nanda najih_the 2nd winner bio compact research unesa jawa bali_sma datul ulum 2 jimbang

74
1 POTENSI ENZIM KITINASE EKSTRASELULER BAKTERI Serratia marcescens DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LIMBAH UDANG DAN APLIKASINYA SEBAGAI PAKAN TERNAK UNGGAS Karya Ilmiah Remaja Disusun untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja tingkat SMA se-Jawa Timur dan Bali Oleh : NANDA NAJIH HABIBIL AFIF 094790 SMA DARUL ULUM 2 UNGGULAN BPPT RSBI JOMBANG

Upload: nanda-najih-habibil-afif

Post on 27-Jul-2015

332 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

PEMENANG RESEARCH COMPETITION SE JAWA BALI_SMA DARUL ULUM 2 JOMBANG

TRANSCRIPT

1 POTENSI ENZIM KITINASE EKSTRASELULER BAKTERI Serratia marcescens DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LIMBAH UDANG DAN APLIKASINYA SEBAGAI PAKAN TERNAK UNGGAS Karya Ilmiah Remaja Disusun untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja tingkat SMA se-Jawa Timur dan Bali

Oleh : NANDA NAJIH HABIBIL AFIF 094790

SMA DARUL ULUM 2 UNGGULAN BPPT RSBI JOMBANG 2010

LEMBAR PENGESAHAN

2 Karya ilmiah ini diterima dan disahkan oleh kepala sekolah SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang guna mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat SMA /sederajat se-Jawa timur-Bali yang diadakan oleh Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Negeri Surabaya. Nama Nomor Induk Kelas Judul Karya Ilmiah : Nanda Najih Habibil Afif : 094790 : XI IPA 3 : Potensi Enzim Kitinase Ekstraseluler Bakteri Serratia marcescens dalam Meningkatkan Kualitas Limbah Udang dan Aplikasinya Sebagai Pakan Ternak Unggas Jombang, 25 September 2010 Guru Pembimbing

MUHAMMAD ALI MASHUR, S. Si Kepala Sekolah,

KASERI, S.Pd NIP. 19740518 200312 1 006

ABSTRAK Afif, Nanda Najih Habibil. 2010. Potensi Enzim Kitinase Ekstraseluler Bakteri Serratia marcescens Dalam Meningkatkan Kualitas Limbah Udang dan

3 Aplikasinya Sebagai Pakan Ternak Unggas. Pembimbing: Muhammd Ali Mashur, S.Si Limbah udang merupakan sisa pengolahan udang yang terdiri dari kulit, alat pencernaan dan ekor. Hasil kalkulasi jumlah limbah di Indonesia hingga tahun 2009 sebesar 175.000 ton dan terdapat 92.225 ton protein yang terkandung. Hal ini sangat berpotensi dijadikan sebagai sumber protein pakan unggas. Telah dilakukan pengolahan limbah udang menjadi tepung sebagai pakan ternak unggas, namun penerapannya terbatas. Ini dikarenakan protein limbah udang terikat senyawa kitin dan garam CaCO3. Kitin merupakan polimer rantai panjang N-Asetil, D-glukosamina dengan ikatan 1,4 glikosidik yang sulit dicerna unggas. Ikatan ini dapat putus dengan enzim kitinase. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan enzim kitinase ekstraseluler dari alam. Bakteri Serratia marcescens merupakan penghasil enzim kitosanase dan kitinase ekstraseluler yang mudah diekstraksi karena digunakan untuk menghidrolisis lingkungan. Penelitian ini terfokus pada dua rumusan masalah; 1) Apakah enzim kitinase ekstraseluler Serratia marcescens dapat meningkatkan kualitas limbah udang sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas? 2) Bagaimana proses ektraksi enzim kitinase ekstraseluler Serratia marcescens? Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kualitas limbah udang yang memiliki protein tinggi sebagai pakan ternak unggas dan mengetahui proses ekstraksi dan penggunaan enzim kitinase ekstraseluler Serratia marcescens dalam meningkatkan kualitas limbah udang. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pendekatan post test-only control group design. Perlakuan meliputi ekstraksi enzim kitinase ektraseluler, hidrolisis kitin limbah udang, dan analisa nutrisi limbah udang setelah perlakuan. Hasil yang diperoleh bahwa enzim kitinase ekstraseluler Serratia marcescens dengan aktivitas 4,017 unit/100 gram, hidrolisis 24 jam dan ukuran partikel substrat 1,50 mm memberikan pengaruh signifikan. Kitin turun dari 18,70 % menjadi 7,28 %. Serat kasar dari 26,89 % menjadi 20,35 %. Protein kasar meningkat dari 24,03 % menjadi 30,30 %. Retensi nitrogen meningkat dari 28,80 % menjadi 55,59 %. Kandungan MEn meningkat dari 568,43 kal/gram menjadi 1020,98 kal/gram. Berdasarkan hasil perlakuan, limbah udang dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas. Kata kunci: udang, enzim, unggas

KATA PENGANTAR

4 Puji syukur kehadirat Allah atas rahmat, taufik dan hidyah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Potensi Enzim Kitinase Ekstraseluler Bakteri Serratia marcescens dalam Meningkatkan Kualitas Limbah Udang dan Aplikasinya Sebagai Pakan Ternak Unggas untuk mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat SMA /sederajat se-Jawa timur-Bali yang diadakan oleh Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Negeri Surabaya 2010. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu terselesainya karya ilmiah ini, terutama:1.

Kaseri, S.Pd, selaku kepala sekolah SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang. Muhammad Ali Mashur, S.Si, selaku pembina dalam penulisan karya ilmiah Ayah, Ibu dan kakak yang telah banyak memberikan dukungan moril, materiil dan spirituil. Teman-teman yang telah mendukung penulis dalam melakukan penulisan karya ilmiah. Dalam hal ini Penulis menyadari penyusunan karya ilmiah ini masih jauh

2. 3.

4.

dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak Penulis butuhkan dalam penulisan karya tulis ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jombang, 25 September 2010

Penulis

DAFTRAR ISI Halaman Judul ...................................................................................................... i Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii

5 Abstrak ................................................................................................................. iii Kata Pengantar ..................................................................................................... iv Daftar Isi ............................................................................................................... v Daftar Tabel ..........................................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang...................................................................................... 11.2 1.3 1.4 1.5

Rumusan Masalah................................................................................. 3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 3 Batasan Masalah................................................................................... 3 Manfaat Penelitian................................................................................ 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 52.1 Potensi Limbah Udang.......................................................................... 5 2.2 Unggas ................................................................................................. 6

2.2.1 Sistem Pencernaan Unggas................................................................. 6 2.3 Bakteri Serratia marcescens................................................................. 7 2.3.1 Aktivitas Biokimia.............................................................................. 7 2.3.2 Mekanisme Kerja Bakteri Serratia marcescens.................................. 8 2.4 Enzim.................................................................................................... 8 2.4.1Penggunaan Enzim Dalam Peternakan................................................ 9 2.5 Energi Metabolis................................................................................... 9 2.6 Retensi Nitrogen................................................................................... 10 2.7 Hipotesis................................................................................................ 11 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 11 3.1 Jenis Penelitian...................................................................................... 11 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 11 3.3 Rancangan Penelitian............................................................................ 11 3.3.1 Penelitian Tahap I............................................................................... 11 3.3.2 Penelitian Tahap II.............................................................................. 14 3.3.3 Penelitian Tahap III............................................................................. 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 17 4.1 Hasil Penelitian Tahap I........................................................................ 17

