nilai-nilai islam dalam upacara adat...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN
ETNIK GAYO
(KABUPATEN ACEH TENGAH)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Intan Permata Islami
NIM. 1113022000080
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
DEDIKASI
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Kedua orang tua penulis, bapak Piryadi dan ibu Hilma Sari, kalian adalah orang-
orang terhebat dalam hidup penulis. Terima kasih atas do‟a dan dukungan yang
terus kalian berikan saat penulis berada dalam kesulitan sampai penulis mampu
melewatinya.
Para guru yang telah mendidik dan mengajarkan banyak ilmu pengetahuan
sebagai bekal untuk masa depan penulis.
Adik-adik penulis, Berlian Helm iyadi, Mutiara Fastawa Aqidah, Masrura Fazwa,
Pirak Nafisatun Najah kalian semangat penulis dalam menempuh pendidikan,
jadilah lebih baik dari apa yang penulis capai kini.
Keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Islam, SDN 1 Sp. Teritit, dan TK Aisyiah
yang telah mengantarkan penulis dalam dunia pendidikan hingga ke jenjang yang
lebih tinggi.
v
ABSTRAK
Studi ini mengkaji sebuah nilai-nilai Islam yang terdapat pada upacara
adat perkawinan masyarakat Gayo. Pelaksanaan upacara perkawinan ini
berlangsung dengan sangat khidmat, yang dimulai dari awal perkenalan, upacara
munginte sampai dengan selesai upacara yaitu munenes. Aturan-aturan
pelaksanaan upacara perkawinan ini sudah diatur semenjak Kerajaan Linge, dan
semenjak Islam masuk ke Dataran Tinggi Tanah Gayo maka masyarakat Gayo
mengadopsi aturan-aturan Islam ke dalam adat Gayo. Dalam penulisan ini
menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dan ilmu bantu
antropologi budaya. Adapun teknik yang digunakan dengan melakukan interviews
dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata cara pelaksanaan upacara
perkawinan serta nilai-nilai Islam yang terdapat pada upacara adat perkawinan
dan studi kepustakaan untuk melengkapi informasi yang telah ada. Masyarakat
Gayo menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan melakukan perkawinan
eksogami. Perkawinan eksogami merupakan perkawinan yang mengharuskan
pihak laki-laki untuk mengambil calon istrinya dan berasal dari luar klennya.
Dalam setiap proses upacara perkawinan pada masyarakat Gayo mengandung
nilai-nilai Islam. Sebagaimana pelaksanaannya tidak ada yang bertentangan
dengan Islam, karena hukum adat pada masyarakat Gayo mengandung nilai-nilai
Islam yang berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadist.
Kata kunci: Upacara Perkawinan, Nilai-nilai Islam.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, bahwa
atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Adat Perkawinan Etnik Gayo
(Kabupaten Aceh Tengah).
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman, amin.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan sebab keterbatasan
kemampuan penulis, namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan saran serta
kerja sama dari berbagai pihak, khususnya pembimbing kekurangan tersebut
menjadi lebih berarti. Dalam kesempatan ini pula, penulis menyampai ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
2. Bapak Nurhasan, M.A. Selaku Ketua Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi
dalam beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga
segalanya menjadi lebih mudah.
3. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah
dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat
ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
4. Bapak Drs. Azhar Saleh, M.A. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus
mencari sumber dalam penulisan ini, serta selalu memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.
5. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. Selaku dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberi motivasi setiap memberikan pelajaran mata kuliah,
serta banyak memberikan masukan yang membuat penulis semangat dalam
menyelesaikan Studi Program Sejarah dan Peradaban Islam.
vii
6. Prof. Dr. Dien Madjid, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan salah seorang
dosen yang mengispirasi penulis menjadi mahasiswi Sejarah dan
Peradaban Islam, serta ingin menjadi sejarawan yang bisa bermanfaat bagi
bangsa khususnya bagi daerah penulis Dataran Tinggi Tanah Gayo, dan
selalu menasihati dan memotivasi penulis selama menjadi mahasiswi.
7. Seluruh dosen Prodi Sejarah dan Peradaban Islam yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu namun ilmu yang telah kalian berikan sangat berarti
dalam hidup penulis.
8. Bapak Yusradi Usman Al-Gayoni yang telah meminjamkan buku terkait
tentang kebudayaan Gayo sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluargaku, ayahandaku Piryadi dan ibundaku Hilma Sari yang telah
banyak memberi kasih sayang kepada penulis dan memberi dukungan
setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan
menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. Tidak lupa
juga kepada adik tercintaku Berlian Helmiyadi yang selalu mengingat dan
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Almarhum Dr. Mahmud Ibrahim, M.A telah meninggal pada tanggal 21
Desember 2017. Selaku narasumber yang telah banyak memberi masukan
tentang penelitian dan memberi buku yang berkaitan dengan penelitian
penulis.
11. Bapak Drs. Jamhuri, M.A, Kakek Muhammad Nasir, dan bapak Basiq
Djalil. Selaku narasumber saya yang telah meluangkan waktu dan
memberikan kesempatan untuk dapat mengetahui informasi terhadap
materi dalam penelitian penulis.
12. Khairil Anbiya selaku sahabat penulis yang banyak memotivasi dalam
menempuh pendidikan ini dan juga banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13. Saudari Naya Naseha. Sahabat penulis, teman satu kost, teman dari MTs,
Aliyah, hingga jenjang kursi perkuliahan, teman diskusi dan bertukar
pikiran yang juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
viii
14. Temen-temen dari Komunitas Anak Panah yang penulis harus
mengucapkan terima kasih kepada Faridah Andriani, Saadah, Farah
Awalia, Rizka Azizah, Yulia Kartika, Mutia Saadah, Septi, Hirma, Rizka
Fauziah, Widi, Sartika, Taufiq, Haikal, Faisal, Iki, Juliawan, dan masih
banyak lagi sehingga tidak bisa disebut satu-persatu. Kita bersahabat
dalam perbedaan untuk menyatukan mozaik cerita kita sejak Orientasi
Mahasiswa Baru, Wisuda, hingga beranak cucu. Semoga Allah tetap
menjalin ukhuwah ini kapan dan di manapun kita berada. Temen-temen
Komunitas Anak Panah juga selalu direpotkan selama masa perkuliahan
dan penulisan skripsi ini.
15. Temen-temen seperjuangan di SPI angkatan 2013 yang banyak membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
16. Temen-temen MTs dan MA-ku di Nurul Islam, Rizki T.W, Putri, Asih,
dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut satu-persatu.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT selalu meberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun
akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah
SWT penulis serahkan segalanya mudah-mudahan dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua.
Jakarta, 2 Januari 2018
Intan Permata Islami
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
DEDIKASI ............................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Ruang Lingkup Masalah ................................................................... 7
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8
F. Kerangka Teori.................................................................................. 9
G. Metode Penelitian............................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH TENGAH .................. 14
A. Letak Geografi Kabupaten Aceh Tengah ........................................ 14
B. Sejarah Singkat Etnik Gayo ............................................................ 16
C. Kondisi Kebudayaan Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah . 20
1. Sistem Pemerintahan .............................................................. 20
2. Kondisi Ekonomi dan Mata Pencarian ................................... 21
3. Kondisi Agama ....................................................................... 23
BAB III TAHAPAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO ... 24
A. Pengertian Perkawinan .................................................................... 24
B. Upacara Sebelum Perkawinan......................................................... 27
C. Upacara Pelaksanaan Perkawinan ................................................... 35
D. Upacara Setelah Perkawinan ........................................................... 40
x
BAB IV NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT
PERKAWINAN ETNIK GAYO ......................................................... 43
A. Nilai Aqidah .................................................................................... 43
B. Nilai Ibadah ..................................................................................... 47
C. Nilai Akhlak .................................................................................... 51
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 55
A. Kesimpulan ..................................................................................... 55
B. Saran ................................................................................................ 56
GLOSARIUM ...................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengenai masalah kebudayaan, banyak sarjana antropologi yang
memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah, yaitu E.B.
Tylor, ia mengemukakan tentang kebudayaan dalam bukunya yang berjudul
Primitive Culture, “Culture or Civilization, is that complex whole which includes
knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society”1 yang artinya kebudayaan atau
peradaban adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan berbagai kemampuan lain
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
Adapun R. Linton dalam buku The Cultural background of personality,
menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil
laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota
masyarakat tertentu.2
Dari definisi-definisi di atas, masih ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para pakar Indonesia seperti: Koentjaraningrat, mengatakan kebudayaan
paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) wujud benda, yaitu
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.3
Definisi di atas kelihatannya berbeda-beda, namun semuanya berprinsip
sama, yaitu mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil
kelakuan manusia, yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar.
1 Edward Burnett Tylor, Primitive Culture: Researches Into the Development of Mithology,
Philosophy, Religion, Art, and Custum (London: John Murray, Albemarle Street, 1871), h. 1 2 Djoko Widagdho, dkk. , Ilmu Budaya dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 19.
3 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembanguna (Jakarta: Gramedia, 1985),
h. 5
2
Semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar. Yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan terbagi menjadi dua yaitu: a) Kebudayaan material (yang
bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda cipta manusia, misalnya: alat-alat
perlengkapan hidup, b) kebudayaan non material (bersifat rohaniah) yaitu, semua
hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi, bahasa, ilmu pengetahuan.
Adapun jenis kebudayaan yang penulis teliti adalah kebudayan non material.4
Dengan menggunakan pendefinisian seperti di atas, maka ada kaitannya
dengan masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. Karena
kebudayaan milik masyarakat bukan milik seseorang individu dan kebudayaan
juga tercipta dari dalam pemikiran para masyarakat melalui komunikasi di antara
para individu.
Masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang saling terkait
oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum-hukum khas, dan yang
hidup bersama. Kehidupan bersama ialah kehidupan yang di dalamnya kelompok-
kelompok manusia hidup bersama-sama di suatu wilayah tertentu dan sama-sama
berbagi iklim. Kehidupan manusia bersifat kemasyarakatan, artinya bahwa secara
fitri ia bersifat kemasyarakatan. Dalam masyarakat juga terdapat kebudayaan atau
tradisi, adat istiadat yang berbeda-beda menurut wilayah atau kelompok-
kelompok masyarakat tersebut.5
Berbicara masalah masyarakat maka penulis akan menyinggung tentang
masyarakat Gayo (urang Gayo) yang terletak di tengah-tengah wilayah
administratif yang kini disebut sebagai Provinsi Aceh. Wilayah tempat tinggal
suku bangsa Gayo ini dikenal dengan nama Dataran Tinggi Tanah Gayo. Dataran
Tinggi ini merupakan bagian dari rangkaian Bukit Barisan yang melintasi Pulau
Sumatra. Lingkungan alam yang berbukit-bukit ini, rupanya telah menyebabkan
orang-orang Gayo yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok.
4 Widagdho, Ilmu Budaya dasar, h. 20
5 Murtadha Mutahhari, Masyarakat dan Sejarah. Penerjemah M. Hashem (Bandung:
Mizan, 1986), h. 15
3
Di tengah lingkungan alam yang sedemikian itu, orang Gayo yang
menghuni Dataran Tinggi Tanah Gayo meliputi Kabupaten Bener Meriah,
Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues. Selain dari empat Kabupeten
tersebut ada sebagian suku Gayo tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh
Tamiang, Aceh Timur. Orang Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang
disebut Gayo Kalul, sedangkan yang berada di Daerah Kabupaten Aceh Timur
disebut Gayo Serbejadi atau Gayo Semamah.6
Suku bangsa Gayo yang mendiami daerah pegunungan di pedalaman Aceh
itu adalah suatu suku di antara sekian banyak suku bangsa Indonesia di Kepulauan
Nusantara. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan
kebudayaan Aceh di daerah pesisir, mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat
sendiri yang berbeda dengan bahasa, adat istiadat Aceh, Karo, Batak, Melayu, dan
suku lainnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Islam di daerah Aceh
dan Gayo, baik kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo adalah kebudayaan
yang bernapaskan Islam. Meskipun demikian Gayo mempunyai ciri-ciri tersendiri
yang berbeda dengan kebudayaan Aceh umumnya.
Hubungan suku Gayo dengan suku Aceh di pesisir rapat sekali karena suku
Gayo berada dan hidup bersama dengan suku Aceh dalam lingkungan Kerajaan
Islam Aceh. karena Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam, sedangkan suku Aceh
maupun suku Gayo adalah pemeluk-pemeluk agama Islam pula, maka
percampuran kedua suku ini banyak dan rapat sekali, selain hidup dalam satu
kerajaan, tetapi lebih-lebih karena hubungan dalam satu agama.7
Pada masa kerajaan Perlak dipimpin oleh Sultan Machdum Alaidin Malik
Mahmud Syah pada tahun 420-450 H/1012-1059 M, beliau mengirim Syekh
Sirajuddin ke Buntul Linge yang terletak di Dataran Tinggi Tanah Gayo untuk
mendidik dan memimpin pelaksanaan ajaran Islam di kerajaan Linge, membantu
Merah Isaq dan anak Merah Mersah, menjadi raja Linge sekitar tahun 455 H/1064
M.
6 M.J. Melalatoa, Kebudayaan Gayo (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), h. 25
7 M. H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1983), h. 33-34.
4
Syekh Sirajuddin untuk mendidik dan memimpin pelaksanaan ajaran Islam
di kerajaan Linge. Syekh Sirajuddin berkedudukan di wilayah Serule, sebuah
wilayah di bagian barat sungai Jamboe Aye. Karena itu beliau dijuluki Chik
Serule, sebagai gelar ulama yang memimpin agama Islam dalam kerajaan Linge.
Dengan kedudukan raja di Buntul Linge dan kedudukan ulama di Serule,
menyebabkan terjadi istilah orang Gayo Asal Linge Awal Serule (berasal dari
Linge dan berawal dari Serule) merupakan pelambang keterpaduan umara‟ dan
ulama dalam memimpin pemerintahan dan kemasyarakatan.8
Setelah kerajaan Linge menjadi kerajaan Islam, maka masyarakat di wilayah
itu menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat dasar
agama dan adat istiadat secara terpadu. Prinsip itu dituangkan ke dalam 45 pasal
adat masyarakat kerajaan Linge yang ditetapkan dalam musyawarah raja (merah),
ulama, pimpinan adat (Tetue). Pada tahun 450 H/1115 M. Setelah melalui proses
panjang selama tiga setengah abad. Prinsip dimaksudkan dapat dihayati dari
ungkapan adat: “agama urum edet lagu zet urum sifet, agama kin senuwen, edet
kin peger” Artinya: agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat, agama
sebagai tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut sudah jelas
bahwa keterpaduan di antara adat Gayo dan syari‟at Islam sangat erat dan saling
menunjang.9
Kalau seseorang telah dapat mengetahui ajaran Islam, tentu lambat laun
akan berkembang sehingga meluas di kalangan masyarakat. Hanya saja
meluasnya itu kemungkinan dapat melalui jalur pemerintahan atau melalui rakyat
jelata. Sebagian besar Islam itu berkembang melalui rakyat jelata. Dapat dilihat
bahwa agama Hindu datang ke Indonesia untuk kepentingan istana, seperti teknik
pembuatan candi yang merupakan aktivitas keraton, upacara istana dan
sebagainya. Karena itu agama Hindu hanya berpengaruh kepada kalangan atas itu
saja sedangkan rakyat bawahan tidak begitu merasakannya. Berbeda dengan
8 Mahmud Ibrahim, Mujahidi Dataran Tinggi Gayo (Takengon: Yayasan Maqamam
mahmuda, 2007), h. 23. 9 Ibrahim, Mujahidi Dataran Tinggi Gayo, h. 19
5
agama Islam datang dengan menyusup ke lapisan bawah. Dengan kata lain Islam
itu masuk melalui masyarakat awam.10
Perkembangan Islam di daerah Gayo melalui muballigh yang pekerjaanya
lebih khusus untuk mengajarkan agama seperti utusan dari kerajaan Peurlak yaitu
Syekh Sirajuddin dan Ahmad Syarif sebagai ulama dan pemimpin ajaran Islam di
kerajaan Linge. Di samping itu para muballigh ini menyelenggarakan pesantren-
pesantren yang akan membentuk kader-kader yang kelak akan menjadi ulama. Di
kalangan masyarakat Gayo ada beberapa kalangan yang pergi menuntut ilmu ke
daerah lain, seperti ke pesantren-pesantren yang dikenal oleh kalangan masyarakat
Gayo yaitu pesantren Pulo Kitun atau pesantren Teupin Raya. Bila mereka telah
merasa cukup tentang ilmu agama Islam mereka kembali ke Gayo dan di sana
mereka membuka pendidikan Islam yang dimulai dari keluarga, lalu tetangga,
kemudian berkembang pada masyarakat. Kaum wanita yang sudah berusia lanjut
ditampung pada sebuah rumah yang disebut “Joyah”. Jalur penyebaran Islam
yang lebih pesat ialah melalui masjid.11
Dengan berkembangnya Islam di daerah Gayo Kabupaten Aceh Tengah,
maka sebelum orang Gayo memeluk agama Islam mereka mempunyai
kebudayaan yang telah mereka praktekkan. Akan tetapi dengan datangnya Islam
maka ada terjadi akulturasi yaitu: kebudayaan animisme dan Islam. Islam datang
ke Gayo tidak menghapus langsung budaya yang telah ada, akan tetapi
mencampurkannya dengan nuansa Islami agar masyarakat Gayo dengan
mudahnya masuk dan memahami Islam. Seperti pada proses upacara adat
perkawinan masyarakat Gayo yang memiliki unsur-unsur Islami yang dipadukan
ke dalam tradisi masyarakat Gayo.
Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dalam pandangan masyarakat
Indonesia pada umumnya dan Gayo pada khususnya dalam merealisasikan
perkawinan tersebut masing-masing daerah mempunyai aturan dan tata cara yang
berbeda serta mempunyai makna ciri khas tertentu yang telah terangkum dalam
adat budaya. Adat budaya Gayo senantiasa dijaga dan dilestarikan oleh
10
A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,3th
ed. (T. tp: PT. Al
Ma‟arif, 1993), h. 481. 11
Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, h. 482.
6
masyarakat dipandu dalam sebuah adat yang disebut Sarak Opat12
yang terdiri
dari reje (kepala desa), imem (imam) petue (tokoh masyarakat) dan rakyat.13
Melihat kebudayaan Gayo dari tradisi upacara perkawinannya. Dalam
tradisi ini suku bangsa Gayo juga mempunyai beberapa tahap dalam menjalankan
upacaranya. Mulai dari perkenalan (bersibetehen), pelamaran (munginte) sampai
selesainya upacara perkawinan dilakukan. Waktu perkawinan pada masyarakat
Gayo sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia pada umumnya
sangat terikat kepada baik buruknya suatu waktu untuk melaksanakan suatu hajat.
Demikian pula halnya dalam menentukan tanggal dan hari upacara perkawinan
selalu melihat hari dan bulan baik sesuai dengan cara kebiasaan perhitungan
dalam masyarakat Gayo.
Masyarakat Gayo yang telah mendapatkan pengaruh Islam melihat hari dan
bulan yang baik untuk melaksanakan perkawinan adalah pada bulan-bulan Haji
(Zulhijjah), yang merupakan tanggal-tanggal pada ketika bulan sedang naik.
Sedang waktu-waktu yang dipandang tidak baik dan selalu dihindarkan oleh
masyarakat untuk melaksanakan upacara perkawinan adalah pada bulan Rajab.
Remelen (Ramadhan), berapit (Zulkaidah).14
Dalam upacara perkawinan (ngerje) suku Gayo terdapat beberapa aktivitas
atau proses kegiatan adat yang merupakan satu kesatuan dalam upacara
perkawinan (ngerje) yaitu: adat meminang atau melamar, permintaan (teniron),
diserahkan kepada guru, mengantar emas dan penentuan waktu, pelaksanaan
perkawinan serta status perkawinan, upacara petawaren atau tepung tawar, serta
unsur kesenian yang meliputi seni rupa, musik, dan tari. Hal ini menjadi menarik
12
Sarak Opat adalah istilah yang diambil dari perkataan bahasa Gayo, yang terdiri dari dua
suku kata, yaitu; “Sarak” dan “Opat”. Sarak berarti Badan, wadah dan Opat berarti kekuasaan
yang empat, terdiri dari Raja, Petua, Imam, dan Rakyat. Jadi Sarak Opat bearti wadah aparatur
pemerintahan yang mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat berdasarkan hukum adat
yang selaras dengan syariat Islam. Lihat Muqaddimah Penulis dalam Buku Syukri, MA, Sarak
Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi
Daerah (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), hal. 19. 13
AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia Bupa Bandung,
1995), h. 241. 14
A. Sy Coubat, Adat Perkawinan Gayo: Kerje Beraturen (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984), h. 65.
7
untuk dikaji lebih mendalam dari segi adat upacara tradisional perkawinan suku
Gayo.
Penulis ingin mengulas tentang tradisi adat perkawinan Gayo yang mulai
memudar di kalangan masyarakat Gayo sekarang. Masih banyak masyarakat Gayo
yang kurang memahami tentang tradisi perkawinan yang telah turun temurun
dilakukan oleh nenek moyang mereka sendiri. Walaupun menurut Islam
perkawinan telah sah dengan hanya ada saksi dan mahar yang ditentukan, namun
kebudayaan atau adat dalam perkawinan harus dipertahankan. Untuk itu tujuan
penelitian ini agar masyarakat Gayo lebih mengenal tentang kebudayaanya sendiri
dan bisa melestarikannya kepada generasi selanjutnya agar tidak pudarnya tradisi
ini dalam kehidupan masyarakat Gayo.
B. Ruang Lingkup Masalah
Untuk memfokuskan masalah, maka penulis akan membatasi penulisan
tentang tradisi upacara adat perkawinan etnik Gayo kabupaten Aceh Tengah. Dari
tahap awal upacara perkawinan sampai selesai dan nilai-nilai Islam yang terdapat
dalam proses upacara perkawinan pada Masyarakat Gayo. Selain dari proses
perkawinan ini penulis juga akan membatasi penulisan tentang sejarah Etnik Gayo
dan letak geografisnya yang berada di Kabupaten Aceh Tengah.
C. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini menjadi terstruktur dan terinci, peneliti memfokuskan
pada masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pelaksanaan adat upacara perkawinan masyarakat Gayo
di Kabupaten Aceh Tengah?
2. Apa saja nilai-nilai Islam terdapat dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Gayo?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
8
1. Untuk mengetahui lebih dekat dan lebih jelas tentang proses upacara
adat perkawinan pada masyarakat Gayo.
2. Untuk persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Adab dan
Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam
Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.
Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Penulis dapat menambah wawasan pengetahuan tentang nilai-nilai
Islam yang terdapat pada setiap proses upacara adat perkawinan
masyarakat Gayo.
2. Dapat memberikan kontribusi sebagai bahan bacaan atau referensi
bagi masyarakat Gayo dan pemerintahan setempat.
