mola hidatidosa tugas

41
MOLA HIDATIDOSA A. PENDAHULUAN Mola Hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PT!" berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni #ola hidatidosa pars koriokarsino#a" #ola in$asif dan pla%ental site trophoblasti% tu#ors & . Para ahli ginekologi dan onkologi sependapat untuk #e#perti#bangkankondisi ini sebagai ke#ungkinan ter'adinya keganasan" dengan #ola hidatidosa berprognosis 'inak" dan koriokarsino ganas" sedangkan #ola hidatidosa in$asif sebagai borderline keganasan & . rekuensi Mola banyak dite#ukan di Negara ) negara asia" Afrika dan A#erika latin pada di Negara ) negara barat. Mola hidatidosa #erupakan penyakit *ani reproduksi antara u#ur &+ tahun sa#pai ,+ tahun - . /nsidensi #ola hidatidosa dilaporkan Moore dkk (-00+! pada bagian barat A#erika 1erikat" ter'adi & ke'adian keha#ilan &0002&+00 keha#ilan. Mola hidatidosa dite#ukan kurang lebih & dari 00 #edisinalis. Di Asia insidensi #ola &+ kali lebih tinggi daripada di A#erika 1eri 3epang yang #elaporkan bah*a ter'adi - ke'adian keha#ilan #ola dari&000 keha#ilan - . Di negara2negara Ti#ur 3auh beberapa su#ber #e#perkirakan insidensi #ola lebih tingg yakni &4&-0 keha#ilan.Penanganan #ola hidatidosa tidak terbatas pada e$akuasi keh #ola sa'a" tetapi 'uga #e#butuhkan penanganan lebih lan'ut berupa #onito untuk #e#astikan prognosis penyakit tersebut. Mola Hidatidosa adalah neoplas#a 'inak dari sel trofoblast 5", . Pada #ola hidatidosa keha#ilan tidak berke#bang #en'adi 'anin yang se#purna" #elainkan berke#bang #en' keadaan patologik" seberapa 'auh tingkat bahaya #ola terhadap pasien" bagai#ana tatalaksananya #akalah berikut akan #engungkapkan berdasarkan studi kasus. Ha#pir *anita dengan penyakit trophoblasti% gestasional yang #alignan dapat dise#buhkan

Upload: rendra-dananjaya

Post on 02-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

y

TRANSCRIPT

MOLA HIDATIDOSA

A. PENDAHULUAN

Mola Hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PTG), yang meliputi berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni mola hidatidosa parsial dan komplet, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site trophoblastic tumors 1. Para ahli ginekologi dan onkologi sependapat untuk mempertimbangkan kondisi ini sebagai kemungkinan terjadinya keganasan, dengan mola hidatidosa berprognosis jinak, dan koriokarsinoma yang ganas, sedangkan mola hidatidosa invasif sebagai borderline keganasan 1.

Frekuensi Mola banyak ditemukan di Negara negara asia, Afrika dan Amerika latin dari pada di Negara negara barat. Mola hidatidosa merupakan penyakit wanita dalam masa reproduksi antara umur 15 tahun sampai 45 tahun 26. Insidensi mola hidatidosa dilaporkan Moore dkk (2005) pada bagian barat Amerika Serikat, terjadi 1 kejadian kehamilan mola dari 1000-1500 kehamilan. Mola hidatidosa ditemukan kurang lebih 1 dari 600 kasus abortus medisinalis. Di Asia insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, dengan Jepang yang melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian kehamilan mola dari1000 kehamilan 26. Di negara-negara Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi yakni 1:120 kehamilan.Penanganan mola hidatidosa tidak terbatas pada evakuasi kehamilan mola saja, tetapi juga membutuhkan penanganan lebih lanjut berupa monitoring untuk memastikan prognosis penyakit tersebut.

Mola Hidatidosa adalah neoplasma jinak dari sel trofoblast 3,4. Pada mola hidatidosa kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik, seberapa jauh tingkat bahaya mola terhadap pasien, bagaimana tatalaksananya makalah berikut akan mengungkapkan berdasarkan studi kasus. Hampir semua wanita dengan penyakit trophoblastic gestasional yang malignan dapat disembuhkan dengan mempertahankan fungsi reproduksi. Diskusi berikut terbatas pada mola hidatidosa. Kehamilan mola secara histologis ditandai dengan kelainan vili khorionik yang terdiri dari proliferasi trofoblas dengan derajat bervariasi dan edema stroma vilus. Mola biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-kadang terletak di tuba fallopi dan bahkan ovarium 5.

B. DEFINISI

Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik 2,3,4. Mola hidatidosa dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah 5,6

Mola hidatidosa terbagi atas 2 kategori. Yakni komplet mola hidatidosa dan parsial mola hidatidosa 4,5. Mola hidatidosa komplet tidak berisi jaringan fetus. 90 % biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% 46,XY. Semua kromosom berasal dari paternal. Ovum yang tidak bernukleus mengalami fertilisasi oleh sperma haploid yang kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi oleh 2 sperma. Pada mola yang komplet, vili khoriales memiliki ciri seperti buah angur,dan terdapat tropoblastikhiperplasia 7. Pada mola hidatidosa parsial terdapat jaringan fetus. Eritrosit fetus dan pembuluh darah di vili khorialis sering didapatkan. Vili khorialis terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk dengan stroma tropoblastik yang menonjol dan berkelok-kelok 7.

Gambar 1. Mola Hidatidosa

C. EPIDEMIOLOGI 26

Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin dibandingkan dengan negara negara barat. Di negara negara barat dilaporkan 1:200 atau 2000 kehamilan dinegara negara berkembang 1:100 atau 600 kehamilan. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1:85 kehamilan, Rs Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 1:31 Persalinan dan 1:49 kehamilan; Luat Asiregar (Medan) tahun 1982 : 11 16 per 1000 kehamilan; Soetomo (Surabaya) : 1:80 Persalinan; Djamhoer Martaadisoebrata (Bandung) : 9-21 per 1000 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduksi (15-45 tahun) dan pada multipara. Jadi dengan meningkatkan paritas kemungkinan menderita mola lebih besar.1. Mortalitas/MorbiditasPada pasien dengan mola hidatidosa, 20% kasus berkembang menjadi keganasan trophoblastik. Setelah mola sempurna berkembang, invasi uterus terjadi pada 15% pasien dan metastasis terjadi pada 4% kasus. Tidak ada kasus choriocarcinoma yang dilaporkan berasal dari mola parcial, walaupun pada 4% pasien dengan mola parsial dapat berkembang penyakit trofoblastikgestasional persisten non metastatik yang membutuhkan kemoterapi.

1. Ras Insiden kehamilan mola beragam diantara kelompok-kelompok etnis dan biasanya tertinggi pada negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur.

1. UmurMola hidatidosa lebih sering terjadi pada puncak umur reproduktif. Wanita pada umur remaja muda atau premenopausal yang paling beresiko. Wanita dengan umur 35 tahun keatas memiliki peningkatan resiko 3 kali lipat. Wanita lebih tua dari 40 tahun mengalami peningkatan sebanyak7 kali lipat dibandingkan wanita yang lebih mudah. Seberapa banyak partus sepertinya tidakmempengaruhi resiko.

1. Riwayat Kekambuhan mola hidatidosa dijumpai pada sekitar 1-2% kasus (miller dkk,1989). Dalam suatu kajian terhadap 12 penelitian yang total mencakup hampir 5000 kelahiran, frekuensi mola rekuren adalah 1,3% (Lorret de mola dan Goldfarb,1995). Kim dkk, 1998 mendapatkan angka kekambuhan 4,3% pada 115 wanita yang ditindaklanjuti di soul, korea.Tuncer,dkk 1998, menyimpulkan bahwa mungkin terdapat masalah oosit primer.

1. Faktor LainPeran graviditas, paritas, factor reproduksi lain, status estrogen, kontrasepsi oral, dan faktormakanan dalam resiko penyakit trofoblastik gestasional masih belum jelas.D. PATOFISIOLOGI 1,3,4

Teori terjadinya penyakit trofoblas ada 2, yaitu teori missed abortion dan teori neoplasma dari Park. Teori missed abortion menyatakan bahwa mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu(missed abortion) karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Teori neoplasma dari Park menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan juga fungsinya dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung gelembung berisi cairan jernih merupakan kista kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum uteri. Secara histopatologic kadang kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal. Bias juga terjadi kehamilan ganda mola adalah : satu jenis tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter lebih dari 1 cm.

