah. Larangan berbuat syirik
adalah wasiat pertama yang terdapat dalam surat Al-An'am ayat 151.
2. Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Birru Al-Walidain)
Salah satu ayat tentang keharusan taat kepada orang tua dalam
surat al-An'am merupakan wasiat Allah Swt. kepada hamba-Nya. Allah
berfirman:
... ...
“...berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa...” (QS.Al-
An‟am, 6:151).
Yang dimaksud dengan berbuat baik kepada orang tua adalah
menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan
penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena takut atau terpaksa, serta
tidak boleh menyakiti hati orang tua. Ayat ini menegaskan bahwa
pernyataan “berbuat baik kepada orang tua” seharusnya dijadikan sebagai
hal yang besar dan penting oleh setiap orang, di mana seseorang wajib
melaksanakannya secara langsung tanpa melalui perantara.
Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:113)
menyatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua dilakukan dengan
68
kebaikan yang sempurna dan lengkap, tidak tanggung-tanggung atau
keberatan. Sikap seperti ini mengharuskan sikap seseorang untuk tidak
melakukan sesuatu yang buruk, seberapapun kecilnya. Maka, menyakiti
hati orang tua termasuk dosa besar
Jadi, perintah ini mengajarkan pada manusia tentang perlunya
menghormati penyebab perantara, yaitu orang tua adalah penyebab
perantara yang memungkinkan seseorang lahir di dunia, hidup dan
berkembang sebagai manusia. Oleh karena itu, penghormatan kepada
orang tua dalam Islam sangat lekat dengan peribadatan pada Allah.
Bahkan ridha Allah digantungkan dalam rida kedua orangtua.
Dengan begitu, setiap muslim diperintahkan untuk memperlakukan
orang tua dengan baik dan bergaul dengannya dengan cara yang santun,
sekalipun mereka (orang tua) musyrik. Orang yang tidak berbakti kepada
kedua orang tuanya akan masuk neraka meskipun banyak melakukan
amal kebajikan di dunia. Firman Allah Swt. dalam surat Luqman ayat 14:
Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Luqman, 31:14).
3. Larangan Membunuh Anak
Anak merupakan anugerah besar yang patut disyukuri. Anak
merupakan amanah dari Allah, layaknya amanah, orang tua harus bisa
69
menunaikannya sebaik mungkin. Penelantaran terhadap amanah dapat
mengundang kemurkaan Allah Swt. apalagi membunuhnya karena takut
kemiskinan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-An‟am ayat 151:
... ...
“...dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan...”(QS. al-An‟am, 6:151).
Dalam ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa Allah Swt.
mengasihi hamba-Nya melalui kasih orang tua terhadap anaknya, karena
Allah Swt. melarang membunuh anak-anak sebagaimana Dia juga
berwasiat kepada orang tua untuk memberi harta waris bagi anak-
anaknya. Adanya larangan ini karena orang Arab Jahiliyah telah
membunuh anak-anak mereka, lalu akibat digoda setan, mereka mengubur
anak hidup-hidup karena khawatir cela dan takut kemiskinan.
Berkaitan dengan hal ini, Allamah Kamal Faqih Imani (2001:353)
menyatakan bahwa selama masa Jahiliyah, orang Arab tidak hanya biasa
mengubur anak perempuan hidup-hidup, bahkan salah seorang dari
mereka juga membunuh anak laki-laki mereka yang dianggap sebagai
modal yang penting di masyarakat saat itu, karena takut kemiskina.
Maka, Allah melarang hal itu dengan firman-Nya: “Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.”. Ini
ditunjukkan dengan didahulukan perhatian terhadap kemiskinan seperti
dalam firman-Nya: “Kamilah yang akan memberi rizki kepadamu dan
kepada mereka.” Wasiat ini mengajarkan jaminan hidup dari Allah bahwa
70
Dia telah mengatur rizki setiap makhluk-Nya karena Dia Sang Pemilik
kehidupan.
Kesimpulannya yaitu anak adalah amanah dari Allah yang harus
dijaga, tidak boleh membunuh anak karena haram hukumnya dan tidak
boleh takut miskin sebab anak, karena yang akan memberi rizki kepada
semua makhluk hanyalah Allah Swt.
4. Larangan Mendekati Perbuatan Keji
Dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi (1992:115) disebutkan bahwa
Fahisyah (perbuatan keji) adalah ucapan dan perbuatan yang jelek seperti
zina, mabuk, rakus, mencuri, dan perbuatan tercela lainnya. Kata
jamaknya fawahisy, sedangkan dalam istilah syara‟ adalah segala sesuatu
yang sangat buruk dan keji berupa dosa atau maksiat.
