moral clear

11
PENDIDIKAN AGAMA MEMBANGUN MORAL/ETIK PESERTA DIDIK PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya, baik personal maupun kolektif. Pendidikan juga merupakan suatu upaya manusia untuk memanusiakan dirinya dan membedakannya dengan makhluk lain. Untuk itu pendidikan menjadi penting, tatkala manusia berinteraksi dengan manusia lainnya dan pendidikanlah yang akan membedakan kualitas interaksi tersebut. Interaksi akan terlihat indah jika didalamnya tertanam nilai- nilai agama (moral). Nilai agama inilah yang akan membentuk tata aturan supaya hidup menjadi harmonis dan agama pula yang menjadikan hidup ini terarah. Agama juga mengatur hubungan manusia dengan khalik-Nya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan dirinya yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan dan keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kemajuan lahiriah dan kebahagiaan bathiniah. Sebab itulah pendidikan agama yang merupakan bagian pendidikan terpenting untuk melestarikan aspek-aspek sikap dan nilai keagamaan harus dioperasionalkan secara konstruktif dalam masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Pendidikan agama juga harus mempunyai tujuan yang berintikan tiga aspek, yaitu aspek iman, ilmu dan amal yang merupakan sendi tak terpisahkan. Disamping itu pula seorang pendidik hendaknya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya melainkan juga akhlak. PEMBAHASAN Pengertian Pendidikan Agama Kata “Pendidikan Agama” terdiri dari dua kata berbeda, yaitu “pendidikan” dan “agama”. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalah “pe” dan akhiran “an” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik.

Upload: rizal-nur-ikhwani

Post on 28-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Moral Clear

PENDIDIKAN AGAMAMEMBANGUN MORAL/ETIK PESERTA DIDIK

PENDAHULUANPendidikan adalah usaha sadar manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya, baik personal maupun kolektif. Pendidikan juga merupakan suatu upaya manusia untuk memanusiakan dirinya dan membedakannya dengan makhluk lain. Untuk itu pendidikan menjadi penting, tatkala manusia berinteraksi dengan manusia lainnya dan pendidikanlah yang akan membedakan kualitas interaksi tersebut. Interaksi akan terlihat indah jika didalamnya tertanam nilai-nilai agama (moral). Nilai agama inilah yang akan membentuk tata aturan supaya hidup menjadi harmonis dan agama pula yang menjadikan hidup ini terarah.Agama juga mengatur hubungan manusia dengan khalik-Nya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan dirinya yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan dan keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kemajuan lahiriah dan kebahagiaan bathiniah.Sebab itulah pendidikan agama yang merupakan bagian pendidikan terpenting untuk melestarikan aspek-aspek sikap dan nilai keagamaan harus dioperasionalkan secara konstruktif dalam masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Pendidikan agama juga harus mempunyai tujuan yang berintikan tiga aspek, yaitu aspek iman, ilmu dan amal yang merupakan sendi tak terpisahkan. Disamping itu pula seorang pendidik hendaknya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya melainkan juga akhlak.

PEMBAHASANPengertianPendidikan AgamaKata “Pendidikan Agama” terdiri dari dua kata berbeda, yaitu “pendidikan” dan “agama”. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalah “pe” dan akhiran “an” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik.Pengertian pendidikan menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai sifat-sifat dan tabi’at sesuai cita-cita pendidikan.Sedangkan agama menurut Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut: “Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama (wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya, kepada kitab-kitabNya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ”pendidikan agama” adalah suatu usaha yang ditunjukkan kepada anak didik yang sedang tumbuh agar mereka mampu menimbulkan sikap dan budi pekerti yang baik serta dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang dimasa sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan agama.Akhlak, Moral dan Etika

