multi kultur al is me

49
B. Sekolah sebagai Organisasi Sosial Secara umum, sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan sebagai organisasi sosial, mempunyai peran dan fungsi sosial sebagai: (1) fungsi manifestasi pendidikan: membantu orang mencari nafkah, menolong mengembangkan potensinya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya; melestarikan kebudayaan dengan cara mengajarkannya dari generasi ke generasi; merangsang partisipasi demokrasi melalui pengajaran keterampilan berbicara dan mengembangkan cara berfikir rasional; memperkaya kehidupan dengan cara menciptakan kemungkinan untuk Berkembangnya cakrawala intelektual dan cinta rasa keindahan; meningkatkan kemampuan menyesuaikan din melalui bimbingan pribadi dan berbagai kursus; meningkatkan taraf kesehatan melalui latihan dan olahraga; menciptakan warga negara yang patriotik melalui pelajaran yang menggambarkan kejayaan bangsa dan membentuk kepribadian yaitu susunan unsur dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan

Upload: ismail-xact

Post on 13-Apr-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

multikulturalisme

TRANSCRIPT

Page 1: Multi Kultur Al is Me

B. Sekolah sebagai Organisasi Sosial

Secara umum, sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan sebagai organisasi

sosial, mempunyai peran dan fungsi sosial sebagai: (1) fungsi manifestasi

pendidikan: membantu orang mencari nafkah, menolong mengembangkan

potensinya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya; melestarikan kebudayaan

dengan cara mengajarkannya dari generasi ke generasi; merangsang partisipasi

demokrasi melalui pengajaran keterampilan berbicara dan mengembangkan cara

berfikir rasional; memperkaya kehidupan dengan cara menciptakan kemungkinan

untuk Berkembangnya cakrawala intelektual dan cinta rasa keindahan;

meningkatkan kemampuan menyesuaikan din melalui bimbingan pribadi dan

berbagai kursus; meningkatkan taraf kesehatan melalui latihan dan olahraga;

menciptakan warga negara yang patriotik melalui pelajaran yang menggambarkan

kejayaan bangsa dan membentuk kepribadian yaitu susunan unsur dan jiwa yang

menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dan tiap individu, (2) fungsi

latent lembaga pendidikan adalah, mengurangi pengendalian orang tua melalui

pendidikan sekolah, di mana orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya

dalam mendidik anak kepada sekolah; menyediakan sarana untuk

pembangkangan, di mana sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai

pembangkangan di masyarakat; mempertahankan sistem kelas sosial, di mana

pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada siswa untuk

menerima perbedaan prestige, privilege, dan status yang ada dalam masyarakat.

(Idi, 2011)

Page 2: Multi Kultur Al is Me

Horton dan Hunt (1992) mengemukakan empat jenis sasaran organisasi

sekolah, yang meliputi titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah.

Pertama, sasaran formal, di mana ruang lingkup sasaran ini meliputi

tujuan formal dari suatu organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam

aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi

orientasi organisasi. Melalui struktur organisasi yang ada, tercermin adanya tugas

dan wewenang kepala sekolah, tugas gum dan staf administrasi sekolah.

Kedua, sasaran informal, di mana tidak sepenuhnya bekerja sesuai

ketentuan formal. Sasaran informal merupakan interpretasi dan modifikasi

sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah

organisasi. Sasaran tersebut mencakup pula persepsi masing-masing individu dan

menjadi tujuan kegiatan pribadi dalam organisasi.

Ketiga, sasaran ideologis. Seperti tersirat dalam istilah tersebut, sasaran

ideologis bertalian dengan seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang

diyakini bersama. Dalam hal ini nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu

sistem pengetahuan gagasan dan ide yang dimiliki suatu kelompok masyarakat

dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka

bernaung.

Keempat, sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan

menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan

eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa.

Dari pendapat Horton dan Hunt tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagai

organisasi, sekolah bukan hanya sekedar tumpukan peran-peran struktural yang

Page 3: Multi Kultur Al is Me

kaku, statis dan jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Tetapi mekanisme

tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam interpretasi para

anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan

status yang berbeda-beda dalam organisasi sekolah. Manifestasi spesifik dari

organisasi sekolah, pertama, sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas,

kedua, dalam organisasi sekolah terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi

yang saling bertalian seperti guru, supervisor, kepala sekolah, administrator,

dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan organisasi sosial yang

dibentuk dan bekerja secara birokratis. Namun, secara sosiologis, sekolah sebagai

organisasi sosial, dalam pengelolaannya tetap dipengaruhi oleh kepribadian,

sistem tata nilai yang berlaku dan dianut, kultural ideologis, hubungan

interpersonal, dan lam-lain. Karena yang menggerakkan sekolah adalah manusia

yang cenderung berubah dan berkembang berdasarkan kebutuhan dan lingkungan

di mana sekolah berada, maka kurikulum pendidikan sering mengalami perubahan

karena alasan sosiologis (Idi, 2011).

C. Hubungan antara Struktur, Nilai, Norma dan Peran Sosial

Jika perilaku dalam masyarakat terstruktur, artinya hubungan antara

anggota-anggota masyarakatnya diatur oleh aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk.

Nilai - yakni suatu keyakinan tentang sesuatu yang baik dan yang diinginkan -

memberi petunjuk bagaimana berperilaku dan bagaimana diterjemahkan ke dalam

bentuk aturan dan norma. Norma adalah petunjuk dalam berperilaku yang

Page 4: Multi Kultur Al is Me

diterima pada situasi tertentu. Norma sosial adalah suatu ukuran atau pandangan

tentang sesuatu atau sejumlah perilaku yang diterima dan disepakati secara umum

oleh warga suatu masyarakat (Garna, 1996).

Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari

berbagai unsur pembentuk masyarakat. Struktur sosial merupakan tata aturan

relasi yang berpola tertentu sebagaimana yang diharapkan untuk membimbing

interaksi sosial. Radcliffe-Brown (Garna, 1996: 150) mengemukakan analogi

struktur sosial dengan organisme biologik, dan struktur sosial meliputi segala: (1)

relasi sosial di antara para individu; dan (2) perbedaan individu dan kelas sosial

menurut peran sosial mereka. Konsep struktur dan fungsi tersebut sangat penting,

karena itu suatu aktifitas akan jelas apabila dibuktikan memiliki fungsi guna

memelihara struktur sosial.

