nilai-nilai islam dalam upacara adat...

109
NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO (KABUPATEN ACEH TENGAH) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) Oleh Intan Permata Islami NIM. 1113022000080 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Upload: lamanh

Post on 19-Apr-2018

234 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

ETNIK GAYO

(KABUPATEN ACEH TENGAH)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh

Intan Permata Islami

NIM. 1113022000080

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini
Page 3: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini
Page 4: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini
Page 5: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

iv

DEDIKASI

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Kedua orang tua penulis, bapak Piryadi dan ibu Hilma Sari, kalian adalah orang-

orang terhebat dalam hidup penulis. Terima kasih atas do‟a dan dukungan yang

terus kalian berikan saat penulis berada dalam kesulitan sampai penulis mampu

melewatinya.

Para guru yang telah mendidik dan mengajarkan banyak ilmu pengetahuan

sebagai bekal untuk masa depan penulis.

Adik-adik penulis, Berlian Helm iyadi, Mutiara Fastawa Aqidah, Masrura Fazwa,

Pirak Nafisatun Najah kalian semangat penulis dalam menempuh pendidikan,

jadilah lebih baik dari apa yang penulis capai kini.

Keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Islam, SDN 1 Sp. Teritit, dan TK Aisyiah

yang telah mengantarkan penulis dalam dunia pendidikan hingga ke jenjang yang

lebih tinggi.

Page 6: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

v

ABSTRAK

Studi ini mengkaji sebuah nilai-nilai Islam yang terdapat pada upacara

adat perkawinan masyarakat Gayo. Pelaksanaan upacara perkawinan ini

berlangsung dengan sangat khidmat, yang dimulai dari awal perkenalan, upacara

munginte sampai dengan selesai upacara yaitu munenes. Aturan-aturan

pelaksanaan upacara perkawinan ini sudah diatur semenjak Kerajaan Linge, dan

semenjak Islam masuk ke Dataran Tinggi Tanah Gayo maka masyarakat Gayo

mengadopsi aturan-aturan Islam ke dalam adat Gayo. Dalam penulisan ini

menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dan ilmu bantu

antropologi budaya. Adapun teknik yang digunakan dengan melakukan interviews

dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata cara pelaksanaan upacara

perkawinan serta nilai-nilai Islam yang terdapat pada upacara adat perkawinan

dan studi kepustakaan untuk melengkapi informasi yang telah ada. Masyarakat

Gayo menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan melakukan perkawinan

eksogami. Perkawinan eksogami merupakan perkawinan yang mengharuskan

pihak laki-laki untuk mengambil calon istrinya dan berasal dari luar klennya.

Dalam setiap proses upacara perkawinan pada masyarakat Gayo mengandung

nilai-nilai Islam. Sebagaimana pelaksanaannya tidak ada yang bertentangan

dengan Islam, karena hukum adat pada masyarakat Gayo mengandung nilai-nilai

Islam yang berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadist.

Kata kunci: Upacara Perkawinan, Nilai-nilai Islam.

Page 7: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, bahwa

atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul: Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Adat Perkawinan Etnik Gayo

(Kabupaten Aceh Tengah).

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad

SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman, amin.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan sebab keterbatasan

kemampuan penulis, namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan saran serta

kerja sama dari berbagai pihak, khususnya pembimbing kekurangan tersebut

menjadi lebih berarti. Dalam kesempatan ini pula, penulis menyampai ucapan

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora.

2. Bapak Nurhasan, M.A. Selaku Ketua Program Studi Sejarah dan

Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi

dalam beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga

segalanya menjadi lebih mudah.

3. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah

dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi

mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat

ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

4. Bapak Drs. Azhar Saleh, M.A. Selaku dosen pembimbing skripsi yang

memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus

mencari sumber dalam penulisan ini, serta selalu memotivasi penulis untuk

segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.

5. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. Selaku dosen Pembimbing Akademik

yang selalu memberi motivasi setiap memberikan pelajaran mata kuliah,

serta banyak memberikan masukan yang membuat penulis semangat dalam

menyelesaikan Studi Program Sejarah dan Peradaban Islam.

Page 8: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

vii

6. Prof. Dr. Dien Madjid, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan salah seorang

dosen yang mengispirasi penulis menjadi mahasiswi Sejarah dan

Peradaban Islam, serta ingin menjadi sejarawan yang bisa bermanfaat bagi

bangsa khususnya bagi daerah penulis Dataran Tinggi Tanah Gayo, dan

selalu menasihati dan memotivasi penulis selama menjadi mahasiswi.

7. Seluruh dosen Prodi Sejarah dan Peradaban Islam yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu namun ilmu yang telah kalian berikan sangat berarti

dalam hidup penulis.

8. Bapak Yusradi Usman Al-Gayoni yang telah meminjamkan buku terkait

tentang kebudayaan Gayo sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluargaku, ayahandaku Piryadi dan ibundaku Hilma Sari yang telah

banyak memberi kasih sayang kepada penulis dan memberi dukungan

setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan

menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. Tidak lupa

juga kepada adik tercintaku Berlian Helmiyadi yang selalu mengingat dan

memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Almarhum Dr. Mahmud Ibrahim, M.A telah meninggal pada tanggal 21

Desember 2017. Selaku narasumber yang telah banyak memberi masukan

tentang penelitian dan memberi buku yang berkaitan dengan penelitian

penulis.

11. Bapak Drs. Jamhuri, M.A, Kakek Muhammad Nasir, dan bapak Basiq

Djalil. Selaku narasumber saya yang telah meluangkan waktu dan

memberikan kesempatan untuk dapat mengetahui informasi terhadap

materi dalam penelitian penulis.

12. Khairil Anbiya selaku sahabat penulis yang banyak memotivasi dalam

menempuh pendidikan ini dan juga banyak membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini.

13. Saudari Naya Naseha. Sahabat penulis, teman satu kost, teman dari MTs,

Aliyah, hingga jenjang kursi perkuliahan, teman diskusi dan bertukar

pikiran yang juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

vi

Page 9: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

viii

14. Temen-temen dari Komunitas Anak Panah yang penulis harus

mengucapkan terima kasih kepada Faridah Andriani, Saadah, Farah

Awalia, Rizka Azizah, Yulia Kartika, Mutia Saadah, Septi, Hirma, Rizka

Fauziah, Widi, Sartika, Taufiq, Haikal, Faisal, Iki, Juliawan, dan masih

banyak lagi sehingga tidak bisa disebut satu-persatu. Kita bersahabat

dalam perbedaan untuk menyatukan mozaik cerita kita sejak Orientasi

Mahasiswa Baru, Wisuda, hingga beranak cucu. Semoga Allah tetap

menjalin ukhuwah ini kapan dan di manapun kita berada. Temen-temen

Komunitas Anak Panah juga selalu direpotkan selama masa perkuliahan

dan penulisan skripsi ini.

15. Temen-temen seperjuangan di SPI angkatan 2013 yang banyak membantu

dalam menyelesaikan skripsi ini.

16. Temen-temen MTs dan MA-ku di Nurul Islam, Rizki T.W, Putri, Asih,

dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut satu-persatu.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT selalu meberikan balasan yang berlipat ganda kepada

semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun

akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah

SWT penulis serahkan segalanya mudah-mudahan dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua.

Jakarta, 2 Januari 2018

Intan Permata Islami

Page 10: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

DEDIKASI ............................................................................................................ iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Ruang Lingkup Masalah ................................................................... 7

C. Rumusan Masalah ............................................................................. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8

F. Kerangka Teori.................................................................................. 9

G. Metode Penelitian............................................................................ 10

H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH TENGAH .................. 14

A. Letak Geografi Kabupaten Aceh Tengah ........................................ 14

B. Sejarah Singkat Etnik Gayo ............................................................ 16

C. Kondisi Kebudayaan Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah . 20

1. Sistem Pemerintahan .............................................................. 20

2. Kondisi Ekonomi dan Mata Pencarian ................................... 21

3. Kondisi Agama ....................................................................... 23

BAB III TAHAPAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO ... 24

A. Pengertian Perkawinan .................................................................... 24

B. Upacara Sebelum Perkawinan......................................................... 27

C. Upacara Pelaksanaan Perkawinan ................................................... 35

D. Upacara Setelah Perkawinan ........................................................... 40

Page 11: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

x

BAB IV NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN ETNIK GAYO ......................................................... 43

A. Nilai Aqidah .................................................................................... 43

B. Nilai Ibadah ..................................................................................... 47

C. Nilai Akhlak .................................................................................... 51

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 55

A. Kesimpulan ..................................................................................... 55

B. Saran ................................................................................................ 56

GLOSARIUM ...................................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 65

Page 12: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengenai masalah kebudayaan, banyak sarjana antropologi yang

memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah, yaitu E.B.

Tylor, ia mengemukakan tentang kebudayaan dalam bukunya yang berjudul

Primitive Culture, “Culture or Civilization, is that complex whole which includes

knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits

acquired by man as a member of society”1 yang artinya kebudayaan atau

peradaban adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan berbagai kemampuan lain

serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Adapun R. Linton dalam buku The Cultural background of personality,

menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil

laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota

masyarakat tertentu.2

Dari definisi-definisi di atas, masih ada beberapa definisi yang dikemukakan

oleh para pakar Indonesia seperti: Koentjaraningrat, mengatakan kebudayaan

paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan

sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan

sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) wujud benda, yaitu

wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.3

Definisi di atas kelihatannya berbeda-beda, namun semuanya berprinsip

sama, yaitu mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil

kelakuan manusia, yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar.

1 Edward Burnett Tylor, Primitive Culture: Researches Into the Development of Mithology,

Philosophy, Religion, Art, and Custum (London: John Murray, Albemarle Street, 1871), h. 1 2 Djoko Widagdho, dkk. , Ilmu Budaya dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 19.

3 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembanguna (Jakarta: Gramedia, 1985),

h. 5

Page 13: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

2

Semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu kebudayaan

dapat didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar. Yang semuanya

tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Kebudayaan terbagi menjadi dua yaitu: a) Kebudayaan material (yang

bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda cipta manusia, misalnya: alat-alat

perlengkapan hidup, b) kebudayaan non material (bersifat rohaniah) yaitu, semua

hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi, bahasa, ilmu pengetahuan.

Adapun jenis kebudayaan yang penulis teliti adalah kebudayan non material.4

Dengan menggunakan pendefinisian seperti di atas, maka ada kaitannya

dengan masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. Karena

kebudayaan milik masyarakat bukan milik seseorang individu dan kebudayaan

juga tercipta dari dalam pemikiran para masyarakat melalui komunikasi di antara

para individu.

Masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang saling terkait

oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum-hukum khas, dan yang

hidup bersama. Kehidupan bersama ialah kehidupan yang di dalamnya kelompok-

kelompok manusia hidup bersama-sama di suatu wilayah tertentu dan sama-sama

berbagi iklim. Kehidupan manusia bersifat kemasyarakatan, artinya bahwa secara

fitri ia bersifat kemasyarakatan. Dalam masyarakat juga terdapat kebudayaan atau

tradisi, adat istiadat yang berbeda-beda menurut wilayah atau kelompok-

kelompok masyarakat tersebut.5

Berbicara masalah masyarakat maka penulis akan menyinggung tentang

masyarakat Gayo (urang Gayo) yang terletak di tengah-tengah wilayah

administratif yang kini disebut sebagai Provinsi Aceh. Wilayah tempat tinggal

suku bangsa Gayo ini dikenal dengan nama Dataran Tinggi Tanah Gayo. Dataran

Tinggi ini merupakan bagian dari rangkaian Bukit Barisan yang melintasi Pulau

Sumatra. Lingkungan alam yang berbukit-bukit ini, rupanya telah menyebabkan

orang-orang Gayo yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok.

4 Widagdho, Ilmu Budaya dasar, h. 20

5 Murtadha Mutahhari, Masyarakat dan Sejarah. Penerjemah M. Hashem (Bandung:

Mizan, 1986), h. 15

Page 14: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

3

Di tengah lingkungan alam yang sedemikian itu, orang Gayo yang

menghuni Dataran Tinggi Tanah Gayo meliputi Kabupaten Bener Meriah,

Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues. Selain dari empat Kabupeten

tersebut ada sebagian suku Gayo tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh

Tamiang, Aceh Timur. Orang Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang

disebut Gayo Kalul, sedangkan yang berada di Daerah Kabupaten Aceh Timur

disebut Gayo Serbejadi atau Gayo Semamah.6

Suku bangsa Gayo yang mendiami daerah pegunungan di pedalaman Aceh

itu adalah suatu suku di antara sekian banyak suku bangsa Indonesia di Kepulauan

Nusantara. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan

kebudayaan Aceh di daerah pesisir, mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat

sendiri yang berbeda dengan bahasa, adat istiadat Aceh, Karo, Batak, Melayu, dan

suku lainnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Islam di daerah Aceh

dan Gayo, baik kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo adalah kebudayaan

yang bernapaskan Islam. Meskipun demikian Gayo mempunyai ciri-ciri tersendiri

yang berbeda dengan kebudayaan Aceh umumnya.

Hubungan suku Gayo dengan suku Aceh di pesisir rapat sekali karena suku

Gayo berada dan hidup bersama dengan suku Aceh dalam lingkungan Kerajaan

Islam Aceh. karena Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam, sedangkan suku Aceh

maupun suku Gayo adalah pemeluk-pemeluk agama Islam pula, maka

percampuran kedua suku ini banyak dan rapat sekali, selain hidup dalam satu

kerajaan, tetapi lebih-lebih karena hubungan dalam satu agama.7

Pada masa kerajaan Perlak dipimpin oleh Sultan Machdum Alaidin Malik

Mahmud Syah pada tahun 420-450 H/1012-1059 M, beliau mengirim Syekh

Sirajuddin ke Buntul Linge yang terletak di Dataran Tinggi Tanah Gayo untuk

mendidik dan memimpin pelaksanaan ajaran Islam di kerajaan Linge, membantu

Merah Isaq dan anak Merah Mersah, menjadi raja Linge sekitar tahun 455 H/1064

M.

6 M.J. Melalatoa, Kebudayaan Gayo (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), h. 25

7 M. H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1983), h. 33-34.

Page 15: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

4

Syekh Sirajuddin untuk mendidik dan memimpin pelaksanaan ajaran Islam

di kerajaan Linge. Syekh Sirajuddin berkedudukan di wilayah Serule, sebuah

wilayah di bagian barat sungai Jamboe Aye. Karena itu beliau dijuluki Chik

Serule, sebagai gelar ulama yang memimpin agama Islam dalam kerajaan Linge.

Dengan kedudukan raja di Buntul Linge dan kedudukan ulama di Serule,

menyebabkan terjadi istilah orang Gayo Asal Linge Awal Serule (berasal dari

Linge dan berawal dari Serule) merupakan pelambang keterpaduan umara‟ dan

ulama dalam memimpin pemerintahan dan kemasyarakatan.8

Setelah kerajaan Linge menjadi kerajaan Islam, maka masyarakat di wilayah

itu menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat dasar

agama dan adat istiadat secara terpadu. Prinsip itu dituangkan ke dalam 45 pasal

adat masyarakat kerajaan Linge yang ditetapkan dalam musyawarah raja (merah),

ulama, pimpinan adat (Tetue). Pada tahun 450 H/1115 M. Setelah melalui proses

panjang selama tiga setengah abad. Prinsip dimaksudkan dapat dihayati dari

ungkapan adat: “agama urum edet lagu zet urum sifet, agama kin senuwen, edet

kin peger” Artinya: agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat, agama

sebagai tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut sudah jelas

bahwa keterpaduan di antara adat Gayo dan syari‟at Islam sangat erat dan saling

menunjang.9

Kalau seseorang telah dapat mengetahui ajaran Islam, tentu lambat laun

akan berkembang sehingga meluas di kalangan masyarakat. Hanya saja

meluasnya itu kemungkinan dapat melalui jalur pemerintahan atau melalui rakyat

jelata. Sebagian besar Islam itu berkembang melalui rakyat jelata. Dapat dilihat

bahwa agama Hindu datang ke Indonesia untuk kepentingan istana, seperti teknik

pembuatan candi yang merupakan aktivitas keraton, upacara istana dan

sebagainya. Karena itu agama Hindu hanya berpengaruh kepada kalangan atas itu

saja sedangkan rakyat bawahan tidak begitu merasakannya. Berbeda dengan

8 Mahmud Ibrahim, Mujahidi Dataran Tinggi Gayo (Takengon: Yayasan Maqamam

mahmuda, 2007), h. 23. 9 Ibrahim, Mujahidi Dataran Tinggi Gayo, h. 19

Page 16: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

5

agama Islam datang dengan menyusup ke lapisan bawah. Dengan kata lain Islam

itu masuk melalui masyarakat awam.10

Perkembangan Islam di daerah Gayo melalui muballigh yang pekerjaanya

lebih khusus untuk mengajarkan agama seperti utusan dari kerajaan Peurlak yaitu

Syekh Sirajuddin dan Ahmad Syarif sebagai ulama dan pemimpin ajaran Islam di

kerajaan Linge. Di samping itu para muballigh ini menyelenggarakan pesantren-

pesantren yang akan membentuk kader-kader yang kelak akan menjadi ulama. Di

kalangan masyarakat Gayo ada beberapa kalangan yang pergi menuntut ilmu ke

daerah lain, seperti ke pesantren-pesantren yang dikenal oleh kalangan masyarakat

Gayo yaitu pesantren Pulo Kitun atau pesantren Teupin Raya. Bila mereka telah

merasa cukup tentang ilmu agama Islam mereka kembali ke Gayo dan di sana

mereka membuka pendidikan Islam yang dimulai dari keluarga, lalu tetangga,

kemudian berkembang pada masyarakat. Kaum wanita yang sudah berusia lanjut

ditampung pada sebuah rumah yang disebut “Joyah”. Jalur penyebaran Islam

yang lebih pesat ialah melalui masjid.11

Dengan berkembangnya Islam di daerah Gayo Kabupaten Aceh Tengah,

maka sebelum orang Gayo memeluk agama Islam mereka mempunyai

kebudayaan yang telah mereka praktekkan. Akan tetapi dengan datangnya Islam

maka ada terjadi akulturasi yaitu: kebudayaan animisme dan Islam. Islam datang

ke Gayo tidak menghapus langsung budaya yang telah ada, akan tetapi

mencampurkannya dengan nuansa Islami agar masyarakat Gayo dengan

mudahnya masuk dan memahami Islam. Seperti pada proses upacara adat

perkawinan masyarakat Gayo yang memiliki unsur-unsur Islami yang dipadukan

ke dalam tradisi masyarakat Gayo.

Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dalam pandangan masyarakat

Indonesia pada umumnya dan Gayo pada khususnya dalam merealisasikan

perkawinan tersebut masing-masing daerah mempunyai aturan dan tata cara yang

berbeda serta mempunyai makna ciri khas tertentu yang telah terangkum dalam

adat budaya. Adat budaya Gayo senantiasa dijaga dan dilestarikan oleh

10

A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,3th

ed. (T. tp: PT. Al

Ma‟arif, 1993), h. 481. 11

Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, h. 482.

Page 17: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

6

masyarakat dipandu dalam sebuah adat yang disebut Sarak Opat12

yang terdiri

dari reje (kepala desa), imem (imam) petue (tokoh masyarakat) dan rakyat.13

Melihat kebudayaan Gayo dari tradisi upacara perkawinannya. Dalam

tradisi ini suku bangsa Gayo juga mempunyai beberapa tahap dalam menjalankan

upacaranya. Mulai dari perkenalan (bersibetehen), pelamaran (munginte) sampai

selesainya upacara perkawinan dilakukan. Waktu perkawinan pada masyarakat

Gayo sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia pada umumnya

sangat terikat kepada baik buruknya suatu waktu untuk melaksanakan suatu hajat.

Demikian pula halnya dalam menentukan tanggal dan hari upacara perkawinan

selalu melihat hari dan bulan baik sesuai dengan cara kebiasaan perhitungan

dalam masyarakat Gayo.

Masyarakat Gayo yang telah mendapatkan pengaruh Islam melihat hari dan

bulan yang baik untuk melaksanakan perkawinan adalah pada bulan-bulan Haji

(Zulhijjah), yang merupakan tanggal-tanggal pada ketika bulan sedang naik.

Sedang waktu-waktu yang dipandang tidak baik dan selalu dihindarkan oleh

masyarakat untuk melaksanakan upacara perkawinan adalah pada bulan Rajab.

Remelen (Ramadhan), berapit (Zulkaidah).14

Dalam upacara perkawinan (ngerje) suku Gayo terdapat beberapa aktivitas

atau proses kegiatan adat yang merupakan satu kesatuan dalam upacara

perkawinan (ngerje) yaitu: adat meminang atau melamar, permintaan (teniron),

diserahkan kepada guru, mengantar emas dan penentuan waktu, pelaksanaan

perkawinan serta status perkawinan, upacara petawaren atau tepung tawar, serta

unsur kesenian yang meliputi seni rupa, musik, dan tari. Hal ini menjadi menarik

12

Sarak Opat adalah istilah yang diambil dari perkataan bahasa Gayo, yang terdiri dari dua

suku kata, yaitu; “Sarak” dan “Opat”. Sarak berarti Badan, wadah dan Opat berarti kekuasaan

yang empat, terdiri dari Raja, Petua, Imam, dan Rakyat. Jadi Sarak Opat bearti wadah aparatur

pemerintahan yang mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat berdasarkan hukum adat

yang selaras dengan syariat Islam. Lihat Muqaddimah Penulis dalam Buku Syukri, MA, Sarak

Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi

Daerah (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), hal. 19. 13

AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia Bupa Bandung,

1995), h. 241. 14

A. Sy Coubat, Adat Perkawinan Gayo: Kerje Beraturen (Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984), h. 65.

Page 18: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

7

untuk dikaji lebih mendalam dari segi adat upacara tradisional perkawinan suku

Gayo.

Penulis ingin mengulas tentang tradisi adat perkawinan Gayo yang mulai

memudar di kalangan masyarakat Gayo sekarang. Masih banyak masyarakat Gayo

yang kurang memahami tentang tradisi perkawinan yang telah turun temurun

dilakukan oleh nenek moyang mereka sendiri. Walaupun menurut Islam

perkawinan telah sah dengan hanya ada saksi dan mahar yang ditentukan, namun

kebudayaan atau adat dalam perkawinan harus dipertahankan. Untuk itu tujuan

penelitian ini agar masyarakat Gayo lebih mengenal tentang kebudayaanya sendiri

dan bisa melestarikannya kepada generasi selanjutnya agar tidak pudarnya tradisi

ini dalam kehidupan masyarakat Gayo.

B. Ruang Lingkup Masalah

Untuk memfokuskan masalah, maka penulis akan membatasi penulisan

tentang tradisi upacara adat perkawinan etnik Gayo kabupaten Aceh Tengah. Dari

tahap awal upacara perkawinan sampai selesai dan nilai-nilai Islam yang terdapat

dalam proses upacara perkawinan pada Masyarakat Gayo. Selain dari proses

perkawinan ini penulis juga akan membatasi penulisan tentang sejarah Etnik Gayo

dan letak geografisnya yang berada di Kabupaten Aceh Tengah.

C. Rumusan Masalah

Agar penelitian ini menjadi terstruktur dan terinci, peneliti memfokuskan

pada masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan adat upacara perkawinan masyarakat Gayo

di Kabupaten Aceh Tengah?

2. Apa saja nilai-nilai Islam terdapat dalam upacara adat perkawinan

masyarakat Gayo?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Page 19: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

8

1. Untuk mengetahui lebih dekat dan lebih jelas tentang proses upacara

adat perkawinan pada masyarakat Gayo.

2. Untuk persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Adab dan

Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam

Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.

Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Penulis dapat menambah wawasan pengetahuan tentang nilai-nilai

Islam yang terdapat pada setiap proses upacara adat perkawinan

masyarakat Gayo.

2. Dapat memberikan kontribusi sebagai bahan bacaan atau referensi

bagi masyarakat Gayo dan pemerintahan setempat.

