modul das pendahuluan2011 - … · diberakan kemudian ditanami secara terus-menerus menjadi sangat...

23
Modul -1 PENGERTIAN PENGELOLAAN DAS OLEH DIDIK SUPRAYOGO, WIDIANTO DAN KURNIATUN HAIRIAH 2011 JL VETERAN, MALANG 65145, INDONESIA TELP(0341)-551665, 565845, FAX 0341 5600011 E-MAIL: [email protected] , WEBSITE: WWW.FP.UB.AC.ID

Upload: lethuan

Post on 16-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Modul -1

PENGERTIAN

PENGELOLAAN DAS

OLEH

DIDIK SUPRAYOGO, WIDIANTO DAN

KURNIATUN HAIRIAH

2011

J L V E T E R A N , M A L A N G 6 5 1 4 5 , I N D O N E S I A

T E L P ( 0 3 4 1 ) - 5 5 1 6 6 5 , 5 6 5 8 4 5 , F A X 0 3 4 1 5 6 0 0 0 1 1

E - M A I L : F A P E R T A @ U B . A C . I D ,

W E B S I T E : W W W . F P . U B . A C . I D

2

DAFTAR ISI

1. PE�DAHULUA� ................................................................................................................................... 3

1.1. APAKAH ADA MASALAH (GANGGUAN) DENGAN DAS KITA ? ............................................................. 3 1.2. MENGAPA PERLU PEDULI DENGAN SUMBERDAYA ALAM ? ................................................................. 4 1.3. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FUNGSI DAS ....................................................................... 5 1.4. APA YANG BISA KITA LAKUKAN ? ...................................................................................................... 6

2. SISTEM PE�GGU�AA� LAHA� DALAM DAS ............................................................................. 8

2.1. PENGGUNAAN LAHAN DAN PENUTUPAN LAHAN ............................................................................... 8 2.2. SISTEM TEBAS-BAKAR : DINAMIKA TIPE PENUTUPAN LAHAN DALAM MEMBENTUK SEBUAH SISTEM

PENGGUNAAN LAHAN TUNGGAL .............................................................................................................. 9

3. PE�GERTIA� DAS ............................................................................................................................ 10

3.1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN DAS? ............................................................................................. 10 3.2. BENTUK DAN KARAKTERISTIK DAS ................................................................................................ 11 3.3. DAS SEBAGAI SEBUAH EKOSISTEM .................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 17

3

1. PE�DAHULUA�

1.1. Apakah ada masalah (gangguan) dengan DAS kita ?

Masalah DAS pada umumnya sangat serius di negara-negara berkembang, karena laju pertambahan penduduk memberikan tekanan yang sangat besar terhadap sumber daya lahan. Sebagian terbesar penduduk di daerah

ini tinggal dan bekerja di kawasan pedesaan dan sangat tergantung dari sumberdaya lahan. Karena jumlah penduduk bertambah banyak maka

lahan yang dulu digunakan untuk usaha pertanian secara ekstensif,

sekarang berubah menjadi pertanian yang intensif. Tanah yang dulu sering diberakan kemudian ditanami secara terus-menerus menjadi sangat peka

terhadap erosi. Pengusahaan pertanian intensif juga sering diikuti dengan

penggunaan pupuk dan pestisida, yang tidak jarang menggunakan dosis

tinggi. Praktek ini bisa mecemari sistem perairan baik di daerah hulu maupun daerah hilir, karena mungkin ada sebagian yang terangkut aliran

air melalui limpasan permukaan dan aliran bawah tanah. Demikian pula

penggunaan lahan penggembalaan secara salah dapat mengakibatkan kerusakan DAS. Penebangan hutan khususnya didaerah hulu dengan alasan

apapun (misalnya pengembangan pemukiman, pertanian, peternakan,

pariwisata, industri, dsb atau untuk pengusahaan hutan) dapat menurunkan fungsi hidrologi hutan sehingga mengakibatkan erosi dan kerusakan lahan

di daerah hulu maupun hilir.

Perubahan yang terjadi di dunia pada akhir milenium kedua berlangsung

sangat cepat, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggal didalamnya. Jika pada tahun 1950-an jumlah manusia di bumi ‘baru’

sekitar 2 milliar, maka pada tahun 2000-an ini telah mencapai 6,1 milliar

orang. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada periode yang sama juga mengalami kenaikan hampir sama, yaitu dari 83 juta (1950) menjadi

224 juta (2000). Penduduk yang sangat banyak ini tentu saja memerlukan pangan, tempat tinggal dan tempat bergerak. Kegiatan manusia yang sangat dinamis untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga

membawanya ke dalam suatu kondisi di mana seolah-olah terjadi “kekurangan” lahan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan

penggunaan lahan (alih-guna lahan) secara besar-besaran.

