nihl2
DESCRIPTION
szcdfgvfvTRANSCRIPT
Noise Induced Hearing Loss (NIHL)
Aini Izzati binti Abd GaffarFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi Alamat Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Kurang pendengaran akibat bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah
kurang pendengaran akibat kerusakan organ sensorineural telinga yang menetap oleh pengaruh
bising dalam waktu lama atau kronik.1 Telah lama diketahui bahwa bising dapat mengakibatkan
kurang pendengaran. Bising dengan intensitas diatas 85 dB dan berlangsung lama akan
mengakibatkan kerusakan organ Corti yang menetap dan irreversibel. Kerusakan inilah yang
menjadi dasar terjadinya NIHL. NIHL sudah sering dipublikasikan baik di luar maupun di dalam
negeri, namun angka kejadian secara pasti di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Di
lingkungan industri, NIHL menduduki peringkat pertama dalam golongan penyakit akibat kerja.
Sebagiannya karena kebisingan adalah salah satu pekerjaan yang paling umum ditemukan di
berbagai industri.
Dalam hubungan dengan industri, maka faktor yang paling berbahaya bagi keutuhan faal
pendengaran ialah suara bising (noise). Bising industri sudah lama merupakan masalah yang
sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius
bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang
sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak industri, bising dapat menyebabkan kerugian ekonomi
karena biaya ganti rugi. Oleh karena itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan terhadap
pabrik dan pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala.2 Banyak hal yang
mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang
lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang
dapat menimbulkan ketulian.2
1
PEMBAHASAN
7 LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian PAK merupakan penyakit yang artifisial atau
man made disease. Untuk mendiagnosa PAK dengan benar, digunakan 7 langkah diagnosis
okupasi.
1. Diagnosis Klinis
Untuk menentukan diagnosis klinis diperlukan:
a. Anamnesis :
Identitas pasien yang lengkap : nama, alamat, tempat tinggal, jenis kelamin, ras, agama,
pekerjaan, status dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu dan sekarang :
− Keluhan utama pasien datang berobat
− Apakah ada keluar cairan/nanah dari telinga?
− Apakah pernah menderita penyakit telinga sebelumnya?
− Apakah pernah mengalami riwayat trauma akustik sebelumnya?
− Gangguan pendengaran yang dialami sekarang datangnya mendadak atau perlahan-lahan?
− Derajat bunyi atau suara yang tidak dapat didengar?
− Apakah ada kebiasaan mengorek telinga?
− Apakah mempunyai riwayat menggunakan bahan-bahan/ obat-obat toksik seperti streptomisin?
− Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? seperti menembak, musik keras dan
lain-lain?
− Apakah turut mengalami gangguan keseimbangan?
− Apakah mempunyai keluhan demam, masalah gangguan pencernaan, gangguan tidur, hipertensi
atau gejala-gejala lain.
− Apakah mempunyai riwayat neuroma akustik?
− Apakah ada menderita keluhan seperti ini dahulu?
− Apakah ada menderita DM, hipertensi, sakit jantung?
− Apakah ada alergi?
2
Riwayat penyakit pendengaran dalam keluarga
− Apakah ada ahli keluarga menderita seperti ini?
Riwayat pengobatan
− Apakah sudah pernah berobat sebelum ini?
Riwayat sosial
− Apakah ada aktivitas di luar lingkungan kerja?
− Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? seperti, menembak, mendengar
musik keras dan lain-lain
− Apakah ada hobi yang tertentu?
− Apakah sering berolahraga?
− Apakah sering makan tepat waktu dan cukup gizinya?
Riwayat pekerjaan
− Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising?(untuk NIHL, riwayat pernah bekerja
atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih
dari 5 tahun)
− Apakah pernah mengalami ledakan keras dekat telinga ?
− Apakah menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja ? sekiranya menggunakan, apakah
jenisnya, dan apakah sering patuh menggunakannya?
− Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran ?
− Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja.
