nanok fitriyadi (105020207111030)

Upload: nanok-fitriadi

Post on 29-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010 - 2012

DisusunOleh :NANOK FITRIYADI105020207111030

SEMINAR PROPOSALDosen Pengasuh : Dr. Sumiati, SE, MSi.

BIDANG MANAJEMEN KEUANGAN JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS BRAWIJAYA2013

DAFTAR ISI

Daftar IsiiiKata Pengantari

BAB I : PENDAHULUAN1.1 LatarBelakang11.2 BatasanPenelitian41.3 RumusanMasalah51.4 TujuanPenelitian51.5 ManfaatPenelitian6

BAB II :KAJIAN PUSTAKA2.1Otonomi Daerah72.1.1 Pengertian Otonomi Daerah72.1.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah82.1.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru92.1.4 Pelaksanaan Otonomi Daerah Setelah Masa Orde Baru112.1.5 Gambaran Pengelolaan Keuangan Era Sebelum Otonomi Daerah152.1.6 Gambaran Pengelolaan Keuangan Era Setelah Otonomi Daerah172.2 Parameter Kinerja Keuangan Daerah212.3 Kinerja Keuangan Daerah252.3.1 Pengukuran Kinerja262.3.2 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah262.3.3 Tolok Ukur Kinerja keuangan272.4 Kerangka Berfikir282.5 Hipotesis282.6 Kajian Peneliti Terdahulu29

BAB III : METODE PENELITIAN3.1 PendekatanPenelitian303.2 Metode Pengumpulan Data313.2.1 Jenis Data313.2.2 Sumber Data313.2.3 TeknikPengumpulan Data313.3 Populasi333.4 Variabel Penelitian333.5 MetodeAnalisis Data34

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayat-Nya saya dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010 2012 Tujuan penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk penulisan skripsi yang nantinya akan diteruskan dalam penulisa skripsi guna memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.Dalampenulisanlaporan-laporan ini penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:1. Ibu Prof, Dr. Sumiati P.,SE, M.Si, selaku dosen mata kuliah Seminar Proposal Manajemen Keuangan. Terima kasih atas segala waktu, kesabaran serta ilmu yang diberikan kepada penulis.2. Bapak Dr. FathurRohman, SE, Msi selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya3. Kedua orang tua saya yang selalu mendukung saya.4. Semua pihak yang telah membantu terselesainya proposal skripsi ini.Penulis menyadari bahwa penulisan proposal skripsi ini jauh dari kata sempurna, untuk itulah penulis mengharapkan saran serta masukan yang bersifat membangun guna kesempurnaan karya tulis berikutnya.Semikian proposal skripsi ini, semoga berjuta manfaat bagi semua pihak.Malang, 8 April 2013Penulis

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangEra globalisasi saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh seluruh masyarakat dunia. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat di dunia memiliki kewajiban untuk secara terus menerus berpartisipasi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang sejalan dengan prinsip demokrasi, penghindaran dari salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politikal dan administratif. Kepemerintahan yang baik setidaknya ditandai dengan tiga elemen yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Partisipasi maksudnya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Sedangkan akuntabilitas adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

Untuk mewujudkan good governance diperlukan perubahan paradigma pemerintahan yang mendasar dari sistem lama yang sentralistis, ketika pemerintah pusat sangat kuat dalam menentukan kebijakan. Paradigma baru tersebut menuntut suatu sistem yang mampu mengurangi ketergantungan dan bahkan menghilangkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, serta bisa memberdayakan daerah agar mampu berkompetesi baik secara regional, nasional maupun internasional. Menanggapi paradigma baru tersebut maka pemerintah memberikan otonomi kepada daerah seluasluasnya yang betujuan untuk memungkinkan daerah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri agar berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

Pada saat dimulainya otonomi daerah harapan yang muncul adalah pemerintah daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan maupun melakukan pembangunan di daerah masing-masing, karena setiap daerah diberi kebebasan untuk mengelola daerah masing-masing. Oleh karena itu daerah juga diberi kebebasan dalam hal penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan pada pemerintah daerah dapat memberikan informasi yang digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran pada periode berikutnya, penilaian prestasi kerja pemerintah serta sebagai alat pemotivasi. Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan dalam suatu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapakan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.

Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan publik dari pemerintahan pusat dalam bentuk regulasi bukanlah suatu cara yang menjamin adanya peningkatan kemampuan pembiayaan daerah dan tingkat desentralisasi fiscal serta menjamin adanya kehematan dalam pengelolaan belanja bila regulasi yang dikeluarkan tidak secara tegas dan transparan mampu mengatur seluruh aspek pengelolaan keuangan.

Otonomi diartikan pula sebagai suatu sistem di mana bagian-bagian tugas Negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ mandiri. Organ mandiri ini wajib atau berwewenang melakukan tugasnya atas inisiatif dan kebijakan sendiri. Ciri yang penting bagi organ yang di desentralisasi ialah, mempunyai sumber sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. Menurut The Liang Gie Otonomi Daerah adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah (Widodo, 2001). Satuan organisasi berikut wilayahnya disebut daerah otonom, wewenang untukmenyelenggarakan segenap kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas dan tanggung jawabnya tercakup dalam istilah pemerintahan daerah. Desentralisasi diartikan pula sebagai pemerintahan sendiri, atau hak atau pula kekuasaan untuk memerintah sendiri.

Seiring dengan reformasi dibidang keuangan negara, maka perlu dilakukanperubahan perubahan diberbagai bidang untuk mendukung agar reformasi dibidang keuangan negara dapat berjalan dengan baik. Salah satu perubahan yangsignifikan adalah perubahan dibidang akuntansi pemerintahan karena melalui proses akuntansi dihasilkan informasi keuangan yang tersedia bagi berbagai pihakuntuk digunakan sesuai dengan tujuan masing masing. Perubahan dibidang akuntansi pemerintahan yang paling diinginkan adalah adanya Standar Akuntansi Pemerintahan. Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan sesungguhnya adalah dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dimaksud dapat meningkatkan kredibilitasnya dan pada gilirannnya akan dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengolahan keuangan pemerintah daerah. Sehingga, good governance dapat tercapai.

SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintahan. Dengan demikian SAP merupakan persyaratan yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah di Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang SAP ini menjadi dasar bagi semua entitas pelaporan dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada berbagai pihak khususnya pihakpihak di luar eksekutif. Standar Akuntansi Pemerintahan berguna bagi penyusun laporan keuangan dalam menentukan informasi yang harus disajikan kepada pihak-pihak di luar organisasi. Para pengguna laporan keuangan di luar organisasi akan dapat memahami informasi yang disajikan jika disajikan dengan kriteria atau persepsi yang dipahami secara sama dengan penyusun laporan keuangan. Bagi auditor, khususnya eksternal auditor, Standar Akuntansi Pemerintahan digunakan sebagai kriteria dalam menilai informasi yang disajikan. Dengan demikian SAP menjadi pedoman untuk menyatukan persepsi antara penyusun, pengguna, dan auditor.

Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada Standar AkuntansiPemerintahan sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan good governance. Alasannya adalah terpenuhinya tiga elemen good governance yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi.. Pertama, akuntabilitas karena dengan adanya standar, pengungkapan efektivitas dan efisiensi APBN atau APBD menjadi bersifat kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, transparansi karena dengan adanya standar, BPK menjadi mudah menyingkap tempat-tempat sembunyi korupsi karena mempunyai basis baku, mantap dan komprehensif dalam tugas pemeriksaan keuangan dan audit atas laporan keuangan. Ketiga, partisipasi karena dengan adanya standar, rakyat pada tiap daerah melalui DPRD makin mampu mengendalikan keuangandaerahnya.

