nasionalisasi pt freeport indonesia

18
NASIONALISASI PT FREEPORT INDONESIA Wayu Eko Yudiatmaja PENDAHULUAN Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Salah satu masalah krusial yang diatur dalam PP tersebut adalah masalah kepemilikan saham perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. PP ini mengatur bahwa setiap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, wajib mendivestasikan sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sejak berproduksi, 51 persen sahamnya dimiliki oleh peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang dimaksud di sini, terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional. Dalam sejarah kebijakan pertambangan, PP tersebut merupakan sesuatu yang baru karena mencoba meningkatkan proporsi kepemilikan negara atas saham-saham perusahaan pertambangan asing yang ada di Indonesia. Namun, sayangnya PP itu tidak berlaku surut sehingga tidak mengikat badan usaha pertambangan yang telah menadatangani kontrak karya, sebelum PP ini dikeluarkan, termasuk PT Freeport Indonesia. Artinya, PT Freeport Indonesia mempunyai dasar pijakan yang kuat untuk tidak mematuhi aturan itu. Di sisi lain, pemerintah juga berada pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kewenangan untuk bertindak koersif kepada PT Freeport Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, PT Freeport Indonesia secara terang-terangan menolak mengikuti kebijakan itu karena mereka tetap berpegang teguh pada kontrak karya yang sudah 2 kali ditandatangani dengan pemerintah Indonesia, yaitu tahun 1967 dan 1991. Bahkan, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto dengan pongah mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia kebal secara hukum terhadap PP tersebut karena sesuai dengan kontrak karya, PT Freeport Indonesia hanya diwajibkan mendivestasi kepemilikan sahamnya maksimal 20 persen tanpa adanya batas waktu (Meteor Jogja, 13 Maret 2010).

Upload: arul-muhammad

Post on 27-Dec-2015

298 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Freeport PT in Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

NASIONALISASI PT FREEPORT INDONESIA

Wayu Eko Yudiatmaja

PENDAHULUAN

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas

PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan

Batu Bara. Salah satu masalah krusial yang diatur dalam PP tersebut adalah masalah

kepemilikan saham perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. PP ini

mengatur bahwa setiap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, wajib

mendivestasikan sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sejak

berproduksi, 51 persen sahamnya dimiliki oleh peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang

dimaksud di sini, terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi/kabupaten/kota,

BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional.

Dalam sejarah kebijakan pertambangan, PP tersebut merupakan sesuatu yang baru karena

mencoba meningkatkan proporsi kepemilikan negara atas saham-saham perusahaan

pertambangan asing yang ada di Indonesia. Namun, sayangnya PP itu tidak berlaku surut

sehingga tidak mengikat badan usaha pertambangan yang telah menadatangani kontrak

karya, sebelum PP ini dikeluarkan, termasuk PT Freeport Indonesia. Artinya, PT Freeport

Indonesia mempunyai dasar pijakan yang kuat untuk tidak mematuhi aturan itu. Di sisi

lain, pemerintah juga berada pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kewenangan

untuk bertindak koersif kepada PT Freeport Indonesia dalam mengimplementasikan

kebijakan tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, PT Freeport Indonesia secara terang-terangan menolak

mengikuti kebijakan itu karena mereka tetap berpegang teguh pada kontrak karya yang

sudah 2 kali ditandatangani dengan pemerintah Indonesia, yaitu tahun 1967 dan 1991.

Bahkan, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto dengan pongah

mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia kebal secara hukum terhadap PP tersebut

karena sesuai dengan kontrak karya, PT Freeport Indonesia hanya diwajibkan

mendivestasi kepemilikan sahamnya maksimal 20 persen tanpa adanya batas waktu

(Meteor Jogja, 13 Maret 2010).

Page 2: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

MAP Corner-MKP Club pernah menyelanggarakan diskusi dengan tajuk “Renegosiasi

Kontrak Karya Pertambangan”. Latar belakang pemilihan tema itu adalah karena adanya

kegelisahan penggiat-penggiat1 MAP Corner dan MKP Club terhadap kebijakan

pertambangan di Indonesia umumnya dan aturan turunannya, seperti kontrak karya, yang

sangat pro asing. Paralel dengan itu, tulisan ini sebenarnya tidak hanya berupaya

mengkritisi renegosiasi kontrak karya, tetapi juga mengkritisi produk hukum yang

mengatur masalah pertambangan dan keberadaan PT Freeport Indonesia. Bahkan, tulisan

ini boleh dikatakan menisbikan kontrak karya karena dalam praktiknya, kontrak karya

yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor menjadi arena untuk mengobral

kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing.

Kontrak karya merupakan dasar hukum pelaksanaan aktivitas eksploitasi pertambangan

oleh suatu badan usaha. Di dalam kontrak karya diatur segala sesuatu yang berkaitan

dengan luas wilayah, jangka waktu, pembagian royalti, hak serta kewajiban negara dan

perusahaan. Namun, khusus untuk kontrak karya pertambangan mineral (emas, perak,

tembaga), aturannya sangat absurd karena tidak diatur dengan jelas di dalam UU No. 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Masalah kontrak karya hanya

ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).2

Tidak mengherankan jika kemudian pemerintah seenaknya membuat perjanjian dan

mengeluarkan kontrak karya.