Perbuatan yang keji yaitu dosa-dosa besar yang buruk baik yang
nampak diantaranya maupun yang sembunyi. Maksudnya, tidak boleh
mendekati perbuatan keji yang terlihat maupun yang samar atau yang
berkaitan dengan lahir dan yang batin. Larangan mendekati perbuatan keji
adalah lebih mendalam daripada larangan melakukannya karena hal itu
meliputi larangan terhadap pengantar dan sarana yang menjadi jembatan
kepada perbuatan keji. Hal yang pasti bahwa seluruh jenis kemaksiatan
adalah perbuatan keji dan dzalim, karena perbuatan itu adalah bentuk
pengingkaran kepada Allah, bahkan sekecil apapun jenis kemaksiatan itu.
71
Al-Qur‟an telah menyebutkan tentang haramnya perbuatan-
perbuatan keji secara berulang-ulang baik yang tampak ataupun
tersembunyi. Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-A‟raf, 7:33).
Dapat disimpulkan bahwa fahisyah adalah segala sesuatu yang
sangat buruk dan keji, yang dapat mengakibatkan kerugian pada pelakunya
juga orang lain, perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah, maka harus
dijauhi. Wasiat ini mengajarkan untuk selalu berusaha menutup jalan yang
memberikan peluang kemaksiatan dan dosa. Allah tidak hanya melarang
perbuatan keji, tetapi mencegah sarana dan jalan yang mengantarkan
terwujudnya perilaku dosa. Mencegah adalah lebih baik dari pada
mengobati.
5. Larangan Membunuh Jiwa yang Diharamkan
Kedudukan manusia di sisi Allah Swt. mempunyai posisi yang
agung, di mana Allah berfirman dalam surat al-Isra‟ ayat 70:
72
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra‟,
17:70).
Pembunuhan tanpa dasar dan dilakukan secara sengaja adalah
suatu kejahatan yang tidak terampuni, sebab itu merupakan pelanggaran
terhadap kreasi Allah Swt. pelakunya akan mendapat balasan di neraka.
Dalam hal ini, Ulil Amri Syafri (2014:93) menyatakan bahwa ditetapkan
barangsiapa membunuh satu jiwa manusia seolah-olah ia membunuh
manusia seluruhnya. Karena seseorang itu adalah anggota masyarakat dan
membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
Sikap keburukan ini merupakan bentuk sikap yang merusak dan
berefek luas. Karena itu, Islam memerintahkan manusia untuk menjaga
jiwa dan menjaga keturunan. Dalam surat al-An'am, Allah SWT
berfirman:
...
“...Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian
73
itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami
(nya).” (QS. Al-An'am, 6:151).
Penggalan ayat tersebut memiliki maksud bahwa dilarang
membunuh jiwa kecuali berdasar sesuatu yang benar (ketetapan hukum
yang jelas), karena jiwa manusia telah dianugerahi Allah sebuah
kehormatan yang tidak boleh disentuh dalam bentuk apapun, itu berarti
bahwa Al-Qur‟an menegakkan prinsip kehidupan yang mendukung nilai-
nilai asasi manusia. Allah telah menjaga jiwa manusia sehingga tidak
boleh melenyapkan nyawa orang lain tanpa ada kebolehan dari syariat
Allah.
Jadi, haram hukumnya membunuh jiwa yang diharamkan karena
nyawa manusia adalah hak prerogatif Allah, sesama manusia tidak punya
hak menghilangkannya. Orang kafir dan bahkan orang yang menolak
eksistensi Tuhan pun oleh Allah diberi hak hidup di dunia diberi rizki.
Wasiat ini mengingatkan manusia jangan mudah menghalalkan darah
sesama hanya karena beda ras, suku dan keyakinan. Hal ini merupakan
perilaku keji yang melahirkan kesengsaraan dunia dan akhirat.
74
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun
dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat” (QS. Al-An‟am, 6:152).
Nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-An‟am ayat 152 diantaranya:
1. Larangan Mendekati Harta Anak Yatim
Yatim menurut bahasa berarti tidak punya ayah. Kata jamak dari
yatim adalah aitam atau yatama. Jadi, Anak yatim adalah anak yang
ditinggal mati ayahnya ketika masih kecil (belum baligh).
Dalam surat al-An‟am ayat 152, larangan mendekati harta anak
yatim maksudnya: siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau
memanfaatkan harta anak yatim, baik dari pihak wali maupun dari pihak
lain kecuali pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan
mengembangkan harta anak yatim. Jika anak yatim itu sudah dewasa
(berkemampuan mengurus hartanya) barulah harta tersebut diserahkan
padanya, sehingga anak yatim itu memiliki kematangan emosi dan
tanggung jawab untuk bisa mengembangkan hartanya dan tidak
menghamburkan warisannya.
Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:118)
menyatakan bahwa yang dimaksud “hingga sudah dewasa” adalah masa
75
seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan. Untuk mencapai masa
balighnya dengan batasan minimal jika anak tersebut telah bermimpi
keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu ia
menjadi kuat sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim. Batas
minimal ini biasanya antara umur 15 sampai 18 tahun.