− Apa yang dikerjakan setiap hari? bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja
dan lain-lain
− Apakah ada teman sekerja yang menderita keluhan sama?.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda-tanda Vital : Tekanan darah, nadi (bagi klinis non-auditorik: dapat terjadi hipertensi),
kadar pernafasan, suhu(tergantung kondisi pasien)
Status gizi (berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, kurus, normal,gemuk
Pemeriksaan fisik umum
3
Inspeksi: penampilan fizikal dan perilaku pasien
Palpasi: perabaan arteri riadialis (denyut nadi)
Auskultasi: bunyi jantung dan bising usus
Pemeriksaan antropometri: berat badan, tinggi badan
Pemeriksaan terlokalisir:
Urutan pemeriksaan telinga dimulai dari daun telinga, liang telinga luar, dan tes pendengaran
dengan garpu tala.
a. Daun Telinga
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga serta daerah belakang daun telinga(retro-
artikuler). Apakah terdapat kelainan seperti :
Kelainan kongenital (mikrotia dan fistula)
Kelainan infeksi(kista dan radang tulang rawan daun telinga)
Kelainan lain(hematom,pseudokista)
b. Liang Telinga Luar
Untuk memeriksa liang telinga luar, pertama-tama pemeriksa harus membuka jalan saluran
telinga yang membentuk huruf ‘S’ hingga lurus sehingga dapat dilihat isi liang telinga luar.
Untuk itu pemeriksa harus menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, dan dipertahankan
posisi tersebut. Kemudian isi liang telinga luar pasien dinilai, antara lain:
i. Dinding liang telinga
Apakah liang telinga luar pasien lapang.
Apakah terdapat massa, seperti serumen dan benda asing.
Perhatikan dinding liang telinga luar, apakah terdapat luka, peradangan, furunkel
ii. Membran timpani
Untuk memeriksa membrane timpani lebih baik gunakan otoskop agar gambaran membrane
timpani lebih jelas.
Perhatikan warna dari membrane timpani. Normal: berwrna seperti ‘mutiara’.
Perhatikan adanya warna lain selain warna yang normal. Merah terdapat peradangan, kuning
terdapat infeksi jamur, dan lainnya.
Apakah membran timpani intak dan apakah ada cairan yang keluar dari liang telinga tengah
melalui membran timpani.
4
c. Tes Berbisik2
- Merupakan tes semikuantitatif
- Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar
- Orang normal dapat mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter
- Cara pemeriksaam:
a. Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter
b. Berbisik pada akhir ekspirasi
c. Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu meter sampai dapat
mengulangi tiap kata dengan benar
d. Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat pemeriksa
(pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa)
- Interpretasi :
i. Normal : 5/6 sampai 6/6` ii. Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
iii. Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meteriv. Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter
d. Uji Pendengaran2
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala. Hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis
ketulian pasien, apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural. Salah satu uji pendengaran yang
dapat dilakukan adalah tes penala, antara lain:
Test Rinne
Test Weber
Test Schwabach
Test Rinne
Test Rinne adalah test untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui
tulang pada telinga pasien.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
5
3. Ujung tangkai garputala ditempelkan pada tulang mastoid pasien. Pasien akan mendengar suara
garputala dan minta pasien untuk memberi tanda bila sudah tidak mendengar suara dari tulang
mastoid . Durasi saat pasien mulai mendengar sampai memberi tanda dicatat.
4. Setelah pasien memberi tanda, pemeriksa bergegas memindahkan tangkai garputala 1,5 inci
menyamping dari meatus akustikus eksternus. Mintalah pasien memberi tanda lagi bila tidak
mendengarnya dari udara. Hitung durasinya.
5. Lakukan pemeriksaan ini di kedua telinga pasien.
Hasil:
- Normal: Konduksi udara > konduksi tulang
- Tuli konduksi: Konduksi udara tak terdengar
- Tuli saraf: konduksi udara terdengar( tuli perspektif)
Test Weber
Test Weber adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan pasien.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
3. Letakkan ujung tangkai garputala pada dahi pasien.
4. Pasien dimina untuk membandingkan kuatnya bunyi garputala yang terdengar dikedua telinga
pasien.
