multi kultur al is me
DESCRIPTION
multikulturalismeTRANSCRIPT
B. Sekolah sebagai Organisasi Sosial
Secara umum, sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan sebagai organisasi
sosial, mempunyai peran dan fungsi sosial sebagai: (1) fungsi manifestasi
pendidikan: membantu orang mencari nafkah, menolong mengembangkan
potensinya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya; melestarikan kebudayaan
dengan cara mengajarkannya dari generasi ke generasi; merangsang partisipasi
demokrasi melalui pengajaran keterampilan berbicara dan mengembangkan cara
berfikir rasional; memperkaya kehidupan dengan cara menciptakan kemungkinan
untuk Berkembangnya cakrawala intelektual dan cinta rasa keindahan;
meningkatkan kemampuan menyesuaikan din melalui bimbingan pribadi dan
berbagai kursus; meningkatkan taraf kesehatan melalui latihan dan olahraga;
menciptakan warga negara yang patriotik melalui pelajaran yang menggambarkan
kejayaan bangsa dan membentuk kepribadian yaitu susunan unsur dan jiwa yang
menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dan tiap individu, (2) fungsi
latent lembaga pendidikan adalah, mengurangi pengendalian orang tua melalui
pendidikan sekolah, di mana orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya
dalam mendidik anak kepada sekolah; menyediakan sarana untuk
pembangkangan, di mana sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai
pembangkangan di masyarakat; mempertahankan sistem kelas sosial, di mana
pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada siswa untuk
menerima perbedaan prestige, privilege, dan status yang ada dalam masyarakat.
(Idi, 2011)
Horton dan Hunt (1992) mengemukakan empat jenis sasaran organisasi
sekolah, yang meliputi titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah.
Pertama, sasaran formal, di mana ruang lingkup sasaran ini meliputi
tujuan formal dari suatu organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam
aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi
orientasi organisasi. Melalui struktur organisasi yang ada, tercermin adanya tugas
dan wewenang kepala sekolah, tugas gum dan staf administrasi sekolah.
Kedua, sasaran informal, di mana tidak sepenuhnya bekerja sesuai
ketentuan formal. Sasaran informal merupakan interpretasi dan modifikasi
sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah
organisasi. Sasaran tersebut mencakup pula persepsi masing-masing individu dan
menjadi tujuan kegiatan pribadi dalam organisasi.
Ketiga, sasaran ideologis. Seperti tersirat dalam istilah tersebut, sasaran
ideologis bertalian dengan seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang
diyakini bersama. Dalam hal ini nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu
sistem pengetahuan gagasan dan ide yang dimiliki suatu kelompok masyarakat
dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka
bernaung.
Keempat, sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan
menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan
eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa.
Dari pendapat Horton dan Hunt tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagai
organisasi, sekolah bukan hanya sekedar tumpukan peran-peran struktural yang
kaku, statis dan jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Tetapi mekanisme
tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam interpretasi para
anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan
status yang berbeda-beda dalam organisasi sekolah. Manifestasi spesifik dari
organisasi sekolah, pertama, sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas,
kedua, dalam organisasi sekolah terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi
yang saling bertalian seperti guru, supervisor, kepala sekolah, administrator,
dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan organisasi sosial yang
dibentuk dan bekerja secara birokratis. Namun, secara sosiologis, sekolah sebagai
organisasi sosial, dalam pengelolaannya tetap dipengaruhi oleh kepribadian,
sistem tata nilai yang berlaku dan dianut, kultural ideologis, hubungan
interpersonal, dan lam-lain. Karena yang menggerakkan sekolah adalah manusia
yang cenderung berubah dan berkembang berdasarkan kebutuhan dan lingkungan
di mana sekolah berada, maka kurikulum pendidikan sering mengalami perubahan
karena alasan sosiologis (Idi, 2011).
C. Hubungan antara Struktur, Nilai, Norma dan Peran Sosial
Jika perilaku dalam masyarakat terstruktur, artinya hubungan antara
anggota-anggota masyarakatnya diatur oleh aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk.
Nilai - yakni suatu keyakinan tentang sesuatu yang baik dan yang diinginkan -
memberi petunjuk bagaimana berperilaku dan bagaimana diterjemahkan ke dalam
bentuk aturan dan norma. Norma adalah petunjuk dalam berperilaku yang
diterima pada situasi tertentu. Norma sosial adalah suatu ukuran atau pandangan
tentang sesuatu atau sejumlah perilaku yang diterima dan disepakati secara umum
oleh warga suatu masyarakat (Garna, 1996).
Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari
berbagai unsur pembentuk masyarakat. Struktur sosial merupakan tata aturan
relasi yang berpola tertentu sebagaimana yang diharapkan untuk membimbing
interaksi sosial. Radcliffe-Brown (Garna, 1996: 150) mengemukakan analogi
struktur sosial dengan organisme biologik, dan struktur sosial meliputi segala: (1)
relasi sosial di antara para individu; dan (2) perbedaan individu dan kelas sosial
menurut peran sosial mereka. Konsep struktur dan fungsi tersebut sangat penting,
karena itu suatu aktifitas akan jelas apabila dibuktikan memiliki fungsi guna
memelihara struktur sosial.
Norma sosial (social norms) sebagai salah satu penyangga kebudayaan
adalah aturan dan ekspektasi tentang bagaimana anggota kelompok seharusnya
berperilaku (Taylor, dkk., 2009). Tindakan dan perilaku manusia senantiasa diatur
dan dibatasi oleh norma sosial yang berlaku agar setiap tindakan anggota
kelompok tidak bertentangan dengan yang lain. Dengan kata lain, norma sosial
adalah sebagai pengendali segala kelakuan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang biasa juga disebut sebagai pengawasan sosial.
Struktur sosial yang ada dalam sekolah tersusun oleh adanya relasi-relasi
antara kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, staf, dan siswa, dengan masing-
masing fungsinya. Seorang guru yang setiap hari berinteraksi dengan siswanya,
dipandu oleh aturan-aturan tertentu yang melingkupi hubungan guru dan siswa,
apakah itu di ruang kelas, di kantin, di asrama, atau di tempat lainnya. Demikian
pula para siswa setiap hari saling berinteraksi yang juga diatur dan dipandu oleh
norma-norma yang telah disepakati bersama. Interaksi-interaksi tersebut masing-
masing telah mempunyai pola tertentu, dan pola-pola itulah yang membedakan
interaksi antarguru, antarsiswa, antara guru dengan keluarganya atau teman-teman
kerabatnya dan mempunyai pola yang berbeda berdasarkan ruang dan waktu.