Norma sosial (social norms) sebagai salah satu penyangga kebudayaan

adalah aturan dan ekspektasi tentang bagaimana anggota kelompok seharusnya

berperilaku (Taylor, dkk., 2009). Tindakan dan perilaku manusia senantiasa diatur

dan dibatasi oleh norma sosial yang berlaku agar setiap tindakan anggota

kelompok tidak bertentangan dengan yang lain. Dengan kata lain, norma sosial

adalah sebagai pengendali segala kelakuan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat yang biasa juga disebut sebagai pengawasan sosial.

Struktur sosial yang ada dalam sekolah tersusun oleh adanya relasi-relasi

antara kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, staf, dan siswa, dengan masing-

masing fungsinya. Seorang guru yang setiap hari berinteraksi dengan siswanya,

dipandu oleh aturan-aturan tertentu yang melingkupi hubungan guru dan siswa,

Page 5: Multi Kultur Al is Me

apakah itu di ruang kelas, di kantin, di asrama, atau di tempat lainnya. Demikian

pula para siswa setiap hari saling berinteraksi yang juga diatur dan dipandu oleh

norma-norma yang telah disepakati bersama. Interaksi-interaksi tersebut masing-

masing telah mempunyai pola tertentu, dan pola-pola itulah yang membedakan

interaksi antarguru, antarsiswa, antara guru dengan keluarganya atau teman-teman

kerabatnya dan mempunyai pola yang berbeda berdasarkan ruang dan waktu.

Terlepas dari posisi dan statusnya, beberapa norma berlaku untuk setiap

orang dalam suatu kelompok sosial. Di sekolah, semua individu harus mematuhi

aturan sekolah. Seringkali norma yang berlaku pada suatu masyarakat akan

tergantung pada posisi seseorang. Guru diharapkan mengajar tepat waktu,

menyiapkan bahan pelajaran dengan baik, memberi nilai dan sebagainya.

Sementara siswa diharapkan menyerap pelajaran dengan baik, mencatat pelajaran,

mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, mengikuti ujian dan lain-lain. Staf

admimstrasi harus siap melayani dan menyiapkan segala keperluan akademik

sekolah.

Peran sosial (social role) berarti seperangkat norma yang berlaku untuk

orang-orang dengan posisi tertentu, seperti guru dan siswa (Van Krieken, et al.,

2006). Individu yang berperilaku dalam masyarakat adalah seperti seorang aktor

dalam memainkan peran. Di teater, naskah drama akan menentukan tata

panggung, menentukan peran yang akan dimainkan dan menentukan apa yang

mesti dilakukan dan dikatakan oleh aktor. Demikian pula, kultur memberi banyak

aturan dan norma sosial untuk berperilaku, Asumsi dasar teori Erving Goffman

adalah bahwa peran yang ditampilkan atau yang diharapkan dalam interaksi antar

Page 6: Multi Kultur Al is Me

etnik mengandung simbol tertentu yang digunakan sebagai standar dari perilaku

bersama.

Struktur masyarakat dapat dilihat secara keseluruhan sebagai hubungan

sosial yang dipandu oleh norma-norma. Hal utama masyarakat adalah institusi

sosialnya -seperti keluarga, pendidikan, sistem politik, dan lain-lain - yang

merupakan aspek utama struktur sosial. Suatu institusi dapat dilihat sebagai suatu

struktur yang dibuat dari hubungan antarperan atau antarnorma (Van Krieken, et

al, 2006). Seperti yang terlihat dalam institusi pendidikan yakni sekolah, peran

sebagai kepala sekolah, guru, staf, siswa laki-laki dan perempuan. Masing-masing

institusi dapat dilihat sebagai sistem yang terstruktur dalam lmgkungannya atau

suatu subsistem pada sistem sosial yang lebih luas.

Emile Durkheim (Van Krieken, et al., 2006) menekankan bahwa fungsi

utama pendidikan adalah sebagai penyebaran norma-norma dan nilai-nilai

masyarakat. Beliau juga mengatakan: "Society ... cannot exist except on the

condition that all of its members are sufficiently alike-that is to say, only on the

condition that they all reflect, in differing degree, the characteristics essential for

a given ideal, which is the collective ideal. " Bahwa masyarakat tak dapat eksis

kecuali pada kondisi semua anggotanya cukup sama. Tanpa kesamaan esensial,

kerja sama, dan solidaritas sosial, kehidupan sosial takkan mungkin terjadi. Cita-

cita kolektif adalah cita-cita yang ingin dituju.

Dengan teori-teori pendidikannya Durkheim menganggap bahwa

pendidikan sebagai ikhtiar sosial (social thing). Dikatakannya bahwa masyarakat

secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya,

Page 7: Multi Kultur Al is Me

merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan.

Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat

homogenitas yang memadai bagi warganya. Keseragaman yang esensial yang

dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan yang diperkuat

penanamannya sejak dini pada anak-anak. (Idi: 2011)

Selanjutnya, Durkheim (Ballantine; 1983), menggarisbawahi

keyakinannya tentang fungsi sekolah dan hubungannya dengan masyarakat.

Baginya, nilai-nilai moral adalah dasar tatanan sosial, dan masyarakat diabadikan

melalui institusi pendidikannya. Setiap perubahan dalam masyarakat adalah

refleksi suatu perubahan dalam pendidikan, dan sebaliknya. Faktanya, pendidikan

adalah bagian yang aktif dari proses perubahan. Dalam karyanya, beliau

menganalisis kelas sebagai masyarakat kecil {small societies), agen sosialisasi.

Sekolah sebagai suatu perantara antara moral afektif keluarga dan kerasnya

kehidupan moralitas dalam masyarakat. Disiplin adalah moralitas di dalam kelas,

dan tanpanya kelas hanya akan seperti segerombolan manusia.

Menurut Durkheim (Damsar, 2011: 32) moralitas memiliki tiga unsur,

yaitu semangat disiplin, ikatan pada kelompok, dan otonomi. Pada dasarnya

moralitas adalah disiplin. Semua disiplin bertujuan ganda: mengembangkan

keteraturan tertentu dalam perilaku masyarakat, dan memberinya sasaran tertentu

yang sekaligus juga membatasi cakrawalanya. Disiplin mengatur dan memaksa.

Disiplin menjawab segala sesuatu yang selalu terulang dan bertahan lama dalam

hubungan antar manusia. Oleh karena itu, disiplin menciptakan ikatan dalam

kelompok. Dengan demikian moralitas memiliki fungsi bagi bertahannya suatu

Page 8: Multi Kultur Al is Me

masyarakat. Moralitas sebenarnya tujuan dari impersonal dan umum, yang tidak

tergantung dari pribadi dan kepentingan pribadi. Inilah bentuk otonomi dari

moralitas.