Kegiatan manusia yang sangat berlebihan itu seringkali dilakukan sampai melampaui batas kemampuan alam, sehingga mengakibatkan timbulnya

berbagai masalah lingkungan, diantaranya adalah kerusakan fungsi hutan dan pengurasan sumberdaya alam (termasuk tanah dan air). Badan

Planologi Kehutanan (2000) melaporkan bahwa laju deforestasi nasional di Indonesia dari tahun 1985 s/d 1997 rata-rata mencapai 1,87 juta ha tahun-

1. Akibat tingginya laju deforestasi ini, pada tahun 1999 telah terjadi

kerusakan fungsi hutan pada areal seluas 56,98 juta ha, bahkan 23 juta ha

4

diantaranya dimasukkan dalam kategori lahan kritis (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Dampak lingkungan yang mengikuti kerusakan lahan ini

antara lain terjadinya banjir, erosi, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan berikut polusi udara oleh asap yang ditimbulkannya. Bencana alam (banjir, longsor dan kekeringan) yang sangat sering terjadi pada awal tahun

2000-an di berbagai daerah di Indonesia sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Analisis mendalam terhadap timbulnya bencana alam tersebut

menunjukkan bahwa sebagian besar dipicu oleh tindakan manusia. Oleh

karena itu diperlukan kearifan untuk mengelola sumberdaya alam kita agar dapat mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan, serta

yang lebih penting lagi adalah untuk menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang dalam menikmati kehidupan di bumi ini.

1.2. Mengapa perlu peduli dengan sumberdaya alam ?

Pengelolaan sumberdaya alam khususnya air dan tanah secara profesional diberbagai tempat terbukti lebih efektif jika didasarkan pada pengelolaan

suatu kawasan alami yang dikenal sebagai daerah aliran sungai. Pengertian

daerah aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS dibahas dalam bab 2.1. Pemilihan kawasan DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya (air)

didasarkan pada alasan yang masuk akal, berkaitan dengan faktor-faktor

lingkungan, sosial dan keuangan [EPA, 1996 (EPA800-F-96-001, February

1996)].

Pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan DAS difokuskan pada

praktek-praktek penggunaan sumber daya tanah, air dan vegetasi (hutan)

yang juga terkait dengan aktivitas manusia yang tinggal di dalamnya. Praktek-praktek penggunaan lahan yang kurang tepat dapat menyebabkan

terjadinya erosi yang sangat besar, sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah sehingga mengakibatkan degradasi lahan di wilayah DAS bersangkutan (Eckhlom,1978). Erosi di suatu tempat akan mengakibatkan

terjadinya pengendapan atau sedimentasi di tempat lain. Sedimen yang dihasilkan dengan cepat mengisi sistem aliran sungai dan danau atau

waduk, sehingga dapat mengurangi umur efektif waduk sehingga fungsinya

seperti irigasi, pengendali banjir, produksi tenaga listrik, tidak dapat terpenuhi. Sebagai contoh Waduk Karangkates (di Sungai Brantas, Jawa

Timur) yang selesai dibangun tahun 1972 direncanakan mempunyai umur

efektif sampai 100 tahun jika laju sedimentasi kedalam waduk kurang dari

51.000 m3 tahun-1. Braben (1980) mengukur sedmentasi yang terjadi di waduk tersebut antara tahun 1973 sampai 1977, mendapatkan bahwa laju sedimentasi rata-rata mencapai 6,2 juta m3 tahun-1. Jika hal ini berlangsung

terus, maka Waduk Karangkates sudah tidak bisa berfungsi optimal sesuai rancangan pembuatannya dalam waktu 30 tahun kemudian. Dampak dari

erosi tanah juga berakibat pada kehidupan masyarakat penghuni DAS

melalui penurunan produktivitas lahan, pendapatan dan penyediaan air bersih. Disamping itu, masyarakat mungkin harus mengeluarkan biaya

atau enerji yang lebih besar untuk memperoleh sumberdaya dengan

kualitas dan kuantitas yang sama.

Sejauh ini dampak langsung yang muncul akibat peningkatan erosi dan kerusakan lahan di daerah hulu adalah berbagai berbagai masalah fisik

didaerah hilir. Namun perlu dicermati lebih jauh bahwa masalah DAS

ternyata merupakan campuran dari masalah-masalah biofisik, ekonomi, sosial-budaya, politik dan kelembagaan (institusi). Beberapa konsekuensi

5

dari masalah ini adalah penurunan produktivitas pertanian, hutan, peternakan dan perikanan; penurunan pengembalian investasi untuk

produksi energi listrik dan proyek-proyek irigasi ; serta timbulnya gangguan terhadap kesehatan masyarakat.

Penggunaan lahan di kawasan DAS pada dasarnya memadukan penggunaan

sumberdaya alam dengan kepentingan manusia. Oleh karena itu sangat diperlukan perlindungan DAS dari ancaman kerusakan atau degradasi.

Namun demikian, ternyata pengelolaan DAS banyak yang kurang berhasil.

Salah satu penyebab kegagalan itu dikarenakan pengelolaan DAS lebih banyak ditekankan pada aspek biofisik saja, seperti aspek kelerengan, sifat-

sifat fisik tanah dan penutupan vegetasi, sementara aspek ekonomi dan sosial-budaya belum mendapat bagian yang memadai.

Diberbagai kawasan DAS pada saat ini sudah tersedia data biofisik yang bisa dianggap memadai untuk perencanaan pengelolaan DAS. Persoalan

yang lebih sering dihadapi adalah bagaimana mengolah,

menginterpretasikan dan menggunakan informasi biofisik tersebut untuk perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS sehingga penggunaan

sumberdaya alam dapat termanfaatkan secara optimal. Suatu impian yang

sangat diharapkan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah bila

berhasil memasukkan pertimbangan-pertimbangan biofisik, ekonomis, sosial-budaya, politik dan institusial dalam mengimplementasikan kegiatan

pengelolaan DAS. Salah satu contoh, walaupun aspek ekonomi-sosial-

budaya diyakini sangat penting, tetapi isu-isu tersebut sering dihindari karena kesulitan untuk memperhitungkannya.