3. Memberikan sumbangan sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang
merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang adat dan budaya
suku Gayo.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai suatu upacara adat perkawinan memang bukan hal
yang baru, tetapi telah banyak dilakukan oleh beberapa kalangan seperti penulisan
buku, skripsi, dan para sejarawan dan budayawan yang mengungkapkan tentang
perkawinan. Akan tetapi dalam penulisan skripsi dan buku tentang Adat
Perkawinan Masyarakat Gayo penulis belum menemukan pembahasan yang
terkait secara khusus tentang nilai-nilai Islam yang terdapat dalam proses adat
perkawinan Gayo, seperti:
Buku yang ditulis A.SY. Coubat yang berjudul Adat Perkawinan Gayo
dibahas bagaimana proses adat istiadat perkawinan masyarakat Gayo,
menjelaskan beberapa macam perkawinan suku orang Gayo, dan tata cara adat
yang harus dipenuhi dalam upacara perkawinan. Yang membedakan buku ini
dengan penelitian penulis lebih terfokus pada nilai-nilai Islam yang terdapat
dalam upacara perkawinan Masyarakat Gayo.
9
Buku yang ditulis M.J. Melalatoa yang berjudul Kebudayaan Gayo di dalam
buku ini dibahas bagaimana unsur-unsur kebudayaan di Masyarakat Gayo dan
problema modernisasi dalam kebudayaan Gayo. Dalam buku ini juga peneliti
belum menemukan nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara adat perkawinan
pada masyarakat Gayo.
Dalam Tesis yang berjudul Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan
“Ngerje” Kajian Estetika Tradisional Suku Gayo Di Dataran Tinggi Gayo
Kabupaten Aceh Tengah membahas tentang nilai-nilai estetika dalam upacara
perkawinan masyarakat Gayo yang berupa kesenian yang terdapat dalam
perkawinan tersebut dan menguraikan tentang simbol-simbol dalam perkawinan
di Gayo, akan tetapi tidak membahas tentang nilai-nilai Islam yang terdapat dalam
pelaksanan upacara adat perkawinan. Dalam Tesis ini pembahasannya terlalu luas
tidak hanya membahas perkawinan saja akan tetapi membahas tentang
keseluruhan dari kebudayaan atau adat istiadat Gayo. Sedangkan yang akan
penulis teliti hanya memfokuskan tentang proses pelaksanaan perkawinan dan
nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya.
F. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi budaya.
Objek kajian pendekatan ini adalah manusia dan budayanya, maka kurang
lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Agama merupakan
unsur-unsur dari kebudayaan yang eksistensinya tidak terlepas dari realitas
kebudayaan yang ada di sekelilingnya.15
Bahkan banyak upacara tradisional
dikembangkan dari ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan
budaya. Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah menjunjung tinggi agama
sehingga budaya Gayo berlandaskan agama Islam. Konsep seperti ini terdapat
pada semua daur hidup orang Gayo, termasuk pada adat perkawinannya. Unsur-
unsur Islam sangat kental pada adat perkawinan, mulai dari pencarian jodoh yang
15
Andrew Beatty, Varieties og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani
Saefuddin “Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi” (Jakaera: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 35
10
disebut bersibetehen (perkenalan) sampai munenes (menyerahkan pengantin
perempuan ke keluarga pengantin laki-laki).
Untuk mengetahui nilai-nilai Islam yang terdapat pada proses upacara adat
perkawinan masyarakat Gayo, maka penulis membutuhkan acuan agar penelitian
ini teratur secara konsep. Penelitian ini menggunakan teori Disseminasi yaitu teori
tentang pengaruh agama terhadap produk-produk kebudayaan. Seperti pada adat
upacara perkawinan masyarakat Gayo yang mengadopsi nilai-nilai Islam.
Menurut Kuntowijoyo bahwa nilai-nilai Islam tidak harus dilihat dan
dimaknai secara normatif dan bergaya Arab, namun Islam dimaknai dan
diwujudkan dalam bentuk lain yang mempengaruhi sistem budaya di tempat Islam
itu masuk.16
Selain itu, teori yang di kembangkan oleh Sayuti Thalib yaitu teori
receptie a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang
Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum
Islam. Teori ini menguatkan kembali teori yang dikemukakan oleh Van Den Berg
tahun 1845-1925 yaitu teori receptio in complexu.17
Dalam hal ini bisa dilihat
bahwa adat perkawinan pada masyarakat Gayo, perkawinan baru sah bila
dilakukan menurut hukum agama tanpa ada sebutan hukum adat.
G. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan dihadapkan pada tahap
pemilihan metode penelitian atau teknik pelaksanaan penelitian.18
Metode
penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian kualitaif yang bersifat
Deskriptif analitis yakni proses menganalisis data dengan cara mendeskripsikan
atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum.19
Maka dalam penelitian
ini penulis memaparkan dan menggambarkan sesuai dengan hasil dari data-data
16
Siti Uswatun Chasanah, “Penerimaan Masyarakat Betawi Muslim Terhadap Kesenian
Musik Gambang Kromong dan Tari Ronggeng Blantek di Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan.” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 15. 17
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 62. 18
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999),h. 54 19
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung:
ALFABETA, 2012), h. 147.
11
yang telah terkumpul dari informan dan buku-buku yang terkait dengan tradisi
upacara adat perkawinan pada masyarakat Gayo kabupaten Aceh Tengah.
Dalam metode penelitian ini, maka terdapat tahapan-tahapan yang biasanya
dilakukan oleh peneliti dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada.
Adapun langkah-langkah penulisan yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan studi kepustakaan,
yaitu studi mengenai sumber-sumber tertulis berupa, buku serta jurnal yang
diterbitkan. Untuk memudahkan pencarian dapat menggunakan katalog.
Berikutnya adalah menggunakan buku yang menjadi referensi, selain itu penulis
juga bisa mengetahuinya dari melihat catatan kaki (footnote).20
Langkah awal penulis lakukan untuk mencari sumber data yaitu dengan
mengunjungi berbagai Perpustakaan, seperti Perpustakaan Umum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Jakarta Yang
terletak di Gandaria Jakarta Selatan, Perpustakaan Universitas Indonesia, penulis
juga mengunjungi Perpustakaan Daerah Kabupaten Aceh Tengah, perpustakaan
Daerah Kabupaten Bener Meriah, dan dari perpustakaan pribadi milik Bapak
Yusradi Usman Al-Gayoni yang memiliki koleksi buku-buku tentang Gayo yang
banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya dalam upaya mendapatkan sumber, penulis juga melakukan
wawancara yang merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
memperoleh keterangan tentang tradisi upacara adat perkawinan yang penulis
tidak dapat diamati sendiri secara langsung.21
Dalam metode wawancara ini
penulis melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara langsung dan terus
20
M. Dien Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 111. 21
T.O. Ihromi, ed. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999), h. 51.
12
menerus untuk menggali informasi dari informan dan wawancara dilakukan lebih
dari satu kali.22
2. Analisis Data
Analisis data penelitian budaya berupa proses hasil pengkajian wawancara
dan dari sumber buku-buku yang diperoleh dari perpustakaan. Analisis data
dimulai dari terkumpul data-data yang masuk dan langsung dianalisis dengan cara
mengatur transkrip wawancara agar sempat mengumpulkan data baru untuk
melengkapi data yang telah ada.
Kegiatan Analisis data ini bersifat terbuka dan induktif. Maksudnya analisis
bersifat longgar dan tidak kaku. Analisis boleh berubah, kemudian mengalami
perbaikan dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk. Analisis data
induktif bertujuan untuk memperjelas informasi yang masuk, menguraikan data
mentah ditransformasikan secara sistematis menjadi unit terkecil dan
mengidentifikasi atau memilah-milah data yang lebih penting dan harus untuk
dipahami serta menentukan data mana yang harus dilaporkan.23
Data yang telah terkumpul perlu diperiksa kredibilitas atau keabsahan
sumber. Adapun teknik yang digunakan adalah triangulasi pengumpulan data
lebih dari satu sumber baik sumber wawancara ataupun sumber tertulis yang
menunjukkan informasi yang sama.24
Tenik ini dilakukan dengan cara pengecekan
ulang informasi setelah hasil wawancara di transkrip.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok
bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah
sebagai berikut :
Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi aspek-aspek utama penelitian,
yang diantaranya Pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan
22
M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulisan Skripsi Tesis dan Disertasi Untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2007), h. 89. 23
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2003), h. 215 24
Suwardi Edraswara, Metedologi Penelitian Kebudayaan, h. 219
13
permunculan masalah yang diteliti. Kedua, batasan masalah merupakan agar
terfokusnya penulisan. Ketiga, rumusan masalah merupakan penegasan terhadap
apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Keempat, tujuan yang
akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian
ini. Kelima, tinjauan pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada
sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Keenam, kerangka teori
menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan
masalah. Ketujuh, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang
akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. kedelapan,
sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Bab II, penulis menguraikan tentang gambaran umum Kabupaten Aceh
Tengah, untuk mengetahui tentang letak geografis Kabupaten Aceh Tengah dan
kebudayaan masyarakat Gayo aceh Tengah serta tentang sejarah singkat suku
Gayo.
Bab III, penulis akan membahas tentang proses upacara adat perkawinan
etnik Gayo, dari sebelum perkawinan sampai pelaksanaan perkawinan dan setelah
pelaksanaan perkawinan.
Bab IV, pada bab ini mengkaji hasil dari penelitian yaitu nilai-nilai Islam
yang terdapat dalam proses upacara adat perkawinan etnik Gayo Kabupaten Aceh
Tengah.
Bab V, merupakan penutup yang menyajikan bagian akhir dari penulisan ini
yang memuat kesimpulan dari keseluruhan pembahasan sebelumnya. Selanjutnya
adalah saran sebagai bahan acuan untuk perbaikan untuk berbagai hal yang dilihat
kurang sempurna yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan.
14
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH TENGAH
A. Letak Geografi Kabupaten Aceh Tengah
Wilayah Kabupaten Aceh Tengah merupakan suatu daerah yang berada di
tengah-tengah Provinsi Aceh, tepatnya pada posisi garis 4°10‟33” - 5°57‟50” LU
dan 95°15‟40” - 97°20‟25” BT. Kabupaten Aceh Tengah berbatasan dengan
Kabupaten lainnya yaitu:
1. Sebelah Utara : Kabupaten Bener Meriah
2. Sebelah Selatan : Kabupaten Gayo Lues
3. Sebelah Barat : Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Pidei
4. Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Timur.
Kabupaten Aceh Tengah digolongkan sebagai zona pertanian, hal ini sesuai
dengan kondisi daerah yang berada di dataran tinggi Bukit Barisan, yaitu berada
di antara 2.000-2.600 mdpl, dan aktivitas masyarakat bergerak di bidang
pertanian.
Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas 14 Kecamatan yaitu Kecamatan Linge,
Kecamatan Bintang, Kecamatan Lut Tawar, Kecamatan Kebayakan, Kecamatan
Pegasing, Kecamatan Bebesen, Kecamatan Kute Panang, Kecamatan Silih Nara,
Kecamatan Ketol, Kecamatan Celala, Kecamatan Jagong Jeget, Kecamatan Atu
Lintang, Kecamatan Bies, Kecamatan Rusip Antara. Kecamatan Linge sebagai
Kecamatan dengan Areal terluas 2.075,28 km² terdiri dari 24 desa definitif.
Sensus penduduk pada tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di
Kabupaten Aceh Tengah kurang lebih 158.733 jiwa. Terdiri atas 94.108 jiwa laki-
laki dan 91.625 jiwa perempuan, ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten
Aceh Tengah pada tahun 2014 didominasi oleh laki-laki.25
Luas wilayah Aceh Tengah mencapai 4.318,39 km² yang pada umumnya
berupa dataran rendah, dan bagian tengah wilayahnya berupa perbukitan. Wilayah
tersebut terdiri dari areal hutan sebanyak 49,19%, pertanian 1,84%, pemukiman
25
Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tengah, Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten Aceh Tengah 2015 (Katalog BPS: 1416.1105, Takengon, 2015), h. 18
15
18,04%, perkebunan rakyat 6,63%, perkebunan Negara 9,7%, perikanan 0,02%,
dan sisanya berupa semak, pepohonan, padang rumput, dan lain-lain
14,58%.Adapun areal hutan dibagi dalam beberapa fungsi, seperti hutan lindung
32,99%, hutan produksi terbatas 12,22%, hutan suaka margasatwa 19,77% dan
lainnya 35,02%.
Kabupaten Aceh Tengah beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 1.822
mm per tahun, dengan curah hujan yang banyak terjadi pada bulan September
sampai Desember. Seluruh sumber air yang terdapat di Kabupaten ini bersumber
dari pegunungan, melalui sungai- sungai dan danau. Temperatur udara terutama
kota Takengon, berkisar antara 15ºC-23ºC.
Kabupaten Aceh Tengah yang beribukota Takengon sering disebut dengan
daerah Dataran Tinggi Tanah Gayo dikarenakan daerah yang dikelilingi oleh
perbukitan dan pergunungan. Kemudian Aceh Tengah ini mempunyai suhu udara
yang sangat sejuk atau dingin. Ada beberapa pegunungan yang terdapat di
Kabupaten ini yaitu Burni Telong (2.600 mdpl) gunung Burni Telong merupakan
gunung yang berstatus aktif atau gunung berapi, Burni Bies (2.076 mdpl), Burni
Kul (2.670 mdpl), Burni Pepanyi (2.300 mdpl), Burni Klieten (2.640 mdpl).
Semua terletak di seputar Danau Laut Tawar. Tanah Vulkanik yang cukup subur
ada di seputar gunung-gunung tersebut di atas, misalnya di sekitar Burni Bies,
Burni Telong, dan Bur Kul. Wilayah yang subur inilah yang menjadi pusat
perkebunan kopi rakyat di Kabupaten ini.26
Di tengah kota Takengon terdapat Danau Laut Tawar, berukuran Panjang
17,5 km, lebar maksimum 4,5 km dan kedalaman sekitar 200 m. Danau Laut
Tawar ini dijadikan objek wisata alam,danau ini adalah sebuah kawasan tenang,
berpasir putih dan airnya tawar yang kadang-kadang hening bening menghijau
yang bersumber dari jumlah anak sungai atau mata air yang sejuk dari hutan-
hutan sekelilingnya, dan kadang-kadang bila angin timur bertiup kencang danau
ini bergelombang. Demikian juga sekelilingnya dihiasi dan dipagari oleh bukit-
bukit serta sejumlah kampung berderet antara lain Kampung Pedemun, Kampung
26
Ketut Wiradyana dan Taufikurrahman Setiawan, Merangkai Identitas Gayo (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor, 2011), h. 1-3
16
Toweren, Kampung Rawe, Kampung Nosar, Kampung Bewang, Kampung
Bintang, dan lain-lainnya sampai ke Kampung Mendale Kebayakan. Objek wisata
ini yang sangat disukai oleh para muda-mudi, masyarakat, maupun para
wisatawan, baik Domestik maupun Mancanegara.27
Danau ini sebenarnya menyimpan banyak dongeng yang menarik, yang
mana dongeng ini yang diambil dari cerita Gua Putri Pukes yang terletak di
bagian utara danau sedangkan Gua Loyang Koro, Loyang Kaming dan Gua Puteri
Ijo terletak di sebelah selatannya. Gua-Gua yang tersebut di atas sekarang
dijadikan Objek Wisata yang mengelilingi Danau Laut Tawar. Jadi bagi para
wisatawan tidak hanya menikmati keindahan Danau Laut Tawar akan tetapi juga
bisa mengunjungi Gua-Gua yang tertera di atas yang memiliki banyak cerita
(Legenda).28
Di Danau Laut Tawar memiliki ikan yang sangat khusus atau
berbeda dari ikan yang lain yaitu Ikan Depik,29
ikan tersebut tidak terdapat di
tempat-tempat lain hanya ada di Danau Laut Tawar dan Ikan Depik juga memiliki
cerita yang sangat unik.
B. Sejarah Singkat Etnik Gayo
Suku bangsa Gayo menurut daerah kediamannya dan tempat tinggalnya
dapat dibagi dalam 4 daerah yaitu Gayo Laut atau disebut juga Gayo Laut Tawar,
yang mendiami daerah sekitar Danau Laut Tawar, Gayo Deret atau Gayo Linge
yang mendiami daerah sekitar Linge (Isaq), Gayo Lues yang mendiami daerah
sekitar daerah Gayo Lues (Blang Kejeren), dan Gayo Serbejadi yang mendiami
daerah sekitar daerah Serbejadi-Sembung Lukup termasuk ke dalam daerah Aceh
Timur. Sedangkan suku Alas berdiam di Daerah Alas (Kuta Cane) yang
berbatasan dengan daerah Gayo Lues.
27
Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap
Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 41 28
A.R. Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Orang Gayo (Aceh Tengah: Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia ORSAT, 1998), h. 25. 29
Ikan Depik atau bahasa latinnya Rasbora Leptosoma yaitu tipe ikan yang habitatnya
cuma ada di Danau Laut Tawar Takengon, Kabupaten Aceh Tengah Kehadiran ikan Depik sama
tuanya dengan kehadiran orang Gayo di Aceh Tengah itu sendiri. Menurut legenda lokal, ikan
Depik datang dari nasi yang dibuang ke danau di daerah Bur Kelieten, lalu berkembang serta jadi
ikan khas daerah Gayo. Lihat https://hewanpedia.com/ikan-depik-atau-ikan-rasbora/ (diakses pada
hari Selasa 9 Januari Pukul 01:05 Wib.)
17
Suku bangsa Gayo adalah suatu suku di antara sekian banyak suku bangsa
Indonesia. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan
kebudayaan suku yang lain, mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat sendiri yang
berbeda dengan bahasa dan adat istiadat suku Aceh, Batak, Karo, dan Melayu.30
Bahkan dari ras suku Gayo sangat berbeda dengan suku Aceh. Akan tetapi
hubungan suku Gayo dan Aceh sangat rapat dikarenakan suku Gayo terletak di
tengah-tengah suku Aceh yang disebut Dataran Tinggi Tanah Gayo, dan
merupakan satu daerah yang disebut dengan provinsi Aceh.
Mengenai asal-usul suku Bangsa Gayo belum terungkap dengan jelas.
Banyak pendapat tentang asal-muasal masyarakat Gayo. Bagi masyarakat Gayo
sendiri jaman purbanya dikenal lewat tradisi lisan. Cerita semacam itu termasuk
dalam kategori cerita rakyat, terutama dalam bentuk legenda. Menurut cerita
turun-temurun suku Gayo di Indonesia pada mulanya bermukim di bagian Timur
dan bagian Utara Aceh meliputi wilayah aliran sungai antara Sungai Tamiang di
sebelah Timur dan aliran Sungai Peusangan di sebelah Barat. Berabad-abad
kemudian mereka pindah ke pedalaman menyusuri sungai-sungai yang ada,
termasuk Sungai Jambu Ayee. Akibat pertambahan dan perkembangan penduduk,
baik karena kelahiran maupun karena pendatang, guna memperluas usaha
pertanian.31
Cerita di atas berkaitan dengan sumber lain, seperti yang ditulis oleh H.
Zainuddin dalam bukunya Tarekh Aceh dan Nusantara bahwa penduduk Peurlak
yang tertua yang asalnya dari Melayu Tua pindah ke Seummah dan kemudian ke
Serbejadi, Lingga (Linge) dan Nuzur (Isaq) melalui sungai Peunarun.32
Sementara itu ada pula orang yang beranggapan bahwa orang Gayo adalah
berasal dari orang-orang yang lari dari daerah Peurlak Aceh Timur ke daerah
pedalaman karena tidak mau masuk agama Islam. Dan kata-kata “Gayo” sama
30
M. Affan Hasan, Kesenian Gayo dan Perkembangannya ( Jakarta: PN Balai Pustaka,
1980), h.19. 31
Ali Hasan Aman Kamaletan, dalam Mahmud Ibrahim, “Peranan islam Melalui Adat
Gayo Dalam Pembangunan Masyarakat Gayo” Seminar Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan
(Takengon: diselenggarakan MUI Aceh bekerja sama PEMDA/MUI Aceh Tengah, 1986), h. 2. 32
Sukiman, “Nilai-Nilai Pembangunan Islam dalam Masyarakat Gayo,” MIQOT. Vol,
XXXVIII, no. 1 (Januari-Juni 2014): h. 222.
18
artinya dengan kata-kata bahasa Aceh “kayo” artinya “sudah takut” yang
menyebabkan mereka lari ke daerah pedalaman. Anggapan seperti ini mungkin
sekali bersumber dari tulisan dalam buku “Hikayat Radja-Radja Pasai” yang
dituliskan sekitar abad ke 16 oleh pengarang yang belum dikenal. Tetapi menurut
Dr. Snouck menganggap tulisan di atas kurang bernilai jika dihubungkan dengan
asal-usul orang Gayo. Tulisan Hikayat Radja-Radja Pasai ini mungkin ditafsirkan
secara keliru seolah-olah kata-kata “Gayo” sama dengan “ka-yo” artinya “sudah
takut” sehingga lari ke pedalaman, sedang didaerah pedalaman menurut catatan
Marco Polo lebih dahulu sudah ada penduduk aslinya.
Menurut Snouck Hurgronje33
dalam bukunya “Tanah Gayo dan
Penduduknya” bahwa orang Gayo itu bukan orang yang lari ke pedalaman karena
takut untuk memeluk Agama Islam, tetapi orang Gayo itu ketika masih menganut
animistis sudah “Gayo” namanya. Bahkan ketika pada masa jaya-jayanya kerajaan
Islam Samudra Pasai, masyarakat Gayo juga sudah semua memeluk agama Islam
pada saat itu. Peralihan kepercayaan ini berlangsung lebih kurang antara tahun
1300 dan 1600 sebelum kegiatan penulisan hikayat raja-raja Pasai34
yang ada di
tulis oleh Snouck Hurgronje dalam buku yaitu:
“Adapun yang diceritakan oleh orang yang empunya cerita, ada suatu kaum
orang negeri itu, tiada ia mau masuk agama Islam. Maka ia lari ke hulu Sungai
Peusangan. Maka karena itulah dinamai orang dalam negeri itu Gayo hingga
sekarang ini.”35
Pernyataan Snouck Hurgonje ini selaras dengan pernyataan M.J Melalatoa
dalam bukunya “Kebudayaan Gayo” bahwa pada masa sebelum Islam, konon
sudah ada suatu kerajaan di daerah Gayo sekarang yang bernama kerajaan Linge.
Kapankah kerajaan ini mula pertama berdirinya, kiranya tidak ada suatu
keterangan yang pasti. Keterangan-keterangan yang ada dari berbagai sumber
33
Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana tentang Islam, yang kemudian menjadi ahli
Aceh dan ahli Gayo, telah terlibat secara langsung dalam perang Aceh, maupun dalam perang
Gayo Alas. Pada tahun 1891 Dr. Snouck diangkat menjadi penasihat bahasa-bahasa Timur dan
hukum Islam dari pemerintahan Hindia Belanda. Lihat M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan
Kolonialis Belanda, h. 100. 34
C. Snouck Hurgonje, Tanah Gayo dan Penduduknya. Penerjemah Budiman. S (Jakarta:
INIS, 1996), h. 63. 35
Hurgonje, Tanah Gayo dan Penduduknya, h. 62.
19
tampak ada kesimpangsiuran. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum abad
XVI di daerah Aceh ada beberapa kerajaan kecil yang berdaulat sediri-sendiri.
Masing-masing kerajaan itu memiliki adat istiadat sendiri, yang dalam banyak hal
berbeda dengan yang lain.