Page 2: Moral Clear

Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di atas, yaitu: Akhlak, moral dan etika.Secara etimologi kata akhlak adalah bentuk jama dari kata “khuluk”, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sedangkan menurut Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan kehendak. Secara terminologi akhlak itu berarti “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Ada pula yang mengartikan akhlak dengan “Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa berfikir dan melalui pertimbangan lebih dahulu”.Dari dua pengertian di atas tampak bahwa tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara keduanya. Dalam masyarakat barat kata “akhlak” sering diidentikkan dengan “etika”, walaupun pengidentikan ini tidak sepenuhnya benar, maka mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa “etika” adalah penyelidikan tentang sifat dan tingkah laku lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M. Quraish Shihab lebih luas maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran.Terlepas dari semua pengertian di atas, kata akhlak dalam penggunaannya sering disamakan dengan kata “moral” dan “etika”. Istilah moral yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin, yaitu “mores” yang berarti adat kebiasaan, sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila. Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Pada dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki arti yang sama, ketiganya sama-sama berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia.Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral) adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk.Peserta DidikPeserta didik adalah orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Peserta didik adalah hal yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah benar anak dapat di didik? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda pandangan.Aliran Nativisme, mempunyai pandangan bahwa anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan. Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang mempunyai pandangan bahwa perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh pendidikan atau dengan kata lain baik buruknya anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterimanya.Oleh karena kedua aliran ini terasa kurang memuaskan dalam hal pemberian pendidikan pada anak, maka yang menamakan dirinya aliran convergensi menepis kedua pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW,

Page 3: Moral Clear

bahwa “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”. Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.

Tujuan Pengajaran Pendidikan Agama (Islam)Pengajaran adalah suatu proses yang didasarkan kepada tujuan. Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha memberikan hasil yang diharapkan dari siswa setelah mereka menyelesaikan pengalaman belajar. Tujuan ini sangat penting karena merupakan pedoman untuk mengarahkan kegiatan belajar.Ada tiga alasan mengapa tujuan pengajaran itu perlu dirumuskan, yaitu:Jika suatu pekerjaan atau suatu tugas tidak disertai tujuan yang jelas dan benar, akan sulitlah untuk memilih atau merencanakan bahan dan strategi yang hendak ditempuh atau dicapai.Rumusan tujuan yang baik dan terinci akan mempermudah pengawasan dan penelitian hasil belajar sesuai dengan harapan yang dikehendaki dari subyek belajar.Perumusan tujuan yang benar akan memberikan pedoman bagi siswa atau subyek belajar dalam menyelesaikan materi dan kegiatan belajar.

Rumusan tujuan senantiasa merupakan sifat yang sangat bermanfaat dalam perencanaan dan penilaian sutau program belajar mengajar. Demikian pula dengan pengajaran Pendidikan Agama Islam, agar proses pengajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien, berdasarkan pada tujuan.Menurut Mahmud Yunus, tujuan Pendidikan Agama Islam dalam segala tingkat pengajaran umum sebagai berikut:Menanamkan perasaan cinta dan taat kepada Allah SWT, dalam hati anak-anak.Menanamkan i’tikad yang benar dan kepercayaan yang benar dalam diri anak-anak.Mendidik anak-anak dari kecil supaya mengikuti seruan Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya.Mendidik anak-anak dari kecil berakhlak mulianMengajar pelajaran-pelajaran supaya mengetahui macam-macam ibadah yang wajib dikerjakan dan cara-cara melakukannya serta mengetahui hikmahnya, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.Memberi contoh dan suri tauladan yang baik.Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik, yang berbudi luhur dan berakhlak baik serta berpegang teguh pada ajaran agama Islam.Tujuan Pendidikan Agama Islam merupakan tujuan yanng hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan Pendidikan Agama Islam, karena dalam pendidikan agama yang diutamakan adalah keimanan yang teguh, sebab iman yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban agama.Tujuan tersebut mengandung arti bahwa Pendidikan Agama Islam itu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat dan yang bersangkutan senang mengamalkan dan mengembangkan agama Islam serta mampu memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya.

Page 4: Moral Clear

Ruang Lingkup Pendidikan Agama IslamSebagaimana telah dijelaskan di atas, Pendidikan Agama Islam memiliki arti penting terutama dalam rangka mendidik kepribadian seseorang sesuai ajaran Islam. Bahkan dasar hukumnya cukup jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadits, untuk selalu dipelajari dan ditanamkan oleh setiap muslim dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena itulah yang akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.Prof. Dr. H. M. Arifin, M.Ed., menjelaskan tentang ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam lapangan hidup, meliputi:Lapangan hidup keagamaanLapangan hidup berkeluargaLapangan hidup ekonomiLapangan hidup politikLapangan hidup kemasyarakatanLapangan hidup seni dan budayaLapangan hidup ilmu pengetahuanDilihat pembahasannya ruang lingkup pengajaran Pendidikan Agama Islam, meliputi tujuh pokok, yaitu:KeimananIbadatAl-Qur’anAkhlakMuamalahSyari’ahTarikh

PENDIDIKAN AGAMA MEMBANGUN MORAL/ETIK PESERTA DIDIKSeperti yang telah dijabarkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan.Selain itu agama juga mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah tentang pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab itu pendidikan agama (Islam) akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.Pendidikan agama pada dunia pendidikan merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama pada anak.