1.3. Perubahan penggunaan lahan dan fungsi DAS

Perhatian untuk memahami hubungan penggunaan lahan dan sumberdaya air di seluruh dunia dewasa ini terus meningkat. Hal tersebut terjadi karena hampir semua negara berkembang (dan negara maju) menghadapi

permasalahan yang sama yaitu degradasi lahan dan penurunan sumber daya air, sementara kebutuhan akan sumberdaya alam tersebut selalu

meningkat. Pengelolaan lahan yang kurang benar dan alih-guna hutan

menjadi penyebab utama terjadinya degradasi DAS. Di daerah tropis, proses deforestasi ditambah dengan semakin pendeknya periode bera

dalam siklus perladangan berpindah dituduh menjadi salah-satu penyebab

utama kehancuran fungsi DAS. Apa benar? Beberapa peneliti diberbagai

tempat mepertanyakan tentang pandangan yang terlalu sederhana dalam melihat hubungan antara fungsi hutan dan pengaruhnya dalam DAS.

Paradigma lama menganjurkan reforestasi (penghutanan kembali) sebagai

pemecahan masalah turunnya fungsi DAS akibat deforestasi. Paradigma ini telah menyerap penggunaan dana yang sangat besar untuk program

“penghijauan atau penanaman pohon”. Review yang dilakukan oleh

Program Hydrologi Internasional terhadap program tersebut, menyimpulkan bahwa program penghijauan belum mampu memulihkan “fungsi hutan

dalam mempertahankan kesehatan DAS”. Pemecahan degradasi

sumberdaya tanah dan air tidak semudah membalikkan telapak tangan!

Beberapa tahapan analisis yang mendalam dan menyeluruh masih perlu dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara lain: Apa

masalahnya, apa penyebabnya? Masalah bagi siapa dan dimana masalah

tersebut timbul? Bagaimana pengaruh dan keterkaitannya dengan faktor

6

lain? adakah solusinya? Bila ada, apa konsekuensinya? Dengan demikian, pemahaman yang mendalam dan benar akan siklus hidrologi dan peran

hutan dalam siklus hidrologi sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan yang tepat pada berbagai tingkatan.

1.4. Apa yang bisa kita lakukan ?

Suatu pertanyaan yang perlu kita jawab adalah bagaimana kita mengelola

sumberdaya alam melalui pembangunan yang berwawasan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah

upaya sadar dan berencana dalam rangka menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan

untuk meningkatkan mutu hidup.

Pengertaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development),

merupakan sebuah konsep yang relatif baru, sehingga walaupun telah ada sekitar lebih dari 60 definisi mengenai konsep pebangunan berkelanjutan

(Van Kooten dan Bulte 2000 dalam Suyanto, 2002), tetapi belum ada suatu

kesepakatan yang sama mengenai definisi baku konsep tersebut. Perdebatan diantara para ahli masih terus berlanjut. Suyanto (2002)

memberikan contoh definisi pembangunan berkelanjutan yang paling sering

dikutip antara lain:

1. Brundtland (1987): sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the needs of future

generations to meet their own needs.

2. Pearce, Makandia and Barbier (1989): sustainable development involves devising a social and economic sistem, which ensures that these goals

are sustainable, i.e. that real income rise, that educational standard increase, that the heath of the nation improves, that general quality of life is edvanced.

3. Harwood (1990): sustainable agriculture is a sistem that can evolve indefinitely toward greather human utility, greater efficiency of resource

use and a balance with the environment which is favourable to human

and most other species.

4. Crossen (1992): sustainable agriculture sytem is one that can

indefinitely meet the requirement for food and fibre at socially

acceptable, economical and environmental cost.

Namun, pada dasarnya sebagian besar definisi pembangunan berkelanjutan mengandung salah satu atau lebih elemen-elemen berikut ini (Van Kooten and Bulte, 2000):

1. Peduli terhadap kualitas lingkungan hidup 2. Peduli terhadap kesejahteraan generasi mendatang

3. Peduli terhadap masalah pertumbuhan penduduk

4. Peduli untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan keterbatasan sumberdaya.

Makna konsep pembangunan yang berkelanjutan, mencakup empat hal

yang harus diperhatikan:

7

1. Sumberdaya penunjang. Pembangunan dapat berlanjut harus ditopang dengan sumberdaya alam (SDA), kualitas lingkungan dan sumberdaya

manusia (SDM) yang berkembang secara berkelanjutan.

2. Nilai ambang batas SDA. Sumberdaya alam memiliki nilai ambang batas, pada penggunaan yang tidak terkendali akan menurunkan kualitas dan

kuantitasnya. Penurunan ini akan mempengaruhi kemampuan topangan pada pembangunan berkelanjutan.

3. Kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan secara langsung berkorelasi

dengan kualitas hidup.

4. Kualitas hidup generasi mendatang. Adanya usaha peningkatan

kesejahteraan generasi sekarang tanpa mengurangi harapan kualitas hidup generasi mendatang.

Pelaksanaan pola pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lingkungan, walaupun di tingkat masyarakat masih ada anggapan dari

beberapa pihak bahwa pemeliharaan lingkungan bertentangan dengan

pembangunan. Bahkan ada anggapan yang ekstrim bahwa pembangunan berkelanjutan adalah identik dengan mempertahankan kemiskinan !