Kerajaan-kerajaan kecil itu baru dapat dipersatukan tahun 1514 menjadi
suatu kerajaan besar yang bernama kerajaan Darussalam di bawah sultan Ali
Mughayat Syah. Kerajaan-kerajaan kecil itu adalah kerajaan Peurlak, kerajaan
Pasai, kerajaan Pidie, kerajaan Indrajaya, kerajaan Benua, kerajaan Linge dan
lain-lainnya, kerajaan yang disebut terakhir (kerajaan Linge) adalah yang terdapat
di Gayo, yaitu konon sudah mulai berdiri sejak abad X.36
Dalam catatan perjalanan pengembara terkenal Marco Polo yang dikutip
oleh M.H. Gayo dalam bukunya yang berjudul “Perang Gayo Alas Melawan
Kolonialis Belanda” ketika dia singgah di Peurlak Aceh Timur, sekembalinya dari
Cina dalam perjalanan pulangnya dari Italia, pada tahun 1292. Dikatakan bahwa
ketika Marco Polo singgah di Peurlak tahun 1292, didapatinya penduduk peurlak
sudah memeluk agama Islam penduduk yang tidak mau masuk Islam telah
menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini menjumpai
kerajaan kecil dan laut kecil di pedalaman.
Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan
menyebut rajanya dengan “Ghayo o Ghayo” atau “ Raja Gunung yang suci” di
daerah “Lainggow” telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Lainggow”, dan
sudah ada hubungan dengan kerajaan Peurlak di Aceh Timur dengan kirim
mengirim bingkisan.37
Tidak menutup kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam
catatan marco Polo ini adalah “Kerajaan Linge” sedangkan yang dimaksud “laut
kecil” di pedalaman Peurlak adalah “Danau Laut Tawar” karena satu-satunya
danau di pedalaman daerah Aceh adalah Danau Laut Tawar, dan daerah Linge
terletak tidak jauh dari Danau Laut Tawar. Dari catatan Marco Polo ini juga
diketahui bahwa daerah pedalaman sudah ada terlebih dahulu penduduk asli
36
Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h. 38. 37
M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, h. 36-37.
20
sebelum masuknya Islam dan sebelum kedatangan pelarian dari kerajaan Peurlak
di Aceh Timur.
Dari ketiga pendapat yang dipaparkan oleh Snouck Hurgronje, M.J,
Melalatoa, dan dalam catatan Marco Polo adalah masuk akal, bahwasanya
penduduk Gayo adalah penduduk asli pribumi yang telah mendiami tanah Gayo
sebelum datangnya Islam ke Aceh, dan sebelum adanya pelarian masyarakat ke
pedalaman dikarenakan tidak ingin memeluk agama Islam.
C. Kondisi Kebudayaan Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah
1. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Gayo kabupaten Aceh Tengah disebut dengan Sarak
Opat. Kata Sarak Opat istilah yang diambil dari perkataan bahasa Gayo, yang
terdiri dari dua suku kata, yaiu “Sarak” dan “Opat”. Sarak berarti tempat atau
wilayah atau lingkungan kampung, sedangkan opat artinya empat unsur. Jadi
Sarak Opat berarti suatu badan atau wilayah kekuasaan yang terdiri dari empat
unsur yaitu Reje (Raja), Imem (Imam), Petue (Tetua), Rakyat. Fungsi dari Sarak
Opat untuk memelihara harkat dan martabat masyarakat yang mereka pimpin.38
Sarak Opat sudah ada sejak suku Gayo berada di Nusantara ini, sebelum
Islam masuk ke Gayo maka disebut dengan sistem Sarak Tulu (sarak tiga) yang
terdiri dari Reje, Petue, Rakyat. Akan tetapi setelah Islam masuk ke Tanah Gayo
maka di tambah Imem (imam) dan menjadi Sarak Opat (sarak empat). Masing-
masing fungsi dari empat unsur tersebut adalah reje (raja) berfungsi sebagai
pemimpin umum yang menegakkan memelihara keadilan, Imem (imam) berfungsi
sebagai membimbing dan melaksankan syari‟at terutama yang hukumnya fardhu
dan sunat, petue, (tetua) berfungsi sebagai meneliti dan mengevaluasi keadaan
rakyat, dan yang terakhir rakyat berfungsi menyerap aspirasi masyarakat dan
memusyawarahkan serta merumuskan pelaksanaanya39
38
Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid 1
(Takengon: Yayasan Makamam Mahmuda, 2010), h. 99 39
Ibrahim dan Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, h. 101
21
Sistem Sarak Opat dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan
hukum adat. Edet (adat) adalah hukum yang tidak tertulis, yang hidup
berkembang bersama kehidupan masyarakat dan dijalankan sepenuhnya oleh reje
(raja), sedangkan hukum adalah kaidah-kaidah Islam yang secara teoritis
sempurna dan merupakan ketentuan sesuatu yang datang dari tuhan.40
Maka dari
itu hukum adat Gayo, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam
harus tetap dipertahankan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam kata-kata adat Gayo “Ukum Ikanung
Edet, Edet Ikanung Ukum” artinya setiap hukum mengandung Adat, dan setiap
adat mengandung hukum. Jadi hubunga antara hukum agama dan hukum adat
terjalin sangat erat. Apabila hukum adat yang bertentang dengan hukum agama,
maka hukum agama harus didahulukan dari pada hukum adat. Begitu juga adat
istiadat itu tidak akan kokoh dan tidak terealisasikan kepada masyarakat kalau
tidak bersumber kepada syari‟at, oleh karena itu hukum adat dengan hukum
agama tidak dapat dipisahkan sebagaimana adat Gayo menyebutkan “syariat
urum edet lagu zet sifet” artinya syari‟at dengan adat laksana zat dengan sifat.41
Bisa dilihat bahwa syariat sebagai pagar dalam menjalankan adat istiadat di Gayo.
2. Kondisi Ekonomi dan Mata Pencarian
Dataran Tinggi Tanah Gayo merupakan daerah pegunungan dan memiliki
tanah yang sangat subur dengan hawa yang sangat dingin. Kabupaten Aceh
Tengah dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit kecil yang ditanami
pohon pinus dan pohon-pohon besar. Dengan kesuburan tanah dan hawa yang
dingin banyak masyarakat Gayo memanfaatkan kesuburan tanah untuk bertani.
perkebunan rakyat yang paling luas adalah kebun kopi dan persawahan.
Selain perkebunan kopi masyarakat Aceh Tengah banyak yang bersawah,
untuk memulai menanam padi masyarakat Gayo melakukannya dengan cara
serentak dalam satu kampung, hal ini dilakukan untuk pembagian saluran air besar
yang merupakan milik bersama-sama dan bersama-sama pula mengambil
40
C. Snouck Hurgronje, Gayo Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke-20.
Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 74. 41
Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap
Pelaksanaan Otonomi Daerah, h. 159-160
22
manfaatnya. Untuk memulai menanam padi masyarakat Gayo tidak mempunyai
perhitungan atau bulan-bulan yang dilakukan untuk menanam, mereka hanya
mengenal perhitungan bulan Hijriah, dan dengan ini sebenarnya mereka belum
tentukan bulan berapa mereka mulai menanam padi. Untuk menyesuaikan mereka
hanya bekerja dari pengalaman-pengalamannya saja, ketika setelah panen padi
maka dilihat dari batang padi (bebelen) terakhir sudah hilang dan berganti dengan
rumput, biasanya memakan waktu dua atau tiga bulan maka datanglah musim
sawah dengan memulai mengolah tanah.42
Setelah selesai menanam padi masyarakat Gayo memanfaatkan sawahnya
untuk menanam tanaman muda (senuen mude) seperti cabe, tomat, kol, dan
palawija. Dalam tradisi bersawah masyarakat melakukannya dengan bersama-
sama atau bergotong royong antara satu kampung dengan kampung lainnya.
Banyak proses yang dilakukan dalam menanam padi dari awal penyemaian bibit
padi sampai penyimpanan padi, maka dalam proses ini banyak dilakukan oleh
pemuda-pemudi sebagai ajang pencari jodoh.
Sistem pertanian yang lain adalah beternak dan nelayan. Beternak merupaka
perioritas ketiga setelah kopi dan padi, ternak biasanya dipelihara dan
dikembangkan di tempat-tempat khusus di Kampung Blang Rakal, Beruksah,
Uber-uber, Lane, Gerpa dan Bintang kalau yang diternak itu sejenis kerbau, sapi,
dan kuda, tapi kalau sejenis hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing, itik
maka itu cukup di rumah penduduk masing-masing.
Di samping beternak, masyarakat Gayo melakukan nelayan sebagai mata
pencahariannya. Adapun nelayan yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di
daerah pinggiran Danau Laut Tawar. Akan tetapi banyak dari mereka juga
melakukan pertanian bersawah. Karena keuletannya maka mereka lebih senang
bertani dari pada nelayan, nelayan hanya dilakukan sebagai sampingan.43
42
Hugronje, Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, h. 240-241 43
Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap
Pelaksanaan Otonomi Daerah, h. 198-199
23
3. Kondisi Agama
Agama bersifat cultural universal, yang artinya agama terdapat di setiap
daerah kebudayaan dimana saja masyarakat dan kebudayaan itu bereksistensi.44
Maka itu agama adalah fenomena universal dalam kehidupan manusia secara
menyeluruh, tidaklah menghernkan jika manusia sering didefinisikan sebagai
makhluk yang beragama.45
Agama sangat penting sebagai pedoman atau landasan
dalam menjalankan kehidupan manusia sebagai sistem kontrol manusia dalam
berprilaku atau mengerjakan sesuatu perbuatan.
Pada masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah pada umumnya memeluk
agama Islam yang taat, adapun yang menganut agama non muslim sebagian kecil
masyarakat pendatang yang menetap di Kabupaten Aceh Tengah yaitu orang
Cina. Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah dalam kehidupan
masyarakat sehingga faktor budaya, pendidikan, kesenian, bahkan dalam sistem
pemerintahan Sarak Opat dan adat istiadat Gayo selalu berkaitan dengan agama
dan norma yang ada. Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam
kehidupan sehari-hari, ini dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa
berjalan dengan agama.
44
Djamari, Agama Dalam Perpektif Sosiologi (Bandung: C.V. Alfabeta, 1988), h. 79. 45
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, Penelusuran Terhadap
Metodologi Clifford Geertz dan Sosial Interpretif (Medan: IAIN Press, cet. 1, 2000), h. 1
24
BAB III
TAHAPAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dari segi sosial bertujuan untuk menciptakan suatu rumah
tangga yang bahagia dan tentram. Kehidupan rumah tangga pada dasarnya adalah
kehidupan yang penuh kasih sayang dalam rangka mencapai tujuan perkawinan.
Kemudian perkawinan menurut hukum adat pada dasarnya sangat tergantung pada
struktur kekerabatan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Hal ini dikaitkan
dengan tujuan utama dari perkawinan untuk melahirkan keturunan. Oleh karena
itu sistem hukum perkawinan ditentukan oleh cara menarik garis keturunan dalam
keluarga yang bersangkutan.46
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.47
Dengan demikian, perkawinan bukan
sekedar hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama
berdasarkan kebutuhan biologis, tetapi perkawinan juga ditentukan oleh hukum.
Berdasarkan undang-undang di atas dapat kita lihat bahwa di Indonesia
memiliki banyak sistem kepercayaan menurut masing-masing untuk menentukan
keabsahan suatu perkawinan. Maka dari itu, dalam Pasal 2 ayat 1 undang-undang
perkawinan, perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum
agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini perkawinan yang berlaku
bagi orang Islam adalah aturan-aturan perkawinan yang diatur agama Islam.
Dengan demikian segala bentuk perkawinan yang bertentangan dengan hukum
Islam haruslah dikesampingkan.48
Dalam masyarakat Gayo perkawinan dilangsungkan menurut hukum Islam
dimulai dengan mencari jodoh yang bukan berasal dari sanak family atau keluarga
46
Djaren Saragih, Pengatar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Tarsito, 1980), h. 134. 47
Abdullah Qadir, Pencatatan Pernikahan Dalam Perspektif Undang-Undang dan
Hukum Islam ( Depok: Azza Media, 2014), h. 11. 48
Nasaruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 97
25
terdekat, sedangkan upacara perkawinannya mengikuti tradisi yang terdapat pada
suku Gayo. falsafah positif dari pola perkawinan ini adalah semakin besarnya
keluarga dan rumpun yang menjadi kerabat, sehingga benar-benar terwujud suatu
silaturrahmi. Perkawinan dalam masyarakat Gayo lebih dikenal dengan kata kerje
atau mungerje mempunyai bentuk berdasarkan tempat tinggal mempelai sesudah
menikah,49
secara garis besar bentuk perkawinan tersebut adalah: menurut bentuk
dan tempat menetap mempelai sesudah menikah ada beberapa jenis perkawinan di
tanah Gayo, secara garis besarnya ialah sebagai berikut:
1. Kerje juelen: yaitu bentuk perkawinan dimana keluarga laki-laki
berkewajiban memberi tanda kesanggupan memelihara calon istri
berupa rege (harga) kepada calon istri sebagai tanda dikabulkannya
teniron (permintaan) si calon istri. Melalui ini, istri wajib
meninggalkan orangtuanya dan pindah rumah ke rumah suami dan
mejadi belah (klen) dan mendapat harta di tempat suaminya.
2. Kerje angkap: yakni kebalikan dari kerje juelen. Pengertiannya ialah
calon suami tidak memberikan rege (harga) kepada calon istri, namun
sebaliknya malah calon suami seakan-akan dibeli oleh orang tua istri
sehingga suami harus pindah ke rumah istri. Anak dari hasil
perkawinan ini akan mengikuti garis keturunan ranji (ibu), menantu
laki-laki yang diangkap akan diberikan harta dari pihak keluarga istri.
3. Kerje ku-so, kini perkawinan ini jauh berbeda dari perkawinan juelen
dan angkap, karena dalam perkawinan ini pasangan yang baru
menikah tidak dipaksa untuk menikah di salah satu keluarga yang
bersangkutan, namun pasangan yang menikah ini diberi kebebasan
untuk memilih tempat tinggalnya, dan dari harta waris keduanya
mendapatkan harta dari keluarga masing-masing, seperti halnya
pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang modern saat ini.50
49
M. Saleh Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo (Banda Aceh: Badan
Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 16. 50
Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat Jilid II
(Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda, 2003), h. 74-75.
26
Dari ketiga jenis perkawinan dalam adat suku Gayo maka yang akan di
bahas dalam proses upacara perkawinan ini adalah kerja juelen (perkawinan
jualan). Pada umumnya masyarakat Gayo adalah masyarakat yang menganut
sistem kekerabatan patrilinial dengan melakukan perkawinan eksogami.
Perkawinan eksogami merupakan suatu perkawinan yang mengharuskan pihak
laki-laki untuk mengambil calon istrinya dari orang-orang yang berasal luar
belah51
nya sendiri.
Perkawinan seperti ini merupakan sesuatu yang diharuskan hukum adat.
Apabila hal ini dilanggarnya, maka akan diberikan ganjaran hukuman yang
berlaku seperti hukum farak (pengasingan). Hukuman tersebut pada dasarnya
bermaksud agar warga adat tetap setia dalam mematuhi segala kebiasaan yang
berlaku. Dalam masyarakat Gayo, perkawinan seperti ini disebut dengan
perkawinan antar belah,52
dan perkawinan juelen ini berlaku di masyarakat Gayo
dan ditetapkan sebagai perkawinan menurut hukum adat.
Adanya perkawinan angkap dan perkawinan kuso-kini karena timbulnya
maslahat yang ada pada masyarakat Gayo pada waktu dulu, yang mana
perkawinan angkap ini terjadi ketika anak perempuan satu-satu nya dilamar oleh
seorang laki-laki. Maka orang tua dari perempuan ingin anak perempuannya tidak
dibawa ke rumah keluarga laki-laki, terjadilah perkawinan angkap yang mana
calon mempelai laki-laki tinggal dan masuk ke belak keluarga perempuan.53
Begitu juga perkawinan kuso-kini yang terjadi pada saat sekarang.
Perkawinan ini merupakan bentuk perkawinan karena pengaruh luar maupun
sebagai akibat dari perkembangan masyarakat Gayo itu sendiri. Perkawinan ini
sebelumnya tidak dikenal dalam adat Gayo sebelumnya. Kuso-kini baru dikenal
sesudah zaman kemerdekaan sekitar tahun 1970-an, terutama antara pria Gayo
51
Belah di Gayo dapat disamakan dengan Klen. Belah merupakan satu kesatuan sosial
bersifat genealogi. Orang Gayo berpegang pada sistem perkawinan yang sifatnya patrilineal.
Dengan kata lain merea tidak dibenarkan nikah dalam satu belah. Bila sempat terjadi ini dianggap
tabu. Belah merupakan satu kampung atau satu marga. Lihat A.R. Hakim Aman Pinan, Hikayat
Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah ( Banda Aceh: CV. Rina Utama,1998), h. 34. 52
M. Jafar, Adat Perkawinan dalam Masyarakat Gayo Setelah Berlakunya Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah (Banda Aceh: Pusat Pengembangan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala, 1991), h. 27. 53
Wawancara Pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 September 2017
27
dengan wanita luar Gayo, demikian juga antara pria terpelajar dengan wanita
terpelajar. Mereka memilih untuk tempat tinggal tidak dengan orang tuanya.
Ketiga bentuk perkawinan di atas masih dipraktikkan di Gayo. Bagi
generasi muda sekarang, jika kepada mereka diberi kesempatan untuk memilih
keinginannya sendiri maka mereka memilih kuso-kini. Keadaan ini mungkin suatu
tanda lagi bahwa adat Gayo sudah mulai menyusut.54
B. Upacara Sebelum Perkawinan
Pada dasarnya secara umum proses perkawinan yang ada pada suku-suku
bangsa di Indonesia itu sama saja diawali dari perkenalan antara calon mempelai
laki-laki dan mempelai perempuan. Akan tetapi dalam pelaksaannya memiliki
nilai-nilai adat istiadat tersendiri. Maka dari itu pada masyarakat Gayo banyak
kita temukan upacara-upacara resmi yang terdapat dalam perkawinan masyarakat
Gayo Aceh Tengah.
Sebelum sampai kepada acara perkawinan maka ada beberapa proses atau
tahapan yang harus dilakukan satu persatu oleh calon pengantin, keluarga dan
sanak saudaranya yaitu:
1. Bersibetehen ( Perkenalan )
Pada zaman sebelum kedatangan Jepang ke Tanah Gayo beberu dan
Bebujang (Para remaja perempuan dan laki-laki) tradisi yang dilakukan untuk
mencari jodoh adalah dengan aktivitas murojo55
di masa lalu aktivitas ini
merupakan56
resam57
yang harus dilalui oleh para remaja.
54
Mukhlis Paeni, Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial di
Gayo-Aceh Tengah ( Arsip Nasional Republik Indonesia Kerja Sama Dengan Gadjah Mada
University Press, 2004), h. 96 55
Murojo adalah salah satu komunikasi para remaja yang dilakukan pada malam hari
melalui kolom rumah panggung yang dibatasi oleh lantai. Mereka berbisik-bisik dari sebuah
lobang atau celah lantai tanpa bisa berhadapan secara langsung dan bebas. Dalam keadaan
demikianlah mereka saling berpantun dan menjalin ikatan batin yang mungkin suatu saat bisa
dilanjutkan dengan pertemuan jodoh. Lihat M.J. Melalatoa, Kebudayaan Gayo (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1982)h. 95. 56
M.J. Melalatoa, Kebudayaan Islam, h. 96 57
Resam artinya kebiasaan yang bersifat umum dan menyeluruh di bawah adat dan adat
istiadat serta tidak dilarang untuk adat istiadat. Sebatas masih mendukung pelaksanaan adat
istiadat. Misalnya, dalam melaksanakan kenduri jamuan-jamuan lainnya. Makanan harus
dihidangkan menurut tamu yang hadir atau menurut kemampuan kehidupan yang bersangkutan.
28
Dengan perkembangan zaman diantara laki-laki dan perempuan sudah ada
terjadi dengan perkenalan sendiri dengan adanya sarana nuling (panen padi),
dimana ketika panen padi para pemuda yang untuk pekerja mujik (merontokkan
padi) diundang dari kampung yang lain dan perempuan mujes (membersihkan
padi yang telah dirontokkan). Pada saat itulah biasanya sering terjadi kontak
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Inilah salah satu sarana
perkenalan yang terjadi antara laik-laki dan perempuan pada masyarakat Gayo.
Setelah selesai panen padi, maka disitulah terjadi perkenalan yang lebih
mendalam lagi dengan menanyakan anak perempuan tersebut kepada bibi atau
saudaranya. Pada masyarakat Gayo sumang (pamali) jika seorang laki-laki yang
ingin mengenal seorang perempuan dengan menanyakan langsung kepada orang
tuanya. Apabila getaran hati bersambut, nada-nada cinta mulai bersenandung pada
kehangatan kasih yang menjalar biasanya akan berlangsung sampai kepada titik
kesepakatan untuk mengabadikannya kehidupan rumah tangga. Setelah
berjalannya perkenalan ini maka dari pihak perempuan langsung menyuruh
kepada pihak lelaki untuk munginte (meminang). dengan maksud untuk
menanyakan apakah seorang perempuan ini sudah ada yang munginte (melamar).
1. Munginte (Melamar)
Melamar atau meminang biasa berlaku di setiap daerah yang terdapat di
Nusantara ini, akan tetapi cara pelaksanaannya berbeda-beda menurut suku
bangsa masing-masing. Dalam adat suku bangsa Gayo melamar dalam bahasa
Gayo adalah munginte. Tujuan dari munginte (melamar) ini untuk mengetahui
atau menanyakan apakah anak perempuan tersebut sudah ada yang munginte
(melamar) dan untuk mengenalkan antara anak laki-laki dan perempuan yang
hendak dinikahkan oleh orang tuanya.58
Sebelum melaksanakan munginte, orang tua pihak laki-laki di rumahnya
terlebih dahulu melakukan pakat sara ine (mufakat seibu bapak) atau pakat
keluarga inti. Dalam musyawarah ini membahas tentang peminangan yang akan
Lihat Majelis Adat Gayo (MAG) Bener Meriah, Nilai-Nilai Adat dan Kekayaan Bahasa Gayo ( T.
Tp.: Mahara Publising, t.t.), h. 44 58
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Banda Aceh, Minggu, 21 Mei 2017
29
dilaksanakan dan membahas calon pengantin perempuan yang akan dilamar.
Kemudian tidak lupa juga yang dibahas yaitu telangke (utusan) yang dipercaya
oleh orang tua laki-laki untuk melamar ke rumah orang tua perempuan. Setelah
sepakat dengan keputusan musyawarah maka dilaksanakan munginte.59
Munginte (melamar) dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Pada saat munginte tidak dilakukan oleh orang tua laki-laki sendiri,
tetapi perwakilan dari keluarga tertentu yang ditunjuk untuk melamar dalam adat
Gayo disebut telangke. Telangke (utusan) yang pergi untuk melamar sekitar tiga
atau lima pasang suami istri yang terdiri dari kerabat terdekat dari keluarga
mempelai laki-laki.60
Telangke ini sangat berperan besar dalam pelaksanaan
perkawinan dari mulai melamar untuk memadupadankan maksud tujuannya ke
rumah pihak perempuan sampai terlaksananya akad nikah.
Dalam acara munginte keluarga laki-laki harus membawa perlengkapan atau
bahan-bahan ke keluarga pihak perempuan dengan ketentuan yang telah menjadi
aturan adat. Adapun bahan-bahannya sebagai berikut:
1. Beras 1 bambu dimasukkan ke dalam sumpit bergampit (sumpit
khusus untuk meminang).
2. Sejumlah uang dibungkus dengan kain putih, dan masukkan juga
kedalam sumpit.