Terlepas dari posisi dan statusnya, beberapa norma berlaku untuk setiap
orang dalam suatu kelompok sosial. Di sekolah, semua individu harus mematuhi
aturan sekolah. Seringkali norma yang berlaku pada suatu masyarakat akan
tergantung pada posisi seseorang. Guru diharapkan mengajar tepat waktu,
menyiapkan bahan pelajaran dengan baik, memberi nilai dan sebagainya.
Sementara siswa diharapkan menyerap pelajaran dengan baik, mencatat pelajaran,
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, mengikuti ujian dan lain-lain. Staf
admimstrasi harus siap melayani dan menyiapkan segala keperluan akademik
sekolah.
Peran sosial (social role) berarti seperangkat norma yang berlaku untuk
orang-orang dengan posisi tertentu, seperti guru dan siswa (Van Krieken, et al.,
2006). Individu yang berperilaku dalam masyarakat adalah seperti seorang aktor
dalam memainkan peran. Di teater, naskah drama akan menentukan tata
panggung, menentukan peran yang akan dimainkan dan menentukan apa yang
mesti dilakukan dan dikatakan oleh aktor. Demikian pula, kultur memberi banyak
aturan dan norma sosial untuk berperilaku, Asumsi dasar teori Erving Goffman
adalah bahwa peran yang ditampilkan atau yang diharapkan dalam interaksi antar
etnik mengandung simbol tertentu yang digunakan sebagai standar dari perilaku
bersama.
Struktur masyarakat dapat dilihat secara keseluruhan sebagai hubungan
sosial yang dipandu oleh norma-norma. Hal utama masyarakat adalah institusi
sosialnya -seperti keluarga, pendidikan, sistem politik, dan lain-lain - yang
merupakan aspek utama struktur sosial. Suatu institusi dapat dilihat sebagai suatu
struktur yang dibuat dari hubungan antarperan atau antarnorma (Van Krieken, et
al, 2006). Seperti yang terlihat dalam institusi pendidikan yakni sekolah, peran
sebagai kepala sekolah, guru, staf, siswa laki-laki dan perempuan. Masing-masing
institusi dapat dilihat sebagai sistem yang terstruktur dalam lmgkungannya atau
suatu subsistem pada sistem sosial yang lebih luas.
Emile Durkheim (Van Krieken, et al., 2006) menekankan bahwa fungsi
utama pendidikan adalah sebagai penyebaran norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat. Beliau juga mengatakan: "Society ... cannot exist except on the
condition that all of its members are sufficiently alike-that is to say, only on the
condition that they all reflect, in differing degree, the characteristics essential for
a given ideal, which is the collective ideal. " Bahwa masyarakat tak dapat eksis
kecuali pada kondisi semua anggotanya cukup sama. Tanpa kesamaan esensial,
kerja sama, dan solidaritas sosial, kehidupan sosial takkan mungkin terjadi. Cita-
cita kolektif adalah cita-cita yang ingin dituju.
Dengan teori-teori pendidikannya Durkheim menganggap bahwa
pendidikan sebagai ikhtiar sosial (social thing). Dikatakannya bahwa masyarakat
secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya,
merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan.
Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat
homogenitas yang memadai bagi warganya. Keseragaman yang esensial yang
dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan yang diperkuat
penanamannya sejak dini pada anak-anak. (Idi: 2011)
Selanjutnya, Durkheim (Ballantine; 1983), menggarisbawahi
keyakinannya tentang fungsi sekolah dan hubungannya dengan masyarakat.
Baginya, nilai-nilai moral adalah dasar tatanan sosial, dan masyarakat diabadikan
melalui institusi pendidikannya. Setiap perubahan dalam masyarakat adalah
refleksi suatu perubahan dalam pendidikan, dan sebaliknya. Faktanya, pendidikan
adalah bagian yang aktif dari proses perubahan. Dalam karyanya, beliau
menganalisis kelas sebagai masyarakat kecil {small societies), agen sosialisasi.
Sekolah sebagai suatu perantara antara moral afektif keluarga dan kerasnya
kehidupan moralitas dalam masyarakat. Disiplin adalah moralitas di dalam kelas,
dan tanpanya kelas hanya akan seperti segerombolan manusia.
Menurut Durkheim (Damsar, 2011: 32) moralitas memiliki tiga unsur,
yaitu semangat disiplin, ikatan pada kelompok, dan otonomi. Pada dasarnya
moralitas adalah disiplin. Semua disiplin bertujuan ganda: mengembangkan
keteraturan tertentu dalam perilaku masyarakat, dan memberinya sasaran tertentu
yang sekaligus juga membatasi cakrawalanya. Disiplin mengatur dan memaksa.
Disiplin menjawab segala sesuatu yang selalu terulang dan bertahan lama dalam
hubungan antar manusia. Oleh karena itu, disiplin menciptakan ikatan dalam
kelompok. Dengan demikian moralitas memiliki fungsi bagi bertahannya suatu
masyarakat. Moralitas sebenarnya tujuan dari impersonal dan umum, yang tidak
tergantung dari pribadi dan kepentingan pribadi. Inilah bentuk otonomi dari
moralitas.
Berkaitan dengan fungsi sekolah, maka kelas merupakan suatu sistem
sosial, demikian argumentasi Parsons. Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur
yang saling fungsional antara satu dengan lainnya, yaitu guru, siswa, dan
manajemen sekolah. Setiap aktor memperhatikan status dan peran sebelum
mereka bertindak dan berperilaku. Status aktor, apakah ia sebagai guru, siswa atau
manajemen sekolah, memiliki perilaku yang diharapkan untuk diperankan.
Pada dasarnya proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah
interaksi kegiatan yang berlangsung dalam ruang kelas. Kiprah interaksi di kelas
secara khusus berusaha memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat.