Dalam wasiat ini, memiliki maksud larangan mendekati untuk
mengurus harta anak yatim. Kalau dirasa tidak dapat beramanah atau
tidak berkemampuan untuk mengurus harta itu, maka tidak boleh
mengurusnya. Mendekati harta anak yatim dilarang kerana jika seseorang
dekat dengan harta itu dapat menyebabkan seseorang mudah untuk
mencuri atau memakannya.
Anak yatim merupakan anak yang dalam keadaan lemah dan
belum berkemampuan untuk mengurus hartanya. Seseorang yang masih
kecil dan belum baligh tidak diberikan untuk memegang harta
peninggalan ayahnya. Jika anak yatim yang memegangnya, ditakutkan
ada yang mencuri, terkena tipu, dan sebagainya. Maka, sepatutnya ada
orang yang dewasa yang menjaga hartanya bagi pihaknya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud larangan di sini
adalah setiap perbuatan yang menggerogoti harta anak yatim dan
melanggar hak-haknya. Memakan harta anak yatim hukumnya haram dan
tidak boleh memelihara dan menjaga harta tersebut kecuali orang yang
dapat menjaga hukum Allah Swt. yang akan mengawasinya. Orang yang
76
menjadi wali atau pengasuh anak yatim harus menjaga harta mereka dan
mengelolanya dengan baik.
2. Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan
Perintah Allah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan
adalah sekedar menurut kemampuan yang biasa dilaksakan dalam soal
ini, karena Allah tidak memberati hamba-Nya melainkan sekedar
kemampuannya, yang penting tidak ada unsur menipuan. Allah Swt.
menyuruh mencukupkan (menyempurnakan) timbangan. Perintah atas
sesuatu berarti melarang sebaliknya, kebalikan mencukupkan adalah
mengurangi. Allah Swt. berfirman:
...
...
“...Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya...” (QS. Al-An‟am, 6:152).
Allah menyuruh menegakkan keadilan dalam hal mengambil dan
memberi, demikian pula Allah mengancam orang yang meninggalkan hal
tersebut, firman Allah dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3:
77
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin, 83:1-3).
Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang ialah orang-
orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Perkataan الكيل
لميزان وا bermaksud setiap cara timbangan dan sukatan yang dimasukkan
ke dalamnya. Kerana di zaman sekarang cara ukuran sudah semakin
canggih, maka apapun cara timbangan perlu dipastikan timbangan itu
tepat. Apabila menakar untuk orang lain atau menerima takaran dari
orang lain hendaknya dilakukan dengan sempurna dan adil, tidak boleh
curang.
Jadi, memenuhi timbangan dan takaran harus dilakukan pada dua
saat, yaitu ketika menjual dan membeli, sehingga seseorang akan rela
kepada orang lain sebagaimana rela terhadap diri sendiri. Segala yang
sudah dijelaskan dalam Al-Qur‟an wajib menjalaninya dan khususnya
bagi para pedagang harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan
dengan perdagangan.
3. Agar Berkata Adil
Allah berfirman:
... ...
“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil kendatipun dia adalah kerabat (mu)...”(QS. Al An‟am, 6:152).
78
Berkata adil meskipun terhadap keluarga adalah setiap perkataan
terutama dalam memberikan kesaksian dan putusan hukum. Hal ini
sangat penting bagi setiap pembangunan terutama di bidang akhlak dan
sosial, tanpa membedakan orang lain dengan kaum kerabat. Allah Swt.
menyuruh berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan baik terhadap
terhadap kerabat maupun bukan kerabat dan Allah Swt. juga menyuruh
berlaku adil terhadap setiap orang di setiap waktu dan keadaan.
Pangkal jujur adalah kesediaan bersikap adil dalam semua situasi.
Keadilan lahir karena kebenaran bertindak, kebenaran bertindak terjadi
karena kejujuran dalam menerima secara total kenyataan dari seluruh hal
yang terjadi. Dalam ayat 152, jujur dikaitkan dengan ucapan, hal ini
mengisyaratkan bahwa ucapan sering berkaitan dengan penetapan
hukum. Jadi, seorang yang melakukan perbaikan antara manusia harus
bersikap jeli dalam menetapkan keputusan antara lawan, maka ia melihat
dengan saksama dan tidak bergesa-gesa dalam memutuskan suatu hukum
sehingga tidak menyesal di kemudian hari. Seseorang yang mengetahui
suatu kesalahan yang terjadi tapi ia tidak mengatakannya, hal ini menjadi
sumber ketidak adilan. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepa-
damu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,
79
agar kamu tidak menim-pakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan ka-mu menyesal atas
perbuatanmu.”(QS.Al-Hujurat, 49:6).
Maksudnya, apabila seseorang mengatakan suatu perkataan yang
sifatnya memutuskan atau menghukumi atau suatu persaksian atau
meluruskan suatu perkara, maka hendaknya ucapan itu bersumber dari
kebenaran dan keadilan tanpa cenderung kepada hawa nafsu atau
menyimpang karena suatu manfaat tertentu, yang demikian itu karena
kebenaran lebih berhak untuk diikuti.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berbuat adil dalam
hal ucapan adalah wajib hukumnya, sebagaimana adil dalam perbuatan
sesuai apa yang diperbuat manusia. Berbuat adil agar selalu bersama
kejujuran dalam segala ucapan, seperti apapun hubungan itu dengan
orang yang diberi bersaksi untuknya atau dihukumi atasnya.