Banyak pihak yang menganjurkan supaya kontrak karya ditinjau kembali atau

direnegosiasi karena kontrak karya tidak adil dan merugikan pemerintah. Namun,

sesungguhnya yang menjadi pokok persoalan, bukan renegosiasi kontrak karya karena

ibarat sungai, kontrak karya hanya hilirnya, sedangkan hulunya adalah status dan

1 Penggiat-penggiat diskusi MAP Corner-MKP Club antara lain; Muhtar Habibi, KurniaCahyaningrum Effendi, Wayu Eko Yudiatmaja, Masni, Yuli Isnadi, Rima Ranintya Yusuf danSirajudin Hasbi.2 UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menggunakan istilahperjanjian karya, sedangkan UU No. 4 Tahun 2009 menggunakan terminologi Izin UsahaPertambangan (IUP). Di dalam UU No. 11 Tahun 1967, diatur bahwa perjanjian karya bisadiberlakukan apabila sudah disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR (pasal 10ayat 3). Walaupun DPR pada masa Orde Baru hanya tukang stempel pemerintah, tetapisebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967, DPR memiliki kewenangan untuk memberikanmasukan terhadap kontrak karya yang dibuat oleh pemerintah dengan kontraktor. Namun, dalamUU No. 4 Tahun 2009 diatur bahwa IUP dikeluarkan oleh menteri, tanpa harus berkonsultasidengan DPR. Di sini, bisa dilihat bahwa pemerintah menganggap kontrak karya hanya sebagaiperkara teknis yang secara ekslusif menjadi kewenangannya, sehingga tidak perlu didiskusikandengan DPR. Artinya, ada pelemahan secara sistematis terhadap fungsi DPR dalam perencanaankontrak karya. Kuat dugaan, hal ini dimanfaatkan sebagai senjata untuk membuat IUP yang sesuaidengan selera rezim yang sedang berkuasa.

Page 3: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

kepemilikan perusahaan itu. Untuk membersihkan sungai, kita harus memulai dari

hulunya karena mustahil sungai bisa terbebas dari kontaminasi jika hulunya tidak

dibersihkan terlebih dahulu. Merenegosiasi kontrak karya bukan langkah strategis karena

ekses yang timbul dari kontrak karya hanya dampak berantai (multiplier effects) yang

ditimbulkan oleh masalah kepemilikan perusahaan, yang sebagian besar sahamnya

dikuasai oleh pihak asing. Oleh karena itu, seharusnya fokus permasalahan bisa diperluas,

yaitu dengan mengambil-alih kepemilikan atau menasionalisasi perusahaan tambang

asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi penting dalam rangka menegakkan supermasi

atas kepemilikan sumber daya alam strategis, sebagaimana yang diamanatkan oleh

konstitusi. Akhirnya, kita tidak bicara lagi masalah parsial tetapi bergerak menuju ke arah

nasionalisme ekonomi bangsa yang berdaulat.

Dalam tulisan ini PT Freeport Indonesia digunakan sebagai sasaran tembak untuk

dinasionaliasi dengan alasan sebagai berikut; pertama emas dan tembaga yang

dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia adalah komoditas strategis (strategic

commodities) dan memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Kedua, secara

matematika-ekonomi, royalti yang diterima oleh pemerintah atas eksploitasi emas dan

tembaga yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia sangat tidak logis, karena selama ini

pemerintah hanya mendapatkan keuntungan 1 persen dari total laba bersih yang diterima

oleh PT Freeport Indonesia. Ketiga, berbagai persoalan lingkungan, pelanggaran hukum

dan HAM, serta konflik sosial yang membelit PT Freeport Indonesia di Mimika Papua.

Penjelasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya.

Sebelumnya, perlu didiskusikan mengenai potret kebijakan pertambangan Indonesia dari

dulu hingga sekarang, guna mendapatkan gambaran tentang dimensi ekonomi politik

kebijakan pertambangan di Indonesia.

KEBIJAKAN PERTAMBANGAN DARI MASA KE MASA

Rezim UU pertambangan yang berlaku di Indonesia sangat berorientasi pada kepentingan

kapitalis asing. Dimulai dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan. UU ini kemudian direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dua UU ini sebenarnya tidak ada bedanya atau

sama liberalnya. Bedanya hanya kreatornya dan jiwa zaman (zeitgest) UU itu dibuat. UU

No. 11 Tahun 1967 diterbitkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam suasana yang

hegemonik dan despotik, sedangkan UU No. 4 Tahun 2009 dibuat pada masa reformasi.

Page 4: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

UU No. 11 Tahun 1967 keluar setelah Indonesia mengalami peralihan tampuk kekuasaan

dari Soekarno ke Soeharto. Dulu Bung Karno sangat anti asing sehingga beliau tidak mau

membuat UU yang memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menjarah sumber

daya alam Indonesia. Namun, penguasa selanjutnya sangat bertolak-belakang dengan

Bung Karno. Setelah kekuasaan berpindah tangan, Soeharto segera mengundang investor

asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk di sektor pertambangan.

Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing sebagai pintu masuk bagi perusahaan asing. Selanjutnya, di bidang pertambangan,

untuk memberikan jaminan bagi bekerjanya modal asing, rezim Orde Baru mengeluarkan

UU No. 11 Tahun 1967. Atas dasar UU inilah, pemerintah kemudian menandatangani

kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia pada tahun 1967 dan 1991.

UU 11 Tahun 1967 adalah UU pertambangan yang sangat liberal dan akomodatif terhadap

kepentingan kapitalis asing. Hal ini terjadi karena UU itu dibuat dalam suasana ketika

pemerintah sedang giat-giatnya melakukan percepatan pembangunan, melalui modal

asing. UU ini sangat liberal karena memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada

pemerintah untuk mengambil tanah rakyat atas nama konsesi pertambangan. Selain itu,

pemerintah juga dapat menggusur pertambangan rakyat yang telah lebih dulu ada, atas

nama kepentingan negara. UU ini juga tidak mengatur masalah reklamasi wilayah bekas

tambang, sehingga perusahaan tidak merasa bertanggung-jawab sepenuhnya dalam

menyelenggarakan reklamasi. Akibatnya, kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh

masyarakat sekitar, contohnya pertambangan timah di Bangka Belitung oleh PN Timah

dan pertambangan emas oleh PT Newmont di Tondano.

Selang 42 tahun kemudian, UU No. 11 Tahun 1967 direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2009.

UU No. 4 Tahun 2009 hadir dengan wajah baru, yaitu menggunakan rezim perizinan,

bukan rezim kontrak karya sebagaimana yang digunakan dalam UU No. 11 Tahun 1967.

Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dalam UU yang baru, posisi pemerintah

tidak lagi setara dengan kontraktor. Sebagai public entity, pemerintah adalah a regulator

bukan a player (www.hukumonline.com). Inilah yang menjadi semangat dalam UU ini

sehingga tidak ada lagi kontrak karya, tetapi diganti dengan Izin Usaha Pertambangan

(IUP). Namun, UU ini terlalu pragmatis karena tidak menjelaskan status kontrak karya

yang sudah ditandatangani sebelum UU ini diberlakukan. Oleh karena itu, PP No. 24 Tahun

2012, sebagai derivasi dari UU No. 4 Tahun 2009 tidak bisa mengikat perusahaan-

Page 5: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

perusahaan tambang multinasional yang telah menekan kontrak, termasuk PT Freeport

Indonesia.

KONTEKS HISTORIS PT FREEPORT INDONESIA

Riwayat penambangan emas oleh PT Freeport Indonesia di Papua sudah dimulai jauh

sebelum Indonesia merdeka.3 Pada tahun 1936 Jean-Jacques Dozy melakukan ekspedisi

hingga mencapai gletser Gunung Jayawiya dan menemukan Erstberg. Ekspedisi PT

Freeport Indonesia yang pertama kali dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint, yang

menjelajah Erstberg pada tahun 1960. Pada tahun 1963 terjadi serah terima kekuasaan

atas Netherlands Nieuw-Guniea (Irian Barat) ke PBB, yang kemudian memberikannya ke

Indonesia.4 Meskipun sudah terjadi pengalihan kekuasaan, tetapi rencana penambangan

ditangguhkan karena kebijakan rezim Soekarno sangat anti kapitalis asing.

Pada tahun 1966, bertepatan dengan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto,

perubahan mulai terasa. Untuk mendorong Investasi swasta, rezim Soeharto mengundang

PT Freeport ke Jakarta untuk membicarakan kontrak tambang di Erstberg. Kontrak karya

pertama kali ditandatangani pada tahun 1967 untuk masa 30 tahun. Dengan

penandatanganan kontrak karya, maka PT Freeport Indonesia menjadi kontraktor ekslusif

tambang Erstberg di atas wilayah 10 km2. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto

mengunjungi daerah operasi dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru PT

Freeport Indonesia. Pada tahun 1988, PT Freeport Indonesia menemukan cadangan emas

di Grastberg, tetapi tidak ada informasi yang jelas, sejak kapan PT Freeport Indonesia

mulai menambang di kawasan Grastberg. PT Freeport Indonesia mendapatkan kontrak

karya baru pada tahun 1991 dengan izin operasi selama 30 tahun, berikut dua kali

perpanjangan selama 10 tahun. Artinya, kontrak karya tersebut baru akan berakhir pada

tahun 2041.

PT Freeport Indonesia adalah anak perusahaan dari PT Freeport McMoran Gold and

Copper yang berbasis di New Orleans, Amerika. Sebagian besar saham PT Freeport

Indonesia dimiliki oleh PT Freeport McMoran, yaitu sebanyak 90,64 persen. Jumlah 90,64

3 Banyak sumber yang membahas sejarah penambangan emas dan tembaga oleh PT FreeportIndonesia. Namun, untuk kepentingan tulisan ini, penulis merujuk dari situs resmi PT FreeportIndonesia, yaitu www.ptfi.com. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan data yang validdan akurat. Informasi selengkapnya dapat dicek di situs tersebut.4 Nama Irian Barat merupakan pemberian Presiden Soekarno untuk menamai provinsi paling timurdi Indonesia itu. Pada pemerintahan Soeharto nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya.Pascareformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papuasebagaimana keinginan masyarakat di sana.

Page 6: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

persen itu termasuk (include) saham yang dimilikinya atas kepemilikan bersama PT

Indocopper Investama. Sisanya, hanya sebesar 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia

yang dikuasai oleh pemerintah Indonesia.5 Selain di Indonesia, dari Annual Report PT

Freeport McMoran (2010) dapat diketahui bahwa mereka juga beroperasi di Arizona dan

New Mexico (Amerika); Cerro Verde (Peru); Candelaria, Ojos del Salado dan El Abra

(Chile); dan Katanga (Kongo). Dari hasil industri keruknya ini, PT Freeport McMoran

memperoleh dividen yang luar biasa besar. Dari produksi emas dan tembaga Erstberg dan

Grastber di Papua, Batubara mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan

oleh Investor Daily, PT Freeport McMoran mengaku mendapat keuntungan sebesar 60

persen dari hasil operasi tambangnya di Indonesia. Jumlah itu sepadan dengan 700 ribu

ton material yang dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas setiap hari.

Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang

700 km dari Jakarta ke Surabaya (www.eramuslim.com).

DIMENSI EKONOMI POLITIKPENAMBANGAN OLEH PT FREEPORT INDONESIA

Keberadaan PT Freeport Indonesia tidak terlepas dari politik akomodatif negara terhadap

rezim tambang multinasional (Multinational Corporations). Paradigma pertumbuhan

(growth) yang ingin dikejar oleh pemerintah, membuat pemerintah gelap mata dan

menyerahkan kekayaan negara kepada pihak asing. Rezim lupa pada UUD 1945 yang

mengamanahkan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (pasal 33 ayat 2). Rezim buta aksara

konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat 3).

Rezim alpa memikirkan dampak langsung dan tidak langsung dari konsesi pertambangan

yang akan diberikan kepada pihak asing. Kealpaan rezim harus dibayar mahal dari sisi

ekonomi dan non-ekonomi. Seharusnya sektor pertambangan memberikan sumbangan

yang signifikan terhadap penerimaan pemerintah dalam Anggaran dan Pendapatan

Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan ekspor dan harga komoditasnya mahal.

Namun, dari sisi ekonomi keuangan negara, sulit mengatakan kalau pertambangan

memberikan sumbangan yang signifikan dalam penerimaan negara, karena faktanya

sektor migas lebih mendominasi. Kesalahan ini terjadi karena sistem royalti yang

5 Data ini diperoleh dari situs resmi PT Freeport McMoran, yaitu www.fcx.com. Informasiselengkapnya silahkan dilihat di situs tersebut.