Namun, berkaitan dengan pertemuan dan interaksi siswa yang terjadi, di MAN
Insan Cendekia bukan hanya berlangsung di kelas, tapi juga terjadi di asrama dan
di tempat lain dalam lingkungan sekolah sebagai satu kesatuan kehidupan sosial,
maka penanaman nilai-nilai kebersamaan juga diatur untuk medan sosial yang
lebih bervariasi tersebut. Artinya, sistem sosial juga berjalan di masing-masing
medan sosial tersebut. Untuk itu, tata tertib tidak hanya dibuat untuk diberlakukan
dalam lingkungan madrasah, namun juga di lingkungan asrama.
Interaksi sosial adalah bentuk umum proses-proses sosial, dan karena
bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari
interaksi, maka interaksi sosial dapat dinamakan proses sosial itu sendiri. Interaksi
sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan
mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang
dinamis, yang menyangkut hubungan antar individu, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara individu dengan kelompok manusia.
Unsur utama yang berperan dalam interaksi sosial antar manusia, adalah
(1) struktur sosial (social structure-); (2) tindakan sosial (social action); (3) relasi
sosial (social relations); dan (4) impression management.
Unsur-unsur pembentuk masyarakat dalam struktur sosial saling
berhubungan satu dengan yang lain dan fungsional. Artinya bila terjadi perubahan
salah satu unsur, unsur yang lain akan mengalami perubahan juga. Unsur
pembentuk masyarakat adalah individu yang ada sebagai anggota masyarakat,
tempat tinggal atau suatu lingkungan kawasan yang menjadi tempat di mana
masyarakat itu berada dan juga kebudayaan serta nilai dan norma yang mengatur
kehidupan bersama tersebut.
Tiap unsur tersebut akan membentuk sistem atau pola hubungan yang
menjadi roh dari struktur tersebut sekaligus menunjukkan dinamika sosial yang
terjadi di dalamnya. Hubungan antar individu menghasilkan pola-pola hubungan
yang ada, dalam bentuk status dan peran masing-masing. Hubungan antara
individu dan kelompok akan memunculkan proses sosialisasi dan juga pola
interaksi yang ada. Sementara hubungan antara manusia dengan lingkungannya
akan menimbulkan kebudayaan baik yang bersifat material maupun kebudayaan
nonmaterial. Pola hubungan-hubungan yang terjadi dan berbagai unsur kehidupan
masyarakat ini akan menjadi ciri dari masyarakat tersebut sendiri yang mungkin
berbeda dengan masyarakat lainnya.
Demikian juga yang dikatakan oleh Liliweri (2005) bahwa hubungan antar
manusia tidak hanya sekedar memenuhi unsur; struktur sosial (social structure);
tindakan sosial (social action); dan relasi sosial (social relation), melainkan juga
harus dikelola dengan sedemikian rupa. Selalu ada cara dan pola yang kelak akan
membentuk norma-norma budaya yang berlaku dalam situasi tertentu yang
digunakan oleh dua pihak untuk memelihara dan melanggengkan interaksi, demi
membangun klaim identitas diri yang positif atau mencegah kesalahpahaman
karena stigma atau labeling.
Studi yang dilakukan oleh Sudjarwo (1997) mendukung hal tersebut.
Penelitiannya mengungkap pola interaksi sosial masyarakat majemuk yang
memelihara dan melanggengkan interaksi dalam tiga jalur hubungan sosial
masyarakat Lampung, (keluarga, pekerjaan dan ekonomi) untuk mencapai
integrasi bangsa. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa lembaga sosial
memiliki peran positif yakni sebagai integrator, memberi kontribusi terhadap
karakteristik kelompok suku. Hal ini berarti bahwa suatu kebijakan diterapkan
dengan tujuan mengubah dinamika karakteristik kelompok dapat dilakukan
melalui lembaga sosial. Upaya kelembagaan dan karakteristik kelompok tersebut
mempunyai pengaruh positif terhadap norma sosial yang dikembangkan oleh
kelompoknya. Karakteristik kelompok mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pembentukan pola pikir. Karakteristik kelompok, pola pikir dan norma secara
bersama-sama memengaruhi pembentukan persepsi dan sikap. Selanjutnya
karakteristik kelompok, pola pikir, norma, persepsi dan sikap yang dikembangkan
mempunyai pengaruh positif terhadap
[interaksi sosial. Semua kesimpulan tersebut berlaku untuk interaksi sosial jalur
keluarga, pekerjaan dan ekonomi.
Demikian halnya dalam lembaga sosial yakni madrasah, hubungan
interaksi antar siswa, antara guru dan siswa, serta antar guru dikelola dengan
menggunakan norma dan aturan yang disepakati untuk ditaati untuk menjaga
kelangsungan interaksi. Madrasah sebagai lembaga sosial budaya untuk
memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Setiap
individu dalam lingkup sekolah harus berperilaku sesuai dengan norma dan
aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dengan baik, dan
tujuan pendidikan tercapai. Keempat unsur utama tersebut berperan dalam
interaksi sosial, saling berhubungan membentuk suatu mekanisme interaksi antar
manusia.
D. Interaksi Antaretnik dalam Perspektif Multikultural di Sekolah
Pendidikan dalam penyelenggaraannya melibatkan beberapa aktor mulai
dari tingkat pemerintah sampai ke masyarakat, seperti pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, staf, siswa, orang tua
siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Mereka saling berinteraksi dalam
konteksnya masing-masing. Dalam melakukan interaksi sosial, masing-masing
melibatkan din dengan yang lam, dengan menggunakan simbol, makna,
pengalaman hidup, pikiran dan kemampuannya dalam melakukan peranannya
(Garna, 1996).
Proses interaksi sosial yang terkait dengan aktifitas pendidikan lebih
banyak terjadi di sekolah. Apakah itu interaksi antara guru dan siswa, antara guru
dan staf, antarguru atau antarsiswa, pada umumnya semuanya terjadi di sekolah
setiap hari.