Berkaitan dengan fungsi sekolah, maka kelas merupakan suatu sistem

sosial, demikian argumentasi Parsons. Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur

yang saling fungsional antara satu dengan lainnya, yaitu guru, siswa, dan

manajemen sekolah. Setiap aktor memperhatikan status dan peran sebelum

mereka bertindak dan berperilaku. Status aktor, apakah ia sebagai guru, siswa atau

manajemen sekolah, memiliki perilaku yang diharapkan untuk diperankan.

Pada dasarnya proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah

interaksi kegiatan yang berlangsung dalam ruang kelas. Kiprah interaksi di kelas

secara khusus berusaha memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat.

Namun, berkaitan dengan pertemuan dan interaksi siswa yang terjadi, di MAN

Insan Cendekia bukan hanya berlangsung di kelas, tapi juga terjadi di asrama dan

di tempat lain dalam lingkungan sekolah sebagai satu kesatuan kehidupan sosial,

maka penanaman nilai-nilai kebersamaan juga diatur untuk medan sosial yang

lebih bervariasi tersebut. Artinya, sistem sosial juga berjalan di masing-masing

medan sosial tersebut. Untuk itu, tata tertib tidak hanya dibuat untuk diberlakukan

dalam lingkungan madrasah, namun juga di lingkungan asrama.

Interaksi sosial adalah bentuk umum proses-proses sosial, dan karena

bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari

interaksi, maka interaksi sosial dapat dinamakan proses sosial itu sendiri. Interaksi

sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan

Page 9: Multi Kultur Al is Me

mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan syarat utama

terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang

dinamis, yang menyangkut hubungan antar individu, antara kelompok-kelompok

manusia, maupun antara individu dengan kelompok manusia.

Unsur utama yang berperan dalam interaksi sosial antar manusia, adalah

(1) struktur sosial (social structure-); (2) tindakan sosial (social action); (3) relasi

sosial (social relations); dan (4) impression management.

Unsur-unsur pembentuk masyarakat dalam struktur sosial saling

berhubungan satu dengan yang lain dan fungsional. Artinya bila terjadi perubahan

salah satu unsur, unsur yang lain akan mengalami perubahan juga. Unsur

pembentuk masyarakat adalah individu yang ada sebagai anggota masyarakat,

tempat tinggal atau suatu lingkungan kawasan yang menjadi tempat di mana

masyarakat itu berada dan juga kebudayaan serta nilai dan norma yang mengatur

kehidupan bersama tersebut.

Tiap unsur tersebut akan membentuk sistem atau pola hubungan yang

menjadi roh dari struktur tersebut sekaligus menunjukkan dinamika sosial yang

terjadi di dalamnya. Hubungan antar individu menghasilkan pola-pola hubungan

yang ada, dalam bentuk status dan peran masing-masing. Hubungan antara

individu dan kelompok akan memunculkan proses sosialisasi dan juga pola

interaksi yang ada. Sementara hubungan antara manusia dengan lingkungannya

akan menimbulkan kebudayaan baik yang bersifat material maupun kebudayaan

nonmaterial. Pola hubungan-hubungan yang terjadi dan berbagai unsur kehidupan

Page 10: Multi Kultur Al is Me

masyarakat ini akan menjadi ciri dari masyarakat tersebut sendiri yang mungkin

berbeda dengan masyarakat lainnya.

Demikian juga yang dikatakan oleh Liliweri (2005) bahwa hubungan antar

manusia tidak hanya sekedar memenuhi unsur; struktur sosial (social structure);

tindakan sosial (social action); dan relasi sosial (social relation), melainkan juga

harus dikelola dengan sedemikian rupa. Selalu ada cara dan pola yang kelak akan

membentuk norma-norma budaya yang berlaku dalam situasi tertentu yang

digunakan oleh dua pihak untuk memelihara dan melanggengkan interaksi, demi

membangun klaim identitas diri yang positif atau mencegah kesalahpahaman

karena stigma atau labeling.

Studi yang dilakukan oleh Sudjarwo (1997) mendukung hal tersebut.

Penelitiannya mengungkap pola interaksi sosial masyarakat majemuk yang

memelihara dan melanggengkan interaksi dalam tiga jalur hubungan sosial

masyarakat Lampung, (keluarga, pekerjaan dan ekonomi) untuk mencapai

integrasi bangsa. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa lembaga sosial

memiliki peran positif yakni sebagai integrator, memberi kontribusi terhadap

karakteristik kelompok suku. Hal ini berarti bahwa suatu kebijakan diterapkan

dengan tujuan mengubah dinamika karakteristik kelompok dapat dilakukan

melalui lembaga sosial. Upaya kelembagaan dan karakteristik kelompok tersebut

mempunyai pengaruh positif terhadap norma sosial yang dikembangkan oleh

kelompoknya. Karakteristik kelompok mempunyai pengaruh yang positif terhadap

pembentukan pola pikir. Karakteristik kelompok, pola pikir dan norma secara

bersama-sama memengaruhi pembentukan persepsi dan sikap. Selanjutnya

Page 11: Multi Kultur Al is Me

karakteristik kelompok, pola pikir, norma, persepsi dan sikap yang dikembangkan

mempunyai pengaruh positif terhadap

[interaksi sosial. Semua kesimpulan tersebut berlaku untuk interaksi sosial jalur

keluarga, pekerjaan dan ekonomi.

Demikian halnya dalam lembaga sosial yakni madrasah, hubungan

interaksi antar siswa, antara guru dan siswa, serta antar guru dikelola dengan

menggunakan norma dan aturan yang disepakati untuk ditaati untuk menjaga

kelangsungan interaksi. Madrasah sebagai lembaga sosial budaya untuk

memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Setiap

individu dalam lingkup sekolah harus berperilaku sesuai dengan norma dan

aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dengan baik, dan

tujuan pendidikan tercapai. Keempat unsur utama tersebut berperan dalam

interaksi sosial, saling berhubungan membentuk suatu mekanisme interaksi antar

manusia.

D. Interaksi Antaretnik dalam Perspektif Multikultural di Sekolah

Pendidikan dalam penyelenggaraannya melibatkan beberapa aktor mulai

dari tingkat pemerintah sampai ke masyarakat, seperti pemerintah pusat,

pemerintah daerah, dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, staf, siswa, orang tua

siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Mereka saling berinteraksi dalam

konteksnya masing-masing. Dalam melakukan interaksi sosial, masing-masing

melibatkan din dengan yang lam, dengan menggunakan simbol, makna,

Page 12: Multi Kultur Al is Me

pengalaman hidup, pikiran dan kemampuannya dalam melakukan peranannya

(Garna, 1996).