Page 7: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

ditandatangani bersama antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia dalam kontrak

karya, sangat tidak menguntungkan Indonesia, sehingga keuntungan yang masuk ke kas

negara sangat minim. Kondisi ini sangat paradoks dengan apa yang diterima PT Freeport

Indonesia, yang mendapatkan bagi hasil (transfer) yang jauh lebih besar. Dari sisi non-

ekonomi, harga diri dan kehormatan kita sebagai bangsa yang bermartabat jelas telah

tercabik-cabik karena ekses negatif dari eksploitasi yang dilakukan PT Freeport Indonesia,

di belahan timur tanah air kita.

Tabel 1. Perbandingan Penerimaan Negara dariSektor Migas dan Pertambangan (Triliun Rupiah)

Tahun Migas Pertambangan2008 304,4 42,72007 186,6 37,32006 191,7 29,82005 137,7 17,72004 108,2 9,0

Sumber: Kurtubi (www.ekonomi.kompasiana.com)

Jenis bahan galian yang dikeruk oleh PT Freeport Indonesia dari perut bumi Indonesia

tidak hanya emas, tetapi juga konsentrat Cu, tembaga dan perak. Dari data yang

dikeluarkan oleh Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association), sejak

tahun 1998-2002 terlihat bahwa jumlah bahan tambang yang dieksploitasi fluktuatif.

Fluktuasi yang sangat tajam terjadi pada eksploitasi emas. Pada tahun 1998, emas yang

diambil 91.045 kg dan tahun 1999 naik menjadi 92.235 kg. Namun, tahun 2000

mengalami penurunan sehingga menjadi 77.121 kg, kemudian naik dratis di tahun 2001

menjadi 103.308 kg, hingga turun lagi menjadi 77.821 di tahun 2002. Situasi ini bisa

dimengerti karena harga emas di pasar internasional tidak selalu stabil, sehingga

perusahaan harus jeli mempertimbangkan faktor biaya produksi (cost of production).

Tabel 2. Produksi Mineral dan Logam Dasar PT Freeport Indonesia

Komoditi (Unit) 1998 1999 2000 2001 2002 JumlahKonsentrat Cu (Dmt) 2.640.040 2.605.180 2.522.670 2.209.640 2.283.220 12.260.750Tembaga (Ton) 809.077 766.027 776.048 690.347 694.098 3.735.597Emas (Kg) 91.045 92.235 77.121 103.308 77.821 441.530Perak (Kg) 163.324 141.744 136.931 150.161 141.566 733.726

Sumber: Diolah dari Asosiasi Pertambangan Indonesia (www.ima-api.com)

Dari hasil penjualan komoditasnya, PT Freeport Indonesia mendapatkan keuntungan yang

sangat besar karena barang-barang tersebut termasuk barang mewah (lux), terutama

emas. Dari keuntungan yang diperolehnya, menurut PT Freeport Indonesia, mereka

memberikan efek berantai (trickle down effects) kepada pemerintah Indonesia, berupa

manfaat ekonomi. PT Freeport Indonesia memberikan manfaat ekonomi, baik langsung

maupun tidak langsung kepada pemerintah pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika.

Page 8: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

Manfaat ekonomi tersebut diberikan dalam bentuk royalti, pajak, dividen, retribusi dan

dukungan lainnya. PT Freeport Indonesia mencatat bahwa selama tahun 2008, mereka

memberikan manfaat langsung mencapai US$ 1,2 miliar. PT Freeport Indonesia juga

memberikan manfaat berupa pembangunan infrastruktur penunjang di Mimika, seperti

pembangkit listrik, pelabuhan, jalan, bandara, jembatan dan lain-lain (www.ptfi.com).

Argumentasi yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia hanya justifikasi untuk

meyakinkan kita bahwa mereka banyak berkontribusi untuk republik ini. Namun, perlu

dicatat bahwa sebagai sebuah badan usaha yang melakukan aktivitas eksploitasi

pertambangan di suatu negara, maka sudah sepantasnya PT Freeport Indonesia

membayar royalti, pajak, dividen dan retribusi. Meskipun demikian, perlu diketahui

bahwa royalti yang diterima oleh pemerintah Indonesia sangat timpang dengan

penghasilan yang dinikmati oleh PT Freeport Indonesia. Sesuai dengan kontrak karya yang

sudah ditandatangai pada tahun 1967 dan 1991, pemerintah Indonesia hanya

mendapatkan royalti sebesar 1 persen. Menurut Kurtubi royalti yang diperoleh oleh

pemerintah Indonesia sangat tidak rasional karena jumlahnya sangat kecil dan “terpaku

mati” di angka 1 persen. Sementara harga emas di pasar internasional selalu mengalami

kenaikan, tetapi persentase royaltinya tetap 1 persen (www.ekonomi.kompasiana.com).

Dari sisi kewajiban membayar pajak, dividen dan retribusi, itu memang sudah menjadi

kewajiban PT Freeport Indonesia. PT Freeport Indonesia adalah badan usaha yang

merupakan subjek pajak, sehingga mereka harus memenuhi kewajibannya untuk

membayar pajak. Dengan demikian, PT Freeport Indonesia tidak bisa menggunakan logika

itu sebagai pembelaan karena toko kelontong sekalipun juga dibebani pajak dan retribusi

oleh negara. Tidak bisa dipungkiri bahwa PT Freeport Indonesia adalah pembayar pajak

dan retribusi terbesar di Indonesia. Namun, kontribusi PT Freeport Indonesia tidak

signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia karena kontribusi yang

diberikan oleh PT Freeport Indonesia terhadap PDB Indonesia, pada tahun 2008 hanya 1,3

persen.6

Khusus untuk Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua, harus diakui bahwa PT Freeport

Indonesia berkontribusi sangat besar pada PDB kedua daerah itu. Pada tahun 2008,

kontribusi PT Freeport Indonesia terhadap PDB Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua,

6 Angka 1,3 persen adalah data resmi yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia dalam situswww.ptfi.com.

Page 9: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

masing-masing adalah 96 persen dan 40 persen.7 Data ini menunjukkan bahwa

Pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua sangat bergantung pada PT Freeport

Indonesia. Jika tidak disiasati sejak dini, ketergantungan ini bisa menjadi bencana setelah

PT Freeport Indonesia hengkang dari Indonesia. Selain itu, meskipun kedua daerah ini

memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup tinggi dari hasil bagi hasil (sharing)

dari PT Freeport Indonesia, Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua termasuk daerah

miskin di Indonesia. Menurut Batubara (www.eramuslim.com), pada tahun 2005,

penghasilan rata-rata penduduk Mimika hanya US$ 132 per tahun. Hal ini berbanding

terbalik dengan gaji yang diterima pejabat teras PT Freeport Indonesia, yang bisa 1 juta

kali lipat dari pendapatan yang diperoleh masyarakat setempat.