E. FISIOLOGI 2,3

Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum, sesudah keluardari ovarium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan ovum secara normal terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal berlangsung selama 40 minggu, uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi lebih tipis tetapi lebih kuat dan membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam rongga abdomen pada masa fetus. Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang sempurna. Tetapi dalm kenyataannya tidak selalu demikian. Sering kali perkembangan kehamilan mendapat gangguan. Demikian pula dengan penyakit trofoblast, pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidrofik dari jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut molahidatidosa Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung gelembung berisi cairan jernih merupakan kista kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum uteri. Secara histopatologic kadang kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola adalah : satu jenis tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter lebih dari 1 cm . Pada ummnya penderita mola hidatidosa akan menjadi baik kembali, tetapi ada diantaranya yang kemudian mengalami degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.

F. KLASIFIKASI 4,5,6

Mola hidatidosa terbagi menjadi :1. Mola Hidatidosa SempurnaVilli korionik berubah menjadi suatu massa vesikel vesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa sentimeter dan sering berkelompok kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan Histologik ditandai oleh:- Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus- Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak- Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi- Tidak adanya janin dan amnion.

Adapun gejala dari mola hidatidosa sempurna adalah :1. Perdarahan vagina : Gejala yang paling sering terjadi pada mola sempurna yaitu perdarahan vagina. Jaringan mola terpisah dari desidua dan menyebabkan perdarahan. Uterus dapat menjadi membesar akibat darah yang jumlahnya besar dan cairan merah gelap dapat keluar dari vagina. Gejala ini terjadi pada 97% kasus Mola hidatidosa.1. Hiperemesis: Pasien juga melaporkan mual dan muntah yang hebat. Ini diakibatkanpeningkatan kadar human chorionic gonadotropin (HCG).1. Hiperthyroidisme: Sekitar7% pasien juga datang dengan takikardia, tremor, dan kulit hangat.

1. Mola Hidatidosa ParsialApabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan mungkin tampaksebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular, sementara villi villi berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Pasien dengan mola parsial tidak memiliki manifestasi klinis yang sama pada mola sempurna. Pasien ini biasanya datang dengan tanda dan gejala yang mirip dengan aborsi inkomplit atau missed abortion yakni Perdarahan vagina dan hilangnya denyut jantung janin. Pada mola parsial, jaringan fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan pembuluh darah fetus pada villi merupakan penemuan yang seringkali ada. Komplemen kromosomnya yaitu 69,XXX atau 69,XXY. Ini diakibatkan dari fertilisasi ovum haploid dan duplikasi kromosom haploid paternal atau akibat pembuahan dua sperma. Tetraploidi juga biasa didapatkan. Seperti pada mola sempurna, ditemukan jaringan trofoblastik hyperplasia dan pembengkakan villi chorionic.

G. ETIOLOGI

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, faktor faktor yang dapat menyebabkan antara lain 1,2,5:1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.2. Imunoselektif dari Tropoblast3. keadaan sosioekonomi yang rendah4. paritas tinggi5. kekurangan protein6. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.

H. GEJALA KLINIS 6,7

a. Amenorrhoe dan tanda tanda kehamilanb. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.c. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia kehamilan.d. Tidak dirasakan tanda tanda adanya gerakan janin maupun ballotement. e. Hiperemesis ,pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.f. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke 24g. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pastih. Tirotoksikosis

I. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang komplet terdapat tanda dan gejala klasik yakni 2,3,4:1. Perdarahan vaginal Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar(distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.

1. Hiperemesis Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -HCG.

1. HipertiroidSetidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan kulit yang hangat.

Kebanyakan mola sudah dapat dideteksi lebih awal pada trimester awal sebelum terjadi onset gejala klasik tersebut, akibat terdapatnya alat penunjang USG yang beresolusi tinggi 3,4,5. Gejala mola parsial tidak sama seperti komplet mola. Penderita biasanya hanya mengeluhkan gejala seperti terjadinya abortus inkomplet atau missed abortion, seperti adanya perdarahan vaginal dan tidak adanya denyut jantung janin 5. Dari pemeriksaan fisik pada kehamilan mola komplet didapatkan umur kehamilan yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif dan tertahannya darah dalam uterus. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yangt erjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia. Kejadian kejang jarang didapatkan. Kista theca lutein,yakni kista ovarii yang diameternya berukuran > 6 cm yang diikuti oleh pembesaran ovarium. Kista ini tidak selalu dapat teraba pada pemeriksaan bimanual melainkan hanya dapat diidentifikasi dengan USG. Kista ini berkembang sebagai respon terhadap tingginya kadar betaHCG dan akan langsung regresi bila mola telah dievakuasi.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain kadar beta HCG yang normal. Bila didapatkan > 100.000 mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan trofoblastik yang banyaksekali dan kecurigaan terhadap kehamilan mola harus disingkirkan. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan terjadinya koagulopati.sehingga pemeriksaan darah lengkap dan tes koagulasi dilakukan. Dilakukan juga pemeriksaan tes fungsi hati, BUN dan kreatinin serta thyroxin dan serum inhibin A dan activin 7,8.

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar untuk mengidentifikasi kehamilan mola 6,7,8. Dari gambaran USG tampak gambaran badai salju (snowstorm) yang mengindikasikan vili khoriales yang hidropik. Dengan resolusi yang tinggi didapatkan massa intra uterin yang kompleks dengan banyak kista yang kecil-kecil. Bila telah ditegakkan diagnosis mola hidatidosa,maka pemeriksaan rontgen pulmo harus dilakukan karena paru - paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG. Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat jaringan fetus,terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau 46,XY. Sebagai tambahan pada mola komplet memperlihatkan peningkatan faktor pertumbuhan, termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2, dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus 8,9.

Berdasarkan anamnesis: ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yangberlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa. Pemeriksaan fisik6,71. Inspeksi : muka dan kadang-kadang badan kelihatan kekuningan yang disebut muka mola(mola face).1. Palpasi : Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek Tidak terababagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.1. Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janinPemeriksaan dalam : Memastikan besarnya uterus, Uterus terasa lembek, Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis.

Hasil Penemuan Fisik 6,7

I) Mola sempurna1) Ukuran yang tidak sesuai dengan umur gestasiPembesaran uterus lebih besar daripada biasanya pada usia gestasi tertentu merupakan tanda yang klasik dari mola sempurna. Pembesaran tidak diharapkan disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik berlebih dan darah yang tertampung. Namun, pasien yang datang dengan ukuran sesuai dengan umur kehamilan bahkan lebih kecil tidak jarang ditemukan.

2) Preeklampsia: Sekitar 27% pasien dengan mola sempurna mengalami toxemia ditandai oleh adanya hipertensi (tekanan darah [BP] >140/90 mm Hg), proteinuria (>300 mg/d), dan edema dengan hyperreflexia. Kejang jarang terjadi.

3) Kista teca lutein: Merupakan kista ovarium dengan diameter lebih besar dari 6 cm dan diikuti dengan pembesaran ovarium. Kista ini biasanya tidak dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual namun dapat teridentifikasi dengan USG. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri pelvis. Karena adanya peningkatan ukuran ovarium, terdapat resiko torsi. Kista ini berkembang akibat adanya kadar beta-HCG yang tinggi. II) Mola Parsial1) Lebih sering tidak memperlihatkan tanda fisik. Paling sering ditemukan dengan USG2) Pembesaran uterus dan preeklampsia dilaporkan terjadi hanya pada 3% kasus3) Kista Theca lutein, hiperemesis, and hiperthyroidism jarang terjadi.

III) Mola Kembar1. Gestasi kembar dengan mola sempurna dan janin dengan plasenta normal telah dilaporkan.Kasus bayi lahir dengan sehat (dengan kembar mola) pada keadaan seperti ini juga pernah dilaporkan.