Proses interaksi sosial yang terkait dengan aktifitas pendidikan lebih

banyak terjadi di sekolah. Apakah itu interaksi antara guru dan siswa, antara guru

dan staf, antarguru atau antarsiswa, pada umumnya semuanya terjadi di sekolah

setiap hari.

Sebagai sebuah organisasi. sekolah adalah sistem perkumpulan sosial yang

dibentuk oleh masyarakat, yang tahu akan kebutuhannya dan

mendistribusikannya, dan berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam

pembangunan bangsa dan negara (Idi; 2011). Sekolah telah memenuhi persyaratan

fungsional yang dibutuhkan suatu sistem, seperti yang dikemukakan Parsons,

yaitu Adaptation/adaptasi (A), Goal Attainment/pencapaian tujuan (G),

Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan

latent

Sekolah adalah organisasi pendidikan, tempat berkumpulnya sekelompok

orang yang mempunyai tujuan yang sama, saling berintegrasi dan bekerja untuk

tujuan tersebut, yakni kependidikan. Terbentuknya lembaga sosial itu berawal dari

individu yang saling membutuhkan kemudian timbul norma-norma atau aturan-

aturan }ang dianggap penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat di

dalamnya. Setiap orang di dalamnya saling berhubungan dan berinteraksi satu

sama lain dalam konteks pendidikan di sekolah; yakni ada aktor yang mengajar,

ada yang belajar, ada yang melayani administrasi, ada yang menyiapkan makanan

dan minuman, ada yang membersihkan dan ada norma dan nilai yang disepakati

Page 13: Multi Kultur Al is Me

untuk dijalani demi keberlangsungan nya. Jadi dapat dikatakan bahwa sekolah

sebagai suatu sistem sosial adalah tempat berlangsungnya proses-proses

pendidikan.

Interaksi sosial antar aktor yang berjalan dalam ranah pendidikan tersebut

menerapkan hubungan interaksi yang bukan hanya berlangsung dalam konteks

formal tetapi juga dalam bentuk relasi informal. Bukan hanya berlangsung di

dalam kelas, namun juga berlangsung di luar kelas. Terkadang individu dalam

kelompok berinteraksi secara kooperatif. Mereka saling bekerja sama, saling

membantu, berbagi informasi, demi mencapai tujuan bersama. Namun tidak

jarang pula mereka saling bersaing, mendahulukan tujuan individu dan

menjatuhkan anggota lainnya.

Hubungan antaraktor atau relasi-relasi sosial milah yang menentukan

struktur masyarakat di dalamnya. Hubungan ini didasarkan kepada komunikasi

yang berjalan. Oleh karena itu komunikasi merupakan dasar dari existensi

masyarakat. Hubungan antarsiswa, antarguru, antarsiswa dan guru, atau relasi-

relasi sosial lainnya di sekolah, baik antarindividu maupun dengan kelompok-

kelompok dan antarkelompok, mewujudkan segi dinamika perubahan dan

perkembangan relasi sosial di dalamnya. Artinya, dengan saling berinteraksi

kehidupan sosial di sekolah akan terus berjalan. Tanpa ada interaksi, maka tidak

mungkin ada kehidupan bersama juga tidak mungkin menghasilkan pergaulan

hidup ataupun aktifitas sosial, serta tidak mungkin tercapai tujuan bersama.

Berkaitan dengan fungsi sekolah, interaksi yang berjalan di sekolah

merupakan perpanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga

Page 14: Multi Kultur Al is Me

maupun masyarakat. Waller (Idi, 2011: 154) menyatakan dalam analisis

penelitiannya bahwa pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi

situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan

penyelenggara.

Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan

kontrol sosial. Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi

sekolah yang memengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen

mengamalkan kriteria penafsiran norma dan nilai yang ditekankan oleh sekolah.

Individu atau unit-unit tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang

tertentu, saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka satu

dengan yang lainnya melalui proses interpretasi Dalam hal aktor yang berbentuk

kelompok maka tindakan kelompok itu adalah tindakan kolektif dari individu

yang tergabung ke dalam kelompok itu. Bagi teori ini individual, interaksi dan

interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial.

Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan

komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-

simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang

dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang

bersifat langsung terhadap stimulus. Tapi juga merupakan hasil proses belajar,

dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari

simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan

kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk

menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya (Ritzer, 2007).

Page 15: Multi Kultur Al is Me

Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik

(reciprocal relationship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran

signifikan guna membangun masyarakat multikultural, di sisi lam masyarakat

multikultural dengan segala karaktemya memiliki potensi signifikan untuk

memberhasilkan fungsi dan peran pendidikan pada umuranya.

Sekolah adalah bentuk institusi terdepan yang dapat dipakai sebagai ajang

proses pembenihan nilai-nilai budaya masyarakat yang beragam. Di sekolah, sejak

dini siswa telah dibiasakan mengembangkan empati bagi keberadaan kebiasaan,

perilaku dan pemikiran yang berbeda. Selanjutnya, toleransi antar budaya dapat

muncul sebagai reaksi positif dan keberagaman tersebut. Upaya tersebut terjadi di

lembaga pendidikan sekolah yang berada di masyarakat multikultural dan juga

terjadi di sekolah yang komunitasnya adalah komunitas multikultur.

Awal masuk sekolah, para siswa telah dihadapkan dengan berbagai hal

yang baru dan berbeda. Mereka bertemu dengan teman sebaya, guru, dan unsur

organisasi sekolah lainnya dalam suasana dan lingkungan yang baru. Di sekolah,

siswa berada dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas dari lingkungan

keluarganya. Di sinilah diperlukan adanya proses sosialisasi agar anak dapat

menempati dan diterima dalam lingkungan yang baru. Apalagi dengan lingkungan

baru yang sangat beragam karakter, etnis dan budaya di dalamnya.

Lebih khusus lagi bila sekolah tersebut adalah sekolah berasrama

(boarding school), yang memungkinkan siswa lebih banyak berhubungan dan

bersosialisasi dengan teman sebayanya. Semua kegiatan hidupnya dijalankan

bersama-sama dengan lingkungan sosial barunya dengan segala perbedaan yang

Page 16: Multi Kultur Al is Me

dihadapinya. Jadi, proses adaptasi dan usaha penyesuaian diri akan terjadi di

antara para siswa, dan mengurangi kemungkinan terjadinya benturan-benturan

kecil. Benturan-benturan kecil tersebut bila tidak diatasi dengan sikap menerima

perbedaan, akan berakibat konflik yang lebih besar. Di sinilah sikap empati dan

toleransi dibutuhkan guna menjaga keberlangsungan kehidupan sosialnya yang

baru, yakni pembentukan suatu standar umum kebudayaan yang diterima oleh

seluruh komunitas.