6 4.1.1 Pengaruh Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Hidrolisis Terhadap Kandungan Kitin Limbah Udang......................... 17 4.1.2 Pengaruh Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Hidrolisis Terhadap Gula Pereduksi..................................................... 19 4.1.3 Pengaruh Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Hidrolisis Terhadap Protein Terlarut.................................................... 21 4.2 Hasil Penelitian Tahap II....................................................................... 23 4.3 Hasil Penelitian Tahap III..................................................................... 28 4.3.1 Kadar Air dan Bahan Kering.............................................................. 29 4.3.2 Serat Kasar, Kitin dan Gula Pereduksi................................................ 30 4.3.3 Protein Kasar dan Protein Terlarut...................................................... 31 4.3.4 Lemak Kasar....................................................................................... 31 4.3.5 Abu, Ca dan P..................................................................................... 32 4.3.6 Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)............................................. 32 4.3.7 Retensi Nitrogen Limbah Udang........................................................ 33 4.3.8 Energi Metabolisme Dikoreksi Retensi Nitrogen (MEn) Limbah Udang Sebelum dan Sesudah Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase................... 34 BAB V PENUTUP............................................................................................... 16 5.1 Simpulan............................................................................................... 36 5.2 Saran...................................................................................................... 36 Daftar Pustaka ...................................................................................................... viii Lampiran I............................................................................................................. x Lampiran II............................................................................................................ xiii

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Analisa kandungan nutrisi pada limbah udang .....................................5 Tabel 2.2 Organ pencernaan unggas dan enzim tersekresi....................................6

7 Tabel 4.1 Rataan kandungan kitin (%) limbah udang produk hidrolisis masingmasing perlakuan enzim kitinase ekstraseluler.....................................................17 Tabel 4.2 Rataan kandungan gula pereduksi ( g/ml) limbah udang produk hidrolisis masing-masing perlakuan enzim...........................................................20 Tabel 4.3 Rataan kandungan protein terlarut ( g/ml) limbah udang produk hidrolisis masing-masing perlakuan enzim ...........................................................21 Tabel 4.4 Rataan kandungan kitin (%), gula pereduksi ( g/ml) dan protein terlarut ( g/ml) limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler dari masing-masing perlakuan...................................................................................... 23 Tabel 4.5 Kandungan gizi limbah udang sebelum dan sesudah hidrolisis enzim kasar kitinase ekstraseluler dari bakteri Serratia marcescens...............................28 Tabel 4.6 Retensi nitrogen limbah udang (%) pada ayam broiler.........................29 Tabel 4.7 Energi Termetabolisme (MEn) Limbah Udang Sebelum dan Sesudah Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase Ekstraseluler (kal/g).......................................29

DAFTAR PUSTAKA Animal Feed Resources Information System. 2000. Shrimp Waste. http://www.fao.org/ag/AGA/AGAP/FRG/afris/Data/735.htm

8 Armenta, R.E., Legaretta, G., and Lall, S. 2002. Amino Acid Composition of A Carotenoprotein Obtained From Fermented and Non Fermented Shrimp Waste. Annual Meeting and Food Expo-Anaheim, Session 15 C, food Chemistry: Food Composition and Analysis, California. Association of Official Analytical Chemist. 1975. Methods of Analysis. 12th Ed. Washington. D.C. Corzo, A., Fritts C.A., Kidd, M.T and Kerr, B.J. 2005. Response of Broiler Chicks to Essensial and Non-Essensial Amino Acid Supplementation of Low Crude Protein Diet. Animal Feed Science Technology 118: 319-327. Fanimo, A.O., Oduguwa, B.O., Oduguwa, O.O., Ajas, O.Y, and Jegede. O. 2004. Feeding Value of Shrimp Meal for Growing Pig. http://www.uco.es/organiza Flach, J., Pilet, P-E, and Jolles,P. 1992. What`s New in Chitinase Research?. Experimentia 48:701-716. Gernat, A. G. 2001. The effect of Using Different Level of Shrimp Meal in Laying Hen Diet. Research Rotes. Poultry Science 80:633-636. Gustav, V.K., Svein, J.H., Aalten, D.M.F.V., Synstad, B and Eijsink, V.G.H. 2005. The Non-Catalytic Chitin-Binding Protein CBP21 from Serratia marcescens is Essential for Chitin Degradation. Having a Unique Mode of Action from Aspergillus Fumigatus YJ-407. Hong, K. N., Mayers, S.P, and Lee, K.S. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste. Journal of agricultural and food Lowry, O.H., Rosebrough, H.P.J., Farr, A.L, and Randall, R.J. 1951. Protein Measurement with the Valin Phenol Reagent. J. Biochem.193:256-275. Mirzah, 1990. Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung Limbah Udang yang Diolah dan Tanpa Diolah Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Pedaging. Tesis Pascasarjana Univesitas Pajajaran, Bandung. Mirzah, 1997. Pengaruh Pengolahan Tepung Limbah Udang Dengan Uap Panas Terhadap Kualitas dan Pemanfaatannya Dalam Ransum Ayam Broiler. Disertasi Pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Murray, R. K., Granner, D.K., Mayes, P. A., Rodwell, V. W. 1995. Biokimia. Harper, Edisi ke 22.

9 Okoye, F.C., Ojewola, G.S., Njoku-Onu, K. 2005. Evaluation of Shrimp Waste Meal as a Probable Animal Protein Source for Broiler Chicken. International Journal of Poultry science 458-461. Park, J. K., Morita, K., Fukumoto, I., Yamasaki, Y., Nakagawa, T., Kawamukai, M, and. Matsuda, H. 1997. Purification and Characterization of The Chitinase (ChiA) from Enterobacter sp G1. Biosci. Biotechnol.Biochem., 61: 684-689. Sibbald, I.R. 1976. A Bioassay for True Metabolizable Energy in Feedingstuff. Poultry Science 55:303-38. Steel, R.G..D, and Torrie, T.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama Sudarmaji., S, Bambang. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Kepustakaan Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi IPB Wahyu, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Watkins, B.E and Oldfield, J.E. 1982. Evaluation of Shrimp and King Crab Processing by Product as Supplement of Mink. J. Anim. Sci. 55 (3): 578-580. Surat Laboratorium Hasil Percobaan Penulis