3. Memberikan sumbangan sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang

merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang adat dan budaya

suku Gayo.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai suatu upacara adat perkawinan memang bukan hal

yang baru, tetapi telah banyak dilakukan oleh beberapa kalangan seperti penulisan

buku, skripsi, dan para sejarawan dan budayawan yang mengungkapkan tentang

perkawinan. Akan tetapi dalam penulisan skripsi dan buku tentang Adat

Perkawinan Masyarakat Gayo penulis belum menemukan pembahasan yang

terkait secara khusus tentang nilai-nilai Islam yang terdapat dalam proses adat

perkawinan Gayo, seperti:

Buku yang ditulis A.SY. Coubat yang berjudul Adat Perkawinan Gayo

dibahas bagaimana proses adat istiadat perkawinan masyarakat Gayo,

menjelaskan beberapa macam perkawinan suku orang Gayo, dan tata cara adat

yang harus dipenuhi dalam upacara perkawinan. Yang membedakan buku ini

dengan penelitian penulis lebih terfokus pada nilai-nilai Islam yang terdapat

dalam upacara perkawinan Masyarakat Gayo.

Page 20: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

9

Buku yang ditulis M.J. Melalatoa yang berjudul Kebudayaan Gayo di dalam

buku ini dibahas bagaimana unsur-unsur kebudayaan di Masyarakat Gayo dan

problema modernisasi dalam kebudayaan Gayo. Dalam buku ini juga peneliti

belum menemukan nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara adat perkawinan

pada masyarakat Gayo.

Dalam Tesis yang berjudul Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan

“Ngerje” Kajian Estetika Tradisional Suku Gayo Di Dataran Tinggi Gayo

Kabupaten Aceh Tengah membahas tentang nilai-nilai estetika dalam upacara

perkawinan masyarakat Gayo yang berupa kesenian yang terdapat dalam

perkawinan tersebut dan menguraikan tentang simbol-simbol dalam perkawinan

di Gayo, akan tetapi tidak membahas tentang nilai-nilai Islam yang terdapat dalam

pelaksanan upacara adat perkawinan. Dalam Tesis ini pembahasannya terlalu luas

tidak hanya membahas perkawinan saja akan tetapi membahas tentang

keseluruhan dari kebudayaan atau adat istiadat Gayo. Sedangkan yang akan

penulis teliti hanya memfokuskan tentang proses pelaksanaan perkawinan dan

nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya.

F. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi budaya.

Objek kajian pendekatan ini adalah manusia dan budayanya, maka kurang

lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Agama merupakan

unsur-unsur dari kebudayaan yang eksistensinya tidak terlepas dari realitas

kebudayaan yang ada di sekelilingnya.15

Bahkan banyak upacara tradisional

dikembangkan dari ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan

budaya. Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah menjunjung tinggi agama

sehingga budaya Gayo berlandaskan agama Islam. Konsep seperti ini terdapat

pada semua daur hidup orang Gayo, termasuk pada adat perkawinannya. Unsur-

unsur Islam sangat kental pada adat perkawinan, mulai dari pencarian jodoh yang

15

Andrew Beatty, Varieties og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani

Saefuddin “Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi” (Jakaera: PT. Raja Grafindo

Persada, 2001), h. 35

Page 21: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

10

disebut bersibetehen (perkenalan) sampai munenes (menyerahkan pengantin

perempuan ke keluarga pengantin laki-laki).

Untuk mengetahui nilai-nilai Islam yang terdapat pada proses upacara adat

perkawinan masyarakat Gayo, maka penulis membutuhkan acuan agar penelitian

ini teratur secara konsep. Penelitian ini menggunakan teori Disseminasi yaitu teori

tentang pengaruh agama terhadap produk-produk kebudayaan. Seperti pada adat

upacara perkawinan masyarakat Gayo yang mengadopsi nilai-nilai Islam.

Menurut Kuntowijoyo bahwa nilai-nilai Islam tidak harus dilihat dan

dimaknai secara normatif dan bergaya Arab, namun Islam dimaknai dan

diwujudkan dalam bentuk lain yang mempengaruhi sistem budaya di tempat Islam

itu masuk.16

Selain itu, teori yang di kembangkan oleh Sayuti Thalib yaitu teori

receptie a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang

Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum

Islam. Teori ini menguatkan kembali teori yang dikemukakan oleh Van Den Berg

tahun 1845-1925 yaitu teori receptio in complexu.17

Dalam hal ini bisa dilihat

bahwa adat perkawinan pada masyarakat Gayo, perkawinan baru sah bila

dilakukan menurut hukum agama tanpa ada sebutan hukum adat.

G. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan dihadapkan pada tahap

pemilihan metode penelitian atau teknik pelaksanaan penelitian.18

Metode

penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian kualitaif yang bersifat

Deskriptif analitis yakni proses menganalisis data dengan cara mendeskripsikan

atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa

bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum.19

Maka dalam penelitian

ini penulis memaparkan dan menggambarkan sesuai dengan hasil dari data-data

16

Siti Uswatun Chasanah, “Penerimaan Masyarakat Betawi Muslim Terhadap Kesenian

Musik Gambang Kromong dan Tari Ronggeng Blantek di Perkampungan Budaya Betawi Setu

Babakan.” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 15. 17

Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 62. 18

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,

1999),h. 54 19

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung:

ALFABETA, 2012), h. 147.

Page 22: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

11

yang telah terkumpul dari informan dan buku-buku yang terkait dengan tradisi

upacara adat perkawinan pada masyarakat Gayo kabupaten Aceh Tengah.

Dalam metode penelitian ini, maka terdapat tahapan-tahapan yang biasanya

dilakukan oleh peneliti dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada.

Adapun langkah-langkah penulisan yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan studi kepustakaan,

yaitu studi mengenai sumber-sumber tertulis berupa, buku serta jurnal yang

diterbitkan. Untuk memudahkan pencarian dapat menggunakan katalog.

Berikutnya adalah menggunakan buku yang menjadi referensi, selain itu penulis

juga bisa mengetahuinya dari melihat catatan kaki (footnote).20

Langkah awal penulis lakukan untuk mencari sumber data yaitu dengan

mengunjungi berbagai Perpustakaan, seperti Perpustakaan Umum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Jakarta Yang

terletak di Gandaria Jakarta Selatan, Perpustakaan Universitas Indonesia, penulis

juga mengunjungi Perpustakaan Daerah Kabupaten Aceh Tengah, perpustakaan

Daerah Kabupaten Bener Meriah, dan dari perpustakaan pribadi milik Bapak

Yusradi Usman Al-Gayoni yang memiliki koleksi buku-buku tentang Gayo yang

banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

Selanjutnya dalam upaya mendapatkan sumber, penulis juga melakukan

wawancara yang merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk

memperoleh keterangan tentang tradisi upacara adat perkawinan yang penulis

tidak dapat diamati sendiri secara langsung.21

Dalam metode wawancara ini

penulis melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara langsung dan terus

20

M. Dien Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 111. 21

T.O. Ihromi, ed. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999), h. 51.

Page 23: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

12

menerus untuk menggali informasi dari informan dan wawancara dilakukan lebih

dari satu kali.22

2. Analisis Data

Analisis data penelitian budaya berupa proses hasil pengkajian wawancara

dan dari sumber buku-buku yang diperoleh dari perpustakaan. Analisis data

dimulai dari terkumpul data-data yang masuk dan langsung dianalisis dengan cara

mengatur transkrip wawancara agar sempat mengumpulkan data baru untuk

melengkapi data yang telah ada.

Kegiatan Analisis data ini bersifat terbuka dan induktif. Maksudnya analisis

bersifat longgar dan tidak kaku. Analisis boleh berubah, kemudian mengalami

perbaikan dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk. Analisis data

induktif bertujuan untuk memperjelas informasi yang masuk, menguraikan data

mentah ditransformasikan secara sistematis menjadi unit terkecil dan

mengidentifikasi atau memilah-milah data yang lebih penting dan harus untuk

dipahami serta menentukan data mana yang harus dilaporkan.23

Data yang telah terkumpul perlu diperiksa kredibilitas atau keabsahan

sumber. Adapun teknik yang digunakan adalah triangulasi pengumpulan data

lebih dari satu sumber baik sumber wawancara ataupun sumber tertulis yang

menunjukkan informasi yang sama.24

Tenik ini dilakukan dengan cara pengecekan

ulang informasi setelah hasil wawancara di transkrip.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok

bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri

dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah

sebagai berikut :

Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi aspek-aspek utama penelitian,

yang diantaranya Pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan

22

M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulisan Skripsi Tesis dan Disertasi Untuk Ilmu

Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2007), h. 89. 23

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2003), h. 215 24

Suwardi Edraswara, Metedologi Penelitian Kebudayaan, h. 219

Page 24: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

13

permunculan masalah yang diteliti. Kedua, batasan masalah merupakan agar

terfokusnya penulisan. Ketiga, rumusan masalah merupakan penegasan terhadap

apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Keempat, tujuan yang

akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian

ini. Kelima, tinjauan pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada

sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Keenam, kerangka teori

menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan

masalah. Ketujuh, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang

akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. kedelapan,

sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.

Bab II, penulis menguraikan tentang gambaran umum Kabupaten Aceh

Tengah, untuk mengetahui tentang letak geografis Kabupaten Aceh Tengah dan

kebudayaan masyarakat Gayo aceh Tengah serta tentang sejarah singkat suku

Gayo.

Bab III, penulis akan membahas tentang proses upacara adat perkawinan

etnik Gayo, dari sebelum perkawinan sampai pelaksanaan perkawinan dan setelah

pelaksanaan perkawinan.

Bab IV, pada bab ini mengkaji hasil dari penelitian yaitu nilai-nilai Islam

yang terdapat dalam proses upacara adat perkawinan etnik Gayo Kabupaten Aceh

Tengah.

Bab V, merupakan penutup yang menyajikan bagian akhir dari penulisan ini

yang memuat kesimpulan dari keseluruhan pembahasan sebelumnya. Selanjutnya

adalah saran sebagai bahan acuan untuk perbaikan untuk berbagai hal yang dilihat

kurang sempurna yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan.

Page 25: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

14

BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH TENGAH

A. Letak Geografi Kabupaten Aceh Tengah

Wilayah Kabupaten Aceh Tengah merupakan suatu daerah yang berada di

tengah-tengah Provinsi Aceh, tepatnya pada posisi garis 4°10‟33” - 5°57‟50” LU

dan 95°15‟40” - 97°20‟25” BT. Kabupaten Aceh Tengah berbatasan dengan

Kabupaten lainnya yaitu:

1. Sebelah Utara : Kabupaten Bener Meriah

2. Sebelah Selatan : Kabupaten Gayo Lues

3. Sebelah Barat : Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Pidei

4. Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Timur.

Kabupaten Aceh Tengah digolongkan sebagai zona pertanian, hal ini sesuai

dengan kondisi daerah yang berada di dataran tinggi Bukit Barisan, yaitu berada

di antara 2.000-2.600 mdpl, dan aktivitas masyarakat bergerak di bidang

pertanian.

Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas 14 Kecamatan yaitu Kecamatan Linge,

Kecamatan Bintang, Kecamatan Lut Tawar, Kecamatan Kebayakan, Kecamatan

Pegasing, Kecamatan Bebesen, Kecamatan Kute Panang, Kecamatan Silih Nara,

Kecamatan Ketol, Kecamatan Celala, Kecamatan Jagong Jeget, Kecamatan Atu

Lintang, Kecamatan Bies, Kecamatan Rusip Antara. Kecamatan Linge sebagai

Kecamatan dengan Areal terluas 2.075,28 km² terdiri dari 24 desa definitif.

Sensus penduduk pada tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di

Kabupaten Aceh Tengah kurang lebih 158.733 jiwa. Terdiri atas 94.108 jiwa laki-

laki dan 91.625 jiwa perempuan, ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten

Aceh Tengah pada tahun 2014 didominasi oleh laki-laki.25

Luas wilayah Aceh Tengah mencapai 4.318,39 km² yang pada umumnya

berupa dataran rendah, dan bagian tengah wilayahnya berupa perbukitan. Wilayah

tersebut terdiri dari areal hutan sebanyak 49,19%, pertanian 1,84%, pemukiman

25

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tengah, Indeks Pembangunan Manusia

Kabupaten Aceh Tengah 2015 (Katalog BPS: 1416.1105, Takengon, 2015), h. 18

Page 26: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

15

18,04%, perkebunan rakyat 6,63%, perkebunan Negara 9,7%, perikanan 0,02%,

dan sisanya berupa semak, pepohonan, padang rumput, dan lain-lain

14,58%.Adapun areal hutan dibagi dalam beberapa fungsi, seperti hutan lindung

32,99%, hutan produksi terbatas 12,22%, hutan suaka margasatwa 19,77% dan

lainnya 35,02%.

Kabupaten Aceh Tengah beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 1.822

mm per tahun, dengan curah hujan yang banyak terjadi pada bulan September

sampai Desember. Seluruh sumber air yang terdapat di Kabupaten ini bersumber

dari pegunungan, melalui sungai- sungai dan danau. Temperatur udara terutama

kota Takengon, berkisar antara 15ºC-23ºC.

Kabupaten Aceh Tengah yang beribukota Takengon sering disebut dengan

daerah Dataran Tinggi Tanah Gayo dikarenakan daerah yang dikelilingi oleh

perbukitan dan pergunungan. Kemudian Aceh Tengah ini mempunyai suhu udara

yang sangat sejuk atau dingin. Ada beberapa pegunungan yang terdapat di

Kabupaten ini yaitu Burni Telong (2.600 mdpl) gunung Burni Telong merupakan

gunung yang berstatus aktif atau gunung berapi, Burni Bies (2.076 mdpl), Burni

Kul (2.670 mdpl), Burni Pepanyi (2.300 mdpl), Burni Klieten (2.640 mdpl).

Semua terletak di seputar Danau Laut Tawar. Tanah Vulkanik yang cukup subur

ada di seputar gunung-gunung tersebut di atas, misalnya di sekitar Burni Bies,

Burni Telong, dan Bur Kul. Wilayah yang subur inilah yang menjadi pusat

perkebunan kopi rakyat di Kabupaten ini.26

Di tengah kota Takengon terdapat Danau Laut Tawar, berukuran Panjang

17,5 km, lebar maksimum 4,5 km dan kedalaman sekitar 200 m. Danau Laut

Tawar ini dijadikan objek wisata alam,danau ini adalah sebuah kawasan tenang,

berpasir putih dan airnya tawar yang kadang-kadang hening bening menghijau

yang bersumber dari jumlah anak sungai atau mata air yang sejuk dari hutan-

hutan sekelilingnya, dan kadang-kadang bila angin timur bertiup kencang danau

ini bergelombang. Demikian juga sekelilingnya dihiasi dan dipagari oleh bukit-

bukit serta sejumlah kampung berderet antara lain Kampung Pedemun, Kampung

26

Ketut Wiradyana dan Taufikurrahman Setiawan, Merangkai Identitas Gayo (Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor, 2011), h. 1-3

Page 27: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

16

Toweren, Kampung Rawe, Kampung Nosar, Kampung Bewang, Kampung

Bintang, dan lain-lainnya sampai ke Kampung Mendale Kebayakan. Objek wisata

ini yang sangat disukai oleh para muda-mudi, masyarakat, maupun para

wisatawan, baik Domestik maupun Mancanegara.27

Danau ini sebenarnya menyimpan banyak dongeng yang menarik, yang

mana dongeng ini yang diambil dari cerita Gua Putri Pukes yang terletak di

bagian utara danau sedangkan Gua Loyang Koro, Loyang Kaming dan Gua Puteri

Ijo terletak di sebelah selatannya. Gua-Gua yang tersebut di atas sekarang

dijadikan Objek Wisata yang mengelilingi Danau Laut Tawar. Jadi bagi para

wisatawan tidak hanya menikmati keindahan Danau Laut Tawar akan tetapi juga

bisa mengunjungi Gua-Gua yang tertera di atas yang memiliki banyak cerita

(Legenda).28

Di Danau Laut Tawar memiliki ikan yang sangat khusus atau

berbeda dari ikan yang lain yaitu Ikan Depik,29

ikan tersebut tidak terdapat di

tempat-tempat lain hanya ada di Danau Laut Tawar dan Ikan Depik juga memiliki

cerita yang sangat unik.

B. Sejarah Singkat Etnik Gayo

Suku bangsa Gayo menurut daerah kediamannya dan tempat tinggalnya

dapat dibagi dalam 4 daerah yaitu Gayo Laut atau disebut juga Gayo Laut Tawar,

yang mendiami daerah sekitar Danau Laut Tawar, Gayo Deret atau Gayo Linge

yang mendiami daerah sekitar Linge (Isaq), Gayo Lues yang mendiami daerah

sekitar daerah Gayo Lues (Blang Kejeren), dan Gayo Serbejadi yang mendiami

daerah sekitar daerah Serbejadi-Sembung Lukup termasuk ke dalam daerah Aceh

Timur. Sedangkan suku Alas berdiam di Daerah Alas (Kuta Cane) yang

berbatasan dengan daerah Gayo Lues.

27

Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap

Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 41 28

A.R. Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Orang Gayo (Aceh Tengah: Ikatan

Cendikiawan Muslim Indonesia ORSAT, 1998), h. 25. 29

Ikan Depik atau bahasa latinnya Rasbora Leptosoma yaitu tipe ikan yang habitatnya

cuma ada di Danau Laut Tawar Takengon, Kabupaten Aceh Tengah Kehadiran ikan Depik sama

tuanya dengan kehadiran orang Gayo di Aceh Tengah itu sendiri. Menurut legenda lokal, ikan

Depik datang dari nasi yang dibuang ke danau di daerah Bur Kelieten, lalu berkembang serta jadi

ikan khas daerah Gayo. Lihat https://hewanpedia.com/ikan-depik-atau-ikan-rasbora/ (diakses pada

hari Selasa 9 Januari Pukul 01:05 Wib.)

Page 28: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

17

Suku bangsa Gayo adalah suatu suku di antara sekian banyak suku bangsa

Indonesia. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan

kebudayaan suku yang lain, mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat sendiri yang

berbeda dengan bahasa dan adat istiadat suku Aceh, Batak, Karo, dan Melayu.30

Bahkan dari ras suku Gayo sangat berbeda dengan suku Aceh. Akan tetapi

hubungan suku Gayo dan Aceh sangat rapat dikarenakan suku Gayo terletak di

tengah-tengah suku Aceh yang disebut Dataran Tinggi Tanah Gayo, dan

merupakan satu daerah yang disebut dengan provinsi Aceh.

Mengenai asal-usul suku Bangsa Gayo belum terungkap dengan jelas.

Banyak pendapat tentang asal-muasal masyarakat Gayo. Bagi masyarakat Gayo

sendiri jaman purbanya dikenal lewat tradisi lisan. Cerita semacam itu termasuk

dalam kategori cerita rakyat, terutama dalam bentuk legenda. Menurut cerita

turun-temurun suku Gayo di Indonesia pada mulanya bermukim di bagian Timur

dan bagian Utara Aceh meliputi wilayah aliran sungai antara Sungai Tamiang di

sebelah Timur dan aliran Sungai Peusangan di sebelah Barat. Berabad-abad

kemudian mereka pindah ke pedalaman menyusuri sungai-sungai yang ada,

termasuk Sungai Jambu Ayee. Akibat pertambahan dan perkembangan penduduk,

baik karena kelahiran maupun karena pendatang, guna memperluas usaha

pertanian.31

Cerita di atas berkaitan dengan sumber lain, seperti yang ditulis oleh H.

Zainuddin dalam bukunya Tarekh Aceh dan Nusantara bahwa penduduk Peurlak

yang tertua yang asalnya dari Melayu Tua pindah ke Seummah dan kemudian ke

Serbejadi, Lingga (Linge) dan Nuzur (Isaq) melalui sungai Peunarun.32

Sementara itu ada pula orang yang beranggapan bahwa orang Gayo adalah

berasal dari orang-orang yang lari dari daerah Peurlak Aceh Timur ke daerah

pedalaman karena tidak mau masuk agama Islam. Dan kata-kata “Gayo” sama

30

M. Affan Hasan, Kesenian Gayo dan Perkembangannya ( Jakarta: PN Balai Pustaka,

1980), h.19. 31

Ali Hasan Aman Kamaletan, dalam Mahmud Ibrahim, “Peranan islam Melalui Adat

Gayo Dalam Pembangunan Masyarakat Gayo” Seminar Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan

(Takengon: diselenggarakan MUI Aceh bekerja sama PEMDA/MUI Aceh Tengah, 1986), h. 2. 32

Sukiman, “Nilai-Nilai Pembangunan Islam dalam Masyarakat Gayo,” MIQOT. Vol,

XXXVIII, no. 1 (Januari-Juni 2014): h. 222.

Page 29: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

18

artinya dengan kata-kata bahasa Aceh “kayo” artinya “sudah takut” yang

menyebabkan mereka lari ke daerah pedalaman. Anggapan seperti ini mungkin

sekali bersumber dari tulisan dalam buku “Hikayat Radja-Radja Pasai” yang

dituliskan sekitar abad ke 16 oleh pengarang yang belum dikenal. Tetapi menurut

Dr. Snouck menganggap tulisan di atas kurang bernilai jika dihubungkan dengan

asal-usul orang Gayo. Tulisan Hikayat Radja-Radja Pasai ini mungkin ditafsirkan

secara keliru seolah-olah kata-kata “Gayo” sama dengan “ka-yo” artinya “sudah

takut” sehingga lari ke pedalaman, sedang didaerah pedalaman menurut catatan

Marco Polo lebih dahulu sudah ada penduduk aslinya.

Menurut Snouck Hurgronje33

dalam bukunya “Tanah Gayo dan

Penduduknya” bahwa orang Gayo itu bukan orang yang lari ke pedalaman karena

takut untuk memeluk Agama Islam, tetapi orang Gayo itu ketika masih menganut

animistis sudah “Gayo” namanya. Bahkan ketika pada masa jaya-jayanya kerajaan

Islam Samudra Pasai, masyarakat Gayo juga sudah semua memeluk agama Islam

pada saat itu. Peralihan kepercayaan ini berlangsung lebih kurang antara tahun

1300 dan 1600 sebelum kegiatan penulisan hikayat raja-raja Pasai34

yang ada di

tulis oleh Snouck Hurgronje dalam buku yaitu:

“Adapun yang diceritakan oleh orang yang empunya cerita, ada suatu kaum

orang negeri itu, tiada ia mau masuk agama Islam. Maka ia lari ke hulu Sungai

Peusangan. Maka karena itulah dinamai orang dalam negeri itu Gayo hingga

sekarang ini.”35

Pernyataan Snouck Hurgonje ini selaras dengan pernyataan M.J Melalatoa

dalam bukunya “Kebudayaan Gayo” bahwa pada masa sebelum Islam, konon

sudah ada suatu kerajaan di daerah Gayo sekarang yang bernama kerajaan Linge.

Kapankah kerajaan ini mula pertama berdirinya, kiranya tidak ada suatu

keterangan yang pasti. Keterangan-keterangan yang ada dari berbagai sumber

33

Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana tentang Islam, yang kemudian menjadi ahli

Aceh dan ahli Gayo, telah terlibat secara langsung dalam perang Aceh, maupun dalam perang

Gayo Alas. Pada tahun 1891 Dr. Snouck diangkat menjadi penasihat bahasa-bahasa Timur dan

hukum Islam dari pemerintahan Hindia Belanda. Lihat M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan

Kolonialis Belanda, h. 100. 34

C. Snouck Hurgonje, Tanah Gayo dan Penduduknya. Penerjemah Budiman. S (Jakarta:

INIS, 1996), h. 63. 35

Hurgonje, Tanah Gayo dan Penduduknya, h. 62.

Page 30: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

19

tampak ada kesimpangsiuran. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum abad

XVI di daerah Aceh ada beberapa kerajaan kecil yang berdaulat sediri-sendiri.