Sekolah berfungsi sebagai kontrol sosial. Seperti yang dikatakan oleh

Durkheim (Ballantine, 1983: 8-9) bahwa "sekolah berperan dalam menyiapkan

anak menjadi bagian dari masyarakat. Bahwa pendidikan moral dapat digunakan

untuk mengurangi sifat egoisme anak dan menjadi pribadi yang memiliki rasa

tanggung jawab sosial." Selanjutnya beliau mengatakan bahwa "setiap perubahan

dalam masyarakat adalah refleksi perubahan dalam pendidikan. Sekolah sebagai

perantara antara moral afektif keluarga dan moral kerasnya kehidupan dalam

masyarakat. Disiplin adalah moral yang didapatkan di sekolah dan tanpa moral

kelas akan menjadi seperti rimba."

Dalam konteks pembelajaran hidup bersama, terdapat banyak sistem nilai

yang berbeda, sebagian sangat fleksibel berkaitan dengan persepsi individu dan

sebagian lagi rigid, khususnya sistem nilai kolektif. Hal tersebut berlaku juga

dalam bidang pendidikan di sekolah. Berbagai etnik bergabung dalam satu wadah,

bersatu dan berbaur dengan membawa ciri masing-masing. Masing-masing

kelompok mempunyai beberapa identitas yang berkaitan dengan etnis, bahasa,

kebiasaan dan lain sebagainya. Interaksi sosial antarsiswa dari berbagai etnis

Page 17: Multi Kultur Al is Me

tersebut dalam lingkungan sekolah, menjadi sulit terlaksana apabila ada perbedaan

sosial, yakni adanya perbedaan cara pandang atas satu hal yang sama. Perbedaan

semacam mi sering disertai berkembangnya stereotip satu kelompok etnis atas

kelompok lain, yakni berkembangnya suatu proses generalisasi yang dilakukan

secara tidak akurat tentang sifat ataupun perilaku yang dimiliki oleh individu-

individu anggota dari kelompok sosial tertentu (Susetyo, 2010: 20).

Juga seperti yang terjadi di MAN Insan Cendekia dan diceritakan oleh

Maman, siswa kelas X asal Gorontalo, bahwa sempat ia dan teman-teman yang

lain saling beradu mulut bahkan hampir saling memukul dengan siswa yang

berasal dari Nusa Tenggara. Konflik tersebut diawali dengan dipegangnya kepala

siswa dari Nusa Tenggara tersebut oleh Maman yang sebenarnya bermaksud

akrab. Namun ditanggapi berbeda oleh siswa asal Nusa Tenggara. Memang

menurut nilai dan norma yang dianut oleh siswa Nusa Tenggara tersebut,

menyentuh, atau memegang kepala orang lain berarti memandang enteng, atau

mengecilkan arti. Sementara menurut pemahaman masyarakat Gorontalo, hal

tersebut berarti persahabatan dan keakraban.

Demikian juga halnya dengan kasus siswa dari Jawa Barat, yang merasa

dilecehkan ketika seorang teman dari Gorontalo menyentuhnya dengan

menggunakan kaki. Hal tersebut dianggap lumrah bagi orang Gorontalo, namun

dianggap sangat tidak sopan bagi mereka. Akhirnya dari pengalaman tersebut

timbullah suatu prasangka bahwa secara umum etnis Gorontalo dalam bergaul

sangat tidak sopan. Benturan-benturan seperti inilah yang menjadi awal dari

Page 18: Multi Kultur Al is Me

kesenjangan hubungan antar etnik bila kesepahaman antaretnik/ individu tidak

segera ditolerir.

Pengalaman tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Blumer dan

Mead (Susilo, 2008) bahwa manusia adalah individu yang berfikir, berperasaan,

memberikan pengertian kepada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan

interpretasi kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan

melalui interpretasi. Aksi yang diterimanya dimaknai dan bereaksi sesuai dengan

nilai dan norma yang dianutnya masing-masing. Nilai yang dianut oleh masing-

masing etnis adalah berbeda terhadap sesuatu yang sama. Seperti juga yang

dikatakan oleh Van Krieken (2006: 579), bahwa "From an interactionist

perspective, action is not entirely determined by external forces, it is largely

directed by the meaning that actors give to object, events and the activities of

themselves and others. " Bahwa dari perspektif interaksionis, aksi tidaklah

ditentukan oleh kekuatan dari luar, namun lebih banyak ditentukan langsung dari

makna yang aktor berikan terhadap objek, kejadian, dan aktifitas-aktifitas mereka

dan orang lam. Dengan demikian siswa melakukan reaksi terhadap aksi yang

diterimanya dari siswa lain berdasarkan makna atau hasil evaluasi terhadap objek

atau lawan interaksinya.

Kesadaran adalah proses berpikir manusia, dan pada titik ini fenomenologi

bersentuhan dengan interaksionisme simbolik yang juga memperhatikan esensi

interaksi berdasarkan proses berpikir manusia. Sebagaimana pandangan Mead

bahwa pikiran (mind) dan diri (self) muncul dan berkembang dari proses interaksi

sosial dalam masyarakat, dan karena itu menjadi fenomena sosial (Veeger, 1993:

Page 19: Multi Kultur Al is Me

Ritzer & Douglas, 2003). Blumer (Poloma, 2007) mempertegas bahwa pikiran

selalu menunjuk objek (fisik dan nonfisik), dan objek tersebut saling disesuaikan

dalam tindakan bersama saat berinteraksi. Ketika manusia membentuk dan

merancang objek, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan

mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut, itulah disebut penafsiran

atau bertindak berdasarkan simbol.

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan, mengemban tugas untuk

melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan

mengajarkan nilai-nilai yang menjadi a way of life masyarakat dan bangsanya.

Sekolah juga berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan

sosial dan kontrol sosial dengan mempergunakan program asimilasi dan nilai-nilai

subgroup yang beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai dominan yang dimiliki dan

menjadi pola panutan bagi sebagian masyarakat. Dengan kata lain, sekolah

berfungsi sebagai alat pemersatu dari berbagai pandangan hidup yang dianut para

siswa. Selain itu, sekolah juga sebagai alat pelestari nilai-nilai budaya etnik. Jadi,

interaksi yang berjalan diantara aktor di dalam sekolah akan terkontrol oleh nilai-

nilai dan norma yang telah diatur sebagai alat dan pandangan hidup mereka.

