pola pengembangan usaha peternakan …peternakan.undaris.ac.id/un_peternakan/folderfile4/... · ......

30
POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN KABUPATEN BLORA Yuni Primandini (Fakultas Peternakan Undaris Ungaran) Email : [email protected] ABSTRAK Pola pengembangan usaha peternakan berwawasan lingkungan di kawasan perminyakan mendapat hambatan yang besar terutama dari faktor lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan teknologi yang dapat diterapkan di kalangan petani ternak. Pengembangan usaha peternakan di kawasan perminyakan harus dilakukan secara bertahap. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui potensi kawasan perminyakan dan inputnya kepada usaha peternakan, keadaan sosial ekonomi petani dan sistem usaha ternak yang dilakukan petani ternak di kawasan tersebut. Faktor pendukung lainnya yaitu ketrampilan petani untuk mengadopsi teknologi, manajemen pengelolaan ternak dan sistem pemasaran yang sesuai dengan teknologi yang akan diterapkan. Pengembangan usaha ini tidak akan berjalan tanpa melibatkan pihak unsur pemerintah, swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Kata kunci : Kawasan, perminyakan, lingkungan, petani, adopsi PENDAHULUAN Produk peternakan merupakan penyedia utama bahan pangan protein hewani sebelum perikanan, patut diberikan perhatian khusus dimana populasi ternak yang semakin menurun akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung. Kebutuhan daging sapi nasional rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi nasional baru mencapai 34 ribu ton (± 10 %) yang dipenuhi dari peternakan rakyat (sapi lokal). Kekurangan produksi daging nasional sekitar 90 % dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang menggunakan sapi bakalan impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor (Ditjennak, 1999). Melihat kondisi seperti itu maka perlu diadakan pendekatan- pendekatan strategis untuk membangkitkan lagi industri peternakan di Indonesia.

Upload: hanga

Post on 30-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN

KABUPATEN BLORA

Yuni Primandini (Fakultas Peternakan Undaris Ungaran)

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pola pengembangan usaha peternakan berwawasan lingkungan di kawasan perminyakan mendapat hambatan yang besar terutama dari faktor lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan teknologi yang dapat diterapkan di kalangan petani ternak. Pengembangan usaha peternakan di kawasan perminyakan harus dilakukan secara bertahap. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui potensi kawasan perminyakan dan inputnya kepada usaha peternakan, keadaan sosial ekonomi petani dan sistem usaha ternak yang dilakukan petani ternak di kawasan tersebut. Faktor pendukung lainnya yaitu ketrampilan petani untuk mengadopsi teknologi, manajemen pengelolaan ternak dan sistem pemasaran yang sesuai dengan teknologi yang akan diterapkan. Pengembangan usaha ini tidak akan berjalan tanpa melibatkan pihak unsur pemerintah, swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Kata kunci : Kawasan, perminyakan, lingkungan, petani, adopsi

PENDAHULUAN

Produk peternakan merupakan penyedia utama bahan pangan protein

hewani sebelum perikanan, patut diberikan perhatian khusus dimana populasi

ternak yang semakin menurun akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung.

Kebutuhan daging sapi nasional rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ton,

sedangkan produksi daging sapi nasional baru mencapai 34 ribu ton (± 10 %)

yang dipenuhi dari peternakan rakyat (sapi lokal). Kekurangan produksi daging

nasional sekitar 90 % dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang

menggunakan sapi bakalan impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor

(Ditjennak, 1999). Melihat kondisi seperti itu maka perlu diadakan pendekatan-

pendekatan strategis untuk membangkitkan lagi industri peternakan di Indonesia.

Pendekatan ini akan lebih optimal jika dilaksanakan di daerah yang memiliki

potensi produksi, peternak yang terampil dan potensi pasar yang mendukung.