Sebagai sebuah organisasi. sekolah adalah sistem perkumpulan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat, yang tahu akan kebutuhannya dan
mendistribusikannya, dan berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara (Idi; 2011). Sekolah telah memenuhi persyaratan
fungsional yang dibutuhkan suatu sistem, seperti yang dikemukakan Parsons,
yaitu Adaptation/adaptasi (A), Goal Attainment/pencapaian tujuan (G),
Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan
latent
Sekolah adalah organisasi pendidikan, tempat berkumpulnya sekelompok
orang yang mempunyai tujuan yang sama, saling berintegrasi dan bekerja untuk
tujuan tersebut, yakni kependidikan. Terbentuknya lembaga sosial itu berawal dari
individu yang saling membutuhkan kemudian timbul norma-norma atau aturan-
aturan }ang dianggap penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat di
dalamnya. Setiap orang di dalamnya saling berhubungan dan berinteraksi satu
sama lain dalam konteks pendidikan di sekolah; yakni ada aktor yang mengajar,
ada yang belajar, ada yang melayani administrasi, ada yang menyiapkan makanan
dan minuman, ada yang membersihkan dan ada norma dan nilai yang disepakati
untuk dijalani demi keberlangsungan nya. Jadi dapat dikatakan bahwa sekolah
sebagai suatu sistem sosial adalah tempat berlangsungnya proses-proses
pendidikan.
Interaksi sosial antar aktor yang berjalan dalam ranah pendidikan tersebut
menerapkan hubungan interaksi yang bukan hanya berlangsung dalam konteks
formal tetapi juga dalam bentuk relasi informal. Bukan hanya berlangsung di
dalam kelas, namun juga berlangsung di luar kelas. Terkadang individu dalam
kelompok berinteraksi secara kooperatif. Mereka saling bekerja sama, saling
membantu, berbagi informasi, demi mencapai tujuan bersama. Namun tidak
jarang pula mereka saling bersaing, mendahulukan tujuan individu dan
menjatuhkan anggota lainnya.
Hubungan antaraktor atau relasi-relasi sosial milah yang menentukan
struktur masyarakat di dalamnya. Hubungan ini didasarkan kepada komunikasi
yang berjalan. Oleh karena itu komunikasi merupakan dasar dari existensi
masyarakat. Hubungan antarsiswa, antarguru, antarsiswa dan guru, atau relasi-
relasi sosial lainnya di sekolah, baik antarindividu maupun dengan kelompok-
kelompok dan antarkelompok, mewujudkan segi dinamika perubahan dan
perkembangan relasi sosial di dalamnya. Artinya, dengan saling berinteraksi
kehidupan sosial di sekolah akan terus berjalan. Tanpa ada interaksi, maka tidak
mungkin ada kehidupan bersama juga tidak mungkin menghasilkan pergaulan
hidup ataupun aktifitas sosial, serta tidak mungkin tercapai tujuan bersama.
Berkaitan dengan fungsi sekolah, interaksi yang berjalan di sekolah
merupakan perpanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga
maupun masyarakat. Waller (Idi, 2011: 154) menyatakan dalam analisis
penelitiannya bahwa pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi
situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan
penyelenggara.
Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan
kontrol sosial. Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi
sekolah yang memengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen
mengamalkan kriteria penafsiran norma dan nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Individu atau unit-unit tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang
tertentu, saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka satu
dengan yang lainnya melalui proses interpretasi Dalam hal aktor yang berbentuk
kelompok maka tindakan kelompok itu adalah tindakan kolektif dari individu
yang tergabung ke dalam kelompok itu. Bagi teori ini individual, interaksi dan
interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial.
Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan
komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-
simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang
dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang
bersifat langsung terhadap stimulus. Tapi juga merupakan hasil proses belajar,
dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari
simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan
kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya (Ritzer, 2007).
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocal relationship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan guna membangun masyarakat multikultural, di sisi lam masyarakat
multikultural dengan segala karaktemya memiliki potensi signifikan untuk
memberhasilkan fungsi dan peran pendidikan pada umuranya.
Sekolah adalah bentuk institusi terdepan yang dapat dipakai sebagai ajang
proses pembenihan nilai-nilai budaya masyarakat yang beragam. Di sekolah, sejak
dini siswa telah dibiasakan mengembangkan empati bagi keberadaan kebiasaan,
perilaku dan pemikiran yang berbeda. Selanjutnya, toleransi antar budaya dapat
muncul sebagai reaksi positif dan keberagaman tersebut. Upaya tersebut terjadi di
lembaga pendidikan sekolah yang berada di masyarakat multikultural dan juga
terjadi di sekolah yang komunitasnya adalah komunitas multikultur.
Awal masuk sekolah, para siswa telah dihadapkan dengan berbagai hal
yang baru dan berbeda. Mereka bertemu dengan teman sebaya, guru, dan unsur
organisasi sekolah lainnya dalam suasana dan lingkungan yang baru. Di sekolah,
siswa berada dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas dari lingkungan
keluarganya. Di sinilah diperlukan adanya proses sosialisasi agar anak dapat
menempati dan diterima dalam lingkungan yang baru. Apalagi dengan lingkungan
baru yang sangat beragam karakter, etnis dan budaya di dalamnya.
Lebih khusus lagi bila sekolah tersebut adalah sekolah berasrama
(boarding school), yang memungkinkan siswa lebih banyak berhubungan dan
bersosialisasi dengan teman sebayanya. Semua kegiatan hidupnya dijalankan
bersama-sama dengan lingkungan sosial barunya dengan segala perbedaan yang
dihadapinya. Jadi, proses adaptasi dan usaha penyesuaian diri akan terjadi di
antara para siswa, dan mengurangi kemungkinan terjadinya benturan-benturan
kecil. Benturan-benturan kecil tersebut bila tidak diatasi dengan sikap menerima
perbedaan, akan berakibat konflik yang lebih besar. Di sinilah sikap empati dan
toleransi dibutuhkan guna menjaga keberlangsungan kehidupan sosialnya yang
baru, yakni pembentukan suatu standar umum kebudayaan yang diterima oleh
seluruh komunitas.