10

11

LAMPIRAN II Bakteri Serratia marcescens

12

Kitin

13 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Limbah udang merupakan sisa dari pengolahan udang yang terdiri dari kulit bagian kepala, alat pencernaan, kulit bagian badan, dan ekor udang. Ekspor udang Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 jumlah udang yang diekspor adalah 162.221 ton, tahun 2000 sebesar 220.520 ton, tahun 2006 mencapai 240.000 ton dan pada tahun 2009 meningkat hingga 250.000 ton (BPS, 2009). Perolehan limbah dari tubuh udang segar berkisar antara 35 % - 70 %. Hasil kalkulasi jumlah limbah dari industri udang di Indonesia hingga tahun 2009 adalah sebesar 175.000 ton. Limbah udang menurut beberapa peneliti mengandung protein kasar 39,45 % - 52,70 %. Bila dihitung kandungan protein yang terdapat pada limbah udang ekspor Indonesia pada tahun 2006 sebesar 92.225 ton. Protein limbah udang yang berlimpah sangat berpotensi dijadikan sebagai sumber protein pakan unggas (Okoye et al, 2009). Pemanfaatan limbah udang yang diolah menjadi tepung sebagai pakan ternak telah dilakukan di Indonesia, namun penerapannya terbatas. Hal tersebut dikarenakan protein limbah udang terikat dalam bentuk senyawa komplek antara protein-kitin dan garam CaCO3. Kitin merupakan karbohidrat struktural yang disusun oleh polimer rantai panjang N-Asetil, D-glukosamina dengan ikatan 1,4 glikosidik yang banyak ditemukan pada kulit udang dan sulit dicerna oleh ternak unggas karena ikatannya sangat kuat. Ikatan ini mampu terputus dengan bantuan enzim yang spesifik yaitu kitinase (Carroad dan Tom, 1978). Enzim kitinase mengkatalisir dan menghidrolisis struktur ikatan 1,4 glikosidik homopolimer N-Asetil, D-glukosamina kitin dan terurai menjadi senyawa sederhananya (N-Asetil, D-glukosamina). Saluran pencernaan unggas tidak menghasilkan enzim kitinase untuk mencerna kitin ternak unggas, sehingga protein yang terdapat pada limbah udang tidak dapat dicerna dan dimanfaatkan secara maksimal.

1

14 Dekomposisi kitin limbah udang telah dilakukan melalui metode fisika, kimia dan biologi. Metode fisika memperlakukan limbah udang dengan tekanan uap panas. Metode kimia melalui perendaman dengan larutan asam /basa. Metode biologi menggunakan jasa bakteri, jamur dan kapang. Pengolahan melalui metode biologi banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena dinilai paling mudah dan murah. Dekomposisi kitin limbah udang dengan memanfaatkan jamur dan kapang memiliki beberapa kelemahan, yaitu memerlukan waktu yang lama (di atas tujuh hari), meningkatkan kandungan serat kasar produk akibat pertumbuhan miselium dan menurunkan daya cerna pakan. Fermentasi menggunakan bakteri sebagai inokulum juga menimbulkan masalah karena tubuh bakteri mengandung asam nukleat. Meningkatnya populasi bakteri selama proses fermentasi akan meningkatkan jumlah asam nukleat. Nitrogen yang berasal dari asam nukleat terhitung sebagai protein kasar pada analisis proksimat. Kemampuan unggas mencerna protein yang berasal dari asam nukleat terbatas dan hanya sebagian kecil yang dapat dimanfaatkan karena saluran pencernaannya tidak menghasilkan enzim nuklease untuk mencerna asam nukleat. Selain itu dinding sel bakteri juga mengandung kitin sehingga akan mempersulit proses absorbsi protein dalam tubuh unggas. Meskipun produk pengolahan limbah udang menggunakan metode biologi dapat meningkatkan kandungan ransum unggas, namun hasilnya tidak optimal karena diperkirakan perlakuan yang diberikan baru bersifat merenggangkan ikatan 1,4 glikosidik pada kitin dan belum mendegradasinya secara sempurna. Pemanfaatan enzim kitinase untuk mendegradasi kitin yang terdapat pada limbah udang belum banyak dilakukan karena produk enzim kitinase komersial yang telah dipurifikasi relatif mahal. Jika digunakan untuk memperbaiki kualitas gizi limbah udang tidak efisien dan tidak ekonomis. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan enzim kitinase ekstraseluler yang diekstrak dari bakteri yang diisolasi dari alam. Serratia marcescens merupakan mikroorganisme penghasil enzim kitosanase dan kitinase ekstraseluler yang potensial, dan enzim yang dihasilkannya mudah diekstraksi karena bakteri ini menghasilkan enzim untuk menghidrolisis lingkungan.

15 Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti enzim kitinase ekstraseluler dari bakteri Serratia marcescens yang dimanfaatkan untuk menghidrolisis kitin yang terdapat pada limbah udang sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein tinggi bagi unggas. 1.2 Rumusan Masalah1.

Apakah enzim kitinase ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Serratia marcescens dapat meningkatkan kualitas limbah udang sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas?

2.

Bagaimanakah proses ektraksi enzim kitinase ekstraseluler bakteri Serratia marcescens?

1.3 Tujuan Penelitian 1. Meningkatkan kualitas limbah udang yang memiliki kandungan protein tinggi sebagai pakan ternak unggas.2.

Mengetahui proses ekstraksi enzim kitinase ekstraseluler bakteri Serratia marcescens yang digunakan untuk meningkatkan kualitas limbah udang sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas.

1.4 Batasan Masalah Penulis memfokuskan penelitian ini pada pemanfaatan enzim kitinase ekstraseluler yang diekstrak dan diisolasi dari bakteri Serratia marcescens untuk meningkatkan kualitas limbah udang yang kemudian digunakan sebagai pakan ternak unggas. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi peternak unggas Memeberikan alternatif suplai gizi bagi ternak unggas dengan kandungan protein tinggi dan harga yang murah.

162.

Bagi lingkungan Merupakan tindakan mengatasi pencemaran yang disebabkan oleh melimpahnya jumlah limbah udang yang tidak dimanfaatkan dengan baik.

3. Bagi Penulis Menumbuhkan minat dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

17 BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Potensi Limbah Udang Salah satu pilihan sumber protein unggas adalah limbah udang yang telah diolah menjadi tepung. Limbah udang merupakan sisa dari pengolahan udang yang terdiri dari kulit bagian kepala, alat pencernaan, kulit bagian badan, dan ekor udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan antara 30 % - 40 % dari bobot udang segar. Udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,4 % per tahun. Potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 % berat udang menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan ekor) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton (Prasetyo, 2004). Melihat kemungkinan strategis, sudah banyak dilakukan analisis mengenai kandungan nutrisi limbah udang. Suatu penelitian juga telah dilakukan untuk memastikan tingkat penggunaan limbah udang yang telah digiling menjadi tepung sebagai pakan unggas serta memperhitungkan kemampuan substitusi untuk mengurangi ketergantungan yang bersifat penuh pada tepung ikan impor. (%) Air 6,09 Abu 22,75 Protein 42,65 Lemak 8,07 Serat Kasar 18,18 Tabel 2.1 Analisa kandungan nutrisi pada limbah udang Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Departemen peternakan USU 2.2 Unggas 5 Nutrisi Kandungan dalam tepung limbah udang

18 Unggas termasuk dalam kingdom animalia kelas aves. Ciri-ciri yang umum ditemukan pada golongan hewan ini adalah tubuh yang ditutupi bulu, memiliki paruh dan tidak memiliki daun telinga. Golongan hewan ini memiliki sistem reproduksi secara ovipar sehingga masyarakat banyak memanfaatkan unggas sebagai binatang ternak penghasil telur. Selain telur, bagian dari unggas yang sering dimanfaatkan adalah daging. Hal ini dikarenakan masyarakat masih berorientasi pada daging sebagai sumber makanan utama berprotein dalam hal pemenuhan makanan sehari-hari. 2.2.3 Sistem Pencernaan Unggas Sistem pencernaan unggas terdiri dari saluran pencernaan dan organ aksesori. saluran pencernaan merupakan organ yang menghubungkan dunia luar dengan dunia dalam tubuh hewan, yaitu proses metabolisme di dalam tubuh. Saluran pencernaan unggas terdiri dari mulut, esophagus, crop, proventiculus, gizzard, duodenum, usus halus, ceca, rectum, kloaka dan vent. Sementara organ aksesori terdiri dari pancreas dan hati (Siregar, 1994). Bagian organ Mulut Crop Proventriculus Gizzard Tripsin Duodenum Pancreatic juice Amylase Lipase Tripsin Kolagenase Peptidase Ileum Intestinal juice Sukrase Maltase Laktase Sekresi Saliva Mucus Gastric juice dan HCl Pepsin Lipase Enzim Ptyalin Objek enzim pada pakan Pati, dekstrin dan lubrikasi pakan Melunakkan pakan Protein Lemak Menggiling/ menghaluskan Protein, protease Pati Lipid Peptide Kolagen Peptide sukrosa Sukrosa Maltosa Laktosa Produk Dektrin glukosa Protease Polipepetida dan gliserol Pakan halus Peptide dan asam amino Maltosa Asam lemak dan gliserol Asam amino Peptide Asam amino dan peptide Fruktosa Glukosa Glukosa dan galaktosa