4. Menetapi Perjanjian Terhadap Allah
Menepati atau memenuhi janji berarti melaksanakan apa yang
diperintahkan serta menjauhi apa yang dilarang Allah Swt dan Rasul-
Nya. Janji adalah sesuatu yang harus ditepati oleh seseorang terhadap
yang lain, baik kepada Allah dengan menyimak dan mentaati ajaran-Nya
maupun kepada sesama manusia. Janji itu wajib ditepati selama bukan
maksiat. Allah Swt. telah menyuruh kita untuk menepati janji dalam surat
Al-An'am ayat 152:
... ...
80
“...Dan penuhilah janji Allah...” (QS.Al-An‟am, 6:152).
Penggalan ayat tersebut bersifat umum terhadap semua apa yang
dijanjikan Allah kepada hamba-Nya dan mungkin bermaksud semua apa
diakadkan antara dua orang dan akad atau janji itu dinisbatkan kepada
Allah Swt. dari segi keharusan menjaga dan memenuhinya. Oleh karena
itu, Allah akan menurunkan azab dengan segera kepada manusia, kecuali
kepada orang yang selalu menepati janji. Adapun dalil yang
menunjukkan atas hal tersebut dalam firman Allah „Azza wa Jalla:
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya. (Yakni manusia diminta pertanggung
jawabannya).” (QS. Al-Isra, 17:34).
Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:112)
menyatakan bahwa janji di sini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Apa yang telah diperintahkan Allah lewat lisan para Rasul-Nya.
b. Apa yang telah Allah datangkan berupa akal, tabiat, dan fitrah-fitrah
yang sehat.
c. Apa yang dijanjikan oleh manusia kepada Allah.
d. Apa yang dijanjikan oleh manusia dengan sesamanya.
Maka, seseorang yang beriman pada Rasul berarti dia telah
berjanji pada Allah ketika beriman itu untuk mematuhi perinyah dan
larangan-Nya. Dan apa saja yang Allah syariatkan pada hamba-Nya dan
81
dan dipesankan pada mereka, semua itu termasuk janji (perintah Allah)
pada mereka.
Dalam pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang berjanji harus ditepati dan dipenuhi karena berjanji adalah hutang,
ketika seseorang menepati janji, secara tidak langsung ia telah
menghormati janji-janjinya dan komitmen dengan ucapannya. Jika janji
itu dilanggar, maka konsekuensinya adalah sanksi di dunia dan akhirat.
Orang yang tidak menepati janjinya adalah ciri-ciri orang munafik.
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
An‟am, 6:153).
Nilai yang tekandung dalam surat al-An‟am ayat 153 adalah:
1. Hanya Menempuh Jalan Allah yang Lurus.
Arti shirat al-mustaqim adalah Al-Quran Al-Karim dan Sunnah
yang suci, atau Islam yang bijak, atau syariat yang lurus, atau agama
yang lurus (hanif). Semuanya adalah satu makna. Dalilnya adalah firman
Allah Swt dalam surat Al-An‟am ayat 153:
82
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-
Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-An'am: 153).
Firman Allah Ta‟ala, “...maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain)...”Jalan Allah dimunfaridkan tiada lain
karena jalan kebenaran itu satu dan jalan-jalan lain dijamakkan karena
jalan itu bercerai-berai dan bercabang (Ar-Rifa‟i, 1999:319). Oleh karena
itu, ayat ini berisi perintah agar manusia mengikuti jalan kebenaran yang
lurus serta larangan mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kebatilan yang
diwasiatkan Allah, bertujuan mempersiapkan manusia agar menghindari
apa saja yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan di dunia dan
di akhirat.
Jadi, yang dimaksud dengan berjalan di atas shirat al-mustaqim
adalah menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai jalan
kehidupan (way of life) serta pemahaman generasi salaf terdahulu, baik
akidah, ilmu pengetahuan, dan amal.
Dalil yang menguatkan makna ini, Allah Swt. berfirman:
83
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS.
Al-Fatihah, 1:6-7).
B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Q.S Al-An’am Ayat 151-153
dalam Kehidupan Sehari-hari
Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan akhlak mulia sangat
ampuh dalam melakukan peranannya sebagai praktek akhlak bangsa. Bangsa-
bangsa di masa lalu yang mencapai kejayaan dan kemakmuran, karena
ditopang oleh kemuliaan akhlak bangsanya. Sebaliknya bangsa-bangsa yang
mengalami kehancuran ternyata bermula dari kehancuran akhlak bangsanya
(Nata, 2013:214).