Tindakan-tindakan yang terlibat dalam pembangunan berkelanjutan antara

lain:

1. Menekan kerugian sebesar mungkin karena disadari adanya trade off (tarik ulur). Pemanfaatan SDA dalam pembangunan berkelanjutan selalu

menjaga keutuhan ekosistemnya. Bila ada dampak negatif dari

pembangunan terhadap lingkungan baik fisik, ekonomi maupun sosial harus dipertimbangkan dengan matang.

2. Selalu berorientasi pada dampak pembangunan jangka panjang karena dampak lingkungan seringkali timbul pada kurun waktu yang lama, sehingga menjamin kepentingan generasi mendatang,

3. Selalu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk partisipasi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan, bahkan

pengawasannya.

Pertimbangan lingkungan yang dimasukkan pada kebijakan pembangunan

membuat pembangunan berkelanjutan tidak saja memiliki ciri kelayakan

fisik atau teknik dan ekonomi, melainkan juga ciri kelayakan lingkungan. Upaya-upaya strategis yang bisa dilakukan dalam pembangunan yang

berkelanjutan antara lain :

1. Mengutamakan penggunaan SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources),

2. Mengusahakan penghematan terhadap SDA langka, dan memberikan prioritas terhadap upaya penyelamatan serta perlindungannya

3. Melakukan rehabilitasi terhadap SDA yang rusak, misalnya tanah kritis

dan gundul, fungsi hutan yang rusak dan sebagainya,

4. Pengembangan rencana tata-guna lahan dan tata-ruang dan

pengendaliannya

5. Mempertahankan kemampuan SDA sebagai penopang pembangunan

8

2. SISTEM PE�GGU�AA� LAHA�

DALAM DAS

2.1. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

Penutup lahan (land cover) bisa diartikan sebagai apa saja yang berada di

permukaan atau menutupi permukaan tanah. Penutup lahan bisa dikenali

dengan teknik penginderaan jauh. Penutup lahan memiliki atribut yang spesifik, yaitu vegetasi, cadangan karbon dan unsur hara, serta habitat

untuk tumbuhan, hewan dan manusia. Jadi, padang rumput, pepohonan,

hutan, padang pasir, lahan pertanian, bangunan, dsb merupakan elemen-

elemen penutup lahan.

Penggunaan lahan (landuse) adalah tindakan manusia terhadap lahan

dalam upaya untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Jadi, pengertian

penggunaan lahan berbeda dari penutupan lahan. Namun, pada suatu ketika kedua kata itu bisa memiliki pengertian yang sama, misalnya

“padang rumput penggembalaan”. Sistem penggunaan lahan bisa jadi terdiri dari beberapa tipe penutupan lahan. Contohnya, sistem penggunaan lahan “ladang berpindah” (shifting cultivation), jika dilihat pada periode

yang berbeda-beda penutupan lahan bisa berupa bera, tanaman semusim,

semak, hutan sekunder atau bahkan berupa hutan. Tidak jarang bahwa

suatu penutupan lahan yang spesifik merupakan bagian dari beberapa tipe penggunaan lahan, misalnya “tanaman semusim” dapat menjadi bagian dari

pola tanam permanen

Penutup lahan secara formal diartikan sebagai kondisi biofisik permukaan bumi yaitu vegetasi dan lapisan yang ada di bawahnya. Sementara itu

istilah penggunaan lahan memadukan dua hal yaitu biofisik permukaan dan tujuan pemanfaatan lahan oleh manusia.

Istilah hutan dapat dipakai untuk menunjukkan penutupan lahan maupun

penggunaan lahan. Hutan atau silva (dalam bahasa Latin) pada awalnya mempunyai makna penutup lahan berupa vegetasi berkayu. Sementara itu

ada istilah ‘hutan negara’, di mana hutan di sini tidak selalu berarti lahan

yang ditutupi oleh vegetasi berkayu, melainkan lebih diartikan sebagai fungsi lahan tersebut (sebagai hutan) dan berhubungan dengan siapa yang

menguasai lahan tersebut (yaitu pemerintah). Seringkali di kawasan desa

atau pemukiman dijumpai lebih banyak pepohonan dibandingkan dengan di

kawasan hutan negara.

Dalam bahasa sehari-hari, istilah hutan digunakan untuk menunjukkan

penutup lahan yang berupa pepohonan meliputi tegakan vegetasi alami,

monokultur atau tanaman perkebunan yang seragam. Oleh karena istilah hutan (forest) sendiri sudah rancu, maka istilah-istilah seperti deforestasi

dan reforestasi juga sering membingungkan. Untuk keperluan yang

berhubungan dengan lingkungan dan dampak alihguna lahan dan konversi

hutan, maka diperlukan definisi yang jelas dari istilah-istilah itu.

9

2.2. Sistem Tebas-Bakar : Dinamika Tipe Penutupan Lahan dalam membentuk sebuah Sistem Penggunaan Lahan Tunggal

Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan maupun hewan, namun hanya sedikit yang bisa dimakan oleh manusia. Di masa lampau di mana

manusia masih sebagai pemburu dan pengumpul, populasi manusia

disekitar hutan sangat jarang. Kelompok pemburu dan pengumpul ini bertindak sebagai penyedia hasil hutan untuk dunia luar dengan

memperoleh imbalan sesuai kebutuhan (terutama untuk kelengkapan diet).

a. Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan dan hewan, namun

hanya sebagian kecil saja yang bisa dimakan oleh manusia. Manusia

harus mencari hewan dan mengumpulkan tumbuhan yang bisa dimakan dari hutan dengan cara berburu dan mencari.

b. Manusia mulai mengusahakan pertanian menetap dengan cara menanam dan mengembang-biakkan species yang dikehendaki.