Sekolah berfungsi sebagai kontrol sosial. Seperti yang dikatakan oleh
Durkheim (Ballantine, 1983: 8-9) bahwa "sekolah berperan dalam menyiapkan
anak menjadi bagian dari masyarakat. Bahwa pendidikan moral dapat digunakan
untuk mengurangi sifat egoisme anak dan menjadi pribadi yang memiliki rasa
tanggung jawab sosial." Selanjutnya beliau mengatakan bahwa "setiap perubahan
dalam masyarakat adalah refleksi perubahan dalam pendidikan. Sekolah sebagai
perantara antara moral afektif keluarga dan moral kerasnya kehidupan dalam
masyarakat. Disiplin adalah moral yang didapatkan di sekolah dan tanpa moral
kelas akan menjadi seperti rimba."
Dalam konteks pembelajaran hidup bersama, terdapat banyak sistem nilai
yang berbeda, sebagian sangat fleksibel berkaitan dengan persepsi individu dan
sebagian lagi rigid, khususnya sistem nilai kolektif. Hal tersebut berlaku juga
dalam bidang pendidikan di sekolah. Berbagai etnik bergabung dalam satu wadah,
bersatu dan berbaur dengan membawa ciri masing-masing. Masing-masing
kelompok mempunyai beberapa identitas yang berkaitan dengan etnis, bahasa,
kebiasaan dan lain sebagainya. Interaksi sosial antarsiswa dari berbagai etnis
tersebut dalam lingkungan sekolah, menjadi sulit terlaksana apabila ada perbedaan
sosial, yakni adanya perbedaan cara pandang atas satu hal yang sama. Perbedaan
semacam mi sering disertai berkembangnya stereotip satu kelompok etnis atas
kelompok lain, yakni berkembangnya suatu proses generalisasi yang dilakukan
secara tidak akurat tentang sifat ataupun perilaku yang dimiliki oleh individu-
individu anggota dari kelompok sosial tertentu (Susetyo, 2010: 20).
Juga seperti yang terjadi di MAN Insan Cendekia dan diceritakan oleh
Maman, siswa kelas X asal Gorontalo, bahwa sempat ia dan teman-teman yang
lain saling beradu mulut bahkan hampir saling memukul dengan siswa yang
berasal dari Nusa Tenggara. Konflik tersebut diawali dengan dipegangnya kepala
siswa dari Nusa Tenggara tersebut oleh Maman yang sebenarnya bermaksud
akrab. Namun ditanggapi berbeda oleh siswa asal Nusa Tenggara. Memang
menurut nilai dan norma yang dianut oleh siswa Nusa Tenggara tersebut,
menyentuh, atau memegang kepala orang lain berarti memandang enteng, atau
mengecilkan arti. Sementara menurut pemahaman masyarakat Gorontalo, hal
tersebut berarti persahabatan dan keakraban.
Demikian juga halnya dengan kasus siswa dari Jawa Barat, yang merasa
dilecehkan ketika seorang teman dari Gorontalo menyentuhnya dengan
menggunakan kaki. Hal tersebut dianggap lumrah bagi orang Gorontalo, namun
dianggap sangat tidak sopan bagi mereka. Akhirnya dari pengalaman tersebut
timbullah suatu prasangka bahwa secara umum etnis Gorontalo dalam bergaul
sangat tidak sopan. Benturan-benturan seperti inilah yang menjadi awal dari
kesenjangan hubungan antar etnik bila kesepahaman antaretnik/ individu tidak
segera ditolerir.
Pengalaman tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Blumer dan
Mead (Susilo, 2008) bahwa manusia adalah individu yang berfikir, berperasaan,
memberikan pengertian kepada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan
interpretasi kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan
melalui interpretasi. Aksi yang diterimanya dimaknai dan bereaksi sesuai dengan
nilai dan norma yang dianutnya masing-masing. Nilai yang dianut oleh masing-
masing etnis adalah berbeda terhadap sesuatu yang sama. Seperti juga yang
dikatakan oleh Van Krieken (2006: 579), bahwa "From an interactionist
perspective, action is not entirely determined by external forces, it is largely
directed by the meaning that actors give to object, events and the activities of
themselves and others. " Bahwa dari perspektif interaksionis, aksi tidaklah
ditentukan oleh kekuatan dari luar, namun lebih banyak ditentukan langsung dari
makna yang aktor berikan terhadap objek, kejadian, dan aktifitas-aktifitas mereka
dan orang lam. Dengan demikian siswa melakukan reaksi terhadap aksi yang
diterimanya dari siswa lain berdasarkan makna atau hasil evaluasi terhadap objek
atau lawan interaksinya.
Kesadaran adalah proses berpikir manusia, dan pada titik ini fenomenologi
bersentuhan dengan interaksionisme simbolik yang juga memperhatikan esensi
interaksi berdasarkan proses berpikir manusia. Sebagaimana pandangan Mead
bahwa pikiran (mind) dan diri (self) muncul dan berkembang dari proses interaksi
sosial dalam masyarakat, dan karena itu menjadi fenomena sosial (Veeger, 1993:
Ritzer & Douglas, 2003). Blumer (Poloma, 2007) mempertegas bahwa pikiran
selalu menunjuk objek (fisik dan nonfisik), dan objek tersebut saling disesuaikan
dalam tindakan bersama saat berinteraksi. Ketika manusia membentuk dan
merancang objek, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan
mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut, itulah disebut penafsiran
atau bertindak berdasarkan simbol.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan, mengemban tugas untuk
melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan
mengajarkan nilai-nilai yang menjadi a way of life masyarakat dan bangsanya.
Sekolah juga berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan
sosial dan kontrol sosial dengan mempergunakan program asimilasi dan nilai-nilai
subgroup yang beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai dominan yang dimiliki dan
menjadi pola panutan bagi sebagian masyarakat. Dengan kata lain, sekolah
berfungsi sebagai alat pemersatu dari berbagai pandangan hidup yang dianut para
siswa. Selain itu, sekolah juga sebagai alat pelestari nilai-nilai budaya etnik. Jadi,
interaksi yang berjalan diantara aktor di dalam sekolah akan terkontrol oleh nilai-
nilai dan norma yang telah diatur sebagai alat dan pandangan hidup mereka.
Sekolah sebagai organisasi yang menghimpun masyarakat dari berbagai
budaya etnik, dalam perkembangannya akan bersinggungan dengan konsep hidup
bersama, walaupun masing-masing budaya berdiri secara otonom, sehingga
tampak seperti masyarakat yang multietnis atau polietnis. Untuk dapat mencapai
kehidupan bersama dalam kesetaraan, sekolah berperan menerapkan suatu sikap
yang menghindari bias dan dominasi kultural.
