naskah publikasi hubungan antara locus...
TRANSCRIPT
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL
DENGAN COPING PADA REMAJA
Oleh :
Joko Widodo
Sukarti
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL
DENGAN COPING PADA REMAJA
Telah disetujui pada tanggal
Dosen Pembimbing
(Dr. Sukarti)
3
HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN COPING PADA REMAJA
Joko Widodo Sukarti
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara Locus Of Control dengan Coping pada remaja. Hipotesis yang diajukan adalah Ada hubungan antara locus of control dengan coping pada remaja, dimana subjek dengan orientasi locus of control internal menggunakan problem focus coping sedangkan subjek dengan orientasi locus of control eksternal menggunakan emotion focus coping. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SMA Negeri 1 Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Skala yang digunakan adalah hasil modifikas Skala Locus Of Control dari Cahyadi (2006) yang didasarkan pada teori yang yang diungkap oleh Levenson (Robinson & Shaver, 1974) dan Skala Coping dari Elyza (1996) yang mengacu pada Ways Of Coping Shcale dari Folkman dan Lazarus (Aldwin & Revenson, 1987). Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini yakni Korelasi Phi (Ø) selanjutnya untuk menentukan apakah hubungan tersebut signikan digunakan uji X2 untuk tabel kontingensi 2x2., uji validitas dan reliabilitas dengan SPSS for windows 11.0. Besarnya koefisien Phi (Ø) adalah 0,707 dengan taraf signifikasi P<0,01, sedangkan besarnya nilai Chi-Square dengan continuity correction untuk tabel 2x2 sebesar 17,721 dengan tingkat signifikasi P<0,01. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara locus of control dengan perilaku coping, jadi hipotesis penelitian ini diterima. Kata Kunci : Locus Of Control, Coping.
4
Pengantar
Setiap masalah yang muncul akan selalu memerlukan penyelesaian, baik
penyelesaian dengan segera maupun tidak. Penyelesaian masalah merupakan
sesuatu yang harus dilakukan apabila individu dihadapkan pada suatu masalah.
Individu akan menghadapi masalah yang lebih besar apabila individu tersebut
mencoba menghindari masalah dan tidak berusaha menyelesaikannya dengan
baik. Akibat selanjutnya adalah individu akan mengalami konflik dan rasa
frustrasi yang berkepanjangan (Arwindi, 2004).
Penyelesaian masalah tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah,
adakalanya penyelesaian masalah mengalami hambatan, Hambatan dalam
melakukan penyelesaian masalah menyebabkan tujuan yang diinginkan tidak
tercapai (Arwindi, 2004).
Seorang individu termasuk juga remaja terkadang mengalami kesulitan
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Masa remaja yang merupakan masa
transisi yaitu masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Remaja dalam masa
peralihan ini, sama halnya seperti pada masa anak-anak, mengalami perubahan
fisik, kepribadian, kognitif dan peranan didalam maupun diluar lingkungan
(Hurlock, 1993). Perbedaan proses perkembangan yang jelas pada masa remaja ini
adalah perkembangan psikoseksualitas dan emosionalitas yang mempengaruhi
tingkah laku remaja. Dalam perkembangan kepribadian seseorang masa remaja
mempunyai arti khusus karena merupakan masa perkembangan yang sulit
sehingga sering dikatakan sebagai masa badai dan tekanan yaitu suatu periode
5
yang berada dalam situasi antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan
pemberontakan terhadap otoritas orang tua (Yusuf, 2000).
Adanya stres perkembangan yang menyangkut perubahan fisik, psikologis
dan hubungan interpersonal biasanya akan membawa remaja kepada setumpuk
permasalahan. Remaja selayaknya sebagai individu yang mempersiapkan dirinya
memasuki masa dewasa dituntut untuk dapat belajar sedini mungkin
menyelesaikan permasalahannya.
Masalah remaja sering kali ditimbulkan oleh konflik-konflik dalam diri
remaja dan tergantung sekali pada keadaan masyarakat di mana remaja yang
bersangkutan bertempat tinggal. Remaja yang tinggal dalam keadaan masyarakat
transisi dengan perubahan yang cepat dan menuntut menuntut persyaratan yang
berat untuk menjadi dewasa akan menjalani masa remaja ini dalam kurun waktu
yang panjang (Sarwono, 1994).