3. Batil bersap (cerana) yang berisi sirih.61
Di dalam proses munginte (melamar) ada namanya penampongni Kuyu.62
penampongni kuyu ini terjadi ketika dari pihak laki-laki menanyakan kepada
pihak keluarga perempuan apakah sudah ada yang datang melamar anak
perempuan tersebut, jika belum ada yang datang melamar maka telangke (utusan)
dari laki-laki menyerahkan penampungni kuyu dengan maksud bahwa pihak dari
59
Wawancara Pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017 60
AS. Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori) (Jakarta: T. pn. , 1988), h. 19. 61
M. Saleh Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo ( Banda Aceh: Badan
Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 20 62
Penampongn Kuyu merupakan benda penyerahan (uang, beras satu bambu, batil
bersap) kepada orang tua si gadis dengan maksud selama belum ada kepastian diterima atau
tidaknya suatu lamaran, pihak orang tua si gadis belum dapat menerima lamaran orang lain,
penampong „penghalang‟, kuyu „angin‟. (Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Minggu 21 Mei
2017).
30
laki-laki serius ingin melamar dan memperistri anak perempuan tersebut. Oleh
karena itu selama terjadi penampung kuyu tidak diperbolehkan menerima lamaran
dari laki-laki yang lain. Biasanya penampung kuyu ini terjadi sekitar 3 hari atau
sampai seminggu.63
Kemudian selama terjadinya penampung kuyu maka dari pihak perempuan
mulai terjadi tradisi amal nome nipi jege64
yang berarti mimpi ketika tidur dan
jaga. Sebelumnya para calon mempelai tidak saling kenal maka dari itu pihak dari
perempuan bermaksud untuk menyelidiki calon mempelai laki-laki. Biasanya
dalam adat Gayo pihak dari perempuan bermusyawarah kepada kerabat-
kerabatnya tentang lamaran tersebut.65
Sementara itu kepada gadis yang dipinang
juga ditanyakan apakah dia suka kepada laki-laki yang meminang. Tentu saja
pihak kerabat tidak luput menilai laki-laki yang meminang sesuai harapan yang
terkandung dalam nilai masyarakat Gayo umumnya. Menurut lazimnya meskipun
pihak gadis jauh-jauh hari sudah menilai dan sudah setuju dengan pemuda yang
meminang, tetapi waktu untuk berhamal-hamal tetap ada untuk menjaga harga
dirinya.66
Setelah selesai jangka waktu amal nome nipi jege maka dari pihak laki-laki
datang kembali ke rumah orang tua perempuan untuk munulak leng
(mengembalikan perkataan dalam maksud untuk menanyakan kembali diterima
atau tidaknya lamaran) yang dibicarakan kali ini tentang kepastian. Jika dari pihak
perempuan sudah menyelesaikan musyawarah selama waktu yang telah di
tentukan dan mengatakan bahwa mereka menerima lamaran dari pihak
perempuan, maka dari pihak laki-laki menanyakan berapa besarnya jumlah mahar
dan teniron (permintaan). Apabila dari keluarga calon mempelai laki-laki setuju
63
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Minggu 21 Mei 2017. 64
Tradisi amal tidur nipi jege adalah tenggang waktu beberapa hari bagi keluarga beberu
(gadis) yang dipinang untuk berpikir, beristikharah, sebelum memberikan jawaban apakah
menerima dan menolak pinangan dari telangke (utusan) keluarga bebujang (laki-laki). Berhamal
tidur nipi jege merupakan waktu yang disediakan dalam tradisi Gayo, bagi keluarga beberu yang
dipinang untuk menyelidiki akhlaq atau perilaku, serta keadaan keluarga si bebujang (laki-laki)
yang meminang. “maksudnya meneliti akhlaq dan keadaan calon mempelai laki-laki dan
keluarganya. Amal tidur nipi jege (mimpi ketika tidur dan jaga). Lihat Mahmud Ibrahim, Syari’at
dan Adat Istiadat (Takengon: Yayasan Maqamah Mahmuda Takengon, 2006), h. 77. 65
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017 66
Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h.100-101
31
dan sanggup untuk memenuhi mahar dan teniron (permintaan) nya dari pihak
perempuan maka mereka menentukan kapan akan mengantar permintaan tersebut
kepada keluarga perempuan.
2. Mujule Emas (Mengantar Mas)
Dalam bahasa Gayo selain mujule emas sering juga disebut sebagai Turun
caram (mengantar uang atau emas), mujule mas adalah menyerahkan sebagian
dari adat (mahar, teniron,) yang telah diputuskan jumlahnya sewaktu perundingan
yang dilakukan oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan.67
Pada dasarnya mahar
dan teniron (permintaan) itu sama, akan tetapi pada masyarakat Gayo itu berbeda
jika mahar dalam Agama itu wajib dan berupa emas, tetapi jika teniron
(permintaan) biasanya berupa kebun, sawah, peternakan (kerbau), mesin jahit,
perlengkapan kamar atau perlengkapan rumah. Jadi dalam masyarakat Gayo
jarang jika seorang anak perempuan dinikahkan hanya dengan mahar atau emas
dan biasanya mahar ini hanya berjumlah sedikit sekitar tiga sampai lima gram mas
saja. Akan tetapi teniron (permintaan) ini yang berjumlah sangat besar seperti
yang disebut di atas.68
Jika di dalam munginte (melamar) hanya sanak keluarga yang datang untuk
melamar maka berbeda dengan mujule emas (mengantar emas) yang datang ke
rumah orang tua perempuan tidak hanya keluarga saja akan tetapi pemangku adat
atau Sarak Opat yang terdiri dari Raja, Imam, Petua, Masyarakat. Dalam rangka
proses mujule emas ini bukan lagi pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga sendiri
tetapi sudah diserahkan kepada pemangku adat. Maka sebelum mujule emas
keluarga dari laki-laki meminta ijin atau meminta restu bahwa anaknya akan
menikah, dan memberi tugas perkawinan tersebut kepada Sarap Opat. Setelah
perundingan kepada aparat kampung untuk menyerahkan kegiatan tersebut. Maka
keesokan harinya dilaksanakan mujule emas yang disertai keluarga dan
rombongan Sarak Opat.
67
A. Sy. Coubat, Adat Perkawinan Gayo Kerje Beraturen, (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984), h. 58. 68
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017
32
Ketika sudah selesai penyerahan barang teniron dan emas kawin, maka para
rombongan calon mempelai laki-laki dan dari pihak perempuan membicarakan
masalah kapan pelaksanaan munyawah ukum (akad nikah) dan biasanya untuk
melangsungkan munyawah ukum (akad nikah) dilakukan sekitar 10 hari atau 2
minggu setelah mujule emas (mengantar mas). Untuk menentukan hari
pelaksanaan munyawah ukum kedua belah pihak bermusyawarah untuk
menentukan waktu yang baik untuk menyelenggarakan munyawah ukum.
Setelah melakukan mujule mas (mengantar mas) maka ada tradisi rapat
besinte (rapat keluarga terdekat) di masing-masing keluarga calon mempelai baik
laki-laki maupun perempuan. Rapat besinte (rapat keluarga) dilakukan untuk
memusyawarahkan hasil keputusan tanggal penentuan munyawah ukum (akad
nikah) dan musyawarah beguru (memberi nasehat kepada calon pengantin)
terutama pemberian tugas kepanitiaan dalam membantu orang tua calon
pengantin.
Biasanya rapat besinte (rapat keluarga) dilakukan pada malam hari, supaya
semua keluarga memiliki waktu luang untuk melakukan rapat tersebut. Kemudian
pada malam tersebut orang tua calon mempelai pengantin menyerahkan kegiatan
acara pernikahan kepada masyarakat kampung yang diutus oleh salah satu Sarak
Opat. Sarak Opat akan mengambil tugas ini untuk kembali disampikan pada
semua masyarakat kampung yang disebut rapat kampung. Pada rapat ini Gecik
(kepala kampung) akan menyampaikan kepada masyarakat bahwa dalam
kampung tersebut akan ada melakukan acara pernikahan dan melakukan
pembagian panitia untuk membantu keluarga calon mempelai.
3. Berguru
Berguru adalah salah satu tradisi yang ada dalam acara perkawinan
masyarakat Gayo. Berguru ini merupakan acara khusus yang cukup khidmat yang
dilakukan disetiap masing-masing keluarga calon mempelai. Situasinya sangat
berbeda sekali dengan acara-acara lainnya. Calon mempelai dihadapkan pada
pengetua adat atau Sarak Opat, serta dilaksanakan oleh orang tua calon mempelai
dan juga sanak saudara yang terdekat.
33
Waktu pelaksanaan berguru dilakukan pada malam sebelum acara mah
bai.69
Beguru adalah upacara dimana pengantin perempuan dan laki-laki
diserahkan kepada imem (imam) masing-masing untuk diberi nasihat yang
berhubungan dengan maslah-masalah keagamaan.70
Nasihat atau amanat yang
akan diajarkan mengenai beberapa hal yang dianggap penting, seperti:
a. Melatih membacakan dua kalimah syahadat secara benar dari berbagai
segi (maharajal huruf, panjang bacaan harakat dsb).
b. Mampu membacakan rukun Islam dan rukun Iman serta mengerti dan
paham akan maksud yang terkandung di dalamnya.
c. Cara mengucapkan kalimat penerimaan saat dilakukannya ijab kabul
yang ditanyakan atau disampaikan oleh wali calon istri.
d. Menghafalkan do‟a melakukan hubungan kelamin dan do`a mandi
junub.
e. Mengetahui cara bagaimana untuk menghadapi masalah yang dihadapi
dengan mertua, famili dan saudara-saudara, masyarakat, serata
bagaimana menghadapi suami/istri.
f. Mengetahui aturan adat istiadat serta kebiasaan adat yang berlaku di
tengah masyarakat.
g. Serta hal-hal lain yang dianggap perlu.71
Biasanya pelaksanaan berguru di pihak perempuan akan lebih lama dari
pada pihak laki-laki, hal ini dikarenakan berguru di pihak perempuan akan ada
sebuku (nangis bersedu-sedu) di antara calon penganti wanita dengan orang
tuanya. Sebuku72
yang dilantunkan dapat berupa permohonan maaf anak kepada
orang tua dan sebaliknya, menyampaikan rasa terima kasih terhadap jasa orang
tua, permintaan ijin untuk meninggalkan rumah (perpisahan kepada keluarga), dan
dapat juga berisi penyesalan akan hal-hal yang telah dilakukan selama hidup
69
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017 70
Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h. 104 71
Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 135-136 72
Sebuku adalah isak tangis seorang beberu (gadis) meminta maaf kepada kedua orang
tuanya dengan merajut kata-kata nan indah terpesona, para pendengarnya hanyut dalam keharuan
dan sedih. Yang tidak bisa mengungkapkan kata-kata nan indah itu maka diajar oleh orang tua atau
temen sepergaulan yang sangat dekat untuk persiapan acara berguru. Lihat Andrian Kausyar,
Tetah Cara Berguru Muluwahi Sinte (Jakarta: Motik Press, 2001), h. 52.
34
dengan keluarga. Sebuku ini dilakukan seraya diiringi isak tangis keluarga dan
calon mempelai yang sedang bersalaman ataupun dalam keadaan saling
berpelukan.73
Rasa sedih pada saat berguru dapat menjadikan para anggota
berguru hanyut dalam kesedihan yang mendalam terutama bagi calon pengantin
itu sendiri dan kawan sepermainannya.
Adapun perlengkapan pada saat berguru adalah sebagai berikut:
a. Persembahan untuk reje terdiri dari:
1. Beras satu bambu
2. Pinang tiga buah
3. daun sirih berjumlah tujuh helai
4. Bahan-bahan ini dimasukkan kedalam wadah ditutup dengan kain
merah
b. Persembahan untuk imem terdiri dari:
1. Beras satu bambu
2. Tiga buah pinang
3. Satu buah jeruk purut
4. Satu butir telur ayam kampung
5. Sebuah jarum yang telah dibubuhi benang jahit putih di tancap di
kunyit
6. Daun sirih berjumlah tujuh helai
7. Bahan-bahan ini di masukkan dalam wadah dan ditutup dengan
kain putih
c. Perlengkapan tepung tawar
1. Dedingin : Kalanchoe pinnata
2. Celala : Coleus sp
3. Batang Tegu : Dactyloctenium aegyptium
4. Bebesi : Palpalun commersonii sangiunalis
5. Ongkal : Sejenis tumbuhan berdaun agak kecil dan
memanjang, hidup di pagar-pagar.
6. Wih sejuk : Air dingin
73
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017.
35
7. Oros : Beras74
Bahan-bahan yang di atas harus ada pada proses pelaksanaan berguru
karena sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang orang Gayo sampai sekarang.
Sebagai penerusnya masyarakat Gayo sampai sekarang tidak lupa dengan tradisi
yang telah dilaksanakan oleh orang terdahulunya.
C. Upacara Pelaksanaan Perkawinan
Acara pelaksanaan perkawinan merupakan acara inti dari berbagai proses
dan tahapan dalam perkawinan adat. Dalam agama Islam perkawinan dianggap
sah setelah melakukan ijab kabul, begitu juga dengan tradisi perkawinan pada
masyarakat Dataran Tinggi Tanah Gayo (Aceh Tengah). Namun dalam suku Gayo
memiliki beberapa proses pelaksanaan perkawinan. Sebelum dan sesudah akad
nikah ada proses adat yang harus dilakukan pada hari pelaksanaan perkawinan, di
antaranya adalah:
1. Mah Bai (Mengantar Pengantin Pria)
Mah bai (mengantar penganten pria) adalah proses mengantar calon
pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita untuk keperluan akad nikah,
sesampainya rombongan calon pengantin laki-laki mereka tidak langsung
mendatangi rumah keluarga calon istrinya, akan tetapi mereka berhenti di salah
satu rumah yang dekat dengan rumah keluarga calon istri yang disebut rumah
selangen (rumah selangan). Rumah ini biasanya disediakan oleh pihak keluarga
calon istri, di rumah selangen ini rombongan bei (calon mempelai laki-laki)
menanti datangnya kiriman dari pihak keluarga beru (calon mempelai perempuan)
untuk menyambut rombongan bei yang secara adat membawa mangas/batil
bersap (perlengkapan sirih). Biasanya yang menyambut ialah seorang tetua
perempuan dari pihak perempuan, rombongan bei akan berangkat setelah adanya
kabar dari pihak beru bahwa mereka sudah siap menanti kedatangannya.75
74 Selian. Rida safuan. “Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan “ngerje” Kajian
Estetika Tradisional Suku Gayo di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah,” (Tesis S2
Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2017.) h, 183 75
Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017
36
Mempelai laki-laki di arak ke rumah calon mempelai perempuan, calon
mempelai mengambil posisi tengah, serta berjalan diapit oleh dua orang disebut
appitte (yang mengapit kanan dan kiri mempelai laki-laki) lalu diikuti oleh Sarak
Opat dan rombobongan. Untuk memeriahkan suasana, mereka memainkan alat
musik yang disebut canang yang terdiri dari canang, memong, gong, gegedem,
dan, rebana. Biasanya yang memainkan canang adalah orang tua yang mengerti
tentang adat.
Sesampai calon mempelai laki-laki di depan halaman rumah calon
mempelai perempuan maka mereka disambut dengan Tari Guel (tari penyambutan
untuk pernikahan) para penari memakai pakaian Kerawang Gayo (baju khas adat
Gayo) sedangkan penari tunggal atau Aman Gajah memakai upuh ulen-ulen (kain
berbentuk persegi empat yang bercorak kerawang Gayo yang diselimuti ke
penari). Biasanya yang menari beberu sedang (anak kecil sekitar umur 10-13
tahun) kemudian mempelai laki-laki dibawa oleh penari tunggal ke depan pintu
rumah mempelai perempuan.76
Setelah itu dilakukan petawaren (Tepung Tawar) yang dilakukan oleh tetue
(orang yang berusia tua). Adapun tata cara yang dilakukan ialah:
- Pengantin pria diselimutkan dengan kain ulen-ulen77
- Kedua telapak tangannya dirapatkan dan menghadap ke atas (posisi
menerima)
- Dedaun penawar dicelupkan ke dalam buke (tempat air dari tempurung
kelapa) kemudian diletakkan di telapak tangan mempelai dan
berpindah ke dahi. Kegiatan ini diulangi sampai tiga kali.
- Beras digenggam, diletakkan di atas tangan pengantin kemudian
bersama telapak tangan disentuhkan ke dahi tiga kali.
- Pendamping ahli penawar menabur beras seadanya ke arah majlis yang
hadir.78
76
Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 160 77
Upuh ulen-ulen yakni kain dengan motif kerawang Gayo yang merupakan selimut
penganten pada bagian upacara tertentu. 78
Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo, h. 27
37
Setelah acara Tepung Tawar maka mempelai laki-laki dipersilahkan masuk
dan duduk di atas tikar ampang berlapis (tikar bercucuk/bersulam kerawang Gayo
ukuran selingkar duduk bersila sebanyak tiga lapis dengan ukuran berbeda-beda).
Sebelum dilakukan akad nikah maka reje (kepala desa) yang merupakan salah
satu anggota Sarak Opat dari mempelai laki-laki terlebih dahulu menyerahkan
rempele (mempelai laki-laki) kepada reje pihak mempelai perempuan. Penyerahan
ini dilakukan dengan adat melengkan (mengucapkan kata-kata adat yang penuh
puisi), Pidato ini berisikan yang paling pokok adalah menyerahkan calon
mempelai untuk menerima akad nikah.79
2. Munyawah Ukum (Akad Nikah)
Proses munyawah ukum (akad nikah) merupakan acara yang paling puncak
yang mendapatkan perhatian dari para majlis atau undangan, proses ini juga
sangat sakral. Dalam proses ini yang dilakukan oleh calon pengatin laki-laki
adalah untuk melaksanakan ijab qabul antara calon mempelai laki-laki dengan
wali orang tua dari calon mempelai perempuan. Posisi dalam ijab kabul mempelai
laki-laki berada di tengah-tengah yang diapit oleh Sarak Opat dari mempelai laki-
laki, sedangkan di depan mempelai laki-laki seorang wali orang tua dari mempelai
perempuan dan diapit oleh Sarak Opatnya, dalam pelaksanaan akad nikah
mempelai perempuan tidak dikenankan hadir, akan tetapi mempelai perempuan
menunggu di suatu ruangan tertutup atau kamar. Kedua belah pihak Sarak Opat di
sini guna untuk sebagai saksi dan juga pemangku adat.80
Ketika hendak melakukan ijab kabul wali pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki berkumur-kumur satu kali pada tempat tertentu yang sudah
disiapkan, agar pengucapan ijab kabul lancar dan jelas. Banyak wali perempuan
sebelum melakukan ijab kabul, terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat
syahadat yang diikuti oleh mempelai laki-laki dan shalawat kepada Nabi
Muhammad S.A.W. kemudian mengucapkan ijab: Aku nikahkan akan dikau
anakku pulan.....menjadi isterimu dengan maharnya..... pengantin laki-laki
langsung menjawabnya dengan qabul: Aku terima nikahnya dengan maharnya.....
79
Wawancara pribadi dengan Sali, Selasa, 11 Juli 2017 80
Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 163
38
Kata-kata ijab dan qabul tidak lagi dalam bahasa Gayo asli tetapi bahasa Melayu
yang dipengaruhi oleh apa yang disebut bacaan Jawi.81
Mengucapkan satu kali ijab dan kabul dengan paseh dan lancar merupakan
puncak kebahagian tersendiri bagi keluarga kedua belah pihak yang ditandai
dengan ucapan hamdallah. Kalau ijab qabul berulang-ulang sampai tiga atau lima
kali maka wali yang memberi ijab diganti dan mempelai laki-laki yang menerima
akad (qabul) ipegaguten artinya disuruh makan rumput, maksudnya yang
bersangkutan diajarkan kembali oleh imem (imam) dari pihak mempelai laki-laki
cara menjawab ijab dengan benar dan lancar di luar rumah upacara. Seluruh
keluarga merasa malu kiranya pegaguten terjadi karena tersebar di kedua
kampung mempelai.82
Setelah selesai ijab qabul maka berubah status pengantin laki-laki menjadi
Aman Mayak dan pengantin perempuan Inen Mayak (sebutan pengantin laki-laki
dan perempuan dalam bahasa Gayo). Itu adalah panggilan resmi bagi mereka
selama belum punya anak, sedangkan nama aslinya tidak akan pernah terdengar
dipanggil lagi.83
3. Upacara Delem (Kamar Mempelai)
Setelah selesai ijab qabul, aman mayak bangun dari tempat duduknya seraya
menyembah atau berjabat tangan kepada orang tua/mertua, Sarak Opat serta hal
layak yang hadir di sekelilingnya. Dengan bantuan kedua apitnya (Sarak Opat
yang terdapat di sebelah kanan dan kiri mempelai laki-laki), aman mayak
diserahkan langsung kepada pengasuh (imem perempuan) untuk memasuki delem
(kamar mempelai) untuk melakukan beberapa proses upacara.
Ketika aman mayak memasuki delem maka di depan pintu aman mayak
roroh besi (menginjak besi), besi di sini dimaksud ialah makna logamnya. Besi
merupakan lambang dari kekuatan, dan keperkasaan. Maksudnya suatu simbol,
supaya aman mayak selalu kuat dalam pendirian, kuat lahir batin, kuat dalam
segala hal yang dipandang positif. Besi atau logam dibungkus dengan kain putih,
81
Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syariat dan Adat Istiadat, Jilid II, h.
72 82
Coubat, Adat Perkawinan Gayo Kerje Beraturen, h. 104 83
Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori), h. 45
39
lalu diletakkan di tengah-tengah pintu masuk. Sambil aman mayak melangkah
kakinya memasuki kamar lebih dahulu menginjak benda ini dengan kaki
kanannya.
Kemudian aman mayak duduk di atas ampang samping inen mayak yang
sudah disediakan, pengasuh inen mayak melaksanakan upacara tepung tawar bagi
kedua mempelai pengatin dengan cara seperti yang telah dilakukan sebelumnya.
Setelah ditepung tawar terjadi proses semah pincung, aman mayak
menyerahkan sebentuk logam pada inen mayak ada juga yang memberikan
sebentuk emas. Benda ini dibungkus dengan sepotong kain putih, serta sedikit
disertai beras, dalam arti lambang kehidupan, suci dan bahagia.
Sedangkan semah tungel terjadi dalam posisi duduk berhadap-hadapan.
Aman mayak mengangkat kedua lututnya. Kedua telapak kaki merata di tikar serta
kedua ibu jari kaki dirapatkan, lutut dirapatkan, kedua tangan masing-masing jari
kanan dan kiri dijumpakan, telapak tangan tidak dalam keadaan rapat. Kemudian
inen mayak mendekati aman mayak untuk menyembah lutut aman mayak.
Kedua mempelai masih dalam posisi berhadap-hadapan muka. Maka
mereka melakukan sapu muke (sapu muka). Air sudah terlebih dahulu disediakan
oleh pengasuh (imem perempuan). Air ini dibubuhi beberapa jenis bunga yang
dipandang elok dan baik. Kemudian aman mayak merendamkan tangan kanannya
kedalam air kemudian langsung disapukan kemuka inen mayak sebanyak tiga kali
berulang-ulang. Adapun tujuan dari sapu muke (sapu muka) tersirat makna air itu
adalah suci, dingin, atau sebagai simbol kehidupan serta lambang kesucian. Dan
sapu muke ini juga berarti ingin bersih dalam segala hal dalam menjalani rumah
tangga mereka.
