mola hidatidosa

40
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Molla Hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblastik yang angka kejadiannya termasuk tinggi di Indonesia maupun di Dunia. Prevalensi molla hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin di bandingkan dengan negara-negara barat. Molla hidatidosa terjadi pada 1 dari sekitar 2000 kehamilan di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi kejadian ini jauh lebih sering dijumpai di negara-negara lain, khusunya di kawasan Asia dimana frekuensinya paling sedikit sepuluh kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat (satu dari sekitar 120 kehamilan). Insidensi yang tinggi juga ditemukan di Meksiko dan di antara penduduk pribumi Alaska. Berbagai macam faktor resiko yang mendukung terjadinya molla hidatidosa ini. Pada multiparitas lebih sering ditemukan adanya molla hidatidosa, jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan mendapatkan molla hidatidosa akan lebih besar, begitu juga faktor sosial ekonomi kemungkinan mempengaruhi terjadinya molla hidatidosa disamping juga faktor usia.

Upload: sitta-grewo-liandar

Post on 15-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

medis

TRANSCRIPT

INSEDENSI DAN PENATALAKSANAAN

13

BAB I

PENDAHULUANI.1 Latar BelakangMolla Hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblastik yang angka kejadiannya termasuk tinggi di Indonesia maupun di Dunia. Prevalensi molla hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin di bandingkan dengan negara-negara barat. Molla hidatidosa terjadi pada 1 dari sekitar 2000 kehamilan di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi kejadian ini jauh lebih sering dijumpai di negara-negara lain, khusunya di kawasan Asia dimana frekuensinya paling sedikit sepuluh kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat (satu dari sekitar 120 kehamilan). Insidensi yang tinggi juga ditemukan di Meksiko dan di antara penduduk pribumi Alaska.Berbagai macam faktor resiko yang mendukung terjadinya molla hidatidosa ini. Pada multiparitas lebih sering ditemukan adanya molla hidatidosa, jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan mendapatkan molla hidatidosa akan lebih besar, begitu juga faktor sosial ekonomi kemungkinan mempengaruhi terjadinya molla hidatidosa disamping juga faktor usia.Menjelang awal atau akhir reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi mola hidatidosa yang relatif tinggi dalam kehamilan. Efek usia yang paling menonjol terlihat pada wanita yang umurnya melebihi 45 tahun, yaitu frekuensi relatif kelainan tersebut 10 kali lebih besar dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun. Ada sejumlah kasus otentik mola hidatidosa pada para wanita yang umurnya 50 tahun atau lebih, sedangkan kehamilan normal pada usia lanjut seperti itu praktis tidak diketahui.Molla hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblast yang bersifat jinak dan mempunyai kemungkinan 18-20% menjadi ganas. Tumor ini ada yang kadang-kadang masih mengandung villus di samping trofoblast yang berproliferasi, dapat mengadakan invasi yang umumnya bersifat lokal, dan dinamakan molla destruens ( invasive mole, penyakit trofoblast ganas jenis fillosum). Selain itu terdapat pula tumor trofoblast yang hanya terdiri atas sel-sel trofoblast tanpa stroma, yang umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi menyebar ke alat-alat lain (koriokarsinoma, penyakit trofoblast ganas non villosum). Oleh karena itu setelah diagnosis ditegakkan maka molla hidatidosa harus segera digugurkan. I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dibuat suatu perumusan masalah di dalam penelitian ini yaitu, berapakah angka kejadian atau insidensi kasus molla hidatidosa, faktor-faktor resiko apa saja yang berpengaruh di dalamnya dan bagaimana penatalaksanaannya di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari sampai 31 Desember 2002 berdasarkan beberapa variabel yang digunakan.

I.3 Kepentingan Permasalahan

Molla hidatidosa merupakan penyakit trofoblast jinak yang angka kejadiannya di Indonesia maupun di Dunia termasuk tinggi, untuk itu perlu diketahui faktor-faktor resiko yang mempengaruhi tingginya angka kejadian molla tersebut untuk upaya prevensi maupun diagnosis dini guna mencegah komplikasi, sehingga terwujud suatu penatalaksanaan molla hidatidosa yang benar.I.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk dapat mengetahui insidensi molla hidatidosa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari 31 Desember 2002.