Pendidikan akhlak mulia secara historis merupaka respon terhadap
adanya kemerosotan akhlak pada masyarakat dengan karakter budaya kota,
yaitu masyarakat cenderung ingin serba cepat, tergesa-gesa, pragmatis,
hedonistik, materialistik, penuh persaingan yang tidak sehat dan menghadapi
berbagai masalah: sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan
sebagainya. Masyarakat yang hidup dalam budaya kota tersebut merupakan
perhatian utama dalam pendidikan akhlak. Lahirnya agama Islam di Makkah
dan berkembang di Madinah merupakan sampling yang representative
84
tentang perlunya agama ini mampu membentuk akhlak masyarakat pada
budaya kota tersebut (Nata, 2013:213).
Dari fenomena yang terjadi di lingkungann sekitar menunjukkan
bahwa kehidupan yang ada diukur dari segi materi, sehingga akhlak yang
seharusnya dimiliki dan diimplementasikan dalam kehidupan seseorang
kurang diperhatikan. Dalam kaitannya dengan surat al-An‟am, penulis akan
memaparkan bagaimana mengimplementasikan akhlak-akhlak yang ada
dalam surat al-An‟am ayat 151-153 dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana yang telah diketahui dalam surat al-An‟am ayat 151-153
yang telah dipaparkan sangat sesuai dengan kedaan saat ini dimana nilai-nilai
religius yang sudah mulai bergeser dengan arus modernisme dan arus
globalisasi. Maka dalam ayat tersebut telah dijelaskan segala bentuk perintah
dan larangan yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya.
Dalam Islam, menetapkan nilai-nilai akhlak tidak hanya pada teori
saja, melainkan juga menuntut umatnya untuk mengimplementasikan atau
mempraktikkan akhlak tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Penerapannya
dalam kehidupan berawal dari sebuah pendidikan, sebagaimana yang telah
diketahui bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
manusia, maka hal yang harus ditempuh bahkan merupakan sebuah
kewajiban adalah menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan. Seseorang
yang dapat menerapkan akhlak-akhlak yang ada dalam surat al-An‟am ayat
151-153 merupakan mereka yang memperoleh pendidikan mengenai akhak-
akhlak tersebut, sehingga mereka mengetahui mana akhlak yang harus
85
diterapkan dan ditinggalkan dalam kehidupannya sehingga dapat berinteraksi
dengan baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah.
Dalam suarat al-An‟am ayat 151-153 terdapat beberapa akhlak tarpuji
yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari dan akhlak yang harus
ditinggalkan dalam kehidupan, diantaranya yaitu:
1. Akhlak Terpuji yang Merupakan Perintah
Pertama, kewajiban berbakti kepada kedua orang tua. Peranan
orang tua dalam kehidupan seorang anak tidak dapat dipungkiri, manusia
lahir ke dunia melalui ibu dan bapak. Susah-payah yang dialami oleh ibu
dan bapak dalam memelihara anaknya baik ketika dalam kandungan
maupun setelah lahir ke dunia. Dengan kesadaran tersebut, sebagai anak
sudah seharusnya berakhlak yang baik kepada keduanya dengan berbakti
kepada kedua orang tua semampunya.
Berbuat baik pada kedua orang tua dapat dilakukan dengan banyak
cara, seperti taat kepada orang tua selama tidak mengajak untuk
bermaksiat kepada Allah, berkata yang baik pada mereka, menghormati,
mendo‟akan keduanya, memuliakan sahabat mereka, tidak berkata yang
menyakitkan, dan lain sebagainya. Jika pun perintah orang tua
bertentangan dengan agama, maka cara menolaknya dengan cara yang
baik. Berbuat baik pada orang tua tidak terbatas oleh waktu, bahkan dapat
dilakukan meskipun sudah meninggal, yaitu dengan cara: mengurus
jenazahnya, memohonkan ampun atas dosa keduanya, memuliakan
86
sahabat-sahabatnya, menghubungkan tali silaturahim dengan orang-orang
yang dulu dekat dengan keduanya.
Dalam realitas kehidupan saat ini, masih banyak perilaku manusia
yang tidak menunjukkan akhlak terpuji kepada orang tua, seperti
membantah perkataan orang tua, membentak atau berkata buruk pada
keduanya, mengabaikan nasihat mereka, dan lain-lain. Melihat realita
tersebut, menjadi tugas para pendidik termasuk orang tua untuk
mengajarkan bagaimana mengimplementasikan perintah Allah untuk
berbuat baik pada kedua orang tua.
Kedua, perintah menyempurnakan timbangan atau takaran.
Penerapannya adalah: setiap orang hendaknya memahami hukum-hukum
jual beli agar tidak sampai terjerumus menjadi golongan orang yang
mengurangi timbangan, baik karena sengaja maupun karena faktor
ketidaktahuan.