Page 5: Moral Clear

Sebagai contoh, Allah SWT menganjurkan umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan peduli dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan. Shadaqah ini mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam berinteraksi di masyarakat. Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan bahwa “saling membutuhkan” pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini merupakan contoh kecil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.Dari contoh di atas mengajarkan “simbiosis mutualisme” dalam kehidupan yang menjadikan suatu bukti bahwa betapa pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana dalam dunia pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan agama. Pendidikan agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam kehidupan anak. Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya hidup dalam ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan kepada anak dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal.Lalu apakah pendidikan agama dapat membentuk moral anak didik? Untuk menjawab pertanyaan ini banyak elemen yang mencakup didalamnya. Secara teoritis seharusnya pendidikan agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama yang endingnya iman dan taqwa kepada Allah SWT. Jika seseorang sudah beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka moral/etika pun akan tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertaqwa misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan moral/etika pada orang tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti irama iman dan kualitas taqwa yang ada padanya.

KesimpulanDari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak didik. Oleh karena itu orang tua/pendidik haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:Pendidikan agama hendaklah diberikan kepada anak sedini mungkin, ajarilah dari hal-hal yang kecil sesuai dengan tuntunan agama. Misalnya mendahulukan kaki kanan jika hendak memakai sepatu.Pelajaran pendidikan agama bukan merupakan science semata, melainkan ilmu amaliah tercakup didalamnya. Maka itu seorang pendidik harus benar-benar mencontohkan dengan perilaku yang baik.Anak cenderung mengikuti apa yang dilihatnya dari orang dewasa oleh karena itu hendaknya orang-orang tua membiasakan berprilaku keseharian dengan akhlakul karimah, baik perkataan maupun perbuatan.

Definisi akhlakSecara bahasa, kata akhlaq (akhlak) adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Menurut Ibnu Manzhur (630–

711 H/1232–1311 M), pakar bahasa Arab, khuluq bermakna agama, tabiat dan perangai. Masih menurut beliau, antara akhlaq dan khalq (penciptaan) memiliki pertalian yang sangat dekat. Kalau khalq (penciptaan) adalah bentuk, sifat dan nilai-nilai yang bersifat lahiriah sebagaimana yang diciptakan Allah, maka khulq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang bersifat batin.

Kedua hal ini, khalq dan khuluq, terkadang disifati dengan baik dan terkadang disifati dengan buruk. Pahala dan dosa lebih dikaitkan dengan yang bersifat batin (khulq) daripada yang bersifat lahir (khalq) (lihat: Lisan al-‘Arab pada Bab kha–lam– qaf).

Page 6: Moral Clear

Imam Ghazali rahimahullah (450–505 H/1058–1111 M) mendefinisikan akhlak sebagai kondisi yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (lihat: Ihya’ ‘Ulumud-din).

Sementara menurut Imam Qurthubi rahimahullah (600–671 H/1204–1273 M), akhlakadalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya.

Intinya, akhlak adalah tabiat, perangai, adab dan nilai-nilai agama yang dipegang teguh oleh seseorang dan menjadi komitmen dirinya, sehingga seakan semua ini menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Demikian menyatunya, sehingga kemunculannya bersifat otomatis, tidak dibuat-buat, dan dipaksa-paksakan.  Kedudukan akhlak dalam Islam

Agama Islam, melalui Al Qur’an dan As Sunnah banyak menjelaskan tentang kedudukan akhlak. Di antaranya adalah penegasan bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku tidak diutus oleh Allah swt kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Malik). Sesungguhnya realisasi akhlak yang mulia merupakan inti risalah Nabi Muhammad saw.