Masing-masing kerajaan itu memiliki adat istiadat sendiri, yang dalam banyak hal

berbeda dengan yang lain.

Kerajaan-kerajaan kecil itu baru dapat dipersatukan tahun 1514 menjadi

suatu kerajaan besar yang bernama kerajaan Darussalam di bawah sultan Ali

Mughayat Syah. Kerajaan-kerajaan kecil itu adalah kerajaan Peurlak, kerajaan

Pasai, kerajaan Pidie, kerajaan Indrajaya, kerajaan Benua, kerajaan Linge dan

lain-lainnya, kerajaan yang disebut terakhir (kerajaan Linge) adalah yang terdapat

di Gayo, yaitu konon sudah mulai berdiri sejak abad X.36

Dalam catatan perjalanan pengembara terkenal Marco Polo yang dikutip

oleh M.H. Gayo dalam bukunya yang berjudul “Perang Gayo Alas Melawan

Kolonialis Belanda” ketika dia singgah di Peurlak Aceh Timur, sekembalinya dari

Cina dalam perjalanan pulangnya dari Italia, pada tahun 1292. Dikatakan bahwa

ketika Marco Polo singgah di Peurlak tahun 1292, didapatinya penduduk peurlak

sudah memeluk agama Islam penduduk yang tidak mau masuk Islam telah

menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini menjumpai

kerajaan kecil dan laut kecil di pedalaman.

Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan

menyebut rajanya dengan “Ghayo o Ghayo” atau “ Raja Gunung yang suci” di

daerah “Lainggow” telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Lainggow”, dan

sudah ada hubungan dengan kerajaan Peurlak di Aceh Timur dengan kirim

mengirim bingkisan.37

Tidak menutup kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam

catatan marco Polo ini adalah “Kerajaan Linge” sedangkan yang dimaksud “laut

kecil” di pedalaman Peurlak adalah “Danau Laut Tawar” karena satu-satunya

danau di pedalaman daerah Aceh adalah Danau Laut Tawar, dan daerah Linge

terletak tidak jauh dari Danau Laut Tawar. Dari catatan Marco Polo ini juga

diketahui bahwa daerah pedalaman sudah ada terlebih dahulu penduduk asli

36

Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h. 38. 37

M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, h. 36-37.

Page 31: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

20

sebelum masuknya Islam dan sebelum kedatangan pelarian dari kerajaan Peurlak

di Aceh Timur.

Dari ketiga pendapat yang dipaparkan oleh Snouck Hurgronje, M.J,

Melalatoa, dan dalam catatan Marco Polo adalah masuk akal, bahwasanya

penduduk Gayo adalah penduduk asli pribumi yang telah mendiami tanah Gayo

sebelum datangnya Islam ke Aceh, dan sebelum adanya pelarian masyarakat ke

pedalaman dikarenakan tidak ingin memeluk agama Islam.

C. Kondisi Kebudayaan Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah

1. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Gayo kabupaten Aceh Tengah disebut dengan Sarak

Opat. Kata Sarak Opat istilah yang diambil dari perkataan bahasa Gayo, yang

terdiri dari dua suku kata, yaiu “Sarak” dan “Opat”. Sarak berarti tempat atau

wilayah atau lingkungan kampung, sedangkan opat artinya empat unsur. Jadi

Sarak Opat berarti suatu badan atau wilayah kekuasaan yang terdiri dari empat

unsur yaitu Reje (Raja), Imem (Imam), Petue (Tetua), Rakyat. Fungsi dari Sarak

Opat untuk memelihara harkat dan martabat masyarakat yang mereka pimpin.38

Sarak Opat sudah ada sejak suku Gayo berada di Nusantara ini, sebelum

Islam masuk ke Gayo maka disebut dengan sistem Sarak Tulu (sarak tiga) yang

terdiri dari Reje, Petue, Rakyat. Akan tetapi setelah Islam masuk ke Tanah Gayo

maka di tambah Imem (imam) dan menjadi Sarak Opat (sarak empat). Masing-

masing fungsi dari empat unsur tersebut adalah reje (raja) berfungsi sebagai

pemimpin umum yang menegakkan memelihara keadilan, Imem (imam) berfungsi

sebagai membimbing dan melaksankan syari‟at terutama yang hukumnya fardhu

dan sunat, petue, (tetua) berfungsi sebagai meneliti dan mengevaluasi keadaan

rakyat, dan yang terakhir rakyat berfungsi menyerap aspirasi masyarakat dan

memusyawarahkan serta merumuskan pelaksanaanya39

38

Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid 1

(Takengon: Yayasan Makamam Mahmuda, 2010), h. 99 39

Ibrahim dan Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, h. 101

Page 32: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

21

Sistem Sarak Opat dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan

hukum adat. Edet (adat) adalah hukum yang tidak tertulis, yang hidup

berkembang bersama kehidupan masyarakat dan dijalankan sepenuhnya oleh reje

(raja), sedangkan hukum adalah kaidah-kaidah Islam yang secara teoritis

sempurna dan merupakan ketentuan sesuatu yang datang dari tuhan.40

Maka dari

itu hukum adat Gayo, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam

harus tetap dipertahankan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana yang diungkapkan dalam kata-kata adat Gayo “Ukum Ikanung

Edet, Edet Ikanung Ukum” artinya setiap hukum mengandung Adat, dan setiap

adat mengandung hukum. Jadi hubunga antara hukum agama dan hukum adat

terjalin sangat erat. Apabila hukum adat yang bertentang dengan hukum agama,

maka hukum agama harus didahulukan dari pada hukum adat. Begitu juga adat

istiadat itu tidak akan kokoh dan tidak terealisasikan kepada masyarakat kalau

tidak bersumber kepada syari‟at, oleh karena itu hukum adat dengan hukum

agama tidak dapat dipisahkan sebagaimana adat Gayo menyebutkan “syariat

urum edet lagu zet sifet” artinya syari‟at dengan adat laksana zat dengan sifat.41

Bisa dilihat bahwa syariat sebagai pagar dalam menjalankan adat istiadat di Gayo.

2. Kondisi Ekonomi dan Mata Pencarian

Dataran Tinggi Tanah Gayo merupakan daerah pegunungan dan memiliki

tanah yang sangat subur dengan hawa yang sangat dingin. Kabupaten Aceh

Tengah dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit kecil yang ditanami

pohon pinus dan pohon-pohon besar. Dengan kesuburan tanah dan hawa yang

dingin banyak masyarakat Gayo memanfaatkan kesuburan tanah untuk bertani.

perkebunan rakyat yang paling luas adalah kebun kopi dan persawahan.

Selain perkebunan kopi masyarakat Aceh Tengah banyak yang bersawah,

untuk memulai menanam padi masyarakat Gayo melakukannya dengan cara

serentak dalam satu kampung, hal ini dilakukan untuk pembagian saluran air besar

yang merupakan milik bersama-sama dan bersama-sama pula mengambil

40

C. Snouck Hurgronje, Gayo Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke-20.

Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 74. 41

Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap

Pelaksanaan Otonomi Daerah, h. 159-160

Page 33: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

22

manfaatnya. Untuk memulai menanam padi masyarakat Gayo tidak mempunyai

perhitungan atau bulan-bulan yang dilakukan untuk menanam, mereka hanya

mengenal perhitungan bulan Hijriah, dan dengan ini sebenarnya mereka belum

tentukan bulan berapa mereka mulai menanam padi. Untuk menyesuaikan mereka

hanya bekerja dari pengalaman-pengalamannya saja, ketika setelah panen padi

maka dilihat dari batang padi (bebelen) terakhir sudah hilang dan berganti dengan

rumput, biasanya memakan waktu dua atau tiga bulan maka datanglah musim

sawah dengan memulai mengolah tanah.42

Setelah selesai menanam padi masyarakat Gayo memanfaatkan sawahnya

untuk menanam tanaman muda (senuen mude) seperti cabe, tomat, kol, dan

palawija. Dalam tradisi bersawah masyarakat melakukannya dengan bersama-

sama atau bergotong royong antara satu kampung dengan kampung lainnya.

Banyak proses yang dilakukan dalam menanam padi dari awal penyemaian bibit

padi sampai penyimpanan padi, maka dalam proses ini banyak dilakukan oleh

pemuda-pemudi sebagai ajang pencari jodoh.

Sistem pertanian yang lain adalah beternak dan nelayan. Beternak merupaka

perioritas ketiga setelah kopi dan padi, ternak biasanya dipelihara dan

dikembangkan di tempat-tempat khusus di Kampung Blang Rakal, Beruksah,

Uber-uber, Lane, Gerpa dan Bintang kalau yang diternak itu sejenis kerbau, sapi,

dan kuda, tapi kalau sejenis hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing, itik

maka itu cukup di rumah penduduk masing-masing.

Di samping beternak, masyarakat Gayo melakukan nelayan sebagai mata

pencahariannya. Adapun nelayan yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di

daerah pinggiran Danau Laut Tawar. Akan tetapi banyak dari mereka juga

melakukan pertanian bersawah. Karena keuletannya maka mereka lebih senang

bertani dari pada nelayan, nelayan hanya dilakukan sebagai sampingan.43

42

Hugronje, Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, h. 240-241 43

Syukri, Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap

Pelaksanaan Otonomi Daerah, h. 198-199

Page 34: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

23

3. Kondisi Agama

Agama bersifat cultural universal, yang artinya agama terdapat di setiap

daerah kebudayaan dimana saja masyarakat dan kebudayaan itu bereksistensi.44

Maka itu agama adalah fenomena universal dalam kehidupan manusia secara

menyeluruh, tidaklah menghernkan jika manusia sering didefinisikan sebagai

makhluk yang beragama.45

Agama sangat penting sebagai pedoman atau landasan

dalam menjalankan kehidupan manusia sebagai sistem kontrol manusia dalam

berprilaku atau mengerjakan sesuatu perbuatan.

Pada masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah pada umumnya memeluk

agama Islam yang taat, adapun yang menganut agama non muslim sebagian kecil

masyarakat pendatang yang menetap di Kabupaten Aceh Tengah yaitu orang

Cina. Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah dalam kehidupan

masyarakat sehingga faktor budaya, pendidikan, kesenian, bahkan dalam sistem

pemerintahan Sarak Opat dan adat istiadat Gayo selalu berkaitan dengan agama

dan norma yang ada. Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam

kehidupan sehari-hari, ini dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa

berjalan dengan agama.

44

Djamari, Agama Dalam Perpektif Sosiologi (Bandung: C.V. Alfabeta, 1988), h. 79. 45

Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, Penelusuran Terhadap

Metodologi Clifford Geertz dan Sosial Interpretif (Medan: IAIN Press, cet. 1, 2000), h. 1

Page 35: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

24

BAB III

TAHAPAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dari segi sosial bertujuan untuk menciptakan suatu rumah

tangga yang bahagia dan tentram. Kehidupan rumah tangga pada dasarnya adalah

kehidupan yang penuh kasih sayang dalam rangka mencapai tujuan perkawinan.

Kemudian perkawinan menurut hukum adat pada dasarnya sangat tergantung pada

struktur kekerabatan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Hal ini dikaitkan

dengan tujuan utama dari perkawinan untuk melahirkan keturunan. Oleh karena

itu sistem hukum perkawinan ditentukan oleh cara menarik garis keturunan dalam

keluarga yang bersangkutan.46

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.47

Dengan demikian, perkawinan bukan

sekedar hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama

berdasarkan kebutuhan biologis, tetapi perkawinan juga ditentukan oleh hukum.

Berdasarkan undang-undang di atas dapat kita lihat bahwa di Indonesia

memiliki banyak sistem kepercayaan menurut masing-masing untuk menentukan

keabsahan suatu perkawinan. Maka dari itu, dalam Pasal 2 ayat 1 undang-undang

perkawinan, perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum

agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini perkawinan yang berlaku

bagi orang Islam adalah aturan-aturan perkawinan yang diatur agama Islam.

Dengan demikian segala bentuk perkawinan yang bertentangan dengan hukum

Islam haruslah dikesampingkan.48

Dalam masyarakat Gayo perkawinan dilangsungkan menurut hukum Islam

dimulai dengan mencari jodoh yang bukan berasal dari sanak family atau keluarga

46

Djaren Saragih, Pengatar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Tarsito, 1980), h. 134. 47

Abdullah Qadir, Pencatatan Pernikahan Dalam Perspektif Undang-Undang dan

Hukum Islam ( Depok: Azza Media, 2014), h. 11. 48

Nasaruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 97

Page 36: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

25

terdekat, sedangkan upacara perkawinannya mengikuti tradisi yang terdapat pada

suku Gayo. falsafah positif dari pola perkawinan ini adalah semakin besarnya

keluarga dan rumpun yang menjadi kerabat, sehingga benar-benar terwujud suatu

silaturrahmi. Perkawinan dalam masyarakat Gayo lebih dikenal dengan kata kerje

atau mungerje mempunyai bentuk berdasarkan tempat tinggal mempelai sesudah

menikah,49

secara garis besar bentuk perkawinan tersebut adalah: menurut bentuk

dan tempat menetap mempelai sesudah menikah ada beberapa jenis perkawinan di

tanah Gayo, secara garis besarnya ialah sebagai berikut:

1. Kerje juelen: yaitu bentuk perkawinan dimana keluarga laki-laki

berkewajiban memberi tanda kesanggupan memelihara calon istri

berupa rege (harga) kepada calon istri sebagai tanda dikabulkannya

teniron (permintaan) si calon istri. Melalui ini, istri wajib

meninggalkan orangtuanya dan pindah rumah ke rumah suami dan

mejadi belah (klen) dan mendapat harta di tempat suaminya.

2. Kerje angkap: yakni kebalikan dari kerje juelen. Pengertiannya ialah

calon suami tidak memberikan rege (harga) kepada calon istri, namun

sebaliknya malah calon suami seakan-akan dibeli oleh orang tua istri

sehingga suami harus pindah ke rumah istri. Anak dari hasil

perkawinan ini akan mengikuti garis keturunan ranji (ibu), menantu

laki-laki yang diangkap akan diberikan harta dari pihak keluarga istri.

3. Kerje ku-so, kini perkawinan ini jauh berbeda dari perkawinan juelen

dan angkap, karena dalam perkawinan ini pasangan yang baru

menikah tidak dipaksa untuk menikah di salah satu keluarga yang

bersangkutan, namun pasangan yang menikah ini diberi kebebasan

untuk memilih tempat tinggalnya, dan dari harta waris keduanya

mendapatkan harta dari keluarga masing-masing, seperti halnya

pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang modern saat ini.50

49

M. Saleh Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo (Banda Aceh: Badan

Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 16. 50

Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat Jilid II

(Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda, 2003), h. 74-75.

Page 37: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

26

Dari ketiga jenis perkawinan dalam adat suku Gayo maka yang akan di

bahas dalam proses upacara perkawinan ini adalah kerja juelen (perkawinan

jualan). Pada umumnya masyarakat Gayo adalah masyarakat yang menganut

sistem kekerabatan patrilinial dengan melakukan perkawinan eksogami.

Perkawinan eksogami merupakan suatu perkawinan yang mengharuskan pihak

laki-laki untuk mengambil calon istrinya dari orang-orang yang berasal luar

belah51

nya sendiri.

Perkawinan seperti ini merupakan sesuatu yang diharuskan hukum adat.

Apabila hal ini dilanggarnya, maka akan diberikan ganjaran hukuman yang

berlaku seperti hukum farak (pengasingan). Hukuman tersebut pada dasarnya

bermaksud agar warga adat tetap setia dalam mematuhi segala kebiasaan yang

berlaku. Dalam masyarakat Gayo, perkawinan seperti ini disebut dengan

perkawinan antar belah,52

dan perkawinan juelen ini berlaku di masyarakat Gayo

dan ditetapkan sebagai perkawinan menurut hukum adat.

Adanya perkawinan angkap dan perkawinan kuso-kini karena timbulnya

maslahat yang ada pada masyarakat Gayo pada waktu dulu, yang mana

perkawinan angkap ini terjadi ketika anak perempuan satu-satu nya dilamar oleh

seorang laki-laki. Maka orang tua dari perempuan ingin anak perempuannya tidak

dibawa ke rumah keluarga laki-laki, terjadilah perkawinan angkap yang mana

calon mempelai laki-laki tinggal dan masuk ke belak keluarga perempuan.53

Begitu juga perkawinan kuso-kini yang terjadi pada saat sekarang.

Perkawinan ini merupakan bentuk perkawinan karena pengaruh luar maupun

sebagai akibat dari perkembangan masyarakat Gayo itu sendiri. Perkawinan ini

sebelumnya tidak dikenal dalam adat Gayo sebelumnya. Kuso-kini baru dikenal

sesudah zaman kemerdekaan sekitar tahun 1970-an, terutama antara pria Gayo

51

Belah di Gayo dapat disamakan dengan Klen. Belah merupakan satu kesatuan sosial

bersifat genealogi. Orang Gayo berpegang pada sistem perkawinan yang sifatnya patrilineal.

Dengan kata lain merea tidak dibenarkan nikah dalam satu belah. Bila sempat terjadi ini dianggap

tabu. Belah merupakan satu kampung atau satu marga. Lihat A.R. Hakim Aman Pinan, Hikayat

Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah ( Banda Aceh: CV. Rina Utama,1998), h. 34. 52

M. Jafar, Adat Perkawinan dalam Masyarakat Gayo Setelah Berlakunya Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah (Banda Aceh: Pusat Pengembangan

Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala, 1991), h. 27. 53

Wawancara Pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 September 2017

Page 38: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

27

dengan wanita luar Gayo, demikian juga antara pria terpelajar dengan wanita

terpelajar. Mereka memilih untuk tempat tinggal tidak dengan orang tuanya.

Ketiga bentuk perkawinan di atas masih dipraktikkan di Gayo. Bagi

generasi muda sekarang, jika kepada mereka diberi kesempatan untuk memilih

keinginannya sendiri maka mereka memilih kuso-kini. Keadaan ini mungkin suatu

tanda lagi bahwa adat Gayo sudah mulai menyusut.54

B. Upacara Sebelum Perkawinan

Pada dasarnya secara umum proses perkawinan yang ada pada suku-suku

bangsa di Indonesia itu sama saja diawali dari perkenalan antara calon mempelai

laki-laki dan mempelai perempuan. Akan tetapi dalam pelaksaannya memiliki

nilai-nilai adat istiadat tersendiri. Maka dari itu pada masyarakat Gayo banyak

kita temukan upacara-upacara resmi yang terdapat dalam perkawinan masyarakat

Gayo Aceh Tengah.

Sebelum sampai kepada acara perkawinan maka ada beberapa proses atau

tahapan yang harus dilakukan satu persatu oleh calon pengantin, keluarga dan

sanak saudaranya yaitu:

1. Bersibetehen ( Perkenalan )

Pada zaman sebelum kedatangan Jepang ke Tanah Gayo beberu dan

Bebujang (Para remaja perempuan dan laki-laki) tradisi yang dilakukan untuk

mencari jodoh adalah dengan aktivitas murojo55

di masa lalu aktivitas ini

merupakan56

resam57

yang harus dilalui oleh para remaja.

54

Mukhlis Paeni, Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial di

Gayo-Aceh Tengah ( Arsip Nasional Republik Indonesia Kerja Sama Dengan Gadjah Mada

University Press, 2004), h. 96 55

Murojo adalah salah satu komunikasi para remaja yang dilakukan pada malam hari

melalui kolom rumah panggung yang dibatasi oleh lantai. Mereka berbisik-bisik dari sebuah

lobang atau celah lantai tanpa bisa berhadapan secara langsung dan bebas. Dalam keadaan

demikianlah mereka saling berpantun dan menjalin ikatan batin yang mungkin suatu saat bisa

dilanjutkan dengan pertemuan jodoh. Lihat M.J. Melalatoa, Kebudayaan Gayo (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1982)h. 95. 56

M.J. Melalatoa, Kebudayaan Islam, h. 96 57

Resam artinya kebiasaan yang bersifat umum dan menyeluruh di bawah adat dan adat

istiadat serta tidak dilarang untuk adat istiadat. Sebatas masih mendukung pelaksanaan adat

istiadat. Misalnya, dalam melaksanakan kenduri jamuan-jamuan lainnya. Makanan harus

dihidangkan menurut tamu yang hadir atau menurut kemampuan kehidupan yang bersangkutan.

Page 39: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

28

Dengan perkembangan zaman diantara laki-laki dan perempuan sudah ada

terjadi dengan perkenalan sendiri dengan adanya sarana nuling (panen padi),

dimana ketika panen padi para pemuda yang untuk pekerja mujik (merontokkan

padi) diundang dari kampung yang lain dan perempuan mujes (membersihkan

padi yang telah dirontokkan). Pada saat itulah biasanya sering terjadi kontak

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Inilah salah satu sarana

perkenalan yang terjadi antara laik-laki dan perempuan pada masyarakat Gayo.

Setelah selesai panen padi, maka disitulah terjadi perkenalan yang lebih

mendalam lagi dengan menanyakan anak perempuan tersebut kepada bibi atau

saudaranya. Pada masyarakat Gayo sumang (pamali) jika seorang laki-laki yang

ingin mengenal seorang perempuan dengan menanyakan langsung kepada orang

tuanya. Apabila getaran hati bersambut, nada-nada cinta mulai bersenandung pada

kehangatan kasih yang menjalar biasanya akan berlangsung sampai kepada titik

kesepakatan untuk mengabadikannya kehidupan rumah tangga. Setelah

berjalannya perkenalan ini maka dari pihak perempuan langsung menyuruh

kepada pihak lelaki untuk munginte (meminang). dengan maksud untuk

menanyakan apakah seorang perempuan ini sudah ada yang munginte (melamar).

1. Munginte (Melamar)

Melamar atau meminang biasa berlaku di setiap daerah yang terdapat di

Nusantara ini, akan tetapi cara pelaksanaannya berbeda-beda menurut suku

bangsa masing-masing. Dalam adat suku bangsa Gayo melamar dalam bahasa

Gayo adalah munginte. Tujuan dari munginte (melamar) ini untuk mengetahui

atau menanyakan apakah anak perempuan tersebut sudah ada yang munginte

(melamar) dan untuk mengenalkan antara anak laki-laki dan perempuan yang

hendak dinikahkan oleh orang tuanya.58

Sebelum melaksanakan munginte, orang tua pihak laki-laki di rumahnya

terlebih dahulu melakukan pakat sara ine (mufakat seibu bapak) atau pakat

keluarga inti. Dalam musyawarah ini membahas tentang peminangan yang akan

Lihat Majelis Adat Gayo (MAG) Bener Meriah, Nilai-Nilai Adat dan Kekayaan Bahasa Gayo ( T.

Tp.: Mahara Publising, t.t.), h. 44 58

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Banda Aceh, Minggu, 21 Mei 2017

Page 40: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

29

dilaksanakan dan membahas calon pengantin perempuan yang akan dilamar.

Kemudian tidak lupa juga yang dibahas yaitu telangke (utusan) yang dipercaya

oleh orang tua laki-laki untuk melamar ke rumah orang tua perempuan. Setelah

sepakat dengan keputusan musyawarah maka dilaksanakan munginte.59

Munginte (melamar) dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak

perempuan. Pada saat munginte tidak dilakukan oleh orang tua laki-laki sendiri,

tetapi perwakilan dari keluarga tertentu yang ditunjuk untuk melamar dalam adat

Gayo disebut telangke. Telangke (utusan) yang pergi untuk melamar sekitar tiga

atau lima pasang suami istri yang terdiri dari kerabat terdekat dari keluarga

mempelai laki-laki.60

Telangke ini sangat berperan besar dalam pelaksanaan

perkawinan dari mulai melamar untuk memadupadankan maksud tujuannya ke

rumah pihak perempuan sampai terlaksananya akad nikah.

Dalam acara munginte keluarga laki-laki harus membawa perlengkapan atau

bahan-bahan ke keluarga pihak perempuan dengan ketentuan yang telah menjadi

aturan adat. Adapun bahan-bahannya sebagai berikut:

1. Beras 1 bambu dimasukkan ke dalam sumpit bergampit (sumpit

khusus untuk meminang).