Sekolah sebagai organisasi yang menghimpun masyarakat dari berbagai

budaya etnik, dalam perkembangannya akan bersinggungan dengan konsep hidup

bersama, walaupun masing-masing budaya berdiri secara otonom, sehingga

tampak seperti masyarakat yang multietnis atau polietnis. Untuk dapat mencapai

kehidupan bersama dalam kesetaraan, sekolah berperan menerapkan suatu sikap

yang menghindari bias dan dominasi kultural.

Page 20: Multi Kultur Al is Me

Jadi dalam proses interaksi antaretnik, individu dipengaruhi oleh sistem

budayanya masing-masing, di pihak lain tindakan-tindakan interaksi tersebut

distimulasi oleh nilai-nilai dan norma yang ada. Norma yang ada atau nilai

bersama (sliaredvalues) tersebut yang akhirnya menjadi standar umum

kebudayaan, setidaknya merupakan mediator dalam memperlancar iklim

hubungan antaretnik. Menurut Parsons (Raho, 2007: 55), sosialisasi terjadi ketika

nilai-nilai yang dihayati bersama dalam masyarakat diinternalisir oleh anggota-

anggota masyarakat itu. Anggota masyarakat mengadopsi nilai-nilai masyarakat

menjadi nilai-nilainya sendin. Jadi sosialisasi mempunyai kekuatan integratif yang

sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat.

Seperti halnya yang ditemukan Salim (2005) dalam penelitiannya di SMP

Maria Goretti Semarang, bahwa siswa Minahasa sulit mempertahankan adat

istiadatnya di tanah rantau. Keluarga Minahasa cenderung menggunakan budaya

dominan sebagai model pola perilakunya dalam kehidupan kesehariannya.

Dengan kata lain, mereka mengambil budaya dominan sebagai nilai-nilainya

sendiri. Orang Sulawesi Utara memang dikenal dapat bergaul dengan siapapun,

ramah, supel, dapat cepat bergaul dan menyatu dengan siapa saja.

Sekolah pada umumnya sering melupakan salah satu aspek dalam

pendidikan yaitu memupuk interaksi sosial edukatif antarsiswanya. Biasanya

sekolah hanya terfokus pada aspek peningkatan kualitas akademiknya saja karena

hal tersebutlah yang menjadi ukuran utama keberhasilan sekolah di mata

masyarakat. Padahal aspek interaksi juga sangat mendukung keberhasilan sekolah

tersebut walau hasilnya tidak terlihat secara langsung.

Page 21: Multi Kultur Al is Me

Kajian ini berada pada tatanan sosiologi pendidikan, yang mempersoalkan

pertemuan dan percampuran dan lingkungan sekitar kebudayaan sedemikian rupa

melalui interaksi antaraktornya sehingga terbentuk perilaku tertentu dari sekolah

atau lingkungan pendidikan. Dalam hal ini perlu diberikan suatu penekanan

bahwa dari aspek sosiologis, dalam lembaga, kelompok sosial dan proses sosial

terdapat hubungan yang saling terjalin, di mana dalam interaksi sosial tersebut

individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya. Sementara dari

segi pedagogis nya, bahwa seluruh individu dan masyarakat, kelompok sosial dan

proses sosialnya berlangsung di sekitar sistem pendidikan yang selalu bergerak

dinamis.

Program pendidikan antar siswa atau antar kelompok mi bergantung pada

struktur sosial siswa-siswanya. Ada tidaknya golongan minoritas diantara mereka

memengaruhi hubungan kelompok-kelompok tersebut (Idi, 2011). Setiap siswa di

sekolah menunjukkan perbedaan etnisnya, adat istiadat, dan kedudukan sosialnya

masing-masing. Berdasarkan perbedaan tersebut timbullah kelompok mayoritas

dan minoritas di kalangan mereka. Menurut Idi (2011), kelompok dalam sekolah

dapat dikategorikan berdasarkan status sosial orang tua siswa, hobi/minat siswa,

intelektualitas, jenjang kelas, agama, dan asal daerah.

Status sosial orangtua siswa sangat memengaruhi pergaulan siswa. Pada

umumnya anak pejabat akan cenderung bergaul dengan teman selevel. Hal ini

terjadi pada pergaulan di luar dan di dalam sekolah. Mereka enggan bergaul

dengan anak buruh atau petani. Kalaupun ada, jumlahnya sangatlah sedikit.

Page 22: Multi Kultur Al is Me

Kesamaan minat/hobi mendorong rasa kebersamaan di antara para siswa.

Siswa yang senang berolahraga akan membentuk kelompok dan intensif bergaul

dengan siswa yang juga senang olahraga. Demikian juga pada kegiatan ekstra

icurikuler lainnya di sekolah, misalnya kelompok llmiah remaja, pramuka, musik,

palang merah remaja, dan lain-lain. Para siswa akan membentuk jalinan ikatan

emosional dengan siswa lain yang sama-sama mengambil kegiatan ekstra

kurikuler yang sama.

Berikutnya intelektualitas. Ada juga peluang terjadi kelompok berdasarkan

tingkatan intelektualitas para siswa. Namun hal ini jarang terjadi. Kecuali bila

pihak sekolah yang mengelompokkan siswa berdasarkan hal tersebut. Biasanya

beberapa sekolah mengelompokkan siswa dengan memberi label kelas unggulan

atau kelas internasional. Namun kadang juga menimbulkan kesenjangan sosial.

Kalaupun ada terjadi, siswa yang pintar pada umumnya lebih banyak

menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada di kantin atau di tempat lain.

Kehidupan mereka di sekolah lebih banyak dihabiskannya dengan kegiatan

akademik, dan mereka tidak berbaur dengan kelompok kelas lainnya.

Kelompok berikutnya adalah kelompok berdasarkan agama. Kegiatan

perayaan dan peribadatan sering mempertemukan mereka dalam kebersamaan dan

kepemilikan. Namun hal ini bukan merupakan faktor dominan di kalangan siswa.

Juga hal tersebut tidak terjadi di sekolah-sekolah agama, seperti MAN Insan

Cendekia.

Page 23: Multi Kultur Al is Me

Kelompok jenjang kelas merupakan kelompok yang paling dominan yang

terjadi di sekolah. Pada umumnya kelompok dalam kelas yang sama lebih nyaman

bergaul dengan teman-teman seangkatannya.