2. Untuk dapat mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya molla hidatidosa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

3. Untuk dapat mengetahui penatalaksanaan molla hidatidosa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

4. Untuk dapat mengetahui faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian molla hidatidosa di RSMS Purwokerto.I.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode Deskriptif Retrospektif, dengan menggunakan data sekunder dari Rekam Medik pasien di bagian Obstetrik dan Ginekologik RSMS Purwokerto, selama periode 1 Januari 31 Desember 2002. Subyek penelitian ini adalah wanita-wanita hamil yang mengalami molla hidatidosa di RSMS Purwokerto, yang datanya diperoleh dari VK, IGD, Poliklinik OBSGIN, Bangsal (Teratai) dan rekam medik RSMS Purwokerto, mulai periode 1 Januari 31 Desember 2002.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Adalah penyakit yang berasal dari jaringan trofoblast yang bersifat jinak dimana pertumbuhan/proliferasi sel-sel trofoblast yang berlebihan dengan stroma mengalami degenerasi hidropik (terutama sinsitiotrofoblast), villi choriales (jonjot-jonjot chorion) tumbuh berganda berbentuk gelembung kecil berisi cairan jernih (asam amino, mineral) menyerupai buah anggur sehingga penderita sering dikatakan hamil anggur.II.2 Epidemiologi

Penyakit trofoblast ini, baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak ditemukan di negara Asia dan Mexico, sedangkan di negara Barat lebih jarang. Angka di Indonesia umumnya berupa angka rumah sakit, untuk molla hidatidosa berkisar antara 1 : 50 sampai 1 : 141 kehamilan, sedangkan untuk koriokarsinoma 1 : 297 sampai 1: 1035 kehamilan. Di negara-negara barat kejadian molla dilaporkan 1 dari 2000 kehamilan, sedangkan di negara-negara berkembang 1 dari 120 kehamilan. Dibawah ini ada beberapa penelitian yang paling tidak dapat menjadi gambaran angka kejadian molla di Indonesia, diantaranya adalah: Soejoenoes dkk. 1967 1 : 85 kehamilan

Di RSCM (Jakarta) 1 : 31 persalinan dan 1 : 49 kehamilan Luat .A. Siregar 1982 (Medan) 1 16 : 100 kehamilan Soetomo (Surabaya) 1 : 80 persalinan Djamhoer Martadisoebrata (Bandung) 9 21 : 1000 kehamilan Laksmi dkk. (Malang) 2,47 : 1000 atau 1 : 405 persalinan

Angka-angka ini jauh lebih tinggi daripada negara-negara Barat, dimana insidensinya berkisar 1 : 1000 sampai 1 : 2500 kehamilan untuk molla hidatidosa, 1 : 40 000 untuk koriokarsinoma.

Angka kejadian molla di negara lain misalnya :

- USA 1 : 2000 kehamilan

- Hongkong 1 : 530 kehamilan

- Taiwan 1: 125 kehamilanMolla parsialis lebih jarang lagi ditemukan. Menurut Khoo (1966) insidensinya berkisar antara 1 : 10.000 1 : 100.000 kehamilan.

II.3 Etiologi

Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori telah dianjurkan, misalnya teori infeksi, defisiensi makanan, terutama protein tinggi dan teori kebangsaan. Ada pula teori consanguinity. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhir-akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23 X (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46 XX, sehingga molla hidatidosa bersifat homozigote, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46 XX atau 46 XY. Secara ringkas faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya molla hidatidosa antara lain adalah :1. Multiparitas

2. Faktor ovum (ovum mati) : ovum memang sudah patologik, tetapi terlambat dikeluarkan

3. Imunoselektif dari trofoblast

4. Infeksi virus

5. Kelainan kromosom yang belum jelas

6. Kekurangan protein

7. Keadaan sosial ekonomi yang rendah

II.4 Klasifikasi

Pengklasifikasian molla hidatidosa didasarkan ada tidaknya jaringan janin dalam uterus. Pengklasifikasian tersebut adalah :1. Molla hidatidosa komplit (klasik)

Merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin, hampir seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik. Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 centimeter.

Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus. Gambaran histologik mempelihatkan :

a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villus

b. Tidak ada pembuluh darah dalam villi yang membengkakc. Proliferasi epitel trofoblast hingga mencapai derajat yang beragam

d. Tidak ditemukan janin dan aminion.