Kabupaten Kutai Timur, dikenal sebagai salah satu kabupaten yang memiliki pendapatan daerah yang tinggi di Indonesia. Dengan pendapatan daerah yang tinggi, otomatis maka pembangunan daerah juga akan baik namun hal ini tidak saya temukan di Kabupaten Kutai Timur ini karena banyak sekali sarana serta prasarana yang masih jauh dari baik padahal pendapatan daerah tinggi, hal ini menarik minat saya untuk menganalisis keuangan daerah Kabupaten Kutai Timur ini.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010 - 2012.

1.2 Batasan Penelitian

Agar dalam peneliin ini lebih terarah pada permasalahan yang ada, makapada skripsi ini akan diberikan batasan-batasan masalah sebagai berikut :1. Penelitian ini akan menggunakan data keuangan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur tahun 2010 2012.2. Bidang kajian dalam penelitian ini seluruhnya terkait dengan manajemen keuangan khususnya keuangan sektor publik dengan penekanan pada analisis kinerja keuangan pemerintah daerah dari tahun 2010 2012.

1.3 Rumusan Masalah

Dari penelitian ini akan diformulasikan beberapa masalah antara lain sebagaiberikut :

1) Bagaimana kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk desentralisasi fiscal selama tahun 2010 2012 ?2) Bagaimana kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk upaya fiskal antara periode 2010 2012 ?3) Bagaimana kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk kemampuan pembiayaan antara periode 2010 2012 ?4) Bagaimana kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk kinerja pengeluaran (efisiensi penggunaan anggaran) antara periode 2010 2012 ?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah dalam bentuk desentralisasi fiscal selama tahun 2010 2012.2. Menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah dalam bentuk upaya fiscal selama tahun 2010 2012.3. Menganalisis antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk kemampuan pembiayaan antara periode 2010 2012. 4. Menganalisis antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk kinerja pengeluaran (efisiensi penggunaan anggaran) antara periode 2010 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Bagi Kabupaten Kutai TimurSebagai evaluasi terhadap kinerja keuangan pemerintahan ditinjau dari dalam bentuk desentralisasi fiscal, upaya fiscal, kemampuan pembiayaan, dan kinerja pengeluaran dari tahun 2010 2012.b. Bagi Peneliti 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberi sumbangan informasi yang berhubungan dengan keuangan sektor publik. 2. Merupakan pelatihan intelektual yang diharapkan mampu menambah wawasan mengenai keuangan sektor publik. c. Bagi Ilmu Pengetahuan 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan dan bahan informasi unuk penelitian selanjutnya.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah

2.1.1Pengertian Otonomi DaerahOtonomi daerahdapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang tidak sama sekali penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu perundang-undangan.2.1.2Pelaksanaan Otonomi Daerah Di IndonesiaOtonomi daerah di Indonesiaadalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

2.1.3Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde BaruSejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini,Otonomi Daerahadalah hak, wewenang, dan kewajibanDaerahuntuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.Selanjutnya yang dimaksud denganDaerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; 2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;dan3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan. Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah. Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

2.1.4Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde BaruUpaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu :1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;2. pembentukan negara federal; atau3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain:1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi. 8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

2.1.5Gambaran Pengelolaan Keuangan Era sebelum Otonomi DaerahSejak Repelita I Tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita IV Tahun 1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama dengan bentuk dan susunan APBN hanya saja sebutan untuk pos-pos pendapatan dan belanja berbeda. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintahan pusat. Bantuan keuangan dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah. Dalam pasal 55 Undang-Undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu:1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos pedapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah;2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang terdiri dari sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Istilah subsidi daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintahan pusat terus mengalami perubahan istilah disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan. Terakhir sebelum otonomi daerah digunakan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah;3. Lain-lain penerimaan yang sah;4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah;5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi.