2. Sejumlah uang dibungkus dengan kain putih, dan masukkan juga

kedalam sumpit.

3. Batil bersap (cerana) yang berisi sirih.61

Di dalam proses munginte (melamar) ada namanya penampongni Kuyu.62

penampongni kuyu ini terjadi ketika dari pihak laki-laki menanyakan kepada

pihak keluarga perempuan apakah sudah ada yang datang melamar anak

perempuan tersebut, jika belum ada yang datang melamar maka telangke (utusan)

dari laki-laki menyerahkan penampungni kuyu dengan maksud bahwa pihak dari

59

Wawancara Pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017 60

AS. Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori) (Jakarta: T. pn. , 1988), h. 19. 61

M. Saleh Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo ( Banda Aceh: Badan

Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 20 62

Penampongn Kuyu merupakan benda penyerahan (uang, beras satu bambu, batil

bersap) kepada orang tua si gadis dengan maksud selama belum ada kepastian diterima atau

tidaknya suatu lamaran, pihak orang tua si gadis belum dapat menerima lamaran orang lain,

penampong „penghalang‟, kuyu „angin‟. (Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Minggu 21 Mei

2017).

Page 41: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

30

laki-laki serius ingin melamar dan memperistri anak perempuan tersebut. Oleh

karena itu selama terjadi penampung kuyu tidak diperbolehkan menerima lamaran

dari laki-laki yang lain. Biasanya penampung kuyu ini terjadi sekitar 3 hari atau

sampai seminggu.63

Kemudian selama terjadinya penampung kuyu maka dari pihak perempuan

mulai terjadi tradisi amal nome nipi jege64

yang berarti mimpi ketika tidur dan

jaga. Sebelumnya para calon mempelai tidak saling kenal maka dari itu pihak dari

perempuan bermaksud untuk menyelidiki calon mempelai laki-laki. Biasanya

dalam adat Gayo pihak dari perempuan bermusyawarah kepada kerabat-

kerabatnya tentang lamaran tersebut.65

Sementara itu kepada gadis yang dipinang

juga ditanyakan apakah dia suka kepada laki-laki yang meminang. Tentu saja

pihak kerabat tidak luput menilai laki-laki yang meminang sesuai harapan yang

terkandung dalam nilai masyarakat Gayo umumnya. Menurut lazimnya meskipun

pihak gadis jauh-jauh hari sudah menilai dan sudah setuju dengan pemuda yang

meminang, tetapi waktu untuk berhamal-hamal tetap ada untuk menjaga harga

dirinya.66

Setelah selesai jangka waktu amal nome nipi jege maka dari pihak laki-laki

datang kembali ke rumah orang tua perempuan untuk munulak leng

(mengembalikan perkataan dalam maksud untuk menanyakan kembali diterima

atau tidaknya lamaran) yang dibicarakan kali ini tentang kepastian. Jika dari pihak

perempuan sudah menyelesaikan musyawarah selama waktu yang telah di

tentukan dan mengatakan bahwa mereka menerima lamaran dari pihak

perempuan, maka dari pihak laki-laki menanyakan berapa besarnya jumlah mahar

dan teniron (permintaan). Apabila dari keluarga calon mempelai laki-laki setuju

63

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, Minggu 21 Mei 2017. 64

Tradisi amal tidur nipi jege adalah tenggang waktu beberapa hari bagi keluarga beberu

(gadis) yang dipinang untuk berpikir, beristikharah, sebelum memberikan jawaban apakah

menerima dan menolak pinangan dari telangke (utusan) keluarga bebujang (laki-laki). Berhamal

tidur nipi jege merupakan waktu yang disediakan dalam tradisi Gayo, bagi keluarga beberu yang

dipinang untuk menyelidiki akhlaq atau perilaku, serta keadaan keluarga si bebujang (laki-laki)

yang meminang. “maksudnya meneliti akhlaq dan keadaan calon mempelai laki-laki dan

keluarganya. Amal tidur nipi jege (mimpi ketika tidur dan jaga). Lihat Mahmud Ibrahim, Syari’at

dan Adat Istiadat (Takengon: Yayasan Maqamah Mahmuda Takengon, 2006), h. 77. 65

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017 66

Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h.100-101

Page 42: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

31

dan sanggup untuk memenuhi mahar dan teniron (permintaan) nya dari pihak

perempuan maka mereka menentukan kapan akan mengantar permintaan tersebut

kepada keluarga perempuan.

2. Mujule Emas (Mengantar Mas)

Dalam bahasa Gayo selain mujule emas sering juga disebut sebagai Turun

caram (mengantar uang atau emas), mujule mas adalah menyerahkan sebagian

dari adat (mahar, teniron,) yang telah diputuskan jumlahnya sewaktu perundingan

yang dilakukan oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan.67

Pada dasarnya mahar

dan teniron (permintaan) itu sama, akan tetapi pada masyarakat Gayo itu berbeda

jika mahar dalam Agama itu wajib dan berupa emas, tetapi jika teniron

(permintaan) biasanya berupa kebun, sawah, peternakan (kerbau), mesin jahit,

perlengkapan kamar atau perlengkapan rumah. Jadi dalam masyarakat Gayo

jarang jika seorang anak perempuan dinikahkan hanya dengan mahar atau emas

dan biasanya mahar ini hanya berjumlah sedikit sekitar tiga sampai lima gram mas

saja. Akan tetapi teniron (permintaan) ini yang berjumlah sangat besar seperti

yang disebut di atas.68

Jika di dalam munginte (melamar) hanya sanak keluarga yang datang untuk

melamar maka berbeda dengan mujule emas (mengantar emas) yang datang ke

rumah orang tua perempuan tidak hanya keluarga saja akan tetapi pemangku adat

atau Sarak Opat yang terdiri dari Raja, Imam, Petua, Masyarakat. Dalam rangka

proses mujule emas ini bukan lagi pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga sendiri

tetapi sudah diserahkan kepada pemangku adat. Maka sebelum mujule emas

keluarga dari laki-laki meminta ijin atau meminta restu bahwa anaknya akan

menikah, dan memberi tugas perkawinan tersebut kepada Sarap Opat. Setelah

perundingan kepada aparat kampung untuk menyerahkan kegiatan tersebut. Maka

keesokan harinya dilaksanakan mujule emas yang disertai keluarga dan

rombongan Sarak Opat.

67

A. Sy. Coubat, Adat Perkawinan Gayo Kerje Beraturen, (Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984), h. 58. 68

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017

Page 43: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

32

Ketika sudah selesai penyerahan barang teniron dan emas kawin, maka para

rombongan calon mempelai laki-laki dan dari pihak perempuan membicarakan

masalah kapan pelaksanaan munyawah ukum (akad nikah) dan biasanya untuk

melangsungkan munyawah ukum (akad nikah) dilakukan sekitar 10 hari atau 2

minggu setelah mujule emas (mengantar mas). Untuk menentukan hari

pelaksanaan munyawah ukum kedua belah pihak bermusyawarah untuk

menentukan waktu yang baik untuk menyelenggarakan munyawah ukum.

Setelah melakukan mujule mas (mengantar mas) maka ada tradisi rapat

besinte (rapat keluarga terdekat) di masing-masing keluarga calon mempelai baik

laki-laki maupun perempuan. Rapat besinte (rapat keluarga) dilakukan untuk

memusyawarahkan hasil keputusan tanggal penentuan munyawah ukum (akad

nikah) dan musyawarah beguru (memberi nasehat kepada calon pengantin)

terutama pemberian tugas kepanitiaan dalam membantu orang tua calon

pengantin.

Biasanya rapat besinte (rapat keluarga) dilakukan pada malam hari, supaya

semua keluarga memiliki waktu luang untuk melakukan rapat tersebut. Kemudian

pada malam tersebut orang tua calon mempelai pengantin menyerahkan kegiatan

acara pernikahan kepada masyarakat kampung yang diutus oleh salah satu Sarak

Opat. Sarak Opat akan mengambil tugas ini untuk kembali disampikan pada

semua masyarakat kampung yang disebut rapat kampung. Pada rapat ini Gecik

(kepala kampung) akan menyampaikan kepada masyarakat bahwa dalam

kampung tersebut akan ada melakukan acara pernikahan dan melakukan

pembagian panitia untuk membantu keluarga calon mempelai.

3. Berguru

Berguru adalah salah satu tradisi yang ada dalam acara perkawinan

masyarakat Gayo. Berguru ini merupakan acara khusus yang cukup khidmat yang

dilakukan disetiap masing-masing keluarga calon mempelai. Situasinya sangat

berbeda sekali dengan acara-acara lainnya. Calon mempelai dihadapkan pada

pengetua adat atau Sarak Opat, serta dilaksanakan oleh orang tua calon mempelai

dan juga sanak saudara yang terdekat.

Page 44: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

33

Waktu pelaksanaan berguru dilakukan pada malam sebelum acara mah

bai.69

Beguru adalah upacara dimana pengantin perempuan dan laki-laki

diserahkan kepada imem (imam) masing-masing untuk diberi nasihat yang

berhubungan dengan maslah-masalah keagamaan.70

Nasihat atau amanat yang

akan diajarkan mengenai beberapa hal yang dianggap penting, seperti:

a. Melatih membacakan dua kalimah syahadat secara benar dari berbagai

segi (maharajal huruf, panjang bacaan harakat dsb).

b. Mampu membacakan rukun Islam dan rukun Iman serta mengerti dan

paham akan maksud yang terkandung di dalamnya.

c. Cara mengucapkan kalimat penerimaan saat dilakukannya ijab kabul

yang ditanyakan atau disampaikan oleh wali calon istri.

d. Menghafalkan do‟a melakukan hubungan kelamin dan do`a mandi

junub.

e. Mengetahui cara bagaimana untuk menghadapi masalah yang dihadapi

dengan mertua, famili dan saudara-saudara, masyarakat, serata

bagaimana menghadapi suami/istri.

f. Mengetahui aturan adat istiadat serta kebiasaan adat yang berlaku di

tengah masyarakat.

g. Serta hal-hal lain yang dianggap perlu.71

Biasanya pelaksanaan berguru di pihak perempuan akan lebih lama dari

pada pihak laki-laki, hal ini dikarenakan berguru di pihak perempuan akan ada

sebuku (nangis bersedu-sedu) di antara calon penganti wanita dengan orang

tuanya. Sebuku72

yang dilantunkan dapat berupa permohonan maaf anak kepada

orang tua dan sebaliknya, menyampaikan rasa terima kasih terhadap jasa orang

tua, permintaan ijin untuk meninggalkan rumah (perpisahan kepada keluarga), dan

dapat juga berisi penyesalan akan hal-hal yang telah dilakukan selama hidup

69

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017 70

Melalatoa, Kebudayaan Gayo, h. 104 71

Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 135-136 72

Sebuku adalah isak tangis seorang beberu (gadis) meminta maaf kepada kedua orang

tuanya dengan merajut kata-kata nan indah terpesona, para pendengarnya hanyut dalam keharuan

dan sedih. Yang tidak bisa mengungkapkan kata-kata nan indah itu maka diajar oleh orang tua atau

temen sepergaulan yang sangat dekat untuk persiapan acara berguru. Lihat Andrian Kausyar,

Tetah Cara Berguru Muluwahi Sinte (Jakarta: Motik Press, 2001), h. 52.

Page 45: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

34

dengan keluarga. Sebuku ini dilakukan seraya diiringi isak tangis keluarga dan

calon mempelai yang sedang bersalaman ataupun dalam keadaan saling

berpelukan.73

Rasa sedih pada saat berguru dapat menjadikan para anggota

berguru hanyut dalam kesedihan yang mendalam terutama bagi calon pengantin

itu sendiri dan kawan sepermainannya.

Adapun perlengkapan pada saat berguru adalah sebagai berikut:

a. Persembahan untuk reje terdiri dari:

1. Beras satu bambu

2. Pinang tiga buah

3. daun sirih berjumlah tujuh helai

4. Bahan-bahan ini dimasukkan kedalam wadah ditutup dengan kain

merah

b. Persembahan untuk imem terdiri dari:

1. Beras satu bambu

2. Tiga buah pinang

3. Satu buah jeruk purut

4. Satu butir telur ayam kampung

5. Sebuah jarum yang telah dibubuhi benang jahit putih di tancap di

kunyit

6. Daun sirih berjumlah tujuh helai

7. Bahan-bahan ini di masukkan dalam wadah dan ditutup dengan

kain putih

c. Perlengkapan tepung tawar

1. Dedingin : Kalanchoe pinnata

2. Celala : Coleus sp

3. Batang Tegu : Dactyloctenium aegyptium

4. Bebesi : Palpalun commersonii sangiunalis

5. Ongkal : Sejenis tumbuhan berdaun agak kecil dan

memanjang, hidup di pagar-pagar.

6. Wih sejuk : Air dingin

73

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017.

Page 46: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

35

7. Oros : Beras74

Bahan-bahan yang di atas harus ada pada proses pelaksanaan berguru

karena sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang orang Gayo sampai sekarang.

Sebagai penerusnya masyarakat Gayo sampai sekarang tidak lupa dengan tradisi

yang telah dilaksanakan oleh orang terdahulunya.

C. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Acara pelaksanaan perkawinan merupakan acara inti dari berbagai proses

dan tahapan dalam perkawinan adat. Dalam agama Islam perkawinan dianggap

sah setelah melakukan ijab kabul, begitu juga dengan tradisi perkawinan pada

masyarakat Dataran Tinggi Tanah Gayo (Aceh Tengah). Namun dalam suku Gayo

memiliki beberapa proses pelaksanaan perkawinan. Sebelum dan sesudah akad

nikah ada proses adat yang harus dilakukan pada hari pelaksanaan perkawinan, di

antaranya adalah:

1. Mah Bai (Mengantar Pengantin Pria)

Mah bai (mengantar penganten pria) adalah proses mengantar calon

pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita untuk keperluan akad nikah,

sesampainya rombongan calon pengantin laki-laki mereka tidak langsung

mendatangi rumah keluarga calon istrinya, akan tetapi mereka berhenti di salah

satu rumah yang dekat dengan rumah keluarga calon istri yang disebut rumah

selangen (rumah selangan). Rumah ini biasanya disediakan oleh pihak keluarga

calon istri, di rumah selangen ini rombongan bei (calon mempelai laki-laki)

menanti datangnya kiriman dari pihak keluarga beru (calon mempelai perempuan)

untuk menyambut rombongan bei yang secara adat membawa mangas/batil

bersap (perlengkapan sirih). Biasanya yang menyambut ialah seorang tetua

perempuan dari pihak perempuan, rombongan bei akan berangkat setelah adanya

kabar dari pihak beru bahwa mereka sudah siap menanti kedatangannya.75

74 Selian. Rida safuan. “Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan “ngerje” Kajian

Estetika Tradisional Suku Gayo di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah,” (Tesis S2

Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2017.) h, 183 75

Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017

Page 47: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

36

Mempelai laki-laki di arak ke rumah calon mempelai perempuan, calon

mempelai mengambil posisi tengah, serta berjalan diapit oleh dua orang disebut

appitte (yang mengapit kanan dan kiri mempelai laki-laki) lalu diikuti oleh Sarak

Opat dan rombobongan. Untuk memeriahkan suasana, mereka memainkan alat

musik yang disebut canang yang terdiri dari canang, memong, gong, gegedem,

dan, rebana. Biasanya yang memainkan canang adalah orang tua yang mengerti

tentang adat.

Sesampai calon mempelai laki-laki di depan halaman rumah calon

mempelai perempuan maka mereka disambut dengan Tari Guel (tari penyambutan

untuk pernikahan) para penari memakai pakaian Kerawang Gayo (baju khas adat

Gayo) sedangkan penari tunggal atau Aman Gajah memakai upuh ulen-ulen (kain

berbentuk persegi empat yang bercorak kerawang Gayo yang diselimuti ke

penari). Biasanya yang menari beberu sedang (anak kecil sekitar umur 10-13

tahun) kemudian mempelai laki-laki dibawa oleh penari tunggal ke depan pintu

rumah mempelai perempuan.76

Setelah itu dilakukan petawaren (Tepung Tawar) yang dilakukan oleh tetue

(orang yang berusia tua). Adapun tata cara yang dilakukan ialah:

- Pengantin pria diselimutkan dengan kain ulen-ulen77

- Kedua telapak tangannya dirapatkan dan menghadap ke atas (posisi

menerima)

- Dedaun penawar dicelupkan ke dalam buke (tempat air dari tempurung

kelapa) kemudian diletakkan di telapak tangan mempelai dan

berpindah ke dahi. Kegiatan ini diulangi sampai tiga kali.

- Beras digenggam, diletakkan di atas tangan pengantin kemudian

bersama telapak tangan disentuhkan ke dahi tiga kali.

- Pendamping ahli penawar menabur beras seadanya ke arah majlis yang

hadir.78

76

Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 160 77

Upuh ulen-ulen yakni kain dengan motif kerawang Gayo yang merupakan selimut

penganten pada bagian upacara tertentu. 78

Suhaidy, Rona Perkawinan di Tanah Gayo, h. 27

Page 48: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

37

Setelah acara Tepung Tawar maka mempelai laki-laki dipersilahkan masuk

dan duduk di atas tikar ampang berlapis (tikar bercucuk/bersulam kerawang Gayo

ukuran selingkar duduk bersila sebanyak tiga lapis dengan ukuran berbeda-beda).

Sebelum dilakukan akad nikah maka reje (kepala desa) yang merupakan salah

satu anggota Sarak Opat dari mempelai laki-laki terlebih dahulu menyerahkan

rempele (mempelai laki-laki) kepada reje pihak mempelai perempuan. Penyerahan

ini dilakukan dengan adat melengkan (mengucapkan kata-kata adat yang penuh

puisi), Pidato ini berisikan yang paling pokok adalah menyerahkan calon

mempelai untuk menerima akad nikah.79

2. Munyawah Ukum (Akad Nikah)

Proses munyawah ukum (akad nikah) merupakan acara yang paling puncak

yang mendapatkan perhatian dari para majlis atau undangan, proses ini juga

sangat sakral. Dalam proses ini yang dilakukan oleh calon pengatin laki-laki

adalah untuk melaksanakan ijab qabul antara calon mempelai laki-laki dengan

wali orang tua dari calon mempelai perempuan. Posisi dalam ijab kabul mempelai

laki-laki berada di tengah-tengah yang diapit oleh Sarak Opat dari mempelai laki-

laki, sedangkan di depan mempelai laki-laki seorang wali orang tua dari mempelai

perempuan dan diapit oleh Sarak Opatnya, dalam pelaksanaan akad nikah

mempelai perempuan tidak dikenankan hadir, akan tetapi mempelai perempuan

menunggu di suatu ruangan tertutup atau kamar. Kedua belah pihak Sarak Opat di

sini guna untuk sebagai saksi dan juga pemangku adat.80

Ketika hendak melakukan ijab kabul wali pengantin perempuan dan

pengantin laki-laki berkumur-kumur satu kali pada tempat tertentu yang sudah

disiapkan, agar pengucapan ijab kabul lancar dan jelas. Banyak wali perempuan

sebelum melakukan ijab kabul, terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat

syahadat yang diikuti oleh mempelai laki-laki dan shalawat kepada Nabi

Muhammad S.A.W. kemudian mengucapkan ijab: Aku nikahkan akan dikau

anakku pulan.....menjadi isterimu dengan maharnya..... pengantin laki-laki

langsung menjawabnya dengan qabul: Aku terima nikahnya dengan maharnya.....

79

Wawancara pribadi dengan Sali, Selasa, 11 Juli 2017 80

Hakim Aman Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 163

Page 49: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

38

Kata-kata ijab dan qabul tidak lagi dalam bahasa Gayo asli tetapi bahasa Melayu

yang dipengaruhi oleh apa yang disebut bacaan Jawi.81

Mengucapkan satu kali ijab dan kabul dengan paseh dan lancar merupakan

puncak kebahagian tersendiri bagi keluarga kedua belah pihak yang ditandai

dengan ucapan hamdallah. Kalau ijab qabul berulang-ulang sampai tiga atau lima

kali maka wali yang memberi ijab diganti dan mempelai laki-laki yang menerima

akad (qabul) ipegaguten artinya disuruh makan rumput, maksudnya yang

bersangkutan diajarkan kembali oleh imem (imam) dari pihak mempelai laki-laki

cara menjawab ijab dengan benar dan lancar di luar rumah upacara. Seluruh

keluarga merasa malu kiranya pegaguten terjadi karena tersebar di kedua

kampung mempelai.82

Setelah selesai ijab qabul maka berubah status pengantin laki-laki menjadi

Aman Mayak dan pengantin perempuan Inen Mayak (sebutan pengantin laki-laki

dan perempuan dalam bahasa Gayo). Itu adalah panggilan resmi bagi mereka

selama belum punya anak, sedangkan nama aslinya tidak akan pernah terdengar

dipanggil lagi.83

3. Upacara Delem (Kamar Mempelai)

Setelah selesai ijab qabul, aman mayak bangun dari tempat duduknya seraya

menyembah atau berjabat tangan kepada orang tua/mertua, Sarak Opat serta hal

layak yang hadir di sekelilingnya. Dengan bantuan kedua apitnya (Sarak Opat

yang terdapat di sebelah kanan dan kiri mempelai laki-laki), aman mayak

diserahkan langsung kepada pengasuh (imem perempuan) untuk memasuki delem

(kamar mempelai) untuk melakukan beberapa proses upacara.

Ketika aman mayak memasuki delem maka di depan pintu aman mayak

roroh besi (menginjak besi), besi di sini dimaksud ialah makna logamnya. Besi

merupakan lambang dari kekuatan, dan keperkasaan. Maksudnya suatu simbol,

supaya aman mayak selalu kuat dalam pendirian, kuat lahir batin, kuat dalam

segala hal yang dipandang positif. Besi atau logam dibungkus dengan kain putih,

81

Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syariat dan Adat Istiadat, Jilid II, h.

72 82

Coubat, Adat Perkawinan Gayo Kerje Beraturen, h. 104 83

Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori), h. 45

Page 50: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

39

lalu diletakkan di tengah-tengah pintu masuk. Sambil aman mayak melangkah

kakinya memasuki kamar lebih dahulu menginjak benda ini dengan kaki

kanannya.

Kemudian aman mayak duduk di atas ampang samping inen mayak yang

sudah disediakan, pengasuh inen mayak melaksanakan upacara tepung tawar bagi

kedua mempelai pengatin dengan cara seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Setelah ditepung tawar terjadi proses semah pincung, aman mayak

menyerahkan sebentuk logam pada inen mayak ada juga yang memberikan

sebentuk emas. Benda ini dibungkus dengan sepotong kain putih, serta sedikit

disertai beras, dalam arti lambang kehidupan, suci dan bahagia.

Sedangkan semah tungel terjadi dalam posisi duduk berhadap-hadapan.

Aman mayak mengangkat kedua lututnya. Kedua telapak kaki merata di tikar serta

kedua ibu jari kaki dirapatkan, lutut dirapatkan, kedua tangan masing-masing jari

kanan dan kiri dijumpakan, telapak tangan tidak dalam keadaan rapat. Kemudian

inen mayak mendekati aman mayak untuk menyembah lutut aman mayak.

Kedua mempelai masih dalam posisi berhadap-hadapan muka. Maka

mereka melakukan sapu muke (sapu muka). Air sudah terlebih dahulu disediakan

oleh pengasuh (imem perempuan). Air ini dibubuhi beberapa jenis bunga yang

dipandang elok dan baik. Kemudian aman mayak merendamkan tangan kanannya

kedalam air kemudian langsung disapukan kemuka inen mayak sebanyak tiga kali

berulang-ulang. Adapun tujuan dari sapu muke (sapu muka) tersirat makna air itu

adalah suci, dingin, atau sebagai simbol kehidupan serta lambang kesucian. Dan

sapu muke ini juga berarti ingin bersih dalam segala hal dalam menjalani rumah

tangga mereka.