Menyempurnakan timbangan dilakukan dengan tidak mengurangi
hak orang lain dalam takaran, pada waktu menakar barang hendaknya
dilakukan dengan secermat-cermatnya, tidak boleh mengurangi ataupun
melebihkannya. Karena itu, seseorang yang menakar barang yang akan
diterima orang lain tidak boleh dikurangi, sebab tindakan itu merugikan
orang lain. Demikian pula, jika seseorang menakar barang orang lain yang
akan diterima dirinya, tidak boleh dilebihkan sebab tindakan itu juga
merugikan orang lain.
87
Ketiga, Berkata dengan adil. Penerapan dalam kehidupan sehari-
hari, pertama dengan cara menyingkirkan godaan hawa nafsu, kemudian
membiasakan diri untuk jujur dalam berkata dengan tidak berdasarkan
hawa nafsu serta tidak curang dalam berkata. Artinya ketika berkata
dengan orang lain, maka berkatalah dengan benar, tidak berbohong, lurus,
tidak menyelewengkan kata, dan tidak keji dengan tidak melihat seperti
apapun hubungan dengan orang lain, baik dalam memberi saksi untuknya
atau dihukumi atasnya.
Orang yang dapat berkata adil (jujur) pada orang lain akan
membangun relasi yang baik sehingga disukai banyak orang, peka
terhadap masalah lingkungan dan menjadikan lingkungannya damai dan
tentram. Perilaku adil itu tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga pada orang
lain. Semua yang dikerjakan seseorang akan berimbas pada dirinya
sendiri. Karena itu, hendaknya memperlakukan orang lain dengan layak
dan memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar.
Keempat, mengikuti jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Jalan
Allah adalah jalan yang lurus, jalan kebenaran dan keadilan. Penerapannya
dengan menyadari bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah
jalan Allah, membiasakan diri selalu mengikuti perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang
dikandung dalam Al-Qur‟an, agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat serta terhindar dari dosa yang membawa siksa.
88
2. Akhlak Tercela yang Merupakan Larangan
Pertama, haram berbuat tercela terhadap Allah, yaitu syirik. Dalam
akhlak berdimensi vertikal, manusia sebagai hamba Allah sudah
sepantasnya memiliki sekaligus mengimplementasikan akhlak yang baik
kepada Allah Sang Pencipta (Khaliq). Salah satu akhlak kepada Allah
yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu
yang lain. Menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain (syirik) adalah
perbuatan dosa besar.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari
perbuatan syirik dapat dilakukan dengan menyadari bahwa yang berhak
disembah dan dimintai pertolongan hanyalah Allah, maka berdo‟a atau
bernazar hanya kepada Allah. Menyadari bahwa perbuatan syirik adalah
dosa yang paling besar karena menyamakan makhluk dengan Sang Khaliq
akan berdampak pada pelakunya sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Kedua, larangan membunuh anak. Penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah yang memberi
keluasan rizki ataupun menyempitkannya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dengan segala nikmat yang telah diberikan Allah,
hendaknya seorang hamba tetap bersyukur dan bersabar dalam keadaan
bagaimanapun dengan tetap taat pada-Nya.
Jadi, sebagai orang tua, tidak pantas merasa keberatan untuk
membiarkan anak-anak hidup bersama mereka, baik saat miskin maupun
saat kaya, apapun keadaannya harus tetap bersabar dan tidak membunuh
89
seorang anak apalagi anak kandung, karena bukanlah mereka yang
memberi rizki pada seorang anak, tetapi hanya Allah Swt. yang dapat
memberi rizki bagi makhluknya. Untuk itu, rizki yang diberikan Allah
haruslah dijemput dengan usaha dan do‟a.
Ketiga, larangan mendekati perbuatan keji. Dalam Islam, perbuatan
keji tidak dapat ditolelir sehingga mendekati perbuatan tersebut dilarang,
karena bukan hanya dapat merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain,
dan jika dibiarkan akan merusak tatanan masyarakat. Perbuatan keji
merupakan perbuatan dosa yang sangat jelek. Banyak kasus perbuatan keji
yang dapat ditemui saat ini, seperti zina, mabuk, mecuri, dan perbuatan
tercela lainnya.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan
menyadari bahwa tidak ada manusia yang bebas dari dosa, baik disengaja
maupun tidak, maka, manusia yang paling baik itu bukan yang tidak
melakukakan dosa, tetapi manusia yang menyadari akan kekurangannya
kemudian berusaha untuk memperbaiki dan menggantinya dengan amal
shaleh serta berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan keji yang dapat
menjerumuskannya dalam api neraka.
Menjauhi perbuatan keji dilakukan dengan cara mengontrol
dorongan hawa nafsu, mempertebal keimanan dengan senantiasa
melaksanakan ibadah dan amal shaleh, dengan begitu akan senantiasa
diingatkan oleh siksa dari Allah apabila berbuat dosa. Misalnya dengan
shalat fardhu dengan baik dan benar, dengan shalat yang baik dapat
90
mencegah dari pebuatan keji dan munkar. Sebagaimana dalam firman
Allah dalam surat al-„Ankabut ayat 45:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab
(Al Qur'an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-„Ankabut,
29:45).