19 Asam lemak, protein mikroba, vitamin B dan K

Cecca

Aktivitas mikroba terbatas

Selulosa, polisakarida, pati dan gula

Tabel. 2.2 Organ pencernaan unggas dan enzim tersekresi Sumber: Rasyaf, 2004 2.3 Bakteri Serratia marcescens Kingdom : Bakteri Phylum Class Marga Famili Genus Spesies : Proteobakteri : Gamma Proteobakteri : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Serratia : Serratia marcescens

Serratia marcescens adalah jenis bakteri gram negatif berbentuk basil (bulat lonjong) dan beberapa galur membentuk kapsul. Bakteri ini termasuk organisme yang bergerak dengan cepat (motil) karena mempunyai flagela peritrik, dapat tumbuh dalam kisaran suhu 50 C - 400 C dan dalam kisaran pH antara 5 -9. Serratia marcescens dapat digambarkan secara detail karena organisme tersebut merupakan spesies yang umumnya ditemukan dalam spesimen ilmu pengobatan. Pada suhu kamar, bakteri patogen ini menghasilkan zat warna (pigmen) merah. Bakteri jenis ini tergolong fakultatif anaerobik yang tidak terlalu membutuhkan oksigen. 2.3.1 Aktivitas Biokimia Serratia marcescens menfermentasi mannitol, salisin, dan sukrosa dengan produknya berupa jenis asam. Serratia marcescens dibedakan dari bakteri gram negatif lainnya karena melakukan hidrolisis kasein. Hidrolisis kasein yang dilakukan Serratia marcescens untuk menghasilkan metalloprotease ekstraselular yang berfungsi dalam interaksi sel ke matriks ekstraselular. Serratia marcescens juga menunjukkan adanya triptofan dan degradasi sitrat. Salah satu produk akhir dari degradasi triptofan adalah asam piruvat. Sitrat dan asetat dapat digunakan

20 sebagai sumber karbon satu-satunya. Banyak galur menghasilkan pigmen merah muda, merah /magenta. 2.2.2 Mekanisme Kerja Bakteri Serratia marcescens Degradasi kitin dilakukan oleh mikroorganisme, dimana kitin merupakan sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhannya. Terdapat dua macam lintasan perombakan kitin, lintasan perombakan kitin yang belum diketahui disebut kitinoklastik, sedangkan jika lintasan tersebut melibatkan hidrolistik ikatan (1,4) glikosida maka prosesnya disebut kitinolitik. Hidrolisis ikatan ini dilakukan oleh enzim eksokitinase dan endokitinase. Eksokitinase memecah bagian diasetilkitobiosa dari ujung nonreduksi suatu rantai kitin. Endokitinase memecah bagian ikatan glikosida rantai kitin secara acak dan menghasilkan diasetilkitobiosa sebagai hasil utama yang bersama-sama dengan triasetilkitobiosa akan dirombak secara perlahan menjadi disakarida dan monosakarida. (Goodway, 1990). 2.4 Enzim Enzim terdapat secara alami pada semua organisme hidup dan berperan sebagai katalisator dalam reaksi kimia. Istilah enzim mulai diperkenalkan pertama kali tahun 1878 oleh Kuhne yang mengisolasi senyawa enzim dari ragi. Konsep kerja enzim dikembangkan oleh Emil Fischer di tahun 1894 yang mempopulerkan istilah gembok dan kunci untuk menjelaskan interaksi substrat enzim (Adams, 2000). Saat ini lebih dari 3.000 enzim telah diidentifikasi. Seperti halnya protein, enzim juga tersusun dari rantai asam amino. Enzim akan mempercepat reaksi kimia dengan cara menempel pada substrat dan keseluruhan proses reaksi akan stabil menghasilkan kompleks enzim substrat. Dengan bantuan enzim, energi yang digunakan untuk menggerakan proses reaksi kimia menjadi lebih kecil. Enzim akan bekerja pada kondisi lingkungan yang tidak mengubah struktur aslinya yaitu paling baik pada suhu 40 C dan pH 7 (Suriwat.1986).

2.4.1 Penggunaan Enzim Dalam Pertenakan

21 Alasan utama penggunaan enzim dalam industri makanan ternak adalah untuk memperbaiki nilai nutrisinya. Semua binatang menggunakan enzim dalam mencerna makanannya, dimana enzim tersebut dihasilkan oleh binatang itu sendiri maupun mikroorganisme yang ada pada alat pencernaannya. Di dalam sistem produksi peternakan, pakan ternak menempati komponen biaya yang paling besar. Hal tersebut menyebabkan keuntungan peternakan akan bergantung dari biaya relatif dan biaya nilai nutrisi makanan. Ada empat alasan utama untuk menggunakan enzim dalam industri pakan ternak (Bedford dan Partridge, 2001) yaitu:1.

Untuk memecah faktor anti-nutrisi yang terdapat di dalam campuran makanan. Kebanyakan dari senyawa tersebut tidak mudah dicerna oleh enzim endogeneous di dalam ternak segingga mengganggu pencernaan normal.

2.

Untuk meningkatkan ketersediaan pati, protein dan garam mineral yang terdapat pada dinding sel yang kaya serat. Untuk merombak ikatan kimia khusus dalam bahan mentah yang biasanya tidak dapat dirombak oleh enzim ternak itu sendiri. Sebagai suplemen enzim yang diproduksi oleh ternak muda yang mana sistem pencernaannya belum sempurna sehingga enzim endogeneous kemungkinan belum mencukupi.

3.

4.

2.5 Energi Metabolis Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada empat nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi neto (Wahju, 1997). Penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan secara biologis dilakukan pertama kali oleh Sibbald (1980) melalui metode Hill. Metode Hill pada dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan Cr2O3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan energi metabolis melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang

22 diketahui energi metabolisnya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu. Slinger (1963), Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode substitusi dengan suatu rumus turunan. Menghitung energi metabolis dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu energi metabolis semu (EMS), energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn), energi metabolis murni (EMM) dan energi metabolis murni terkoreksi nitrogen (EMMn). Energi metabolis semu (EMS) merupakan perbedaan antara energi pakan dengan energi feses dan urin, dimana pada unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn) paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai energi metabolis. EMSn berbeda dengan EMS karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai positif atau negatif. Energi metabolis murni (EMM) merupakan EM yang dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolis murni terkoreksi nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolis dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn. 2.6 Retensi Nitrogen Retensi nitrogen merupakan hasil konsumsi nitrogen dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous. Nitrogen endogenous ialah nitrogen yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan. Genetik, umur dan bahan pakan yang merupakan faktor yang mempengaruhi retensi nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi (Wahju, 1997). Selain itu nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.