Sejak aman mayak menerima ijab kabul, sampai selesainya berbagai
ketentuan yang berlaku dalam adat tetap didampingi pengasuhnya. Kedua
mempelai yang duduk di atas ampang, kembali menerima arahan dari
pengasuhnya untuk mencuci tangan kanan masing-masing mempelai. Selanjutnya
pengasuh meyuruh kemul (genggam) pulut kuning bersempelah (inti/isi)
kemudian aman mayak menyangkan pulut yang ia genggam itu ke mulut inen
40
mayak. Inen mayak juga melakukan hal yang sama, ini disebut bersesulangen
(saling sulang menyulang).
Usai besisulangen (saling menyulangi) inen mayak melakukan tatang batil
(mengangkat cerana) serambi menyerahkan sirih untuk dinikmati oleh aman
mayak. Aman mayak membuka sab (bungkusan cerana), serta mengambil ramuan
sirih ini.84
D. Upacara Setelah Perkawinan
Proses upacara perkawinan di Gayo belum selesai hanya sampai sahnya
menjadi pasangan suami-istri antara kedua mempelai. Ada beberapa proses lagi
yang dilakukan baik di rumah aman mayak atau inen mayak (sebutan pasangan
yang baru menikah).
Dalam adat Gayo setelah akad nikah sang suami malamnya tidur di rumah
mertuanya, tetapi besok paginya jam 5 subuh (waktu subuh) ia harus pergi ke
menasah (mushala), dahulu kala jika mempelai laki-laki tetap tinggal di rumah
mertuanya maka dipandang tidak berakal. Oleh sebab itu ia harus pergi dari
rumah mertua pagi-pagi sekali dan pulang ke rumah mertua pada waktu malam,
sehingga orang tidak mengetahui kapan ia pergi dan pulang. Inilah yang disebut
Bei turun ku mersah (pengantin laki-laki turun ke menasah/mushala).
Setelah sekitar tiga hari Aman Mayak tingal di rumah mertuanya maka ia
diharuskan untuk membeli ikan dan di antar ke rumah mertuanya, bila ia mampu
maka sebaiknya ia membeli ikan yang terdapat di Danau Laut Tawar, seperti ikan
depik atau ikan bawal, serta makan malam bersama di rumah pengantin
perempuan. Ini semua sebagai tanggung jawab suami membantu keluarga
istrinya.85
1. Munenes (Mengantar Pengantin Perempuan Pindah ke Kediaman
Pengantin Laki-Laki)
Munenes ini merupakan upacara yang dilakukan secara resmi juga, sama
halnya ketika mujule bai. Mengantar pengantin perempuan ke rumah pengantin
84
Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 182-185. 85
Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori), h. 52.
41
laki-laki (mertuanya) untuk tinggal dan berpindah penduduk di kampung
suaminya. Dalam acara ini disertai juga oleh masing-masing Sarak Opat dari
kedua pengantin. Sarak Opat dari pihak istri menyerahkan pengantin perempuan
secara resmi kepada Sarak Opat kampung suaminya yang didahului dengan kata-
kata melengkan (pidato adat dengan kata-kata kiasan).
Ketika pihak keluarga pengantin perempuan menganantar ke rumah
keluarga pengantin laki-laki. Maka seluruh harta pemberian dari suami dibawa
semua oleh pengantin perempuan karena sudah menjadi harta milik pengantin
perempuan. Keluarga pengantin perempuan juga menyediakan peralatan rumah
tangga untuk dibawa oleh anaknya ke rumah mertuanya yaitu seperti:
- Alun (tikar khas Gayo atau di anyam sendiri dari rumput ketan atau
mendong)
- Piring sebanyak dua buah
- Gelas sebanyak dua buah
- Bantal sebanyak dua buah
- Timba
- Piring kecil sebanyak dua buah
- Cambung (mangkuk) sebanyak dua buah
- Sendok sebanyak dua buah
- Sendok nasi sebanyak dua buah
Selain peralatan rumah tangga pihak keluarga juga membawa nasi bungkus
disebut kero tum, nasi tersebut dihidangkan kepada Sarak Opat dari pihak laki-
laki, setiap anggota Sarak Opat mendapatkan empat bungkus nasi.86
Upacara menenes ini pada dasarnya menurut hukum adat harus dilaksanakan
dengan khidmat, sehingga rasa haru dan sedih muncul seketika. Hikmah yang
terkandung dari upacara tersebut menandakan bahwa kepergian seorang anak
gadis yang telah nikah untuk selama-lamanya, padahal keadaan yang demikian
86
Wawancara pribadi dengan Muhammad Nasir, Sabtu, 15 Juli 2017
42
tidak diinginkan oleh semua anggota keluarga.87
Di sinilah terjadi sebuku (nangis
bersedu-sedu) antar pengantin perempuan dengan kedua orang tuannya.
Dari semua proses ini disebut dengan perkawinan juelen (dijual) yang mana
perempuan diambil oleh keluarga laki-laki untuk menjadi istrinya dan sudah
menjadi blah (klen) dari suami. Pada zaman dahulu perkawinan juelen, istri sudah
jadi milik keluarga dari suami dan tinggal bersama keluarga dari suami. Akan
tetapi pada zaman sekarang sudah ada perkawinan kuso kini (kesan ke sini) yang
artinya pasangan suami istri tidak harus tinggal bersama keluarga dari suami,
mereka juga bisa tinggal bersama keluarga dari istri atau tinggal terpisah dari
kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan perempuan).
2. Mah Kero (Membawa Nasi)
Setelah sekitar sepuluh hari dari upacara menenes orang tua pengantin
perempuan datang kerumah orang tua pengantin laki-laki. Mah kero ini dilakukan
untuk saling berkenal lebih dekat antara kedua kelurga, saat ini diperkenalkan
semua unsur keluarga agar kedua mempelai mengetahui posisinya dalam
pergaulan, terutama bertutur sapa. Nasi yang dibawa dihidangkan kepada keluarga
pengantin laki-laki.
87
M. Jafar, Adat Perkawinan Dalam Masyarakat Gayo Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah, h. 38.
43
BAB IV
NILAI-NILAI ISLAM
DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO
Pada masyarakat Gayo adat dirancang oleh tetua-tetua terdahulu, mereka
merancang adat sesuai dengan agama (syari‟at), dalam hal itu adat Gayo sesuai
dengan syari‟at Islam, dan adat juga dirancang sesuai dengan kemaslahatan
kelompok masyarakat pada waktu itu, tetapi tidak keluar dari konteks syari‟at,88
seperti pepatah Gayo “Edet mungenal ukum mu beda,” artinya: adat mengenal
sesuatu perbuatan karena merupakan kebiasaan, sementara syari‟at membedakan
di antara yang hak (benar) dan yang batil (salah).89
Apabila adat bertentang
dengan Islam maka terlebih dahulu di utamakan Syari‟at (Islam).
Adapun nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah dapat dilihat dari aspek sebagai
berikut:
A. Nilai Aqidah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral setelah aqidah dan
keimanan. Kesamaan aqidah dalam berumah tangga sangat penting, agar tujuan
suami istri dalam perkawinan bisa tercapai dan mempersatukan untuk mendapat
faedah serta sempurna menjadi keluarga yang ideal dari perkawinan tersebut.
Dalam adat Gayo untuk mengetahui atau menyelidiki calon suami ataupun istri
biasa disebut dengan bersibetehen.
Proses bersibetehen dilakukan seseorang untuk mencari jodoh yang hendak
melakukan perkawinan harus melalui tahapan adat. Dalam Islam bersibetehen
dikenal dengan kata ta’aruf yang berarti saling berkenalan90
bukan sekedar
mengetahui nama dan keluarga, tapi saling mengetahui prinsip, pola dan tujuan
hidup mereka ketika berkeluarga. Tidak hanya itu, tetapi untuk mengetahui
88
Wawancara pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 November 2017 89
Basiq Djalil, Kepemimpinan Gayo dalam Perspektif Sosio Relegius (Ciputat: CV.
Qolbun Salim, 2011), h. 36. 90
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, 14th
ed.
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 920.
44
keturunannya, akhlaknya, agamanya, Semua itu sangat menentukan keserasian,
keharmonisan, dan kebahagiaan dalam berumah tangga.91
Bahkan dalam Islam
juga dianjurkan untuk meneliti terlebih dahulu calon istri seperti hadist berikut,
Yang artinya:
Dinikahi perempuan karena empat hal: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya. Pilihlah perempuan yang
beragama, niscaya kedua tanganmu penuh debu (rezeki). (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah).92
Pada masyarakat Gayo proses bersibetehen ini tidak dilakukan sepasang
lelaki dan perempuan (berdua) tetapi harus didampingi oleh perempuan yang
sudah berkeluarga dari pihak perempuan, selama proses ini dilakukan di rumah
dan didampingi oleh keluarga dekat pihak perempuan. Jadi tidak melanggar dan
bertentangan dengan nilai dan norma agama Islam dan nilai adat disebut dengan
sumang93
karena dianggap tabu oleh masyarakat Gayo.94
Ini juga diperkuat dalam
al-qur‟an surat Al-Isra‟: 32 yang artinya sebagai berikut:
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (Al-Isra‟: 32).”95
Jika dari keluarga pihak perempuan bersibetehen disebut dengan hamal
nome nipi jege yang merupakan bahasa kiasan untuk melakukan proses penelitian
akhlak dan keturunan calon menantu dan keluarganya selama tiga sampai tujuh
hari lamanya. Hal ini dilakukan ketika munginte (melamar), dalam proses hamal
nome nipi jege ini juga bisa di lihat dari segi syari‟atnya sebagaimana dalam
hadits yang artinya:
91
Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017. 92
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, 2th
ed. (Darussalam, Riyad, 1999), h. 910 93
Sumang adalah sebuah istilah perbuatan yang dilarang adat, karena dapat mengundang
terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma adat, bahkan agama, sumang dapat diartikan juga
sebagai perbuatan, tindakan dan kelakuan yang tidak layak dan tidak terpuji. Sumang di Gayo
dianggap pola dasar, sebagai landasan hidup dalam masyarakatnya. Lihat Majlis Adat Gayo Bener
Meriah, Nilai-Nilai Adat Gayo dan Kekayaan Bahasa Gayo, h. 46. Dan lihat juga A.R. Hakim
Aman Pinan, Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo ( Aceh Tengah), h. 115. 94
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, Blang Panas, Sabtu, 15 Juli 2017. 95
Al-Qur’an dan Terjemahan Special for Women (Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemahan/Penafsiran Al-Qur‟an Revisi Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an
Depertemen Agama Republik Indonesia: PT. Sigma Examedia Arkenleema, 2007), h. 285
45
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhoi
agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya
niscahya akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tarmidzi
no. 1084. Dihasankan al-imam, Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa‟ no.
1868, Ash-Shahihah, no. 1022).”
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam Islam menganjurkan perkawinan yang
ideal, untuk memulai membina rumah tangga atau mencari jodoh hendak
melakukan perkawinan maka dari pihak laki-laki maupun perempuan harus
meneliti terlebih dahulu aqidah dari seseorang tersebut. Aqidah dalam Islam
merupakan hakekat yang meresap kedalam hati dan akal. Aqidah ialah iman atau
kepercayaan, sumbernya yang asasi ialah al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah.96
Iman
merupakan pedoman dan pegangan yang terbaik bagi manusia dalam mengarungi
kehidupan, iman menjadi sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak,
karakter dan akhlak manusia.
Dapat dilihat juga bahwa tujuan Bersibetehen ini agar menghasilkan
keluarga yang harmonis, yang selalu damai, nyaman, dan tidak terjadi keributan
dalam rumah tangga serta komunikasi yang baik antara suami istri bisa membawa
dampak positif bagi pendidikan anak. Jika bersibetehen dilihat dari keturunannya
dan agamanya maka implikasinya bahwa keturunan atau nasab yang baik akan
menghasilkan keturunan yang baik pula, karena karakter seseorang dipengaruhi
oleh tingkah laku orang tuanya, akhlak orang tua yang baik juga menghasilkan
tingkah laku anak yang baik pula, Karena orang tua adalah pendidikan pertama
yang didapat oleh seorang anak. Keturunan yang baik, akhlak yang baik,
harmonis, kasih sayang maka menghasilkan keluarga yang sakinah mawaddah wa
rahmah dan melahirkan pendidikan yang baik buat anak dan taat kepada Allah
serta kepada orang tuanya.
Aspek aqidah lain yang dapat ditelusuri dalam tradisi adat perkawinan
masyarakat Gayo dapat kita lihat dari proses berguru. Proses berguru adalah
memberi ilmu dan pelajaran kepada seseorang yang akan melaksanakan
96
Razak, Dinul Islam (Bandung: PT. Alma‟arif, 1973), h. 154
46
pernikahan. Berguru merupakan momentum terakhir menjelang adat pernikahan
yang disebut ejer muarah yaitu memberi nasehat mengingatkan nilai dan prinsif
ajaran Islam kepada calon mempelai laki-laki dan perempuan oleh imam kampung
masing-masing. Adapun materi pelajaran yang paling penting antara lain
mengenai aqidah, ibadah dan syari‟ah serta kebutuhan jasmani dan rohani secara
padu.97
Membekali diri dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, memberi nasehat atau
memberi pengajaran terakhir kepada calon pengantin merupakan salah satu
kewajiban keluarga untuk menempuh kehidupan baru sang calon pengantin
menuju hari depan yang berbahagia. Sebagai mana falsafah adat Gayo berguru
amat penting bagi seseorang muslim dalam menempuh kehidupan, sebab prinsip
ajaran Islam yang disampaikan dalam proses berguru, menghasilkan kestabilan
dan keharmonisan keluarga. Islam dan adat Gayo mengharuskan umat dan warga
untuk memprogramkan pemenuhan secara padu dan seimbang kebutuhan rohani
dan jasmani98
berdasar ungkapan adat Gayo “beras padi tungket imen” yang
artinya kebutuhan dasar yang memadai mengokohkan iman. Kebutuhan dasar
jasmani dilambangkan oleh kata beras padi, sementara kebutuhan rohani
dilambangkan oleh kata imen. Kedua bagian kebutuhan itu harus diusahakan dan
dipenuhi secara padu sebagai prioritas program keluarga.99
Penyampaian materi atau nasehat merupakan norma adat Gayo yang harus
dilakukan, adapun implikasinya dalam kehidupan ialah
a. orang tua taat kepada Allah, karena orang tua pendidik dan pemberi
teladan pertama terhadap anak.
b. Mengenal diri, bukan hanya mengetahui nama dan pisik, tetapi
mengenal potensi jasmani, rohani, fitrah, syahwat, syuur, hawwas dan
akal yang dianugrahkan oleh Allah dalam dir manusia.
97
Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017. 98
Mahmud Ibrahim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo (Banda Aceh: Al-
Mumtaz Institue, 2013), h. 104-105 99
Budiman Sulaiman. dkk, Peribahasa dan Pepatah Gayo (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), h. 58.
47
c. Menyadari kebutuhan jasmani dan rohani, kebutuhan jasmani berupa
benda atau barang yang baik dan halal, sementara kebutuhan rohani
iman dan ibadah yang dilakukan searah khusuk yang menghasilkan
ketentraman dan kebahagiaan manusia.
d. Berkeluarga bagian dari tanda kekuasaan Alla, karena nikah dan
keluarga merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah
menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.
e. Kebahagiaan keluarga terwujud bila keluarga itu memahami dan
menghayati serta melaksanakan nilai-nilai tersebut diatas berupa
ketaatan kepada Allah, mengenal diri, memahami kebutuhan jasmani
dan rohani, keluarga adalah tanda kekuasaan.100
Maka sudah jelas adat dan syari‟at pada masyarakat Gayo sangat penting,
karena keduanya itu mengarahkan masyarakat Gayo kebenaran.
B. Nilai Ibadah
Islam mensyari‟atkan perkawinan untuk membentuk keluarga sebagai
sarana meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan perkawinan merupakan
suatu pristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah
memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah perkawinan
yang berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang shahih.101
Pada adat perkawinan masyarakat Gayo terkandung nilai-nilai syari‟at,
nilai-nilai di sini adalah nilai-nilai Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW,
sahabat Nabi, dan ulama. Antara lain adalah adat melamar atau dalam bahasa
Arabnya disebut dengan khitbah. Seseorang yang telah berketetapan hati untuk
menikahi seseorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada
walinya. Apabila seseorang lelaki telah mengetahui wanita yang hendak
dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu
100
Ibrahim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo, h. 116 101
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, “Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam,” Yudisia, Vol. 5, no. 2 (Desember 2014), h. 2
48
diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.102
Karena Rasulullah
SAW pernah bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang sudah dipinag oleh
saudaranya hingga saudaranya itu menikahi siwanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangan). (HR. Al-Bukhari no. 5142).”103
Maka dalam adat masyarakat Gayo ketika seorang wali laki-laki datang ke
rumah keluarga perempuan untuk mungite (melamar) maka mereka memberi
sebuah benda yang disebut dengan penampong kuyu (menghambat angin) berupa
benda perlengkapan sirih sebagai tanda bahwa sudah ada yang meminang, agar
tidak menerima lamaran orang lain selama terjadinya penampong kuyu.104
Hal ini
sesuai dengan hadits Nabi di atas.
Setelah seorang laki-laki menemukan calon istri yang dipilih berlandaskan
nilai-nilai Islam, dan keluarga dari perempuan setuju dengan calon suami dari
anak perempuannya maka dari kedua belah pihak keluarga menentukan atau
bermusyawarah untuk membicarakan mahar. Sebagaimana dalam adat Gayo
mahar disebut dengan teniron (permintaan), ada dua bentuk mahar dalam adat
perkawinan Gayo, yaitu: 1. Subang (harta berupa benda yang tidak bergerak) baik
berupa sawah, kebun, kerbau, semua itu menjadi milik istri. 2. Teniron berupa
uang, perkakas dapur, perlengkapan kamar, dan mesin jahit untuk menunjang
biaya keluarga. Sedangkan jename (mahar) pada umumnya berupa emas puluhan
gram (sekarang mas sebanyak 10 sampai 30 gram emas), tapi sebaik-baik wanita
tidak meningikan mahar.105
Dalil disyariatkannya mahar sebagaimana dalam
firman Allah surat Annisa ayat 4 yang artinya:
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
102
Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam,” Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim
Vol. 14, no. 2 (2016): h. 188 103
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 920 104
Ibrahim, Syari‟at dan Adat Istiadat, jilid 1, h. 144 105
Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017.
49
Mahar yang merupakan syarat sah nikah supaya suami istri halal
berhubungan berdasarkan syari‟at, sedangkan teniron sarat kesepakatan terjadinya
perkawinan menurut adat Gayo. Bila fungsi teniron dikaitkan dengan fungsi adat
untuk menunjaang syari‟at, maka norma teniron mengatur tanggungjawab suami
terhadap kebutuhan hidup istrinya sekaligus merupakan jaminan bagi istri kalau
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (cerai).106
Adapun mahar diserahkan ketika
sebelum akad nikah dilakukan, sedangkan teniron diserahkan pada proses upacara
mujule emas untuk memastikan jadi atau tidaknya perkawinan.
Sahnya perkawinan pada masyarakat Gayo sesuai dengan anjuran syari‟at
Islam (murni) tanpa adanya adat tradisi Gayo mulai dari akad sampai selesainya
akad nikah. Adapun adat yang terjadi dalam munyawah ukum (akad) yaitu
penyerahan rempele (menyerahkan calon pengantin laki-laki) oleh Sarap Opat
kepada Sarak Opat pihak perempuan dengan menggunakan bahasa melengkan
(pidato adat).107
Nilai-nilai ibadah pada proses munyawah ukum (akad)
sebagaimana yang disyari‟atkan oleh Islam yaitu ada rukun dan syarat nikah.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya
tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah apabila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduannya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berbeda di dalam hakikat dan merupakan bagian
atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya.108
Banyak para ulama berbeda pendapat
tentang rukun dan syarat perkawinan, seperti imam syafi‟i berpendapat bahwa
rukun pernikahan ada 5, yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan
106
Ibrahim, Syari’at dan Adat Istiadat, jilid II, h. 76 107
Wawancara dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017. 108
Amir Syaifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 59
50
ijab qabul. Sedangkan imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar, calon
suami, calon istri, ijab qabul.109
Di balik perbedaan para ulama tentang penempatan posisi rukun dan syarat
nikah di atas, sesungguhnya ada persamaan yang kompak, yaitu ketika semua
fuqaha dan mazhab fiqih menempatkan shigat akad sebagai rukun nikah yang
paling mendasar.110
Namun di Indonesia para ahli hukum Islam sepakat bahwa akad nikah itu
baru terjadi setelah dipenuhiya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah antar orang
Islam sesuai dengan prosedur agama Islam. Adapun sebagai berikut:
a. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akal
balig).
b. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
c. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang
diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepadanya istrinya.
d. Harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi yang adil dan laki-
laki Islam merdeka.
e. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon
Istri atau walinya atau wakilnya, dan qabul penerimaan oleh calon
suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang
diberikan.
f. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah, maka
hendaknya diadakan walimah (pesta perkawinan).
g. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi
surat Al-Imran ayat 282 harus diadakan i’lan an-nikah (pendaftaran
nikah) kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22
109
Erni Budiwanti, Islam Wetu Tulu Versus Waktu Lama (Yogyakarta: Lkis, 2000), h.
270 110
Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton
Surakarta dan Yogyakarta” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Unversitas Islam Negeri Walisongo
Semarang, 2015), h. 39
51
tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954 jo UU No. 1 tahun 1974 (lihat
juga pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991).111
Selain syarat dan rukun nikah yang di atas, dalam akad nikah pengantin
wanita tidak lazim dihadirkan, karena statusnya belum sah menjadi suami istri.112
Semua proses upacara adat perkawinan masyarakat Gayo mengandung syari‟at,
akan tetapi diadatkan.113
C. Nilai Akhlak
Adat Gayo sangat mementingkan akhlak karimah (akhlak mulia). Prinsip
tersebut diungkap dengan kata-kata adat “batang ni ilmu akal, batang ni ume
patal” yang artinya pokok ilmu adalah akal dan pokok sawah ada pematang atau
petak. Maksud dari pepatah tersebut adalah kalau seseorang tidak berilmu,
akalnya tidak cerdas dan tidak dapat melaksanakan amal shaleh. Demikian pula
kalau sawah tidak mempunyai pematang petak, bukan sawah namanya tetapi
lapangan. Kalau di lapangan tanam padi tentu tidak mau tumbuh dengan baik,
Bahkan orang yang melakukannya dipandang gila.114
Dari pepatah tersebut sudah jelas kita lihat bahwa orang Gayo sangat
menekan akhlak dalam segala aspek kehidupan, terutama menyangkut upacara
adat. Mereka melaksanakan adat dengan benar serta menjunjung tata susila yang
tinggi, karena mereka menganggap bahwa akhlak bukanlah sekedar prilaku
manusia yang bersifat bawaan lahir, tetapi merupakan salah satu dimensi
kehidupan seorang muslim yang mencakup aqidah, ibadah dan syari‟at yang
diajarkan Allah melalui perantara Nabi. Seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh
Bazzar yang Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
mulia.”115
111
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 48-
48 112
Wawancara pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 September 2017. 113
Wawancara dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017. 114
Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid I
(Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda, 2010), h. 81 115
Muhammad Faiz Almath, 1100Hadist Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad (Jakarta:
Gema Insani Press, 1994), h. 231.