2) Wanita dengan gestasi normal dan mola beresiko untuk menjadi persisten dan cenderung dapat bermetastasis. Mengakhiri kehamilan merupakan pilihan yang direkomendasikan.

3) Kehamilan dapat dilanjutkan selama status maternal stabil, tanpa perdarahan, thyrotoxikosis,atau hipertensi berat. Pasien sebaiknya diberi tahu mengenai resiko dari morbiditas maternal akibat komplikasi mola kembar.

4) Diagnosis genetic prenatal melalui sampling chorionic villus atau amniosentesis direkomendasikan untuk mengevaluasi kariotype fetus.II LaboratoriumPengukuran kadar Hormon Karionik Ganadotropin (HCG) yang tinggi maka uji biologik dan imunologik (Galli Mainini dan Plano test) akan positif setelah titrasi (pengeceran) : Galli Mainini 1/300 (+) maka suspek mola hidatidosaRadiologik

- Plain foto abdomen-pelvis : tidak ditemukan tulang janin- USG : ditemukan gambaran snow strom atau gambaran seperti badai salju.

Uji Sonde (cara Acosta-sison)Tidak rutin dikerjakan. Biasanya dilakukan sebagai tindakan awal curretage.

HistopatologikDari gelembung-gelembung yang keluar, dikirim ke Lab. PatologiAnatomi

J. DIAGNOSA BANDING- Kehamilan ganda- Abortus iminens- Hidroamnion- Kario Karsinoma

K. KOMPLIKASI1. Perdarahan hebat1. Keganasan (PTG)1. Perdarahan yang hebat sampai syok1. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia1. Infeksi sekunder1. Perforasi karena tindakan atau keganasan

L. PENATALAKSANAAN 1,5,6,12,13. 1. Evakuasia1. Perbaiki keadaan umum.1. Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap. Bila Kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam kemudian dilakukan kuret.1. Memberikan obat-obatan Antibiotik, uterotonika dan perbaiki keadaan umum penderita.1. 7-10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke dua untuk membersihkan sisa-sisa jaringan.1. Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30 tahun, Paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi pusat atau lebih.2. Pengawasan Lanjutana. Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi oral pil.b. Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun :Setiap minggu pada Triwulan pertama. Setiap 2 minggu pada Triwulan kedua, Setiap bulan pada 6 bulan berikutnyaSetiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan.c. Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :1. Gejala Klinis : Keadaan umum, perdarahan2. Pemeriksaan dalam :Keadaan Serviks, Uterus bertambah kecil atau tidak3. Laboratorium Reaksi biologis dan imunologis :1x seminggu sampai hasil negatif1x2 minggu selama Triwulan selanjutnya1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya 1x3 bulan selama tahun berikutnya Kalau hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai adanya keganasan3. Sitostatika Profilaksis Metoreksat 3x 5mg selama 5 hari

PENYAKIT TROFOBLASTIK GESTASIONAL

I. PENDAHULUAN

Penyakit trofoblastik gestasional adalah sekelompok penyakit yang berasal dari khorion janin.1,2,3,4,5,6,Terdiri dari mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma dan tumor trofoblastik plasental site ( PSTT) yang ditandai oleh proliferasi jaringan trofoblastik yang abnormal.3 Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma.2 Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari molahidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal, prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya, maka dengan pemeriksaan DNA kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa.2

Plasental site trofoblastik tumor (PSTT) merupakan bentuk lain dari tumor trofoblas gestasional (TTG) yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta, gambaran klinik tidak sama dengan tumor trofoblas gestasional yang lain. Kelainan ini adalah yang merupakan neoplasma, sementara yang lain merupakan plasenta yang pembentukannya abnormal. Semua lesi trofoblastik dikumpulkan pada satu rubrik penyakit trofoblas gestasional (PTG) tanpa aplikasi istilah patologis tertentu. Tetapi penelitian sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi dan prilaku klinis setiap lesi. Penelitian ini menunjukkan pentingnya suatu klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang cocok. Tetapi istilah PTG tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik/ persistennya mirip. 3,4

Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan TTG tidak merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadium dini, sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang karena pada umumnya diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan dan tirotoksikosis masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu. 2,3

II. MORFOLOGI DAN IMUNOHISTOKIMIA TROFOBLAS NORMAL

Kehamilan normal adalah suatu allogarft dengan separuh kromosom berasal dari ibu dan separuh lainnya berasal dari paternal. Sel trofoblas dari kehamilan normal (sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) pada awalnya menunjukkan sifat-sifat ganas; cepat membelah, menginvasi bahkan bermetastasis (kapiler paru). Sesudah 9 bulan serangkaian kejadian terjadi yang memisahkan graft plasenta dari ibu secara sempurna. Dengan demikian terminasi kehamilan berlangsung dengan baik dan pertumbuhan sel trofoblas dapat terkontrol dan berhenti secara spontan. Koriokarsinoma merupakan pertumbuhan yang tak terkontrol dan neoplastik dari trofoblas; sito dan sinsitiotrofoblas dalam kuantitas yang berbeda. 5,6,7,8

Pada plasenta normal, tumor yang tumbuh berkaitan dengan villi korionik yang disebut sebagai trofoblas villus dan trofoblas pada lokasi lain disebut trofoblas ekstravillus. Ada 3 tipe sel yang diketahui, yaitu : sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Trofoblas villus terdiri dari sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas dan sedikit trofoblas intermediet. Sebaliknya trofoblas ekstravillus yang menginfiltrasi desidua, miometrium dan arteri spiralis di plasental site terutama terdiri dari trofoblas intermediet dengan sedikit sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.5,6,7,8 Trofoblas ekstravilus terdiri dari sel mononukleasi dengan sitoplasma eosinofilik padat. Secara imunologis kimia tercat positif untuk hPL & sitokeratin, sedikit lemah untuk hCG dan untuk plasental alkalin fosfatase (PLAP). Istilah trofoblas intermediet telah diajukan untuk trofoblas nonvilus. Fungsi dan perbedaan fisiologis dari tipe-tipe ini masih diteliti. 1

Sitotrofoblas / sel Langhans adalah sel trofoblas germinatif , sementara sinsitiotrofoblas adalah sel yang sangat berdiferensiasi yang berhadapan dengan sirkulasi ibu dan menghasilkan hormon plasenta. Trofoblas intermediet memiliki gambaran morfologi dan fungsional sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. 5,6,7,8

A. Gambaran mikroskopis Pada gestasi normal, sitotrofoblas terdiri dari sel epitel primitif yang uniform dan poligonal seperti berbentuk oval.Sitotrofoblas memiliki nukleus tunggal, sitoplasma jernih sampai granuler dan batas sel yang jelas dan aktivitas mitotic terlihat jelas. Sinsitiotrofoblas terdiri dari sel multinuklear, besar, dengan sitoplasma amfofilik dengan vakuol multiple yang bervariasi ukurannya dan beberapa dengan lakuna. Nukleus sinsitiotrofoblas berwarna gelap dan terkadang piknotik dan tidak ada aktivitas mitotik.

Trofoblas intermediet umumnya adalah sel mononuklear, tetapi terkadang ada juga yang mempunyai inti lebih dari satu. Bentuknya dapat bervariasi, mulai dari sel polyhedral sampai berbentuk spindel, sel bipolar dengan proses sitoplasmik. Sitoplasmanya banyak dan berwarna eosinofilik sampai amfofilik. Vakuolnya kecil dan terpisah dapat ditemukan pada sitoplasma trofoblas intermediet. Nukleus trofoblas intermediet memiliki batas nukleus ireguler dan hiperkromatik, terkadang berlobulasi/ membentuk celah yang dalam. Nukleus trofoblas intermediet lebih kecil dan lebih jelas bila dibandingkan dengan sitotrofoblas.

Trofoblas intermediet menginfiltrasi desidua, miometrium dan pembuluh darah, menyelip diantara sel normal. Material fibrinoid eosinofilik terkadang terkumpul disekitar trofoblas intermediet. 5,6,7,8

B. Imunohistokimia

Sejumlah besar hormon protein, steroid dan eosin seperti hCG, hPL, Pregnancy spesifik B1 glikoprotein (SP-1), plasental protein G, pregnancy associated plasma protein A, estradiol, progesterone dan plasental alkaline fosfatase dapat dilokalisir di plasenta. Kebanyakan produk ini dihasilkan oleh sitotrofoblas. 1.