Sejak aman mayak menerima ijab kabul, sampai selesainya berbagai

ketentuan yang berlaku dalam adat tetap didampingi pengasuhnya. Kedua

mempelai yang duduk di atas ampang, kembali menerima arahan dari

pengasuhnya untuk mencuci tangan kanan masing-masing mempelai. Selanjutnya

pengasuh meyuruh kemul (genggam) pulut kuning bersempelah (inti/isi)

kemudian aman mayak menyangkan pulut yang ia genggam itu ke mulut inen

Page 51: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

40

mayak. Inen mayak juga melakukan hal yang sama, ini disebut bersesulangen

(saling sulang menyulang).

Usai besisulangen (saling menyulangi) inen mayak melakukan tatang batil

(mengangkat cerana) serambi menyerahkan sirih untuk dinikmati oleh aman

mayak. Aman mayak membuka sab (bungkusan cerana), serta mengambil ramuan

sirih ini.84

D. Upacara Setelah Perkawinan

Proses upacara perkawinan di Gayo belum selesai hanya sampai sahnya

menjadi pasangan suami-istri antara kedua mempelai. Ada beberapa proses lagi

yang dilakukan baik di rumah aman mayak atau inen mayak (sebutan pasangan

yang baru menikah).

Dalam adat Gayo setelah akad nikah sang suami malamnya tidur di rumah

mertuanya, tetapi besok paginya jam 5 subuh (waktu subuh) ia harus pergi ke

menasah (mushala), dahulu kala jika mempelai laki-laki tetap tinggal di rumah

mertuanya maka dipandang tidak berakal. Oleh sebab itu ia harus pergi dari

rumah mertua pagi-pagi sekali dan pulang ke rumah mertua pada waktu malam,

sehingga orang tidak mengetahui kapan ia pergi dan pulang. Inilah yang disebut

Bei turun ku mersah (pengantin laki-laki turun ke menasah/mushala).

Setelah sekitar tiga hari Aman Mayak tingal di rumah mertuanya maka ia

diharuskan untuk membeli ikan dan di antar ke rumah mertuanya, bila ia mampu

maka sebaiknya ia membeli ikan yang terdapat di Danau Laut Tawar, seperti ikan

depik atau ikan bawal, serta makan malam bersama di rumah pengantin

perempuan. Ini semua sebagai tanggung jawab suami membantu keluarga

istrinya.85

1. Munenes (Mengantar Pengantin Perempuan Pindah ke Kediaman

Pengantin Laki-Laki)

Munenes ini merupakan upacara yang dilakukan secara resmi juga, sama

halnya ketika mujule bai. Mengantar pengantin perempuan ke rumah pengantin

84

Pinan, Daur Hidup Gayo, h. 182-185. 85

Jafar, Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori), h. 52.

Page 52: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

41

laki-laki (mertuanya) untuk tinggal dan berpindah penduduk di kampung

suaminya. Dalam acara ini disertai juga oleh masing-masing Sarak Opat dari

kedua pengantin. Sarak Opat dari pihak istri menyerahkan pengantin perempuan

secara resmi kepada Sarak Opat kampung suaminya yang didahului dengan kata-

kata melengkan (pidato adat dengan kata-kata kiasan).

Ketika pihak keluarga pengantin perempuan menganantar ke rumah

keluarga pengantin laki-laki. Maka seluruh harta pemberian dari suami dibawa

semua oleh pengantin perempuan karena sudah menjadi harta milik pengantin

perempuan. Keluarga pengantin perempuan juga menyediakan peralatan rumah

tangga untuk dibawa oleh anaknya ke rumah mertuanya yaitu seperti:

- Alun (tikar khas Gayo atau di anyam sendiri dari rumput ketan atau

mendong)

- Piring sebanyak dua buah

- Gelas sebanyak dua buah

- Bantal sebanyak dua buah

- Timba

- Piring kecil sebanyak dua buah

- Cambung (mangkuk) sebanyak dua buah

- Sendok sebanyak dua buah

- Sendok nasi sebanyak dua buah

Selain peralatan rumah tangga pihak keluarga juga membawa nasi bungkus

disebut kero tum, nasi tersebut dihidangkan kepada Sarak Opat dari pihak laki-

laki, setiap anggota Sarak Opat mendapatkan empat bungkus nasi.86

Upacara menenes ini pada dasarnya menurut hukum adat harus dilaksanakan

dengan khidmat, sehingga rasa haru dan sedih muncul seketika. Hikmah yang

terkandung dari upacara tersebut menandakan bahwa kepergian seorang anak

gadis yang telah nikah untuk selama-lamanya, padahal keadaan yang demikian

86

Wawancara pribadi dengan Muhammad Nasir, Sabtu, 15 Juli 2017

Page 53: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

42

tidak diinginkan oleh semua anggota keluarga.87

Di sinilah terjadi sebuku (nangis

bersedu-sedu) antar pengantin perempuan dengan kedua orang tuannya.

Dari semua proses ini disebut dengan perkawinan juelen (dijual) yang mana

perempuan diambil oleh keluarga laki-laki untuk menjadi istrinya dan sudah

menjadi blah (klen) dari suami. Pada zaman dahulu perkawinan juelen, istri sudah

jadi milik keluarga dari suami dan tinggal bersama keluarga dari suami. Akan

tetapi pada zaman sekarang sudah ada perkawinan kuso kini (kesan ke sini) yang

artinya pasangan suami istri tidak harus tinggal bersama keluarga dari suami,

mereka juga bisa tinggal bersama keluarga dari istri atau tinggal terpisah dari

kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan perempuan).

2. Mah Kero (Membawa Nasi)

Setelah sekitar sepuluh hari dari upacara menenes orang tua pengantin

perempuan datang kerumah orang tua pengantin laki-laki. Mah kero ini dilakukan

untuk saling berkenal lebih dekat antara kedua kelurga, saat ini diperkenalkan

semua unsur keluarga agar kedua mempelai mengetahui posisinya dalam

pergaulan, terutama bertutur sapa. Nasi yang dibawa dihidangkan kepada keluarga

pengantin laki-laki.

87

M. Jafar, Adat Perkawinan Dalam Masyarakat Gayo Setelah Berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah, h. 38.

Page 54: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

43

BAB IV

NILAI-NILAI ISLAM

DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIK GAYO

Pada masyarakat Gayo adat dirancang oleh tetua-tetua terdahulu, mereka

merancang adat sesuai dengan agama (syari‟at), dalam hal itu adat Gayo sesuai

dengan syari‟at Islam, dan adat juga dirancang sesuai dengan kemaslahatan

kelompok masyarakat pada waktu itu, tetapi tidak keluar dari konteks syari‟at,88

seperti pepatah Gayo “Edet mungenal ukum mu beda,” artinya: adat mengenal

sesuatu perbuatan karena merupakan kebiasaan, sementara syari‟at membedakan

di antara yang hak (benar) dan yang batil (salah).89

Apabila adat bertentang

dengan Islam maka terlebih dahulu di utamakan Syari‟at (Islam).

Adapun nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara adat perkawinan

masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah dapat dilihat dari aspek sebagai

berikut:

A. Nilai Aqidah

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral setelah aqidah dan

keimanan. Kesamaan aqidah dalam berumah tangga sangat penting, agar tujuan

suami istri dalam perkawinan bisa tercapai dan mempersatukan untuk mendapat

faedah serta sempurna menjadi keluarga yang ideal dari perkawinan tersebut.

Dalam adat Gayo untuk mengetahui atau menyelidiki calon suami ataupun istri

biasa disebut dengan bersibetehen.

Proses bersibetehen dilakukan seseorang untuk mencari jodoh yang hendak

melakukan perkawinan harus melalui tahapan adat. Dalam Islam bersibetehen

dikenal dengan kata ta’aruf yang berarti saling berkenalan90

bukan sekedar

mengetahui nama dan keluarga, tapi saling mengetahui prinsip, pola dan tujuan

hidup mereka ketika berkeluarga. Tidak hanya itu, tetapi untuk mengetahui

88

Wawancara pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 November 2017 89

Basiq Djalil, Kepemimpinan Gayo dalam Perspektif Sosio Relegius (Ciputat: CV.

Qolbun Salim, 2011), h. 36. 90

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, 14th

ed.

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 920.

Page 55: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

44

keturunannya, akhlaknya, agamanya, Semua itu sangat menentukan keserasian,

keharmonisan, dan kebahagiaan dalam berumah tangga.91

Bahkan dalam Islam

juga dianjurkan untuk meneliti terlebih dahulu calon istri seperti hadist berikut,

Yang artinya:

Dinikahi perempuan karena empat hal: karena hartanya, karena

keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya. Pilihlah perempuan yang

beragama, niscaya kedua tanganmu penuh debu (rezeki). (HR. Bukhari dan

Muslim dari Abu Hurairah).92

Pada masyarakat Gayo proses bersibetehen ini tidak dilakukan sepasang

lelaki dan perempuan (berdua) tetapi harus didampingi oleh perempuan yang

sudah berkeluarga dari pihak perempuan, selama proses ini dilakukan di rumah

dan didampingi oleh keluarga dekat pihak perempuan. Jadi tidak melanggar dan

bertentangan dengan nilai dan norma agama Islam dan nilai adat disebut dengan

sumang93

karena dianggap tabu oleh masyarakat Gayo.94

Ini juga diperkuat dalam

al-qur‟an surat Al-Isra‟: 32 yang artinya sebagai berikut:

“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu

perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (Al-Isra‟: 32).”95

Jika dari keluarga pihak perempuan bersibetehen disebut dengan hamal

nome nipi jege yang merupakan bahasa kiasan untuk melakukan proses penelitian

akhlak dan keturunan calon menantu dan keluarganya selama tiga sampai tujuh

hari lamanya. Hal ini dilakukan ketika munginte (melamar), dalam proses hamal

nome nipi jege ini juga bisa di lihat dari segi syari‟atnya sebagaimana dalam

hadits yang artinya:

91

Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, Takengon, Jum‟at, 7 Juli 2017. 92

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, 2th

ed. (Darussalam, Riyad, 1999), h. 910 93

Sumang adalah sebuah istilah perbuatan yang dilarang adat, karena dapat mengundang

terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma adat, bahkan agama, sumang dapat diartikan juga

sebagai perbuatan, tindakan dan kelakuan yang tidak layak dan tidak terpuji. Sumang di Gayo

dianggap pola dasar, sebagai landasan hidup dalam masyarakatnya. Lihat Majlis Adat Gayo Bener

Meriah, Nilai-Nilai Adat Gayo dan Kekayaan Bahasa Gayo, h. 46. Dan lihat juga A.R. Hakim

Aman Pinan, Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo ( Aceh Tengah), h. 115. 94

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, Blang Panas, Sabtu, 15 Juli 2017. 95

Al-Qur’an dan Terjemahan Special for Women (Yayasan Penyelenggaraan

Penerjemahan/Penafsiran Al-Qur‟an Revisi Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an

Depertemen Agama Republik Indonesia: PT. Sigma Examedia Arkenleema, 2007), h. 285

Page 56: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

45

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhoi

agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian

menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya

niscahya akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tarmidzi

no. 1084. Dihasankan al-imam, Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa‟ no.

1868, Ash-Shahihah, no. 1022).”

Dari uraian di atas jelas bahwa dalam Islam menganjurkan perkawinan yang

ideal, untuk memulai membina rumah tangga atau mencari jodoh hendak

melakukan perkawinan maka dari pihak laki-laki maupun perempuan harus

meneliti terlebih dahulu aqidah dari seseorang tersebut. Aqidah dalam Islam

merupakan hakekat yang meresap kedalam hati dan akal. Aqidah ialah iman atau

kepercayaan, sumbernya yang asasi ialah al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah.96

Iman

merupakan pedoman dan pegangan yang terbaik bagi manusia dalam mengarungi

kehidupan, iman menjadi sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak,

karakter dan akhlak manusia.

Dapat dilihat juga bahwa tujuan Bersibetehen ini agar menghasilkan

keluarga yang harmonis, yang selalu damai, nyaman, dan tidak terjadi keributan

dalam rumah tangga serta komunikasi yang baik antara suami istri bisa membawa

dampak positif bagi pendidikan anak. Jika bersibetehen dilihat dari keturunannya

dan agamanya maka implikasinya bahwa keturunan atau nasab yang baik akan

menghasilkan keturunan yang baik pula, karena karakter seseorang dipengaruhi

oleh tingkah laku orang tuanya, akhlak orang tua yang baik juga menghasilkan

tingkah laku anak yang baik pula, Karena orang tua adalah pendidikan pertama

yang didapat oleh seorang anak. Keturunan yang baik, akhlak yang baik,

harmonis, kasih sayang maka menghasilkan keluarga yang sakinah mawaddah wa

rahmah dan melahirkan pendidikan yang baik buat anak dan taat kepada Allah

serta kepada orang tuanya.

Aspek aqidah lain yang dapat ditelusuri dalam tradisi adat perkawinan

masyarakat Gayo dapat kita lihat dari proses berguru. Proses berguru adalah

memberi ilmu dan pelajaran kepada seseorang yang akan melaksanakan

96

Razak, Dinul Islam (Bandung: PT. Alma‟arif, 1973), h. 154

Page 57: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

46

pernikahan. Berguru merupakan momentum terakhir menjelang adat pernikahan

yang disebut ejer muarah yaitu memberi nasehat mengingatkan nilai dan prinsif

ajaran Islam kepada calon mempelai laki-laki dan perempuan oleh imam kampung

masing-masing. Adapun materi pelajaran yang paling penting antara lain

mengenai aqidah, ibadah dan syari‟ah serta kebutuhan jasmani dan rohani secara

padu.97

Membekali diri dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, memberi nasehat atau

memberi pengajaran terakhir kepada calon pengantin merupakan salah satu

kewajiban keluarga untuk menempuh kehidupan baru sang calon pengantin

menuju hari depan yang berbahagia. Sebagai mana falsafah adat Gayo berguru

amat penting bagi seseorang muslim dalam menempuh kehidupan, sebab prinsip

ajaran Islam yang disampaikan dalam proses berguru, menghasilkan kestabilan

dan keharmonisan keluarga. Islam dan adat Gayo mengharuskan umat dan warga

untuk memprogramkan pemenuhan secara padu dan seimbang kebutuhan rohani

dan jasmani98

berdasar ungkapan adat Gayo “beras padi tungket imen” yang

artinya kebutuhan dasar yang memadai mengokohkan iman. Kebutuhan dasar

jasmani dilambangkan oleh kata beras padi, sementara kebutuhan rohani

dilambangkan oleh kata imen. Kedua bagian kebutuhan itu harus diusahakan dan

dipenuhi secara padu sebagai prioritas program keluarga.99

Penyampaian materi atau nasehat merupakan norma adat Gayo yang harus

dilakukan, adapun implikasinya dalam kehidupan ialah

a. orang tua taat kepada Allah, karena orang tua pendidik dan pemberi

teladan pertama terhadap anak.

b. Mengenal diri, bukan hanya mengetahui nama dan pisik, tetapi

mengenal potensi jasmani, rohani, fitrah, syahwat, syuur, hawwas dan

akal yang dianugrahkan oleh Allah dalam dir manusia.

97

Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017. 98

Mahmud Ibrahim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo (Banda Aceh: Al-

Mumtaz Institue, 2013), h. 104-105 99

Budiman Sulaiman. dkk, Peribahasa dan Pepatah Gayo (Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), h. 58.

Page 58: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

47

c. Menyadari kebutuhan jasmani dan rohani, kebutuhan jasmani berupa

benda atau barang yang baik dan halal, sementara kebutuhan rohani

iman dan ibadah yang dilakukan searah khusuk yang menghasilkan

ketentraman dan kebahagiaan manusia.

d. Berkeluarga bagian dari tanda kekuasaan Alla, karena nikah dan

keluarga merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah

menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.

e. Kebahagiaan keluarga terwujud bila keluarga itu memahami dan

menghayati serta melaksanakan nilai-nilai tersebut diatas berupa

ketaatan kepada Allah, mengenal diri, memahami kebutuhan jasmani

dan rohani, keluarga adalah tanda kekuasaan.100

Maka sudah jelas adat dan syari‟at pada masyarakat Gayo sangat penting,

karena keduanya itu mengarahkan masyarakat Gayo kebenaran.

B. Nilai Ibadah

Islam mensyari‟atkan perkawinan untuk membentuk keluarga sebagai

sarana meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan perkawinan merupakan

suatu pristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah

memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah perkawinan

yang berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang shahih.101

Pada adat perkawinan masyarakat Gayo terkandung nilai-nilai syari‟at,

nilai-nilai di sini adalah nilai-nilai Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW,

sahabat Nabi, dan ulama. Antara lain adalah adat melamar atau dalam bahasa

Arabnya disebut dengan khitbah. Seseorang yang telah berketetapan hati untuk

menikahi seseorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada

walinya. Apabila seseorang lelaki telah mengetahui wanita yang hendak

dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu

100

Ibrahim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo, h. 116 101

Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, “Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif

Hukum Islam,” Yudisia, Vol. 5, no. 2 (Desember 2014), h. 2

Page 59: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

48

diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.102

Karena Rasulullah

SAW pernah bersabda yang artinya sebagai berikut:

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang sudah dipinag oleh

saudaranya hingga saudaranya itu menikahi siwanita atau meninggalkannya

(membatalkan pinangan). (HR. Al-Bukhari no. 5142).”103

Maka dalam adat masyarakat Gayo ketika seorang wali laki-laki datang ke

rumah keluarga perempuan untuk mungite (melamar) maka mereka memberi

sebuah benda yang disebut dengan penampong kuyu (menghambat angin) berupa

benda perlengkapan sirih sebagai tanda bahwa sudah ada yang meminang, agar

tidak menerima lamaran orang lain selama terjadinya penampong kuyu.104

Hal ini

sesuai dengan hadits Nabi di atas.

Setelah seorang laki-laki menemukan calon istri yang dipilih berlandaskan

nilai-nilai Islam, dan keluarga dari perempuan setuju dengan calon suami dari

anak perempuannya maka dari kedua belah pihak keluarga menentukan atau

bermusyawarah untuk membicarakan mahar. Sebagaimana dalam adat Gayo

mahar disebut dengan teniron (permintaan), ada dua bentuk mahar dalam adat

perkawinan Gayo, yaitu: 1. Subang (harta berupa benda yang tidak bergerak) baik

berupa sawah, kebun, kerbau, semua itu menjadi milik istri. 2. Teniron berupa

uang, perkakas dapur, perlengkapan kamar, dan mesin jahit untuk menunjang

biaya keluarga. Sedangkan jename (mahar) pada umumnya berupa emas puluhan

gram (sekarang mas sebanyak 10 sampai 30 gram emas), tapi sebaik-baik wanita

tidak meningikan mahar.105

Dalil disyariatkannya mahar sebagaimana dalam

firman Allah surat Annisa ayat 4 yang artinya:

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada

kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

102

Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam,” Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim

Vol. 14, no. 2 (2016): h. 188 103

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 920 104

Ibrahim, Syari‟at dan Adat Istiadat, jilid 1, h. 144 105

Wawancara pribadi dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017.

Page 60: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

49

Mahar yang merupakan syarat sah nikah supaya suami istri halal

berhubungan berdasarkan syari‟at, sedangkan teniron sarat kesepakatan terjadinya

perkawinan menurut adat Gayo. Bila fungsi teniron dikaitkan dengan fungsi adat

untuk menunjaang syari‟at, maka norma teniron mengatur tanggungjawab suami

terhadap kebutuhan hidup istrinya sekaligus merupakan jaminan bagi istri kalau

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (cerai).106

Adapun mahar diserahkan ketika

sebelum akad nikah dilakukan, sedangkan teniron diserahkan pada proses upacara

mujule emas untuk memastikan jadi atau tidaknya perkawinan.

Sahnya perkawinan pada masyarakat Gayo sesuai dengan anjuran syari‟at

Islam (murni) tanpa adanya adat tradisi Gayo mulai dari akad sampai selesainya

akad nikah. Adapun adat yang terjadi dalam munyawah ukum (akad) yaitu

penyerahan rempele (menyerahkan calon pengantin laki-laki) oleh Sarap Opat

kepada Sarak Opat pihak perempuan dengan menggunakan bahasa melengkan

(pidato adat).107

Nilai-nilai ibadah pada proses munyawah ukum (akad)

sebagaimana yang disyari‟atkan oleh Islam yaitu ada rukun dan syarat nikah.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya

tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah apabila keduanya tidak ada

atau tidak lengkap. Keduannya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa

rukun itu adalah sesuatu yang berbeda di dalam hakikat dan merupakan bagian

atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di

luarnya dan tidak merupakan unsurnya.108

Banyak para ulama berbeda pendapat

tentang rukun dan syarat perkawinan, seperti imam syafi‟i berpendapat bahwa

rukun pernikahan ada 5, yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan

106

Ibrahim, Syari’at dan Adat Istiadat, jilid II, h. 76 107

Wawancara dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017. 108

Amir Syaifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 59

Page 61: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

50

ijab qabul. Sedangkan imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar, calon

suami, calon istri, ijab qabul.109

Di balik perbedaan para ulama tentang penempatan posisi rukun dan syarat

nikah di atas, sesungguhnya ada persamaan yang kompak, yaitu ketika semua

fuqaha dan mazhab fiqih menempatkan shigat akad sebagai rukun nikah yang

paling mendasar.110

Namun di Indonesia para ahli hukum Islam sepakat bahwa akad nikah itu

baru terjadi setelah dipenuhiya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah antar orang

Islam sesuai dengan prosedur agama Islam. Adapun sebagai berikut:

a. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akal

balig).

b. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.

c. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang

diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepadanya istrinya.

d. Harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi yang adil dan laki-

laki Islam merdeka.

e. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon

Istri atau walinya atau wakilnya, dan qabul penerimaan oleh calon

suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang

diberikan.

f. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah, maka

hendaknya diadakan walimah (pesta perkawinan).

g. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi

surat Al-Imran ayat 282 harus diadakan i’lan an-nikah (pendaftaran

nikah) kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22

109

Erni Budiwanti, Islam Wetu Tulu Versus Waktu Lama (Yogyakarta: Lkis, 2000), h.

270 110

Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton

Surakarta dan Yogyakarta” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Unversitas Islam Negeri Walisongo

Semarang, 2015), h. 39

Page 62: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

51

tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954 jo UU No. 1 tahun 1974 (lihat

juga pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991).111

Selain syarat dan rukun nikah yang di atas, dalam akad nikah pengantin

wanita tidak lazim dihadirkan, karena statusnya belum sah menjadi suami istri.112

Semua proses upacara adat perkawinan masyarakat Gayo mengandung syari‟at,

akan tetapi diadatkan.113

C. Nilai Akhlak

Adat Gayo sangat mementingkan akhlak karimah (akhlak mulia). Prinsip

tersebut diungkap dengan kata-kata adat “batang ni ilmu akal, batang ni ume

patal” yang artinya pokok ilmu adalah akal dan pokok sawah ada pematang atau

petak. Maksud dari pepatah tersebut adalah kalau seseorang tidak berilmu,

akalnya tidak cerdas dan tidak dapat melaksanakan amal shaleh. Demikian pula

kalau sawah tidak mempunyai pematang petak, bukan sawah namanya tetapi

lapangan. Kalau di lapangan tanam padi tentu tidak mau tumbuh dengan baik,

Bahkan orang yang melakukannya dipandang gila.114

Dari pepatah tersebut sudah jelas kita lihat bahwa orang Gayo sangat

menekan akhlak dalam segala aspek kehidupan, terutama menyangkut upacara

adat. Mereka melaksanakan adat dengan benar serta menjunjung tata susila yang

tinggi, karena mereka menganggap bahwa akhlak bukanlah sekedar prilaku

manusia yang bersifat bawaan lahir, tetapi merupakan salah satu dimensi

kehidupan seorang muslim yang mencakup aqidah, ibadah dan syari‟at yang

diajarkan Allah melalui perantara Nabi. Seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh

Bazzar yang Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak

mulia.”115

111

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 48-

48 112

Wawancara pribadi dengan Basiq Jalil, Ciputat, Kamis, 21 September 2017. 113

Wawancara dengan Mahmud Ibrahim, 7 Juli 2017. 114

Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid I

(Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda, 2010), h. 81 115

Muhammad Faiz Almath, 1100Hadist Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad (Jakarta:

Gema Insani Press, 1994), h. 231.