52
Dalam upacara adat perkawinan masyarakat Gayo terdapat nilai-nilai etika
(akhlak) yang tinggi. Ketika pada saat proses munginte untuk memulai upacara
menggunakan bahasa yang halus yang disebut dengan melengkan (kata-kata adat),
adapun isi dari melengkan ini dimulai dari ketika telangke (utusan) beranjak dari
rumah sehinga sampai ke rumah keluarga calon pengantin perempuan untuk
menyampaikan niat tulus dari keluarga laki-laki untuk meminang, seperti dalam
bahasa Gayo “perang mupangkal, kerje musukut” yang artinya perang bersebab,
kawin berpangkal.116
Maksud dari pepatah tersebut bahwa dalam segala sesuatu
perbuatan harus dimulai dari awal pekerjaan, dalam adat perkawinan masyarakat
Gayo dimulai dari munginte, pada saat munginte betul-betul harus jelas asal-usul
keluarga dari perempuan ataupun laki-laki sekurang-kurangnya harus jelas orang
tuanya, harus jelas asalnya, harus jelas reje (raja)117
pada saat sekarang disebut
kepala desa, di Gayo dikenal dengan gecik.118
Semua itu menggunakan bahasa melengkan yang terdiri dari bahasa kiasan
dan simbolik untuk mengungkapkan maksud dan tujuan dari keluarga laki-laki
dan menggunakan bahasa tutur yang halus agar apa yang disampaikan dapat
diterima dengan baik dan tidak menyinggung perasaan keluarga perempuan,
begitu pula sebaliknya. Selain itu ketika munginte apabila pinangan diterima atau
tidaknya diucapkan dengan sopan melalui kata-kata kiasan, sehingga pihak yang
meminang tidak merasa terlalu gembira bila pinangan mereka diterima dan tidak
terlalu kecewa bila ditolak,119
itu untuk menjaga supaya penolakan pinangan tidak
menjadi sebab renggangnya apalagi putusnya hubungan persaudaraan yang
diwajibkan Allah dan Rasullullah untuk selalu memeliharanya dengan baik.
Apabila pinangan ditolak, wali dari perempuan menyatakan “keras kuyu i
penimun, i lang rara i pepanen, kekunehpe keras ni petemun, lebih kuet takdir ni
tuhen” artinya angin berhembus kencang dipenemun, api dinyalakan di
penempaan, bagaimanapun katanya pertemuan, lebih kuat ketentuan tuhan. Dari
kata-kata tersebut keluarga dari laki-laki sudah paham bahwa pinangan mereka
116
Budiman Sulaiman, Peribahasa dan Pepatah Gayo, h. 146 117
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017. 118
Gecik adala Kepala Kampung 119
Ibrahim dan Pinan, Syariat Dan adat itiadat. Jilid 1, h. 145.
53
ditolak dengan halus dan bijaksana. Begitu juga apabila pinangan diterima maka
wali calon mempelai perempuan menggunakan kata noh dan yang meminang
mengatakan aaa sebagai bahasa isyarat bersyukur bahwa pinangan mereka
diterima oleh keluarga perempuan.120
Adat perkawinan Gayo ada juga proses pakat sara ine (musyawarah
/mupakat keluarga inti) dan pakat sudere (musyawarah dengan saudara, teman,
tetangga atau kampung) keduanya merupakan proses musyawarah. proses tersebut
dimaksudkan untuk mempererat hubungan silaturahmi di antara keluarga atau
saudara. Dalam musyawarah ini terdapat nilai-nilai akhlak, yang mana dalam
musyawarah menggunakan bahasa sangat sopan dan santun. Apabila pinangan
diterima maka dalam menyampaikan kepada keluarga “ ara jema geh begeli ate
ken ipak ni “ yang artinya ada orang datang membenci anak gadis kita.121
Kata
“membenci” adalah kebalikan dari mencintai.
Kata terbalik diucapkan, karena dalam menggunakan kata “cinta, sayang,
atau rindu” dirasa sangat tidak sopan atau dalam bahasa Gayo disebut sumang.
Pada Masyarakat Gayo menyimpan beberapa aturan atau ketentuan yang perlu
ditaati yaitu sumang perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan adat
tergolong perbuatan yang tidak terpuji karena dampaknya tidak baik. Sumang di
Gayo ada empat yaitu: 1) sumang kenunulen (sumbang cara duduk), 2) sumang
perceraken (sumbang dalam berbicara), 3) sumang pelangkahen (sumbang dalam
berjalan), 4) sumang penengonen (sumang dalam melihat). Dari keempat sumang
tersebut yang terlibat dalam musyawarah yaitu sumang perceraken (sumbang
dalam berbicara).122
Dalam berbicara harus dijaga tutur dalam bahasa Gayo merupakan istilah
atau sistem kekerabatan. Tutur merupakan bagian dari nilai budaya yang ada pada
masyarakat Gayo. Lebih dari itu, tutur menggambarkan jiwa masyarakat tersebut.
Terkait dengan nilai budaya Gayo terdiri atas nilai utama yang disebut “harga
diri” mukemel (malu), apabila tidak menggunakan tutur atau berbicara tidak
santun maka disebut dengan tutur kemel (malu), berarti tidak memiliki malu
120
Ibraim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo, h. 170-171 121
Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017. 122
Pinan, Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tenah, h. 116
54
“harga diri”. Konsep dan penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo yang
dilandasi dengan etika, norma, dan nilai untuk senantiasa bersikap santun sesuai
dengan aturan be tutur tentunya harus berpijak dengan pada nilai iman. Dengan
demikian terdapat bangunan tutur yang kuat, khas, dan mencirikan jiwa
masyarakat Gayo dengan pijakan nilai-nilai ketuhanan dan ke Islaman di
dalamnya.123
Dari menggunakan kata melengkan, berbicara dengan santun atau
menggunakan tutur itu udah jelas bahwa masyarakat Gayo sangat menjunjung
tinggi akhlah sebagi mana adat cenderung memperbaiki akhlak masyarakat. Bila
tidak ada adat maka tidak ada akhlak, jika tidak ada akhlak sudah jelas tidak ada
agama, begitu ungkapan kakek Nasir seorang tetua adat di Kampung Blang
Panas.124
123
Yusradi Usman al-Gayoni, Tutur Gayo ( Tanggerang: Mahara Publishing, 2012), h.9 124
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Upacara adat perkawinan etnik Gayo memiliki proses yang sangat panjang
dimulai dari sebelum upacar perkawinan yaitu munginte, mujule emas,
berguru, dan upacara pelaksanaan perkawinan yang dimulai dari mujule bei,
munyawah ukum, kamar delem, dan yang terakhir upacara setelah
perkawinan yaitu munenes, mah kero. Semua proses upacara tersebut
dilaksanakan secara khidmad yang dilakukan terus-menerus oleh
masyarakat Gayo. Sebagaimana semua tradisi tersebut merupakan
peninggalan nenek moyang mereka yang di teruskan oleh masyarakat Gayo
sendiri.
2. Dari setiap proses upacara dan perlengkapan yang terdapat dalam upacara
adat perkawinan etnik Gayo memiliki nilai-nilai Islam yang terkandung di
dalamnya. Setelah masuknya Islam ke Dataran Tinggi Tanah Gayo maka
masyarakat Gayo mulai mengadopsi ajaran Islam dalam kehidupan sosial,
adapun adat dirancang oleh orang-orang terdahulu yang mengerti adat dan
Islam. Maka yang lebih diutamakan adalah hukum Islam dibanding hukum
adat, karena hukum adat dibuat oleh manusia sedangkan hukum agama
didibuat oleh Allah SWT berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
Kemudian dalam upacara adat perkawinan masyarakat Gayo memiliki nilai-
nilai Islam yaitu nilai aqidah, ibadah, akhlak. Semua nilai-nilai itu terdapat
dalam setiap upacara adat perkawinan. Sebagaimana dalam kehidupan
masyarakat Gayo adat menunjang syari‟at Islam, pepatah Gayo mengatakan
“agama urum edet lagu zet urum sipet” yang artinya agama Islam dan adat
Gayo seperti zat dengan sifat, keduanya tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan
ajaran islam akan lebih efektif, apabila dipadukan dengan nilai dan norma
adat Gayo.
56
B. Saran
Setelah penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan ini, maka beberapa
hal yang perlu penulis sampaikan atau saran-saran kepada masyarakat luas,
khususnya masyarakat Gayo:
1. Bagi pemerintah Kabupaten Aceh Tengah agar menggali lebih dalam lagi
tentang proses upacara adat perkawinan, yang mana dalam proses upacara
perkawinan memiliki banyak pendidikan yang dapat disampaikan kepada
masyarakat luas. Jadi diharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan
kembali tentang budaya dan tradisi Gayo.
2. Untuk para generasi muda jangan pernah merasa gengsi terhadap tradisi
yang telah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang kita, terkhususnya
dalam upacara adat perkawinan Gayo. Dan memahami dari setiap proses
dan nilai-nilai yang terdapat dalam upacara perkawinan.
3. Harapan yang terakhir, tidak hanya tokoh-tokoh masyarakat atau pemangku
adat saja yang mengerti tentang adat, tetapi kepada seluruh masyarakat
Gayo mengerti tentang tradisi adat Gayo.
57
GLOSARIUM
A
Ampang : Alas tempat duduk yang digunakan oleh calon pengantin atau
tetua adat
Aman mayak : Panggilan pengantin laki-laki sebelum mempunyai anak.
B
Batil : Cerana tempat ramuan sirih
Bersibetehen : Saling berkenalan pada saat mencari jodoh
Belah : Klen
Bersesulangen : Saling sulang- menyulangi
D
Delem : Dalam
Depik : Ikan khas Danau Laut Tawar yang bahasa latinnya Rasbora
Leptosoma
F
Farak : Pengasingan
I
Imem : Imam yang berkewajibab membina pelaksanaan ajaran Islam
terutama yang fardhu dan sunat.
Inen mayak : Panggilan pengantin perempuan sebelum mempunyai anak.
Ipegagut : Memakan rumput
K
Kemul : Genggam
M
Mujik : Mengirik padi dengan kaki yang diikuti oleh famili, tetangga dan
bebujang (remaja laki-laki)
Mujes : Empat sampai enam remaja puteri bersama-sama mengangkat
58
kumpulan raden, mmengurai dan menjatyhkannya ke atas tikar
lebar lebar sehingga buah padi betul-betl berpisah dengan
tangkainya dan menjadi jerami.
Murojok : Cara berkomunikasi antara remaja laki-laki dengan perempuan
melalui lubang lantai rumah panggung.
Munenes :.Mengantar pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki,
sekaligus pemindahan anggota keluarga dari lingkungan keluarga
orang tua kandungnya ke lingkungan keluarga suaminya
Melengkan : Pidato adato adat yang sebagian beasar materinya terdiri dari
kata-kata kiasan dan simbolik untuk mengungkap maksud dan
tujuan sesuatu acara, termasuk acara adat perkawinan.
N
Nuling : Memotong atau mengetam padi dengan sadap yang dilakukan
oleh perempuan
Ngerje : Perkawinan
P
Petawaren : perbuatan adat menawari sesuatu atau seseorang dengan maksud
untuk memperoleh berkah dari Allah SWT, atau biasa disebut
tepung tawar.
Petue : orang yang dituakan berkewajiban meneliti dan menyelidiki
keadaan masyarakat dan pelaksanaan adat.
R
Reje : Raja yang memimpin rakyat dan menegakkan keadilan.
Roroh : Menginjak
S
Sapu muke : Sapu muka
Sebuku : ungkapan perasaan yang terjalin secara sepontan dalam bentuk
puisi yang dilakukan oleh perempuan setengah baya. Dengan
bahasa lainnya menangis bersedu-sedu.
Sab : Bungkusan cerana (batil)
Selangen : beberapa puluh meter sebelum tiba ke halaman rumah orang tua
pengantin perempuan, rombongan pengantar pengantin laki-laki
harus berhenti di salah satu rumah tetangga yang telah disediakan
oleh pihak keluarga mempelai perempuan.
Semah pincung: mempelai laki-laki setelah menerima pemberian akad nikah
menyembah wali perempuan dengan cara menundukkan kepala
59
dan menjabat tangan mertua yang berisi sejumlah uang yang
sbagai persembahan atau penghormatan.
Sumang : aturan atau ketentuan yang perlu ditaati dan tidak bertentangan
dengan adat.
T
Telangke : Utusan (Perwakilan)
Teniron : Permintaan
U
Ulen-ulen : Selimut dengan motif Krawang Gayo
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber Buku
Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999
Al-Gayoni, Yusradi Usman. Tutur Gayo. Tanggerang: Mahasa Pubishing, 2012.
Al-Math, Muhammad Faiz. 1100Hadist Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al-Bukhari. Shahh Bukhari, 2th
ed. Darussalam, Riyad, 1999.
Al-Qur’an dan Terjemahan Special for Women. Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemahan/Penafsiran Al-Qur‟an Revisi Terjemahan Oleh Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Depertemen Agama Republik Indonesia:
PT. Sigma Examedia Arkenleema, 2007.
Beatty, Andrew. Varieties og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad
Fedyani Saefuddin “Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan
Antropologi.”Jakaera: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Budiwati, Erni. Islam Wetu Tulu Versus Waktu Lama. Yogyakarta: Lkis, 2000.
Coubat, A. Sy. Adat Perkawinan Gayo: Kerje Beraturen. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,
1984.
Dien, M. Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013.
Djamari. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: CV. Alfabeta, 1988.
Djalil, Basiq. Kepemimpinan Gayo Dalam Perspektif Sosio Religius. Ciputat: CV.
Qalbun Salim, 2011.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2003.
Gayo, M. H. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1983.
Hariwjaya, M. Metodelogi dan Penulisan Skripsi Tesis dan Desertasi Untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora. Yogyakarta: Paraman Ilmu, 2007.
61
Hasan, M. Affan. Kesenian Gayo dan Perkembangannya. Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1980.
Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. T. pn: PT.
Al Ma‟arif, t.t
Hurgronje, C. Snouck. Gayo Masyarakat dan Kebdayaan Awal Abad ke-20.
Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Hurgronje, C. Hurgonje. Tanah Gayo dan Penduduknya. Penerjemah Budiman. S.
Jakarta: INIS, 1996.
Ibrahim, Mahmud. Mujahiddin Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan
Maqamma Mahmuda, 2007.
Ibrahim, Mahmud. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Istiadat Gayo.
Banda Aceh: Al-Mumtaz Institute, 2013.
Ibrahim, Mahmud dan Pinan, Hakim Aman. Syari’at dan Adat Istiadat (Jilid II).
Takengon: Yayasan Maqammam Mahmuda, 2003.
Ibrahim, Mahmud dan Pinan, A.R. Hakim Aman. Syari’at dan Adat Istiadat (Jilid
1). Takengon: Yayasan Makammam Mahmuda, 2010.
Ibhromi, T. O, ed. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999.
Jafar, AS. Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori). Jakarta: Jalan Tulodong Bawah
II No. 7, 1988
Kausyar, Andrian. Tetah Cara Berguru Muluwahi Sinte. Jakrta: Motik Press,
2001.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia, 1985.
Latief, A. R. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa
Bandung, 1995.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. Agama Sebagai Sistem Kultural, Penelusuran
Terhadap Metodelogi Clifford Geertz dan Sosial Interpretif. Medan: IAIN
Press, 2000.
Majlis Adat Gayo (MAG) Bener Meriah. Nilai-Nilai Adat Gayo dan Kekayaan
Bahasa Gayo. Tanggerang: Mahara Publising, t.t.
62
Melalatoa, M. Yunus. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. 14th
ed.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mutahhari, Murtadha. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1986.
Paini, Mukhlis. Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial
di Gayo-Aceh Tengah. Arsip Nasional Republik Indonesia Kerja Sama
Dengan Gadjah Mada University Press, 1982.
Pinan, A. R. Hakim Aman. Daur Hidup Orang Gayo. Aceh Tengah: Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia ORSAT, 1998.
Pinan, A.R. Hakim Aman. Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo: Aceh Tengah.
Banda Aceh: CV. Rina Utama, 1998.
Pengurus Adat Gayo (MAG) Bener Meriah. Proses Pelaksanaan Acara
Perkawinan Menurut Edet Gayo. Diperbanyak oleh: Dinas Syari‟at Islam
Bener Meriah, t.t.
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002.
Razak, Nasaruddin. Dinul Islam. Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1973.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
ALFABETA, 2012.
Suhaidy, M. Saleh. Rona Perkawinan di Tanah Gayo. Banda Aceh: Badan
Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
Sulaiman, Budiman. Dkk. Peribahasa dan Pepatah Gayo. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.
Syaifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.
Syukri. Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya
Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama,
2017.
Thaha, Nasaruddin. Pedoman Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
63
Tylor, Edward Burnett. Primitive Culture: Researches Into the Development of
Mithology, Philosophy, Religion, Art, and Custum. London: John Murray,
Albemarle Street, 1871.
Widagdho, Djoko. dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufikurrahman. Merangkai Identitas Gayo.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011.
2. Artikel Jurnal
Atabik, Ahmad dan Muhdhiah, Khoridatul. “Pernikahan dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam.” Yudisia. Vol. 5, no. 2 (Desember 2014): h. 2
Wibisana, Wahyu. “Pernikahan Dalam Islam. ” Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta’lim. Vol. 14, no. 2 (2016): h. 188
Sukiman. “Nilai-Nilai Pembangunan Islam Dalam Masyarakat Gayo.” MIQOT.
Vol. XXXVIII, no. 1 (Januari-Juni 2014): h. 222.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tengah. Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten Aceh Tengah 2015. Katalog BPS: 1416.1105, Takengon, 2015.
3. Sumber Tertulis Tidak Terbit
a. Tesis
Selian. Rida safuan. “Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan “ngerje” Kajian
Estetika Tradisional Suku Gayo di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh
Tengah.” Tesis S2 Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Negeri
Semarang, 2017.
b. Skripsi
Chasanah, Siti Uswatun. “Penerimaan Masyarakat Betawi Muslim Terhadap
Kesenian Musik Gambang Kromong dan Tari Ronggeng Blantek di
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.” Skripsi S1 Fakultas Adab
dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
Rohman, Fatkhur. “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa
Kraton Surakarta dan Yogyakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Unversitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015.
64
c. Makalah Seminar
Ali Hasan Aman Kamaletan, 1970, dalam Mahmud Ibrahim, “Peranan islam
Melalui Adat Gayo Dalam Pembangunan Masyarakat Gayo” Seminar
Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan ( Takengon: diselenggarakan MUI
Aceh bekerja sama PEMDA/MUI Aceh Tengah, 1986), h. 2.
Djapri Basri, Pola Perilaku Golongan-Golongan Sub Etnik Gayo dan Mitos Asal
Mula Mereka (Darussalam: Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial, Aceh Laporan
Hasil Penelitian, 1982), h. 9.
M. Jafar, Adat Perkawinan dalam Masyarkat Gayo Setelah Berlakunya Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah (Banda Aceh: Pusat
Pengembangan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala,
1991), h. 27.
4. Sumber Elektronik
https://hewanpedia.com/ikan-depik-atau-ikan-rasbora/ (diakses pada hari Selasa 9
Januari Pukul 01:05 Wib).
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN
66
Gambar 1: Batil (cerana) untuk tempat ramuan sirih
(Sumber: dok. Intan, 2017)
Gambar 2: Kranam tempat kapur
(Sumber: dok. Intan, 2017)
67
Gambar 3: Alat-alat tempat ramuan sirih yang terdiri dari
bebalun, batil, bebakon, kranam, ketumu
(Sumber: dok. Intan, 2017)
Gambar 4: Tape bercucuk tempat batil atau kantong tempat sirih
(Sumber: dok. Intan, 2017)
68
Gambar 5: Tape bercucuk tempat beras, ukuran 1 atau 2 liter beras.
(Sumber: dok, Intan, 2017)
Gambar 6: Perlengkapan pada saat berguru yang diserahkan kepada reje (raja)
(Sumber: dok. Intan, 2017)
69
Gambar 7: Perlengkapan yang diserahkan kepada ImemI (Imam) Kampung
(Sumber: dok. Intan, 2017)
Gambar 8: Perlengkapan berguru, kain merah buat reje, kain putih buat imem
(Sumber: dok. Intan, 2017)
70
Gambar 9: Ampang (tempat duduk) untuk reje dan imen
(Sumber: dok. Intan, 2017)
Gambar 10: Ampang untuk calon pengantin
(Sumber: dok. Intan, 2017)
71
Gambar 11: Perlengkapan berguru, serta ampang (tempat duduk) 1 untuk calon
pengantin.
Yang 2 untuk reje dan imem.
(Sumber: dok. Intan, 2017)
Gambar 12: Perlengkapan tepung tawar
(Sumber: dok, Intan 2017)
72
Gambar: 13 ulen-ulen yang digunakan pada saat tepung tawar
(Sumber: dok, Intan 2017)
Gambar: 14 Pelaknaan tepung tawar
(Sumber: http/www.kompasiana.com, 2017)
73
Gambar: 15 Sentong tempat nasi yang telah di bungkus
(Sumber: dok, Intan 2017
Gambar: 16 pakaian adat pengantin Gayo
(Sumber: dok, Intan 2017)
74
Hasil Wawancara
Nama : Intan Permata Islami
NIM : 1113022000080
Narasumber : Muhammad Nasir
Tempat/Tanggal Wawancara : Blang Panas, 15 Juli 2017
Tanya : apa yang dimaksud dengan melengkan ?
Jawab : ”pidato adat yang dilaksanakan dalam acara perkawinan. Serah terima
dari kepala desa pihak pengantin laki-laki kepada kepala desa pihak penganti
perempuan. Jadi, pidato adat diawali saat itu, pidato adat yang disampaikan
“perang mu pangkal kerje mu sukut” artinya orang yang akan dinikahkan
tersebut, benar memiliki ibu, ada kepala desa, ada warga kampung dari orang
yang akan dinikahkan tersebut, jika terjadi hal yang tidak diharapkan suatu saat
nanti atau setelah mereka dinikahkan bisa dituntut. Kadang seperti waktu jaman
dahulu, hal yang sedemikian kemana hendak dituntut orang kadang orang baru
pun tiba-tiba sudah ada di satu kampung, orang seperti itu tidak boleh
sembarangan dijadikan sebagai istri/suami. Banyak orang suku Aceh merantau ke
tempat kita ini, sampai di sini karena kebaikannya dinikahkanlah dengan anak
sendiri, setelahnya dia pergi, toh dia berpikir jika meninggalkan anak pun sudah
pasti ada yang merawat anak tersebut. Kemudian dia pulang ke tempat asalnya.
Kadang-kadang di tempat asalnya pun dia telah memiliki istri. Makanya harus
jelas statusnya. Jika memang harus dengan orang pendatang pun harus jelas
statusnya. Tidak boleh sembarang menikahkan. Lebih lagi seorang perempuan.
Perempuan harus memiliki wali yang jelas, tidak jelas wali diri tidak boleh. Ada
wali hakim, jika pun ada wali hakim harus ada do‟a dari wali dirinya. Wali hakim
pun siapa yang bisa menjadi walinya. Siapa pengusa yang diperbolehkan. Seperti
sekarang harus ke KUA. Wali kepada siapa di percayakannya, mungkin dia tidak
75
bisa, dipercayakannya kepada imam kampung tersebut. Jika tidak, tidak boleh
sembarangan menikahkan seseorang.
Sebagian jika ada walinya namun orang lain yang menikahkannya, jika ayahnya
masih hidup bisa dibatalkannya. Bisa sampai digugatnya, didenda sekali lagi.
Didenda pun sudah pasti tidak sedikit, seperti halnya mencuri anak orang.