Trofoblas intermediet mengandung hPL dalam jumlah besar yang mulai pada hari ke 12 dan tetap ada sampai 6 minggu setelah itu menghilang. Sitotrofoblas tidak mempunyai hCG/ hPL. Sinsitiotrofoblas mengandung hCG dalam jumlah besar pada hari ke 12 sampai minggu ke 8-10. Pada plasental site , hPL membantu membedakan trofoblas intermediet dengan desidua dan sel otot polos. Karena sel trofoblas juga adalah sel epitel, maka imunohistokimia untuk keratin juga membantu mengidentifikasi jaringan lain. 5,6,7,8

III. STANDARISASI TERMINOLOGI

Sebelum 1982 dipergunakan berbagai istilah dalam PTG sehingga menyulitkan perbandingannya. Sebagai upaya untuk menyeragamkan terminologi pada tahun 1983, WHO mengusulkan suatu system yang diterima secara luas. Terminologi WHO menyatakan bahwa diagnosis bentuk ganas dari PTG ditegakkan berdasarkan parameter klinis atau biokimiawi dan bukan atas dasar pemeriksaan histopatologi dan yang lain secara klinis. Umumnya diagnosis histopatologi tidak diperlukan, karena tumor marker untuk penyakit ini yakni hCG bila diperiksa dengan cara RIA mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang sangat tinggi. 8,9,10,11A. Klasifikasi histopatologi 1. Mola hidatidosa 2. Mola invasif 3. Koriokarsinoma 4. PSTT

B. Klasifikasi klinis 1. Penyakit trofoblas gestasional 2. Tumor trofoblas gestasional 3. Metastatik trofoblas gestasional

C. Klasifikasi FIGO Pembagian stadium dari FIGO 1982 sifatnya sederhana dan menggunakan kriteria yang sama dengan keganasan ginekologi yang lain. Pembagian ini mengacu pada pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan radiologi dan tidak menggunakan langkah-langkah rumit yang mungkin tidak dapat dilakukan dinegara-negara yang sedang berkembang. 9

Tabel 1. Klasifikasi FIGO Stadium I Tumor semata-mata terdapat dalam uterus

Stadium II Tumor menyebar ke adneksa, atau keluar dari uterus namun terbatas pada struktur genital

Stadium III Tumor menyebar ke paru-paru dengan atau tanpa penyebaran ke traktus genitalis

Stadium IV Tumor menyebar ke tempat-tempat lain

Pada tahun 1991, FIGO menambahkan faktor prognostik kedalam sistem staging anatomik yang klasik dengan faktor prognostik , yaitu nilai hCG urin > 100.000 mIU/ml dan hCG serum > 40.000 mIU/ml dan lamanya waktu dari terminasi kehamilannya hingga terdiagnosis >6 bulan 15. Staging harus berdasarkan riwayat kehamilan, pemeriksaan klinis, pendekatan laboratorium dan radiologis.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan : 1. Riwayat kemoterapi pada PTG sebelumnya. 2. Jika tumor ditempat implantasi plasenta (harus dilaporkan terpisah). 3. Konfirmasi histologik tidak bermakna 15

D. Sistem Hammond 1. Low metastatik 2. Low-risk metastatik 3. High risk metastatik

Klasifikasi klinis dari GTT ( Hammond dkk 1973 ) 1. Non- metastatik.

1. Metastatik. c. Risiko rendah. 1. hCG < 100.00 IU/ urin 24 jam urine atau < 40.000 m IU/ml serum. 2. Gejala ada kurang dari 4 bulan No brain or liver metastases. 3. Tidak ada riwayat kemoterapi. 4. Kehamilan sebelumnya bukan kehamilan aterm ( mola, ektopik, abortus) .

d. Risiko tinggi . 1. hCG > 100.000 IU/ urin 24 jam atau > 40.000 ml/ml serum. 2. Gejala ada > 4 bulan . 3. Adanya metastasis ke otak atau hepar. 4. Gagal kemoterapi sebelumnya. 5. Kehamilan sebelumnya aterm.

E. Klasifikasi WHO 151. Mola hidatidosa : - Komplet - Parsial 2. Koriokarsinoma 3. Mola hidatidosa invasif 4. Tumor trofoblas di tempat implantasi plasenta 5. Tumor trofoblas: - Ekstragragasi plasenta - Nodul plasenta 6. Lesi trofoblas yang tidak terklasifikasi

1. Sistem Skor WHO Tabel 2. Sistem Skor WHOFaktor0124

Usia< 39> 39--

Kehamilan sebelumnyaMolaAbortusAterm

Interval antara kehamilan dengan mulainya kemoterapi 12

ABO grup (wanita >< pria)OXOAXOBAB

Hcg (mIU/ml)< 103103-104104-105>105

Besar tumor, termasuk uterus (cm)3-5>5

MetastasisLien, ginjalGIT, heparOtak

Jumlah metastasis1-45-8>8

Riwayat kemoterapi sebelumnya1 obat 2

Klasifikasinya adalah sebagai berikut : 1. Risiko rendah, skor total 4 2. Risiko sedang, skor total 5-7 3. Risiko tinggi, skor total 8

Terapi utama :sitostatika - risiko rendah diberikan kemoterapi tunggal a.l1.MTX 20 mg/hari selama 5 hari IM2.Act-D 12 mg/kg BB selama 5 hari IV3.etoposid : 200 mg/m2 per oral atau 100 mg/m2 IV dilarutkan dalam NaCl 0,9%

- risiko sedang diberikan kemoterapi kombinasi a.l1.MTX /lekovorin + act D2.Act.D + etoposid3.MTX /lekovorin + act D + klorambusil4.MTX /lekovorin + act D + siklofosfamid5.etoposid + MTX/lekovorin + Act-D

1. risiko tinggi1.sisplatinum +etoposid2.EMA-CO (EMA + onkovin + siklofosfamid)3.vinkristin, MTX/lekovorin, sisplatinumpengobatan kemoterapi masih dilanjutkan 2-4 seri setelah kadar B hCG normal

G. Berdasarkan faktor - faktor prognosis Adanya faktor prognosis yang harus diperhitungkan dalam menetapkan pilihan terapi, diketahui kegagalan-kegagalan pada pemberian sitostatika tunggal pada tumor trofoblas gestasional. Ini dapat dipakai untuk penggolongan pasien; mana yang memerlukan sitostatika tunggal, dan mana yang memerlukan kemoterapi kombinasi. 4

Dari berbagai analisis multivariat ternyata keadaan-keadaan yang memperburuk prognosis adalah : 1. Diagnosis yang sangat terlambat ditegakkan 2. Kadar hCG tinggi 3. Kegagalan pemberian kemoterapi sebelumnya 4. Adanya metastasis lain diluar paru-paru dan vagina 5. Jumlah dan ukuran metastasis 6. Jenis kehamilan sebelumnya 7.Mungkin juga tumor dan golongan darah ABO pasien dan suaminya9,10,11,13

PLASENTAL SITE TROFOBLASTIK TUMOR

Plasental Site trofoblastik Tumor ( PSTT ) adalah tumor trofoblas non villus yang menginfiltrasi plasental site pada kehamilan normal, 3 yang terdiri dari trofoblas intermediet, umumnya jinak tetapi dapat pula ganas, mirip infiltrasi tumor ke endometrium dan miometrium pada plasental bed dan tidak ada pola bifasik seperti koriokarsinoma. Ia merupakan bentuk penyakit trofoblast gestasional yang terjarang.2

Tumor tumor tipe ini sudah dikenal selama bertahun-tahun dan dikenal dengan istilah chorioepitelioma atipikal, sincitioma, dan corionepitheliosis. Belakangan ini, Kurman, Scully & Norris mengemukakan 12 kasus dengan lesi yang terlokalisir dan kadang-kadang dapat dihilangkan dengan kuretase sederhana. Mereka mengajukan istilah trofoblastik pseudotumor. Tetapi dalam beberapa tahun ini telah jelas bahwa tumor ini kadang-kadang bersifat agresif meskipun terlokalisir dan dapat pula bermetastasis. 6,7