Dari uraian diatas, diketahui bahwa sebelum adanya Undang-Undang Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, ternyata sistem penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada konstribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi. Di sisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 5 Tahun 1975 dan Nomor 6 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 Jo. Tahun 1996 yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era sebelum otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut diatas, dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran, sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain serta pengeluaran tidak tersangka;b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik;c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang/jasa, belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap jenis belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan pengeluaran lainlain yang tidak jelas pemanfaatan dan pertanggungjawabannya seperti belanja barang lain-lain, pemeliharaan lain-lain dan perjalanan dinas lainlain;d. Masih dalam komposisi belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan Kepala Daerah masing-masing;e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat;f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan terhadap pekerjaan non fisik, sangat sulit diukur tingkat manfaat dan pencapaian sasaran serta pertanggungjawabannya seringkali tidak didukung bukti pengeluaran yang memadai.

2.1.6Gambaran Pengelolaan Keuangan Era setelah Otonomi DaerahA. Reformasi Pengelolaan Keuangan DaerahSalah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah di masa otonomi daerah dan anggaran daerah adalah:a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah pada khususnya;c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah Lainnya;d. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar;e. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain-lain yang tidak jelas akuntabilitas;f. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran diluar yang ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD;

B. Public Financing Reform

Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian besar pemerintahan provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia memperoleh sumber-sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil Pemerintahan Pusat. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama padakemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kehadiran UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya adalah momentum dimulainya pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah secara penuh (desentralisasi fiskal). Aspek kedua yaitu disisi manajemen pengeluaran daerah, sesuai azas otonomi daerah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan (Mardiasmo, 2002)Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan ini tidak hanya perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup popular misalnya adalah New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an dan populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk konsep manageralism, market based public administrator, dan lain sebagainya. Manajemen sektor publik berorientasi kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan yang membawa konsekuensi pada perubahan pendekatan anggaran yang selama ini dikenal dengan pendekatan anggaran tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan melakukan efisiensi, optimalisasi pendapatan, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering contract)

C. Struktur Keuangan Daerah

Dimulai sejak Tahun Anggaran 2001 sampai saat ini, Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah. Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud dari unsur APBD itu sama sekali. Di bidang Penerimaan Daerah, menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 34 Tahun 2000, sumber penerimaan daerah yaitu:

a. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah; b. Dana perimbangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang mencakup Pendapatan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus;c. Pinjaman Daerah dan Bagian Sisa Perhitungan APBD Tahun Lalu yang dahulu merupakan bagian komponen Penerimaan Daerah maka dalam regulasi di era otonom hal tersebut bukan merupakan bagian Penerimaan Daerah melainkan bagian dari Pembiayaan Daerah;d. Lain-lain penerimaan yang sah;e. Besarnya Dana Perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber daya alam hasil pertambangan dan hasil hutan lainnya;f. Pendapatan Asli Daerah berupa pajak pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah yang semula merupakan penerimaan daerah tingkat II maka setelah otonomi daerah, pajak ini diserahkan kembali kepada tingkat I.

Disisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui PeraturanPemerintahan Nomor 105 s.d PP Nomor 110 Tahun 2000 yang mengaturtentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah termasuk kedudukan keuangan Kepala Daerahdan DPRD. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era setelahotonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas, dapatdikemukakan sebagai berikut:1. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja operasi pemeliharaan.2. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai bahan modal;3. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang terbentuk dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan bantuan keuangan (sebelum otonomi daerah) serta pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah.4. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari Dana Perimbangan/Bagi hasil pajak dan bukan pajak.