Jadi dalam proses interaksi antaretnik, individu dipengaruhi oleh sistem
budayanya masing-masing, di pihak lain tindakan-tindakan interaksi tersebut
distimulasi oleh nilai-nilai dan norma yang ada. Norma yang ada atau nilai
bersama (sliaredvalues) tersebut yang akhirnya menjadi standar umum
kebudayaan, setidaknya merupakan mediator dalam memperlancar iklim
hubungan antaretnik. Menurut Parsons (Raho, 2007: 55), sosialisasi terjadi ketika
nilai-nilai yang dihayati bersama dalam masyarakat diinternalisir oleh anggota-
anggota masyarakat itu. Anggota masyarakat mengadopsi nilai-nilai masyarakat
menjadi nilai-nilainya sendin. Jadi sosialisasi mempunyai kekuatan integratif yang
sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat.
Seperti halnya yang ditemukan Salim (2005) dalam penelitiannya di SMP
Maria Goretti Semarang, bahwa siswa Minahasa sulit mempertahankan adat
istiadatnya di tanah rantau. Keluarga Minahasa cenderung menggunakan budaya
dominan sebagai model pola perilakunya dalam kehidupan kesehariannya.
Dengan kata lain, mereka mengambil budaya dominan sebagai nilai-nilainya
sendiri. Orang Sulawesi Utara memang dikenal dapat bergaul dengan siapapun,
ramah, supel, dapat cepat bergaul dan menyatu dengan siapa saja.
Sekolah pada umumnya sering melupakan salah satu aspek dalam
pendidikan yaitu memupuk interaksi sosial edukatif antarsiswanya. Biasanya
sekolah hanya terfokus pada aspek peningkatan kualitas akademiknya saja karena
hal tersebutlah yang menjadi ukuran utama keberhasilan sekolah di mata
masyarakat. Padahal aspek interaksi juga sangat mendukung keberhasilan sekolah
tersebut walau hasilnya tidak terlihat secara langsung.
Kajian ini berada pada tatanan sosiologi pendidikan, yang mempersoalkan
pertemuan dan percampuran dan lingkungan sekitar kebudayaan sedemikian rupa
melalui interaksi antaraktornya sehingga terbentuk perilaku tertentu dari sekolah
atau lingkungan pendidikan. Dalam hal ini perlu diberikan suatu penekanan
bahwa dari aspek sosiologis, dalam lembaga, kelompok sosial dan proses sosial
terdapat hubungan yang saling terjalin, di mana dalam interaksi sosial tersebut
individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya. Sementara dari
segi pedagogis nya, bahwa seluruh individu dan masyarakat, kelompok sosial dan
proses sosialnya berlangsung di sekitar sistem pendidikan yang selalu bergerak
dinamis.
Program pendidikan antar siswa atau antar kelompok mi bergantung pada
struktur sosial siswa-siswanya. Ada tidaknya golongan minoritas diantara mereka
memengaruhi hubungan kelompok-kelompok tersebut (Idi, 2011). Setiap siswa di
sekolah menunjukkan perbedaan etnisnya, adat istiadat, dan kedudukan sosialnya
masing-masing. Berdasarkan perbedaan tersebut timbullah kelompok mayoritas
dan minoritas di kalangan mereka. Menurut Idi (2011), kelompok dalam sekolah
dapat dikategorikan berdasarkan status sosial orang tua siswa, hobi/minat siswa,
intelektualitas, jenjang kelas, agama, dan asal daerah.
Status sosial orangtua siswa sangat memengaruhi pergaulan siswa. Pada
umumnya anak pejabat akan cenderung bergaul dengan teman selevel. Hal ini
terjadi pada pergaulan di luar dan di dalam sekolah. Mereka enggan bergaul
dengan anak buruh atau petani. Kalaupun ada, jumlahnya sangatlah sedikit.
Kesamaan minat/hobi mendorong rasa kebersamaan di antara para siswa.
Siswa yang senang berolahraga akan membentuk kelompok dan intensif bergaul
dengan siswa yang juga senang olahraga. Demikian juga pada kegiatan ekstra
icurikuler lainnya di sekolah, misalnya kelompok llmiah remaja, pramuka, musik,
palang merah remaja, dan lain-lain. Para siswa akan membentuk jalinan ikatan
emosional dengan siswa lain yang sama-sama mengambil kegiatan ekstra
kurikuler yang sama.
Berikutnya intelektualitas. Ada juga peluang terjadi kelompok berdasarkan
tingkatan intelektualitas para siswa. Namun hal ini jarang terjadi. Kecuali bila
pihak sekolah yang mengelompokkan siswa berdasarkan hal tersebut. Biasanya
beberapa sekolah mengelompokkan siswa dengan memberi label kelas unggulan
atau kelas internasional. Namun kadang juga menimbulkan kesenjangan sosial.
Kalaupun ada terjadi, siswa yang pintar pada umumnya lebih banyak
menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada di kantin atau di tempat lain.
Kehidupan mereka di sekolah lebih banyak dihabiskannya dengan kegiatan
akademik, dan mereka tidak berbaur dengan kelompok kelas lainnya.
Kelompok berikutnya adalah kelompok berdasarkan agama. Kegiatan
perayaan dan peribadatan sering mempertemukan mereka dalam kebersamaan dan
kepemilikan. Namun hal ini bukan merupakan faktor dominan di kalangan siswa.
Juga hal tersebut tidak terjadi di sekolah-sekolah agama, seperti MAN Insan
Cendekia.
Kelompok jenjang kelas merupakan kelompok yang paling dominan yang
terjadi di sekolah. Pada umumnya kelompok dalam kelas yang sama lebih nyaman
bergaul dengan teman-teman seangkatannya.