Makanya tanggung jawabnya sangat berat. Jika dari jaman persoalan uang ni
sangat sulit memikirkannya. Kadang-kadang tidak seperti semestinya. Tidak ada
lagi rasa kepercayaan dalam hal itu, sehingga terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Itulah sebeb mengapa pidato adat itu sedemikian. Pidato tidak bolah
hanya sekedar berbicara saja, harus bisa memberi jawaban jika ditanyai orang
lain, segala hal yang disampaikan harus ditanggung jawabi oleh sang pembicara.
Dari mana asalnya, alamatnya jelas, ini makanya disebut “pute”. Karena asal adat
ini dari “pute merhum” dari adat katanya Gayo berasal dari Cik Serule.
Pengertiannya hingga disebut pute merhum itulah Raja Linge.
Arti pute merhum adalah mahkota alam. Itulah pangkat dan kedudukannya,
mahkota alam. Karena asal adat ini dari Cik Serule. Kenapa harus Cik Serule.
Karena dia adalah seorang Ulama Syekh Sirajuddin dialah yang menciptakan
peraturan ini. Pengertiannya jika adat dari Raja Linge, maka hukum dari Cik
Serule, sehingga dapat disahkan. Jika tidak maka tidak akan sah. Kadang-kadang
orang Aceh berbicara hukum berasal dari Syekh Syiah Kuala. Kata suku Mereka
benar, memang sedemikian, jadi kita Gayo pun jika demikian tidak benar. Kita
mana dari Syiah Kuala. Di Aceh Syiah Kuala ulamanya. Tapi Syekh Sirajuddin
ulama kita waktu itu di Serule. Jadi Raja Linge menciptakan adat. Dia
menciptakan adat setelah di perlihatkan terlebih dahulu kepada Cik Serule. Jika
tidak boleh kata Cik Serule maka akan di batalkannya. Itulah mengapa kuatnya
hubungan adat kita dengan syariat, karena syariat yang menunjukkan dan adat
yang mengerjakannya. Itulah mengapa keduanya harus sejalan. Seperti halnya
hukum bertulis adat berwujud, apa yang diperintahkan tuhan itulah yang
dikerjakan adat tersebut. Mengapa harus demikian?. Adat banyak berlaku sebagai
76
pencegah dari pada memperbaiki, jika adat sudah kuat ada yang dapat dicegah,
sebab tujuan adat adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Jika kita berbicara masalah adat artinya kita mebahas syariat. Itulah mengapa adat
mencari, syariat memisah. Jika adat kuat maka agama akan terpelihara, karena
hilangnya adat matilah Nahma. Apa Nahma? Apa nama? Jika nama hanya untuk
satu orang saja, “siapa namamu”. Tapi jika nahma mencakup satu wilayah. Minsal
satu kesatuan, suatu masyarakat minsalnya, jika gecek ata reje bermasalah maka
nahma juga bermasalah, sama satu lingkungan akan menanggung malunya.
Jadi itulah adat, cenderung memperbaiki akhlak manusia, akhlak yang paling
baik, jadi jika orang tidak beradat sama halnya tidak berakhlak. Tidak berakhlak
artinya tidak beragama begitulah kiranya. Jadi adat Gayo ini akhlak itu diperbaiki
dengan adat, itulah sebabnya mengajar anak harus dimuali dari rumah, yang tidak
didapat di rumah di sekolah diajarkan. Sekarang mengajar sama mendidik itu
beda, jika mendidik akhlaknya harus di perbaiki jika diajari ilmu harus didapat,
bagaimana?. Hingga sampai kebagian inilah penjabarannya. Itulah sebabnya
mendidik itu harus dimulai dari rumah. Jadi dalam pidato adat ini dari kita kecil,
lahir hingga sekolah itulah yang dijabarkan dalam pidato adat.
Melangkan adalah pidato adat, kadang-kadang banyak orang berbicara dengan
melengkan, namun yang dibahas bukan mengenai adat. Sebagian kadang-kadang
suaranya berpantun, sebagian kadang-kadang bersyair itu menjadi didong. Jika
dari adat dimulai dari awal, apa hal yang paling awal, itu dimulai dari munginte,
“perang mu pangkal kerje mu sukut” itulah yang diartikan sebagai kesiapan orang
pendatang, siapa yang siap, sukutnya itulah yang maksud dengan mepersiapkan
“sukut”artinya keluarga atau famili.
Ketika saat pertama memulai melengkan adalah batil, apa keguanaan batil ini?.
Batil ini adalah syarat, sebab itu sendiri melambangkan reje dengan isi ketumu
sebagai imam kranam sebagai petua dan bebakon sebagai rakyat.
77
Isi batil dengan isi peralatan menyirih berbeda, dimana mangas atau menyirih
berisi daun sirih, pinang, kacu, cengkeh, kapur, konyel, tembakau, jadi itu sebagai
sifat rakyat.
Sirih : Hambar
Pinang : ide
Kacu : sepat, pahit
Cengkeh : pedas
Kapur : kelat
Tembakau : mabuk
Ini semua adalah perasa, sifat, peluh, rasanya rakyat, itu sekali bawa semuanya.
Setelah itu disampaikan barulah masuk ke intinya. Intinya disini taris yang kita
bawa, aman mayak (pengantin laki-laki) orangnya, akad yang kita bawa, taris
adalah aman mayak, kenapa disebut taris, taris kayu, dia memiliki kelebihan,
kelebihan. Itu bukanlah kiriman, tetapi diantar, yang mengantar adalah reje walau
bersama rakyat, karena yang mengntarnya adalah reje, imem, petue dan rakyat
(Sarak Opat).
Dari pihak perempuan pun tidak boleh sembarangan menerima, dilihat dan
disaksikan terlebih dahulu, disaksikan oleh imem, benarkah sudah itu orngnya.
Jika benar maka akan diberikan kepada yang bersangkutan, jika bukan tdak boleh
sembaranng serahkan. Itulah sebabnya mengapa diperiksa, agar tidak tertukar, jika
sampai tertukar akan menyebabkan bahaya, jika tertukar maka akan didenda,
didenda 2 kali lipat.
Tanya : setelah akad nikah apa saja proses upacara yang dilakukan oleh
pengantin laki-laki dan perempuan.
Jawab :setelah akad nikah jaman dulu di sebut sebagai khutbah nikah, itulah
mengapa jaman dulu jarang orang bercerai. Karena sudah diberikan khutbah
nikah, nasihat setelah akad, tidak seperti sekarang dalam setahun hingga beribu
orang bercerai. Jika sekarang harus menggunakan bahasa modern, itulah mengapa
di Gayo ni belum sanggup dia modern, sebab semakin modern semakin bertambah
78
rusak, padahal sekarang orang berilmu, ilmu apalah yang tidak ada sekarang,
berbagai jenis ilmu segalanya ada ilmunya, tapi itulah semakin bertambah rusak,
karena seharusnya ilmu ini memperbaiki bukan untuk merusak, entah mengapa
bisa demikian?, itu disebabkan tidak memiliki akhlak, kenapa tidak memiliki
akhlak? Sebab adat tadi tidak dijalankan, akhlak diperbaiki oleh adat, segalanya
kembali kepada adat.
Setelah akad ada bersalaman, itu di dampingi oleh pegasuh, pengasuhni berfungsi
sejak diterima emas sudah memiliki kewajiban, namun sekarang segalanya sudah
diserahkan kepada imam.
Jadi didalam kamar nanti ada yang disebut dengan semah pincung, ada lima
adatnya
Kain putih : sebagai tanda kesucian perempuan artinya suci, bersih.
Sen kerta (rupiah), beras sedikit : dengan adanya beras bekerja, makan, jika tidak
makan bagaimana bekerja, sembahyang pun tidak, beras dan uang posisinya sama,
lebih jelasnya sebagai lambang ekonomi, harus berusaha, seperti sekarang harus
bekerja, sekurang-kurangnya, sudah memiliki pekerjaan, seudah memiliki usaha,
yang jelas harus bertanggung jawab.
Uang logam : saling memberatkan, saling menghormati, antara suami dan istri,
seperti suami tidak boleh sesukanya, harus berperasaan, harus saling menjaga
pembicaraan dan tutur kata antara suami dan istri.
Kesemua ini, dibalut kedalam kain putih, dilipat, lipatannyapun harus dimulai dari
kanan terlebih dahulu kemudian kiri, setelah dilipat diikat dengan benang putih.
Benang putih : bersifat sama dengan kain putih, ikatanya harus dengan simpul
hidup, ikatannya harus kuat tapi harus mudah dilepas, maksudnya sekali tarik
lasung bisa terlepas, maknanya jika terjadi msalah apapun dalam keluarga
nantinya bisa diselesaikan dengan mudah, itulah mengapa harus diikat dengan
simpul hidup, sebesar apapun masalah tidak harus menggunakan pisau untuk
membukanya.
79
Selanjutnya setelah diikat, ibu imem dari pihat pengatin perempuan mengankat
tangan pengantin perempuan, ibu pengantin laki-laki mengangkat tangan pengatin
laki-laki, disana mereka mulai bersalaman untuk pertama kalinya, selanjutnya
uang untuk belanja tadi, sebenarnya tidak ditentukan jumlahnya, berapa
semampunya pengantin laki-laki, semakin banyak semakin baik.
Sebagian orang di masukkannya yang berkejelasan kedalam kain putih,
sebenarnya tidak boleh, seakan-akan tidak berharga, seakan-akan tidak memiliki
kejelasan pengantin perempuannya tersebut, harus saling menghormati.
Sebenarnya jaman dulu, sejak diterimanya emas yang dibawa orang, pengasuh
sudah mulai berfungsi, sejak dari saat itu pengantin perempuan harus sudah
tinggal bersama pengasuh, pengasuh harus memiliki posisi di keluarga tidak
terlalu tinggi, diajarkannya menganyam, mencucuk, diberikannya nasihat
bagaimana berkeluarga, seperti sekarang nanti sesekali datang dia kerumah dan
diajarkannya do‟a-do‟a wajib, segala do‟a dalam perbuatan jika sudah menjadi
seorang istri.
Ketika mujule beru yang dibawa tikar, ember, piring makan 2, piring kecil 2,
cambung 2, sendok 2, sendok nasi 2, gelas 2, bantal sama tikar dibalut menjadi
satu, sekarang kita lihat ada yang membawa 2 tikar, satu tikar plastik dan satunya
lagi tikar dari kertan/tikar khas Gayo untuk pembalut bantal, nasi 16 bungkus, 4
kantong, 1 katong menjadi 4 bungkus.nasi 16 bungkus ini Gayo sara k opat.
Reje : 4 bungkus, yang dimaksud masing-masing memberi 4 nasihat kepada reje
dari pihak pengantin laki-laki. Istilahnya jika pergi saling menunggu, jika hilang
saling mencari, jadi kemana pun perginya penganti perempuan maka pengantin
laki-laki harus ikut.
Petue : 4 bungkus, susahnya pengantin perempuan petua yang menanyakan,
gundah pengantin perempuan petue yang melegakannya, sakit pengantin
perempuan petue yang mengobati, pelitnya pengantin perempuan petue yang
mengikutinya. Mengapa demikian? Jaman dahulu, pengantin perempuan tidak
mengenal ibu mertua, bahkan dengan calon pengantinya sendiri pun belom
80
mengenal dengan baik, karena jaman dulu belom saling mengenal, maka akan
merasa malu pengantin perempuan, itulah yang diselidiki oleh petue.
Imem : 4 bungkus, al-qur‟an, hadist, ijma‟, dan qias. Kadang didalam al-qur‟an
makhrjal hurufnya belum jelas, wajib imam mengajarkannya, kadang wujudnya
belum benar maka tugas imem memperbaikinya. Hadist yang sepatutnya
diajarkan, imem lah yang mengajarkannya, kadang rukun shalatnya belum pas,
berwudhu belum sesuai, itulah tugas imam untuk mengajarkan dan
membenarkannya.
Rakyat : 4 bungkus, jika bepergian bersama maka pengantin perempuan harus
ditemani, jika hanya berdiam diri dalam satu ruangan maka pengantin perempuan
harus ditemani, jika dalam hajatan pengantin perempuan harus ditemani oleh
pengantin laki-laki saling berdampingan, jika ada masalah pengantin perempuan
harus ditemani, artinya kekeluargaan, keakraban dalam satu kampung.
Menyampaikan maksud melamar adalah munginte, membawa beras, dibawa
dalam katong, dibalut dalam kain putih.
81
Penulis sedang berlangsung mewawancarai Narasumber Bapak Muhammad Nasir
Bapak Muhammad Nasir sebagai Narasumber
82
Hasil Wawancara
Nama : Intan Permata Islami
NIM : 1113022000080
Narasumber : Dr. H. Mahmud Ibrahim, M.A
Tempat/Tanggal Wawancara : Takengon, 11 Juli 2017
Tanya : apa saja yang diadopsi dari ajaran Islam dalam adat upacara pernikahan
masyarakat Gayo?
Jawab : pertama saling mengetahui, maksudnya biar tau keturunannya,
akhlaknya, tau segalanya. Sehingga nantinya tidak ada penyesalan setelah
pernikahan, itu namanya saling mengenal/mengetahui, hal tersebut dilakukan
biasanya didampingi oleh orangtua kedua belah pihak, baik itu bibi, nenek, adik
ibu yang paling bungsu, kakak ayah/ibu yang terbesar, itu memiliki panggilan
dalam keluarga yang rendah posisinya, tidak diperbolehkan jika hanya berdua,
jika di Gayo sumang/tabu namanya.
Setelah saling berkenalan, munginte itu ada Islam, dengan cara, keluarga calon
pengantin laki-laki pergi ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak
boleh di pasar, tidak boleh di ladang, di jalan, memang sudah harus ke rumah,
tidak boleh di warung, atau di tempat lain musti ke rumah ayahnya, ke rumah
ibunya. Karena yang datang munginte juga adalah keluarga inti, ayah, ibu, atau
paling tidak adik dari ayahnya, ibunya, intinya keluarganya tidak boleh
sembarangan. Munginte itu pun kan masuk dalam agama. Dari pertemuan itu
terjadi persesuaian pemikiran hingga ditentukannya jumlah mahar dan hantaran.
Mahar dari al-qur‟an sedangkan hantaran/pemberian dari adat.
Tanya : beda berarti mahar dengan teniron (permintaan)?
Jawab : beda itu, mahar kan menjadi syarat sah-nya akad nikah karena adanya
mahar. Adat ini menumbuhkan rasa kerelaan keluarga kepada calon pengantin.
Umpamanya, jika jaman dahulu sawah satu nalih umpamanya, namanya sawah
83
subang. Sawah subang ini satu nalih diberikan kepada pengantin perempuan,
menjadi hak-nya, jika bercerai pun nantinya sawah tersebut sah menjadi miliknya,
tidak boleh digugat kembali dari penganti perempuan, selanjut seiring perubahan
jaman berganti menjadi kerbau, berubah lagi menjadi kebun, itu dulu kira-kira 35
tahun yang lalu. Selanjutnya berubah ke peralatan rumah tangga, dulunya mesin
jahit, selanjutnya peralatan dapur, tempat tidur/ranjang, lemari.
Ini disediakan untuk diberikan kepada pengantin perempuan menjadi hak-nya,
tidak boleh diminta kembali oleh pengantin laki-laki. Sementara mahar tadi
berupa emas bisa diminta kembali. Tapi di Gayo dalam bentuk gram, dari 10
hingga 30 gram, disamping itu sekarang sudah ada permintaan berbentuk uang.
Untuk biaya pernikahan, menjadi beban suami, ini disebut dengan adat. Tapi
biaya pernikahan bukan untuk pengantin perempuan melainkan untuk ayah, ibu,
dan keluarganya, itu adat, bukan perintah agama.
Dalam islam, memerintahkan resmikan anak mu, walaupun kata Nabi, hanya
dengan seekor kambing (walimah ursyi). Jadi biaya itulah yang dibebankan
kepada sebahagian kepada keluarga pengantin laki-laki. Sekarang sudah di
tambah lagi dengan sewa band. Band sesungguhnya tidak ada dalam syariat dan
adat. Itu kebiasan yang dibawa orang jawa. Datang kita malah mengikutinya, hal
itu tidak ada dalam adat bahkan terkadang melanggar syariat.
Menari dalam adat Gayo, laki-laki dan perempuan bertari dengan bibi atau
saudara kandungnya. Itu bukan adat, itu persembahan/hiburan untuk memeriahkan
acara. Tetapi sekarang bertari sudah dengan sembarang orang. Itu tujuannya untuk
menggembirakan, meramaikan acara, tapi tidak melanggar syariat.
Sebelum akad nikah ada yang namanya beguru. Acara ini ditentukan ketika sudah
merasa cocok, dan beguru ini ada 2 macam, seminggu sebelum akad dilaksanakan
masing-masing pengatin di antarkan ke tempat imemnya, bawa kopi dan
makanan, tugas imam mengajarkan rukun iman, rukun islam, cara sembahyang,
cara syahadat, kesemuanya itu diajarkan, dan kegiatan ini bisa berlangsung hinga
beberapa hari, hingga benar-benar lancar. Tapi ada juga beguru menjelang akad
84
nikah, jadi malam sebelum akad nikah ada beguru, dengan nama “ejer mu arah”,
diajarkan mengenai tujuan hidup, tujuan pernikahan, bukan ejer marah tapi ejer
mu arah, artinya pelajaran yang mengarahkan, kemana tujuan, acara ini haya
berlansung sebentar yang kira-kira memakan waktu setengah jam, jika pengatin
laki-laki diajarkan bagaimana mengucap ijab kabul supaya lancar.
Kemudian pakat “rapat” dalam adat ada 2. Pertama mupakat dalam satu keluarga,
maksudnya keluarga inti, yang bertanggung jawab melaksanakan kegiatan
bersinte. Disamping itu ada lagi yang namanya genap sedere. Mupakat ini
beranggotakan saudara yang lebih luas, dan tetangga. Kemudia ada mupakat
sedere penghormatan yang melibatkan seluruh masyarakat kampung dengan
tujuan membantu yang melaksanakan hajatan, tapi tidak ditentukan berapa
besarnya, hanya bersifat sukarela. Setelah hasil pakat sara ine matang barulah
kemudian pakat sedere ini dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebelum melaksanakan
akad nikah. Mupakat tersebut ada dalam syariat, kemuadian diadatkan, seperti
musyawarah jika dalam islam.
Selanjutnya jule bai atau mengantar manten, minsalnya di keesokan paginya, itu
namanya resam, apa perbedaan resam dan adat?. Adat memiliki sangsi jika
misalnya nikah dalam satu belah makan akan dikenakan sangsi. Tapi jika resam
tidak memiliki sangsi. Seperti jule bai, pengantinya dekat seperti di depan, ada di
kanan, kiri yang dinamakan apit, selanjutnya diikuti oleh petua di bagian
belakang, pengaturan itu dikatakan sebagai resam, artinya resam juga merupakan
suatu aturan akan tetapi tidak memiliki sangsi, seperti mobil diberi hiasan bunga
itu juga termasuk kedalam resam. Tujuannya agar orang mengetahui jika sang
pegantin ada di mobil tersebut di ikuti petua dan iringan musing canang. Urutan
itu dinamakan resam.
Kemudian setelah sampai di rumah pengantin perempuan tidak boleh langsung
kerumahnya, harus ada selangan atau tempat peristirahatan sejenak, rumah
selangan biasa diketahui oleh keluarga pengantin laki-laki, jika tidak maka pihak
keluarga pengantin perempuan yang mencarikan rumah selangan tersebut, itu juga
85
termasuk kedalam resam. Mengapa harus singgah? Tujuannya untuk menunggu
jemputan, secara adat disambut dengan peralatan sirih, petua dari pengantin
membawakan sirih dan disambut oleh petua dari pengantin laki-laki, ada juga
petawaren, hal ini juga masih termasuk kedalam resam, jika tidak terdapt
petawaren juga tidak dipermasalahkan.
Selanjutnya barulah diarah kan pengantin ini ke tempat dilangsungkannya akad
nikah, diperlihatkan maharnya kepada pengantin perempuan, namun yang melihat
bibi-nya, dilihat sudahkah cocok, baru dilaksanakan akad nikah. Akad nikah
masuk dalam bagian syariat, dengat kata-kata diadatkan. Tapi dalam bahasa
indonesia. Dalam kegiatan ini tidak terdapat adat. Yang ada hanya adat dalam
penyerahan pengantin sebelum akad nikah, tidak termasuk dalam syariat hanya
mengandung resam, artinya jika tidak dilaksanakan juga tidak mengapa.
Baca al-qur‟an dan mengucap dua kalimat syahadat (syariat). Pemberian surat
nikah, itu syariat atau adat?, surat nikah tidak ada dalam syariat dan adat namun
itu merupakan hukum Indonesia. Padahal itu tidak terlalu penting, karena tidak
bepergian jauh, hanya di sekitaran kampung keluarga kedua pengantin, sekarang
orang telah bepergian jauh ke Jakarta, ke luar negeri jika tidak memiliki surat
nikah bagaimana?. Jadi oleh pemerintah diadakan surat nikah tersebut. Itu bukan
syariat dan bukan adat, surat nikah adalah hukum nasional. Jika acara tersebut
telah selesai maka selesailah acara akad nikah. Selanjutnya di kita ini ada adat
membawa nasi 3 hari 3 malam dari keluarga suami kepada keluarga istri.
Biasanya kegiatan ini dilaksanakan 3 hari setelah akad, atau dalam minggu itu
juga, itu ada bukan syariat, jika syariat setelah selesai akad maka selesai sudah.
Bawa nasi ini tujuannya untuk makan bersama dan saling berkenalan dengan
ayah, ibu masing-masing. Karena di dalam akad nikah tidak ada perkenalan.
Tidak diketahui dengan jelas mana ayah, ibu, bibi, nenek pengantin secara
langsung. Disinilah saatnya dua keluarga saling mengenal.
Dulu ada yang namanya munenes, artinya keluarga perempuan pindah ke keluarga
laki-laki atau pindah marga, pindahan itu dinamakan tenes. Diantarkan pengantin
86
perempuan ke keluarga laki-laki, tapi seekarang sudah tidak lagi. Nenes itu sudah
tidak dilakukan lagi, artinya jika ada pun sudah tidak seperti dulu lagi harus
dengan upacara. Segala perlengkapan rumah tangga dibawa dan suasana juga
telalu sedih, sekarang sudah biasa saja.
Tanya : perubahan adat ini dimulai dari tahun berapa pak?
Jawab : saya dulu masih menenes dengan nenek mu, sekitar tahun 1958 sampai
tahun1960-an masih berlaku munenes. Tahun 1970-an mulai berangsur
perubahan. Munenes itu ada tapi sudah tidak seperti sebelumnya, dulu munenes
rasanya terlalu sedih menangis seperti orang mau meninggal. Diberi bakalnya,
itukira-kira adat, sistem, artinya perempuan pindah ke keluarga laki-laki yang
disebut dengan sistem juelen. Itu bukan berarti dijual, tidak. Itu hanya istilahnya
saja. Sekarang sudah berlaku kuso kini, artinya terkadang di keluarga perempuan,
terkadang di keluarga laki-laki. Satu lagi angkap, artinya perempuan yang
meminta laki-laki. Tapi tetap mahar dari laki-laki ke perempuan. Permintaannya
diberikan kepada penganti laki-laki. Diberi kebun, di beri sawaah karena dia
sudah menghidupi istrinya. Dia memiliki kewajiban terhadap anak perempuan,
untuk menghidupi ayah, ibunya. Umumya pernikahan angkap jika tidak memiliki
anak laki-laki dalam keluarga, makanya dilakukan pernikahan angkap,. Dan
kebetulan orang pun agak susah. Hanya itu 3 bentuk pernikahan. Itu adat bukan
syariat.