Keempat, larangan membunuh jiwa tanpa sebab yang dibenarkan.
Penerapannya dilakukan dengan menghargai hak setiap makhluk,
menyadari bahwa Allah mengharamkan membunuh jiwa tanpa sebab
karena dosa membunuh adalah kehinaan, kemudharatan, dan kekekalan
dineraka. Menyadari bahwa dalam dimensi akhlak horizontal, membunuh
jiwa merupakan akhlak madzmumah yang menjadi kejahatan dan
kezhaliman kepada yang terbunuh. Karena jiwa seseorang bukanlah milik
dirinya akan tetapi milik Allah, maka seseorang hanya boleh menyikapi
jiwa sesuai dengan syari‟at yang ditentukan Allah.
Kehidupan yang aman merupakan hak seseorang, Allah
menganugerahkan pada seseorang sebuah kehidupan untuk memakmurkan
bumi, bahkan kehidupan yang aman menjadi hak hewan-hewan, maka
tidak boleh dibunuh kecuali demi kemanfaatan anak Adam, serta
diharamkan dibunuh sia-sia begitu saja.
91
Kelima, larangan mendekati harta anak yatim. Penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari yaitu dengan memelihara atau mengembangkan
harta anak yatim. Tidak boleh menggunakan secara tidak sah serta tidak
boleh mengurus harta itu jika tidak berkemampuan melakukannya.
Kemudian, menyerahkan kembali ketika anak yatim sudah cukup umur
dan memiliki kemampuan untuk mengurus hartanya dengan membawa
beberapa saksi dalam serah-terima harta itu.
Keenam, larangan melanggar janji. Berjanji hukumnya mubah atau
boleh dan menepatinya adalah sebuah kewajiban yang termasuk bagian
dari iman, maka tidak boleh melanggar janji terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun terhadap Allah, karena itu adalah tanda dari kemunafikan.
Jika perjanjian itu bersifat maksiat maka tidak boleh ditepati.
Implementasi dalam kehidupan sehari-hari agar tidak melanggar
janji yaitu dengan membiasakan diri, jika mempunyai janji yang bersifat
positif harus ditepati, menyadari bahwa sebuah janji akan dimintai
pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. dan jika tidak ditepati akan
mendapat azab-Nya, mengingat bahwa jika janji itu tidak ditepati berarti
telah melanggar perintah Allah dan selalu berpikir terlebih dahulu ketika
membuat perjanjian, apakah bisa menepatinya atau tidak. Jika tidak,
sebaiknya janji tersebut diurungkan. Dengan menepati janji, akan
memberikan pengajaran kepada seseorang untuk konsisten dengan apa
yang diucapkannya.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-An‟am ayat 151-153
diantaranya adalah: larangan berbuat buruk terhadap Allah, berbuat baik
kepada kedua orang tua, larangan membunuh anak, larangan mendekati
perbuatan keji,larangan membunuh jiwa yang diharamkan, larangan
mendekati harta anak yatim, tidak curang dalam menakar dan
menimbang, agar berkata adil, menetapi perjanjian terhadap Allah, dan
hanya menempuh jalan Allah yang lurus.
2. Implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terdapat beberapa akhlak
yang harus diaplikasikan dalam kehidupan serta akhlak yang harus
ditinggalkan.
a. Akhlak terpuji yang harus diaplikasikan
Berbakti pada kedua orang tua, menyempurnakan timbangan
atau takaran, berkata dengan adil, dan mengikuti jalan Allah dengan
penuh kesungguhan. Implementasinya dapat dimulai dari diri sendiri
kemudian pada orang lain dengan cara membiasakan sikap-sikap
93
tersebut dalam aktifitas sehari-hari, serta dapat dilakukan dengan
memberikan contoh sikap-sikap tersebut di hadapan orang lain.
Jika seseorang dapat membiasakan diri dengan sikap-sikap
tersebut, sudah pasti akan menjadi bagian dari kepribadiannya
sehingga membuat kehidupannya terasa tenang dan bermanfaat bagi
diri sendiri maupun orang lain.
b. Akhlak tercela yang harus dihindari
Larangan menyekutukan Allah, larangan membunuh anak,
larangan mendekati perbuatan keji, larangan membunuh jiwa tanpa
sebab yang dibenarkan, larangan mendekati harta anak yatim, dan
larangan melanggar janji. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan
larangan yang harus dihindari karena dapat menimbulkan keburukan
bagi pelakunya maupun orang lain, cara menghindarinya dengan cara
mengontrol hawa nafsu, menyadari bahwa perbuatan-perbuatan
tersebut membuat hati tidak tenang, akan dicatat dan
dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Ketika
mengucapkan atau melakukan sesuatu harus disadari terlebih dulu
apakah perbuatan itu baik atau buruk, sehingga seseorang dapat
berhati-hati dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, kiranya penulis akan memberikan
sedikit saran yang dapat menjadi bahan masukan bagi pelaksana pendidikan
94
akhlak untuk peningkatan kualitas pendidikan. Beberapa saran yang dapat
penulis sampaikan antara lain:
1. Bagi Pendidik
Pendidik menempati posisi yang penting dalam pendidikan akhlak
karena pendidik merupakan model dari pendidikan akhlak yang diajarkan.