23 Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan protein pakan. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi nitrogen menurun dengan meningkatnya protein ransum disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika unggas digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. 2.7 Hipotesis Enzim kitinase ekstraseluler bakteri Serratia marcescens dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas limbah udang melalui metode ekstraksi dan isolasi alam.

24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan pendekatan post testonly control group design. Perlakuan pada penelitian ini meliputi ekstraksi dan isolasi enzim kitinase ektraseluler dari bakteri Serratia marcescens, hidrolisis kitin limbah udang menggunakan enzim kitinase ektraseluler, dan analisa nutrisi limbah udang setelah proses hidrolisis. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium BPPT biologi SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang pada tanggal 24 27 Agustus 2010 dan di laboratorium Populer Tuban pada tanggal 3 September 2010. 3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Penelitian Tahap I Menentukan dosis dan lama hidrolisis enzim kasar kitinase untuk mendegradasi kitin limbah udang. 1. Alat Peralatan yang digunakan adalah lemari es, kantong plastik tahan panas, labu ukur, tabung reaksi, spektrofotometer, pipet, gelas beker, kuvet, termometer, timbangan, autoclave dan oven. 2. Bahan Bahan yang digunakan adalah enzim kitinase ekstraseluler dari bakteri Serratia marcescens,limbah udang dari udang putih (Penaeus merguensis) terdiri dari: kulit kepala, kulit badan, dan ekor dari udang segar. Zat kimia yang dipakai yaitu: NaOH, HCL, dan reagen-reagen untuk analisis kitin, gula pereduksi dan protein terlarut.

12

25 3. Prosedur Kerja Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 3 dan setiap perlakuan diulang 2 kali. Faktor A adalah dosis enzim yang terdiri dari: A1 = 4,017 Unit enzim /100 gr substrat pasta limbah udang A2 = 6,084 Unit enzim /100 gr substrat pasta limbah udang A3 = 8,034 Unit enzim /100 gr substrat pasta limbah udang Lama hidrolisis sebagai faktor B yaitu: B1 = 24 jam B2 = 48 jam B3 = 72 jam. Model rancangan yang digunakan menurut Steel and Torrie (1991)Yijk = + i + j + ij + ijk

Keterangan : Yijk = nilai pengamatan = nilai tengah umum i j I j k4.

= pengaruh faktor A taraf ke-i = pengaruh faktor B taraf ke-j = pengaruh unit-unit perlakuan ke-k dari perlakuan kombinasi ke- ij = faktor dosis enzim (4,017 U/100 gr substrat, 6,084 U/100 gr substratndann

i = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-jijk

8,034 U/100 gr substrat)

= faktor lama hidrolisis (24, 48 dan 72 jam) = ulangan Variabel yang diukur Kandungan Kitin Limbah Udang Kitin limbah udang dianalisis dengan metode Hong, et al (1989). Kandungan Gula Pereduksi Limbah Udang Gula pereduksi diukur dengan metode Smogy dan Nelson (1984) secara spektrofotometri. Kandungan Protein Terlarut Limbah Udang Protein terlarut dianalisis dengan metode Lowry (1951).

26 3.3.2 Penelitian Tahap II Menentukan ukuran partikel substrat limbah udang untuk penetrasi enzim kitinase ekstraseluler yang optimum. 1. Alat. Bahan yang digunakan adalah enzim kitinase ekstraseluler dari bakteri Serratia marcescens. Limbah udang dari udang putih (Penaeus merguensis) yang terdiri dari kulit kepala, kulit badan dan kulit ekor. Zat kimia yang digunakan terdiri dari: NaOH, HCl, dan reagen-reagen untuk analisis kitin, gula pereduksi dan protein terlarut 2. Bahan Peralatan yang digunakan adalah lemari es, kantong plastik tahan panas, labu ukur, tabung reaksi, spektrofotometer, pipet, gelas beker, kuvet, termometer, timbangan, autoclave, oven, penggiling (Glen Creston, 911103) dengan ukuran saringan 1 mm, 1.5 mm dan 2 mm. 3. Prosedur kerja Penelitian dilakukan secara eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Perlakuan adalah ukuran partikel limbah udang yang terdiri dari: Perlakuan 1 = Limbah udang tidak digiling Perlakuan 2 = Limbah udang digiling ukuran 1,00 mm Perlakuan 3 = Limbah udang digiling ukuran 1,50 mm Perlakuan 4 = Limbah udang digiling ukuran 2,00 mm Model rancangan yang digunakan menurut Steel and Torrie (1991) Yij = + i + ij Keterangan : Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j. i j = Perlakuan (P1, P2, P3, dan P4 ) = Ulangan (1, 2, 3, dan 4) = Nilai tengah

i = Pengaruh perlakuan ke-i ij = Pengaruh sisa (acak) ke-j yang mendapatkan perlakuan ke-i

27 4. Variabel yang diukur Kandungan Kitin Limbah Udang Kandungan kitin dianalisis dengan metoda Hong et al (1989). Gula Pereduksi Limbah Udang Gula pereduksi diukur secara spektrofotometri. Protein Terlarut Limbah Udang Protein terlarut dianalisis menggunakan metode Lowry (1951). 3.3.3 Penelitian Tahap III Analisis kandungan gizi limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler dan uji retensi nitrogen, energi termetabolisme (MEn) secara invivo.1.

Analisis kandungan gizi limbah udang Sampel limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase dan sampel limbah

udang yang tidak dihidrolisis enzim kitinase dianalisis kandungan gizinya. Kandungan gizi yang dianalisis terdiri dari: kadar air, bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, abu, Ca, dan P dan asam-asam amino. Analisis kandungan gizi limbah udang produk hidrolisis dilakukan berdasarkan metode proksimat (AOAC, 1990). Asam amino dianalisis dengan metode HPLC.2.

Analisa asam amino limbah udang Sampel limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase yang terbaik dan

sampel limbah udang yang tidak dihidrolisis enzim kitinase ekstraseluler di analisis kandungan asam aminonya. Asam amino yang dianalisis terdiri dari: asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, histidin, arginin, threonin, alanin, prolin, tirosin, valin, metionin, sistin, isoleusin, leusin, phenilalanin, lisin dan triptopan. Analisis asam-asam amino dilakukan dengan metode HPLC.3.

Retensi nitrogen limbah udang Pengukuran retensi nitrogen limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase

dan limbah udang yang tidak dihidrolisis enzim kitinase dilakukan berdasarkan metode Sibbald (1976). Retensi nitrogen dihitung berdasarkan rumus berikut:

28 Retensi nitrogen (%) = N konsumsi (g/ekor) {N ekskreta (g/ekor) N Endogenous (g/ekor)} x 100 % N konsumsi (g) Keterangan: N konsumsi = bahan kering limbah udang yang dikonsumsi x Nitrogen (%) limbah udang N Ekskreta = bahan kering ekskreta x nitrogen (%) ekskreta N Endogenous = bahan kering ekskreta endogenous x nitrogen (%) ekskreta endogenous4.

