optimalisasi sumberdaya pertanian pada...

23
OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Atas dasar pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian pada era Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkait dengan itu, perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan. Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Sampai sekarang perubahan nyata dari kondisi seperti tersebut belum tampak (Sumaryanto, 2008). Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan pemerintah dalam subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk difokuskan untuk padi dan untuk mewujudkan tepat sasaran maka distribusinya menggunakan sistem tertutup. Subsidi benih padi bahkan dilakukan dengan pemberian bantuan langsung secara gratis. Sejumlah sasaran memang dicapai. Setidaknya pada tahun 2008 yang lalu (dan mungkin juga tahun 2009 ini) peningkatan produksi padi lebih besar daripada yang dicapai pada tahun tiga tahun terakhir sebelum tahun 2008 tersebut. Meskpun demikian sejumlah kritik terhadap pencapaian sasaran juga perlu diperhatikan mengingat bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk subsidi tersebut sangat besar (tahun 2008 mencapai 15 trilyun Rupiah) 1 . Dibandingkan dengan lahan pesawahan, investasi per unit luasan yang diperlukan untuk mendayagunakan lahan kering jauh lebih rendah. Semantara itu jika dilihat dari luasannya maka dapat disebutkan bahwa potensi yang tersedia jauh lebih besar daripada lahan sawah. Statistik berikut ini memberikan gambaran yang dimaksud. 1 Apakah kebijakan tersebut di atas tepat, tentu tidak mudah menjawabnya. Sejumlah argumen yang pro maupun yang kontra mempunyai landasan yang cukup kuat, namun seringkali sulit dikompromikan karena merambah pula pada dimensi politik.

Upload: truonglien

Post on 22-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA

AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Atas dasar pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan

pengembangan pertanian pada era Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkait

dengan itu, perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan

kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi,

perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem

lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) menjadi sangat

lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan.

Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan

terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi.

Sampai sekarang perubahan nyata dari kondisi seperti tersebut belum

tampak (Sumaryanto, 2008). Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan pemerintah

dalam subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk difokuskan untuk padi dan untuk

mewujudkan tepat sasaran maka distribusinya menggunakan sistem tertutup.

Subsidi benih padi bahkan dilakukan dengan pemberian bantuan langsung secara

gratis. Sejumlah sasaran memang dicapai. Setidaknya pada tahun 2008 yang lalu

(dan mungkin juga tahun 2009 ini) peningkatan produksi padi lebih besar daripada

yang dicapai pada tahun tiga tahun terakhir sebelum tahun 2008 tersebut. Meskpun

demikian sejumlah kritik terhadap pencapaian sasaran juga perlu diperhatikan

mengingat bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk subsidi tersebut sangat

besar (tahun 2008 mencapai 15 trilyun Rupiah)1.

Dibandingkan dengan lahan pesawahan, investasi per unit luasan yang

diperlukan untuk mendayagunakan lahan kering jauh lebih rendah. Semantara itu

jika dilihat dari luasannya maka dapat disebutkan bahwa potensi yang tersedia jauh

lebih besar daripada lahan sawah. Statistik berikut ini memberikan gambaran yang

dimaksud.

1 Apakah kebijakan tersebut di atas tepat, tentu tidak mudah menjawabnya. Sejumlah argumen yang pro maupun yang kontra mempunyai landasan yang cukup kuat, namun seringkali sulit dikompromikan karena merambah pula pada dimensi politik.

Page 2: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

2

Menurut data BPS Tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah

sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5) berupa adalah

lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 persen) lahan sawah. Untuk lahan

kering tersebut rinciannya adalah: lahan kering yang berupa tegal, kebun, ladang,

ataupun huma sekitar 14.9 juta hektar, perkebunan besar (swasta dan BUMN) 19.6

juta hektar, pekarangan/lahan sekitar bangunan sekitar 5.6 juta hektar,

tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

sementara tak diusahakan serta padang rumput )sekitar 2.9 juta hektar.

Urgensi peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering

juga terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan

pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi

pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah

peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak

langsung adalah melalui kaitan ke depan dan ke belakanganya. Kedua, berkontribusi

pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat

dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan

devisa (mengurang impor). Keempat, realisasi dari komitmen untuk mewujudkan

keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di Luar P. Jawa

karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan

di wilayah tersebut. Kelima, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim melalui pengembangan usahatani berbasis prinsip konservasi.

Selama ini makna tentang agroekosistem lahan kering tidak berkonotasi

tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau

kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering yang dalam

hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering

dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian.

Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran

Sungai (upland agriculture).

Dalam penelitian ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah

pada konotasi yang kedua: wilayah beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini

maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup

pula di dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian

agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah

tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman

perkebunan, sayuran, dan peternakan.

Page 3: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

3

1.2. Perumusan Masalah

Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan.

Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan

pendapatan, dan pemerataan pendapatan, dan perluasan kesempatan kerja. Bahkan

sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian

integral dari pembangunan pertanian. Ini berlaku umum, termasuk pada pula

pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.

Berbagai hasil pengamatan lapang maupun dari hasil-hasil penelitian

terdahulu dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya pertanian

pada agroekosistem masih jauh dari optimal. Pada satu sisi, potensi yang tersedia

belum terdayagunakan secara maksimal; sedangkan pada sisi yang lain cukup

banyak ditemukan kasus-kasus pemanfaatan yang eksesif sehingga tidak sesuai

dengan prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan.

Pertanian adalah bagian integral dari sistem perekonomian secara utuh.