Selain pendidik, lingkungan juga menjadi faktor keberhasilan pendidikan
akhlak serta menjadi pendukung terwujudnya internalisasi nilai-nilai
akhlak pada peserta didik. Oleh sebab itu, pendidik harus mempersiapkan
diri semaksimal mungkin untuk menjadi model dari nilai-nilai akhlak
yang diajarkan.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan lembaga yang menyediakan
fasilitas dimana terdapat interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam
proses pembelajaran, maka dalam hal ini lembaga dituntut agar mampu
memberikan pendidikan yang berkualitas termasuk memberikan
pendidikan akhlak pada anak didiknya agar memiliki kepribadian mulia
dan sesuai dengan harapan masyarakat karena lembaga pendidikan
disebut lembaga pencetak generasi bangsa dan kemajuan suatu bangsa
tergantung pada akhlak bangsa tersebut.
3. Bagi Peneliti
Hasil dari analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-
An‟am ayat 151-153 ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
diharapkan bagi peneliti baru dapat mengkaji ulang penulisan ini.
95
C. Kata Penutup
Alhamdulillahirabbil‟alamin, penulis ucap puji syukur kepada Allah
Swr. atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Penulisan skripsi ini sebagai bentuk pengabdian, rasa syukur dan
keprihatinan penulis terhadap keadaan moral zaman sekarang yang pandai
dalam IPTEK namun kurang bisa mengaplikasikan pengetahuannya. Dalam
penelitian ini penulis menyadari meskipun sudah berusaha semaksimal
mungkin, namun masih terdapat kekurangan serta kesalahan. Hal itu semata-
mata merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki penulis.
Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak dami kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
memperlancar penelitian ini baik berupa tenaga maupun do‟a.
96
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, J.R, Sutarjo. 2012. Pembelajran Nilai Karakter Konstruktivisme dan
VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Ahmad, Abu dan Noer Salimi. 1994. Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi Juz VII, terj. Semarang:
CV. Toha Putra
Al-Qarni, „Aidh. 2007. Tafsir Muyassar, terj. Jakarta: Qisthi Press
Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Kasir. Terj. Jakarta: Gema Insani Press
Az-Zuhaili, Wahbah. Ensiklopedi Akhlak Muslim: Berakhlak Terhadap Sesama
dan Alam Semesta. Jakarta: PT Mizan Publika
Daulay, Haidar Putra. 2007. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group
Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan). Jakarta: Departemen Agama RI
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Ensiklopedi Tematis Al-Qur‟an. 2005. Jakarta: PT Kharisma Ilmu
Hanbal, Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal. 1991. Musnad Al
Imam Ahmad bin Hanbal, Terj. Beirut: Darul Fikri
Husein, Ibnu. 2004. Pribadi Muslim Ideal. Semarang: Pustaka Nm
Ibn Hanbal, I.A. 1991. Musnad Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Darul
Kutub al Ilmiyyah
Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Imani, Allamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana
Menuju Cahaya Al-Qur‟an. Jakarta: Nur Al-Huda
Jawaz, Yazid bn Abdul Qadir. 2009. Syarah dan „Aqidah Ahlus sunnah wal
Jama‟ah. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i
97
Jumali, M, dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah
Univercity Pers
Juwariyah. 2010. Hubungan Antara Keharmonisan Dalam Keluarga dengan
Prestasi Belajar PAI. Salatiga: STAIN Salatiga
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Umum Untuk Guru
Sekolah.
Kuswaya, Adang. 2009. Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi: Sebuah
Tawaran Metodologis dalam Penafsiran Al-Qur‟an. Salatiga: Salatiga Pers
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani
Munawir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif
Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nata, Abuddin. 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I. Jakarta: Ciputat Press
Rahman, Roli Abdul. 2009. Menjaga Akidah Akhlak. Solo: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri
Sadulloh, Uyoh, dkk. 2014. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Cet III. Bandung:
Alfabeta
Shihab, M. Quraish 1994. Membumikan Al-Qur‟an. Cet. I. Bandung: Mizan
_______, Wawasan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1996
_______, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Berbagai Pesoalan Umat.
Bandung: Mizan, 1999
_______, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surat-surat Al-Qur‟an.
Tangerang: Lentera Hati, 2012
_______, Lentera Al-Qur‟an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan,
2014
Supadie, Didiek Amad, dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
98
Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta:
Rajawali Pers
Wiratama, I Made. 2006. Pedoman Penulisan: Usulan Penelitian Skripsi dan
Tesis. Yogyakarta: Andi Offset
Ya‟qub, Abdurrahman. 2005. Pesona Akhlak Rasulullah Saw. Bandung: Al-Bayan