Selanjutnya adalah kelompok asal daerah. Kesamaan asal daerah

memberikan peluang bagi terbentuknya kelompok di sekolah. Pada umumnya

siswa dalam satu sekolah sebagian besar berasal dari daerah yang sama. Namun

kenyataan yang dijumpai di MAN Insan Cendekia, para siswa berasal dari hampir

seluruh provinsi di Indonesia. Pada awalnya, kelompok yang terbentuk di sana

adalah kelompok etnis, namun seiring berjalannya waktu dan saling mengenalnya

para siswa, maka kelompok-kelompok etnis mulai berkurang dan terjadi

pembauran yang terdiri dari berbagai daerah. Hal ini diduga disebabkan sifat

umum siswa di usia remaja yang ingin mempunyai banyak kawan, atau pola

pengelolaan sekolah yang mengharuskan para siswa untuk berbaur tanpa melihat

asal usul mereka.

Ada juga siswa yang berkelompok dengan sesama daerah, namun hal

tersebut hanya pada waktu tertentu, atau yang kebetulan telah bersahabat sebelum

masuk ke MAN Insan Cendekia, atau mereka sebelumnya berasal dari sekolah

atau kelas yang sama pada saat mereka masih SMP.

Sebagai sebuah anggota komunitas sekolah, siswa tidak akan luput dari

masalah dalam interaksi antar kelompok. Masalah tersebut antara lain adalah

adanya gap antara kelompok. Persaingan dan kecemburuan sering memicu konflik

antar kelompok. Kelompok minoritas cenderung sering diabaikan baik secara fisik

maupun kebijakan. Munculnya kelompok-kelompok geng motor, anak band dan

Page 24: Multi Kultur Al is Me

lain-lain adalah representasi dari kekuatan siswa dalam pergaulannya di sekolah.

Secara psikologis emosional, perkelahian antar kelompok pelajar atau individu

dapat dimaklumi karena pada usia tersebut adalah masa perkembangan siswa

mencari jati keseimbangan etnik. Nilai-nilai dalam hal ini adalah kebudayaan

umum suatu masyarakat tempat proses sosial tersebut berlangsung.

Mengingat beragamnya etnik yang ada dan demi menjaga kestabilan dan

keseimbangan (equilibrium), salah satu usaha pihak sekolah MAN Insan

Cendekia, selain menerapkan norma-norma, aturan-aturan dan tata tertib sekolah

baik tertulis maupun tidak tertulis lalah dengan menerapkan hak asuh

pertanggungjawaban setiap guru terhadap sepuluh orang siswa sebagai pengganti

orang tua. Segala silang sengketa, konflik, diselesaikan bersama dengan

musyawarah atas bimbingan guru asuh tersebut. Kestabilan tercapai dengan selalu

menerapkan norma dan aturan yang dibuat dan disepakati bersama.

E. Disiplin Sekolah

Lembaga pendidikan diselenggarakan dengan tujuan menumbuhkan dan

mengembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan religius.

Sekolah sebagai pengembang proses pembelajaran mempunyai tujuan

mengembangkan pengetahuan siswa, kepribadian, aspek sosial emosional, dan

keterampilan. Selain itu sekolah juga bertanggung jawab dalam membantu

siswa yang bemasalah, baik dalam belajar, emosional, maupun sosial sehingga

mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-

masing. Artinya, tugas sekolah adalah menyiapkan siswa untuk menuju

Page 25: Multi Kultur Al is Me

kehidupan bermasyarakat melalui pembelajaran yang diarahkan untuk

mengasah potensi mereka dengan sikap disiplin. (Suyoto; 2011)

Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa

agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berpenlaku sesuai

dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut

Bullon (2006), kata 'discipline' adalah suatu cara melatih diri atau pikiran dalam

melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Cukup sederhana dan luwes

kedengarannya, namun dalam sebuah lingkungan pendidikan remaja,

penerapannya memerlukan kerja keras dari semua pihak. Penerapan disiplin

adalah hal yang sangat penting karena memberikan efek langsung pada

pembentukan pola hidup.

Dalam arti yang lebih luas disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang

ditujukan untuk membantu siswa menghadapi lingkungannya. Dengan disiplin,

siswa diharapkan bersedia tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan menjauhi

larangan tertentu. Menegakkan disiplin tidak bertujuan untuk mengurangi

kemerdekaan yang lebih besar kepada siswa dalam batas kemampuannya. Akan

tetapi, jika kebebasan peserta didik terlampau dikurangi, dikekang dengan

peraturan, siswa akan berontak dan mengalami frustasi dan kecemasan (Roham:

1991). Dengan demikian, disiplin yang diterapkan di sekolah bertujuan untuk

mengarahkan siswa untuk belajar hidup dengan pembiasaan yang baik, positif,

dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya, baik pada masa bersekolah

maupun setelah berada dalam masyarakat nanti.

Page 26: Multi Kultur Al is Me

Kedisiplinan sebagai alat pendidikan adalah suatu tindakan, perbuatan

yang dengan sengaja diterapkan untuk kepentingan pembelajaran di sekolah.

Tindakan atau perbuatan tersebut dapat berupa perintah, nasehat, larangan,

harapan, dan hukuman atau sanksi. Kedisiplinan sebagai alat pendidikan

diterapkan dalam rangka proses pembentukan, pembinaan dan pengembangan

sikap dan tingkah laku yang baik.

Selain sebagai alat pendidikan, kedisiplinan juga berfungsi sebagai alat

menyesuaikan din dalam lingkungan yang ada. Dalam hal ini kedisiplinan dapat

mengarahkan seseorang untuk menyesuaikan diri terutama dalam menaati

peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan itu.

Oleh karena itu disiplin sangat dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin

menjadi prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku dan tata tertib dalam

kehidupan, yang akan mengantar seorang siswa sukses dalam belajarnya. Disiplin

yang dimiliki oleh siswa akan membantu siswa itu sendiri dalam tingkah lakunya

sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa akan mudah menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang dihadapinya. Aturan yang terdapat di sekolah akan

bisa dilaksanakan dengan baik jika siswa sudah memiliki disiplin dalam dirinya.

MAN Insan Cendekia menerima sekian banyak siswa yang berasal dari

berbagai latar belakang, baik budaya maupun struktur sosial. Ada anak-anak yang

berangkat dari keluarga yang sudah terbiasa berdisiplin dan ada pula, biasanya

inilah yang paling banyak di jaman sekarang, yang tidak memiliki kemandirian

atau bahkan tak mampu sama sekali mengurus dirinya sendiri. Segala sesuatunya

serba berantakan. Mulai dari bangun pagi, sholat, merapikan kamar dan bahkan

Page 27: Multi Kultur Al is Me

mengamankan barang miliknya sendiri pun tak terbiasa. Yang beginilah yang

biasanya akan menjadi tugas berat bagi seorang pembina asrama. Karenanya,

beberapa faktor yang dapat dijadikan kunci keberhasilan penerapan disiplin baik

di sekolah maupun di asrama memang harus diperhatikan benar, supaya apa yang

sudah direncanakan bisa terwujud.