Konflik-konflik dalam diri remaja dapat menimbulkan situasi yang
menekan bagi remaja, yang akhirnya menimbulkan stress. Perilaku bermasalah
pada remaja sering kali timbul karena bentuk perilaku yang tidak sesuai dalam
mengatasi stres. Solomon, dkk (1988) mengungkapkan bahwa coping merupakan
hal yang penting untuk dibicarakan dalam masalah stress, konsep coping
digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stres dengan perilaku individu
dalam menghadapi stres. Shin, dkk (1984) mengatakan bahwa coping adalah
usaha untuk mengurangi stres dan tekanan perasan. Apabila penyesuaian fisik dan
psikologis terhadap masalah atau stres pada individu berjalan relatif lancar, sesuai,
baik dan efektif maka perilakunya akan sehat, namun jika tidak individu akan
6
dipaksa berusaha lebih keras untuk mempertahankan keutuhannya, bila masalah
atau stres menjadi terlalu besar dan cara penyelesaian yang biasa dipakai tidak
berhasil, maka penyesuaian ini dapat menjadi berlebihan dan tidak cocok lagi,
sehingga perilaku individu tersebut menjadi bermasalah.
Smet (1994) mengatakan bahwa tidak ada strategi coping yang paling
berhasil untuk mengatasi semua masalah. Baik PFC maupun EFC digunakan
untuk menghadapi situasi yang mengandung tekanan atau ancaman. Individu
mempunyai sifat relatif dalam menentukan coping yang mana yang sesuai dengan
dirinya berdasarkan pertimbangan tertentu.
Strategi coping yang efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis
situasi yang sedang dihadapi oleh individu (Smet, 1994). Idealnya, saat
menghadapi masalah individu menyelesaikannya dengan mencari pokok masalah
dan menyelesaikannya (PFC) karena dengan terselesaikannya masalah maka
beban yang harus ditanggungnya dapat berkurang, namun seringkali masih
dijumpai individu yang menggunakan strategi yang berorientasi EFC. Tidak
dipungkiri bahwa penggunaan EFC lebih mudah bila dibandingakan dengan PFC,
namun dengan menggunakan EFC konsekuensi yang timbul adalah individu harus
terus berhadapan dengan masalah yang sama sampai masalah tersebut
terselesaikan (Smet, 1994).
Masalah yang dihadapi remaja dalam kehidupan sehari-hari merupakan
masalah yang masih dapat dirubah sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan
untuk mengatasi masalah dengan PFC, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih
sering kita jumpai remaja yang berorientasi pada EFC dalam menghadapi
7
masalah, contoh yang paling umum adalah perilaku merokok, minum-minuman
keras ketika sedang menghadi suatu masalah dan penyalahgunaan obat-obat
terlarang.
Kasus narkoba yang dialami oleh OP, pada suatu saat OP baru saja diputus
oleh pacarnya, yang membuatnya menjadi gelisah dan stres. Dia lantas
menggunakan shabu-shabu untuk mengurangi tekanan perasaan yang dia alami
(Suara Merdeka, 3 maret 2004).
Di daerah tempat tinggal penulis, dalam menghadapi situasi yang menekan
perasaan, remaja sering menggunakan strategi coping yang tidak sesuai, seperti
penggunaan alkohol, kebiasaan merokok, dan tindakan agresi seperti perkelahian,
atau hal-hal yang melanggar peraturan sekolah seperti membolos. Mencermati
uraian diatas penulis berasumsi bahwa perilaku bermasalah pada remaja adalah
merupakan strategi coping yang tidak sesuai dari remaja dalam menghadapi stres
dan hal itu dipengaruhi oleh locus of control.
Contoh-contoh diatas merupakan contoh bagaimana remaja sering
menggunakan coping yang tidak sesuai dalam menghadapi masalah yang
menekan perasaan mereka. Jenis coping yang dilakukan individu dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satu factor yang mempengaruhi pemilihan strategi
coping adalah locus of control.
Perbedaan locus of control akan menentukan kecenderungan
menggunakan pola strategi dalam memghadapi masalah (Persitarini, 1988).
Individu dengan locus of control internal akan berusaha menghadapi masalah dan
mengatasinya dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam dirinya,
8
sedangkan individu dengan locus of control eksternal akam berusaha menghindar
dari masalah, karena ia merasa dirinya tidak mampu dan tidak dapat bertahan
untuk mengatasi situasi yang dihadapi, dimana pertahanan ini hanya berusaha
meredakan emosi dan ketegangannya (Robbins, 1989).
Atas dasar pemikiran tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara locus of
control dengan coping pada remaja?