Kabupaten Blora adalah salah satu wilayah di Jawa Tengah dengan potensi

ternak sapi potong yang tersebar di berbagai kawasan, termasuk didalamnya

kawasan perminyakan. Padahal kita tahu bahwa lokasi perminyakan mempunyai

udara yang sangat panas, tanah yang kering dan sumber air yang sulit. Kawasan

perminyakan tersebut terdapat di daerah Cepu, Ledok dan Nglobo. Akan tetapi

populasi ternak di daerah Ledok dan Nglobo terutama sapi PO dapat dikatakan

cukup banyak. Usaha ternak merupakan aktivitas yang penting bagi petani ternak

di Nglobo. Hampir setiap penduduk disana mempunyai ternak walaupun dalam

jumlah yang kecil. Beternak sapi merupakan usaha sambilan yang dominan

dilakukan petani ternak yang berada di daerah Nglobo. Ternak belum

dikembangkan secara komersial dan hanya sebagai tabungan. Pengembangannya

masih secara tradisional dengan kandang, peralatan, perawatan dan pakan

seadanya karena keterbatasan modal dan pengetahuan.

Untuk mewujudkan usaha ternak yang maju di kawasan perminyakan

maka diperlukan pendekatan agribisnis ternak. Menurut Hardiyanto dan

Prasetyo (1994) pendekatan agribisnis ternak memiliki implikasi langsung

terhadap manajemen usaha dan menuntut peningkatan komersialisasi pengelolaan

usaha ternak. Mengingat bahwa wilayah pengembangannya adalah kawasan

perminyakan maka faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah potensi ternak,

teknologi penunjang, potensi pasar dan ketrampilan petani sebagai pengadopsi

teknologi yang akan diterapkan.

Tujuan penulisan Karya Ilmiah bertajuk “Pola Pengembangan Usaha

Peternakan Rakyat Berwawasan Lingkungan di Kawasan Perminyakan Kabupaten

Blora” ini adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi ternak sapi potong

yang dikembangkan di dekat kawasan perminyakan di Kabupaten Blora dan pola

pengembangannya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi guna

menciptakan sistem usaha ternak yang berwawasan lingkungan. Manfaat yang

bisa dipetik dari penulisan ini adalah mengetahui efek positif dan negatif yang

ditimbulkan daerah perminyakan terhadap produktivitas ternak dan bagi para

petani ternak dapat mengetahui manajemen ternak yang lebih baik sehingga bisa

mengeliminir hambatan-hambatan yang timbul dari kawasan perminyakan dan

diharapkan nantinya ada peningkatan pendapatan dari petani ternak dan

membentuk suatu ekosistem yang mantap serta dapat mempertahankan stabilitas

populasi ternak demi kepentingan umat manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Potong

Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak tradisional di

Indonesia yaitu sapi PO (Peranakan Ongole). Sapi Peranakan Ongole memiliki

ciri-ciri warna putih, gumba besar, leher dan sebagian kepala pada jantan

berwarna abu-abu gelap, kulit tebal, banyak lipatan elastik dan berambut,

mempunyai leher yang pendek, gelambir panjang dan lebar, telinga panjang

menggantung, serta kepala relatif pendek dan melengkung (Sosroamidjojo, 1975).

Pakan yang diberikan pada ternak sapi berupa konsentrat dan hijauan. Konsentrat

adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan serat kasar rendah (kurang

dari 20%), dengan Total Digestible Nutrien (TDN) berkisar 80% (Blakely and

Bade, 1998). Lingkungan makro adalah lingkungan yang terdapat diluar kandang

seperti suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, udara lingkungan, curah hujan

dan intensitas cahaya diluar kandang. Kisaran suhu yang cocok untuk memelihara

sapi potong adalah 27 – 34 oC (Santosa, 1995). Menurut Williamson dan Payne

( 1993 ) kenyamanan ternak berada pada tingkat kelembaban 50-60%.

Pengaruh Iklim pada Ternak

Iklim adalah salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar

terhadap kehidupan sapi. Pengaruh tersebut bisa dirasakan ternak baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dirasakan ternak melalui

suhu udara. Suhu udara, terutama suhu yang tinggi, sangat kurang

menguntungkan bagi kehidupan ternak sapi. Pengaruh kurang menguntungkan ini

terlihat pada konsumsi pakan, air serta tingkah laku ternak. Ternak sapi yang

tertimpa suhu tinggi akan mengalami stress berat dan gagal mengatur panas

tubuhnya. Akibatnya ternak mengurangi konsumsi pakan dan banyak minum air.