Sebagai pelaku usaha, PT Freeport Indonesia bertanggung-jawab membangun segala

fasilitas yang menunjang kelancaran aktivitasnya. Banyak pihak yang tidak mengetahui

bahwa pembangunan berbagai sarana penunjang tadi dilakukan dengan cara Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara PT Freeport Indonesia dan pengusaha (lokal dan

asing) karena tidak dikontrol oleh lembaga negara yang independen. Sebagaimana yang

diingatkan oleh Wallerstein (1974) dalam sistem kapitalis dunia, perusahaan-perusahaan

mutinasional tidak akan segan-segan untuk menerabas aturan demi mendapatkan

keuntungan semaksimal mungkin. Patut dicurigai adanya unsur KKN dalam konsesi

pembangunan pelabuhan Amamapare, tempat konsentrat emas dan tembaga diekspor,

diserahkan kepada PT ALatief P&O Port Development Company (APPDC). PT APPDC

merupakan perusahaan kongsi antara A Latief Nusakarya Corporation dengan maskapai

angkutan laut P&O Australia Ltd. Belum lagi masalah proyek pembangunan Bandara

Timika yang dikerjakan oleh PT ALatief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang

67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok Abdul Latief dan 33 persen sisanya oleh PT

Freeport Indonesia. Baik PT APPDC maupun PT AFIC adalah perusahaan milik salah satu

kroni Soeharto, yaitu Abdul Latief (Batubara dalam www.eramuslim.com).8

DARI RENEGOSIASI KE NASIONALISASI

Eksploitasi pertambangan, dibelahan manapun di muka bumi, selalu membawa duka yang

tak berkesudahan. Amerika yang notabene merupakan negara super power, pernah

7 Angka 96 persen dan 40 persen juga diperoleh dari www.ptfi.com.8 Abdul Latief pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja pada masa Orde Baru. Selain sebagai politisi,Abdul Latief juga memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pelabuhan, penyiaran,pertambangan dan lain-lain. Di bidang penyiaran Abdul Latief adalah pemilik LaTV, yang kemudianberganti nama menjadi TV One setelah sahamnya dijual kepada Aburizal Bakrie (sekarang KetuaUmum Partai Golkar).

Page 10: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

mengalami masa-masa sulit menghadapi dampak kerusakan fisik dan non-fisik

pascapenutupan lahan tambang. Setelah itu, keluar UU yang memperketat pemberian izin

usaha pertambangan. Beratnya syarat yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika,

memaksa perusahaan-perusahaan multinasionalnya ekspansi ke negara lain. Jadi, langkah

ekspansif yang dilakukan oleh PT Freeport McMoran ke Indonesia merupakan bagian dari

skenario untuk bertahan (survive) dan memperluas wilayah operasi, karena di negara

sendiri mereka sudah kesulitan bergerak, selain akibat berkurangnya cadangan mineral

juga karena ketatnya UU pertambangan Amerika.

Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang morat-marit pascatumbangnya Soekarno,

merontokkan fondasi ekonomi Indonesia yang sebelumnya juga sudah kacau balau. Orde

Baru dengan didukung oleh teknokrat-teknokratnya mengambil kebijakan untuk

membuka politik ekonomi isolasi yang dilakukan oleh pendahulunya. Situasi ini

dimanfaatkan oleh PT Freeport McMoran untuk menanamkan modalnya di sektor

pertambangan. Pemerintah berharap supaya efek rembesan (trickle-down effect) investasi

PT PT Freeport McMoran memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Indonesia.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada

industrialisasi dan modal asing rentan terhadap risiko crash. Apalagi jika terjadi

kecurangan (rezim dan investor) dalam proses operasi dan produksi, maka hal ini bisa jadi

bumerang untuk memiskinkan (underdeveloped) negara yang bersangkutan. Sebagaimana

yang diyakini oleh penganut teori ketergantungan, industrialisasi di negara-negara

berkembang mustahil bisa membawa kemakmuran karena terlalu bergantung pada

investasi asing yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan multinational dan

beroperasi dengan cara yang culas. Secara gamblang, salah seorang pengikut teori

ketergantungan mengungkapkannya sebagai berikut:

“Dependency theory tried to demonstrated that this industrialization did not havethe consequences that were hoped for by this developmentalist and national-democratic vision. It did not bring autonomy of decision making, becauseindustrialization was determined by foreign investment, based on multinationalfirms whose power continued to be located in the central points of the worldeconomy. It did not bring improved income distribution, because oligopolisticcapitalism tended to concentrate power and wealth in large groups of businesswith related interests …” (Dos Santos dan Randall, 1998: 55).

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan PT Freeport Indonesia tidak

memberikan dampak positif terhadap perekomian Indonesia. Kemudian, pertanyaan yang

harus diajukan adalah; apa yang harus kita lakukan (what next)? Dalam konteks ini,

renegosiasi kontrak karya tidak relevan karena tidak memberikan kemajuan yang

Page 11: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

progresif, sehingga ide tentang renegosiasi kontrak karya harus disingkirkan jauh-jauh.

Indikasinya jelas karena perdebatan masalah renegosiasi kontrak karya hanya berkutat

pada masalah bagaimana menaikkan persentase pembagian royalti. Kenaikan royalti yang

diusulkan pemerintah itu pun tidak memberikan dampak ekonomi yang positif, karena

kenaikan yang diusulkan hanya berkisar di angka 2 dan 3 persen. Artinya, kenaikan

penerimaan royaltinya tidak signifikan terhadap penerimaan negara.

Pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap penjajahan dan penjarahan yang

dilakukan oleh PT Freeport menunjukkan pudarnya nasionalisme ekonomi kita sebagai

bangsa yang bermartabat. Penjarahan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional ini

disebut oleh Galtung (1971: 95) sebagai imperialisme atau penjajahan ekonomi. Oleh

karena itu, renegosiasi kontrak karya pertanda sikap bangsa yang pasrah (nrimo),

bermental kacung (jongos/babu/komprador) dan terjajah (inlander). Tuhan pun sangat

benci dengan orang-orang yang dungu dan pasrah pada nasib. Lagi pula, republik ini

sudah sejak tahun 1945 diikrarkan sebagai bangsa yang merdeka, serta didirikan dengan

darah dan air mata. Kita berhak menguasai dan mengeksploitasi sendiri sumber daya yang

kita miliki, dengan cara yang lebih beradab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tidak ada pilihan lain, kita harus berani menasionalisasi PT Freeport Indonesia. Tidak

perlu takut, ini tanah air kita bung! Mengapa harus takut? Bukankah pemerintahan

Soekarno pernah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.

Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Nasionalisasi

Perusahaan Milik Belanda yang ada di Indonesia, pemerintahan Orde Lama melakukan

nasionalisasi terhadap 38 perusahaan tembakau di wilayah Jawa dan Sumatera, 205 aneka

perusahaan perkebunan dan industri, 22 aneka perusahaan dan perkebunan di Sumatera

dan Jawa, dan 12 aneka perusahaan dan cabang perusahaan di Bandung (Salamudin, 2011:

27-28). Bukankah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez juga mengambil

langkah serupa dengan menasionalisasi BUMN minyak Venezuela Petroleos de Venezuela

(PDVSA) dari perusahaan minyak Exxon Mobile Corporations (Amerika),9 menasionalisasi

9 Hugo Rafael Chávez Frías merupakan salah satu dari beberapa kepala negara yang beranimenentang dominasi Amerika. Sebelumnya, pemerintah Venezuela menyepakati kerjasama (jointventure) tiga proyek pertambangan minyak dengan Exxon Mobile (Amerika). Dalam perjalanannya,Chavez menilai kerjasama ini tidak menguntungkan bagi Venezuela, sehingga Chavezmemerintahkan kepada PDVSA untuk mengambil-alih ketiga proyek tersebut. Gegap-gempita HugoChavez melakukan nasionalisasi proyek tambang minyak termasuk bagian dari strategipemerintahannya dalam mereformasi industri minyak. PDVSA bersedia membayar sebesar US$255 juta atau sekitar Rp2,3 triliun sebagai ganti rugi atas harta yang dinasionalisasi. Tentu saja,Exxon Mobile tidak tinggal diam dan membawa kasus ini ke Dewan Arbitrase Internasional. Exxon

Page 12: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

Cemex (Perusahaan Semen Mexico di Venezuela),10 dan menasionalisasi perusahaan

tambang emas yang ada di wilayah selatan negara itu.11

Nasionalisasi terhadap PT Freeport Indonesia bukan hanya isapan jempol belaka, asalkan

pemimpin kita berani mengambil langkah itu dan siap menerima risiko politik dan

ekonomi atas perbuatan itu.12 Dibutuhkan kesadaran politik yang kemudian dilanjutkan

dengan intervensi politik dalam memaksimalisasi sumber daya alam guna melakukan

transformasi pembangunan (Amin, 1974). Nasionalisasi PT Freeport Indonesia juga bukan

tanpa dasar dan mengada-ada. Inilah saatnya berjuang (its time to fight) mengembalikan

kedaulatan kita atas bumi, air dan segala isinya. Kontrak karya bukan kiamat untuk

menasionalisasi PT Freeport Indonesia karena kedudukan kontrak karya tidak lebih tinggi

dari konstitusi. Ada beberapa isu yang menjadi alasan utama, mengapa kita harus

menasionalisasi PT Freeport Indonesia. Kita bisa mengunakan isu lingkungan, keamanan

dan pelanggaran hukum dan HAM, dan konflik sosial guna mendesak PT Freeport

McMoran menjual saham PT Freeport Indonesia secara penuh kepada pemerintah

Indonesia. Beberapa alasan tersebut akan diuraikan secara singkat.

Isu Lingkungan

PT Freeport Indonesia melakukan penambangan dengan dua sistem, yaitu penambangan

terbuka (open-pit) dengan menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar dan

sistem tambang tertutup (block-caving) pada tambang bawah tanah. Bijih tembaga dan

Mobile menuntut ganti-rugi sebesar US$ 907 juta atau Rp8,23 triliun. Selengkapnya lihat diwww.wartapedia.com.10 Hugo Chavez menasionalisasi Cemex pada tanggal 18 Agustus 2008. Langkah ini diambil setelahtidak ada kesepakatan pengambilalihan perusahaan itu dengan jalan negosiasi. Selengkapnya lihatdi www.presidenku.com.11 Pertambangan dan eksplotasi emas di wilayah selatan Venezuela, tidak luput dari agendanasionalisasi Hugo Chavez. Venezuela akan mengambil-alih salah satu perusahaan tambangterbesar di daerah itu, yaitu Rusoro. Rusoro adalah perusahaan Kanada yang dikuasai oleh keluargaAgapov dari Rusia. Chavez menjelaskan bahwa seluruh hasil tambang dari daerah tersebut akandisimpan di bank pusat negara. Simpanan emas Venezuela diperkirakan mencapai US$ 12 miliaratau sekitar Rp102,3 triliun. Sebagian diantaranya di simpan di berbagai bank di luar negeri olehperusahaan tambang asing. Hal inilah yang menyulut kemarahan Chavez dan memantiknyamelakukan nasionalisasi. Selengkapnya silahkan browsing di www.dunia.vivanews.com.12 Ditekan Amerika adalah risiko politik internasional yang jelas akan muncul akibat langkah ini. PTFreeport McMoran adalah perusahaan dengan akumulasi kapital yang bisa mempengaruhikebijakan politik luar negeri Amerika. Apalagi bila perusahaan itu ikut memberikan donasi bagidana kampanye presiden Amerika, tentu PT Freeport McMoran semakin leluasa menekanIndonesia. Sedangkan, risiko ekonomi yang akan timbul adalah ketidakpercayaan (distrust) pihakasing untuk investasi di Indonesia. Namun, hal ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karenatidak bersifat persisten (permanen). Sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk terbesardi dunia dan memiliki natural endowment yang melimpah, Indonesia masih menjadi pasar danlahan yang menggiurkan bagi investor.