Analisa energi metabolisme dikoreksi retensi nitrogen (men) limbah udang produk hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler Energi Metabolisme yang dikoreksi retensi nitrogen (MEn) dianalisis

dengan metode Sibbald (1976). MEn = GE konsumsi ( GEfu- K. Retensi Nitrogen (g)) Jumlah ransum yang dicekokkan Keterangan: MEn = Energi metabolisme yang dikoreksi dengan retensi nitrogen. K = 8.22 atau 8.73. 8.22 berasal dari kandungan energi asam urat urin unggas. 8.73 berasal dari kandungan energi senyawa-senyawa nitrogen dalam urin. GE konsumsi = Jumlah energi bruto limbah udang yang di konsumsi (di cekok). GE fu = Jumlah energi bruto yang terdapat pada ekskreta unggas yang berasal dari feces dan urin. Retensi nitrogen = Nilai retensi nitrogen dari limbah udang.

29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian Tahap I4.1.1 Pengaruh

Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Kandungan kitin (%) B1 (24 jam) B2 (48 jam) B3 (72 jam) 10,40 11,40 11,40 10,50 10,90 11,10 10,50 10,50 11,00

Hidrolisis Terhadap Kandungan Kitin Limbah Udang Aktivitas Enzim (Unit) A1 (4,017 Unit) A2 (6,084 Unit) A3 (8,034 Unit) Rataan 10,47 10,93 11,17

Rataan 11,10 10,83 10,63 10,86 Tabel 4.1 Rataan kandungan kitin (%) limbah udang produk hidrolisis masingmasing perlakuan enzim kitinase ekstraseluler Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak terjadi interaksi antara unit aktivitas enzim dan lama hidrolisis (p>0,05) terhadap kandungan kitin limbah udang. Fakta ini menjelaskan bahwa kombinasi unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler 4,017 unit, 6,084 unit dan 8,034 unit dengan lama hidrolisis 24, 48 dan 72 jam masih dalam interval yang belum menunjukkan interaksi. Namun kombinasi ketiga interval unit aktivitas dan lama hidrolisis tersebut dapat menurunkan kandungan kitin limbah udang dari 18,70 % sebelum dihidrolisis menjadi 10,40 % pada perlakuan 4,017 unit dengan lama hidrolisis 24 jam, 10,15 % dan 11 % pada perlakuan 6,084 unit dan 8,034 masing-masing selama 72 jam. Sesuai dengan pernyataan Brurberg et al. (1995), Suzuki et al. (1999) Krishnan et al.(1999) dan Gustav et al. (2005) bahwa Serrartia marcescens merupakan bakteri gram negatif yang sangat efektif untuk mendegradasi kitin, dan gen yang mengkode enzim kitinasenya telah di cloning dan diaplikasikan pada bakteri Sinorhizobium fredii USDA 191 dan Escherichia coli untuk keperluan biological agent (pengendalian hayati) dan penelitian dalam bidang bioteknologi. Unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler dari bakteri Serratia marcescens dan lama hidrolis yang efisien untuk mengkatalisir hidrolisis kitin yang terdapat pada limbah udang adalah pada 4,017 unit dengan lama hidrolisis 24 jam karena pada 17

30 perlakuan ini kitin limbah udang lebih banyak dihidrolisis dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pengaruh peningkatan unit aktivitas enzim kitinase dari 4,017 unit menjadi 6,084 unit, dan 8,034 unit berbeda tidak nyata (p>0,05) terhadap kandungan kitin limbah udang. Meskipun perbedaan jumlah kitin yang dihidrolisis tidak signifikan pada ketiga unit aktivitas tersebut, namun pada perlakuan 4,017 unit jumlah kitin lebih banyak dihidrolisis dibandingkan dengan perlakuan 6,084 unit, dan 8,034 unit. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi substrat limbah udang (100 g) dengan 4,017 unit dapat berinteraksi secara tepat dan mencapai konformasi model kunci dan gembok sehingga daya katalisator enzim maksimal dalam menghidrolisis kitin. Perbandingan antara konsentrasi substrat 100 g limbah udang dengan konsentrasi enzim 6,084 unit, dan 8,034 unit tidak mencapai konformasi tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa substrat limbah udang dan enzim kitinase ekstraseluler satu sama lainnya tidak berkomplementer secara sempurna karena substrat tidak menempel memenuhi semua area sisi aktif enzim meskipun daya katalisator kedua unit aktivitas enzim tersebut lebih kuat dari unit aktivitas 4,017 unit. Ini menyebabkan sisi aktif enzim kitinase yang luas tidak termanfaatkan secara optimal dalam menghidrolisis kitin. Oleh sebab itu tidak terdapat perbedaan jumlah produk hidrolisis yang signifikan antara unit aktivitas enzim 4,017 unit, 6,084 unit, dan 8,034 unit. Artinya jumlah kitin yang dihidrolisis tidak meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas enzim. Menurut Suhartono (1989) model pengikatan substrat oleh enzim digambarkan sebagai kunci yang menempati suatu gembok, dimana substrat dilambangkan sebagai kunci, sedangkan enzim yang mengikatnya dilambangkan sebagai gembok. Pada model ini struktur kimia dan fisik sisi aktif pada protein enzim benar-benar berkomplementer terhadap struktur kimia dan fisik substrat. Dengan demikian substrat akan mengalami perubahan bentuk menjadi produk setelah menempel pada sisi aktif tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa faktorfaktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor, aktivator, pH dan suhu. Dijelaskan pula bahwa pembentukan komplek Enzim Substrat (ES) membatasi kecepatan reaksi enzimatis. Artinya kecepatan maksimum reaksi

31 enzim dicapai pada tingkat konsentrasi substrat yang sudah mampu mengubah seluruh enzim menjadi komplek ES. Pada konsentrasi substrat di bawah konsentrasi ini, reaksi enzim bergantung pada konsentrasi substrat yang ditambahkan, sedangkan pada konsentrasi substrat di atas konsentrasi tersebut kecepatan reaksi menjadi tidak bergantung pada konsentrasi substrat dengan kata lain reaksinya menjadi nol. Hal lain yang dapat menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan antar unit aktivitas enzim adalah enzim kitinase ekstraseluler yang digunakan pada penelitian ini masih dalam bentuk enzim kasar (crude enzyme), daya katalisatornya tidak sekuat enzim murni (enzim kitinase yang telah dipurifikasi), sehingga perbedaan daya katalisator antara unit aktivitas 4,017, 6,084 dan 8,034 unit tidak nyata dalam menghidrolisis kitin. Oleh sebab itu produk hidrolisisnya belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Pengaruh perlakuan lama hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler yang tidak berbeda nyata (P>0,05) disebabkan oleh waktu hidrolisis yang terlalu panjang. Walaupun perpanjangan waktu hidrolisis dari 24 jam menjadi 48 dan 72 jam cenderung menurunkan kandungan kitin namun tidak efisien karena penurunan kandungan kitin antar perlakuan tidak signifikan. Artinya tidak terdapat perbedaan kemampuan enzim kitinase ekstraseluler dalam menghidrolisis kitin limbah udang antara 24, 48 dan 72 jam. Waktu hidrolisis yang paling efisien untuk menghidrolisis kitin limbah udang yang diperoleh pada penelitian ini adalah selama 24 jam karena kitin lebih banyak dihidrolisis dibandingkan dengan lama hidrolisis 48 dan 72 jam.4.1.2

Pengaruh Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Hidrolisis Terhadap Gula Pereduksi Kandungan gula pereduksi ( g/ml) B1 (24 jam) B2 (48 jam) B3 (72jam) 23,66 22,00 21,70 22,45 21,45 20,60 20,49 20,85 21,99 20,36 20,05 20,80