Perkembangannya dipengaruhi oleh kinerja sektor-sektor perekonomian lainnya; dan

sebaliknya kinerja pertanian juga mempengaruhi perkembangan sektor-sektor

lainnya. Sifat saling keterkaitan itu di satu sisi merupakan determinan perkembangan

sektoral (termasuk pertanian), dan di sisi lain berimplikasi pada mekanisme

pemanfaatan sumberdaya, terutama tenaga kerja dan modal.

Saling keterkaitan juga terjadi antar level aktivitas ekonomi. Kinerja pertanian

agregat wilayah atau nasional ditentukan oleh kinerja unit-unit usahatani pada level

mikro, sebaliknya apa yang terjadi pada level wilayah/nasional juga mempengaruhi

kinerja usahatani pada level mikro.

Optimalisasi sumberdaya pertanian yang selama ini dikaji cenderung fokus

pada lingkup mikro dalam arti pada unit-unit usahatani level petani. Sesuai dengan

ruang lingkup dan fokus kajiannya, informasi yang dihasilkan sangat bermanfaat

untuk merancang sistem usahatani yang menghasilkan pendapatan maksimal, dan

atau selaras dengan prinsip-prinsip usahatani konservasi. Pada sisi yang lain, kajian-

kajian yang berkenaan dengan pengembangan ekonomi wilayah seringkali kurang

memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor pertanian; betapapun secara

empiris sektor ini berkontribusi sangat besar dalam penyediaan lapangan kerja dan

pengentasan kemiskinan. Berangkat dari kondisi tersebut, oriantasi penelitian ini

adalah untuk mendukung pendayagunaan sumberdaya pertanian dengan

menggunakan wilayah sebagai unit analisis.

Page 4: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

4

1.3. Tujuan dan Keluaran

1.3.1. Tujuan

Sasaran penelitian adalah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam

rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian pada wilayah dominan

agroekosistem lahan kering. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah:

(1) Untuk memperoleh gambaran mengenai profil perekonomian wilayah yang

didominasi agroekosistem lahan kering lokasi penelitian, terutama dalam

konteks keterkaitan sektoral dan implikasinya terhadap pembentukan output,

nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja.

(2) Untuk mengidentifikasi kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya

pertanian pada wilayah yang didominasi agroekosistem lahan kering.

(3) Untuk mencari solusi optimal mengenai pemanfaatan sumberdaya pertanian

wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

(4) Untuk merumuskan kebijakan dan program relevan dengan tujuan (3).

1.3.2. Keluaran

Keluaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi hasil penelitian

empiris yang dapat dapat dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan dan program

pemanfaatan sumberdaya pertanian pada agroekosistem lahan kering. Secara

spesifik adalah:

(1) Data dan informasi mengenai profil perekonomian wilayah agroekosistem

lahan kering lokasi penelitian, utamanya tentang keterkaitan antar sektor

ekonomi dan implikasinya terhadap perekonomian wilayah tersebut.

(2) Data dan informasi tentang kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya

pertanian pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

(3) Data dan informasi mengenai tingkat pencapaian tujuan yang mungkin

dicapai dan aktivitas pertanian pada solusi optimal atau solusi yang

memenuhi kriteria “satisfying” pada wilayah dominan agroekosistem lahan

kering.

(4) Memperoleh masukan yang bermanfaat untuk merumuskan kebijakan dan

program pengembangan pertanian wilayah dominan agroekosistem lahan

kering.

Page 5: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dari tinjauan historis menurut sudut pandang pendayagunaan sumberdaya

lahan, pola penggunaan tanah di Indonesia telah berubah dari pola ekstensif alamiah

(hutan, semak dan padang penggembalaan) ke pola yang relatif intensif. Secara

garis besar kecepatan ekspansi areal pertanian kurang lebih seimbang dengan

urbanisasi dan industrialisasi namun tidak linier dan dinamikanya dalah sebagai

berikut. Pada periode 1961 – 1975, perluasan areal pertanian lebih cepat dari

urbanisasi dan industrialisasi, dan pasok tanah pertanian terutama berasal dari alih

fungsi lahan padang pengembalaan dan belukar – alang-alang. Pada periode 1972 –

1982 tingkat urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, dan pasok tanah untuk areal

pertanian baru adalah berasal dari konversi hutan. Sementara itu sejak 1982 –

sekarang perluasan areal pertanian kembali lebih cepat dari perluasan urbanisasi

dan industrialisasi (Nasoetion dan Saefulhakim, 1994). Menyimak fenomena tersebut

Nasoetion (1994) menafsirkan bahwa selam tiga dekade terakhir telah terjadi

degradasi tanah yang akar penyebabnya adalah tekanan pertumbuhan penduduk

dan transformasi ekonomi dari struktur ekonomi yang lebih agraris ke arah struktur

ekonomi yang lebih industrialistik.

Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua: (a)

usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh

badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat.

Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi

menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah

lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura

dan (ii) perkebunan rakyat.

Terkait dengan orientasi kebijakan pengembangan pertanian rakyat yang

selama ini ditempuh, perkembangan pertanian paling maju adalah pada

agroekosistem pesawahan yakni dalam usahatani padi. Pada usahatani berbasis

lahan kering usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman

perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan

khususnya unggas. Khususnya untuk usahatani sayuran dan peternakan,

kemajuannya cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup nyata

adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi kurang

berkembang.

Page 6: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

6

2.1. Agroekosistem Lahan Kering

Meskipun berkaitan erat, pengertian tentang tentang agroekosistem berbeda

dengan ekosistem. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami

(iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsur-

unsur buatan. Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim digunakan

mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari

pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang infrastruktur.