2.2Parameter Kinerja Keuangan Daerah

a. Desentralisasi Fiscal :1) Pengaturan adanya tambahan penerimaan daerah dari PPh orang pribadi kepada Daerah lebih memperbesar peluang bertambahnya penerimaan daerah.2) Adanya kenaikan persentase dan penetapan batasan terendah atas Penerimaan Bagi Hasil Pajak yang merupakan hak Kabupaten/Kota yang dikelola Provinsi.3) Besarnya Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diterima daerah ditentukan dengan memperhatikan potensi daerah seperti PAD, PBB, dan BPHTB.b. Upaya FiscalKetegasan cakupan wilayah objek pajak yang dapat membantu pemda dalam menentukanpotensi riil penerimaan pajak dan menghindari sengketa objek pajak dengan pemda lainnya.c. Kemampuan Pembiayaan1) Undang-undang 34 Tahun 2000 mendukung eksitensi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan daerah yang bersumber dari wilayah daerah sendiri dan dipunggut di daerah sendiri.2) Pengertian wajib pajak badan dalam UU ini lebih luas dari sekedar yang diatur sebelumnya termasuk organisasi massa dan organisasi social politik akan memperbesar penggalian potensi penerimaan pajak bagi pemerintahan daerah.3) Peralihan sebagian jenis parkir dan retribusi menjadi pajak sehingga penetapan lebih jelas.4) Jasa dalam retribusi daerah merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.5) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial.6) Perizinan dalam retribusi termasuk kewenangan yang diserhakan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.d. Efisiensi Penggunaan Anggaran1) Jumlah belanja daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.2) Daerah dapat membentuk dana cadangan dan penerimaan daerah, kecuali dana alokasi khusus dan pinjaman daerah.3) Pemda dapat menempatkan dana dalam bentuk deposito sepanjang tidak menggangu likuiditas pengeluaran daerah

Kinerja keuangan pemerintahan daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indicator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pngukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsure laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD.Helfert (1991) memahami rasio keuangan sebagai instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indicator keuangan yang ditujukan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan trend pola perubahan tersebut untuk menunjukkan risiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa analisis rasio keuangan meskipun didasarkan pada data dan kondisi masa lalu tetapi dimaksudkan untuk menilai risiko dan peluang dimasa yang akan datang.Laporan keuangan merupakan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya kepada para pemilik perusahaan atas kinerja yang telah dicapainya serta merupakan laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat analisa ekonomi dan peramalan untuk masa yang akan datang.Menurut Henderson, Dale. A and W Chase, Bruce Performance Measure for NPOs (Not for Profit Organizations) dalam Journal of Accounting Januari, 2002 mengemukakan terdapat indikator pengukuran kinerja organisasi non profit antara lain:a. Customer focusedb. Balanced c. Timelyd. Cost Effectivee. Compatible and ComparableIndikator kinerja juga dikemukakan oleh Mardiasmo, 2002, bahwa sekurang-kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan pemerintahan daerah yaitu:a. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD.b. Efisiensi biayac. Efektivitas programd. Pemerataan dan keadilan.

Selain menggunakan parameter rasio keuangan pemerintahan daerah dari hasil penelitian terdahulu, analisis Kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam penelitian ini juga memakai analisa kinerja keuangan yang telah dikembangkan dan dibangun oleh Musgrave, Richard A dan B. Musgrave, Peggy dalam bukunya Public Finance in Theory and Practise. (Hadiprojo, Ekonomi Publik hal. 155) Namun dalam penerapannya, parameter disesuaikan dengan komponen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu:1. Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintahan pusat dan daerah yangdiukur dengan menggunakan dua rasio keuangan sebagai berikut:Total Pendapatan Asli Daerah = PADTotal Penerimaan Daerah TPDPendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.Total Penerimaan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran adalah:

Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak = BPHPBTotal Penerimaan Daerah TPDBagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintahan Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonomi.2. Upaya fiskal antara lain adalah:Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah merupakan target besarnya pajak daerah yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran dan ditetapkan berdasarkan kemampuan rasional yang dapat dicapai.3. Kemandirian/kemampuan pembiayaan antara lain adalah:Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) = PADTotal Belanja Rutin Non Belanja Pegawai BRNPBelanja Rutin Non Belanja Pegawai merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksnaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka serta belanja lain-lain.Total Pajak Derah (TPjD) = TPjDTotal Pendapatan Asli Daerah PADPajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.4. Efisiensi penggunaan anggaran (kinerja pengeluaran) adalah:Total Sisa Anggaran = TSATotal Belanja Daerah TBDSisa anggaran (Sisa Perhitugan Anggaran) merupakan selisih lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan pengeluaran, yaitu:Total Pengeluaran Lainnya = TPLTotal Belanja Daerah TBDPengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Total belanja daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah.2.3Kinerja Keuangan DaerahJohn Witmore dalam Rusydi (2010) menyatakan bahwa kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional.Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Adanya tuntutan pertanggungjawaban kinerja keuangan oleh masyarakat mengharuskan pemerintah daerah otonom untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kinerjanya. Penilaian kinerja tersebut harus dapat memberikan informasi yang transparan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol kinerja keuangan daerah tersebut. Untuk mewujudkan transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintah.(Tri Suparto:2007)Penilaian kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan factor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja lembaga.(Bahrul:2010)2.3.1Pengukuran KinerjaMenurut Whitaker, (1995:250) mendefinisikan pengukuran kinerja instasi pemerintah sebagai suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam rangka menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan dan misi instasi pemerintah. Sejalan dengan itu Simons (1995) menyatakan sistem pengukuran kinerja dapat membantu pengelola dalam memonitor implementasi strategi organisasi dengan cara membandingkan antara hasil/output actual dengan sasaran dan tujuan strategi. Dengan kata lain pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.Dalam membangun dan evaluasi terhadap akuntabilitas kinerja di bidang keuangan daerah, dapat menggunakan Pedoman Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang diterapkan sesuai dengan berbagai aspek dan unsur dalam bidang keuangan daerah, yang menyangkut pencapaian kinerja komponen-komponen Pendapatan Asli Daerah/PAD (khususnya padak daerah dan retribusi daerah), pendapatan daerah (Bagian Keuangan, Dispenda, dan lainnya). Dengan demikian pencapaian kinerja keuangan daerah dapat dilakukan pengukuran secara rinci dan komprehensif serta dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). (http://www.feuhamka.com/artkel22.htm)Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap laporan keuangan daerah perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam laporan keuangan daerah berbeda dengan laporan keuangan perusahaan swasta (Ihyaul Ulum, 2009).2.3.2 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus-menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. (Dora Detisa:2009)Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Menurut Widodo dalam Detisa (2009) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerahb. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerahc. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnyad. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerahe. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.2.3.3Tolok Ukur Kinerja keuanganMenurut Rahardjo (2011), Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, terutama untuk menilai kewajaran anggaran biaya suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja mencakup dua hal yaitu unsur keberhasilan yang terukur dan tingkat pencapaian setiap unsur keberhasilan. Setiap program atau kegiatan minimal mempunyai satu unsur keberhasilan dan tingkat pencapaiannya (target kinerja) yang digunakan sebagai tolok ukur kinerja. Program atau kegiatan tertentu dapat diukur berdasarkan lebih dari satu unsur ukuran keberhasilan.Menurut Warsono ( 2002:28-29 ) Untuk menentukan apakah suatu perusahaan sehat atau tidak dari sisi keuangan dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu :1. Metode Lintas Waktu ( Time Series)Metode ini merupakan metode tolok ukur analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara membandingkan suatu rasio keuangan perusahaan dari satu periode tertentu dengan periode sebelumnya.1. Metode Lintas Seksi/Industri ( Cross Section)Metode ini merupakan metode tolok ukur yang digunakan menentukan sehat tidaknya posisi keuangan perusahaan yang dilakukan dengan cara membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu dengan rasio keuangan rata-rata industrinya yang bersangkutan.

2.4Kerangka BerfikirKinerja keuangan suatu daerah dapat dilihat dari manfaat dan tujuan dari APBD itu sendiri. Dengan menganalisis kinerja keuangan daerah, hal ini dapat memunculkan informasi tentang bagaimana efekifitas serta efisiensi pemeritah daerah dalam mengolah anggaran daerah.

2.5 HipotesisBerdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan tinjauan pustaka, maka rumusan hipotesis adalah sebagai berikut : Diduga bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2010-2012 masih kurang efektif dan efisien, sehingga kinerja keuangannya menjadi buruk.