Coping
Solomon, dkk (1988) mengungkapkan bahwa coping merupakan hal yang
penting untuk dibicarakan dalam masalah stres, konsep coping digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara stres dengan perilaku individu dalam menghadapi
stres. Coping berfungsi untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi
yang penuh dengan tekanan. Lazarus (1976) mengungkapkan bahwa suatu cara
yang dilakukan untuk mengatasi situasi atau problem yang dianggap sebagai
tantangan, ketidakadilan atau merugikan maupun sebagai ancaman disebut dengan
istilah coping.
Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai
menghadapi, melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah
dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili istilah ini (Rustiana, 2003).
Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian (adjustment). Perbedaannya
penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas jika dibanding dengan
coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan
maupun yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan coping (coping
9
behavior) dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang
menekan (Lazarus, 1976).
Coping merupakan usaha yang dilakukan individu dengan tujuan untuk
menyesuaikan diri terhadap tuntutan dari dalam dan luar dirinya yang dianggap
diluar batas kemampuan dirinya (lazarus, 1976). Coping ini akan dilakukan bila
ada tuntutan-tuntutan yang dirasa menentang, membebani, atau melebihi
sumberdaya yang dimiliki individu (Lazarus, 1976). Coping juga didefinisikan
sebagai usaha kognitif dan behavioral yang dilakukan oleh individu tersebut,
usaha untuk mengatur tuntutan tersebut meliputi usaha untuk menurunkan,
meminimalisasi dan juga menahan (Aldwin and Revenson, 1987).
Penggolongan Strategi Coping
Ada dua macam strategi menghadapi masalah yang dikemukakan (Lazarus, 1976),
yaitu problem focus coping (PFC) dan emotion focus coping (EFC). Problem
focus coping adalah strategi menghadapi masalah dengan cara mengendalikan
atau mengatasi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stres secara langsung,
karena lebih memilh memecahkan masalah daripada jalan pertahanan secara
emosional, sedangkan emotion focus coping adalah strategi menghadapi masalah
yang dilakukan individu sebagai upaya mengurangi atau menghilangkan stress
yang dirasakan dengan cara berusaha mempertahankan keseimbangan afeksinya
(Lazarus, 1976)
Menurut Folkman dan Lazarus (Aldwin dan Revenson, 1987) coping
terdiri atas strategi yang bersifat kognitif dan behavioral, strategi tersebut adalah :
10
a. Problem focus coping, yaitu strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang
dihadapi sehingga individu segera terbebas dari masalah tersebut, bentuk
strategi coping ini adalah :
1) Cautiousness (kehati-hatian)
Tindakan menahan diri didasari oleh pertimbangan bahwa individu lebih
cenderung melakukan tindakan yang memerlukan tindakan yang
memerlukan tantangan daripada tindakan yang mampu menyelesaikan
masalah dengan cepat.
2) Instrumental action (tindakan instrumental)
Tindakan yang diarahkan menuju pemecahan masalah.
3) Negotiation (negosiasi)
Taktik yang diarahkan pada orang lain di dalam masalah tersebut,
misalnya mencoba untuk mengubah pikiran orang tersebut.
b. Emotion focus coping, yaitu strategi untuk meredakan emosi individu yang
ditimbulkan oleh stressor (sumber stres) tanpa berusaha mengubah suatu
situasi yang menjadi yang menjadi sumber stres secara langsung. Bentuk
strategi coping ini adalah :
1) Escapism (menghindar)
Menggambarkan perilaku menghindar atau melarikan diri dari masalah
dan situasi stres dengan cara berkhayal atau berangan-angan, makan,
merokok, menggunakan obat-obatan berharap situasi buruk yang
dihadapinya segera berlalu.
2) Minimization (pengabaian/pengurangan beban masalah)
11
Merupakan usaha coping yang disadari untuk tidak memikirkan masalah
dan bersikap seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Individu dengan
strategi ini mempunyai kemampuan dalam mengendalikan nafsu.
3) Self blame (menyalahkan diri)
Merupakan strategi yang bersifat pasif yang lebih diarahkan ke dalam,
daripada usaha untuk keluar dari masalah.
4) Seeking Meaning (mencari arti)
Mencoba mencari atau menemukan jawaban masalah melalui kepercayaan
yang dianutnya.
Faktor Yang Mempangaruhi Strategi Coping
Strategi coping setiap orang akan selalu berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh budaya dan pengalaman. Seseorang dapat melakukan coping yang berbeda
sesuai dengan stres yang dihadapi dan persepsinya mengenai sumberdaya yang
dimiliki untuk memperbaiki situasi (Ati, 1997). Cara dan keefektifan coping tidak
tergantung pada kemampuan intelektual (Epstein dan katz, 1992) sedangkan yang
mempengaruhi pemilihan strategi coping adalah locus of control dan dukungan
sosial (Persitarini, 1987).