Dalam konteks perumusan kebijakan dan program pengembangan seringkali

perumus kebijakan berorientasi pada pendekatan pragmatis dan untuk itu definisi

dan konsep yang dikembangkan juga mengacu pada pendekatan pragmatis. Hal ini

dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dkk (2008) yang membedakan

agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i) lahan

kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis tanaman

perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir.

Dalam pendekatan yang lain, pengertian mengenai lahan kering dapat

mengacu pada beberapa penelitian berikut. Penggunaan istilah ”lahan kering” di

Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk

padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro,

1989). Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana

pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak

pernah tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan untuk pertanian

lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan huma.

Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan

pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di

bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau

lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air

hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal

(2009) adalah “hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada

sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah

dan lahan kerign dataran tinggi”.

Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia

dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak

dijumpai di Kawasan Timur Indonesia, dan (2) lahan kering beriklim basah, yang

banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah

Page 7: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

7

pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah

pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan

potensi dan dominasi vegetasinya

Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan,

dapat dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedele, dan palawija lainnya.

Ketersediaan lahan in icukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data

dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7

propinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi

gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075

ha), Lampung (802 341 ha), jawa Barat (184 160 ha), Banten (36 631 ha), NTT (550

075 ha) dan Kalbar (2.211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009).

Untuk pengembangan komoditas perkebunan, dapat dinyatakan bahwa

hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor

dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan

pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi

pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini.

Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup

baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar

domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi

pedaging, sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam, burung puyuh) masih

akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan

per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada

program dan aksi nyata yang revolusioner.

Ternak ruminansia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-

landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari

lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada

menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian.

Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara

usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak di bawah

pohon kelapa (coco-beef), usaha ternak di bawah kebun kelapa sawit (palm oil-beef),

dan kombinasi usaha tanaman pangan dengan ternak (Crops Livestock System-

CLS).

Usaha ternak ruminasia dengan sistem landbase dilakukan pada padang

penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan kelas IV yang banyak terdapat

Page 8: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

8

di Kawasan Timur Indonesia. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering

seperti NTT, NTB, dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi

ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.

Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan perluasan areal

untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu akibatnya

terjadi kompetisi penggunaan lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor

petanian. Beberapa pihak beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan

tidur sehingga perlu diefektifkan pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian

memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya merupakan basis pengembangan

usaha peternakan .

Dengan kondisi yang demikian, usahatani ternak di lahan kering NTT tidak

hanya mengandalkan padang penggembalaan tetapi juga dikembangkan usahatani

ternak yang lebih intensif yang dikenal dengan sistem paronisasi (bagi hasil). Pada

sistem paronisasi ternak sapi dipelihara dengan sistem dikandangkan. Ternak diberi

pakan yang berasal dari berbagai sumber yaitu rumput alam di padang

penggemabalaan terbatas, tanaman rumput unggul yang ditanam, limbah tanaman

pangan dan dedaunan dari pepohonan (Ratnawaty et al. 2004).

Belajar dari pengalaman daerah lain, usaha sapi potong yang intensif

mengalami kesulitan untuk mendapatkan bakalan sehingga harganya menjadi

mahal. Karena itu sebaiknya pengembangan sapi potong di NTT mengkombinasikan

usaha sapi potong intensif (non-landbase) yang dikombinasikan dengan usahatani

tanaman pangan dan perkebunan sebagai penghasil sapi potong dan usaha sapi

potong ekstensif (landbase) di padang penggembalaan sebagai penghasil sapi bibit

dan sapi bakalan (Ilham et al. 2009). Oleh karena itu optimalisasi lahan kering berarti

memanfaatkan lahan sesuai dengan penggunaanya, termasuk pemanfaatan padang

penggembalaan untuk usaha ternak sapi otong.

Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem

usahatani di lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi

petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al. 2004).

Menurut Arsana et al. (2004) dengan rata-rata pemilikan lahan 50 are, pendapatan

rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan

kering mencapai Rp 3,24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari

kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31,4%, ternak sapi 25,5%, kelapa dan kopi

Page 9: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

9

19,9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan

usahatani padi pada MH 6,2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi.

Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan

ruminasia di lahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat

ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat

menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7,5 ton per tahun yang

mengandung sekitar 15 kg Nitrogen, 15 kg P2O5 dan 20 kg K2O (Hasnudi dan

Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara kotoran ternak mampu

memperbaiki sifat fisik dan bilogi tanah.

Pengembangan peternakan di lahan kering membutuhkan hijauan pakan.

Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa)

dan ada pepohonan (leguminosa). Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-

lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi, demikian juga dengan tanaman

legumninosa pohon dapat mencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui

rhizobium yang terdapat pada bintil akar.

Perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan pada wilayah

lahan kering telah dilaksanakan program P4MI (Program Peningkatan Pendapatan

Petani Melalui Inovasi) yang berloaksi di kabupaten Blora dan Temanggung provinsi

Jawa Tengah, kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat, kabupaten

Ende provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kabupaten Donggala provinsi

Sulawesi Tengah (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik

tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman tahunan/perkebunan.

Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu

pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan

nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya

produktivitasnya rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman

tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman semusim,

produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti

tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam

Syam, 2003).

Jika mengacu kepada data penggunaan lahan menurut BPS, yang

dielaborasi keseusaian lahan kering oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,

maka jika mengambil 10 provinsi terbesar sebaran potensi lahan kering terdapat di

Page 10: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

10

Provinsi Kalimantan Timur, Papu, Kalimantan Barat, Kalimanatan Tengah, Sumatera

Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sumatera Utara dan Maluku

Utara (Mulyani, dkk. 2006).