Page 63: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

52

Dalam upacara adat perkawinan masyarakat Gayo terdapat nilai-nilai etika

(akhlak) yang tinggi. Ketika pada saat proses munginte untuk memulai upacara

menggunakan bahasa yang halus yang disebut dengan melengkan (kata-kata adat),

adapun isi dari melengkan ini dimulai dari ketika telangke (utusan) beranjak dari

rumah sehinga sampai ke rumah keluarga calon pengantin perempuan untuk

menyampaikan niat tulus dari keluarga laki-laki untuk meminang, seperti dalam

bahasa Gayo “perang mupangkal, kerje musukut” yang artinya perang bersebab,

kawin berpangkal.116

Maksud dari pepatah tersebut bahwa dalam segala sesuatu

perbuatan harus dimulai dari awal pekerjaan, dalam adat perkawinan masyarakat

Gayo dimulai dari munginte, pada saat munginte betul-betul harus jelas asal-usul

keluarga dari perempuan ataupun laki-laki sekurang-kurangnya harus jelas orang

tuanya, harus jelas asalnya, harus jelas reje (raja)117

pada saat sekarang disebut

kepala desa, di Gayo dikenal dengan gecik.118

Semua itu menggunakan bahasa melengkan yang terdiri dari bahasa kiasan

dan simbolik untuk mengungkapkan maksud dan tujuan dari keluarga laki-laki

dan menggunakan bahasa tutur yang halus agar apa yang disampaikan dapat

diterima dengan baik dan tidak menyinggung perasaan keluarga perempuan,

begitu pula sebaliknya. Selain itu ketika munginte apabila pinangan diterima atau

tidaknya diucapkan dengan sopan melalui kata-kata kiasan, sehingga pihak yang

meminang tidak merasa terlalu gembira bila pinangan mereka diterima dan tidak

terlalu kecewa bila ditolak,119

itu untuk menjaga supaya penolakan pinangan tidak

menjadi sebab renggangnya apalagi putusnya hubungan persaudaraan yang

diwajibkan Allah dan Rasullullah untuk selalu memeliharanya dengan baik.

Apabila pinangan ditolak, wali dari perempuan menyatakan “keras kuyu i

penimun, i lang rara i pepanen, kekunehpe keras ni petemun, lebih kuet takdir ni

tuhen” artinya angin berhembus kencang dipenemun, api dinyalakan di

penempaan, bagaimanapun katanya pertemuan, lebih kuat ketentuan tuhan. Dari

kata-kata tersebut keluarga dari laki-laki sudah paham bahwa pinangan mereka

116

Budiman Sulaiman, Peribahasa dan Pepatah Gayo, h. 146 117

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017. 118

Gecik adala Kepala Kampung 119

Ibrahim dan Pinan, Syariat Dan adat itiadat. Jilid 1, h. 145.

Page 64: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

53

ditolak dengan halus dan bijaksana. Begitu juga apabila pinangan diterima maka

wali calon mempelai perempuan menggunakan kata noh dan yang meminang

mengatakan aaa sebagai bahasa isyarat bersyukur bahwa pinangan mereka

diterima oleh keluarga perempuan.120

Adat perkawinan Gayo ada juga proses pakat sara ine (musyawarah

/mupakat keluarga inti) dan pakat sudere (musyawarah dengan saudara, teman,

tetangga atau kampung) keduanya merupakan proses musyawarah. proses tersebut

dimaksudkan untuk mempererat hubungan silaturahmi di antara keluarga atau

saudara. Dalam musyawarah ini terdapat nilai-nilai akhlak, yang mana dalam

musyawarah menggunakan bahasa sangat sopan dan santun. Apabila pinangan

diterima maka dalam menyampaikan kepada keluarga “ ara jema geh begeli ate

ken ipak ni “ yang artinya ada orang datang membenci anak gadis kita.121

Kata

“membenci” adalah kebalikan dari mencintai.

Kata terbalik diucapkan, karena dalam menggunakan kata “cinta, sayang,

atau rindu” dirasa sangat tidak sopan atau dalam bahasa Gayo disebut sumang.

Pada Masyarakat Gayo menyimpan beberapa aturan atau ketentuan yang perlu

ditaati yaitu sumang perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan adat

tergolong perbuatan yang tidak terpuji karena dampaknya tidak baik. Sumang di

Gayo ada empat yaitu: 1) sumang kenunulen (sumbang cara duduk), 2) sumang

perceraken (sumbang dalam berbicara), 3) sumang pelangkahen (sumbang dalam

berjalan), 4) sumang penengonen (sumang dalam melihat). Dari keempat sumang

tersebut yang terlibat dalam musyawarah yaitu sumang perceraken (sumbang

dalam berbicara).122

Dalam berbicara harus dijaga tutur dalam bahasa Gayo merupakan istilah

atau sistem kekerabatan. Tutur merupakan bagian dari nilai budaya yang ada pada

masyarakat Gayo. Lebih dari itu, tutur menggambarkan jiwa masyarakat tersebut.

Terkait dengan nilai budaya Gayo terdiri atas nilai utama yang disebut “harga

diri” mukemel (malu), apabila tidak menggunakan tutur atau berbicara tidak

santun maka disebut dengan tutur kemel (malu), berarti tidak memiliki malu

120

Ibraim, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Gayo, h. 170-171 121

Wawancara Pribadi dengan Jamhuri, 21 Mei 2017. 122

Pinan, Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tenah, h. 116

Page 65: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

54

“harga diri”. Konsep dan penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo yang

dilandasi dengan etika, norma, dan nilai untuk senantiasa bersikap santun sesuai

dengan aturan be tutur tentunya harus berpijak dengan pada nilai iman. Dengan

demikian terdapat bangunan tutur yang kuat, khas, dan mencirikan jiwa

masyarakat Gayo dengan pijakan nilai-nilai ketuhanan dan ke Islaman di

dalamnya.123

Dari menggunakan kata melengkan, berbicara dengan santun atau

menggunakan tutur itu udah jelas bahwa masyarakat Gayo sangat menjunjung

tinggi akhlah sebagi mana adat cenderung memperbaiki akhlak masyarakat. Bila

tidak ada adat maka tidak ada akhlak, jika tidak ada akhlak sudah jelas tidak ada

agama, begitu ungkapan kakek Nasir seorang tetua adat di Kampung Blang

Panas.124

123

Yusradi Usman al-Gayoni, Tutur Gayo ( Tanggerang: Mahara Publishing, 2012), h.9 124

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nasir, 15 Juli 2017

Page 66: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

55

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Upacara adat perkawinan etnik Gayo memiliki proses yang sangat panjang

dimulai dari sebelum upacar perkawinan yaitu munginte, mujule emas,

berguru, dan upacara pelaksanaan perkawinan yang dimulai dari mujule bei,

munyawah ukum, kamar delem, dan yang terakhir upacara setelah

perkawinan yaitu munenes, mah kero. Semua proses upacara tersebut

dilaksanakan secara khidmad yang dilakukan terus-menerus oleh

masyarakat Gayo. Sebagaimana semua tradisi tersebut merupakan

peninggalan nenek moyang mereka yang di teruskan oleh masyarakat Gayo

sendiri.

2. Dari setiap proses upacara dan perlengkapan yang terdapat dalam upacara

adat perkawinan etnik Gayo memiliki nilai-nilai Islam yang terkandung di

dalamnya. Setelah masuknya Islam ke Dataran Tinggi Tanah Gayo maka

masyarakat Gayo mulai mengadopsi ajaran Islam dalam kehidupan sosial,

adapun adat dirancang oleh orang-orang terdahulu yang mengerti adat dan

Islam. Maka yang lebih diutamakan adalah hukum Islam dibanding hukum

adat, karena hukum adat dibuat oleh manusia sedangkan hukum agama

didibuat oleh Allah SWT berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.

Kemudian dalam upacara adat perkawinan masyarakat Gayo memiliki nilai-

nilai Islam yaitu nilai aqidah, ibadah, akhlak. Semua nilai-nilai itu terdapat

dalam setiap upacara adat perkawinan. Sebagaimana dalam kehidupan

masyarakat Gayo adat menunjang syari‟at Islam, pepatah Gayo mengatakan

“agama urum edet lagu zet urum sipet” yang artinya agama Islam dan adat

Gayo seperti zat dengan sifat, keduanya tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan

ajaran islam akan lebih efektif, apabila dipadukan dengan nilai dan norma

adat Gayo.

Page 67: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

56

B. Saran

Setelah penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan ini, maka beberapa

hal yang perlu penulis sampaikan atau saran-saran kepada masyarakat luas,

khususnya masyarakat Gayo:

1. Bagi pemerintah Kabupaten Aceh Tengah agar menggali lebih dalam lagi

tentang proses upacara adat perkawinan, yang mana dalam proses upacara

perkawinan memiliki banyak pendidikan yang dapat disampaikan kepada

masyarakat luas. Jadi diharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan

kembali tentang budaya dan tradisi Gayo.

2. Untuk para generasi muda jangan pernah merasa gengsi terhadap tradisi

yang telah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang kita, terkhususnya

dalam upacara adat perkawinan Gayo. Dan memahami dari setiap proses

dan nilai-nilai yang terdapat dalam upacara perkawinan.

3. Harapan yang terakhir, tidak hanya tokoh-tokoh masyarakat atau pemangku

adat saja yang mengerti tentang adat, tetapi kepada seluruh masyarakat

Gayo mengerti tentang tradisi adat Gayo.

Page 68: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

57

GLOSARIUM

A

Ampang : Alas tempat duduk yang digunakan oleh calon pengantin atau

tetua adat

Aman mayak : Panggilan pengantin laki-laki sebelum mempunyai anak.

B

Batil : Cerana tempat ramuan sirih

Bersibetehen : Saling berkenalan pada saat mencari jodoh

Belah : Klen

Bersesulangen : Saling sulang- menyulangi

D

Delem : Dalam

Depik : Ikan khas Danau Laut Tawar yang bahasa latinnya Rasbora

Leptosoma

F

Farak : Pengasingan

I

Imem : Imam yang berkewajibab membina pelaksanaan ajaran Islam

terutama yang fardhu dan sunat.

Inen mayak : Panggilan pengantin perempuan sebelum mempunyai anak.

Ipegagut : Memakan rumput

K

Kemul : Genggam

M

Mujik : Mengirik padi dengan kaki yang diikuti oleh famili, tetangga dan

bebujang (remaja laki-laki)

Mujes : Empat sampai enam remaja puteri bersama-sama mengangkat

Page 69: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

58

kumpulan raden, mmengurai dan menjatyhkannya ke atas tikar

lebar lebar sehingga buah padi betul-betl berpisah dengan

tangkainya dan menjadi jerami.

Murojok : Cara berkomunikasi antara remaja laki-laki dengan perempuan

melalui lubang lantai rumah panggung.

Munenes :.Mengantar pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki,

sekaligus pemindahan anggota keluarga dari lingkungan keluarga

orang tua kandungnya ke lingkungan keluarga suaminya

Melengkan : Pidato adato adat yang sebagian beasar materinya terdiri dari

kata-kata kiasan dan simbolik untuk mengungkap maksud dan

tujuan sesuatu acara, termasuk acara adat perkawinan.

N

Nuling : Memotong atau mengetam padi dengan sadap yang dilakukan

oleh perempuan

Ngerje : Perkawinan

P

Petawaren : perbuatan adat menawari sesuatu atau seseorang dengan maksud

untuk memperoleh berkah dari Allah SWT, atau biasa disebut

tepung tawar.

Petue : orang yang dituakan berkewajiban meneliti dan menyelidiki

keadaan masyarakat dan pelaksanaan adat.

R

Reje : Raja yang memimpin rakyat dan menegakkan keadilan.

Roroh : Menginjak

S

Sapu muke : Sapu muka

Sebuku : ungkapan perasaan yang terjalin secara sepontan dalam bentuk

puisi yang dilakukan oleh perempuan setengah baya. Dengan

bahasa lainnya menangis bersedu-sedu.

Sab : Bungkusan cerana (batil)

Selangen : beberapa puluh meter sebelum tiba ke halaman rumah orang tua

pengantin perempuan, rombongan pengantar pengantin laki-laki

harus berhenti di salah satu rumah tetangga yang telah disediakan

oleh pihak keluarga mempelai perempuan.

Semah pincung: mempelai laki-laki setelah menerima pemberian akad nikah

menyembah wali perempuan dengan cara menundukkan kepala

Page 70: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

59

dan menjabat tangan mertua yang berisi sejumlah uang yang

sbagai persembahan atau penghormatan.

Sumang : aturan atau ketentuan yang perlu ditaati dan tidak bertentangan

dengan adat.

T

Telangke : Utusan (Perwakilan)

Teniron : Permintaan

U

Ulen-ulen : Selimut dengan motif Krawang Gayo

Page 71: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

60

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Buku

Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos

Wacana Ilmu, 1999

Al-Gayoni, Yusradi Usman. Tutur Gayo. Tanggerang: Mahasa Pubishing, 2012.

Al-Math, Muhammad Faiz. 1100Hadist Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad

Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Al-Bukhari. Shahh Bukhari, 2th

ed. Darussalam, Riyad, 1999.

Al-Qur’an dan Terjemahan Special for Women. Yayasan Penyelenggaraan

Penerjemahan/Penafsiran Al-Qur‟an Revisi Terjemahan Oleh Lajnah

Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Depertemen Agama Republik Indonesia:

PT. Sigma Examedia Arkenleema, 2007.

Beatty, Andrew. Varieties og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad

Fedyani Saefuddin “Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan

Antropologi.”Jakaera: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Budiwati, Erni. Islam Wetu Tulu Versus Waktu Lama. Yogyakarta: Lkis, 2000.

Coubat, A. Sy. Adat Perkawinan Gayo: Kerje Beraturen. Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,

1984.

Dien, M. Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013.

Djamari. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: CV. Alfabeta, 1988.

Djalil, Basiq. Kepemimpinan Gayo Dalam Perspektif Sosio Religius. Ciputat: CV.

Qalbun Salim, 2011.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2003.

Gayo, M. H. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1983.

Hariwjaya, M. Metodelogi dan Penulisan Skripsi Tesis dan Desertasi Untuk Ilmu

Sosial dan Humaniora. Yogyakarta: Paraman Ilmu, 2007.

Page 72: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

61

Hasan, M. Affan. Kesenian Gayo dan Perkembangannya. Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1980.

Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. T. pn: PT.

Al Ma‟arif, t.t

Hurgronje, C. Snouck. Gayo Masyarakat dan Kebdayaan Awal Abad ke-20.

Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1996

Hurgronje, C. Hurgonje. Tanah Gayo dan Penduduknya. Penerjemah Budiman. S.

Jakarta: INIS, 1996.

Ibrahim, Mahmud. Mujahiddin Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan

Maqamma Mahmuda, 2007.

Ibrahim, Mahmud. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Adat Istiadat Gayo.

Banda Aceh: Al-Mumtaz Institute, 2013.

Ibrahim, Mahmud dan Pinan, Hakim Aman. Syari’at dan Adat Istiadat (Jilid II).

Takengon: Yayasan Maqammam Mahmuda, 2003.

Ibrahim, Mahmud dan Pinan, A.R. Hakim Aman. Syari’at dan Adat Istiadat (Jilid

1). Takengon: Yayasan Makammam Mahmuda, 2010.

Ibhromi, T. O, ed. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999.

Jafar, AS. Upacara Adat Pengantin Gayo (Teori). Jakarta: Jalan Tulodong Bawah

II No. 7, 1988

Kausyar, Andrian. Tetah Cara Berguru Muluwahi Sinte. Jakrta: Motik Press,

2001.

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia, 1985.

Latief, A. R. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa

Bandung, 1995.

Lubis, Nur Ahmad Fadhil. Agama Sebagai Sistem Kultural, Penelusuran

Terhadap Metodelogi Clifford Geertz dan Sosial Interpretif. Medan: IAIN

Press, 2000.

Majlis Adat Gayo (MAG) Bener Meriah. Nilai-Nilai Adat Gayo dan Kekayaan

Bahasa Gayo. Tanggerang: Mahara Publising, t.t.

Page 73: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

62

Melalatoa, M. Yunus. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. 14th

ed.

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Mutahhari, Murtadha. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1986.

Paini, Mukhlis. Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial

di Gayo-Aceh Tengah. Arsip Nasional Republik Indonesia Kerja Sama

Dengan Gadjah Mada University Press, 1982.

Pinan, A. R. Hakim Aman. Daur Hidup Orang Gayo. Aceh Tengah: Ikatan

Cendikiawan Muslim Indonesia ORSAT, 1998.

Pinan, A.R. Hakim Aman. Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo: Aceh Tengah.

Banda Aceh: CV. Rina Utama, 1998.

Pengurus Adat Gayo (MAG) Bener Meriah. Proses Pelaksanaan Acara

Perkawinan Menurut Edet Gayo. Diperbanyak oleh: Dinas Syari‟at Islam

Bener Meriah, t.t.

Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002.

Razak, Nasaruddin. Dinul Islam. Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1973.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:

ALFABETA, 2012.

Suhaidy, M. Saleh. Rona Perkawinan di Tanah Gayo. Banda Aceh: Badan

Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.

Sulaiman, Budiman. Dkk. Peribahasa dan Pepatah Gayo. Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.

Syaifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.

Syukri. Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya

Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama,

2017.

Thaha, Nasaruddin. Pedoman Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Page 74: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

63

Tylor, Edward Burnett. Primitive Culture: Researches Into the Development of

Mithology, Philosophy, Religion, Art, and Custum. London: John Murray,

Albemarle Street, 1871.

Widagdho, Djoko. dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufikurrahman. Merangkai Identitas Gayo.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011.

2. Artikel Jurnal

Atabik, Ahmad dan Muhdhiah, Khoridatul. “Pernikahan dan Hikmahnya

Perspektif Hukum Islam.” Yudisia. Vol. 5, no. 2 (Desember 2014): h. 2

Wibisana, Wahyu. “Pernikahan Dalam Islam. ” Jurnal Pendidikan Agama Islam-

Ta’lim. Vol. 14, no. 2 (2016): h. 188

Sukiman. “Nilai-Nilai Pembangunan Islam Dalam Masyarakat Gayo.” MIQOT.

Vol. XXXVIII, no. 1 (Januari-Juni 2014): h. 222.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tengah. Indeks Pembangunan Manusia

Kabupaten Aceh Tengah 2015. Katalog BPS: 1416.1105, Takengon, 2015.

3. Sumber Tertulis Tidak Terbit

a. Tesis

Selian. Rida safuan. “Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan “ngerje” Kajian

Estetika Tradisional Suku Gayo di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh

Tengah.” Tesis S2 Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Negeri

Semarang, 2017.

b. Skripsi

Chasanah, Siti Uswatun. “Penerimaan Masyarakat Betawi Muslim Terhadap

Kesenian Musik Gambang Kromong dan Tari Ronggeng Blantek di

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.” Skripsi S1 Fakultas Adab

dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2014.

Rohman, Fatkhur. “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa

Kraton Surakarta dan Yogyakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,

Unversitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015.

Page 75: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

64

c. Makalah Seminar

Ali Hasan Aman Kamaletan, 1970, dalam Mahmud Ibrahim, “Peranan islam

Melalui Adat Gayo Dalam Pembangunan Masyarakat Gayo” Seminar

Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan ( Takengon: diselenggarakan MUI

Aceh bekerja sama PEMDA/MUI Aceh Tengah, 1986), h. 2.

Djapri Basri, Pola Perilaku Golongan-Golongan Sub Etnik Gayo dan Mitos Asal

Mula Mereka (Darussalam: Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial, Aceh Laporan

Hasil Penelitian, 1982), h. 9.

M. Jafar, Adat Perkawinan dalam Masyarkat Gayo Setelah Berlakunya Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah (Banda Aceh: Pusat

Pengembangan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala,

1991), h. 27.

4. Sumber Elektronik

https://hewanpedia.com/ikan-depik-atau-ikan-rasbora/ (diakses pada hari Selasa 9

Januari Pukul 01:05 Wib).

Page 76: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

65

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 77: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

66

Gambar 1: Batil (cerana) untuk tempat ramuan sirih

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Gambar 2: Kranam tempat kapur

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Page 78: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

67

Gambar 3: Alat-alat tempat ramuan sirih yang terdiri dari

bebalun, batil, bebakon, kranam, ketumu

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Gambar 4: Tape bercucuk tempat batil atau kantong tempat sirih

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Page 79: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

68

Gambar 5: Tape bercucuk tempat beras, ukuran 1 atau 2 liter beras.

(Sumber: dok, Intan, 2017)

Gambar 6: Perlengkapan pada saat berguru yang diserahkan kepada reje (raja)

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Page 80: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

69

Gambar 7: Perlengkapan yang diserahkan kepada ImemI (Imam) Kampung

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Gambar 8: Perlengkapan berguru, kain merah buat reje, kain putih buat imem

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Page 81: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

70

Gambar 9: Ampang (tempat duduk) untuk reje dan imen

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Gambar 10: Ampang untuk calon pengantin

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Page 82: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

71

Gambar 11: Perlengkapan berguru, serta ampang (tempat duduk) 1 untuk calon

pengantin.

Yang 2 untuk reje dan imem.

(Sumber: dok. Intan, 2017)

Gambar 12: Perlengkapan tepung tawar

(Sumber: dok, Intan 2017)

Page 83: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

72

Gambar: 13 ulen-ulen yang digunakan pada saat tepung tawar

(Sumber: dok, Intan 2017)

Gambar: 14 Pelaknaan tepung tawar

(Sumber: http/www.kompasiana.com, 2017)

Page 84: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

73

Gambar: 15 Sentong tempat nasi yang telah di bungkus

(Sumber: dok, Intan 2017

Gambar: 16 pakaian adat pengantin Gayo

(Sumber: dok, Intan 2017)

Page 85: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

74

Hasil Wawancara

Nama : Intan Permata Islami

NIM : 1113022000080

Narasumber : Muhammad Nasir

Tempat/Tanggal Wawancara : Blang Panas, 15 Juli 2017

Tanya : apa yang dimaksud dengan melengkan ?

Jawab : ”pidato adat yang dilaksanakan dalam acara perkawinan. Serah terima

dari kepala desa pihak pengantin laki-laki kepada kepala desa pihak penganti

perempuan. Jadi, pidato adat diawali saat itu, pidato adat yang disampaikan

“perang mu pangkal kerje mu sukut” artinya orang yang akan dinikahkan

tersebut, benar memiliki ibu, ada kepala desa, ada warga kampung dari orang

yang akan dinikahkan tersebut, jika terjadi hal yang tidak diharapkan suatu saat

nanti atau setelah mereka dinikahkan bisa dituntut. Kadang seperti waktu jaman

dahulu, hal yang sedemikian kemana hendak dituntut orang kadang orang baru

pun tiba-tiba sudah ada di satu kampung, orang seperti itu tidak boleh

sembarangan dijadikan sebagai istri/suami. Banyak orang suku Aceh merantau ke

tempat kita ini, sampai di sini karena kebaikannya dinikahkanlah dengan anak

sendiri, setelahnya dia pergi, toh dia berpikir jika meninggalkan anak pun sudah

pasti ada yang merawat anak tersebut. Kemudian dia pulang ke tempat asalnya.

Kadang-kadang di tempat asalnya pun dia telah memiliki istri. Makanya harus

jelas statusnya. Jika memang harus dengan orang pendatang pun harus jelas

statusnya. Tidak boleh sembarang menikahkan. Lebih lagi seorang perempuan.

Perempuan harus memiliki wali yang jelas, tidak jelas wali diri tidak boleh. Ada

wali hakim, jika pun ada wali hakim harus ada do‟a dari wali dirinya. Wali hakim

pun siapa yang bisa menjadi walinya. Siapa pengusa yang diperbolehkan. Seperti

sekarang harus ke KUA. Wali kepada siapa di percayakannya, mungkin dia tidak

Page 86: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

75

bisa, dipercayakannya kepada imam kampung tersebut. Jika tidak, tidak boleh

sembarangan menikahkan seseorang.