Pada penelitian sitogenik ditemukan komposisi kromosom yang paling sering (tidak selalu) 46, XX dengan kromosom sepenuhnya dari ayah. Kadang juga ditemukan 46, XY. Resiko neoplasia trofoblastik pada jenis molla ini 20 %.2. Molla hidatidosa inkomplit (parsial)

Merupakan keadaan dimana perubahan molla hidatidosa bersifat lokal serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion, umumnya janin mati pada bulan pertama. Secara makroskopis tanpa gelembung molla yang disertai janin atau bagian dari janin. Pada gambarab histologi tampak bagian villi yang avaskuler, terjadi pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara villi yang vaskuler dari sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan. Kariotipe secara khas berupa triploid yang biasanya 69, XXY atau 69, XYY. Resiko untuk terjadinya koriokarsinoma pada jenis molla ini sangat kecil, 4-8 %.II.5 Faktor Resiko

Walaupun etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti, tetapi telah lama disadari bahwa penderita penyakit ini mempunyai faktor resiko tertentu. Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada: golongan sosio ekonomi rendah umur dibawah 20 tahun dan diatas 34 tahun dan paritas tinggi.II.6 Patogenesis

Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblast :

1. Teori missed abortion :

Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi gangguan peredaran darah, sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah disebabkan kekurangan gizi berupa asam folat dan histidin pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan dalam angiogenesis.

2. Teori neoplasma dari Park : Yang abnormal adalah sel-sel trofoblast yang mempunyai fungsi abnormal pula, dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.II.7 Gejala Klinis

1. Pada pasien amenorhea terdapat perdarahan kadang-kadang sedikit, kadang banyak, karena perdarahan tersebut biasanya pasien anemis

2. Uterus lebih besar daripada usia kehamilan

3. Hyperemesis lebih sering terjadi, dan biasanya lebih hebat

4. Mungkin timbul preeklampsia atau eklampsia

Biasanya jika terjadi sebelum minggu ke 24 menunjukan ke arah molla hidatidosa

5. Tidak ada tanda-tanda adanya janin, sehingga tidak ada balotement, tidak ada bunyi jantung janin dan tidak tampak kerangka janin pada rontgen fotoPada molla parsialis (keadaan yang jarang terjadi) dapat ditemukan janin

6. Kadar hormon choriogonadotropin (HCG) tinggi pada urin dan darah

7. Akhir-akhir ini ditemukan adanya gejala tirotoksikosis

II.8 Diagnosis

Anamnesis/keluhan :

a. Amenorhea

b. Gejala-gejala hamil muda kadang-kadang lebih dari kehamilan biasa.

c. Kadangkala ada tanda toxemia gravidarumd. Perdarahan : sedikit/banyak, tidak teratur warna tengguli tua atau kecoklatan seperti bumbu rujak

e. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan umur kehamilan seharusnyaf. Keluar jaringan molla seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada);merupakan diagnosis pasti

g. Tirotoksikosis

Inspeksi :a. Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan, disebut muka molla (molla face)

b. Kalau gelembung molla keluar dapat dilihat jelas

Palpasi :

a. Uterus membesar tidak sesuai dengan umur kehamilan, teraba lembek

b. Tidak teraba bagian-bagian janin, balotement negatif, tidak dirasakan gerakan janin

c. Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung molla keluar, fundus uteri turun, kemudian naik lagi karena terkumpulnya darah baru

Auskultasi : Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin

Pemeriksaan Dalam :Konfirmasi besarnya rahim, lembek, tidak ada bagian-bagian janin, perdarahan dan jaringan dalam canalis cervikalis dan vagina, dan evaluasi keadaan cervik.

Pemeriksaan Penunjang :a. Reaksi kehamilan

Kadar HCG serum yang sangat tinggi pada hari ke 100 atau lebih sesudah periode menstruasi terakhir sangat sugestif untuk mendiagnosis molla hidatidosa. Karena kadar HCG yang tinggi maka uji biologik dan uji imunologik (Galli Mainini dan planotetst) akan positif setelah pengenceran (titrasi) :

Galli Mainini 1/300 (+) suspek mollahidatidosa

Galli Mainini 1/200 (+) kemungkinan mollahidatidosa atau hamil kembar. Bahkan pada molla atau koriokarsinoma uji biologik atau imunologik cairan serebro-spinal dapat menjadi positif

b. Uji Sonde

Uji sonde menurut Hanifa, sonde masuk tanpa tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat.

Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati kedalam kanalis cervikalis dan cavum uteri, bila tidak ada tahanan sonde diputar setelah ditarik sedikit, juga tidak ada tahanan

c. Biopsi acosta sison, yaitu masukkan tang tampon kedalam cavum uterus d. Rontgen foto abdomen : tidak terlihat tulang-tulang janin (pada kehamilan 3-4 bulan)

e. Arteriogram khusus pelvis f. Ultrasonografi : pada molla akan kelihatan gambaran badai salju (snow flake pattern); dan tidak ada kelihatan janin

g. T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis

Diagnosis pasti jika kita melihat lahirnya gelembung-gelembung molla, tapi yang baik ialah mendiagnosis sebelum gelembung milla keluar.

II.9 Diagnosis Banding

1. Abortus

2. Kehamilan ganda

3. Hidramnion

4. Kehamilan dengan mioma

5. Kehamilan normal.

II.10 Komplikasi

1. Perdarahan yang hebat sampai syok; kalau tidak segera ditolong akan berakibat fatal

2. Perdarahan berulang-ulang dapat menyebabkan anemia

3. Infeki sekunder

4. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan

5. Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18-20 kasus, akan menjadi mola destruens atau khoriokarsinoma

II.11 Penatalaksanaan

1. Perbaikan keadaan umum

Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan tirotoksikosis diobati sesuai dengan protokol bagian penyakit dalam.2. Pengeluaran jaringan molla

Ada dua cara yaitu :

a. Vakum kuretase

Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi, setelah 7-10 hari dilakukan kerokan ulangan dengan kuret tajam agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblast yang dapat ditemukan.

Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga kemungkinan perdarahan yang banyak.

b. Histerektomi

Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah nampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerotomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan.

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Terapi profilaksis diberikan pada kasus molla dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak dilakukan histerktomi atau kasus molla dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D. Ada beberapa ahli yang tidak menyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa jumlah kasus molla yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastasis, serta mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.

Beberapa penulis manganjurkan pemberian Methotrexate bila :

a. Pengamatan lanjutan sukar dilanjutkan

b. Apabila 4 minggu setelah evakuasi molla, uji kehamilan biasa tetap positif

c. Pada high risk molla4. Pemeriksaan tindak lanjut

Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan kaganasan molla hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diafragma atau pil anti hamil. Mengenai pemberian pil anti hamil ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak mengatakan bahwa pil kombinasi, disamping dapat menghindarkan kehamilan juga dapat menahan LH dari hipofisis sehingga tidak terjadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena estrogen dapat mengaktifkan sel-sel trofoblast. Bagshawe beranggapan bila pil antihamil diberikan sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu mendapat koriokarsinoma, maka biasanya resisten terhadap sitostatika. Kapan penderita molla dianggap sehat kembali ? Sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry menyatakan sehat bila HCG dua kali berturut-turut normal. Adapula yang mengatakan bila sudah melahirkan anak yang normal. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar HCG dan radiologik.

Pada kasus-kasus yang tidak menjadi ganas, kadar HCG lekas turun menjadi negatif dan tetap negatif. Pada awal masa pasca molla dapat dilakukan tes hamil biasa, akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negatif, perlu dilakukan pemeriksaan radio-imunoassay HCG dalam serum, pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan hormon dalam kuantitas yang rendah.

Pemeriksaan kadar HCG diselenggarakan tiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu, dan selanjutnya tiap bulan selama 6 bulan. Sampai kadar HCG menjadi negatif, pemeriksaan rontgen paru-paru dilakukan tiap bulan. Selama pemeriksaan kadar HCG, pasien diberitahukan supaya tidak hamil.

II.12 Prognosis

Kematian pada molla hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia, payah jantung, dan tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena molla hampir tidak ada lagi, tetapi di negara-negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian besar dari pasien molla akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Presentase keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar antara 5,56%.

Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca molla, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Ada wanita yang pernah menderita molla hidatidosa, kemudian pada kehamilan berikutnya mendapat molla lagi, kejadian molla berulang ini agak jarang. Ada yang mengatakan bahwa molla berulang mempunyai resiko lebih tinggi untuk menjadi koriokarsinoma, tetapi pengalaman tidak menunjukan hal demikian. Untuk menentukan kapan kembalinya fungsi reproduksi setelah molla hidatidosa sebetulnya agak sukar, karena umumnya mereka diharuskan memakai kontrasepsi. Walaupun demikian banyak yang tidak mematuhi, karena ternyata banyak wanita pasca molla telah hamil lagi dalam jangka waktu satu tahun. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan reproduksi pasca molla, tidak banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak-anak yang dilahirkan setelah molla hidatidosa ternyata umumnya normal.

BAB IIIHASIL PENELITIAN

1. Insidensi Molla Hidatidosa di RSMS Purwokerto selama periode 1 januari 31 Desember 2002.Dari penelitian dan perhitungan yang kita lakukan berdasarkan data sekunder selama periode 1 Januari sampai 31 Desember 2002, diperoleh hasil bahwa insidensi molla hidatidosa di RSMS Purwokerto sebanyak 16 pasien (0,90 % dari jumlah keseluruhan kehamilan) atau 1 dari sekitar 110 kehamilan.2. Insidensi Molla Hidatidosa berdasarkan jenisnya atau klasifikasinya.

Tabel.1 Distribusi jumlah penderita molla hidatidosa berdasarkan jenis atau klasifikasinya

NoKlasifikasiJumlahPersentase

1

2Molla complete (klasik)

Molla incomplete (parsial)14

287,50%

12,50%

Total16100%

Dari tabel diatas, berdasarkan klasifikasi atau jenis molla hidatidosanya di dapatkan hasil bahwa untuk jenis molla komplit (klasik) terdapat sebanyak 14 kasus (87,50%), sedangkan untuk jenis molla inkomplit (parsial) didapatkan sebanyak 2 kasus (12,50%).

3. Insidensi molla hidatidosa berdasarkan atas jumlah paritas.

Tabel.2 Distribusi jumlah paritas terhadap timbulnya molla hidatidosaNoParitasJumlahPresentase

12

3NulliparaPrimipara

Multipara44

825%25%

50%

Total16100%

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa kejadian molla hidatidosa terbanyak terdapat pada multipara yaitu sebanyak 8 pasien (50 %). Sedangkan untuk nullipara dan primipara kejadian sama banyak yaitu masing-masing 4 pasien (25 %).

4. Insidensi molla hidatidosa berdasarkan atas jumlah gravida. Tabel.3 Distribusi jumlah gravida terhadap timbulnya molla hidatidosa

NoGravidaJumlahPresentase

1

2

3Nulligravida

Primigravida

Multigravida--

6

10--

37,50%

62,50%

Total16100%

Berdasarkan tabel di atas, di dapatkan bahwa kejadian molla hidatidosa terbanyak terdapat pada multigravida, yaitu sebanyak 10 pasien (62,50 %). Sedangkan untuk primigravida angka kejadiannya sebanyak 6 pasien (37,50 %), dan pada nulligravida tidak ditemukan satupun pasien molla.

5. Insidensi molla hidatidosa berdasarkan usia saat mengalaminya.

Tabel.4 Distribusi usia saat terjadinya molla hidatidosaNoUsiaJumlahPresentase

1

2

3< 20 tahun

20 34 tahun

> 34 tahun1

9

66,25%

56,25%

37,50%

Total161005

Berdasarkan tabel di atas maka dapat diketahui bahwa usia pasien saat menderita molla hidatidosa terbanyak adalah pada umur 20 34 tahun, yaitu sebanyak 9 pasien (56,25 %), sedang untuk umur >34 tahun sebanyak 6 pasien (37,50 %) dan untuk umur 5 tahun3

3

1018,75%

18,75%

62,50%

Total16100%

Dari tabel di atas didapatkan bahwa lamanya pernikahan pada penderita molla hidatidosa terbanyak adalah selama >5 tahun, yaitu sebanyak 10 pasien (62,50 %). Sedangkan untuk lamanya pernikahan 27 tahun10

6

--62,50%

37,50%

--

Total16100%

Dari tabel tersebut maka dapat diketahui bahwa usia saat pernikahan terbanyak pada pasien molla hidatidosa, adalah usia