Pada umumnya sistem pertanian lahan kering belum dipahami secara

mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala

lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta keterbatasan sentuhan

teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem

usahatani yang ada masih terbatas (Guritno, et al, 1997). Kerusakan fungsi lahan

sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang

minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Di

lain pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marginal yang

ditandai dengan pendapatan dan pendidikan rendah, ketrampilan terbatas, dan

terbatasnya pelaksanaan kondervasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin dan

Ladamay, dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah-masalah klasik di

kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal,

terencana dan berkelanjutan.

Untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering, menurut

Notohadiprawiro (1989), diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi

lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang

dipandang tepat adalah berasaskan LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yang

terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: (i) memandu kemampuan

alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur

lingkungan menjadi produk berguna bagi manusia, (ii) adaptasi tanaman dan ternak

pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi, pemuliaan konvesnisoanl atau

rekayasa genetik, dan (iii) membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas

usahatani, pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian dan pelancaran

pemsaran hasil usahatani.

Ketiga rakitan tersebut dimaksudkan untuk (1) membatasi ketergantungan

pertanian pada masukan komersial, seperti pupuk pabrik, bahan kimia pemenda

tanah (chemical soil amendments), pestisida, subsidi dan kredit, (2) membatasi

usikan kegiatan atas lingkungan, yang berarti mengurangi dampak negatif atas

lingkungan dan (3) mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional.

Dalam tataran praktek, pendekatan tersebut seringkali berbenturan dengan

orientasi peningkatan produksi dan pendapatan. Terkait dengan itu, solusi yang

Page 11: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

11

kemudian ditempuh menjadi parsial dan cenderung tak tekoordinasi dengan baik. Hal

ini selain merupakan implikasi logis dari pendekatan level mikro, terkait pula dengan

ego sektoral yang seringkali sulit dieliminasi dalam proses pengambilan keputusan.

2.2. Optimalisasi Sumberdaya

2.2.1. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi

Optimalisasi sumberdaya pertanian akan lebih realistis jika dibekali dengan

pemahaman yang baik tentang kaitan sektoral perekonomian wilayah beserta

implikasinya. Secara teoritis, model ideal untuk optimalisasi sumberdaya sangat

diwarnai oleh karakteristik hubungan antar sektor perekonomian itu dalam konteks

pemanfaatan sumberdaya, maupun kontribusinya dalam pencapaian tujuan yang

ditetapkan.

Untuk memperoleh gambaran obyektif tentang profil ekonomi suatu wilayah

diperlukan setidaknya tiga kategori informasi: (i) ukuran yang menggambarkan

besaran nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produksi, dan harga-harga beserta

perkembangannya, (2) ukuran yang menggambarkan hubungan saling keterkaitan

antar sektor perekonomian, (3) ukuran yang menggambarkan alokasi penggunaan

sumberdaya. Setidaknya untuk dua kategori yang pertama, dapat difasilitasi dengan

analisis ekonomi dengan pendekatan Input - Output (West, 1993).

Dengan pendekatan Input – Output, (model I – O), keterkaitan antar sektor

perekonomian berikut implikasinya terhadap perubahan output, nilai tambah, dan

penggunaan tenaga kerja, dapat dihitung dengan baik. Analisis keterkaitan terhadap

sektor hilirnya disebut analisis keterkaitan sektor ke depan (forward linkages),

sedangkan keterkaitan dengan sektor hulunya disebut analisis keterkaitan

kebelakang (backward linkages). Aplikasi pendekatan ini sudah banyak dilakukan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, dapat disimak misalnya pada Daryanto (1999),

Syafa’at dan Friyatno (2000), Rachman (1993), Tapadas dan Dahl (1999).

Pada dasarnya data tabel Input-Output adalah merupakan hubungan antara

penawaran (Supply) dan permintaan (Demand) dari sektor-sektor ekonomi makro

yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Penawaran adalah merupakan nilai produksi

dari sektor ekonomi, penawaran terhadap sektor sebagai input antara dan terhadap

permintaan akhir yang dikonsumsi langsung adalah merupakan total output

sedangkan permintaan adalah nilai input untuk sektor ekonomi (disebut input antara),

Page 12: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

12

sedangkan input diluar input antara disebut input primer. Jumlah input antara dengan

input primer harus sama dengan output.

Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam data Input-Output adalah : (1)

keseragaman (homogenity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor ekonomi hanya

memproduksi satu jenis barang dan jasa, (2) kesebandingan (proportionality) yaitu

asumsi bahwa hubungan antara input dan output pada setiap sektor merupakan

fungsi linier, dan (3) penjumlahan (additivity) yaitu asumsi bahwa total efek dari

kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada

masing-masing kegiatan (BPS, 1995). Namun di sisi lain, input-output memiliki

kelebihan yaitu mampu menangkap dampak perubahan eksogen secara holistik

pada seluruh sektor-sektor yang ada dengan menggunakan Leontief inverse matrix

(Terosa et al., 2000).

Dengan tetap menyadari keterbatasannya (implikasi dari asumsi dasar model

I – O), salah satu elegansi pendekatan I – O adalah kesederhanaan komputasinya

untuk menyediakan informasi kuantitatif yang menggambarkan dampak investasi di

suatu sektor terhadap perekonomian wilayah. Dimungkinkan untuk memperoleh

informasi mengenai dampak investasi tersebut dalam pembentukan nilai tambah,

output, maupun penyerapan tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan, sektor-

sektor ekonomi terkait, maupun keseluruhan sektor ekonomi. Demikianpun dengan

analisis dekomposisi sehingga dapat diketahui dampak yang sifatnya langsung,

maupun tidak langsung.