Hasil :
- Normal: Mendengar sama kuat
- Tuli konduksi: Terdengar> di telinga sakit
- Tuli saraf: Terdengar > di telinga normal
Test Schwabach
Test Schwabach adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
6
3. Ujung tangkai garputala diletakkan pada prosessus masoid pasien. Pasien akan mendengar suara
garputala dan minta pasien untuk member tanda bila sudah tidak mendengar saura dari tulang
mastoid.
4. Pemeriksa bergegas untuk memindahkan ujung tangkai garputala dari prosessus mastoid pasien
ke prosessus mastoid pemeriksa. Dengarkan apakah suara dari garputala masih terdengar atau
sudah menghilang.
5. Hal ini dilakukan pada kedua prosessus mastoid pasien dan pemeriksa (presessus mastoid kanan
pasien diuji dengan prosesus mastoid kanan pemeriksa). Hal ini dilakukan sebaliknya, dengan
menempelkan dahulu ujung tangkai garputala ke prosesus mastoid pemeriksa dan bila sudah
tidak didengar pemeriksa maka langsung ditempelkan ke prosesus mastoid pasien.
Hasil:
- Normal: Suara dari garputala sesuai dengan pemeriksa.
- Memanjang: Pasien masih mendengar suara saat pemeriksa sudah tidak mendengar suara lagi
pada garputala.
- Memendek: Pemeriksa masih mendengar sauara saat pasien sudah tidak mendengar suara lagi
dari garputala
Tabel 1: Kesimpulan hasil pemeriksaan garputala2
Test Rinne Test Weber Tes Schwabach Diagnosis
Positif Tidak ada
lateralisasi
Sama dengan
pemeriksa
Normal
Negatif Lateralisasi ke
telinga sakit
Memanjang Tuli konduktif
Positif Lateralisasi ke
telinga sehat
Memendek Tuli sensorineural
7
c. Pemeriksaan Penunjang
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman
pendengaran seseorang dapat dinilai. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah
yang ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu
bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut
intensitas deciBell (dB).3 Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometri yaitu alat
audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan keterampilan
pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometer; Orang yang diperiksa kooperatif,
tidak sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, sebaiknya bebas pajanan
bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa haruslah mengerti
cara penggunaannya, sabar dan terlatih. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan
suara maksimal 40 dB SPL. Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada tingkat
kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya makin rendah frekuensi yang diuji, makin
lebih mungkin dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan di ruang kedap suara.
Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri
yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum berpengalaman.
Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki
cukup pengetahuan yang memadai.3
Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus dapat memberikan
instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan mengangkat
tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan
menekan tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat dan
nyaman. Pasien duduk di kursi, menghadap 30o dari pemeriksa sehingga tidak dapat melihat
pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti
gambaran audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam
audiogram,memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction untuk menentukan jenis
ketulian, serta mengerti prosedur rujukan dan peran teknisi audiometrik. Pemeriksaan audiometri
sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran, dan merupakan
penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran.
8
Pada NIHL, pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi 3000-6000 Hz dan pada frekuennsi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang
patognomonik untuk jenis ketulian tersebut.1,3 Pemeriksaan audiometri harus dilakukan dengan
persiapan yang baik, bising latar belakang harus diperhatikan, pekerja yang akan diperiksa harus
terhindar dari pajanan bising sebelum pemeriksaan dilakukan. Sedangkan pemeriksaan audiologi
khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index), ABLB ( Alternate Binaural Loudness
Balance ) dan Speech Audiometry menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang
khas untuk tuli saraf koklea.
d. Pemeriksaan Tempat Kerja (Lapangan)
Pada pemeriksaan lapangan, antara alat yang digunakan adalah Sound Level Meters
(SLM). SLM adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri
atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuka attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi,
skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM.
Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat
kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan
intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas
yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap
berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan
respon manusia.
Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz.
SLM dibuat berdasarkan standar ANSI ( American National Standard Institute ), tahun 1977 dan
dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekuensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara
kasar frekuensi bising tersebut. Jaringan frekuensi A mendekati frekuensi karakteristik respon
telinga untuk suara rendah yang kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekuensi B dimaksudkan
mendekati reaksi telinga untuk batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan jaringan frekuensi C
berhubungan dengan reaksi telinga untuk batas diatas 85 dB.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dari ketulian yang disebabkan oleh bising dan hubungannya
dengan pekerja, maka seorang dokter harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut :
1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.
9
2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja.
3. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran.
4. Meneliti bising di tempat kerja, untuk menentukan intensitas dan durasi bising yang
menyebabkan ketulian.
5. Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerja dan berkala selama kerja. Pentingnya mengetahui
tingkat pendengaran awal para pekerja dengan melakukan pemeriksaan audiometri sebelum
bekerja adalah bila audiogram menunjukkan ketulian, maka dapat diperkirakan berkurangnya
pendengaran tersebut akibat kebisingan di tempat kerja.
6. Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial seperti riwayat
penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya.
2. Pajanan yang dialami : Bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Dari definisi
ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari masing-masing
individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi.3,4
Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness / noise induced hearing loss)
adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen,
mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus di lingkungan
tempat kerja.2 Gangguan pendengaran akibat bising ( Noise Induced Hearing Loss / NIHL )
adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama
dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.1,2 Tuli akibat bising merupakan jenis
ketulian sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis.3,4
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang intensitasnya 85
desibel ( dB ) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga
dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. 1,5
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain
intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan
individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian.1,2
10
Intensitas kebisingan:
Intensitas bising( dB ) Waktu pajanan / hari (jam)
85 8
88 4
91 2
94 1
97 0.5
100 0.25
103 0.125
Frekuensi kebisingan:
Gambar 1. Hasil tes audiometri pada pasien NIHL4
Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara
3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik
untuk jenis ketulian ini.4 Takik 4000 Hz yang khas ini diduga terjadi karena frekuensi resonansi
dari liang telinga, refleks akustik yang melindungi telinga pada frekuensi yang lebih rendah, dan
sel rambut luar pada bagian basal koklea lebih rentan. Frekuensi yang lebih rendah dan tinggi
biasanya terkena setelah pajanan bising selama beberapa tahun, dan penurunan yang signifikan
dari kemampuan mengenali kata akan timbul bila frekuensi <3000 Hz sudah terkena.3
11
Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan,
Organisasi Pekerja Internasional atau International Labour Organization (ILO) telah
mengeluarkan ketentuan jam kerja yang diperkenankan, yang dikaitkan dengan tingkat intensitas
kebisingan lingkungan kerja. Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan
adalah 85dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di
tempat kerja.
Dalam industri, peningkatan proses kerja mengakibatkan meningkatnya tingkat
kebisingan.5 Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan bising dengan intensitas tinggi umumnya
terdapat di pabrik perakitan mobil, tekstil (weaving,spinning), dan lain-lain yang mempunyai
mesin dengan tingkat kebisingan yang tinggi seperti mesin turbin, generator, dan sebagainya.
Sumber kebisingan dapat dibagi dalam tiga jenis sumber, yaitu mesin, peralatan kerja dan aliran
udara.
Sumber kebisingan yang berasal dari mesin dapat diakibatkan oleh suara mesin dan
getaran mesin yang disebabkan dudukan atau bantalan mesin yang kurang sempurna oleh karena
itu perlu adanya pengendalian kebisingan. Kebisingan juga timbul akibat penggunaan peralatan
kerja untuk proses kerja. Suara timbul akibat tumbukan atau benturan peralatan kerja yang pada
umumnya terbuat daripada benda keras atau logam. Aliran udara atau gas mengakibatkan
gesekan dan tekanan yang mengakibatkan timbulnya suara/kebisingan. Kebisingan disebabkan
aliran udara atau gas dapat dikategorikan berdasarkan sumber-sumbernya.