Walaupun diketahui bahwa tumor ini merupakan bentuk atipikal dari koriokarsinoma tetapi lebih suka digunakan istilah plasental site trofoblastik tumor yang mencerminkan kesamaan morfologinya dengan trofoblas pada plasental site. 2

PSTT adalah penyakit yang unik, Marchand pada tahun 1895 dan Ewing tahun 1910 membuat klasifikasi jinak dan ganas dari penyakit trofoblas berdasarkan hasil observasinya. Lesi ini yang sekarang disebut PSTT secara periodik ditemukan kembali dan diberi nama baru sejak deskripsi pertama dilaporkan. Kurman baru-baru ini menamainya sebagai kumpulan jinak dari sinsitiotrofoblas dan pada tahun 1976 disebutnya sebagai tanda tumor trofoblas. Laporan kasus berikutnya membicarakan bukti tentang potensi keganasan dengan keluaran fatal dan tumor ini di namai ulang dengan PSTT pada tahun 1981. 6,7

Tumor ini ditandai dengan populasi sel monomorfik yang terdiri dari sel trofoblas intermediet. Dari laporan Kurman dkk maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada 2 pola diferensiasi trofoblas yang dapat dikonseptualisasikan. Sitotrofoblas dapat dianggap sebagai induk sel yang dapat berkembang menjadi sinsitiotrofoblas yang mensintesis dan mensekresikan beberapa hormon kehamilan. Konseptualisasi sitotrofoblas sebagai sel induk memunculkan pemahaman diferensiasi sel di ruang intervillus, sel ini terjadi bersamaan dengan infiltrasi miometrium sehingga timbul tempat implantasi. Shih dan Kurman melaporkan bahwa sitotrofoblas dan kaitannya dengan sinsitiotrofoblas serta 2 pola diferensiasi. Trofoblas intermediet terlihat dikolom T dan ruang intervillus ketika ia bermigrasi ke lempeng basal dan menginvasi arteri spiralis. Baru-baru ini ditemukan berdasarkan penelitan menemukan hubungan antara molekul adhesi sel melanoma dan trofoblas intermediet. Molekul adhesi sel melanoma (MELCAM) termasuk pada keluarga gen imunologis utama dan dapat di identifikasi dengan antibodi monoklonal . Molekul adhesi spesifik ini dapat membedakan trofoblas intermediet dari sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. 6,7

Tipe sel Trofoblast berdasarkan trimester Tipe sel trofoblast Trimester I hCG hPL Trimester II hCG hPL Trimester III hCG hPL

Sitotrofoblast - - - - - -

Trofoblast intermediet + ++ - +++ + +/++

Sinsitiotrofoblast ++++ + ++ +++ + +++

A. Gambaran klinis Spektrum klinis PSTT sangat luas. Tumor ini paling sering ditemukan pada usia reproduktif yang dapat memperlihatkan amenorea / perdarahan uterus abnormal beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kehamilan normal (95%), sedikit yang berasal dari abortus atau yang jarang mola hidatidosa.2,3 Uterus biasanya membesar dan kadar protein hamil serum seperti hCG, hPL meningkat walaupun hCG jarang setinggi koriokarsinoma.3 Hasil tes kehamilan tergantung pada tes yang digunakan, tetapi biasanya memberikan hasil positif, jarang berhubungan dengan virilisasi.2 Dengan kuretase akan diperoleh desidua atau miometrium yang terinfiltasi oleh sel-sel trofoblas dengan gambaran sitoplasma eosinofilik yang bertumpuk dan nukleus yang pleomorfik (dapat mononukleus ataupun multinukleus) dan seringkali bergerombol atau berbentuk tali dan memisahkan serabut otot polos. Akan sulit, bahkan tidak mungkin untuk membedakan antara reaksi berlebihan plasental site dengan PSTT pada kuretase endometrium, karena jaringan yang kurang mencukupi atau adanya nekrotik yang berlebihan.

Pemeriksaan terhadap spesimen histerektomi menunjukkan perbedaan yang jelas antara PSTT dan koriokarsinoma. PSTT membentuk massa yang mengalami nekrosis, tetapi perdarahannya kurang menyolok. Keadaan ini mencerminkan kurangnya invasi vaskuler dan infiltrasinya dominan pada jaringan intertisial. Prosesnya bahkan dapat menginfiltrasi sampai ke organ yang berdekatan, seperti ovarium dan parametrium. Metastase jauh dapat terjadi di peritoneum, hepar, pankreas, paru-paru dan otak. Karena invasi vaskuler bukan merupakan kriteria keganasan, tampaknya jumlah mitosis > 5 per lapangan pandang besar dapat memprediksi tumor dengan potensi metastase.3

B. Temuan makroskopis.

Ukuran lesi bervariasi dari hanya terlihat secara makroskopis sampai pembesaran noduler yang difus dari miometrium. Terkadang berbatas jelas/ bisa tidak berbatas. Dan dapat polipoid menjulur ke kavum uteri/ hanya di miometrium. Permukaan irisannya lembut & mengandung area fokal hemoragik dan nekrosis. Invasi sering meluas ke serosa uteri dan jarang ke struktur adneksa. 6,7

C. Temuan mikroskopis Sel predominan pada PSTT adalah trofoblas intermediet dan gambaran populasi seluler adalah monomorfik. Juga ada sel sinsitiotrofoblas besar yang tersebar. Sinsitiotrofoblas adalah komponen minor yang terkadang jika ada dapat memiliki nucleus multinuklear. Sel trofoblas intermediate menginvasi secara tunggal/ dalam bentuk pita dan lembaran yang ditandai dengan pemisahan dari serat otot dan grup serat-serat. Walaupun beberapa tumor menyebabkan destruksi relatif, yang lainnya berkaitan dengan nekrosis relatif. Banyak sel trofobas intermediet yang berbentuk spindel sehingga mirip dengan sel otot. Trofoblas intermediet memiliki nukleus hiperkromatik irreguler dan sitoplasma eosiamfofilik serta terkadang ada vakuola. Seperti pada implantasinya yang normal, pada tumor ini juga banyak terdapat fibrinoid eosinofilik ekstraseluler dimana pembuluh darah diinvasi oleh sel trofoblas dan material fibrinoid. Reaksi desidual atau Arias stella dapat ditemukan pada endometrium normal yang berdekatan, villi jarang ada. 6,7

Jarang tumor trofoblas memberikan gambaran histologis PSTT dan koriokarsinoma, dan bila ada disebut mixed choriocarsinoma /PSTT. Contoh kasus dengan 50% PSTT dan 50% koriokarsinoma di uterusnya, tetapi metastase di limfonodus positif untuk koriokarsinoma. Metastase ke paru dapat terjadi tetapi titer hCG serum tetap rendah, dan pasien ini meninggal karena penyakit ini.

D. Gambaran ultrastruktur Morfologi trofoblas intermediet terlihat paling baik pada PSTT. Sel trofoblas intermediet besar dan memiliki sitoplasma yang banyak, berbentuk polygonal dan dihubungkan dengan desmosom. Sitoplasmanya kaya akan organella dan natrium. Dalam bentuk bundle besar filamen intermediet paranuklear yang membedakan trofobas intermediet dengan sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. 6,7

E. Gambaran Ultra sonografi : Secara USG sukar membedakannya dengan gambaran mola invasif.

F. Gambaran MRI: MRI memperlihatkan sensitivitas yang cukup tinggi dalam mendeteksi penyakit PTG yang berlokasi (metastasis) ke uterus, parametria, adneksa dan forniks vagina dan merupakan satu teknik imaging alternatif pengganti

jika pemakaian zat kontras merupakan kontra indikasi. Baik Doppler USG, CT maupun MRI mempunyai kemampuan mengidentifikasi pembesaran abnormal dari arteri uterina sehubungan dengan adanya persisten pelvis PTG, sehingga tehnik-tehnik ini sudah dapat menggantikan peranan pelvis arteriografi. Keuntungan MRI: 1. MRI memakai nonionizing radiation 2. Resolusi kontras jaringan lunak yang baik/ hebat 3. Multiplanar imaging 4. Visualisasi yang baik dari jaringan dan pembuluh darah tanpa memerlukan zat kontras 5. Merupakan pilihan untuk pasien-pasien yang mengalami alergi dengan zat kontras berjodium atau dengan kegagalan ginjal

Kekurangan MRI dibanding CT Scan adalah : 1. Biaya relatif lebih mahal 2. Waktu scanning yang relatif lebih panjang/ lama 3. Poorer spatial resolution 4. Degradasi image jika bergerak 5. Tidak dapat dilakukan pada pasien dengan claustrophobiaTidak mampu memeriksa pasien dengan pacemaker jantung, cochlear implant, vaskular klips, objek metalik pada mata dan pemakai perangsang syaraf

G. Diagnosis banding 1.Koriokarsinoma: memiliki pola bifasik ( PSTT populasinya monofasik ) 2. Sarkoma, Ca diferensiasi jelek, melanoma metastatik.