2.2.2. Optimasi Sumberdaya Multi Tujuan (Multi Objective Programing)

Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan yang

berkelanjutan. Jika dirinci maka bersifat multi tujuan dan multi dimensi: pendapatan,

keadilan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai tujuan diperlukan pendayagunaan

sumberdaya. Dalam beberapa konteks demikian itu sifat hubungan antar tujuan

tersebut tidak selalu komplementer; bahkan berkompetisi. Dengan kata lain, untuk

mencapai tujuan yang satu kadangkala harus mengorbankan tujuan yang lain.

Kondisi tersebut berimplikasi pada optimalisasi sumberdaya; baik dalam

perumusan tujuan maupun kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan itu. Pada

perumusan tujuan, diperlukan adanya “kompromi” ketika dihadapkan pada

komponen-komponen tujuan yang saling berkompetisi dalam pendayagunaan

sumberdaya. Oleh karena itu, untuk model pemrograman multi tujuan kriteria

“optimal” diterjemahkan sebagai kriteria yang memuaskan (satisfying).

Page 13: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

13

Dalam konteks pengambilan keputusan, masalah tersebut merupakan salah

contoh dari Multicriteria-Decision Making (MCDM). Terkait dengan itu, salah satu

model yang sering digunakan adalah Multi Objective Programming (MOP).

Terdapat berbagai teknik optimasi yang termasuk dalam kelompok MOP,

antara lain adalah Step Method (SM), Minimax Goal Programming (MGP), Non linear

Goal Programming (NLGP), Linear Goal Programming (LGP), Expert System, dan

lain sebagainya. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan keunggulan, terkait

dengan asumsinya. Namun yang jelas, semakin “realistis” maka semakin kompleks

dan semakin sulit pula teknik komputasinya.

Diantara MOP tersebut yang paling sederhana adalah LGP. Konsep LGP

pertama kali dipergunakan oleh Charnes and Cooper pada Tahun 1961.

Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Ijeri (1965), Lee (1972), dan Ignizio

(1976). Kemudahan pemahaman tentang model ini melalui deskripsi grafis dan

simpleks dapat dijumpai misalnya pada Flinn and Jayasuria (1980).

Seiring dengan pesatnya kemajuan yang terjadi di bidang komputasi dan

pemodelan, berbagai modifikasi dan pengembangan model LGP juga dilakukan.

Salah satu contoh adalah Fuzzy Linear Goal Programming (FLGP).

Aplikasi Goal Programming pada studi di bidang pertanian, perikanan,

ataupun kehutanan pada beberapa tahun terakhir dapat disimak misalnya pada

Sharma, Alade, and Acquah (2006); Sharma, Ghosh, and Alade (2003); ataupun

Muthukude, Novak, and Jolly (1991).

Salah satu keterbatasan utama aplikasi LGP sebagai pendakatan MCDM

terkait dengan stigma “cenderung subyektif” yang melekat pada penentuan fungsi

tujuan. Seringkali, penentuan prioritas dan atau bobot masing-masing tujuan tidak

sepenuhnya dapat dilakaukan secara obyektif. Kecenderungan ini dapat dikurangi

jika dalam penentuan fungsi tujuan dapat dilakukan sintesis yang sangat baik antara

hasil analisis berbasis data hasil survey dengan hasil Focus Group Discussion (FGD)

dengan stake holder yang juga dilakukan dengan seksama.

Pada pendekatan SM, upaya meminimalkan subyektivitas dalam penentuan

fungsi tujuan dengan sendirinya dapat dilakukan mengingat penentuan fungsi tujuan

maupun solusi yang dihasilkan pada setiap tahap iterasi melibatkan secara langsung

stake holder yang tercakup dalam sistem pada pendefinisian model. Hal ini terjadi

karena proses tersebut merupakan inti pokok dari kerangka konsep pendekatan SM.

Persoalan uatama yang dihadapi dalam aplikasi metode SM adalah proses iterasinya

yang membutuhkan waktu panjang dan biayanya yang mahal.

Page 14: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

14

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Optimalisasi sumberdaya pertanian dapat dilakukan pada berbagai level,

lokasi, ataupun horizon waktu. atau unit analisis. Pada umumnya meskipun

substansi yang dikaji sama tetapi solusi optimal yang dihasilkan akan berbeda jika

unit analisisnya berbeda. Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikut. Solusi optimal

usahatani pada level kelompok tani dengan unit analisis kelompok yang

bersangkutan kemungkinan besar akan berbeda dengan solusi optimal yang

diperoleh kelompok tersebut ketika unit analisis yang dipergunakan adalah level Sub

DAS atau DAS. Hal itu merupakan implikasi logis dari adanya saling keterkaitan

antara satu kelompok tani tersebut dengan kelompok tani lainnya, baik dalam

penggunaan sumberdaya (misalnya air irigasi), tenaga kerja, modal ataupun tenaga

kerja. Demikianpun halnya dengan implikasi dari horizon waktu. Solusi optimal untuk

pemanfaatan sumberdaya dengan horizon waktu setahun akan berbeda dengan

solusi optimal yang diperoleh jika horizon waktu yang dipergunakan adalah 5 atau 10

tahun. Serupa dengan itu, solusi optimal sumberdaya pertanian yang diperoleh dari

pemodelan yang hanya memperhaikan eksistensi sektor pertanian saja akan

berbeda dengan jika eksistensi sektor lain diperhitungkan sebagai bagian integral

dari sistem yang dikaji. Atas dasar itu maka pemahaman yang baik mengenai

eksistensi sektor pertanian dalam pemanfaatan sumberdaya harus diposisikan

sebagai bagian integral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Dengan kata lain,

keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi beserta implikasinya terhadap pemanfaatan

sumberdaya maupun dalam pembentukan output dan nilai tambah harus dipahami

dengan baik dan diperlakukan sebagai dasar pengembangan model optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya pertanian.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka unit analisis yang akan diterapkan

dalam penelitian ini adalah wilayah. Selain untuk mengkondisikan agar hasil analisis

dapat dipergunakan untuk perencanaan wilayah, pendekatan tersebut juga

dimaksudkan untuk melengkapi berbagai hasil analisis optimalisasi sumberdaya

pertanian lingkup mikro yang selama ini banyak dilakukan.