3. Hubungan Pajanan-Penyakit
Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada frekuensi bunyi, intensitas dan
lama waktu paparan, dapat berupa:
1. Adaptasi
Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan
tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak
begitu keras seperti pada awal pemaparan.
12
2. Peningkatan ambang dengar sementara
Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan-lahan akan kembali
seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai
beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula
terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai
ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi
intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya.
Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing
individu.
3. Peningkatan ambang dengar menetap
Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada
frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat
disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20
tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi
pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan
baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiometri.
Bising juga menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis,
gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.4,5
1. Gangguan fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang
datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg),
peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat
marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik
berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain.
3. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran
yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan
13
cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan ter-ganggunya pekerjaan, sampai pada
kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan
komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan tenaga kerja.
4. Gangguan keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang,
yang dapat me-nimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian.
Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila
menghindar dari sumber bising; namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar
akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.
4. Apakah pajanan cukup besar?
Patofisiologi
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah
yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang
meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada selsel rambut luar
menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel
rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel
rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel
rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran
pada batang otak.2,4 NIHL terjadi akibat kerusakan pada epitel sensori di koklea. Epitel sensori di
koklea tersusun atas satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar dalam organ Corti.
Pada peningkatan ambang dengar sementara, beberapa perubahan yang potensial reversibel dapat
terjadi, yakni:
Penurunan kekakuan stereosilia sebagai akibat kontraksi struktur ‘rootlet’ stereosilia sel
rambut
Perubahan intraseluler dalam sel rambut, termasuk kelelahan metabolik dan perubahan
mikrovaskular
14
Edema ujung saraf auditori
Degenerasi sinaps-sinaps dalam nukleus koklearis.4,5
Pada peningkatan ambang dengar menetap, perubahan menjadi ireversibel, termasuk patahnya
struktur ‘rootlet’ silia, disrupsi duktus koklearis dan organ Corti yang menyebabkan
bercampurnya cairan endolimf dan perilimf, destruksi sel-sel rambut (yang digantikan oleh
jaringan parut), serta degenerasi serat saraf koklea.
Epidemiologi
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai
negara. Sedikitnya 7 juta orang (35 % dari total populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan
bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam
daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja
terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja
yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli
saraf, dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan
6000 Hz.
Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan
bising , dengan perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat
bising. Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih
dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun. Di Indonesia penelitian tentang gangguan
pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh
Hendarmin dalam tahun yang sama pada industri yang menggunakan teknologi mesin di Jakarta
mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai
peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-
menerus selama 5-10 tahun.
Kuantitatif
Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85dB untuk
waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no
15
SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja. Daripada
hasil anamnesis, sistem kerja yang dipakai di perusahaan tempat pasien bekerja adalah dengan
waktu jam kerja 8 jam sehari atau 40 jam seminggu dengan pasien sudah bekerja selama 5 tahun
di tempat perusahaan tersebut dengan intensitas bising 100dB. Ini berarti intensitas bising
terpajan pada pasien selama bekerja melebihi NAB yang diperkenankan.
Kualitatif
Kerja di bagian pabrik perakitan mobil adalah suatu kerja yang menggunakan mesin.
Biasanya setiap mesin bermotor yang digunakan menghasilkan bunyi yang dapat merusak sistem
pendengaran terutama apabila melebihi nilai ambang batas bagi setiap nilai intensitas bunyi
yang dikeluarkan.1,2 Ini bererti lingkungan kerja di bagian adalah suatu lingkungan kerja yang
terdedah kepada kebisingan yang dapat mempengaruhi sistem pendengaran setiap tenaga kerja
sekitarnya yang juga diperkuat oleh faktor-faktor tertentu yang berperan.