Sistem pertanian menetap berawal dari upaya kelompok pemburu dan pengumpul, yang mengusahakan dan mengembang-biakkan species tanaman yang dikehendaki. Kesempatan untuk mencoba, lebih

memungkinkan terjadi di luar kawasan hutan. Secara naluriah untuk mengembangkan sistem pertanian menetap harus membersihkan

(menebang) hutan, dengan maksud untuk memperoleh ruangan yang lebih

luas bagi pertumbuhan dan perkembang-biakan tanaman yang dapat dimakan. Tebas-bakar merupakan salah satu cara untuk membersihkan

hutan dalam upaya membangun pertanian.

Beberapa jenis tumbuhan hutan mampu tumbuh dan berkembang lagi dari

sisa-sisa biji atau bagian tanaman yang lain setelah mengalami proses tebas-bakar pada saat pembersihan hutan. Tumbuhan baru ini akan

berkompetisi dengan tanaman yang sengaja dibudi-dayakan.

Latihan :

1. Ambillah satu lembar foto udara atau citra satelit dari kawasan

yang anda kenal.

a. Buatlah daftar tipe penutup lahan yang dijumpai untuk

setiap satuan (pixel) dari foto tersebut

b. Buatlah juga daftar tipe penggunaan lahan pada kawasan

yang sama

2. Diskusikan lebih lanjut tentang penggunaan istilah “hutan” dalam

bahasa pergaulan sehari-hari (lisan maupun tulis). Apakah istilah

hutan mempunyai arti sebagai penutup lahan atau penggunaan lahan ?

10

3. PE�GERTIA� DAS

3.1. Apa yang dimaksud dengan DAS?

Dalam memberikan pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga saat ini

masih belum disepakati dalam satu definisi baku namun pada umumnya

mengacu pada batasan sistem, yang wujudnya digambarkan secara skematis pada Gambar 1. Berdasarkan wujud di lapangan pendekatan

sistem, terutama sistem aliran air, Linsley (1975) memberikan batasan DAS

yang dalam bahasa asing (Inggris) adalah watershed dengan sinonim river

basin, drainage basin, chatment area, sebagai:

“the entire area drained by a stream or sistem of connecting streams

such that all streamflow originating in the area discharged through a

single out-let”.

Mengacu pada difinisi tersebut, diskusi Pengelolaan DAS di Bogor tahun

1978 (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1978) memberikan batasan DAS sebagai:

“satu wilayah daratan yang menampung dan menyimpan air hujan

untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui satu sungai utama”.

Bila didasarkan pada fungsi sungai yang menerima air dan mengalirkannya,

maka Seyhan (1977) dan Manan (1978) (Dalam Hadi Purnomo, 1990) mendefinisikan DAS sebagai berikut:

DAS sebagai wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisahan

topografis, berfungsi untuk menampung, menyimpan dan selanjutnya mengalirkan seluruh air hujan yang jatuh diatasnya menuju ke

sistem sungai terdekat, dan pada akhirnya bermuara ke waduk, danau dan ke laut.

Mengingat DAS sebagai satuan tata air yang merupakan gabungan dari

sifat-sifat individual unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran sungai, evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air maka

Hadipurnomo (1990) merangkum definisi DAS sebagai berikut:

1. Satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh diatasnya, untuk kemudian mengalirkannya melalui

saluran utama ke laut.

2. Satu satuan ekosistem dengan unsur-unsur utamanya berupa SDA

flora, fauna, tanah dan air, serta manusia dengan segala aktivitasnya yang berinteraksi satu sama lain.

11

Gambar 1. Sketsa Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nomor : 52/Kpts-II/2001, DAS didefinisikan sebagai:

“Suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya

sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam

fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui

sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan”.

Memperhatikan DAS tidak hanya sebagai satuan tata air dan satuan ekosistem, tepai juga tempat berinteraksinya manusia maka Easter dan

Hufschmidt (1985) mendefinisi-kan sebagai:

“Suatu kawasan yang dibatasi oleh suatu topografi yang mana mendrainasikan air melalui sistem aliran sungai. DAS sebagai

unit hidrologis dan sebagai unit sosioekonomik dan sosiopolitik

untuk merencanakan dan mengiplementasikan aktivias

pengelolaan sumberdaya alam”.

3.2. Bentuk dan Karakteristik DAS

Dalam DAS, jalur-jalur sungai dengan tanpa cabang pada ujung

pengalirannya disebut orde pertama sungai. Penggabungan dua orde

pertama sungai membentuk order kedua, dua orde kedua sungai

12

membentuk orde ketiga dan seterusnya. Aliran sungai di kawasan hutan dalam DAS secara umum pada orde yang lebih rendah (Gambar 2).

Bentuk DAS akan mempengaruhi debit pengaliran, pola banjir dan debit banjir. Beberapa bentuk DAS yang terdapat di Indonesia secara skematis dapat dilihat dalam Gambar 3 :

1. berbentuk bulu burung, disebut demikian karena jalur anak sungai di kiri kanan sungai utama langsung mengalir ke sungai utama. DAS seperti ini

mempunyai debit banjir yang relatif kecil, namun banjir yang terjadi

berlangsung relatif lama. Hal ini karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda.

2. berbentuk menyebar (radial). Bentuk ini mempunyai karakteristik dimana anak-anak sungai terkonsentrasi ke suatu titik secara radial.