Sebagaimana diketahui, tujuan pembangunan pertanian bersifat multi tujuan.

Setidaknya ada tiga tujuan yang selalu tercakup di dalamnya: (i) peningkatan

produksi pertanian, (ii) peningkatan pendapatan petani, (iii) penyediaan lapangan

kerja. Solusi yang untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi oleh sumberdaya yang

Page 15: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

15

tersedia (modal, tenaga kerja, lahan, air, dan sebagainya). Selain itu, prinsip-prinsip

keberlanjutan (sustainability) dan pemerataan juga perlu dipertimbangkan. Dalam

konteks ini, apakah prinsip keberlanjutan dan pemerataan juga diperhitungkan

sebagai bagian dari tujuan ataukah diperlakukan sebagai persyaratan yang

mengkendala pencapaian tujuan; sangat tergantung pada aspirasi pengambil

keputusan (masyarakat dan pemerintah). Oleh karena multi tujuan maka model

optimasi yang lebih sesuasi diterapkan adalah Multi Objective Programming (MOP).

Salah satu model MOP yang sederhana tetapi juga cukup populer dan “workable”

adalah Linear Goal Programming (LGP). Atas dasar pertimbangan “managemen

penelitian”, yang akan diterapkan dalam penelitia ini adalah LGP.

Dalam model LGP yang akan diterapkan dalam penelitian ini, data dan

informasi yang dihasilkan dari analisis I – O akan sangat berguna. Pertama, dapat

dimanfaatkan sebagai acuan dalam menyusun hubungan antar aktivitas. Kedua,

sebagai acuan untuk mengevaluasi koefisien teknologi. Ketiga, merupakan salah

satu masukan untuk mengevaluasi kelogisan komparasi antar aktivitas. Lebih dari itu

semua, mengingat bahwa Tabel I – O pada dasarnya menggambarkan

keseimbangan umum antara permintaan dan penawaran dari keseluruhan sektor

ekonomi maka dapat pula dimanfaatkan sebagai acuan dalam mengevaluasi

“feasible region” dari model LGP yang akan diterapkan.

Disadari sepenuhnya bahwa betapapun telah dirancang dengan seksama,

tentu saja masih sangat banyak faktor-faktor yang dalam dunia nyata sangat penting

namun tidak dapat disertakan dalam pemodelan. Faktor-faktor yang sifatnya

intangible maupun faktor kelembagaan sosial pada umumnya sangat sulit

dimasukkan dalam pemodelan dengan LGP, padahal dalam banyak kasus sangat

banyak pengaruhnya terhadap pencapain tujuan.

Untuk dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi kebijakan, kesimpulan yang

diperoleh dari solusi optimal perlu dilengkapi dengan kajian ataupun evaluasi

program-program pemerintah yang tengah berjalan. Hal ini merupakan konsekuensi

logis dari eksistensi program-program tersebut: di satu sisi sasaran program tersebut

sangat mungkin konvergen dengan fungsi tujuan dalam model yang dibangun, di sisi

lain program-program tersebut tentu saja berimplikasi pada alokasi sumberdaya.

Lebih dari itu, rekomendasi kebijakan pada akhirnya juga akan bermuara pada

program; dan karena itu pembelajaran dari program-program yang tengah berjalan

itu tentu akan sangat bermanfaat untuk perakitan rekomendasi.

Page 16: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

16

3.2. Profil Perekonomian Wilayah: Pendekatan dengan Model I – O. Model I – O diperkenalkan pertama kali oleh Francois Quesney kemudian

dikembangkan oleh Aasily Lentief berdasarkan pendekatan hubungan saling

tergantung (interdependensi) antar sektor perekonomian dalam suatu sistem

persamaan linier (Glason, 1977). Konsep dasar model I – O adalah:

(1) Struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor yang satu sama lain

berinteraksi melalui transaksi jual beli.

(2) Output suatu sektor dijual kepada sektor-sektor lainnya dan untuk

permintaan akhir.

(3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dan rumah tangga

(dalam bentuk tenaga kerja), pemerintah (misalnya dari pajak tak

langsung), penyusutan, dan surplus usaha serta impor.

(4) Hubungan antara input dengan output bersifat linier.

(5) Dalam satu kurun waktu analisis (lazimnya setahun) total input sama

dengan total output.

(6) Suatu sektor terdiri dari satu atau lebih perusahaan, dimana satu sektor

hanya menghasilkan satu jenis output, dan output tersebut diproduksi

dengan satu jenis teknologi.