Gambaran diagnostik kunci untuk PSTT adalah : 1. Adanya invasi pembuluh darah yang jelas dan deposisi ekstensif fibrinoid 2. Untuk hPL (+) difus, untuk keratin + kuat

H. Aplikasi klinis Tumor ini sering menginvasi melalui miometrium ke serosum sehingga terjadi perforasi. Kuretase lesi juga dapat menyebabkan perforasi. Tumor dapat menginvasi sampai ke ligamnetum latum dan ovarium. Prilaku PSTT adalah enigmatic, walaupun ada invasi dalam, PSTT kebanyakan adalah self limited. Bisa juga ganas, sedikitnya ada 20 kematian dari 90 kasus sehingga tingkat mortalitas adalah 5-20%, karena kasusnya jinak maka jarang yang dilaporkan. Kasus ganas ditandai dengan adanya metastase luas ke paru-paru, hati, kavum abdomen dan otak. Umumnya PSTT metastatik tidak merespon terhadap kemoterapi multiagen karena PSTT terdiri dari trofoblas intermediet maka level hCG akan rendah, hal ini akan kontras dengan koriokarsinoma. 6,7

Sampai saat ini tidak ada cirri histologis, imunohistokimia atau DNA ploidi yang dapat diandalkan untuk memprediksi prognostic. Penyakit renal pun dapat terjadi pada pasien PSTT, proteinuria berat dan hematuria yang diduga sebagai cirri dari nefrotik sindrm. Biopsi renal menunjukkan deposit eosinofilik dilumen kapiler yang tercat untuk fibrinogen dam Imunoglobulin M. Sindroma nefrotik dilaporkan terdapat pada 4 kasus ( 10% kasus yang dilaporkan )ini tidak terdapat pada bentuk penyakit trofobastik lainnya dan membaik setelah eradikasi tumor.8 Fibrin dan IgM dapat ditemukan di dalam intrakapiler glomerulus, dan DIC dianggap sebagai mekanisme patogenesisnya. 17

Kepentingan mengenal tumor ini bahwa di satu pihak, kecenderungan metastasenya yang kecil yang memungkinkan untuk dilakukan pembedahan dan dipihal lain pada resistensinya terhadap kemoterapi. Tingkat proliferasinya yang rendah memungkinnya terjadi regresi spontan. Terminologi PSTT digunakan untuk lesi yang bisa sembuh sendiri. Menurut pengalaman beberapa peneliti 8 lesi yang mengalami regresi sering menunjukkan adanya gambaran hialinisasi dan kadang-kadang sulit untuk menunjukkan hPL sitoplasma, tetapi epitel sel-sel trofoblastiknya dapat memperlihatkan antiserum sitokeratin. 17

IV. EVALUASI DIAGNOSTIK

Semua pasien dengan PTG persisten harus dilakukan evaluasi sebelum pengobatan secara hati-hati, termasuk : a. Riwayat komplit dan pemeriksaan fisik. b. Pengukuran nilai hCG serum c. Fungsi hepar, tiroid dan ginjal d. Nilai terendah lekosit perifer dan platelet.

Jika metastatik harus diikuti juga dengan : a. CT scan atau rontgen foto thoraks b. USG atau Ct scan abdomen dan pelvis c. CT scan kepala d. Angiografi selektif dari dari abdominal dan organ pelvis jika ada indikasi.

Ultrasonografi hepar dan CT Scan akan banyak memberikan masukan pada metastatik ke hepar pada pasien dengan tes fungsi hepar abnormal. CT scan kepala di anjurkan pada diagnosis dini dari lesi cerebral yang tidak memberikan gejala. CT Scan dada mungkin menggambarkan mikrometastatis meskipun dengan rontgen foto thoraks normal. Pada pasien pasien dengan koriokarsinoma atau penyakit yang bermetastatis, hCG mungkin bissa diukur pada cairan sebrospinalis untuk menyingkirkan penyebaran cerebral jika pada CT Scan otak normal. Plasma/ CSF hCG rasio bertendensi menurun < 60 pada adanya metastatis serebral. Bagaimanapun plasma tunggal/ CSF hCG rasio mungkin tidak meningkat, sebab perubahan cepat pada hCG plasma tidak mungkin bisa direfleksikan pada CSF.18

USG pelvis tampaknya bisa digunakan pada deteksi penyebaran PTG yang ekstensif dan mungkin juga merupakan identifikasi dari tumor uterus yang resisten. Sebab USG lebih akurat dan tidak menginvasi dalam mendeteksi tumor uteri, ini mungkin bisa menolong menyeleksi pasien yang akan dihisterektomi. 18

DiagnosisMulti agen kemoterapiFollow up hCG serumKemoterapi tunggalStaging, klasifikasi resikoPSTTKoriokarsinomaMola komplit dan parsialMola invasifEvakuasi hisapPemeriksaan : Darah lengkap, USG pelvis, Ro, CT Scan otak, USG hepar, liver (jika ada indikasi)Menetap atau titer meningkatNormal dlm 6 blnResiko tinggiResiko rendah

Gambar 2. Bagan Diagnosis dan Penatalaksanaan PTG

Penatalaksanaan PTG.

1. Stadium I.

Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya adalah berdasarkan fertilitas penderita, yaitu : histerektomi + kemoterapi. Jika sistem anak fertilitas, histerektomi dengan adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin merupakan pengobatan primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan harus memenuhi 3 alasan : a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran darah dan jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor pada saat opertasi. c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada saat operasi. Kemoterapi aman diberikan pada saat histerektomi tanpa peningkatan risiko perdarahan atau sepsis. Pada 1 seri yang terdiri dari 29 pasien yang diterapi pada satu institusi dengan histerektomi primer dan adjuvant kemoterapi tunggal, semuanya menunjukkan remisi komplit tanpa tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan pada stadium I PSTT. Sebab PSTT resisten terhadap terapi , histerektomi hanya dilakukan pada penyakit yang nonmetastatik dan merupakan pengobatan kuratif. Pada penderita PSTT metastatik yang pernah dilaporkan mengalami remisi setelah kemoterapi. 18

a. Kemoterapi tunggal Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan stadium I yang masih membutuhkan fertilitas. pada suatu penerlitian dengan kemoterapi tunggal yang diberikan pada 399 pasien dengan stadium I PTG, 373 ( 93,5%) mengalami respon komplit. Dua puluh enam pasien yang resisten mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif. Pada pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan masih membutuhkan sistem reproduksi , dapat diberikan kemoterapi kombinasi. Jika pasien resisten terhadap kemoterapi tunggal dan kemoterapi kombinasi dan masih ingin mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan reseksi uterus lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif, MRI atau arteriogram mungkin menolong mendefinisikan bagian tumor yang resisten. 18.

b. Kemoterapi kombinasi Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka kesembuhan pada semua pasien dengan PTG risiko rendah dapat diharapkan, tetapi pada PTG risiko tinggi kesembuhan hanya berkisar 52-89% bahkan dengan MTX-Actinomisin-D dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai terapi primer PTG risiko tinggi yang metastatik. 2,18

Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa siklofosfamid , Vinkristin adalah kombinasi yang dapat ditolerir dan efektif dalam mengobati wanita dengan PTG risiko tinggi. Efek samping MEA yang didapatkan adalah mielosupresi, alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea ( grade 2). Leuko dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94 siklus. 2,18

Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif dan dapat ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan terbaru dari RS Charing Cross terhadap regimen ini menunjukkan 78% remisi komplit, 86% tingkat survival 5 tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali untuk keganasan ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita dengan PTG risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin karena pada penyakit jarang ini ada tingkat respon yang tinggi terhadap banyak regimen terapi. 18

Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah regimen kemoterapi yang mengandung etoposide telah dilaporkan. Risiko leukemia mieloid, ca kolon dan ca mammae secara bermakna meningkat. Walaupun mekanisme keganasan kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi dengan etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu di follow up lebih ketat. 2

2. Stadium II dan stadium III.

Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi tunggal, dan pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi kombinasi primer yang intensif. a.. Metastasis ke pelvis dan vagina Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang diterapi dengan kemoterapi tunggal memberikan remisi komplit sebanyak 16 dari 18 ( 88,9%) pada penderita dengan risiko rendah. Kontrasnya hanya 2 dari 8 orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami remisi dengan kemoterapi tunggal dan lainnya dengan kemoterapi kombinasi.

Metastasis vagina mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat sebab mempunayai vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini substansial akan dapat dikontrol dengan melokalisir vagina atau dengan lokal eksisi yang luas. Embolisasi Arteriografi arteri hipogastrika mungkin bisa mengontrol perdarahan metastasis vagina.18

b. Metastasis ke paru-paru. Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III yang diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi gonadotropin diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71 dari 85 ( 83,5%) pasien dengan risiko rendah. Semua pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal sebagian mengalami remisi dengan kemoterapi kombinasi. Torakotomi merupakan batas pemanfaatan pada stadium III. Jika pasien mengalami metastasis pulmo yang persisten dan diberikan kemoterapi intensif, bagaimana pun torakotomi mungkin bisa mengeksisi fokus yang resisten. Pada penderita resisten yang telah dilakukan torakotomi, kemoterapi harus diberikan pada postoperatif untuk mengobati mikrometasis yang tersembunyi. 18,19,20,21

c. Histerektomi. Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan metastasis untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis. Selanjutnya pada pasien-pasien yang tumornya meluas, histerektomi mungkin secara substansial menghambat tumor trofoblas dan membatasi untuk pemberian kemoterapi.18,19,20,21

d. Follow-up Semua pasien dengan stadium I sampai stadium III harus difollow-up dengan : 1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal selama 3 minggu berturut-turut. 2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12 bulan berturut-turut. 3. Kontrasepsi yang efektif selama interval follow-up hormonal.18,19

3. Stadium IV

Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk tumbuh secara progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi multimodalitas. Semua pasien stadium IV harus diterapi secara primer dengan kemoterapi intensif dan penggunaan radioterapi yang selektif dan pembedahan. 18

Protokol pemberian EMA-CO :

Kemoterapi EMA-CO diformulasikan oleh Newlands dan Baghsawe, yaitu dengan menggunakan Etoposide, MTX dosis tinggi dengan asam folat, Actinomisin D, Cyclophosphamide, dan Vincristin, atau beberapa variasi dari obat-obatan tersebut merupakan obat terpilih yang digunakan untuk pasien-pasien dengan PTG risiko tinggi. Jika terdeteksi metastatis ke otak, dosis infus MTX harus dinaikkan 1 mg/m2 dan 30 mg asam folat diberikan setiap 12 jam selama 3 hari mulai pada 32 jam setelah pemerian infus inisial. 18,19

Pada tahun 1984, laporan utama Baghsawe ternyata 83% angka harapan hidup pada penderita yang hanya diterapi dengan EMA-CO. Laporan dari Charing Cross Hospital berdasarkan penelitiannya mendapatkan 80% dengan respon komplit dan angka harapan hidup 82% dengan efek toksis yang minimal. Schink dan kawan-kawan melaporkan juga bahwa hasil yang didapatkannya sangat baik. 18,19

Kemoterapi lain untuk PTG adalah cisplatin, bleomisin dan ifosfamide. Obat-obatan ini digunakan pada kombinasi dengan etoposide atau vinblastin untuk meningkatkan penyembuhan pada beberapa penderita dengan kegagalan pada terapi awal. Penggunaan dosis tinggi kemoterapi dan G-SCF mungkin merupakan menejemen penting untuk penderita ini. 19

Toksisitas yang signifikan lebih banyak pada kemoterapi kombinasi dibandingkan dengan kemoterapi tunggal. Reaksi toksis adalah sama untuk MTX dan actinomisin D kecuali alopesia , nausea dan muntah-muntah mungkin lebih berat dan supresi sumsum tulang adalah bermakna. Vinkristin mungkin menyebabkan neurotoksisitas. Bleomisin mungkin menyebabkan perubahan kulit dan demam dan dosis kumulatifnya tergantung toksisitas terhadap paru-paru. Batas toksisitas Cisplatin adalah neuropathi periperal atau ototoksisitas, meskipun insufisiensi renal yang progresif bisa terjadi. Ifosfamide mungkin menyebabkan somnolen dan koma seperti sistitis hemoragik. 20

Baru-baru ini dilaporkan mayoritas pasien menunjukkan respon parsial terhadap EMA-CO, lalu jelaslah dibutuhkan regimen yang lebih kuat. Pasien dengan PSTT metastatik dan rekuren yang menunjukkan respon komplit dan durabel terhadap Etoposide, MTX, Dactinomisin dan etoposide cisplatinum (EMA-EP). Sebagai contoh diberikan : Hari 1: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin 100 mg/m2 MTX IV bolus + 200 mg/m2 asam folat selama 24 jam

Hari 2: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin diberikan setiap 14 hari . Pada hari ke 8 diterapi dengan 1 mg/m2 vinkristin dan 600 mg/m2 sitokan (EMA-CO). Setelah 2 siklus hCG tidak bisa dideteksi. Siklus tambahan lalu diberikan.Pasien secara klinis bebas dari penyakit dengan level hCG normal selama 6 bulan, lalu level hCG nya meningkat sampai 181 mIU/ml. Terapi diberikan lagi dengan 100 mg/m2 etoposide pada hari ke 1 dan 0,5 mg daktinomisin pada hari ke 1&2, 1000mg/m2 MTX selama 24 jam pada hari pertama diikuti dengan pemberian asam folat, dan pada hari ke 8 diberikan 150 mg/m2 etoposide & 75 mg/m2 sisplatinum ( EMA-EP). Regimen ini diulang setiap 14 hari. Setelah 4 siklus hCGnya turun < 5mIU/ml. Lalu diberikan 2 siklus tambahan. Terjadi efek samping mukositis dan netropenia yang menyebabkan dosis pada siklus ke 3& 4 diturunkan.Tiga tahun setelah kemoterapi tidak ada bukti penyakit lain. 2,25

METASTASIS PSTT

Sejak publikasi pertama tentang potensi malignansi PSTT, maka semakin banyak perhatian yang diberikan pada tumor yang jarang ini. Perilaku klinis yang sangat luas spektrumnya serta jarangnya tumor ini ditemukan ditambah dengan kurangnya sensitifitas level hCG serum dalam memprediksi rekurensi dan penyebarannya menyebabkan laporan yang ada hanya bersifat anekdotal.

Yang paling penting bagi klinisi adalah tingginya tingkat mortalitas karena metastasis PSTT.. Penggunaan kemoterapi multi agen dengan dosis intensif, intervensi dini ketika penyakit metastatik ditemukan, tehnik pencitraan untuk menetapkan penyebaran penyakit/ operasi untuk penyakit yang terlokalisir dan penggunaan faktor pertumbuhan yaitu Granulosyt Colony Stimulating Factor ( G-SCF), adalah dasar dari perawatan klinis dari PSTT pada pasien dengan PSTT metastatik. 2,3

Dari tinjauan literatur, keluaran klinis pada PSTT metastatik sangat bervariasi, tetapi yang jelas tidak ada pasien dengan metastatik ke otak yang bertahan. Hitung mitotik rendah tidaklah prediktif untuk penyakit metastatik dan waktu dosis awal sampai terjadinya metastasis dapat berlangsung dalam tahunan. Laporan terbaru juga menunjukkan bahwa terapi operasi adjuvan dapat kuratif bila penyakit metastatik dipelvis diangkat semuanya.