DAS dengan karakteristik demikian, berpotensi menyebabkan banjir besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai,

3. berbentuk sejajar (pararel). Bentuk ini mempunyai karakteristik dimana

dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir. DAS dengan karakteristik demikian, jika terjadi banjir maka akan terjadi di bagian

hilir titik-titik pertemuan sungai.

Disamping bentuk dan karakteristik DAS tersebut diatas, debit pengaliran,

pola banjir dan debit banjir juga ditentukan oleh faktor iklim, topografi, vegetasi dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri.

Gambar 2. Keempat orde aliran sungai

1

1

1

1

1

1

1

11

1

1

2

2

2

22

3

33

44

1

1

1

1

1

1

1

11

1

1

2

2

2

22

3

33

44

13

Gambar 3. Bentuk-bentuk DAS

3.3. DAS sebagai sebuah ekosistem

DAS sebagai satuan ekosistem merupakan suatu kawasan alami yang

kompleks. Ekosistem merupakan rangkaian kata sistem + ekologi, yaitu

suatu tatanan dan keteraturan dari beberapa komponen penyusun yang saling berhubungan satu sama lain. Kata ekologi berasal dari kata Yunani

yaitu OIKOS + LOGOS (OIKOS = rumah tangga dan LOGOS = ilmu atau

pengetahuan). Disini dipelajari hubungan antar anggota rumah tangga,

yaitu antara hewan (termasuk manusia sebagai salah satu species) dengan tumbuhan, antar jenis-jenis binatang itu sendiri, antar jenis-jenis

tumbuhan, antar unsur biotis (makhluk hidup) dan unsur abiotis (benda

mati) dan sebagainya.

DAS sebagai suatu ekosistem ditandai oleh adanya kriteria sebagai berikut:

1. Terdapat unsur biotis (makhluk hidup) misalnya hewan dan tumbuh-

tumbuhan, serta unsur abiotis (benda mati) misalnya air dan tanah.

2. Terdapat interaksi atau hubungan timbal balik antara berbagai unsur dalam DAS

3. Terjadi aliran materi, energi dan informasi didalam ekosistem; dari dalam ekosistem keluar ekosistem ; dan dari luar ekosistem kedalam

ekosistem

Latihan:

Apa yang saudara pahami tentang karakteristik DAS?

Lakukan diskusi tentang pengaruh faktor iklim, topografi, vegetasi

dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri terhadap debit pengaliran,

pola banjir dan debit banjir. Kembangkan diskusi untuk menjawab

alasan-alasan peserta diskusi dari sudut pandang pemahaman peserta terhadap faktor-faktor tersebut!

14

4. Dalam keadaan alamiah terjadi keseimbangan dinamis pada suatu ekosistem

DAS merupakan suatu ekosistem yang luas, yang terdiri dari beberapa (sub) ekosistem utama (Gambar 4):

1. Ekosistem hutan, yang bersifat sebagai ekosistem alamiah,

2. Ekosistem lahan budi daya pertanian dan pedesaan yang bersifat sebagai ekosistem peralihan

3. Ekosistem perkotaan, yang bersifat ekosistem buatan atau ekosistem

binaan

Dalam suatu ekosistem berlaku dalil-dalil sebagai berikut:

Dalil pertama

Unsur biotis penghuni (mayoritas) suatu ekosistem menguasai suatu bentuk informasi dalam tingkat-tingkat tertentu:

1. Penghuni eksositem hutan yaitu binatang, menguasai informasi

berdasarkan naluri. Binatang merasa bila akan terjadi bencana letusan gunung berapi berdasarkan nalurinya, binatang punya naluri kemana

mencari makan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebagainya.

Gambar 4. Ekosistem Utama dalam DAS

2. Penghuni ekosistem lahan budidaya pertanian/pedesaan yaitu

masyarakat desa menguasai infromasi tradisional, misalnya: masyarakat desa tahu tentang informasi siklus alam (iklim) yang dituangkan dalam pranata mongso bagi orang Jawa. Berdasarkan pranata mongso mereka

15

melakukan pengelolaan usaha taninya. Informasi tradisional ini biasanya bersifat empiris atau berdasarkan pengalaman terhadap

kejadian yang telah berlangsung lama dan berulang-ulang. Pengalaman ini tidak atau belum dianalisa secara ilmiah.

3. Penghuni ekosistem perkotaan yaitu masyarakat modern, menguasai

ekosistem yang canggih. Mereka telah menguasai infromasi berdasarkan analisa ilmu pengetahuan dan hasil rekaman peralatan

canggih, misalnya informasi satelit, radar, komputer, internet dan

sebagainya.

Dalil kedua

Ekosistem yang penghuninya menguasai informasi paling canggih adalah

ekosistem yang kuat. Jadi ekosistem kota lebih kuat dari pada ekosistem desa dan hutan. Ekosistem desa lebih kuat dari pada ekosistem hutan,

tetapi lebih lemah dari pada eksositem kota.

Dalil ketiga

Ekosistem yang kuat cenderung mengeksploitasi ekosistem yang lebih

lemah. Jadi ekosistem kota akan cenderung menyedot materi, energi dan

informasi dari ekosistem hutan dan ekosistem desa. Contoh: hasil hutan, hasil pertanian (materi dan energi) banyak dieksploitasi dan diangkut serta

ditimbun ke kota. Infromasi hasil penelitian dibidang pertanian, kehutanan,

sosial pedesaan juga tersimpan di kota yaitu di lembaga-lembaga penelitian, Universitas-universitas dan sebagainya.