Selanjutnya adalah kelompok asal daerah. Kesamaan asal daerah
memberikan peluang bagi terbentuknya kelompok di sekolah. Pada umumnya
siswa dalam satu sekolah sebagian besar berasal dari daerah yang sama. Namun
kenyataan yang dijumpai di MAN Insan Cendekia, para siswa berasal dari hampir
seluruh provinsi di Indonesia. Pada awalnya, kelompok yang terbentuk di sana
adalah kelompok etnis, namun seiring berjalannya waktu dan saling mengenalnya
para siswa, maka kelompok-kelompok etnis mulai berkurang dan terjadi
pembauran yang terdiri dari berbagai daerah. Hal ini diduga disebabkan sifat
umum siswa di usia remaja yang ingin mempunyai banyak kawan, atau pola
pengelolaan sekolah yang mengharuskan para siswa untuk berbaur tanpa melihat
asal usul mereka.
Ada juga siswa yang berkelompok dengan sesama daerah, namun hal
tersebut hanya pada waktu tertentu, atau yang kebetulan telah bersahabat sebelum
masuk ke MAN Insan Cendekia, atau mereka sebelumnya berasal dari sekolah
atau kelas yang sama pada saat mereka masih SMP.
Sebagai sebuah anggota komunitas sekolah, siswa tidak akan luput dari
masalah dalam interaksi antar kelompok. Masalah tersebut antara lain adalah
adanya gap antara kelompok. Persaingan dan kecemburuan sering memicu konflik
antar kelompok. Kelompok minoritas cenderung sering diabaikan baik secara fisik
maupun kebijakan. Munculnya kelompok-kelompok geng motor, anak band dan
lain-lain adalah representasi dari kekuatan siswa dalam pergaulannya di sekolah.
Secara psikologis emosional, perkelahian antar kelompok pelajar atau individu
dapat dimaklumi karena pada usia tersebut adalah masa perkembangan siswa
mencari jati keseimbangan etnik. Nilai-nilai dalam hal ini adalah kebudayaan
umum suatu masyarakat tempat proses sosial tersebut berlangsung.
Mengingat beragamnya etnik yang ada dan demi menjaga kestabilan dan
keseimbangan (equilibrium), salah satu usaha pihak sekolah MAN Insan
Cendekia, selain menerapkan norma-norma, aturan-aturan dan tata tertib sekolah
baik tertulis maupun tidak tertulis lalah dengan menerapkan hak asuh
pertanggungjawaban setiap guru terhadap sepuluh orang siswa sebagai pengganti
orang tua. Segala silang sengketa, konflik, diselesaikan bersama dengan
musyawarah atas bimbingan guru asuh tersebut. Kestabilan tercapai dengan selalu
menerapkan norma dan aturan yang dibuat dan disepakati bersama.
E. Disiplin Sekolah
Lembaga pendidikan diselenggarakan dengan tujuan menumbuhkan dan
mengembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan religius.
Sekolah sebagai pengembang proses pembelajaran mempunyai tujuan
mengembangkan pengetahuan siswa, kepribadian, aspek sosial emosional, dan
keterampilan. Selain itu sekolah juga bertanggung jawab dalam membantu
siswa yang bemasalah, baik dalam belajar, emosional, maupun sosial sehingga
mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-
masing. Artinya, tugas sekolah adalah menyiapkan siswa untuk menuju
kehidupan bermasyarakat melalui pembelajaran yang diarahkan untuk
mengasah potensi mereka dengan sikap disiplin. (Suyoto; 2011)
Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa
agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berpenlaku sesuai
dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut
Bullon (2006), kata 'discipline' adalah suatu cara melatih diri atau pikiran dalam
melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Cukup sederhana dan luwes
kedengarannya, namun dalam sebuah lingkungan pendidikan remaja,
penerapannya memerlukan kerja keras dari semua pihak. Penerapan disiplin
adalah hal yang sangat penting karena memberikan efek langsung pada
pembentukan pola hidup.
Dalam arti yang lebih luas disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang
ditujukan untuk membantu siswa menghadapi lingkungannya. Dengan disiplin,
siswa diharapkan bersedia tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan menjauhi
larangan tertentu. Menegakkan disiplin tidak bertujuan untuk mengurangi
kemerdekaan yang lebih besar kepada siswa dalam batas kemampuannya. Akan
tetapi, jika kebebasan peserta didik terlampau dikurangi, dikekang dengan
peraturan, siswa akan berontak dan mengalami frustasi dan kecemasan (Roham:
1991). Dengan demikian, disiplin yang diterapkan di sekolah bertujuan untuk
mengarahkan siswa untuk belajar hidup dengan pembiasaan yang baik, positif,
dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya, baik pada masa bersekolah
maupun setelah berada dalam masyarakat nanti.
Kedisiplinan sebagai alat pendidikan adalah suatu tindakan, perbuatan
yang dengan sengaja diterapkan untuk kepentingan pembelajaran di sekolah.
Tindakan atau perbuatan tersebut dapat berupa perintah, nasehat, larangan,
harapan, dan hukuman atau sanksi. Kedisiplinan sebagai alat pendidikan
diterapkan dalam rangka proses pembentukan, pembinaan dan pengembangan
sikap dan tingkah laku yang baik.
Selain sebagai alat pendidikan, kedisiplinan juga berfungsi sebagai alat
menyesuaikan din dalam lingkungan yang ada. Dalam hal ini kedisiplinan dapat
mengarahkan seseorang untuk menyesuaikan diri terutama dalam menaati
peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan itu.
Oleh karena itu disiplin sangat dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin
menjadi prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku dan tata tertib dalam
kehidupan, yang akan mengantar seorang siswa sukses dalam belajarnya. Disiplin
yang dimiliki oleh siswa akan membantu siswa itu sendiri dalam tingkah lakunya
sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa akan mudah menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang dihadapinya. Aturan yang terdapat di sekolah akan
bisa dilaksanakan dengan baik jika siswa sudah memiliki disiplin dalam dirinya.
MAN Insan Cendekia menerima sekian banyak siswa yang berasal dari
berbagai latar belakang, baik budaya maupun struktur sosial. Ada anak-anak yang
berangkat dari keluarga yang sudah terbiasa berdisiplin dan ada pula, biasanya
inilah yang paling banyak di jaman sekarang, yang tidak memiliki kemandirian
atau bahkan tak mampu sama sekali mengurus dirinya sendiri. Segala sesuatunya
serba berantakan. Mulai dari bangun pagi, sholat, merapikan kamar dan bahkan
mengamankan barang miliknya sendiri pun tak terbiasa. Yang beginilah yang
biasanya akan menjadi tugas berat bagi seorang pembina asrama. Karenanya,
beberapa faktor yang dapat dijadikan kunci keberhasilan penerapan disiplin baik
di sekolah maupun di asrama memang harus diperhatikan benar, supaya apa yang
sudah direncanakan bisa terwujud.