Aktivitas Enzim (Unit) A1 (4,017) A2 (6,084) A3 (8,034) Rataan

Rataan 22,37 20,99 20,75 21,37

32 Tabel 4.2 Rataan kandungan gula pereduksi ( g/ml) limbah udang produk hidrolisis masing-masing perlakuan enzim Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler dan lama hidrolis berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap gula pereduksi limbah udang. Tidak terjadinya perbedaan interaksi perlakuan terhadap terbebasnya gula pereduksi pada penelitian ini disebabkan oleh pengaruh interaksi perlakuan terhadap kandungan kitin limbah udang pasca hidrolisis enzim yang ditemukan pada penelitian sebelumnya juga tidak berbeda. Menurut Yamasaki (1997) gula pereduksi adalah indikator aktivitas enzim dalam menghidrolisis kitin, produk hidrolis kitin oleh enzim kitinase berupa monomer N-Asetil,D-glukosamina, dimer N-Asetil,D-glukosamina, dan trimer N-Asetil,Dglukosamina. Gula pereduksi ekuivalen dengan N-Asetil,D-glukosamina. Artinya semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan pasca hidrolisis enzim kitinase semakin banyak kitin yang terdegradasi oleh enzim. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kandungan gula pereduksi limbah udang pasca hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler yang tertinggi terdapat pada perlakuan enzim 4,017 unit dan lama hidrolisis 24 jam dengan kandungan gula pereduksi sebesar 23,66 g/ml. Gula pereduksi terendah adalah 20,05 g/ml yang terdapat pada perlakuan enzim 8,034 unit dengan lama hidrolisis 72 jam. Hal ini menjelaskan bahwa walaupun tidak terjadi interaksi antara unit aktivitas enzim dan lama hidrolisis. Namun jumlah gula pereduksi limbah udang meningkat dari 19,20 g/ml sebelum dihidrolisis menjadi 23,66 g/ml sesudah dihidrolisis. Fakta ini menunjukkan bahwa kombinasi antara unit aktivitas enzim dan lama hidrolis dapat membebaskan gula pereduksi karena terjadinya hidrolisis kitin oleh enzim kitinase ekstraseluler menjadi N-Asetil,D-glukosamina yang ekuivalen dengan gula pereduksi. Namun perbedaan produk hidrolisis antar perlakuan belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Unit aktivitas enzim 4,017 unit dan lama hidrolis 24 jam adalah kombinasi yang efisien dalam pelepasan gula pereduksi pada limbah udang yang dihidrolisis enzim kitinase ekstraseluler. Pengaruh perlakuan unit aktivitas enzim yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah gula pereduksi yang dibebaskan karena peningkatan unit aktivitas enzim

33 dari 4,017 unit menjadi 6,084 dan 8,034 unit juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kitin yang terhidrolisis pada penelitian sebelumnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peningkatan unit aktivitas enzim juga tidak akan berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi yang dibebaskan. Unit aktivitas enzim yang efisien pada pembebasan gula pereduksi adalah pada 4,017 unit karena jumlah gula pereduksi yang dibebaskan lebih banyak dari unit aktivitas enzim lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan lama hidrolisis, perpanjangan waktu hidrolisis dari 24 jam menjadi 48 dan 72 jam berpengaruh tidak nyata terhadap gula pereduksi yang dibebaskan karena perpanjangan waktu hidrolis tersebut juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kitin yang dihidrolis enzim. Lama hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler yang efisien untuk membebaskan gula pereduksi adalah selama 24 jam karena gula pereduksi yang dihasilkan lebih banyak dari lama hidrolisis 48 dan 72 jam. Sesuai dengan pendapat Park et al. (1997) bahwa aktivitas enzim kitinase untuk menghidrolisis kitin dapat dilihat dari gula pereduksi yang dihasilkan karena satu unit aktivitas enzim kitinase adalah jumlah enzim yang diperlukan untuk menghasilkan satu mol gula pereduksi/menit yang ekuivalen dengan N-Asetil,D-glukosamina.4.1.3

Pengaruh Unit Aktivitas Enzim Kitinase Ekstraseluler dan Lama Hidrolisis Terhadap Protein Terlarut Protein terlarut ( g/ml) B1 (24 jam) B2 (48 jam) B3 (72jam) 2865,07 2823,82 2823,82 2823,82 2785,00 2750,05 2824,64 2750,05 2712,60

Aktivitas Enzim (Unit) A1 (4,017) A2 (6,084) A3 (8,034)

Rataan 2837,84 2786,29 2762,16

Rataan 2837,57 2786,29 2762,43 2795,43 Tabel 4.3 Rataan kandungan protein terlarut ( g/ml) limbah udang produk hidrolisis masing-masing perlakuan enzim Hasil analisis menunjukkan interaksi antara unit aktivitas enzim kasar kitinase dengan lama hidrolisis berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap protein terlarut limbah udang. Tidak terjadinya interaksi antara unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler dengan lama hidrolisis terhadap kandungan protein terlarut limbah udang disebabkan oleh jumlah kitin yang terdegradasi pada ketiga

34 kombinasi perlakuan juga berbeda tidak nyata. Menurut Carroad dan Tom (1978) dan Knor (1991) protein pada limbah udang terikat dalam bentuk senyawa komplek antara kitin-protein-CaCO3. Jika kitin terdegradasi oleh kitinase maka protein juga akan terbebaskan dari.senyawa tersebut dan protein yang dapat larut jumlahnya akan meningkat. Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa protein terlarut yang tertinggi terdapat pada perlakuan enzim kitinase 4,017 unit dan lama hidrolisis 24 jam yaitu 2865,07 g/ml dan protein terlarut terendah terdapat pada perlakuan 8,034 unit dengan lama hidrolisis 72 jam yaitu 2712,60 g/ml. Meskipun interaksi unit aktivitas dan lama hidrolisis enzim kitinase ekstraseluler yang digunakan pada penelitian ini belum memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah protein terlarut. Namun ketiga kombinasi perlakuan tersebut mampu meningkatkan terbebasnya protein dari senyawa komplek kitin-protein-CaCO3 dari 138,11 g/ml sebelum dihidrolisis menjadi 2865,07 g/ml sesudah dihidrolisis enzim. Kombinasi unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler dan lama hidrolisis yang efisien untuk membebaskan protein dari senyawa komplek kitin-CaCO3 adalah pada 4,017 unit dengan lama hidrolisis 24 jam. Pengaruh perlakuan unit aktivitas enzim yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah protein terlarut yang dibebaskan karena peningkatan unit aktivitas enzim dari 4,017 unit menjadi 6,084 dan 8,034 unit juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kitin yang terhidrolisis pada penelitian sebelumnya, oleh sebab itu dapat dipahami bahwa peningkatan unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah protein yang dibebaskan. Unit aktivitas enzim kitinase ekstraseluler yang efisien pada pembebasan protein terlarut dari senyawa komplek protein-kitin dan CaCO3 pada limbah udang adalah pada 4,017 unit karena jumlah protein terlarut yang dibebaskan lebih banyak dari unit aktivitas enzim lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan lama hidrolisis enzim. Perpanjangan waktu hidrolisis dari 24 jam menjadi 48 dan 72 jam berpengaruh tidak nyata terhadap protein terlarut yang dibebaskan karena perpanjangan waktu hidrolis tersebut juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kitin yang dihidrolis enzim. Waktu hidrolisis enzim yang efisien untuk pembebasan protein terlarut adalah 24 jam karena jumlah protein terlarut yang