Strategi klinis uhtuk PSTT sayangnya masih anekdotal. Tetapi adalah kewajiban dokter untuk menentukan seberapa luas penyakit dengan bantuan MRI / CT Scan. hCG serum dimonitor dan sayangnya pengukuran hPL tidak cukup membantu. Histologi PSTT tidaklah prediktif untuk menilai keluaran yang akan datang. Penelitian lanjut yang menilai antibodi molekuler MEL-CAM mungkin penting dalam memprediksi keluaran klinis dimasa depan.

Ketika diagnosis dibuat dengan dilatasi dan kuretase dan pemeriksaan metastatik tidak ditemukan, terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien yang ingin mempertahankan fertilitasnya, tetapi tetap ada risiko metastasis, sehingga pemeriksaan metastasis haruslah termasuk CT/ MRI, USG transvaginal uterus dan follow up. Pada pasien yang tidak mempermasalahkan fertilitas, histerektomi adalah primer. Strategi klinis pada pasien dengan penyakit metastatik adalah untuk menghilangkan fokus metastatik, meminimalisir toksisitas dan mencegah progresi penyakit . Strategi terapi multimodul yang direncanakan didasarkan pada fakta bahwa rekurensi lokal dan penyakit persisten dapat dibuang dengan operasi dan penyebaran sistemik tetap dapat merespon kemoterapi multi agen. 18,19,26,27

Regimen kemoterapi awal harus dimulai dengan EMA-CO yang menunjukkan respon komplit. Dukungan faktor pertumbuhan seperti GSCF/ tipe faktor pertumbuhan lain dapat diperlukan, dan harus digunakan di awal terapi untuk menghindari penundaan terapi. Dasar strategi klinis pada penyakit metastatik PSTT adalah pengunaan info yang didapati dari terapi PTG yang risiko metastatisnya tinggi, karena itulah konsep kemoterapi dosis intensif dapat diaplikasikan seperti pada PTG risiko tinggi, dosis kemoterapi sering dibatasi oleh toksisitas hematologis, sehingga kontrol dosis dan penjadualan dosis harus ditangani dengan dukungan faktor pertumbuhan yang cocok. 18,19,26

Harterbach dkk meneliti GSCF 5 ug/kg/hari yang diberikan pada setiap siklus dan dilanjutkan sampai netropenia absolut> 10.000/ mm3. Ia memberikan terapi pada 3 pasien dengan korio ca dan 1 dengan PSTT, kesimpulan yang didapatnya adalah dukungan faktor perumbuhan sangat membantu dalam mencapai intensitas dosis yang tinggi. Terjadinya metastasis ke otak adalah tanda prognostik yang jelek, tetapi terapi dengan pembedahan dan kemoterapi intratekal walaupun belum terbukti patut dicoba.

Penangan klinis PSTT harus termasuk penilaian tempat penyakit metastatik dan pengawasan berlanjut untuk hCG. Jika pasien diterapi dengan terapi konservatif ( tanpa histerektomi ), pencitraan uterus harus dilakukan melalui USG transvaginal / MRI. Sebaliknya jika penyakit metastatik ditemukan, diagnosis dini dikombinasi dengan kemoterapi intensif multimodal ditambah dukungan faktor pertumbuhan dapat memberikan respon komplit yang lama. 18,19 PSTT memerlukan terapi yang agresif walau hanya sedikit data yang mendukung. Ekstrapolasi data untuk keputusan klinis dari PTG berisiko tinggi untuk metastatik harus dilakukan dan digunakan sebagai panduan terapi intervensi. Reseksi penyakit pelvis dapat membantu dalam mencapai remisi jangka panjang yang efektif, penggunaan kemoterapi multi agen di kombinasi dengan dukungan faktor pertumbuhan adalah penting dalam mencapai remisi jangka panjang yang efektif pada penyakit metastatik luas. 18,19,20,21

DAFTAR PUSTAKA

1. Bratakoesoema DS. Perkembangan diagnosis klasifikasi dan pengelolaan penyakit trofoblas gestasional masa kini. Bandung: Kumpulan Makalah Ilmiah PIT POGI XI Semarang 1999: 339-358

1. Matsui H, Suzuka K, Itsuka Y, Seki K, Sekiya S. Combination chemotherapy with methotrexate, etoposide, and actinomycin-D for high risk gestational trophoblastic tumors. Gynecol Oncol 2000, 78; 28-31

1. Aziz MF. Penyakit trofoblas gestasional. Pokja Gab; 1-9

1. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Mola hidatidosa. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kandungan . Edisi ke 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 262-268

1. Kurman RJ, Mazur MT. Gestational trophoblastic disease. Diagnosis of endometrial biopsies and curettings. New York: Springer, 1995; 63-88

1. Kurman RJ. Blausteins pathology of female genital tract. 4 th eds. New York: Springer-Verlag, 1994; 1049-1093

1. Paradinas FJ. Pathology In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 44 67

1. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophpblastic disease. In: Berek GS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12 th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 1261-1282

1. FIGO. Special report on gynecologic cancer 2000. Int J gynecol Oncol. 2000: 70; 249-253

1. Novak ER, Jones GS. Novaks texbook of gynecology. 6 th ed. Baltimore: The Williams & Wilkins Company, 1961: 605-637

1. Hidayat T. Proses invasi dan metastasis serta hubungannya dengan terapi kanker. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr. Cipto mangunkusumo. Pertemuan Ilmiah bagian Patologi Anatomi FKUI/RSCM, 1995; 1-10

1. Disaia PJ, Creasman WT. Clinical gynecology oncology. 3 rd ed. Toronto: Mosby company, 1989; 214-239

1. Delgado G. Penyakit trofoblastik. Dalam : Schein PS. Seri skema diagnosis dan penatalaksanaan onkologi. Saputra L. Jakrta: Binarupa aksara, 1997; 126-127

1. Kim SJ. Epidemiology In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 28-42

1. Mose JC. Assesment of choriocarcinoma and gestational trophoblastic disease by color dopler ultrasound. Dalam: Kumpulan makalah seminar ultrasonografi onkologi. Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi FKUP/RSHS Bandung; Jakarta 1999; 1-5

1. Rizal E. Magnetic resonance imaging (MRI) pada onkologi ginekologi; 1-4

1. Randall TC, Coukos G, Wheeler JE, Rubin SC. Prolonged remision of recurrent, metastatic placental site trophoblastic tumor after chemotherapy.. Gynecol Oncol 2000, 76; 115-117

1. Newlands E, presentation and management of persistent gestational trophoblastic disease and gestational trophoblastic tumors in the UK. In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 143-155

1. Lurain JR, Treatment of metastatic gestational trophoblastic tumors. In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 199-209

20. Sevin BU, Kochli OR. Gestational trophoblastic disease. In: Sevin, Knapstein PG, Kochli OR. Multimodality therapy in gynecologyc oncology. New York: Thieme, 1995; 65-77 21. Berek JS. Neoplasia trofoblas gestasi. Dalam: Hacker NF, Moore JG. Esensial obstetri dan ginekologi. Edisi 2 Jakarta: Hipokrates, 1995; 679-687 22. Rosai J. Surgical pathology. 8 th ed. St Louis: Mosby; 1540-1549

23. Supriyono. Penggunaan kemoterapi secara rasional. Dalam:Penggunaan kemoterapi pada kanker ginekologik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001; 1-35

24. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophblastic disease. In: Berek GS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12 th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 1261-1282

25. Matsui H, Iitsuka Y, Seki K, Sekiya S. Etoposide ( VP 16) as first line, single agent chemotherapeutic drug in low risk gestational trophoblastic disease. Int J Gynecol Cancer 1997; 7; 400-404

26. Martaadisoebrata D. Problematik penyakit trofoblas ditinjau dari segi epidemiologi dan pengelolaannya. Bandung: Universitas Padjadjaran, 1980: 1-103