Selain itu, pelaksanaan aturan kedisiplinan di sekolah juga melibatkan
langsung siswa lewat wadah organisasi siswa yakni Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS). Demikian halnya MAN Insan Cendekia dalam pelaksanaan
pembelajarannya juga melibatkan organisasi siswa lm.
Organisasi ini berperan untuk mengemban aspirasi siswa, menyalurkan
kreatifitas, jiwa kepemimpinan serta minat dan bakat siswa. Mengingat sekolah
ini yang berpola boarding (berasrama), maka lingkup kerja para anggota OSIS
bukan hanya selama berada di sekolah, tetapi juga berlangsung selama mereka
berada di lingkungan asrama. Jadi, sistem yang dibangun mencakup seluruh aspek
aktifitas siswa di kampus. Ada beberapa pendekatan disiplin yang biasa
diterapkan di sekolah. Ballantine (1983) memberikan dua simpulan dasar-dasar
filosofi utama, yakni pendekatan otoriter dan pendekatan humanistik. Gambaran
sekolah yang otoriter terlihat seperti: mempunyai aturan-aturan disiplin yang
ketat, teratur, jelas siapa yang menjalankan sekolah atau kelas, dan penerapan
hukuman yang konsisten. Sebaliknya pendekatan humanistik memberi penekanan
pada kemanusiaan dan penghargaan kepada semua, termasuk siswa dalam
komunitas sekolah. Pendekatan ini memberi kesempatan pada siswa untuk
membuat keputusan sendiri dan berlaku dengan cara yang bertanggungjawab, dan
mempunyai aturan-aturan yang dibuat sesuai kebutuhan.
Carl Glickman dan Roy Tamashiro (Ballantine, 1983: 48-49)
mengklasifikasi para guru berdasarkan teknik disiplin yang diterapkannya: 1)
Non-interventionist: guru mempercayai bahwa siswa mempunyai kemampuan
dalam memecahkan masalah mereka sendiri jika diberi. dukungan oleh guru; 2)
Internationalist: guru secara aktif membatasi perilaku siswa "untuk memilih
antara aturan-aturan yang [ secara sosial telah diakui dan yang reguler. Cara
penyelesaian masalah perilaku siswa I memberi flingsi timbal balik antara siswa
dan guru; 3) interventionist: manajemen kelas yang berisi aturan standar perilaku
yang nyata dan penguatan yang tepat, positif atau negatif, 4) eclectic: guru
menggunakan kombinasi teknik-teknik tertentu dengan aturan standar perilaku
dari lntervensionis. Teknik yang digunakan di kelas memengaruhi atmosfir dan
interaksi antara guru dan siswa.
Sekolah merupakan ruang lingkup pendidikan. Dalam pendidikan ada
proses mendidik, mengajar dan melatih. Sebagai ruang lingkup pendidikan
sekolah harus menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang baik. Kondisi
yang baik bagi proses tersebut adalah kondisi aman, tenang, tertib dan teratur,
saling menghargai, dan hubungan pergaulan yang baik. Hal tersebut dapat dicapai
dengan merancang peraturan sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru, dan bagi
para siswa, serta
peraturan-peraturan lain yang dianggap perlu yang diimplementasikan
secara konsisten dan konsekuen. Apabila kondisi ini terwujud, sekolah akan
menjadi lingkungan kondusif bagi kegiatan dan proses pendidikan dan potensi dan
hasil siswa akan optimal. Disiplin sangat diperlukan dalam proses belajar
mengajar karena membantu proses kegiatan belajar mengajar dan meningkatkan
hubungan sosial.
Hurlock (2002: 85) mengemukakan unsur-unsur disiplin yakni: (1) adanya
peraturan sebagai pedoman perilaku, (2) konsistensi dalam menjalankan
peraturan, (3) memberi hukuman bagi yang melanggar, (4) memberi penghargaan
untuk perilaku yang baik.
Disiplin lahir dan berkembang dari sikap seseorang di dalam sistem nilai
budaya yang telah ada di dalam masyarakat. Unsur pokok yang membentuk
disiplin adalah sikap yang telah ada pada diri manusia dan sistem nilai budaya
yang ada di dalam masyarakat. Sikap atau attitude merupakan unsur yang hidup di
dalam jiwa manusia yang harus mampu bereaksi terhadap lingkungannya, dapat
berupa tingkah laku atau pemikiran. Adapun sistem nilai budaya merupakan
bagian dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman dan penuntun
bagi kelakuan manusia.
Pada umumnya siswa pada sekolah menengah berada pada usia 13 - 18
tahun yakni pada usia yang cenderung memiliki sifat yang bergejolak dan
menantang. Sekolah menjadi tempat penempatan para siswa dengan disiplin dan
penjagaan yang ketat, Di usia tersebut siswa sedang dalam masa pencarian jati
diri. Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011), pada usia remaja mulai tumbuh
dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan
menolongnya. Masa ini adalah masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai,
pantas dijunjung dan dipuja. Pada usia ini, siswa mencapai hubungan yang lebih
matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau
perempuan, menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif, dan
mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial, memperoleh
seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.
Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa masa remaja ini ditandai
dengan adanya kecenderungan identity-identity confusion, sebagai persiapan ke
arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya, dia berusaha membentuk dan memperlihatkan ciri-ciri khas dari
dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para
remaja sering sekali ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan
toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya,
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali merasa patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
Oleh karena itu, pada saat siswa berada di sekolah menengah penerapan
disiplin di sekolah sangat menentukan arah kehidupan siswa selanjutnya. Pada
masa ini individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan
sosial di mana ia berada dan bersamaan dengan itu pula individu mulai menyadari
bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma dan nilai-
nilai sebagai dasar dan patokan dalam berperilaku. Keputusan untuk melakukan
sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang telah
dianutnya yang telah didapatkannya di sekolah dan lingkungan sekitarnya.