Page 13: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

emas yang telah dihancurkan diangkut ke pabrik pengolahan. Selanjutnya, proses

pengapungan bagi bahan yang mengandung alkohol dan kapur, untuk memisahkan

konsentrat yang mengandung mineral, tembaga, emas dan perak. Sisa dari batuan yang

tidak memiliki nilai ekonomi, mengendap sebagai tailing dan dilepaskan ke sungai Ajkwa

(www.ptfi.com). Sisa endapan tailing yang dilepaskan ke Sungai Ajkwa ini mengandung

kadar asam yang tinggi dan tidak sepenuhnya bisa dinetralisir sehingga menimbulkan

pencemaran sungai dan air tanah. Padahal, sungai dan air bawah tanah adalah sumber

kehidupan dan mengandung nilai sosio-kultural yang tinggi bagi masyarakat Papua.

Fakta yang terjadi di lapangan, PT Freeport Indonesia melakukan penjajahan dan

penjarahan secara ugal-ugalan atas sumber daya alam yang kita miliki tanpa

memperhatikan kelestarian lingkungan (Alam, 2011; M. Zen dan Widiyanto, 2006).

Penambangan terbuka yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia di puncak Grastberg

menghasilkan batuan limbah dan tailing hingga 700 ribu ton. Limbah tailing dan batuan

itu dapat menenggelamkan wilayah seluas 200 km2 atau seluas Kota Bandung (Paripurno,

dkk, 2010: 3). Tanah yang telah digaruk oleh PT Freeport Indonesia otomatis akan

meninggalkan lubang yang dalam dan luas. Batubara mencatat bahwa pertambangan

terbuka di Erstberg menyisakan lubang sedalam 360 meter dan lubang tambang Grasberg

telah mencapai diameter 2,4 kilometer dengan kedalaman 800 meter

(www.eramuslim.com). Akibatnya, daerah sekitar penambangan rawan terhadap tanah

longsor dan banjir. Hal ini selain merusak lingkungan dan ekosistem hutan, juga

membahayakan para pekerja di lokasi tambang.

Eksploitasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia jelas menimbulkan efek merusak

(destroy) yang luar biasa terhadap lingkungan. Menurut perhitungan Greenomics

Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp67

triliun. Biaya ini tidak sebanding dengan klaim yang dikeluarkan oleh PT Freeport

Indonesia bahwa pemerintah pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar

atau Rp36 triliun (Mafri dalam www.stofest.org). Selain itu, kerusakan lingkungan yang

disebabkan oleh PT Freeport Indonesia tentu tidak bisa dibenarkan secara hukum. Terkait

dengan masalah kerusakan lingkungan ini, setidak-tidaknya ada beberapa aturan yang

diterabas oleh PT Freeport Indonesia, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU

No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang.

Page 14: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

Isu Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dimulai ketika masuk

pertama kali di tanah Papua pada tahun 1971 dan membuka pertambangan Erstberg. PT

Freeport Indonesia memindahkan suku Amugme dari wilayah mereka, ke kaki

pegunungan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Eksistensi kehidupan

suku asli Papua pun terganggu. Sejak ditandatanganinya Kontrak Karya I, alur hidup suku

Amugme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut

(Batubara dalam www.eramuslim.com). Bagi suku asli Papua, tanah selain merupakan

aset ekonomi, juga memiliki nilai sosial, budaya dan adat yang sangat dipatuhi dan

dijunjung tinggi. Namun, tidak banyak sumber yang memberikan informasi, apakah

mereka dipindahkan secara layak, apakah tanah adat mereka diganti secara adil dan

beradab.

Di samping itu, PT Freeport Indonesia juga menyewa jasa pengamanan dari TNI dan Polri

untuk mendukung pengamanan yang dilakukan oleh pengamanan swakarsa

(pamswakarsa). PT Freeport Indonesia mengeluarkan uang untuk membiayai jasa

pengamanan militer dan polisi US$ 66 juta, sampai akhir tahun 2005. Uang sebanyak itu

dikeluarkan untuk membayar barang dan jasa, berupa barak, angkutan, makanan dan

honor aparat keamanan (Human Rights Watch, 2006: 55). Koran The New York Times juga

pernah merilis laporannya bahwa PT Freeport Indonesia mengeluarkan uang sebesar US$

20 juta untuk membayar jasa pengamanan fasilitas tambang sejak tahun 1999-2005. Dana

itu digunakan untuk menyediakan kendaraan, bahan bakar dan konsumsi untuk aparat

keamanan (www.nytimes.com). Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan

dengan tugas dan fungsi aparat negara sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004

tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Penggunaan aparat keamanan untuk menjaga daerah operasi PT Freeport Indonesia,

menjadi pemicu bagi terjadinya kasus pelanggaran HAM di wilayah operasi

pertambangan. Aparat dengan sistem persenjataan yang dimilikinya menggunakan

amunisinya untuk menembaki masyarakat setempat yang dianggap membahayakan PT

Freeport Indonesia. Terkait dengan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat

keamanan dulu dan kini, ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat dan

bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Namun, kasus-kasus pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh PT Freeport Indonesia tidak pernah diusut secara serius (Batubara dalam

www.eramuslim.com).