Dalil keempat

Dalam kondisi alamiah, suatu ekosistem bisa berada dalam keadaan

keseimbangan dinamis. Keseimbangan dinamis ini bersifat mantap. Bila terjadi campur tangan manusia, maka terjadi eksploitasi ekosistem yang

lemah oleh eksosistem yang lebih kuat. Jika penyedotan materi, energi dan informasi ini berlangsung terus menerus dan sangat intensif tanpa atau

sedikit sekali pengembaliannya ke ekosistem yang lemah, maka akan

terjadi kebocoran ekosistem yang ditandai oleh berbagai peristiwa seperti erosi, banjir, terjadinya lahan kritis, kemiskinan, urbanisasi dan sebaginya.

Kebocoran Ekosistem

Berdasarkan kriteria-kriteria dan dalil-dalil yang berlaku dalam ekosistem

DAS, maka perlu diamati dengan seksama terhadap gejala yang terjadi dalam suatu DAS. Apabila terjadi kebocoran dalam suatu ekosistem, maka

bisa timbul akibat berikut :

1. Dalam ekosistem lemah. Akan terjadi proses degradasi yaitu penurunan daya dukung lingkungan akhirnya terjadi bencana berupa: erosi,

sedimentasi, banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau,

timbulnya lahan kritis dan bencana-bencana alam lainnya.

16

2. Dalam ekosistem kuat. Dalam ekosistem yang kuat akan terjadi penimbunan materi, enerji dan informasi. Hal ini akan menimbulkan

dampak positif maupun negatif. Dampak positif berupa kemakmuran, kemajuan yang pesat dalam laju pembangunan, kemajuan tehnologi, membaiknya sarana dan prasarana kehidupan di perkotaan dan

sebagainya. Namun dampak negatifnya juga ada yaitu akibat menumpuknya materi dan enerji dapat menimbulkan pemborosan, pola

hidup mewah, kecenderungan timbulnya hiburan menjurus kepada

perubahan tata nilai susila, terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial .

3. Upaya penanggulangan kebocoran ekosistem. Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebocoran ekosistem, perlu dilakukan

upaya untuk melakuakn keseimbangan dalam aliran materi, enerji dan informasi dari dan ke ekosistem yang kuat kepada ekosistem yang lebih

lemah dan sebaliknya.

17

DAFTAR PUSTAKA

Badan Planologi kehutanan, 2000. www.dephut.go.id/informasi/intag/ statistik/ IV.1.3.htm

Braben, T.A. 1979. Resevoir Sedimentation East java. Indonesia Report O.D.A 15.

Hydraulics. Res. Sta. Walingfort. England.

Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion:

A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological

Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International

Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.

Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources

Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.

Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press

LCC. 373 pp

Departemen Kehutanan, 2004. Siaran Pers: No: S.491/II/PIK-1/2004 tentang DIP

Gerhan Tahun 2004 Diserahkan Ke Daerah: GERAKAN NASIONAL

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN.RHL).

Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1978. Proceeding Pertemuan Diskusi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cibulan.

Easter, K.W., J.A. Dixon and M.M. Hufschmidt. 1986. Watershed Resources

Management: An Intergrated Framework with Studies from Asia and the

Pacific. Studies in Water Policy and Management, No 10. Westview Press.

Ekholm, E.P. 1978. Losing Ground: Environmental Stress and World Food

Problems. London: Pergamon Press.

Environmental Protection Agency (EPA) U.S, 1996. Watershed Management

(EPA800-F-96-001) Assessment and Watershed Protection Division. U.S.

EPA (4503F) , Ariel Rios Building, 1200 Pennsylvania Ave NW. Washington,

DC 20460

FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch

Indonesia dan Wasington D.C.:Global Forest Watch. 117 pp.

Hadipurnomo, 1990. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). BRLKT-Sub DAS

Brantas. Malang

Hairiah K, Widianto, D Suprayogo, R H Widodo, P Purnomosidhi, S Rahayu dan M

Van Noordwijk, 2004. Ketebalan seresah sebagai indikator daerah aliran

sungai (DAS) sehat. World Agroforestry Centre, ICRAF Bogor, ISBN 979-

3198-17-6, 41 p.

Harsono, S. 1995. Pengarahan Mentri Negara Agraria/ Kepala badan Pertanahan

Nasional dalam Kongres Nasional VI HITI. PUSPITEK, SERPONG, Tangerang.

Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and

nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles

and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus

F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356.

18

Keputusan Menteri Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Linsley, R.K., Kohler, M.A. and Paulhus, J.L.H., 1975. Applied Hydrology. Mc.Graw-

Hill, New Delhi.

Magrath W.B.and Doolette J.B., 1990. Strategic issues in watershed development.

In Magrath W.B.and Doolette J.B (ed.) Watersehed Development in Asia:

Stategies and technologies. Wolrd bank technical paper.US.

Mangundikoro. A. 1985. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. UGM,

Jogyakarta.

Purwanto E dan Ruijter J, 2004. Hubungan antara hutan dan fungsi daerah aliran

sungai. Dalam: Agus F, Van Noordwijk M dan Rahayu S (Eds.). Dampak

hidrologis hutan, agroforestri dan pertanian lahan kering sebagai dasar

pemberian imbalan kepada penghasil jasa lingkungan di Indonesia. Hal 1-

22.

RePPProT, 1990. The Land Resources of Indonesia. A National Overview. Regional

Physical Planning Programme for Transmigration. Final Report date 1990.