Syi’ar-syi’ar ibadah Islam di antaranya dimaksudkan untuk menggapai akhlak mulia. Shalat misalnya, antara lain dimaksudkan untuk mentarbiyah dan mendidik manusia agar berhenti dari segala perbuatan keji dan munkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Ibadah puasa dimaksudkan, di antaranya untuk menggapai tingkatan taqwa (QS Al-Baqarah: 183). Berkaitan dengan ibadah puasa ini, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu (bohong), maka tidak ada keperluan bagi Allah swt terhadap puasa seseorang yang hanya sekadar meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)

Zakat, infak dan sedekah, di antara rahasianya adalah untuk menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai sifat buruk dan tercela (QS At-Taubah: 103). Sedangkan ibadah haji difardhukan oleh Allah kepada mereka yang mampu dengan banyak maksud dan aturan, misalnya agar orang yang beribadah haji terlatih untuk tidak berkata kotor, tidak berbuat fasik dan tidak banyak berdebat kusir (QS Al-Baqarah: 197). Akhlak buruk berarti iman tak sempurna

Rasulullah saw bersumpah tiga kali dan menyatakan bahwa seseorang tidaklah beriman manakala tetangganya tidak merasa aman darinya. Sabdanya, ”Demi Allah, ia tidaklah beriman, demi Allah, ia tidaklah beriman, demi Allah, ia tidaklah beriman. Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Yaitu seseorang, di mana tetangganya tidak mendapatkan keamanan darinya.” (HR Bukhari)

Lalu dalam rangka mendidik sahabat dan umatnya dari pembicaraan yang tidak baik, ngobrol ngalor ngidul yang tidak aman, serta hanya berbicara yang baik-baik, beliau saw bersabda, ”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari)

Selanjutnya jelas, kemuliaan akhlak menunjukkan kesempurnaan iman. Rasulullah bersabda, “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, lihat: Silsilah Hadits Shahih, hadits no. 284)

Kemuliaan akhlak pada akhirnya akan mengantarkan orang-orang beriman ini ke dalam surga. Rasulullah saw bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah ketaqwaan kepada Allah swt dan akhlak yang baik, sementara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan.” (hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, lihat: Silsilah Hadits Shahih, hadits no. 977)

Akhlak yang baik, setelah bimbingan dan taufik Allah swt, merupakan buah kesungguhan usaha kita untuk mendidik, mentarbiyah dan melatih diri dengan berbagai sifat terpuji. Juga merupakan hasil dari jihad tanpa henti dan tak kenal lelah dalam memerangi segala perangai, tabiat dan sifat buruk yang mungkin muncul dalam diri.

Di antara usaha sungguh-sungguh ini adalah upaya terus memohon kepada Allah dengan doa yang selalu dipanjatkan Rasulullah saw pada setiap kali beliau membaca iftitah, doa yang dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Al-Fatihah. Dalam doa iftitah ini beliau saw memohon, “… Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku akhlak yang terbaik, sebab tidak ada yang memberikan petunjuk kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Ya Allah, palingkan aku dari akhlak yang buruk, sebab tidak ada yang memalingkan akhlak yang buruk dariku kecuali Engkau.” (HR Muslim)

Semoga dengan usaha yang sungguh-sungguh dan jihad ini, kita terbimbing menjadi manusia yang ber-akhlaqul karimah.

(Bersambung)(buat BOX)

Page 7: Moral Clear

 Rasulullah Memiliki Akhlak paling Mulia

Di antara keistimewaan Nabi Muhammad saw adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki beliau saw semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul Mukminin Khadijah ra, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah.” (HR Bukhari)

Karena akhlak beliau yang mulia, luhur dan agung inilah ummul mukminin sangat yakin bahwa Muhammad saw bukan manusia biasa. Oleh karena itu saat beliau saw menyampaikan bahwa dirinya adalah nabi dan rasul, ummul mukminin langsung beriman tanpa sedikit pun keraguan. Perempuan mulia itu juga mengerahkan seluruh jiwa, kedudukan dan hartanya untuk keimanan dan dakwah.

Keagungan akhlak Rasulullah menjadi salah satu rahasia kemenangan beliau saw dalam menghadapi musuh-musuh dakwah. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS Al-Qalam: 1–7.

Hal ini diakui pula oleh musuh-musuh dakwah Rasulullah sendiri. Buktinya, tercatat dalam sirah nabawiyah bahwa beliau saw sangat dimusuhi oleh mereka, sampai-sampai mereka bermaksud membunuh beliau dengan cara yang sangat keji. Namun di saat yang sama, musuh-musuhnya ini juga menitipkan benda-benda berharga milik mereka kepada Rasulullah!

http://ridwan202.wordpress.com/2008/05/12/pendidikan-agama-membangun-moral/

http://www.ummi-online.com/artikel-121--akhlak-mulia-sebagai-inti-kebajikan.html