Misalkan Xi melambangkan produksi sektor ke-i, Ai merepresentasikan jumlah

input permintaan antara terhadap produksi dari sektor ke-i, dan Fi melambangkan

jumlah permintaan akhir terhadap produksi sektor ke-i, maka:

i i iX A F= + (1)

Apabila pada perekonomian suatu wilayah terdiri dari n sektor, maka

permintaan antara terhadap sektor ke i adalah merupakan penjumlahan dari

input antara sektor ke i oleh sektor-sektor ke 1 sampai dengan sektor ke n:

Aij = Ai1 + Ai2 + Ai3 + . . . + Ain = ∑=

n

jA

1ij . . . . . . . . . . . . . . . . (2)

dimana :

Aij = jumlah produksi sektor ke i yang digunakan oleh sektor ke j

Sedangkan total input (Xj) adalah merupakan penjumlahan dari input

antara dan input primer, yang pada prinsipnya harus sama dengan jumlah

outputnya, maka hasil bagi dari masing-masing komponen input antara

Page 17: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

17

dengan jumlah output atau jumlah input (Xj) disebut koefisien input antara

(aij), dapat diperoleh dengan rumus :

aij = j

ij

XA

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3)

dimana :

aij = koefisien input antara, dimana ∑=

n

jija

1 = 1

Jika persamaan (2) dimasukan kedalam persamaan (3), maka

persamaan masing-masing sektor adalah sebagai berikut :

a11X1 + a12X2 + a13X3 + F1 = X1

a21X1 + a22X2 + a23X3 + F2 = X2 . . . . . . . . . . . . . . . .(4)

. . . . .

. . . . .

an1X1 + an2X2 + an3X3 + Fn = Xn

Apabila persamaan (4) diformulasikan dalam bentuk matrik, maka

persamaannya menjadi sebagai berikut :

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

.

.....

.

.

21

22221

11211

nknn

k

k

aaa

aaaaaa

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

nX

XX

.2

1

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

nF

FF

.2

1

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

nX

XX

.2

1

. . . . . . . . . . . . . .(5)

A X + F = X

Dengan demikian dapat ditulis dalam notasi matrik sebagai berikut :

AX + F = X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (6)

dimana :

A = Matrik koefisien input antara

X = Vektor output seluruh sektor

F = Vektor permintaan akhir

F = X – AX . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (7)

F = [I-A] X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (8)

Page 18: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

18

X = ][ AI

F−

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (9)

X = ][

1AI −

F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (10)

X = [I – A]-1 F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (11)

[I – A]-1 = Koefisien Leontief/koefisien penggada/matrik kebalikan

3.3. Optimalisasi Sumberdaya Dengan Model LGP

Pada prinsipnya, kerangka pemecahan metode LGP adalah minimisasi

deviasi dari beberapa set tujuan yang telah ditentukan oleh pengambil keputusan.

Setiap deviasi peubah di dalam fungsi tujuan dipresentasikan ke dalam nilai positip

(p) dan negatif (n) deviasi setap tujuan. Dengan demikian algoritmanya berupa

tujuan meminimalkan deviasi-deviasi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan

peringkat kepentingan (prioritas) pengambil keputusan.

Misalkan dalam perancangan terdapat m tujuan, maka bentuk umum model

LGP tersebut dapat dipresentasikan sebagai berikut:

Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan

Minimisasi ( ),n p=Z

dengan kendala:

; ; 0n p ³X n p

X

D + I - I = h

Dengan keterangan notasi: D = matrik (m x n) dari m tujuan dan n peubah keputusan (decision variables) X = n komponen vektor kolom peubah keputusan n dan p = m vektor kolom yang menunjukkan deviasi tujuan-tujuan dalam model I = matrik identitas (m x m) h = m komponen vektor kolom sebagai aspirasi pemenuhan tingkat tujuan yang hendak dicapai. Sudah barang tentu model di atas dapat dipecahkan jika tingkat prioritas dan

atau bobot setiap tujuan dapat dibedakan. Andaikan terdapat beberapa tujuan

dengan prioritas yang berbeda, faktor prioritas Pr ( r = 1, 2, ... , k) maka bentuk

umum penjabarannya pada fungsi tujuan dalam LGP adalah:

,Min é ù= ê úë û1 2 kP (n, p), P (n, p), P (n, p)Z L

Page 19: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

19

Oleh karena itu model LGP dapat dirumuskan menjadi:

Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan

Minimisasi ( ),n p=Z

dengan kendala:

; ,

¢ ¢+ - =

+ - =

³

n p

n p

AX I I b

DX I I h

X n p 0

dimana:

Z = k komponen vektor kolom dari peubah deviasi ( k < m )

A = matrik ( w x n ) teknologi (koefisien input-output pada himpunan kendala

b = w vektor komponen kolom kendala

n dan p = w komponen vektor deviasi, dimana p adalah deviasi positfp dan n adalah

deviasi negatif.

Dalam penelitian ini upaya untuk meminimalkan “subyektivitas” dalam

spesifikasi fungsi tujuan akan ditempuh melalui diskusi yang intensif dengan pihak-

pihak yang terkait di wilayah penelitian, terutama BAPPEDA, Instansi terkait di

lingkup Kementerian Pertanian yang berada di wilayah penelitian, petani, kelompok

tani, PPL, dan sebagainya. Untuk sementara diperkirakan bahwa tujuan yang

terpenting adalah peningkatan pendapatan petani dan peningkatan produksi

pertanian.

Penentuan koefisien teknologi dalam himpunan kendala merupakan salah

satu tugas terberat dalam pemodelan. Agar efisien maka selain ditentukan

berdasarkan hasil survey di lapangan, studi pustaka atas penelitian terdahulu yang

relevan akan dimanfaatkan.

Kendala terpenting adalah lahan, sumbedaya air, tenaga kerja, dan modal.

Penentuan ketersediaan sumberdaya didasarkan atas data sekunder yang dikoreksi

dengan hasil survey maupun dari studi pustaka yang relevan dengan lokasi

penelitian.

3.4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, level

wilayah yang diambil adalah Kabupaten, sedangkan untuk luar P. Jawa adalah

Provinsi. Perbedaan itu didasari pertimbangan bahwa di Pulau Jawa, sebaran spatial

Page 20: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

20

agroekosistem lahan kering tidak terwakili jika unit analisisnya Provinsi. Berbeda

dengan itu, untuk di Luar P. Jawa dimungkinkan untuk mengambil Provinsi sebagai

unit analisis.