Anderson (Folkman, 1984) menyebutkan bahwa orang yang memilki
kecenderungan locus of control internal akan menggunakan problem focus coping,
sedangkan yang memilki kecenderungan locus of control eksternal lebih banyak
menggunakan emotion focus coping, dimana pertahanan ini hanya untuk
meredakan ketegangan emosi karena merasa dirinya tidak mampu dan tidak dapat
12
bertahan untuk menghadapi situasi yang dihadapi. Menaghan (McCrae, 1984)
menambahkan bahwa jumlah tahun pendidikan formal yang dialami individu
mempunyai efek besar terhadap sikap, konsepsi, tingkah laku dan cara berfikir
individu dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap coping individu dalam
menghadapi masalah Menurut Westbrook (Billings dan Moos, 1984) status sosial
ekonomi juga dapat mempengaruhi strategi coping individu.
Pengertian locus of control
Locus of control pertama kali dirumuskan oleh Julian Rotter. Locus of
control menurut Petri (1980) merupakan konsep yang secara khusus berhubungan
dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat
yang menyertai perilaku. Pendapat ini diperkuat oleh Rotter (Jung, 1978) yaitu
pada dasarnya locus of control menunjuk pada keyakinan atau harapan-harapan
individu mengenai sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh
kekuatan dari dalan dirinya atau dari luar dirinya. Rotter (Zymbardo dan Gerrig,
1999) mengartikan locus of control sebagai keyakinan individu mengenai sumber
penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, yaitu kecenderungan
untuk merasa apakah peristiwa itu dikendalikan dari dalam dirinya (internal) atau
dari luar dirinya (eksternal) seperti keberuntungan, nasib, kesempatan, kekuasaan,
orang lain, dan kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasai.
Levenson (Robinson dan Shaver, 1974) mencoba memperbaiki definisi
yang diajukan Rotter dengan pertimbangan bahwa pengertian dan prediksi tentang
locus of control mungkin bertambah jika masing-nasing dipelajari secara
13
terpisah. Ia mengembangkan suatu skala baru denga tiga faktor pemisah yaitu :
Internal (I) artinya kepercayaan bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya dapat
dikontrol sendiri. Eksternal Powerfull Other (P) artinya kepercayaan bahwa
kejadian-kejadian dalam hidupnya dipengaruhi oleh orang lain yang berkuasa.
Eksternal Chance (C) maksudnya kepercayaan bahwa kejadian-kejadian dalam
hidupnya dipengaruhi oleh kesempatan atau nasib.
Jenis-jenis Locus Of Control
Menurut Jung (1978) orang yang mempunyai locus of control internal
mempunyai keyakinan bahwa individu sendiri yang bertanggungjawab atas
kesuksesan dan kegagalan yang dialaminya. Kesusksesan dan kegagalan tersebut
merupakan hasil atau akibat kemampuan atau usahanya sendiri. Sedangkan
kendali diri eksternal menunjukkan keyakinan individu bahwa apa yang terjadi
pada diri, yaitu kesuksesan atau kegagalan yang dialaminya ditentukan oleh
kekuatan diluar dirinya, misalnya karena nasib, keberuntungan, kesempatan, dan
kekuasaan orang lain dan bahkan menjadi tanggungjawabnya.
Ciri-Ciri Orang Berdasarkan Locus Of Control nya
Sifat orang yang memiliki locus of control internal menurut Seleven dan
Seven, yaitu mandiri, tekun, kuat dan mudah percaya pada orang lain seta punya
daya tahan yang kuat terhadap pengaruh sosial (zymbardo dan gerrig, 1999).
Mereka yakin bahwa dirinya mampu menghadapi masalah (Hiroto dalam Jung,
1978). Perbedaan orientasi locus of control akan mempengaruhi perbedaan dalam
penilaian terhadap peristiwa-peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi.
14
Perbedaan ini selanjutnya akan mempengaruhi perbedaan dalam penilaian
terhadap sikap dan perilaku individu dalam menghadapi lingkungannya (Baron
dkk, 1980). Mereka yang bertipe eksternal (powerfull other and chance) merasa
tidak memiliki kemampuan sehingga sering merasa tak berdaya. Sebaliknya
individu yang memiliki locus of control internal lebih percaya pada kemampuanya
untuk mengendalikan hidupnya dan menempatkan kekuatan untuk menentukan
perilaku di dalam dirinya. Individu menjadi sosok dirinya sendiri dan
mempersepsikan bahwa dirinya mempunyai kehidupan mental yang dapat
mengerti serta mampu mempengaruhi pengalaman-pengalamannya dan
memperlakukan kehidupannya sebagai suatu rangkaian keputusan yang harus
dapat dipertanggungjawabkan. Individu dengan locus of control internal ini
memperoleh lebih banyak informasi tentang masalah-masalah dan memanfaatkan
informasi tersebut untuk mempengaruhi daripada dipengaruhi.