Tetapi hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat, karena pelaksanaan akad
nikahnya sudah dengan syariat dilaksanakan dalam adat tersebut.
Tanya : berarti setelah akad nikah itu semua murni adat?
Jawab : sebelum akad, berguru itupun termasuk adat tapi menunjang syariat,
bersibetehen/saling mengenal itu adat menunjang syariat, pemberian adat, mahar
syariat. Jadi kesimpulannya banyak adat Gayo yang menunjang syariat, makanya
ada perumpamaan “pelihara edet kuet syariet, ike edet rusak, rusak syariet”
artinya pelihara adat kuat syariat, jika adat rusak, maka rusaklah syariat, itulah
adat Gayo.
87
Artinya terpadu, syariat itu dijaga oleh adat, adat dan syariat saling berdampingan,
saling menguatkan satu sama lainnua. Jadi adat ini dimaknai dari surat Ar-rum
ayat 30, jadi itulah pernikah adalah satu perasaan, satu hidup, baru terjadi
mawaddah wa rahmah. Antara kedua suami-istri menjadi satu atas adanya kasih
sayang, dan rahmat. Jadi seluruh rangkaian adat ini untuk menciptakan mawaddah
wa rahmah.
Tanya : jika tidak ada orang melakukan pernikahan yang tidak sesuai denga adat
Gayo apakah ada sangsinya?
Jawab : segalanya memiliki sangsi. Minsalnya jika ada orang menikah dalam satu
belah atau satu lingkungan kecil, maka ia akan dipisahkan (parak) atau diusir dari
kampung, karena hal itu tidak boleh, jika minsalnya tidak jadi pemberiannya tidak
jadi menukah itupun mendapatkan sangsi juga. Ada juga jaman dahulu sangsi
berbentuk denda, jika di parak pun ada orang yang memotong kerbau untuk
dimakan bersama itupun termasuk denda.
Sekarang apakah nikah satu belah (kampung) cocok dengan agama? Jika orang
Gayo melarang pernikahan satu belah tapi tidak dilarang oleh syariat, itu asalnya
untuk menjaga syariat, jaman dulu dalam satu kampung hanya terdiri dari satu
belah, jadi belah ini sudah dianggap sebagai saudara, di dalamnya tidak
seluruhnya muhrim, tapi agar tidak terjadi pelanggaran syariat, atau perbuatan
tabu (sumang). Untuk menghormati satu muhrim dibatasi dengan belah. Bagi
yang melanggar syariat itu menikah dengan 13, itu masih mihrim. Ada lagi hadist
nabi “nikahlah kamu dengan orang yang lebih jauh hubungan keluarga mu supaya
kamu cerdik” tapi itu bukan hadist hanya anjuran, mungkin orang Gayo mengutip
dri hadist itu. Mungkin.
88
Almarhum Bapak Dr. H. Muhammad Ibrahim, M.A Sebagai Narasumber
89
Hasil Wawancara
Nama : Intan Permata Islami
NIM : 1113022000080
Narasumber : Drs. Basiq Jalil, M.A
Tempat/Tanggal Wawancara : Ciputat, 21 September 2017
Tanya : perlengakapan adat pernikahan, minsalnya seperti munginte, dalam
kegiatan munginte pertama kali apa yang diserahkan, bahan-bahannya apa saja?
Jawab : ada tiga, sebelum pernikahan, acara pernikahan, setelah pernikahan.
Sebelumnya adat yang dikatatan adat, umumnya adat di mana pun adalah
kebiasaan, tingkah laku suatu masyarakat, dan berulang-ulang dikerjakan, berlatar
belakang sumber yang berbeda bukan. Mungkin jika di Bali lain sumbernya.
Begitu juga di Jawa apa adatnya, di Batak apa. Tapi jika di Gayo di latar
belakangi Islam. Islam itu dilahirkan menjadi kebiasaan, itualh adat di Gayo, di
Aceh pun demikian. Jadi bukan karena kebiasan begitu-begitu saja. Sebenarnya
adat islam itu yang menyerap ke masyarakat dilaksanakan berulang-ulang menjadi
kebiasaan. Seperti kamu memakai bajumu tangan kanan atau tangan kiri dulu?
Tangan kanan. Coba tanyakan kepaada orang-orang mengapa tangan kanan
duluan memakai baju, dari mana asalanya, jika dijawabnya tangan kanan dulu,
dari mana asalnya? Islam. Itulah alasan snough Hourgronhe dulu “kebiasaan
orang Aceh adatnya dari agama, dia melaksanakan perbuatannya bukan karena
agama, karena itu adat”. Kenapa tangan tangan terlebih dahulu? Karena itu
kebiasaannya. Dia sudah tidak menyadari bahwa itu adalah perintah agama.
Perintah agama itu dijalankannya menjadi adat. Itu artinya adat di Gayo ajaran
Islam dikerjakan dengan seriaus menjadi kebiasaan.
Selanjutnya orang-orang tua jaman, yang ahli-ahli diantara mereka, merancang
adat yang sesuai dengan agama, agar mengandung kemashalahatan bagi
masyarakat di waktu itu. Adat dibuat untuk kemaslahatan masyarakat dengan
90
tidak menentang ajaran agama Islam. Ada satu dua kebiasaan dikaji menentang
Islam itu menjadi masalah lain, ada contoh kebiasaan di Gayo yang bertentagan
dengan Islam, seperti minsalnya apa, tau kamu?
Tanya : band, keyboard, itu bertentangan.
Jawab : kebiasaan orang Gayo itu, tidak boleh berbicara ketika saat makan, itu
langsung dimarah orang tuanya. Itu bertentangan dengan islam, dalam Islam nabi
memerintahkan berbicara ketika makan, ada satu dua itu masalah alin. Itulah
mengapa adat itu diciptakan guna untuk kemashalahatan masyarakat di waktu itu.
Sebab peraturan dibuat peraturan apapun, peraturan rumah, itu dalam
perkembanganya nanti akan ketinggalan jaman. Pada saat itu bagus, itulah
mengapa kata ahli, pada saat aturan itu disahkan, tak… tak…, pada saat itu juga
sudah ketinggalan jaman. Itulah kehebatan dari kemajuan ini. Itu pengertian adat
bukan. Misalnya adat yang mengandung kemaslahatan umat dimasa itu,
pernikahan angkap, dan pernikahan ang-o (juelan), jaman apa kemashalahatannya
sehingga dibuat, biar jelas.
Angkap ini yang laki-laki menjadi keluarga perempuan, itu angkap,jika dia datang
ke keluarganya kembali maka dia dianggap sudah sebagai tamu. Itu tidak mahal
harganya, tidak harus dari laki-laki memberikan uang untuk perkawina, yang
mahal di pihak perempuan karena dia mau menjadi keluarga laki-laki itu namanya
juelen. Itu ketika mau berangkatnya nanti, ketika hendak diserahkan munenes
namanya, menangisi segalanya, mulai dari tempat bermain, kamar tidur,
keluarganya itu semuanya di tangisi sebab esok tidak akan berjumpa lagi dengan
kesemua itu, jika datang berkunjungpun hanya akan menjadi tamu saja,
pernyerahan ini namanya tenes.
Uang yang diserahkan laki-laki kepada perempuan, berupa biaya perkawinan,
permitaan, uang dapa, dikita sana Gayo jaman dulu unyuk. Jika antara Aceh dan
Gayo terjadi pernikahan. Tetap sama seperti itu, tapi orang Aceh jaman dulu
datang ke kita sana kerjany memanen padi, lalu bertemu perempuan yang
memikat hatinya, cocok menurutnya. Orang kita menerima orang Aceh menjadi
91
mantunya, tapi dengan syarat uang dapa untuk diserahkan kepada keluarga
perempuan, sampai sebelum dipenuhinya uang tersebut, ia belum diperbolehkan
membawa istrinya ke Aceh, jika bisa semua jika sudah lunas, itu kan adat. Ada
hikmahnya dari adat tersebut, hikmahnya adat tadi yang menciptakannya
bukanlah orang yang tidak tahu menahu, orang-orang pinter berkumpul, yang
mengerti bahasa tinggi, cerdas memprediksikan kondisi yang akan datang, itulah
mengapa di ciptakan pernikahan angkap, juelan karena itu akan terjadi ketika
masanya tiba.
Di kita sana pada jaman dulu di kampung itu terpagar oleh adat, minsalnya orang
Hakim tidak boleh pergi ke Bale, walaupun memiliki kawannya. Kampung itu
telah terpagar oleh adat. Orang yang datang ke kampung tersebut sah saja jika
dipukuli warga karena tidak meminta ijin terlebih dahulu. Adat itu terjadi dengan
rapi, mengapa demikian, itu untuk keamanan, karena dala satu kampung itu
dianggap satu ibu satu ayah, istilahnya “beru ber-ine bujang ber-ama” jadi secara
adat satu kampung adalah saudara se-ayah se-ibu.
Oleh karena itu sewaktu melamar asal usulnya harus benar, atau haru jelas
diterima menikah angkap atau juelan. Jika siap angkap artinya pengantin laki-laki
harus siap hidup menjadi orang perempuan (Gayo), jika menikah juelan berarti
sebaliknya. Perempuan yang menikah juelan tidak diperbolehkan lagi kembali ke
rumah orang tuanya karena dia sudah diantar dengan cara mutenes. Kalau
sekarang sudah tidak lagi, dalam satu kampung sudah banyak warga pendatang,
jadi tradisi menikah satu kampun dan satu belah sudah tidak dipertahankan lagi.
Jaman dulu jika terpaksa dia menikah dengan satu kampungnya pasti akan terkena
sangsi, di usir dari kampung dan menyembelih kerbau, namun kesemua itu seiring
berjalannya waktu adat tersebut tidak dapat dipertahankan.
Pelaksaan pernikahan, tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang,
esok hendak dilaksanakan pernikahan, malam ini ada kegiatan yang dilakukan
dengan istilah beguru. Berguru ini bertujuan untuk memberikan nasihat, wejangan
memohon maaf kepada kedua orang tua dan keluarganya. Biasanya dalam acara
92
beguru ini yang menyampaikan nasehaat bisa saja ayahnya, ibunya atau
diwakilkan kepada keluarga yang lain. Isi nasihatnya berupa permohonan maaf
ayah kepada anaknya. Kenapa memohon maaf, karena dalam perasaan ayahnya
ketika anaknya sekolah ada keinginan aak yang tidak dapat dipenuhi olehnya.
Menyampaikan pesan terakhir, karena itu merupakan pesan terakhir yang
diberikan ayah kenapa anak yang masih berstatus lajang.
Ketika hendak mah bai ada dilakukan tepung tawar. Dengan bahan bebesi, batang
teguh, dedingi, ongkal. Ini hanya sebagai sarana untuk berdo‟a bukan berarti
tumbuhan itu yang mengabulkan do‟a. Akan tetapi dengan adanya batang ongkal,
yang tumbuh dikuburan, maknanya pasangan suami istri ini selalu bersama hingga
maut memisahkan. Begitulah simbolnyakira-kira.
Dalam proses lamaran sudah tuntas semua proses adatnya hingga dilaksanakan
mah bai. Setelah akad kemuadian dilakukan tenes. Jika dalam pernikahan angkap
bukan nenes namanya tetapi mahkero (bawa nasi). Jadi dengan perbedaan nama
ini orang dapat mengerti apa status pernikahan tersebut.
Tanya : selesainya sampai proses munenes?
Jawab : iya, jika pernikahan juelenm maka diakhiri dengan munenes. Jika
pernikahan angkap maka mah kero.
Tanya : apa saja perlengkapan saat berguru?
Jawab : itulah ampang tadi. Ada dia khusus disitu, dan selimutnya. Itu intinya
harus ada ampang(tikar) dan selimutnya(ulen-ulen). Waktu berguru sebenarnya
malam, karena di waktu malam semua masyarakat ada waktu luang, jika di siang
hari itu waktu masyarakat untuk bekerja, ke kebun untuk mencari nafkah.
Tanya : dalam berguru ada disediakan 3 nampan besar, itu isinya apa saja ya kek?
Jawab : rinciannya itu dikembangkan, jika di Betawi ada roti buaya, jika kita
waktu berguru ada disediakan pinang, beras, kunyit, telor, jarum, benang. Itu jika
di kampung ada reje, kepadanya terlebih dahulu diserahkan nampan berisi
93
peralatan sirih dll. Diserahkan itu sebagai penghormatan kepada reje bahwa reje
inilah yang melaksanakan pernikahan ini. Selain reje ada imem, dengan imem
juga barang-barang tersebut. Itupun sebagai bentuk penyerahan yang
melambangkan bahwa imem juga memiliki hak dalam memimpin proses
pernikahan ini. Dalam beras terdapat amplop dan uang, sebagai penghormatan,
seluruh beras diserahkan untuk reje dan imem untuk dibawa pulang.
Tanya : maknanya apa itu kek?
Jawab : maknanya penghormatan, jika sekarang orang tua pergi kemasjid, orang
ceramah tidak boleh dia memulangkan uang yang telah diberikan, itu bentuk
penghormatan, harganya.
Tanya : ketika munginte kenapa harus menggunakan telangke?
Jawab : itu karena ketidak jelasan diterima atau tidaknya pinangan, jika
seandainya tidak diterima, keluarga peminang pasti akan malu. Jadi untuk
menghidari yang sedemikian itu di gunakan telangke. Intinya supaya ada
keleluasaan antar keluarga perempuan dengan telangke dari pihak keluarga laki-
laki yang melamar, dalam membicarakan peminangan ini.
Penulis dengan Narasumber Bapak Basiq Jalil
94
Hasil Wawancara
Nama : Intan Permata Islami
NIM : 1113022000080
Narasumber : Drs. Jamhuri, M.A
Tempat/Tanggal Wawancara : Banda Aceh, 21 Mei 2017
Tanya : cerita dari makna-makna dari awal munginte sampai akhir pernikahan?
Jawab : dari munginte, eum mungkin itu, pertama kita ceritakan secara umum
pernikahan di Gayo mungkin sama dengan di daerah lain, yang dimulai dari kalau
bahasa Indonesianya kan meminang atau bahasa Gayonya kan munginte,
kemudian sesudah munginte terus dikenal dengan mujule mas, eh penampong
kuyu duu, kemudian sesudah itu baru mujule mas, kemudian setelah mujule mas
terus mujule… apa itu namanya? mujule beru, setelah mujule beru selanjutnya
mah bai, itu kire-kire apa? Oya prosesi pernikahan secara umum, jika sekiranya
kita ingin menelaah kembali tentang munginte ini! Sebenarnya munginte ini jika
dalam bahasa Gayonya dalam adat jaman jika orang mengetahui dalam sebuah
rumah, memiliki anak gadis atau tidak. Bisa tidak bahasa Gayo?
Tanya : bisa…
Jawab : ada atau tidaknya anak gadis di sebuah rumah, jika dalam adat gayo
sebenarnya ditandai dengan adanya tanaman bunga , artinya jika kita pergi ke
kampung orng, sesampainy di kampun tersebut, terlihat ada apa? Ada bungadi
halaman rumahnya tertanam bunga, bunganya terlihat cantik, kemudian itu
menandakan di dalam rumah tersebut ada… ada anak gadisnya!. Karena kenapa
melihat kepada hal tersebut jaman itu, karena jika dalam adat Gayo pada dasarnya
antara permpuan dan laki-laki tidak saling mengenal. Yang mencari pasangan
biasanya orang tua, orang tua yang mencarikannya.
Kemudian dalam perubahannya dalam perkembangan jaman, ada diantara laki-
laki dan perempuan saling mengenal dengan sendirinya. Jika jaman dulu ada yang
95
memperkenalkan laki-laki dan perempuan antara satu kampung dengan kampung
yang lain, masih ingatkah kamu dala istilah Gayo ada istilah mujek, njek itu apa?
Sehabis potong padi, kemudian apa… munoleng dulu, munoleng apa?
Tanya : anu..memotong padi
Jawab : kemudian habis itu kan njek, dulu merontokkan padi kan dengan kaki.
Biasanya itu yang merontokkan kaki itu diundang dari kampung lain, umpamanya
di kampung mana? Umpamanya di kampung Blang Panas, kalau disitu
merontokan padi, umpamanya yang punya sawah ini di mana ada umpamanya
keluarganya, umpamanya, umpamanya ada di Kenawat, maka umpamanya orang
Blang Panas ini mengundang saudaranya yang di Blang eeeh yang di Kenawat
untuk merontokkan padi, sehingga disitu nanti kan umpamanya yang merontokan
padi itu kan anak lajang (bebujang) yang mujik-nya, kemudian biasanya gadis-
gadis di kampung Blang Panasnya mujes, mu jes ni tau kamu? Mujes ni artinya
daun padi di terbang-terbangkan agar padinya jatuh.
Pada saat itulah biasanya terjadi komunikasi antar laki-laki dan perempuan, itu
dulu apa? Itulah yang menjadi saran perkenalan antara laki-laki dan perempuan
pada saat itu. Setelah selesai mujek biasanya langsung pulang kerumah, setelah
selesai bekerja dari pagi hingga petang para lelaki pulang kekampungnya,
minsalnya dari Blang Panas pulang ke Kenawat, selanjutnya laki-laki bertanya
kepada bibinya si perempuan “bi”, “apa”, “yang fulin tadi siapa namanya, seperti
kena kehatiku” bla bla bla. Itulah sarananya pada jaman itu untuk berkenalan
antara laki-laki dan perempuan.
Kemudia setelah itu bibi yang tadi menanyakan kepada keluarga perempuan untuk
tujuan munginte, untuk menyakan apakah sudah ada orang leain selama ini yang
datang melamar atau belum. Atau ditanyakan dalam bahasa lain, minsalnya
dengan “ini buet ni bebujang seni nge mujadi buet ni tetue” ini pekerjaan anak
muda, tapi sekarang sudang menjadi pekerjaan para orang tua.
Kemudian ketika datang waktunya munginte baru diberikan jawaban oleh anak
gadisnya, bahwasanya selama ini belum ada yang pernah datang melamar,
dengan istilah “bunge ni gere ara ilen ngeh kalang memang, gere ara ilen” bunga
96
ini belum pernah dihinggapi kupu-kupu, belum pernah. Lalu setelah menerima
jawaban tersebeut lalu di berikan penampong ni kuyu.
Tanya : penampong kuyuu?
Jawab : penampon ni kuyu ini adalah bahasa adat, minsalnya begitu datang
keluarga laki-laki untuk munginte ke keluarga perempuan, kata keluarga
perempuan “belom ada selama ini yang menandainya, masih belum ada” kata
keluarga perempuan, “ya sudah kalau begitu kami akan memberi penandanya
(penampong ni kuyu). Nanti ketika datang orang lain tiak boleh diterima inilah
tujuan penampong ni kuyu disini agar tidak datang pemuda lain dengan maksud
untuk melamar gadis yang sama. Seperti kata hadis nabi “tidak boleh membeli
atas pembelian orang lain” begitu juga dalam hal meminang diatas pinangan
orang lain. Itulah tujuan dari peampong ni kuyu ini.
Kemudian ada nome nipi jege maksudnya adalh untuk menyelidiki akhlak
masing-mang, karena keduanya belum pernah saling mengenal sebelumnya,
selanjutnya setelah menyelidiki akhlak masing-masing. Jika lamaran diterima
lamaran ini maka penampong ni kuyu ini tidak kembalikan lagi. Selanjutnya
barulah menentukan kapan waktu dilaksanakannya mujule mas, memusyarahkan
berapa mahar dan teniron (permintaan) oleh keluarga perempuan, biasanya mahar
berbentuk emas, sedangkan teniron berbentuk lemari, mesin jahit, kebun. Itu
merupakan hal yang mewah pada masa itu.
Ketika sudah ditentukan waktu mujule mas, jika dalam agama emas diserahkan
ketika akad nikah, tapi di Gayo emas diantarkan sebelum akad nikah
dilaksanakan. Orang yang mengatarkan emas ini disebut dengan rempele.
Disinilah ada nilai adatnya. Mahar hukumnya wajib dalam agama, sedangkan
teniton adalah adat dalam masyarakat Gayo dan dulu bisa dikatakan wajib, tidak
ada pernikahan di Gayo yang hanya memberikan emas saja tanpa permintaan yang
lain dalam pernikahannya, umumnya teniron ini nilai rupiahnya lebih banyak, jika
emas tidak banyak.
Ketika mujule emas biasanya yang pergi mengatarkan sudah beramai-ramai
dengan aparat kampung atau sarak opat, seperti reje, imem juga ikut
mengantarkannya. Sebenarnya dalam masyarakat Gayo mengatarkan emas
97
bukanlah lagi pekerjaan dari keluarga yang bersangkutan, tapi sudah
dipercayakan kepada masyarakat. Pernikahan dalam adat Gayo bukan lagi
pernikahan antara 2 keluarga, akan tetapi pernikahan antara satu desa dengan desa
lainnya. Setelah mujule mas tinggal menunggu waktu kapan akad nikah
(munyawah okom) dilaksanakan.
Tanya : kalau mujule beru?
Jawab : setelah mujule mas ditentukan kapan waktu munyawah ukum akan
dilaksanakan, sebelumnya ada rapat besinte (rapat keluarga, setelah rapat
keluarga ada rapat masyarakat atau rapat kampung. Dalam rapat kampung ini
kedua orang tua calon pengantin menyerahkan acara nikahan ini kepada
masyarakat kampung masing-masing, seperti berutem (mencari kayu bakar),
bejantar (mencari sayur mayur), semuanya diserahkan kepada masyarakat
kampung, baru setelahnya ditentukan kapan waktu pelaksanaan munyawah ukum.
Sebelum munyawah ukum, malamnya ada acara beguru, beguru dilakukan
sebelum mujule bei, dalam beguru biasanya dari pihak perempuan biasanya
besebuku (menangis dengan menyampaikan segala perasaan, dapat berupa amat
dari orang tua, permohonan maaf) dengan rangkaian acara amanat dari petua
kampung, salaman keliling kepada masyarakat kampung yang berhadir. Dan
ketika bersalaman dengan ibunya maka akan menangis bersebuku, berterima kasih
kepada orang tua yang telah melahirkan, mebiayai, dan munculnya penyesalan,
meminta maaf, sehingga muncullah sebuku.
Setelah itu ke esokkan harinya mah bei, artinya keluarga laki-laki datang kepada
keluarga permpuan untuk munyawah ukum. Setelah akad nikah (munyah ukum),
biasanya pengantin laki-laki tidur menginap di rumah pengantin perempuan untuk
satu malam. Dia tidak ikut pulang bersama keluarganya, karena ke esokan harinya
dilaksanakan mujule beru ke rumah pengantin laik-laki. Inilah dalam bahasa
Gayonya munenes. Karena dalam pernikahan juelen ditandai dengan adanya
kegiatan munenes. Disana ibu dari pengantin perempuan memberikan
perlengkapan dapur seperti: piring, gelas, sendok, dll, di berikannya kepada
pengantin perempuan. Munyawah ukum (akad) adalah proses agama, dalam
proses mengantar manten ke sana sini adalah proses adat.
98
Tanya : melengkan terjadi dua kali ya pak?
Jawab : ketika laki-laki diserahkan kepada kepala kampung perempuan diawali
dengan melengkan, sebaliknya kalau munenes jadi disana juga terdapat
melengkan.