2.6Kajian Peneliti TerdahuluDalam melakukan penelitian ini penulis membandingkan dengan kajian dari peneliti terdahulu guna meyakinkan apakah teori yang dipakai dalam penelitian tersebut masih berlaku pada penelitian selanjutnya.Adapun hasil penelitian terdahulu dalam skripsi yang memiliki tema sentral yang sama yakni sebagai berikut :1. Satya Azhar (2008) : Analisis Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sumatera Utara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah.2. Silka Hartina (2009) :Analisis Penyajian Laporan Keuangan Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten Langkat.

BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang melakukan pendekatan deskriptif kuantitatif.Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah kinerja dari keuangan pemerintahan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan TimurMenurut Best (1982) Pengertian Penelitian Deskriptif.Penelitian deskriptifadalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Penelitian Deskriptif ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Denganpenelitian metode deskriptif, memungkinkan peneliti untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (west, 1982). Di samping itu,penelitian deskriptifjuga merupakan penelitian dimana pengumpulan data untuk mengetes pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.Pada umumnya tujuan utamapenelitian deskriptif adalahuntuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini metode penelitian deskriptif banyak digunakan oleh peneliti karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan penelitian dilakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia.

3.2Metode Pengumpulan Data

3.2.1 Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang mengacu pada informasi yang diperoleh dari tangan pertama oleh peneliti yang berkaitan dengan variabel minat untuk tujuan spesifik, adapun jenis data primer dalam penelitian ini adalah data dari keuangan pemerintahan Kabupaten Kutai Timur yang terdapat di Kantor Bupati Kabupaten Kutai TimurData sekunder sendiri diperoleh dari data-data yang sudah ada dan ditambah dari karyawan-karyawan dinas setempat.

3.2.2 Sumber DataSumber data penelitian ini dibagi menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari dokumentasi, literature, jurnal penelitian yang berkaitan serta dari internet. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur.

3.2.3 Teknik Pengumpulan DataUntuk mendapatkan dan memperoleh data yang lengkap dan akurat, peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data yang menunjang, yaitu :1. Wawancara Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakankomunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog ( Tanyajawab ) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung ( I. Djumhur dan Muh.Surya,1985 ).Wawancara adalah salah satu metode untuk mendapatkan data anak atau orangtua dengan mengadakan hubungan secara langsung dengan informan/face to face relation ( Bimo Walgito, 1987 ).Wawancara adalah alat untuk memperoleh data atau fakta atau informasi dariseorang murid secara lisan ( Dewa KtutSukardi, 1983 ).Wawancara informatif adalah suatu alat untuk memperolehfakta/data informasidari murid secara lisan . Dengan tujuan mendapatkan data yang diperlukan untukbimbingan ( WS. Winkel, 1995 ).Untuk memperoleh data yang menunjang, peneliti melakukan wawancara dengan informan kunci yang mampu menjelaskan dan memberikan data-data yang diperlukan terkait dengan objek penelitian. Pemberi informasi sendiri adalah sekertaris bidang pendanaan daerah maupun pengurus-pengurus dinas yang terkait dalam objek yang diteliti.2. ObservasiObservasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling tua di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti melihat dan memperhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).Untuk melihat bagaimana hasil dari kinerja keuangan daerah Kabupaten Kutai Timur, saya melakukan observasi dengan melihat bagaimana sturktur hingga infrastruktur pembangunan yang ada di Kabupaten Kutai Timur.3. Dokumentasi Disamping melalui wawancara dan observasi, pengumpulan data juga diperoleh melalui dokumentasi. Data tersebut berupa dokumen dokumen lain yang masih memiliki nilai relevansi dengan objek yang diteliti.Dokumentasi diperoleh dari laporan keuangan yang sudah disusun oleh dinas Kabupaten Kutai Timur.

3.3 PopulasiPopulasi menurut Suharsimi (2006:130) merupakan keseluruhan subjek penelitian. Definisi populasi secara lebih rinci yaitu adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemusdian ditari kesimpulan (Sugiyono,2007:61)Penelitian ini dilakukan di Kantor Bupati Kabupaten Kutai Timur yang berlokasi di kawasan perkantoran Bukit Pelangi Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Populasi yang digunakan adalah laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2010 2012.