35 dihasilkan lebih banyak karena pada lama hidrolisis 24 jam kitin juga banyak terhidrolisis. 4.2 Hasil Penelitian Tahap II Limbah Udang Parameter Kitin (%) Gula Pereduksi ( g/ml) Protein Terlarut ( g/ml) Tidak Digiling 18,44 a 49,58 b 6227,12b Digiling 1,00 mm 7,48 c 106,31 a 7126,24a Digiling 1,50 mm 7,28 c 115,42 a 7244,80a Digiling 2,00 mm 9,00 b 51,39 b 6868,36a

Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (p0,05) dengan limbah udang ukuran 1,50 mm tetapi kedua limbah udang tersebut berbeda sangat nyata (p0,05) dengan limbah udang yang tidak digiling. Gula pereduksi tertinggi yang dibebaskan dari limbah udang pasca hidrolisis enzim terdapat pada ukuran 1,00 mm dan 1,50 mm yaitu 106,31 dan 115,42 g/ml. Penyebab tingginya gula pereduksi yang dihasilkan pada kedua ukuran tersebut karena jumlah kitin limbah udang tertinggi yang dihidrolisis oleh enzim kitinase pada penelitian sebelumnya juga terdapat pada kedua ukuran partikel tersebut. Semakin banyak kitin yang dihidrolisis enzim akan semakin banyak gula pereduksi yang dibebaskan dan terukur karena gula pereduksi merupakan indikator aktivitas enzim kitinase dalam mendegaradsi kitin, dan jumlah kitin yang didegradasi enzim ekuivalen dengan gula pereduksi yang dibebaskan. Jumlah gula pereduksi yang dibebaskan pada limbah udang yang digiling 2,00 mm berbeda tidak nyata dengan gula pereduksi yang dibebaskan pada limbah udang yang tidak digiling, jumlah gula pereduksi pada masing-masing ukuran substrat secara berturut-turut adalah 51,39 dan 49,58 g/ml, dan jumlah gula

38 pereduksi dari kedua ukuran substrat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan jumlah gula pereduksi yang dibebaskan pada substrat limbah udang ukuran 1,00 mm dan 1,50 mm. Hal ini disebabkan oleh permukaan substratnya tidak seluas permukaan substrat limbah udang ukuran 1,00 mm dan 1,50 mm, sehingga penetrasi enzim pada substrat limbah udang tersebut tidak optimum, dan gula pereduksi yang dibebaskan lebih sedikit karena kitin limbah udang yang dihidrolisis enzim kitinase pada kedua ukuran substrat juga dalam jumlah yang sedikit. Hal yang menarik yang ditemukan pada penelitian ini adalah walaupun gula pereduksi yang dihasilkan pada limbah udang ukuran 2,00 mm dan limbah udang yang tidak digiling berbeda tidak nyata namun jumlah kitin yang terdegradasi dari kedua ukuran tersebut pada penelitian sebelumnya berbeda nyata, artinya tidak terdapat korelasi positif antara jumlah gula pereduksi yang dibebaskan dengan jumlah kitin yang terhidrolisis pada substrat limbah udang ukuran 2,00 mm dengan substrat limbah udang yang tidak digiling. Kondisi ini bersifat antagonis karena gula pereduksi ekuivalen dengan produk hidrolisis kitin yaitu N-Asetil,D-glukosamina, artinya semakin banyak N-Asetil,D-glukosamina yang dihasilkan semakin banyak pula gula pereduksi yang dihasilkan dan semakin banyak kitin yang terdegradasi. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa tidak semua produk hidrolisis kitin oleh enzim kitinase menghasilkan monomer N-Asetil,Dglukosamina tetapi dapat pula dalam bentuk dimer, trimer ataupun tetramer NAsetil,D-glukosamina yang juga bersifat sebagai gula pereduksi. Gula pereduksi yang terdeteksi dari produk hidrolis kitin dalam bentuk dimer, trimer ataupun tetramer ini terhitung lebih sedikit dibandingkan dalam bentuk monomer NAsetil,D-glukosamina. Hal ini dikarenakan gula pereduksi dalam bentuk dimer bila dihidrolisis enzim kitinase akan menghasilkan N-Asetil,D- glukosamina + NAsetil,D-glukosamina, dalam bentuk trimer bila terhidrolisis menjadi N-Asetil,Dglukosamina + 2 N-Asetil,D-glukosamina, sedangkan dalam bentuk tetramer bila terhidrolisis dapat menjadi N-Asetil,D-glukosamina + 3 N-Asetil,D-glukosamina atau 2 N-Asetil,D-glukosamina + 2 N-Asetil,D-glukosamina. Dengan demikian dapat dipahami walaupun gula pereduksi yang dihasilkan dari substrat limbah udang ukuran 2,00 mm tidak berbeda dengan limbah udang yang tidak dihidrolis namun perbedaan jumlah kitin limbah udang yang didegradasi pada kedua ukuran

39 tersebut cukup besar sehingga jumlah kitin antara keduanya menjadi berbeda nyata. Sesuai dengan pendapat (Yamasaki, 1997) produk hidrolisis enzim kitinase dari bakteri Enterobacter sp G-1 dapat berupa monomernya N-Asetil,Dglukosamina dan dapat pula dalam bentuk dimer, trimer ataupun tetramer. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pola kerja enzim kasar kitinase (enzyme mode action) pada substrat limbah udang pada ukuran partikel yang lebih besar yaitu 2,00 mm dan limbah udang yang tidak digiling dengan luas permukaan substrat kecil menghidrolisis kitin dari bagian paling belakang dari polimer kitin (eksokitinase). Produk hidrolisisnya dalam bentuk dimer, trimer ataupun tetramer. Sedangkan pola kerja enzim pada limbah udang dengan ukuran partikel lebih kecil tapi luas permukaanya besar (1,00 mm dan 1,50 mm) menghidrolisis kitin limbah udang dari bagian dalam polimer kitin (endokitinase) sehingga produk hidrolisisnya lebih banyak dalam bentuk N-Asetil,D-glukosamina. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Flach et al. (1992) terdapat 2 tipe kitinase; tipe eksokitinase yaitu enzim yang mengkatalisir hidrolisis kitin dari bagian paling belakang dari polimer kitin, tipe endokitinase yang memecah ikatan glikosidik kitin dari bagian dalam polimer kitin. Selanjutnya dijelaskan perbedaan struktur pada tingkat molekul antara enzim endokitinase dan eksokitinase tidak begitu jelas dan belum dipahami dengan sempurna. Bila dibandingkan gula pereduksi dari limbah udang sebelum dihidrolisis enzim dan sesudah dihidrolisis terjadi peningkatan kandungan gula pereduksi dari 19,20 g/ml menjadi 115,42 g/ml (perlakuan ukuran partikel limbah udang 1,50 mm). ` Hasil uji lanjut pengaruh perlakuan ukuran partikel limbah udang terhadap jumlah protein terlarut yang dibebaskan menunjukkan bahwa ukuran partikel limbah udang 1,00 mm berbeda tidak nyata (p>0,05) dengan limbah udang ukuran 1,50 mm, dan 2,00 mm. Limbah udang ukuran 1,00 mm dan 1,50 mm berbeda sangat nyata (p