Suhu yang tinggi juga berpengaruh pada tingkah laku ternak. Ternak tidak tahan

merumput lebih lama. Ternak akan banyak berjalan-jalan untuk mencari sumber

air. Ternak akan menempuh perjalanan jauh, akibatnya ternak banyak kehilangan

energi dan kerja otot lebih meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak zat pakan

yang dimobilisasikan untuk kebutuhan yang kurang bermanfaat, sehingga

produktivitas dan kemampuan reproduksi ternak menjadi menurun. Pengaruh

tidak langsung pada ternak yaitu melalui pakan hijauan yang diberikan. Pada

musim kemarau sulit untuk mendapatkan hijauan. Banyak hijauan yang tumbuh

kerdil bahkan mengering. Hijauan yang kering mempunyai serat kasar yang

tinggi karena proses lignifikasi. Proses lignifikasi menurunkan kecernaan ternak

terhadap hijauan, sehingga volume hijauan yang termakan ternak pun juga

menurun.

Penggembalaan di Pastora

Sistem penggembalaan di pastora yaitu sistem penggembalaan dengan

membiarkan ternak merumput atau melakukan grazing pada suatu lahan yang

ditumbuhi dengan hijauan yang menjadi makanan bagi ternak.

Kelebihannya:

1. Tidak banyak tenaga untuk memberi hijauan ; tidak banyak grain yang

digunakan, untuk memberikan grain yang kuantitasnya relatif sedikit

tenaga yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Pemberian grain bisa

dilakukan dengan cara self feeder

2. Di pastora ternak akan memperoleh ransum yang lebih sempurna

dibanding dengan di- feed lot, karena hijauan segar mengandung protein,

mineral dan vitamin yang baik

3. Bila di pastora cukup tersedia pohon-pohonan, maka investasi untuk

shelter tidak diperlukan

4. Manure disebarkan sendiri oleh ternak

Kelemahannya:

1. Lahan pastora lebih menguntungkan bila ditanami tanaman pangan

2. Pada musim kemarau hijauan yang tersedia tidak bisa memenuhi

kebutuhan

3. Hijauan pastora secara teoritis hanya baik digunakan pada musim hujan

4. Bila hujan terlampau banyak dapat merusak zat-zat yang terkandung

dalam hijauan.

5. Bila pastora permanen, maka manure akan jatuh di tempat atau lapangan

yang sama dari tahun ke tahun

6. Ternak yang dikembangkan di pastora menghasilkan daging yang lebih

sedikit disbanding dengan bobot badannya, hal ini disebabkan daya

susutnya (shrinkage) yang besar.

7. Warna lean-nya terlampau gelap dan lemaknya berwarna kuning (tidak

putih seperti dry lot)

Masalah Penerapan Penelitian Ternak Ruminansia Berjalan Lambat

Penelitian biaya tinggi

Penerapan lamban

Mengapa ?

Ternak petani - struktur sumberdaya Ruminansia tradisional - tujuan petani ternak

FSR

(farming system research)

F Pendekatan holistik F Program hilir (Norman, 1980) F Tahap-tahap pendekatan program hilir

Penelitian ternak : Masalah Kapasitas dan Penerapan

Biaya untuk melakukan penelitian ternak cukup tinggi dan biasanya

penerapan hasil penelitian tersebut lamban. Sebaliknya keuntungan ekonomis

dari program-program penelitian dan penyuluhan peternakan seringkali lambat

disadari, terutama untuk ternak ruminansia besar dengan tenggang waktu yang

panjang antar generasi. Selain itu, sebagian besar ternak di Indonesia dipelihara

oleh petani ternak berukuran kecil dengan lahan dan sumberdaya modal yang

terbatas untuk disisihkan bagi ternaknya. Seringkali ternak merupakan bagian

kecil dari suatu usaha pertanian dan pendapatan total. Pada umumnya ternak

dipelihara dengan berbagai tujuan (De Boer, 1976), oleh karena itu penggunaan

hasil-hasil penelitian tersebut secara cepat jarang tercapai.

Masalah lain adalah bahwa banyak penelitian kurang memperhatikan

struktur sumberdaya dan tujuan para petani ternak yang sesuai dengan sistem

usaha tani kecil dan campuran yang biasa digunakan dalam pemeliharaan

sebagian besar ternak di Asia (Areekul, 1980). Suatu pendekatan penelitian yang

telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini adalah penelitian sistem

pertanian (farming system research). Banyak yang dapat disarankan melalui cara

pendekatan ini, baik dalam merencanakan program penelitian maupun dalam

mencapai alih teknologi yang cepat.