Pengamatan
Melalui observasi yang dilakukan, dapat diketahui tempat dan lingkungan pekerjaan pasien yang
mempunyai pajanan tersebut.
Jumlah pajanan
Untuk mendapatkan jumlah pajanan, harus didapatkan data lingkungan, data monitoring biologis
dan hasil suveillans yang dilakukan di tempat kerja pasien.
Pemakaian alat pelindung diri
Alat pelindung telinga adalah satu inisiatif atau kebijakan yang digunakan pada lingkungan kerja
yang terpajan dengan kebisingan dan intensitas bunyi yang melebihi nilai ambang batas. Alat
pelindung telingan dapat bermacam-macam yang disesuaikan mengikut indikasi tertentu.
Daripada anamnesis, pasien menyatakan alat pelindung telinga (APT),telah disediakan oleh
perusahaan namun pasien tidak mematuhi sepenuhnya aturan tersebut karena seringkali lupa
memakai APT tersebut. Ini bermakna APT yang digunakannya sepanjang tempoh kerjanya tidak
berfungsi melindungi telinganya dari pajanan bising yang dapat merosak sistem pendengarannya.
16
5. Faktor Individu
Untuk menegakkan diagnosis okupasi, status kesehatan pasien seperti kesehatan jasmani
dan mental harus diperhatikan. Antara hal yang diperhatikan, adalah sekiranya pasien
mempunyai alergi, cara hidup pasien seperti kebiasaan olahraga, hygiene peribadinya, riwayat
kesehatan keluarganya sendiri, apakah ada yang menderita masalah pendengaran sepertinya.
Karakter dan keperibadian pasien juga harus diperhatikan. Sebagai contoh, masalah NIHL dapat
diperberat sekiranya pasien mempunyai riwayat kesehatan lain seperti neuroma akustik.
Neuroma akustik adalah suatu tumor yang dapat menyebabkan tekanan pada telinga sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran, dering di telinga dan ketidakseimbangan.1,4 Juga dikenal
sebagai schwannoma vestibular, neuroma akustik merupakan penyebab umum gangguan
pendengaran. Neuroma akustik biasanya tumbuh lambat atau tidak sama sekali, tetapi dalam
beberapa kasus mungkin tumbuh pesat dan menjadi cukup besar untuk menekan otak dan
mengganggu fungsi vital.
6. Faktor Lain di Luar Pekerjaan
Penyebab-penyebab lain di luar pekerjaan juga harus diidentifikasi untuk menyingkirkan
penyebab ketulian non industrial seperti riwayat kebiasaan merokok, dan apakah mempunyai
hobi yang tertentu setelah jam kerja. Selain itu, apakah mempunyai pekerjaan lain selain
pekerjaan yang diberitahu dan aktivitas yang dilakukannya setelah pulang dari kerja.
7. Diagnosis Okupasi : NIHL – Penyakit akibat kerja (PAK)
Pembagian Tuli akibat bising
Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan kepada :
a. Temporary Threshold Shift=Noise-induced Temporary Threshold Shift (TTS)
Temporary Threshold Shift (TTS) ini bersifat sementara dan bisa kembali normal
(reversible), walaupun waktu pemulihannya bervariasi. Penderita TTS ini bila diberi cukup
istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB
dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan
tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka
ketulian sementara akan bertambah setiap hari-kemudian menjadi ketulian menetap. Untuk
17
mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja
terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam.
b. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap
Permanent Threshold Shift (PTS) ini bersifat menetap, dan terjadi karena paparan yang lama
dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya
dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut :
Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi
pada setiap akhir waktu kerja.
Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif lainnya
menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak
mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain.
Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini
nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun
diberi istirahat yang cukup.4
Gejala Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan
dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi
menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral.
Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu
ketajaman pendengaran dan konsentrasi.2,4
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss)
adalah bersifat sensorineural dan hampir selalu bilateral. Apabila paparan bising dihentikan,
tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan. Kerusakan telinga dalam mula-mula
terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada
frekuensi 4000 Hz. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekuensi 3000, 4000 dan
6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.Selain pengaruh terhadap
pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti
18
pengaruh terhadap komunikasi bicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu
stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.1,2,4
Differential Diagnosis
Antara penyakit yang bisa dibandingkan dengan NIHL adalah penyakit gangguan-
gangguan pendengaran sensorineural lainnya. Presbikusis contohnya, umumnya terjadi pada
orang tua mulai usia 65 tahun, simetris kiri dan kanan dengan hasil audiometri nada murni
menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Pada gangguan pendengaran
herediter, dapat diketahui sekiranya pasien menderita tuli sejak kecil. Pada pasien dengan
gangguan metabolik, contohnya dengan pasien Diabetes Mellitus (DM) saraf koklea bisa
terganggu dan mengakibatkan tuli sensorineural.
Penatalaksanaan
Oleh kerana tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap,bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa,dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar (ABD).5,6 Apabila pendengaran
telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan
adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran agar
dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca
ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan,serta bahasa isyarat untuk dapat
berkomunikasi.4,6 Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,
rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama
percakapan. ABD adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras
(amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga;sehingga si pemakai dapat mendengar lebih
jelas suara yang ada di sekitarnya.
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk
pemasangan implan koklea.4,6 Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai
kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan
berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Indikasi pemasangan implan
koklea adalah keadaan tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral yang tidak/sedikit
mendapat manfaat dengan alat bantu konvensional.
19
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising,seperti sumbat telinga (ear plug),tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala
(helmet).
Pencegahan7
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya NIHL yang
disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu :
1. Pengukuran pendengaran
Tes pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :
Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.
Pengukuran pendengaran secara periodik.
2. Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai ear muff ( tutup telinga), ear
plugs ( sumbat telinga ) dan helmet ( pelindung kepala ).
Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara :
memasang peredam suara
menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang terpisah dari pekerja
3. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi bising, lama dan
distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam pengukuran
kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM) .
Menurut NIOSH pada tahun 1996, program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal
berikut :
1. Monitoring paparan bising
2. Kontrol engineering dan administrasi
3. Evaluasi audiometer
20
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
5. Pendidikan dan Motivasi
6. Evaluasi Program
7. Audit Program
Manfaat utama program ini adalah mencegah kehilangan pendengaran akibat kerja; kehilangan
pendengaran akan mengurangi kualitas hidup seseorang dalam pekerjaannya. Hubungan antara
tenaga kerja dengan pengusaha akan lebih baik, angka turn-over karena lingkungan kerja akan
rendah.
Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap,
dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang
baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.4
Kesimpulan
1. Bising dengan frekuensi dan intensitas tertentu dapat menyebabkan ketulian yang berupa tuli
saraf dan sifatnya permanen.
2. Pemeriksaan fisik dan pengujian audiometrik mutlak dibutuhkan untuk setiap pekerja yang
dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama bising industri.
3. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang
terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulistomo A. Penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
(Bab 6). Dalam: Aditama TY, Hastuti T, editors. Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Jakarta: UI-Press; 2002. p. 64-71.
2. Soetirto I, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran akibat bising. Disampaikan pada
Simposium Penyakit THT Akibat Hubungan Kerja & Cacat Akibat Kecelakaan Kerja,
Jakarta, 2 Juni, 2001.
3. Stach BA. Clinical audiology an introduction. San Diego : Singular Publishing Group
Inc, 1998. h.137-41.
4. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Bab 2). Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2007. p. 49-52
5. Melnick W. Industrial hearing conservation. In : Katz J, Ed. Handbook of clinical
audiology. 4th ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51.
6. Agrawal SK, Schindler DN, Jackler RK, Robinson S. Occupational hearing loss (Chap.
58). In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 732-43.
7. Suma’mur. Aneka pendekatan keselamatan lain (Bab 19). In: Suma’mur. Keselamatan
Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung; 1999. p. 296-301.
22