Sebagian jika ada walinya namun orang lain yang menikahkannya, jika ayahnya

masih hidup bisa dibatalkannya. Bisa sampai digugatnya, didenda sekali lagi.

Didenda pun sudah pasti tidak sedikit, seperti halnya mencuri anak orang.

Makanya tanggung jawabnya sangat berat. Jika dari jaman persoalan uang ni

sangat sulit memikirkannya. Kadang-kadang tidak seperti semestinya. Tidak ada

lagi rasa kepercayaan dalam hal itu, sehingga terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan. Itulah sebeb mengapa pidato adat itu sedemikian. Pidato tidak bolah

hanya sekedar berbicara saja, harus bisa memberi jawaban jika ditanyai orang

lain, segala hal yang disampaikan harus ditanggung jawabi oleh sang pembicara.

Dari mana asalnya, alamatnya jelas, ini makanya disebut “pute”. Karena asal adat

ini dari “pute merhum” dari adat katanya Gayo berasal dari Cik Serule.

Pengertiannya hingga disebut pute merhum itulah Raja Linge.

Arti pute merhum adalah mahkota alam. Itulah pangkat dan kedudukannya,

mahkota alam. Karena asal adat ini dari Cik Serule. Kenapa harus Cik Serule.

Karena dia adalah seorang Ulama Syekh Sirajuddin dialah yang menciptakan

peraturan ini. Pengertiannya jika adat dari Raja Linge, maka hukum dari Cik

Serule, sehingga dapat disahkan. Jika tidak maka tidak akan sah. Kadang-kadang

orang Aceh berbicara hukum berasal dari Syekh Syiah Kuala. Kata suku Mereka

benar, memang sedemikian, jadi kita Gayo pun jika demikian tidak benar. Kita

mana dari Syiah Kuala. Di Aceh Syiah Kuala ulamanya. Tapi Syekh Sirajuddin

ulama kita waktu itu di Serule. Jadi Raja Linge menciptakan adat. Dia

menciptakan adat setelah di perlihatkan terlebih dahulu kepada Cik Serule. Jika

tidak boleh kata Cik Serule maka akan di batalkannya. Itulah mengapa kuatnya

hubungan adat kita dengan syariat, karena syariat yang menunjukkan dan adat

yang mengerjakannya. Itulah mengapa keduanya harus sejalan. Seperti halnya

hukum bertulis adat berwujud, apa yang diperintahkan tuhan itulah yang

dikerjakan adat tersebut. Mengapa harus demikian?. Adat banyak berlaku sebagai

Page 87: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

76

pencegah dari pada memperbaiki, jika adat sudah kuat ada yang dapat dicegah,

sebab tujuan adat adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.

Jika kita berbicara masalah adat artinya kita mebahas syariat. Itulah mengapa adat

mencari, syariat memisah. Jika adat kuat maka agama akan terpelihara, karena

hilangnya adat matilah Nahma. Apa Nahma? Apa nama? Jika nama hanya untuk

satu orang saja, “siapa namamu”. Tapi jika nahma mencakup satu wilayah. Minsal

satu kesatuan, suatu masyarakat minsalnya, jika gecek ata reje bermasalah maka

nahma juga bermasalah, sama satu lingkungan akan menanggung malunya.

Jadi itulah adat, cenderung memperbaiki akhlak manusia, akhlak yang paling

baik, jadi jika orang tidak beradat sama halnya tidak berakhlak. Tidak berakhlak

artinya tidak beragama begitulah kiranya. Jadi adat Gayo ini akhlak itu diperbaiki

dengan adat, itulah sebabnya mengajar anak harus dimuali dari rumah, yang tidak

didapat di rumah di sekolah diajarkan. Sekarang mengajar sama mendidik itu

beda, jika mendidik akhlaknya harus di perbaiki jika diajari ilmu harus didapat,

bagaimana?. Hingga sampai kebagian inilah penjabarannya. Itulah sebabnya

mendidik itu harus dimulai dari rumah. Jadi dalam pidato adat ini dari kita kecil,

lahir hingga sekolah itulah yang dijabarkan dalam pidato adat.

Melangkan adalah pidato adat, kadang-kadang banyak orang berbicara dengan

melengkan, namun yang dibahas bukan mengenai adat. Sebagian kadang-kadang

suaranya berpantun, sebagian kadang-kadang bersyair itu menjadi didong. Jika

dari adat dimulai dari awal, apa hal yang paling awal, itu dimulai dari munginte,

“perang mu pangkal kerje mu sukut” itulah yang diartikan sebagai kesiapan orang

pendatang, siapa yang siap, sukutnya itulah yang maksud dengan mepersiapkan

“sukut”artinya keluarga atau famili.

Ketika saat pertama memulai melengkan adalah batil, apa keguanaan batil ini?.

Batil ini adalah syarat, sebab itu sendiri melambangkan reje dengan isi ketumu

sebagai imam kranam sebagai petua dan bebakon sebagai rakyat.

Page 88: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

77

Isi batil dengan isi peralatan menyirih berbeda, dimana mangas atau menyirih

berisi daun sirih, pinang, kacu, cengkeh, kapur, konyel, tembakau, jadi itu sebagai

sifat rakyat.

Sirih : Hambar

Pinang : ide

Kacu : sepat, pahit

Cengkeh : pedas

Kapur : kelat

Tembakau : mabuk

Ini semua adalah perasa, sifat, peluh, rasanya rakyat, itu sekali bawa semuanya.

Setelah itu disampaikan barulah masuk ke intinya. Intinya disini taris yang kita

bawa, aman mayak (pengantin laki-laki) orangnya, akad yang kita bawa, taris

adalah aman mayak, kenapa disebut taris, taris kayu, dia memiliki kelebihan,

kelebihan. Itu bukanlah kiriman, tetapi diantar, yang mengantar adalah reje walau

bersama rakyat, karena yang mengntarnya adalah reje, imem, petue dan rakyat

(Sarak Opat).

Dari pihak perempuan pun tidak boleh sembarangan menerima, dilihat dan

disaksikan terlebih dahulu, disaksikan oleh imem, benarkah sudah itu orngnya.

Jika benar maka akan diberikan kepada yang bersangkutan, jika bukan tdak boleh

sembaranng serahkan. Itulah sebabnya mengapa diperiksa, agar tidak tertukar, jika

sampai tertukar akan menyebabkan bahaya, jika tertukar maka akan didenda,

didenda 2 kali lipat.

Tanya : setelah akad nikah apa saja proses upacara yang dilakukan oleh

pengantin laki-laki dan perempuan.

Jawab :setelah akad nikah jaman dulu di sebut sebagai khutbah nikah, itulah

mengapa jaman dulu jarang orang bercerai. Karena sudah diberikan khutbah

nikah, nasihat setelah akad, tidak seperti sekarang dalam setahun hingga beribu

orang bercerai. Jika sekarang harus menggunakan bahasa modern, itulah mengapa

di Gayo ni belum sanggup dia modern, sebab semakin modern semakin bertambah

Page 89: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

78

rusak, padahal sekarang orang berilmu, ilmu apalah yang tidak ada sekarang,

berbagai jenis ilmu segalanya ada ilmunya, tapi itulah semakin bertambah rusak,

karena seharusnya ilmu ini memperbaiki bukan untuk merusak, entah mengapa

bisa demikian?, itu disebabkan tidak memiliki akhlak, kenapa tidak memiliki

akhlak? Sebab adat tadi tidak dijalankan, akhlak diperbaiki oleh adat, segalanya

kembali kepada adat.

Setelah akad ada bersalaman, itu di dampingi oleh pegasuh, pengasuhni berfungsi

sejak diterima emas sudah memiliki kewajiban, namun sekarang segalanya sudah

diserahkan kepada imam.

Jadi didalam kamar nanti ada yang disebut dengan semah pincung, ada lima

adatnya

Kain putih : sebagai tanda kesucian perempuan artinya suci, bersih.

Sen kerta (rupiah), beras sedikit : dengan adanya beras bekerja, makan, jika tidak

makan bagaimana bekerja, sembahyang pun tidak, beras dan uang posisinya sama,

lebih jelasnya sebagai lambang ekonomi, harus berusaha, seperti sekarang harus

bekerja, sekurang-kurangnya, sudah memiliki pekerjaan, seudah memiliki usaha,

yang jelas harus bertanggung jawab.

Uang logam : saling memberatkan, saling menghormati, antara suami dan istri,

seperti suami tidak boleh sesukanya, harus berperasaan, harus saling menjaga

pembicaraan dan tutur kata antara suami dan istri.

Kesemua ini, dibalut kedalam kain putih, dilipat, lipatannyapun harus dimulai dari

kanan terlebih dahulu kemudian kiri, setelah dilipat diikat dengan benang putih.

Benang putih : bersifat sama dengan kain putih, ikatanya harus dengan simpul

hidup, ikatannya harus kuat tapi harus mudah dilepas, maksudnya sekali tarik

lasung bisa terlepas, maknanya jika terjadi msalah apapun dalam keluarga

nantinya bisa diselesaikan dengan mudah, itulah mengapa harus diikat dengan

simpul hidup, sebesar apapun masalah tidak harus menggunakan pisau untuk

membukanya.

Page 90: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

79

Selanjutnya setelah diikat, ibu imem dari pihat pengatin perempuan mengankat

tangan pengantin perempuan, ibu pengantin laki-laki mengangkat tangan pengatin

laki-laki, disana mereka mulai bersalaman untuk pertama kalinya, selanjutnya

uang untuk belanja tadi, sebenarnya tidak ditentukan jumlahnya, berapa

semampunya pengantin laki-laki, semakin banyak semakin baik.

Sebagian orang di masukkannya yang berkejelasan kedalam kain putih,

sebenarnya tidak boleh, seakan-akan tidak berharga, seakan-akan tidak memiliki

kejelasan pengantin perempuannya tersebut, harus saling menghormati.

Sebenarnya jaman dulu, sejak diterimanya emas yang dibawa orang, pengasuh

sudah mulai berfungsi, sejak dari saat itu pengantin perempuan harus sudah

tinggal bersama pengasuh, pengasuh harus memiliki posisi di keluarga tidak

terlalu tinggi, diajarkannya menganyam, mencucuk, diberikannya nasihat

bagaimana berkeluarga, seperti sekarang nanti sesekali datang dia kerumah dan

diajarkannya do‟a-do‟a wajib, segala do‟a dalam perbuatan jika sudah menjadi

seorang istri.

Ketika mujule beru yang dibawa tikar, ember, piring makan 2, piring kecil 2,

cambung 2, sendok 2, sendok nasi 2, gelas 2, bantal sama tikar dibalut menjadi

satu, sekarang kita lihat ada yang membawa 2 tikar, satu tikar plastik dan satunya

lagi tikar dari kertan/tikar khas Gayo untuk pembalut bantal, nasi 16 bungkus, 4

kantong, 1 katong menjadi 4 bungkus.nasi 16 bungkus ini Gayo sara k opat.

Reje : 4 bungkus, yang dimaksud masing-masing memberi 4 nasihat kepada reje

dari pihak pengantin laki-laki. Istilahnya jika pergi saling menunggu, jika hilang

saling mencari, jadi kemana pun perginya penganti perempuan maka pengantin

laki-laki harus ikut.

Petue : 4 bungkus, susahnya pengantin perempuan petua yang menanyakan,

gundah pengantin perempuan petue yang melegakannya, sakit pengantin

perempuan petue yang mengobati, pelitnya pengantin perempuan petue yang

mengikutinya. Mengapa demikian? Jaman dahulu, pengantin perempuan tidak

mengenal ibu mertua, bahkan dengan calon pengantinya sendiri pun belom

Page 91: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

80

mengenal dengan baik, karena jaman dulu belom saling mengenal, maka akan

merasa malu pengantin perempuan, itulah yang diselidiki oleh petue.

Imem : 4 bungkus, al-qur‟an, hadist, ijma‟, dan qias. Kadang didalam al-qur‟an

makhrjal hurufnya belum jelas, wajib imam mengajarkannya, kadang wujudnya

belum benar maka tugas imem memperbaikinya. Hadist yang sepatutnya

diajarkan, imem lah yang mengajarkannya, kadang rukun shalatnya belum pas,

berwudhu belum sesuai, itulah tugas imam untuk mengajarkan dan

membenarkannya.

Rakyat : 4 bungkus, jika bepergian bersama maka pengantin perempuan harus

ditemani, jika hanya berdiam diri dalam satu ruangan maka pengantin perempuan

harus ditemani, jika dalam hajatan pengantin perempuan harus ditemani oleh

pengantin laki-laki saling berdampingan, jika ada masalah pengantin perempuan

harus ditemani, artinya kekeluargaan, keakraban dalam satu kampung.

Menyampaikan maksud melamar adalah munginte, membawa beras, dibawa

dalam katong, dibalut dalam kain putih.

Page 92: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

81

Penulis sedang berlangsung mewawancarai Narasumber Bapak Muhammad Nasir

Bapak Muhammad Nasir sebagai Narasumber

Page 93: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

82

Hasil Wawancara

Nama : Intan Permata Islami

NIM : 1113022000080

Narasumber : Dr. H. Mahmud Ibrahim, M.A

Tempat/Tanggal Wawancara : Takengon, 11 Juli 2017

Tanya : apa saja yang diadopsi dari ajaran Islam dalam adat upacara pernikahan

masyarakat Gayo?

Jawab : pertama saling mengetahui, maksudnya biar tau keturunannya,

akhlaknya, tau segalanya. Sehingga nantinya tidak ada penyesalan setelah

pernikahan, itu namanya saling mengenal/mengetahui, hal tersebut dilakukan

biasanya didampingi oleh orangtua kedua belah pihak, baik itu bibi, nenek, adik

ibu yang paling bungsu, kakak ayah/ibu yang terbesar, itu memiliki panggilan

dalam keluarga yang rendah posisinya, tidak diperbolehkan jika hanya berdua,

jika di Gayo sumang/tabu namanya.

Setelah saling berkenalan, munginte itu ada Islam, dengan cara, keluarga calon

pengantin laki-laki pergi ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak

boleh di pasar, tidak boleh di ladang, di jalan, memang sudah harus ke rumah,

tidak boleh di warung, atau di tempat lain musti ke rumah ayahnya, ke rumah

ibunya. Karena yang datang munginte juga adalah keluarga inti, ayah, ibu, atau

paling tidak adik dari ayahnya, ibunya, intinya keluarganya tidak boleh

sembarangan. Munginte itu pun kan masuk dalam agama. Dari pertemuan itu

terjadi persesuaian pemikiran hingga ditentukannya jumlah mahar dan hantaran.

Mahar dari al-qur‟an sedangkan hantaran/pemberian dari adat.

Tanya : beda berarti mahar dengan teniron (permintaan)?

Jawab : beda itu, mahar kan menjadi syarat sah-nya akad nikah karena adanya

mahar. Adat ini menumbuhkan rasa kerelaan keluarga kepada calon pengantin.

Umpamanya, jika jaman dahulu sawah satu nalih umpamanya, namanya sawah

Page 94: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

83

subang. Sawah subang ini satu nalih diberikan kepada pengantin perempuan,

menjadi hak-nya, jika bercerai pun nantinya sawah tersebut sah menjadi miliknya,

tidak boleh digugat kembali dari penganti perempuan, selanjut seiring perubahan

jaman berganti menjadi kerbau, berubah lagi menjadi kebun, itu dulu kira-kira 35

tahun yang lalu. Selanjutnya berubah ke peralatan rumah tangga, dulunya mesin

jahit, selanjutnya peralatan dapur, tempat tidur/ranjang, lemari.

Ini disediakan untuk diberikan kepada pengantin perempuan menjadi hak-nya,

tidak boleh diminta kembali oleh pengantin laki-laki. Sementara mahar tadi

berupa emas bisa diminta kembali. Tapi di Gayo dalam bentuk gram, dari 10

hingga 30 gram, disamping itu sekarang sudah ada permintaan berbentuk uang.

Untuk biaya pernikahan, menjadi beban suami, ini disebut dengan adat. Tapi

biaya pernikahan bukan untuk pengantin perempuan melainkan untuk ayah, ibu,

dan keluarganya, itu adat, bukan perintah agama.

Dalam islam, memerintahkan resmikan anak mu, walaupun kata Nabi, hanya

dengan seekor kambing (walimah ursyi). Jadi biaya itulah yang dibebankan

kepada sebahagian kepada keluarga pengantin laki-laki. Sekarang sudah di

tambah lagi dengan sewa band. Band sesungguhnya tidak ada dalam syariat dan

adat. Itu kebiasan yang dibawa orang jawa. Datang kita malah mengikutinya, hal

itu tidak ada dalam adat bahkan terkadang melanggar syariat.

Menari dalam adat Gayo, laki-laki dan perempuan bertari dengan bibi atau

saudara kandungnya. Itu bukan adat, itu persembahan/hiburan untuk memeriahkan

acara. Tetapi sekarang bertari sudah dengan sembarang orang. Itu tujuannya untuk

menggembirakan, meramaikan acara, tapi tidak melanggar syariat.

Sebelum akad nikah ada yang namanya beguru. Acara ini ditentukan ketika sudah

merasa cocok, dan beguru ini ada 2 macam, seminggu sebelum akad dilaksanakan

masing-masing pengatin di antarkan ke tempat imemnya, bawa kopi dan

makanan, tugas imam mengajarkan rukun iman, rukun islam, cara sembahyang,

cara syahadat, kesemuanya itu diajarkan, dan kegiatan ini bisa berlangsung hinga

beberapa hari, hingga benar-benar lancar. Tapi ada juga beguru menjelang akad

Page 95: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

84

nikah, jadi malam sebelum akad nikah ada beguru, dengan nama “ejer mu arah”,

diajarkan mengenai tujuan hidup, tujuan pernikahan, bukan ejer marah tapi ejer

mu arah, artinya pelajaran yang mengarahkan, kemana tujuan, acara ini haya

berlansung sebentar yang kira-kira memakan waktu setengah jam, jika pengatin

laki-laki diajarkan bagaimana mengucap ijab kabul supaya lancar.

Kemudian pakat “rapat” dalam adat ada 2. Pertama mupakat dalam satu keluarga,

maksudnya keluarga inti, yang bertanggung jawab melaksanakan kegiatan

bersinte. Disamping itu ada lagi yang namanya genap sedere. Mupakat ini

beranggotakan saudara yang lebih luas, dan tetangga. Kemudia ada mupakat

sedere penghormatan yang melibatkan seluruh masyarakat kampung dengan

tujuan membantu yang melaksanakan hajatan, tapi tidak ditentukan berapa

besarnya, hanya bersifat sukarela. Setelah hasil pakat sara ine matang barulah

kemudian pakat sedere ini dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebelum melaksanakan

akad nikah. Mupakat tersebut ada dalam syariat, kemuadian diadatkan, seperti

musyawarah jika dalam islam.

Selanjutnya jule bai atau mengantar manten, minsalnya di keesokan paginya, itu

namanya resam, apa perbedaan resam dan adat?. Adat memiliki sangsi jika

misalnya nikah dalam satu belah makan akan dikenakan sangsi. Tapi jika resam

tidak memiliki sangsi. Seperti jule bai, pengantinya dekat seperti di depan, ada di

kanan, kiri yang dinamakan apit, selanjutnya diikuti oleh petua di bagian

belakang, pengaturan itu dikatakan sebagai resam, artinya resam juga merupakan

suatu aturan akan tetapi tidak memiliki sangsi, seperti mobil diberi hiasan bunga

itu juga termasuk kedalam resam. Tujuannya agar orang mengetahui jika sang

pegantin ada di mobil tersebut di ikuti petua dan iringan musing canang. Urutan

itu dinamakan resam.

Kemudian setelah sampai di rumah pengantin perempuan tidak boleh langsung

kerumahnya, harus ada selangan atau tempat peristirahatan sejenak, rumah

selangan biasa diketahui oleh keluarga pengantin laki-laki, jika tidak maka pihak

keluarga pengantin perempuan yang mencarikan rumah selangan tersebut, itu juga

Page 96: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

85

termasuk kedalam resam. Mengapa harus singgah? Tujuannya untuk menunggu

jemputan, secara adat disambut dengan peralatan sirih, petua dari pengantin

membawakan sirih dan disambut oleh petua dari pengantin laki-laki, ada juga

petawaren, hal ini juga masih termasuk kedalam resam, jika tidak terdapt

petawaren juga tidak dipermasalahkan.

Selanjutnya barulah diarah kan pengantin ini ke tempat dilangsungkannya akad

nikah, diperlihatkan maharnya kepada pengantin perempuan, namun yang melihat

bibi-nya, dilihat sudahkah cocok, baru dilaksanakan akad nikah. Akad nikah

masuk dalam bagian syariat, dengat kata-kata diadatkan. Tapi dalam bahasa

indonesia. Dalam kegiatan ini tidak terdapat adat. Yang ada hanya adat dalam

penyerahan pengantin sebelum akad nikah, tidak termasuk dalam syariat hanya

mengandung resam, artinya jika tidak dilaksanakan juga tidak mengapa.

Baca al-qur‟an dan mengucap dua kalimat syahadat (syariat). Pemberian surat

nikah, itu syariat atau adat?, surat nikah tidak ada dalam syariat dan adat namun

itu merupakan hukum Indonesia. Padahal itu tidak terlalu penting, karena tidak

bepergian jauh, hanya di sekitaran kampung keluarga kedua pengantin, sekarang

orang telah bepergian jauh ke Jakarta, ke luar negeri jika tidak memiliki surat

nikah bagaimana?. Jadi oleh pemerintah diadakan surat nikah tersebut. Itu bukan

syariat dan bukan adat, surat nikah adalah hukum nasional. Jika acara tersebut

telah selesai maka selesailah acara akad nikah. Selanjutnya di kita ini ada adat

membawa nasi 3 hari 3 malam dari keluarga suami kepada keluarga istri.

Biasanya kegiatan ini dilaksanakan 3 hari setelah akad, atau dalam minggu itu

juga, itu ada bukan syariat, jika syariat setelah selesai akad maka selesai sudah.

Bawa nasi ini tujuannya untuk makan bersama dan saling berkenalan dengan

ayah, ibu masing-masing. Karena di dalam akad nikah tidak ada perkenalan.

Tidak diketahui dengan jelas mana ayah, ibu, bibi, nenek pengantin secara

langsung. Disinilah saatnya dua keluarga saling mengenal.

Dulu ada yang namanya munenes, artinya keluarga perempuan pindah ke keluarga

laki-laki atau pindah marga, pindahan itu dinamakan tenes. Diantarkan pengantin

Page 97: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

86

perempuan ke keluarga laki-laki, tapi seekarang sudah tidak lagi. Nenes itu sudah

tidak dilakukan lagi, artinya jika ada pun sudah tidak seperti dulu lagi harus

dengan upacara. Segala perlengkapan rumah tangga dibawa dan suasana juga

telalu sedih, sekarang sudah biasa saja.

Tanya : perubahan adat ini dimulai dari tahun berapa pak?

Jawab : saya dulu masih menenes dengan nenek mu, sekitar tahun 1958 sampai

tahun1960-an masih berlaku munenes. Tahun 1970-an mulai berangsur

perubahan. Munenes itu ada tapi sudah tidak seperti sebelumnya, dulu munenes

rasanya terlalu sedih menangis seperti orang mau meninggal. Diberi bakalnya,

itukira-kira adat, sistem, artinya perempuan pindah ke keluarga laki-laki yang

disebut dengan sistem juelen. Itu bukan berarti dijual, tidak. Itu hanya istilahnya

saja. Sekarang sudah berlaku kuso kini, artinya terkadang di keluarga perempuan,

terkadang di keluarga laki-laki. Satu lagi angkap, artinya perempuan yang

meminta laki-laki. Tapi tetap mahar dari laki-laki ke perempuan. Permintaannya

diberikan kepada penganti laki-laki. Diberi kebun, di beri sawaah karena dia

sudah menghidupi istrinya. Dia memiliki kewajiban terhadap anak perempuan,

untuk menghidupi ayah, ibunya. Umumya pernikahan angkap jika tidak memiliki

anak laki-laki dalam keluarga, makanya dilakukan pernikahan angkap,. Dan

kebetulan orang pun agak susah. Hanya itu 3 bentuk pernikahan. Itu adat bukan

syariat.