Selain itu, pelaksanaan aturan kedisiplinan di sekolah juga melibatkan

langsung siswa lewat wadah organisasi siswa yakni Organisasi Siswa Intra

Sekolah (OSIS). Demikian halnya MAN Insan Cendekia dalam pelaksanaan

pembelajarannya juga melibatkan organisasi siswa lm.

Organisasi ini berperan untuk mengemban aspirasi siswa, menyalurkan

kreatifitas, jiwa kepemimpinan serta minat dan bakat siswa. Mengingat sekolah

ini yang berpola boarding (berasrama), maka lingkup kerja para anggota OSIS

bukan hanya selama berada di sekolah, tetapi juga berlangsung selama mereka

berada di lingkungan asrama. Jadi, sistem yang dibangun mencakup seluruh aspek

aktifitas siswa di kampus. Ada beberapa pendekatan disiplin yang biasa

diterapkan di sekolah. Ballantine (1983) memberikan dua simpulan dasar-dasar

filosofi utama, yakni pendekatan otoriter dan pendekatan humanistik. Gambaran

sekolah yang otoriter terlihat seperti: mempunyai aturan-aturan disiplin yang

ketat, teratur, jelas siapa yang menjalankan sekolah atau kelas, dan penerapan

hukuman yang konsisten. Sebaliknya pendekatan humanistik memberi penekanan

pada kemanusiaan dan penghargaan kepada semua, termasuk siswa dalam

komunitas sekolah. Pendekatan ini memberi kesempatan pada siswa untuk

Page 28: Multi Kultur Al is Me

membuat keputusan sendiri dan berlaku dengan cara yang bertanggungjawab, dan

mempunyai aturan-aturan yang dibuat sesuai kebutuhan.

Carl Glickman dan Roy Tamashiro (Ballantine, 1983: 48-49)

mengklasifikasi para guru berdasarkan teknik disiplin yang diterapkannya: 1)

Non-interventionist: guru mempercayai bahwa siswa mempunyai kemampuan

dalam memecahkan masalah mereka sendiri jika diberi. dukungan oleh guru; 2)

Internationalist: guru secara aktif membatasi perilaku siswa "untuk memilih

antara aturan-aturan yang [ secara sosial telah diakui dan yang reguler. Cara

penyelesaian masalah perilaku siswa I memberi flingsi timbal balik antara siswa

dan guru; 3) interventionist: manajemen kelas yang berisi aturan standar perilaku

yang nyata dan penguatan yang tepat, positif atau negatif, 4) eclectic: guru

menggunakan kombinasi teknik-teknik tertentu dengan aturan standar perilaku

dari lntervensionis. Teknik yang digunakan di kelas memengaruhi atmosfir dan

interaksi antara guru dan siswa.

Sekolah merupakan ruang lingkup pendidikan. Dalam pendidikan ada

proses mendidik, mengajar dan melatih. Sebagai ruang lingkup pendidikan

sekolah harus menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang baik. Kondisi

yang baik bagi proses tersebut adalah kondisi aman, tenang, tertib dan teratur,

saling menghargai, dan hubungan pergaulan yang baik. Hal tersebut dapat dicapai

dengan merancang peraturan sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru, dan bagi

para siswa, serta

peraturan-peraturan lain yang dianggap perlu yang diimplementasikan

secara konsisten dan konsekuen. Apabila kondisi ini terwujud, sekolah akan

Page 29: Multi Kultur Al is Me

menjadi lingkungan kondusif bagi kegiatan dan proses pendidikan dan potensi dan

hasil siswa akan optimal. Disiplin sangat diperlukan dalam proses belajar

mengajar karena membantu proses kegiatan belajar mengajar dan meningkatkan

hubungan sosial.

Hurlock (2002: 85) mengemukakan unsur-unsur disiplin yakni: (1) adanya

peraturan sebagai pedoman perilaku, (2) konsistensi dalam menjalankan

peraturan, (3) memberi hukuman bagi yang melanggar, (4) memberi penghargaan

untuk perilaku yang baik.

Disiplin lahir dan berkembang dari sikap seseorang di dalam sistem nilai

budaya yang telah ada di dalam masyarakat. Unsur pokok yang membentuk

disiplin adalah sikap yang telah ada pada diri manusia dan sistem nilai budaya

yang ada di dalam masyarakat. Sikap atau attitude merupakan unsur yang hidup di

dalam jiwa manusia yang harus mampu bereaksi terhadap lingkungannya, dapat

berupa tingkah laku atau pemikiran. Adapun sistem nilai budaya merupakan

bagian dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman dan penuntun

bagi kelakuan manusia.

Pada umumnya siswa pada sekolah menengah berada pada usia 13 - 18

tahun yakni pada usia yang cenderung memiliki sifat yang bergejolak dan

menantang. Sekolah menjadi tempat penempatan para siswa dengan disiplin dan

penjagaan yang ketat, Di usia tersebut siswa sedang dalam masa pencarian jati

diri. Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011), pada usia remaja mulai tumbuh

dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan

menolongnya. Masa ini adalah masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai,

Page 30: Multi Kultur Al is Me

pantas dijunjung dan dipuja. Pada usia ini, siswa mencapai hubungan yang lebih

matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau

perempuan, menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif, dan

mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial, memperoleh

seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.

Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa masa remaja ini ditandai

dengan adanya kecenderungan identity-identity confusion, sebagai persiapan ke

arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang

dimilikinya, dia berusaha membentuk dan memperlihatkan ciri-ciri khas dari

dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para

remaja sering sekali ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh

lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan

identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan

toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya,

mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali merasa patuh terhadap

peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.

Oleh karena itu, pada saat siswa berada di sekolah menengah penerapan

disiplin di sekolah sangat menentukan arah kehidupan siswa selanjutnya. Pada

masa ini individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan

sosial di mana ia berada dan bersamaan dengan itu pula individu mulai menyadari

bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma dan nilai-

nilai sebagai dasar dan patokan dalam berperilaku. Keputusan untuk melakukan

Page 31: Multi Kultur Al is Me

sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang telah

dianutnya yang telah didapatkannya di sekolah dan lingkungan sekitarnya.