Mereka yang bertipe eksternal (powerefull other and Chance) merasa
tidak memiliki kemampuan sehingga merasa tidak berdaya (Hiroto dalam Jung,
1978). Individu yang terkendali secara eksternal ini lebih mudah terkena bujukan
melalui cara verbal conditioning yang tentunya menmggunakan penguat dari luar
dirinya. Mereka juga mempunyai konformitas yang lebih tinggi terhadap norma
sosial (Coop dan White, 1974).
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Locus Of Control
Pembentukan locus of control berhubungan dengan teori belajar sosial
(Baron dkk, 1980), sehingga faktor lingkungan dan pengalaman masa lalu
15
berpengaruh dalam menentukan pembentukan dan pengembangannya. Contohnya
adalah tipe pola asuh orang tua, dengan ini anak akan mengembangkan keyakinan
apakah usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi lingkungan akan efektif atau
tidak (Coop dan White, 1974), Sedangkan dari faktor sosial ekonomi akan tampak
bahwa seseorang yang berada pada statu sosial ekonomi rendah lebih
menunjukkan locus of control yang berorientasi eksternal. Hal ini terjadi karena
mereka memiliki harapan yang rendah bahwa perilaku mereka akan efektif.
Perkembangan kecenderungan locus of control kearah internal didukung
oleh cara-cara mendidik orang tua yang mendorong makin besarnya otonomi,
superego, serta mendorong seseorang untuk berprestasi. Sikap-sikap orang tua
yang mendukung ketergantungan, permusuhan, agresivitas, serta anggapan bahwa
dunia sebagai kontrolnya, serta mengembangkan orientasi locus of control ke arah
eksternal akan mendidik kecenderungan locus of control terhadap anaknya
(Robinson dan Shaver, 1974).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada remaja SMA dengan mengambil subjek di
SMA Negeri 1 Bulu yang beralamatkan di Jalan Raya Bulu, Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode skala. Bentuk skala yang digunakan adalah skala sikap
model Likert. Skala sikap berisi pernyataan-pernyataan sikap, yaitu suatu
pernyataan mengenai objek sikap (Azwar, 2003). Penelitian ini menggunakan
16
skala yang terdiri dari dua macam skala, yaitu skala locus of control yang
dimodifikasi dari skala yang dibuat oleh Cahyadi (2005) didasarkan pada teori
yang yang diungkap oleh Levenson (Robinson & Shaver, 1974), dan Skala
coping yang dimodifikasi dari skala yang dibuat oleh Elyza (1996) yang mengacu
pada Ways Of Coping Shcale dari Folkman dan Lazarus (Aldwin & Revenson,
1987).
Metode Analisis Data
Penulis ingin mengetahui hubungan antara locus of control dengan coping
dalam penelitian ini, oleh karena datanya adalah dikotomi atau kategorikal maka
uji korelasi Phi (Ø) cocok untuk menguji hal tersebut. Selanjutnya untuk
menentukan apakah hubungan tersebut signikan digunakan uji X2 untuk tabel
kontingensi 2x2. Analisis data ini akan menggunakan program SPSS for Windows
11.0
Hasil Penelitian
Data kasar yang telah diperoleh dikonversikan dalam skor Z, langkah ini
dimaksudkan untuk mengategorikan masing-masing subjek penelitian ke dalam
salah satu kategori, dalam hal ini adalah internal-eksternal untuk locus of control
dan PFC-EFC untuk coping. Langkah pertama yang dilakukan untuk mencari skor
Z adalah dengan mencari rerata masing-masing subjek untuk setiap kategori
sehingga dihasilkan Xint, Xeks, XPFC dan XEFC dari masing-masing subjek
17
selanjutnya dengan bantuan program analisis data SPSS for Windows 11.0 rerata
tersebut dikonversikan menjadi skor Z.