Tetapi hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat, karena pelaksanaan akad

nikahnya sudah dengan syariat dilaksanakan dalam adat tersebut.

Tanya : berarti setelah akad nikah itu semua murni adat?

Jawab : sebelum akad, berguru itupun termasuk adat tapi menunjang syariat,

bersibetehen/saling mengenal itu adat menunjang syariat, pemberian adat, mahar

syariat. Jadi kesimpulannya banyak adat Gayo yang menunjang syariat, makanya

ada perumpamaan “pelihara edet kuet syariet, ike edet rusak, rusak syariet”

artinya pelihara adat kuat syariat, jika adat rusak, maka rusaklah syariat, itulah

adat Gayo.

Page 98: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

87

Artinya terpadu, syariat itu dijaga oleh adat, adat dan syariat saling berdampingan,

saling menguatkan satu sama lainnua. Jadi adat ini dimaknai dari surat Ar-rum

ayat 30, jadi itulah pernikah adalah satu perasaan, satu hidup, baru terjadi

mawaddah wa rahmah. Antara kedua suami-istri menjadi satu atas adanya kasih

sayang, dan rahmat. Jadi seluruh rangkaian adat ini untuk menciptakan mawaddah

wa rahmah.

Tanya : jika tidak ada orang melakukan pernikahan yang tidak sesuai denga adat

Gayo apakah ada sangsinya?

Jawab : segalanya memiliki sangsi. Minsalnya jika ada orang menikah dalam satu

belah atau satu lingkungan kecil, maka ia akan dipisahkan (parak) atau diusir dari

kampung, karena hal itu tidak boleh, jika minsalnya tidak jadi pemberiannya tidak

jadi menukah itupun mendapatkan sangsi juga. Ada juga jaman dahulu sangsi

berbentuk denda, jika di parak pun ada orang yang memotong kerbau untuk

dimakan bersama itupun termasuk denda.

Sekarang apakah nikah satu belah (kampung) cocok dengan agama? Jika orang

Gayo melarang pernikahan satu belah tapi tidak dilarang oleh syariat, itu asalnya

untuk menjaga syariat, jaman dulu dalam satu kampung hanya terdiri dari satu

belah, jadi belah ini sudah dianggap sebagai saudara, di dalamnya tidak

seluruhnya muhrim, tapi agar tidak terjadi pelanggaran syariat, atau perbuatan

tabu (sumang). Untuk menghormati satu muhrim dibatasi dengan belah. Bagi

yang melanggar syariat itu menikah dengan 13, itu masih mihrim. Ada lagi hadist

nabi “nikahlah kamu dengan orang yang lebih jauh hubungan keluarga mu supaya

kamu cerdik” tapi itu bukan hadist hanya anjuran, mungkin orang Gayo mengutip

dri hadist itu. Mungkin.

Page 99: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

88

Almarhum Bapak Dr. H. Muhammad Ibrahim, M.A Sebagai Narasumber

Page 100: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

89

Hasil Wawancara

Nama : Intan Permata Islami

NIM : 1113022000080

Narasumber : Drs. Basiq Jalil, M.A

Tempat/Tanggal Wawancara : Ciputat, 21 September 2017

Tanya : perlengakapan adat pernikahan, minsalnya seperti munginte, dalam

kegiatan munginte pertama kali apa yang diserahkan, bahan-bahannya apa saja?

Jawab : ada tiga, sebelum pernikahan, acara pernikahan, setelah pernikahan.

Sebelumnya adat yang dikatatan adat, umumnya adat di mana pun adalah

kebiasaan, tingkah laku suatu masyarakat, dan berulang-ulang dikerjakan, berlatar

belakang sumber yang berbeda bukan. Mungkin jika di Bali lain sumbernya.

Begitu juga di Jawa apa adatnya, di Batak apa. Tapi jika di Gayo di latar

belakangi Islam. Islam itu dilahirkan menjadi kebiasaan, itualh adat di Gayo, di

Aceh pun demikian. Jadi bukan karena kebiasan begitu-begitu saja. Sebenarnya

adat islam itu yang menyerap ke masyarakat dilaksanakan berulang-ulang menjadi

kebiasaan. Seperti kamu memakai bajumu tangan kanan atau tangan kiri dulu?

Tangan kanan. Coba tanyakan kepaada orang-orang mengapa tangan kanan

duluan memakai baju, dari mana asalanya, jika dijawabnya tangan kanan dulu,

dari mana asalnya? Islam. Itulah alasan snough Hourgronhe dulu “kebiasaan

orang Aceh adatnya dari agama, dia melaksanakan perbuatannya bukan karena

agama, karena itu adat”. Kenapa tangan tangan terlebih dahulu? Karena itu

kebiasaannya. Dia sudah tidak menyadari bahwa itu adalah perintah agama.

Perintah agama itu dijalankannya menjadi adat. Itu artinya adat di Gayo ajaran

Islam dikerjakan dengan seriaus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya orang-orang tua jaman, yang ahli-ahli diantara mereka, merancang

adat yang sesuai dengan agama, agar mengandung kemashalahatan bagi

masyarakat di waktu itu. Adat dibuat untuk kemaslahatan masyarakat dengan

Page 101: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

90

tidak menentang ajaran agama Islam. Ada satu dua kebiasaan dikaji menentang

Islam itu menjadi masalah lain, ada contoh kebiasaan di Gayo yang bertentagan

dengan Islam, seperti minsalnya apa, tau kamu?

Tanya : band, keyboard, itu bertentangan.

Jawab : kebiasaan orang Gayo itu, tidak boleh berbicara ketika saat makan, itu

langsung dimarah orang tuanya. Itu bertentangan dengan islam, dalam Islam nabi

memerintahkan berbicara ketika makan, ada satu dua itu masalah alin. Itulah

mengapa adat itu diciptakan guna untuk kemashalahatan masyarakat di waktu itu.

Sebab peraturan dibuat peraturan apapun, peraturan rumah, itu dalam

perkembanganya nanti akan ketinggalan jaman. Pada saat itu bagus, itulah

mengapa kata ahli, pada saat aturan itu disahkan, tak… tak…, pada saat itu juga

sudah ketinggalan jaman. Itulah kehebatan dari kemajuan ini. Itu pengertian adat

bukan. Misalnya adat yang mengandung kemaslahatan umat dimasa itu,

pernikahan angkap, dan pernikahan ang-o (juelan), jaman apa kemashalahatannya

sehingga dibuat, biar jelas.

Angkap ini yang laki-laki menjadi keluarga perempuan, itu angkap,jika dia datang

ke keluarganya kembali maka dia dianggap sudah sebagai tamu. Itu tidak mahal

harganya, tidak harus dari laki-laki memberikan uang untuk perkawina, yang

mahal di pihak perempuan karena dia mau menjadi keluarga laki-laki itu namanya

juelen. Itu ketika mau berangkatnya nanti, ketika hendak diserahkan munenes

namanya, menangisi segalanya, mulai dari tempat bermain, kamar tidur,

keluarganya itu semuanya di tangisi sebab esok tidak akan berjumpa lagi dengan

kesemua itu, jika datang berkunjungpun hanya akan menjadi tamu saja,

pernyerahan ini namanya tenes.

Uang yang diserahkan laki-laki kepada perempuan, berupa biaya perkawinan,

permitaan, uang dapa, dikita sana Gayo jaman dulu unyuk. Jika antara Aceh dan

Gayo terjadi pernikahan. Tetap sama seperti itu, tapi orang Aceh jaman dulu

datang ke kita sana kerjany memanen padi, lalu bertemu perempuan yang

memikat hatinya, cocok menurutnya. Orang kita menerima orang Aceh menjadi

Page 102: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

91

mantunya, tapi dengan syarat uang dapa untuk diserahkan kepada keluarga

perempuan, sampai sebelum dipenuhinya uang tersebut, ia belum diperbolehkan

membawa istrinya ke Aceh, jika bisa semua jika sudah lunas, itu kan adat. Ada

hikmahnya dari adat tersebut, hikmahnya adat tadi yang menciptakannya

bukanlah orang yang tidak tahu menahu, orang-orang pinter berkumpul, yang

mengerti bahasa tinggi, cerdas memprediksikan kondisi yang akan datang, itulah

mengapa di ciptakan pernikahan angkap, juelan karena itu akan terjadi ketika

masanya tiba.

Di kita sana pada jaman dulu di kampung itu terpagar oleh adat, minsalnya orang

Hakim tidak boleh pergi ke Bale, walaupun memiliki kawannya. Kampung itu

telah terpagar oleh adat. Orang yang datang ke kampung tersebut sah saja jika

dipukuli warga karena tidak meminta ijin terlebih dahulu. Adat itu terjadi dengan

rapi, mengapa demikian, itu untuk keamanan, karena dala satu kampung itu

dianggap satu ibu satu ayah, istilahnya “beru ber-ine bujang ber-ama” jadi secara

adat satu kampung adalah saudara se-ayah se-ibu.

Oleh karena itu sewaktu melamar asal usulnya harus benar, atau haru jelas

diterima menikah angkap atau juelan. Jika siap angkap artinya pengantin laki-laki

harus siap hidup menjadi orang perempuan (Gayo), jika menikah juelan berarti

sebaliknya. Perempuan yang menikah juelan tidak diperbolehkan lagi kembali ke

rumah orang tuanya karena dia sudah diantar dengan cara mutenes. Kalau

sekarang sudah tidak lagi, dalam satu kampung sudah banyak warga pendatang,

jadi tradisi menikah satu kampun dan satu belah sudah tidak dipertahankan lagi.

Jaman dulu jika terpaksa dia menikah dengan satu kampungnya pasti akan terkena

sangsi, di usir dari kampung dan menyembelih kerbau, namun kesemua itu seiring

berjalannya waktu adat tersebut tidak dapat dipertahankan.

Pelaksaan pernikahan, tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang,

esok hendak dilaksanakan pernikahan, malam ini ada kegiatan yang dilakukan

dengan istilah beguru. Berguru ini bertujuan untuk memberikan nasihat, wejangan

memohon maaf kepada kedua orang tua dan keluarganya. Biasanya dalam acara

Page 103: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

92

beguru ini yang menyampaikan nasehaat bisa saja ayahnya, ibunya atau

diwakilkan kepada keluarga yang lain. Isi nasihatnya berupa permohonan maaf

ayah kepada anaknya. Kenapa memohon maaf, karena dalam perasaan ayahnya

ketika anaknya sekolah ada keinginan aak yang tidak dapat dipenuhi olehnya.

Menyampaikan pesan terakhir, karena itu merupakan pesan terakhir yang

diberikan ayah kenapa anak yang masih berstatus lajang.

Ketika hendak mah bai ada dilakukan tepung tawar. Dengan bahan bebesi, batang

teguh, dedingi, ongkal. Ini hanya sebagai sarana untuk berdo‟a bukan berarti

tumbuhan itu yang mengabulkan do‟a. Akan tetapi dengan adanya batang ongkal,

yang tumbuh dikuburan, maknanya pasangan suami istri ini selalu bersama hingga

maut memisahkan. Begitulah simbolnyakira-kira.

Dalam proses lamaran sudah tuntas semua proses adatnya hingga dilaksanakan

mah bai. Setelah akad kemuadian dilakukan tenes. Jika dalam pernikahan angkap

bukan nenes namanya tetapi mahkero (bawa nasi). Jadi dengan perbedaan nama

ini orang dapat mengerti apa status pernikahan tersebut.

Tanya : selesainya sampai proses munenes?

Jawab : iya, jika pernikahan juelenm maka diakhiri dengan munenes. Jika

pernikahan angkap maka mah kero.

Tanya : apa saja perlengkapan saat berguru?

Jawab : itulah ampang tadi. Ada dia khusus disitu, dan selimutnya. Itu intinya

harus ada ampang(tikar) dan selimutnya(ulen-ulen). Waktu berguru sebenarnya

malam, karena di waktu malam semua masyarakat ada waktu luang, jika di siang

hari itu waktu masyarakat untuk bekerja, ke kebun untuk mencari nafkah.

Tanya : dalam berguru ada disediakan 3 nampan besar, itu isinya apa saja ya kek?

Jawab : rinciannya itu dikembangkan, jika di Betawi ada roti buaya, jika kita

waktu berguru ada disediakan pinang, beras, kunyit, telor, jarum, benang. Itu jika

di kampung ada reje, kepadanya terlebih dahulu diserahkan nampan berisi

Page 104: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

93

peralatan sirih dll. Diserahkan itu sebagai penghormatan kepada reje bahwa reje

inilah yang melaksanakan pernikahan ini. Selain reje ada imem, dengan imem

juga barang-barang tersebut. Itupun sebagai bentuk penyerahan yang

melambangkan bahwa imem juga memiliki hak dalam memimpin proses

pernikahan ini. Dalam beras terdapat amplop dan uang, sebagai penghormatan,

seluruh beras diserahkan untuk reje dan imem untuk dibawa pulang.

Tanya : maknanya apa itu kek?

Jawab : maknanya penghormatan, jika sekarang orang tua pergi kemasjid, orang

ceramah tidak boleh dia memulangkan uang yang telah diberikan, itu bentuk

penghormatan, harganya.

Tanya : ketika munginte kenapa harus menggunakan telangke?

Jawab : itu karena ketidak jelasan diterima atau tidaknya pinangan, jika

seandainya tidak diterima, keluarga peminang pasti akan malu. Jadi untuk

menghidari yang sedemikian itu di gunakan telangke. Intinya supaya ada

keleluasaan antar keluarga perempuan dengan telangke dari pihak keluarga laki-

laki yang melamar, dalam membicarakan peminangan ini.

Penulis dengan Narasumber Bapak Basiq Jalil

Page 105: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

94

Hasil Wawancara

Nama : Intan Permata Islami

NIM : 1113022000080

Narasumber : Drs. Jamhuri, M.A

Tempat/Tanggal Wawancara : Banda Aceh, 21 Mei 2017

Tanya : cerita dari makna-makna dari awal munginte sampai akhir pernikahan?

Jawab : dari munginte, eum mungkin itu, pertama kita ceritakan secara umum

pernikahan di Gayo mungkin sama dengan di daerah lain, yang dimulai dari kalau

bahasa Indonesianya kan meminang atau bahasa Gayonya kan munginte,

kemudian sesudah munginte terus dikenal dengan mujule mas, eh penampong

kuyu duu, kemudian sesudah itu baru mujule mas, kemudian setelah mujule mas

terus mujule… apa itu namanya? mujule beru, setelah mujule beru selanjutnya

mah bai, itu kire-kire apa? Oya prosesi pernikahan secara umum, jika sekiranya

kita ingin menelaah kembali tentang munginte ini! Sebenarnya munginte ini jika

dalam bahasa Gayonya dalam adat jaman jika orang mengetahui dalam sebuah

rumah, memiliki anak gadis atau tidak. Bisa tidak bahasa Gayo?

Tanya : bisa…

Jawab : ada atau tidaknya anak gadis di sebuah rumah, jika dalam adat gayo

sebenarnya ditandai dengan adanya tanaman bunga , artinya jika kita pergi ke

kampung orng, sesampainy di kampun tersebut, terlihat ada apa? Ada bungadi

halaman rumahnya tertanam bunga, bunganya terlihat cantik, kemudian itu

menandakan di dalam rumah tersebut ada… ada anak gadisnya!. Karena kenapa

melihat kepada hal tersebut jaman itu, karena jika dalam adat Gayo pada dasarnya

antara permpuan dan laki-laki tidak saling mengenal. Yang mencari pasangan

biasanya orang tua, orang tua yang mencarikannya.

Kemudian dalam perubahannya dalam perkembangan jaman, ada diantara laki-

laki dan perempuan saling mengenal dengan sendirinya. Jika jaman dulu ada yang

Page 106: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

95

memperkenalkan laki-laki dan perempuan antara satu kampung dengan kampung

yang lain, masih ingatkah kamu dala istilah Gayo ada istilah mujek, njek itu apa?

Sehabis potong padi, kemudian apa… munoleng dulu, munoleng apa?

Tanya : anu..memotong padi

Jawab : kemudian habis itu kan njek, dulu merontokkan padi kan dengan kaki.

Biasanya itu yang merontokkan kaki itu diundang dari kampung lain, umpamanya

di kampung mana? Umpamanya di kampung Blang Panas, kalau disitu

merontokan padi, umpamanya yang punya sawah ini di mana ada umpamanya

keluarganya, umpamanya, umpamanya ada di Kenawat, maka umpamanya orang

Blang Panas ini mengundang saudaranya yang di Blang eeeh yang di Kenawat

untuk merontokkan padi, sehingga disitu nanti kan umpamanya yang merontokan

padi itu kan anak lajang (bebujang) yang mujik-nya, kemudian biasanya gadis-

gadis di kampung Blang Panasnya mujes, mu jes ni tau kamu? Mujes ni artinya

daun padi di terbang-terbangkan agar padinya jatuh.

Pada saat itulah biasanya terjadi komunikasi antar laki-laki dan perempuan, itu

dulu apa? Itulah yang menjadi saran perkenalan antara laki-laki dan perempuan

pada saat itu. Setelah selesai mujek biasanya langsung pulang kerumah, setelah

selesai bekerja dari pagi hingga petang para lelaki pulang kekampungnya,

minsalnya dari Blang Panas pulang ke Kenawat, selanjutnya laki-laki bertanya

kepada bibinya si perempuan “bi”, “apa”, “yang fulin tadi siapa namanya, seperti

kena kehatiku” bla bla bla. Itulah sarananya pada jaman itu untuk berkenalan

antara laki-laki dan perempuan.

Kemudia setelah itu bibi yang tadi menanyakan kepada keluarga perempuan untuk

tujuan munginte, untuk menyakan apakah sudah ada orang leain selama ini yang

datang melamar atau belum. Atau ditanyakan dalam bahasa lain, minsalnya

dengan “ini buet ni bebujang seni nge mujadi buet ni tetue” ini pekerjaan anak

muda, tapi sekarang sudang menjadi pekerjaan para orang tua.

Kemudian ketika datang waktunya munginte baru diberikan jawaban oleh anak

gadisnya, bahwasanya selama ini belum ada yang pernah datang melamar,

dengan istilah “bunge ni gere ara ilen ngeh kalang memang, gere ara ilen” bunga

Page 107: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

96

ini belum pernah dihinggapi kupu-kupu, belum pernah. Lalu setelah menerima

jawaban tersebeut lalu di berikan penampong ni kuyu.

Tanya : penampong kuyuu?

Jawab : penampon ni kuyu ini adalah bahasa adat, minsalnya begitu datang

keluarga laki-laki untuk munginte ke keluarga perempuan, kata keluarga

perempuan “belom ada selama ini yang menandainya, masih belum ada” kata

keluarga perempuan, “ya sudah kalau begitu kami akan memberi penandanya

(penampong ni kuyu). Nanti ketika datang orang lain tiak boleh diterima inilah

tujuan penampong ni kuyu disini agar tidak datang pemuda lain dengan maksud

untuk melamar gadis yang sama. Seperti kata hadis nabi “tidak boleh membeli

atas pembelian orang lain” begitu juga dalam hal meminang diatas pinangan

orang lain. Itulah tujuan dari peampong ni kuyu ini.

Kemudian ada nome nipi jege maksudnya adalh untuk menyelidiki akhlak

masing-mang, karena keduanya belum pernah saling mengenal sebelumnya,

selanjutnya setelah menyelidiki akhlak masing-masing. Jika lamaran diterima

lamaran ini maka penampong ni kuyu ini tidak kembalikan lagi. Selanjutnya

barulah menentukan kapan waktu dilaksanakannya mujule mas, memusyarahkan

berapa mahar dan teniron (permintaan) oleh keluarga perempuan, biasanya mahar

berbentuk emas, sedangkan teniron berbentuk lemari, mesin jahit, kebun. Itu

merupakan hal yang mewah pada masa itu.

Ketika sudah ditentukan waktu mujule mas, jika dalam agama emas diserahkan

ketika akad nikah, tapi di Gayo emas diantarkan sebelum akad nikah

dilaksanakan. Orang yang mengatarkan emas ini disebut dengan rempele.

Disinilah ada nilai adatnya. Mahar hukumnya wajib dalam agama, sedangkan

teniton adalah adat dalam masyarakat Gayo dan dulu bisa dikatakan wajib, tidak

ada pernikahan di Gayo yang hanya memberikan emas saja tanpa permintaan yang

lain dalam pernikahannya, umumnya teniron ini nilai rupiahnya lebih banyak, jika

emas tidak banyak.

Ketika mujule emas biasanya yang pergi mengatarkan sudah beramai-ramai

dengan aparat kampung atau sarak opat, seperti reje, imem juga ikut

mengantarkannya. Sebenarnya dalam masyarakat Gayo mengatarkan emas

Page 108: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

97

bukanlah lagi pekerjaan dari keluarga yang bersangkutan, tapi sudah

dipercayakan kepada masyarakat. Pernikahan dalam adat Gayo bukan lagi

pernikahan antara 2 keluarga, akan tetapi pernikahan antara satu desa dengan desa

lainnya. Setelah mujule mas tinggal menunggu waktu kapan akad nikah

(munyawah okom) dilaksanakan.

Tanya : kalau mujule beru?

Jawab : setelah mujule mas ditentukan kapan waktu munyawah ukum akan

dilaksanakan, sebelumnya ada rapat besinte (rapat keluarga, setelah rapat

keluarga ada rapat masyarakat atau rapat kampung. Dalam rapat kampung ini

kedua orang tua calon pengantin menyerahkan acara nikahan ini kepada

masyarakat kampung masing-masing, seperti berutem (mencari kayu bakar),

bejantar (mencari sayur mayur), semuanya diserahkan kepada masyarakat

kampung, baru setelahnya ditentukan kapan waktu pelaksanaan munyawah ukum.

Sebelum munyawah ukum, malamnya ada acara beguru, beguru dilakukan

sebelum mujule bei, dalam beguru biasanya dari pihak perempuan biasanya

besebuku (menangis dengan menyampaikan segala perasaan, dapat berupa amat

dari orang tua, permohonan maaf) dengan rangkaian acara amanat dari petua

kampung, salaman keliling kepada masyarakat kampung yang berhadir. Dan

ketika bersalaman dengan ibunya maka akan menangis bersebuku, berterima kasih

kepada orang tua yang telah melahirkan, mebiayai, dan munculnya penyesalan,

meminta maaf, sehingga muncullah sebuku.

Setelah itu ke esokkan harinya mah bei, artinya keluarga laki-laki datang kepada

keluarga permpuan untuk munyawah ukum. Setelah akad nikah (munyah ukum),

biasanya pengantin laki-laki tidur menginap di rumah pengantin perempuan untuk

satu malam. Dia tidak ikut pulang bersama keluarganya, karena ke esokan harinya

dilaksanakan mujule beru ke rumah pengantin laik-laki. Inilah dalam bahasa

Gayonya munenes. Karena dalam pernikahan juelen ditandai dengan adanya

kegiatan munenes. Disana ibu dari pengantin perempuan memberikan

perlengkapan dapur seperti: piring, gelas, sendok, dll, di berikannya kepada

pengantin perempuan. Munyawah ukum (akad) adalah proses agama, dalam

proses mengantar manten ke sana sini adalah proses adat.

Page 109: NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38177/1/INTAN... · dengan tokoh masyarakat yang mengetahui tata ... menjalin ukhuwah ini

98

Tanya : melengkan terjadi dua kali ya pak?

Jawab : ketika laki-laki diserahkan kepada kepala kampung perempuan diawali

dengan melengkan, sebaliknya kalau munenes jadi disana juga terdapat

melengkan.