Di Pulau Jawa, lokasi yang akan diambil adalah salah satu kabupaten di

provinsi Jawa Tengah. Di Luar P. Jawa, lokasi yang dipilih adalah salah satu dari

Provinsi Nusa Tenggara Barat atau Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepastian lokasi

untuk di Luar Jawa ini akan ditentukan setelah memperoleh masukan dari Seminar

Proposal dan studi pendahuluan.

3.5. Data

Data yang diperlukan mencakup data sekunder maupun data primer. Data

sekunder akan diperoleh dari instansi / lembaga terkait yang relevan dengan tujuan

penelitian. Data primer akan diperoleh dari survey di tingkat kelompok tani dan

petani. Instrumen penelitian yang diperlukan untuk mengumpulkan data tersebut

berupa panduan wawancara, daftar isian, dan kuesioner.

3.5. Jadwal Palang

Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DesPembuatan Proposal Seminar dan perbaikan Proposal

Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survei dan pretest kuesioner

Survey Utama Pengolahan dan analisis data Penulisan Laporan Seminar hasil peneltitian Perbaikan laporan hasil penelitian

Penggandaan

Page 21: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

21

DAFTAR PUSTAKA Arsana, D. IGAK, IGAK Sudaratmaja, dan IN Suyana. 2004. Keragaan Usahatani Tanaman-

Ternak di Lahan Irigasi dan Lahan Kering di Bali. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2007. Bahan Penetapan Calon Lokasi PUAP 2006. Badan Litbang Pertanian. Jakarta

Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.

Bulmer-Thomas, V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Countries: Sources, Methods and Applications. John Wiley & Sons Ltd, New York.

Daryanto, A. 1999. Structural Change and Determinants of Agriculture's Relative Decline. Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics, 12(3): 75-94.

Direktorat Perluasan Areal. 2009. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pangan Lahan Kering. Tahun 2009. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen PLA. Jakarta.

Flinn, J.C., and S. Jayasuriya. 1980. Incorporating Multiple Objectives in Planning Models of Low-Resource Farmers. Australian Journal of Agriculture Economics, April: 35 – 45.

Guritno, B., T. Adisarwanto, dan E. Legowo. 1997. Teknologi Tepat Guna Lahan Kering di Kawasan Timur Indonesia Bagian Selatan. Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI 25-27 Juli 1996. Perhimpunan Agronomi Indonesia.

Hasnudi dan E. Saleh. 2004. Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usahatani Terpadu di Indonesia.Digitized by Universitas Sumatera Utara Digital Library.

Ignizio, J. P. 1976. Goal Programming and Extensions. Health, Lexington, Massachusetts. Ilham, N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model

Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Ijeri, Y. 1965. Management Goals and Accounting For Control. North Holland, Amsterdam. Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan Dengan Sistem

Polikultur. Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding-%2007/1-4.pdf [29/1/10).

Lee, S. M. 1972. Goal Programming for Decision Analysis. Auerbach, Philadelphia, PA. Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian

Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Unversitas Sebelas Maret, Surakarta.

Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 28 (2): 16-17. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Mulyani, A.; F. Agus; dan David Allelorung. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Pengembangan Jarak Pagar. Dalam. Jurnal Badan Litbang Pertanian, Vol 25 (4): 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Muthukude, P., J. L. Novak, and C. Jolly. 1991. Goal Programming Evaluation of Fisheries Development Plans fro Sri Lanka’s Coastal Fishing Fleet. Fisheries Research, Vol. 12: 41 – 63.

Notohadiprawiro. T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor, 6-8 Desember. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006).

Ratnawaty, S., M. Ratnada, Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Sharma, D. K., D. Ghosh, and J. A. Alade. 2003. Management Decision-making for Sugar Cane Fertilizer Mix Problems Through Goal Programming. Journal of Applied Mathematics and Computing, Vol. 13(1- 2): 323 – 334.

Page 22: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

22

Sharma, D. K., J. A. Alade, and E. T. Acquah. 2006. An Economic Impact of Maryland’s Coastal Bays: A Goal Programming Approach. International Business & Economics Research Journal, Vol. 5(5): 41 – 50.

Sumaryanto. 2008. Kinerja Lahan dan Tenaga Kerja Dalam Mendukung Ketahanan dan Sawsembada Pangan. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional "Kebijakan dan Peta Perjalanan Pembangunan Pertanian dalam Rangka Ketahanan dan Swasembada Pangan" yang diselenggarakan oleh kerjasama BAPPENAS - CARE - IPB pada 17 November 2008 di Bogor.

Syafa'at, N. dan S. Friyatno. 2000. Peranan Industri Terigu dan yang Berbahan Baku Terigu dalam Penciptaan Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Tapadas, C.T. and D. C. Dahl. 1999. Supply-Driven Input-Output Multipliers. Journal of Agricultural Economics, 4(10): 35-40.

Terosa, C., K. Demura and A. Ito. 2000. An Input-Output Analysis of the Production Generation and Adjusment Mechanisms of Agriculture Through Time: The Case of Japan, Korea, Taiwan, and the Philippines. In Bustanul A. and H. S. Dillon (eds.). Asian Agriculture Facing The 21st Century. Asian Society of Agricultural Economists, Jakarta.

West, G.R. 1993. GRIMP: Input-Output Analysis for Practitioners. Version 7.1. User's Guide. Department of Economics, University of Queensland, Queensland.

Page 23: OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SMY.pdf · tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

23

Makalah Seminar Proposal Operasional T.A. 2010

OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

Oleh:

Henny Mayrowani Sumaryanto

Delima Hasri Azahari Nyak Ilham

Supena Friyatno Ashari

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2010