Page 15: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

Isu Konflik Sosial

Dari sisi historis, pascapenentuan pendapat rakyat (1969), sebenarnya tidak semua

masyarakat Papua memilih berintegrasi dengan Indonesia. Mereka kemudian

mengorganisir gerakan dan mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini

awalnya hanya menuntut keadilan kepada pemerintah pusat agar pembangunan

dilakukan secara merata dan adil di tanah Papua. Masyarakat Papua merasa memiliki

sumber daya alam yang melimpah, tetapi mereka tidak merasa menikmatinya. Dalam

perkembangannya, mereka menuntut untuk merdeka atau lepas dari Indonesia.

Pemerintah melakukan langkah persuasif dengan memberikan Otonomi Khusus kepada

Provinsi Papua. Namun, kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat Papua

tetap miskin dan terbelakang sehingga OPM terus melawan dan memberontak.

Ditambah dengan kerakusan PT Freeport Indonesia yang setiap hari terus mengeruk

kekayaan tambang di Papua, tanpa memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat

setempat, mengakibatkan konflik semakin tajam. Situasi ini tentu menyebabkan

tumbuhnya benih-benih konflik di Papua. Sudah banyak kajian yang mengungkapkan

bahwa kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua menghadirkan konflik sosial di tengah-

tengah masyarakat Papua (Ngadisah, 2003; Leith, 2003). Kondisi ini jelas mengancam

keutuhan NKRI. Oleh karena itu, kita harus segera mengambil langkah strategis dengan

menasionalisasi PT Freeport Indonesia dan mengelolanya untuk kemakmuran masyarakat

Papua dan seluruh rakyat Indonesia.

KESIMPULAN

Rezim UU Pertambangan yang kita miliki sangat pro asing. Akibatnya, kehadiran PT

Freeport Indonesia tidak memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi kemakmuran

rakyat Papua dan Indonesia. PT Freeport Indonesia merupakan bagian dari sistem

kapitalis dunia (PT Freeport McMoran) yang mengeksploitasi emas dan tembaga secara

tidak beradab. Hal ini menimbulkan kerugian secara ekonomi dan non-ekonomi kepada

Indonesia. Sudah saatnya kita berhenti dijajah oleh kekuatan kapital asing. Inilah saatnya

mengembalikan kedaulatan ekonomi kita. Oleh karena itu, langkah yang harus ditempuh

seharusnya bukan renegosiasi kontrak karya, tetapi nasionalisasi PT Freeport Indonesia.

Renegosiasi kontrak karya hanya akan memperlama masa penjarahan yang dilakukan oleh

PT Freeport Indonesia.

Page 16: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

Kita tidak perlu patuh dan takut dengan kontrak karya karena, baik konstitusi maupun

aturan di bawahnya (UU dan PP) memberikan garansi untuk menguasai dan mengelola

kekayaan tambang secara mandiri. Kita harus percaya diri bahwa kita memiliki kapasitas

untuk mengelola tambang emas dan tembaga di tanah Papua. Sudah saatnya kita keluar

dari jeratan kapitalis asing dan berhenti jadi bangsa jongos. Apabila rezim tidak berani

menasionalisasi PT Freeport Indonesia, tunggulah suatu saat akan tiba masa dimana anak

cucu kita mengutuk kita karena tempat hidupnya rusak dan sumber daya alam yang

tersedia sudah punah.

Page 17: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Wawan Tunggul. 2011. Freeport Papua, Blok Cepu, Gas Alam Arun: C'mon Mister,Please Keruklah Hasil Bumi Indonesia. Jakarta: Ufuk.

Amin, Samir. 1974. “Accumulation and Development: A Theoretical Model”. Review ofAfrican Political Economy 1: 9-26.

Anonim. 2012. “Freeport Merasa Kebal: Ogah Jual Saham ke Indonesia”. Meteor Jogja 13Maret.

Dos Santos, Theotonio dan Laura Randall. 1998. “The Theoretical Foundations of theCardoso Government: A New Stage of the Dependency-Theory Debate”. LatinAmerican Perspectives 25(1): 53-70.

Galtung, Johan. 1971. “A Structural Theory of Imperialism”. Journal of Peace Research 8(2):81-117.

Human Rights Watch. 2006. “Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos KegiatanEkonomi Pihak Militer di Indonesia”. Human Right Watch 18(5C).

Leith, Denise. 2003. The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Hawai’i:University of Hawai’i Press.

M. Zen, A. Patra dan Adi Widiyanto. 2006. Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas danTembaga Raksasa Menjajah Indonesia. Jakarta: Jatam-Walhi.

Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta:Pustaka Raja.

Paripurno, Eko Teguh, dkk. 2010. Datang, Gali dan Pergi: Potret Penutupan Tambang diIndonesia (Cetakan Ketiga). Malang: Jatam dan In-Trans.

PT Freeport McMoran Copper and Gold Inc. 2010. Annual Report. Arizona: PT FreeportMcMoran Copper and Gold Inc.

Salamudin. 2011. Penjajahan dari Lubang Tambang: Temali Modal Asing, Utang danPengerukan Kekayaan Tambang di Indonesia (Cetakan Kedua). Malang: Jatam danIn-Trans.

Wallerstein, Immanuel. 1974. “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System:Concepts for Comparative Analysis”. Comparative Studies in Society and History16(4): 387-415.

Sumber dari Internet

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/02/07/kurtubi-%E2%80%9Ckontrak-karya-pertambangan-umum-kelanjutan-model-konsesi-zaman-kolonial%E2%80%9D/diunduh tanggal 14 Maret 2012.

Page 18: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia

http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-kelam-tambang-freeport-1.htm. diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://www.fcx.com/operations/grascomplx.htm diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://www.nytimes.com/2005/12/30/international/asia/30indo.html?scp=4&sq=freeport+indonesia&st=nyt diunduh tanggal 21 Maret 2012.

http://www.ptfi.com/manfaat_ekonomi.asp diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://wartapedia.com/dunia/dunia/6690-hugo-chaves-mulai-gerakan-nasionalisasi-aset-perminyakan.html diunduh tanggal14 Maret 2012.

http://www.presidenku.com/?p=98 diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://www.stofest.org diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://dunia.vivanews.com/news/read/241469-venezuela-ambi-alih-tambang-emas-dari-mafia diunduh tanggal 14 Maret 2012.