Azwar (1999) memberi contoh kategorisasi untuk variable locus of control
menggunakan dasar skor Z dengan kriteria :
Zint = 0,5 dan Zeks < 0 ? internal
Zeks = 0,5 dan Zint < 0 ? eksternal
Cara yang sama juga dilakukan untuk menggolongkan kecenderungan
coping, sehingga diperoleh kriteria :
ZPFC = 0,5 dan ZEFC < 0 ? PFC
ZEFC = 0,5 dan ZPFC < 0 ? EFC
Penghitungan dalam mencari skor Z ini dilakukan dengan program analisis
data SPSS for Windows 11.0. individu yang tidak memiliki skor Z yang sesuai
dengan kriteria diatas dianggap sebagai individu yang tidak terklasifikasi sehingga
tidak diikutkan dalam analisis data. Berdasarkan kriteria diatas, dari 85 subjek
akhirnya didapatkan 41 subjek yang akan diikut sertakan dalam analisis
penelitian. Akhirnya didapatkan data yang berwujud frekuensi yang terlihat dalam
tabel 1.
Table 1. Frekuensi subjek yang diikutsertakan dalam analisis penelitian
Coping Subjek terklasifikasi dalam
PFC EFC
Internal 20 2 Locus
Of Control Eksternal 4 15
18
Teknik analisis dalam penelitian ini adalah dengan analisis korelasi Phi
(Ø) untuk mengetahui hubungan antara locus of control dengan coping pada
remaja, Selanjutnya untuk menentukan apakah hubungan tersebut signikan
digunakan uji X2 untuk table kontingensi 2x2.
Hasil analisis data dilakukan dengan program analisis data SPSS for
windows 11.0 menunjukkan bahwa hasil tabulasi crosstab data sama dengan tabel
5. Besarnya koefisien Phi (Ø) adalah 0,707 dengan taraf signifikasi p < 0,01,
sedangkan besarnya nilai Chi-Square dengan continuity correction untuk tabel
2x2 sebesar 17,721 dengan tingkat signifikasi p < 0,01. Hasil ini menunjukkan
bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara locus of control dengan
coping.
Pembahasan
Secara sepintas dari table 1 dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki
orientasi locus of control internal menggunakan problem focus coping sedangkan
subjek yang memiliki orientasi locus of control eksternal menggunakan emotion
focus coping, namun hal tersebut perlu pengujian lebih lanjut, setelah dilakukan
pengujian ternyata memperkuat dugaan tersebut dengan didapatkannya nilai
koefisien korelasi Phi (Ø) sebesar 0,707 dengan p < 0,01 dan nilai Chi-Square
dengan continuity correction untuk tabel 2x2 sebesar 17,721 dengan tingkat
signifikasi p < 0,01 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara locus of control dengan coping, atau dengan kata lain coping dipengaruhi
oleh orientasi locus of controlnya, dimana subjek dengan orientasi locus of control
19
internal menggunakan problem focus coping sedangkan subjek dengan orientasi
locus of control eksternal menggunakan emotion focus coping.
Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan dinamika dan gejolak
bila dibandingkan dengan masa atau fase perkembangan lainnya. Individu pada
masa ini sudah tidak mau lagi disebut dan diperlakukan sama dengan anak-anak
karena secara fisik fungsi fisiologis mereka sudah sama dengan orang dewasa,
yang ditandai dengan ciri utama yaitu sempurnanya fungsi reproduksi (Yusuf,
2000). Sementara itu remaja juga tidak bisa dan belum masuk ke dalam
perkembangan manusia dewasa karena mereka belum matang dalam hal
emosional dan belum mampu mandiri secara sosial. Perubahan-perubahan pada
individu remaja ini secara langsung maupun tidak langsung pasti akan
memepengaruhi perubahan kognisi dan kepribadian serta kehidupan sosialnya
(Yusuf, 2000). Hal ini tentu akan menimbulkan perasaan tidak menentu dan stres
tersendiri bagi remaja (Rifai, 1987), oleh karena itu remaja dituntut untuk dapat
mengatasi masalah dengan perilaku coping yang sesuai dengan permasalahannya
agar tugas perkembangannya dapat terpenuhi sebagai bekal untuk memasuki fase
perkembangan selanjutnya.
Strategi coping yang efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis
situasi yang sedang dihadapi oleh individu (Smet, 1994). Idealnya, saat
menghadapi masalah individu menyelesaikannya dengan mencari pokok masalah
dan menyelesaikannya (PFC) karena dengan terselesaikannya masalah maka
beban yang harus ditanggungnya dapat berkurang, namun seringkali masih
dijumpai individu yang menggunakan strategi yang berorientasi EFC. Tidak
20
dipungkiri bahwa penggunaan EFC lebih mudah bila dibandingakan dengan PFC,
namun dengan menggunakan EFC konsekuensi yang timbul adalah individu harus
terus berhadapan dengan masalah yang sama sampai masalah tersebut
terselesaikan (Smet, 1994).