3.4 Variabel PenelitianPengertian Variabel penelitian menurut Sugiyono dalam Husein Umar (2002:128) menyatakan baha variable didalam penelitian merupakan suatu atribut dari sekelompok objek yang diteliti, mempunyai variasi antara satu dengan lainnya dalam kelompok tersebut. Suharsimi (2006:118) mengungkapkan bahwa variabel penelitian merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. 1. Desentralisasi Fiskal : Ukuran yang menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola pendapatan.PAD BHPBP SUMTPD TPD TPD2. Upaya Fiskal : Ukuran yang menunjukkan tingkat kemampuan daerah dalam mencapai target pendapatan asli daerah. PADTAPAD3. Tingkat Kemandirian Pembiayaan : Ukuran yang menunjukkan seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerahnya.PAD PAD PAD + BHPBPTKD KR TKD4. Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran Ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah dalam membangun daerahnya.TSA TPLTBD TBDKeterangan:a. PAD : Total Pendapatan Asli Daerahb. TPD : Total Penerimaan Daerahc. BHPBP : Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajakd. SUM : Sumbangan Dari Pemerintahan Pusate. TAPAD : Total Anggaran Pendapatan Asli Daerahf. TKD : Total Pengeluaran Daerahg. KR : Pengeluaran Rutinh. TSA : Total Sisa Anggarani. TBD : Total Belanja Daerahj. TPL : Total Pengeluaran Lainnya

3.5 Metode Analisis DataAnalisis data dengan menghitung berapa besar derajat desentralisasi fiscal, upaya fiscal, kemandirian/kemampuan pembiayaan dan efisiensi penggunaan anggaran dan dapat menarik kesimpulan tentang kinerja keuangan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2010 2012.

DAFTAR PUSTAKAHenderson, Dale A, Performance Measure for Non Profit Organizations,Accounting Journal, January 2002.

Hariyadi, Bambang, Analisis Fiskal Stress Terhadap Kinerja KeuanganPemerintahan Daerah, Simposium Nasional Akuntansi, 2002.

Lesmana, Rico, Financial Performance Analyzing : Pedoman Menilai KinerjaKeuangan Untuk Perusahaan Tbk, Yayasan, BUMN, BUMD danOrganisasi Lainnya, Penerbit Elex Media Komputindo, 2003.

Widodo, Joko, Akuntansi Sektor Publik, Edisi Pertama, Penerbit BPFE Yogyakarta,2001.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah : Good Governance,Democratization, Local Government Financial Management, EdisiBahasa Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, April 2002.

Mafruhah, Izzah, Kesiapan Daerah Tingkat II di Provinsi Kalimantan Timur dalam Menghadapi Implementasi UU No.25 Tahun 1999, Thesis PascaSarjana Universitas Gadjah Mada, 2000.

Mc Andrew, Collin, Ichlasul Amal, Hubungan Pusat Daerah Dalam Pembangunan, Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Keempat, PenerbitPT.Radja Grafindo Persada Indonesia, Februari 2003.

Reksohadiprojo, Sukanto, Ekonomi Publik, Edisi Pertama, Penerbit BPFEYogyakarta, Desember 1999.

Tangkilisan, Hesel Nogi S, Manajemen Modern untuk Sektor Publik : Strategic Management, Total Quality Management, Balance Score Card and Scenario Planning, Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, PenerbitBalairung & Co,Yogyakarta, September 2003.

Wasistiono, Sadu M, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, (EdisiRevisi), Cetakan Ketiga, Pusat Kajian Pemerintahan STPDN, PenerbitFokus Media,Maret 2003.

Badan Pemeriksa Keuangan, Kumpulan Hasil Pemeriksaan Tahunan LaporanKeuangan Daerah dan Perhitungan APBD, (1997 2003)Badan Analisa Keuangan dan Moneter, Kumpulan Peraturan Otonomi Daerah,2000.Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Laporan Keuangan Daerah Historis, 2004.