Land Resources Departement of the Overseas Development Administration,

London (Government of UK), and Ministry of Transmigration (Government of

Indonesia), Jakarta.

Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion.

Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J.

CABI

Sinukaban,N., 1995. Kebijaksanaan dan Strategi Konservasi Tanah di Indonesia.

Pertemuan MKTI Jawa Timur. Malang.

Sunderlin W.D. dan Resosudarmo I.A.P, 1996. Rates and Couses of Deforestation in

Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities. Bogor.

Indonesia:Center for International Forestry Research.

Suyanto, 2002. Pertanian Sehat: Pandangan dari Aspek Ekonomi. Dalam preceding

Sitompul S.M. dan Utami S.R. (editors) Akar Pertanian Sehat: Refleksi

pengalaman belajar meneliti dan mengajar dipersembahkan untuk

mahasiswa pertanian dan petani. Universitas Brawijaya. Malang. 158 pp.

Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely

Planet Publications Pty Ltd., Australia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Utomo, W.H. 1987. Erosi dan Konservasi Tanah. Universitas Brawijaya. Malang.

Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and

Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in

Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph.

Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and

sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models, experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr

J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing

Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International

Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255.

Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for

integrated natural resource management in forest margins and in

landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?"

Conservation Ecology: 18 pp.

19

Van Noordwijk M, Agus F., Suprayogo D., Hairiah K., Pasya G., Farida. 2004. Peranan agroforesti dalam mempertahankan fungsi daerah aliran sungai

(DAS). Jurnal AGRIVITA. Volume 26 No 1: hal 1-7.

World Forests, Society and Environment (1999)

BAHAN BACAAN LANJUTAN

Buku

Bergsma C et al. 1996. Terminology for soil erosion and conservation.

Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion:

A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological

Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International

Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.

Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources

Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.

Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press

LCC. 373 pp

Gordon, N.D., McMahon T.A., and Finlayson B.L. 1994. Stream Hydrology: An

Introduction for Ecologists. Jhon Wiley and Sons

Jones C., Palmer R.M., Motkaluk S., and Walters M. 2002. Watershed Health

Monitoring: Emerging Technologies. Lewis Publishers. 227 pp.

Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. (eds.), 1998. Soil Erosion at Multiple

Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI

Publishing in association with the International Board for Soil Research and

Management (IBSRAM). 390 pp.

Rose, C. 2004. An Introduction to the Environmental Physics of Soil, Water and

Watersheds. Cambridge. University Press, 439 pp

Rosegrant M.W., Cai.X., and Cline S.A. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing with scarcity. International Food Policy Research Institute.

Washington DC. 322 pp.

Bab Buku

Garrity DP. 1996. Tree-crop-soils interactions on slopes. In Ong, C. K. and Huxley,

P.A. (eds.). Tree-Crop Interactions – a Physiological Approach. CAB

International, Wallingford, UK. pp. 299-318.

Garrity DP, Mercado AR, Jr. and Stark M. 1998. Building the smallholder into

successful natural resource management at the watershed scale. In: de

Vries P, Frits WT, Agus F and Kerr J eds. Soil erosion at multiple scales:

Principles and methods for assessing causes and impacts. CABI and IBSRAM.

p 73-82.

Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles

and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus

F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356.

Lal, R. 1999. Soil quality and food security: The global perspective. Dalam Lal,(

Editor) R Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 3-16

Lal, R. 1997. Degradaation and resilience of soil. Philos. Trans. R. Soc. London Ser.

B 352:997-1010

20

Lal, R. 1999. Applying Soil Quality Concepts for Combating Soil Erosion. Dalam Lal, R (editor) Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 309-316

Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion.

Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J.

CABI

Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and

sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models,

experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr

J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing

Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International

Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255.

Artikel Scientific journal

Sanchez P. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry Sistems 30, 5 – 55.

Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for

integrated natural resource management in forest margins and in

landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?"

Conservation Ecology: 18 pp.

Laporan / Manual

Brooks, K.N, Gregersen, H.M, Lundgren A.L, and Quinn R.M. 1990. Manual on

watershed management project planning, monitroring and evaluation.

ASEAN-US Watersehed Project.

Ffolliot, P.F. 1990. Manual on Watershed Instrumentation and Measurement.

ASEAN-US Watershed Project. Philippines. 193 pp

Proyek kali Konto, 1988. Studi screening DAS Brantas. DHV Consultant dan Dirjen

RRL

Proyek kali Konto, 1990. Pengalaman pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

DHV Consultant dan Dirjen RRL

Schmitz K and Tameling A. 2000. Modelling erosion at different scales, a

preliminary 'virtual' exploration of the Sumber Jaya watershed. Enschede,

ICRAF, Bogor, Indonesia and University of Twente, Enschede, The

Netherlands: 84.

Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely

Planet Publications Pty Ltd., Australia.

Van der Poel P and Subagyono K. 1998. National watershed management and

conservation project, the use of the universal soil loss equation in the RTL

process. Bandung, Indonesia.

Van Kooten G.C., and Bulte E.H. 2000. The Economics of Nature. Malden, MA:

Blackwell Publiher.

Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and

Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in

Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph.

21

Websites

International Hydrological Program: http://www.unesco.org/water

Karssenberg, D.J., 1996. PCRaster manual. Department of Physical Geography, Utrecht

University, The Netherlands (check also at http://www.pcraster.nl)

River Sistems Research Group: http://boto.ocean.washington.edu/

World Commission on Dams: Http://www.dams.org

22

VLIR

logo

23