Problem focus coping (PFC) dipandang sebagai bentuk coping sesuai dan
efektif dengan masalah yang dialami remaja dalam kehidupan sehari-hari, dimana
individu menghadapi masalah yang menjadi sumber stres secara langsung dengan
cara-cara yang kontruksif dengan maksud menyelesaikan masalah tersebut. Hal
ini terbukti dalam penelitian-penelitian sebelumnya bahwa individu yang
menggunakan PFC dalam menghadapi masalahnya terbukti memiliki tingkat stres
yang rendah (Smet, 1994).
Emotion focus coping (EFC) merupakan bentuk coping yang bertujuan
untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan afeksi (Robbins, 1989).
Apabila dihadapkan pada sebuah permasalah, subjek dengan kecenderungan EFC
akan cenderung untuk menghindari permasalahan secara langsung karena merasa
tidak memiliki sunber daya yang cukup untuk mengatasi hal tersebut (Marpaung,
2000).
coping dalam menghadapi masalah dipengaruhi oleh banyak hal salah satu
diantaranya adalah locus of control (Anderson dalam Folkman, 1984). Seseorang
dengan pust kendali internal cenderung lebih giat, rajin, ulet, mandiri dan
mempunyai daya tahan yang lebih terhadap pengaruh sosial, lebih giat dan efektif
dalam melaksanakan tugasnya, lebih asertif dan peka terhadap informasi yang
sesuai dengan dirinya sehingga membuatnya percaya bahwa dirinya mampu
21
menghadapi masalah (Rotter dalam Jung, 1978), karena percaya akan
kemampuannya maka individu dengan orientasi locus of control internal akan
menggunakan PFC dalam menghadapi masalah.
Sebaliknya individu dengan orientasi locus of control eksternal cenderung
lebih mudah menyerah, tidak berdaya, punya tingkat kecemasan tinggi, punya
penyesuaian sosial kurang baik, konformitas terhadap otoritas dan lebih
memungkinkan untuk mengalami frustrasi (Rotter dalam Jung, 1978), oleh karena
itu dalam menghadapi permasalahan individu tersebut lebih memilih
menggunakan EFC karena merasa tidak mempunyai sumberdaya yang cukup
untuk mengatasinya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari data penelitian dan pembahasan
yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, dengan singkat dapat disimpulkan
bahwa hipotesis yang digunakan dalam penelitian yaitu ada hubungan antara locus
of control dengan coping pada remaja, dimana subjek dengan orientasi locus of
control internal menggunakan problem focus coping sedangkan subjek dengan
orientasi locus of control eksternal menggunakan emotion focus coping adalah
terbukti.
Saran
Saran yang diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai
berikut:
22
1. Untuk remaja dan orang tua
a. Remaja hendaknya berusaha untuk mengatasi masalah dengan coping yang
positif sesuai dengan permasalahannya agar tugas perkembangannya dapat
terpenuhi sebagai bekal untuk memasuki fase perkembangan selanjutnya.
b. Remaja hendaknya mengembangkan pola pikir yang dapat mengembangkan
orientasi locus of control kearah internal agar dalam menghadapi masalah
dapat mengambil tindakan yang konstruktif bukannya malah menghindar dan
mencari pemecahan lewat hal-hal yang negatif seperti rokok, minuman keras
dan narkoba
c. Orang tua hendaknya mengembangkan cara mendidik yang beorientasi locus
of control internal agar anaknya dapat mengembangkan hal yang sama
2. Saran Untuk Peneliti Selanjutnya
a. Terdapat banyak variabel lain yang bisa dikombinasikan dengan coping,
yaitu, dukungan soial, dan pola asuh orang tua.
b. Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan seperti alat ukur dalam
penelitian ini belum sempurna sehingga masih memerlukan perbaikan agar
diperoleh hasil yang akurat. nilai validitas alat ukur yang kurang tinggi
sebaiknya diperbaiki agar alat ukur lebih valid atau tepat dalam mengungkap
aspek yang ingin diukur.
c. Beberapa pernyataan dalam skala penelitian mengandung social desirability
yang menyebabkan subjek cenderung untuk tidak menjawab dengan jujur
Untuk penelitian selanjutnya agar dapat memperbaikinya jika berminat pada
topik yang sama.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aldwin,C.M. and Revenson, T.A. 1987. Does Coping Help? A Reexamination of The Relation Between Coping and Mental Health. Journal Of Personality and Social Psychology. 53, 2, 337-348.
Arwindi, M (2004) Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Problem Focus
Coping Pada Remaja Tengah. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Ati, A.W. 1997. Konflik, Coping dan Kualitas Pernikahan Anar Etnis Cina-Jawa.
Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada
Azwar, S. 1997. Reliabilitas Dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar.S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R.A., Byrne, D. and Kantowitz, B.H. 1980. Psychologi Understanding
Behavior Second Edition. Tokyo : Haltz-sanders, Ltd. Billings, A.G. and Moos, R.H. 1984. Coping, Stress, and Social Resources Amon
Adult With Unipolar Depression. Journal of Personality and Social Psychology. 46, 4, 877-891.
Cahyadi, A. 2005. Hubungan Antara Kendali Diri Internal Dan Perilaku
Pengambilan Resiko Pada Polisi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Coop, R.H. and White, K. 1974. Psychological Concept In the Classroom. New
York : Harper and Row Publisher. Daradjat, Z. 1993. Problematika Remaja Di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang. Elyza, I, 1996. Pengaruh Iktikaf Ramadhan Terhadap Strategi Coping. Skripsi
(tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Epstein, S. and Katz, L. 1992. Coping Ability, Stress, Productive Load, and
Symptoms.Journal of Personality and Social Psychology. 62, 5, 813-825. Folkman, S. 1984. Personal Control and Stress and Coping Processes : A
Theoretical Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. 46, 4, 839-852.
24
Folkman, S. dan Lazarus, R.S. 1985. If It ChangesIt Must Be a Process: Study of
Emotion ang Coping During Three Stages of a College Examination. Journal of Personality and Social Psychology. 48, 1, 150-170.
Hadi, S. 1994. Statistik 2. Yogyakarta : Andi Offset. Hapsari. 1998. Hubungan Antara Kecemasan Dengan Perilaku Coping Pada
Wanita Yang Melahirkan Bayi Prematur. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hurlock, E.B. 1993. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (Terjemahan). Jakarta : Erlangga. Jung, J. 1978. Understanding Human Motivation. New York : Mac Millam
Publishing, Co. Inc. Lazarus, R.S. 1976. Pattern of Adjusment. New York : Springer Publishing
Company. Marpaung, F. 2000. Kaitan Antara Pusat Kendali Dan Coping Behavior Pada
Pemain Sepak Bola Dalam Menghadapi Tekanan Penonton. Skripsi (tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
McCrae, R.R. 1984. Situational Determinants of Coping Responses : Loss, Threat,
and Challenge. A Theoretical Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. 46, 4, 919-928.
Parkers, K.R. 1984. Locus of Control, Cognitif Appraisal and Coping in Stressfull
Episodes. Journal of Personality and Social Psychology. 46, 4, 655-668. Patnani, M. 1999. Kekerasan Fisik Terhadap Anak Dan Strategi Coping Yang
Dikembangkan Anak. Skripsi (tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Persitarini, E. 1987. Pusat Pengendali Dan Strategi Menghadapi Masalah Pada
Pria Dan Wanita. Skripsi (tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Pestonjee, D.M.1999. Stress and Coping. New Delhi : Sage Publishing. Petri, H.L 1980. Motivation : Theory and Research. New York : Cambrige
University Press.
25
Rifai, M.S.S.1987. Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial. Jakarta : Bina Aksara.
Robbins, S.P. 1989. Organizational Behavior : Controversies and Aplication,
Fourth Edition. New Jersey : Prentice Hall International Inc. Robinson, J.P & Shaver, Shaver, P.R. 1974. Measure of Social Psychological
Attitudes. Michigan : Institude of Social Research The University of Michigan.
Rustiana, H. 2003. Gambaran Post Traumatic Disorder (PTSD) Dan Perilaku
Coping Anak-anak Korban Kerusuhan Maluku Utara. Tazkiya, 3, 1, 47-64. Sarwono, S.W. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Shin, M., Rosario, M., Morch, H. and Chestnut, D.E. 1984. Coping With Job
Stress and Burn Out in the Human Services. Journal of Personality and Social Psychology. 46, 4, 864-876.
Smet, W. (1994). Psikologi Kesehatan. (Setyiabudi, W. A. : Penerjemah). Jakarta
: Rasindo. Solomon, Z., Mikulincer, M. and Avitzur, E. 1988. Coping, Locus Of Control,
Social Support and Combat-Related Posttraumatic Stress Disorder: A Prospective Study. Journal of Personality and Social Psychology. 55, 2, 279-285.
Solopos, 6 oktober 2004 Suara merdeka, 10 Mei 2004 Suara Merdeka, 3 maret 2004 www.sekolahindonesia.com. Yusuf, S. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya Zymbardo, P.G. and Gerrig, R.J. 1999. Psychology and Life, Fifteenth Edition.
New York : Longman.