Masalah sumber pakan

Konsensus umum diantara para peneliti, ahli-ahli pembangunan, dan para

petani ternak adalah bahwa terbatasnya sumber pakan merupakan kendala utama

untuk jumlah dan produktivitas ternak (Winrock, 1978; Fitzhugh dan De Boer,

1981; Thang rajah, 1981; Wheeler et al.,1981). Penentuan sumberdaya pakan

sangat sulit karena harus dipertimbangkan dari tingkat nasional, regional dan

tingkat usaha tani. Kualitas pakan hijau-hijauan berserat kasar tinggi yang

dihasilkan di daerah tropis beriklim angin musim menunjukkan adanya variasi

musiman yang tinggi. Terdapat pula banyak bahan pakan non-konvensional dan

data tentang bahan pakan yang demikian biasanya tidak dilaporkan. Akhirnya,

pemberian pakan dengan menggunakan sisa-sisa tanaman pangan yang dilakukan

di tempat peternakan sulit diketahui.

Tanggapan yang tertuju kepada proyek dan bersifat konvensional adalah

mengembangkan padang penggembalaan ternak berdasarkan model barat,

memperkenalkan penggunaan padang penggembalaan bergilir dengan sistem

tanaman tumbuh-tandus yang dilakukan di seluruh Asia yang beriklim angina

musim atau menggunakan makanan pokok untuk strategi persediaan musiman

(Fitzhugh dan De Boer, 1981). Relatif kurang berhasilnya pendekatan seperti

diatas menimbulkan program untuk meningkatkan produktivitas tanah-tanah

penggembalan umum dengan biaya rendah (Wickham et al.,1977), metode

persediaan murah berdasarkan sumber-sumber energi setempat yang bisa di dapat

(Hall dan De Boer, 1977) dan usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas hasil

sampingan dan sisa-sisa tanaman pangan setempat yang dapat digunakan (APO,

1976; Fitzhugh dan De Boer, 1981; NRC, 1981; Tillman, 1981).

Tinjauan produksi ternak tradisional

Crotty (1980) memberikan banyak contoh tentang rencana pengembangan

ternak sapi yang tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan karena dampak

masalah-masalah penilaian tersebut tidak sepenuhnya diperhitungkan. Oleh

karena sebagian besar ternak di Asia dihasilkan dalam kondisi usaha campuran

tanaman pangan-ternak (Humpries, 1980; Winrock, 1981), ini akan melibatkan

suatu komponen kuat pada interaksi tanaman pangan ternak. Bila ini telah

dilakukan pilihan usaha khusus dapat dipertimbangkan.

Ditinjau dari efisiensi teknis, sistem produksi tradisional ternak adalah

suatu sistem yang mempunyai tingkat efisiensi ternak lebih rendah dibandingkan

dengan sector modern dan tetap tidak berubah selama kurun waktu yang lama.

Sistem tradisional biasanya adalah skala usaha kecil dari segi jumlah ternak,

walaupun sistem penggembalaan tradisional di tempat-tempat yang luas dapat

memiliki jumlah yang cukup besar. Jumlah ternak untuk menopang keluarga

jarang melebihi kebutuhan subsistensi. Kelemahan usaha skala kecil adalah tidak

dapatnya produsen perorangan memanfaatkan secara menguntungkan sumberdaya

produksi ternak khusus yang merupakan sumber produktivitas tinggi pada sector

skala besar yang modern.

Pakan pada sistem usaha ternak tradisional pada umumnya dihasilkan di

rumah dan pakan yang dibeli kalau ada jumlahnya sangat sedikit. Ruminansia

yang diberi pakan dengan sistem tradisional yang rendah biayanya cenderung

berlokasi dekat dengan tempat hijauan makanan ternak berserat kasar tinggi

tersedia berlimpah. Produksi ruminansia memerlukan hijauan makanan ternak

berserat kasar tinggi dalam jumlah banyak dan murah, maka luas tanah harus

mencukupi. Hal ini dapat dicapai dengan perluasan pertanian, penggunaan

kembali tanah pada pertanian yang ada, dan intensifikasi produksi hijauan

makanan ternak (De Boer, 1976b)

Farming system research (Norman, 1980):

a. Empat tahap penelitian berturut-turut uraian (diagnostic), perancangan,

percobaan dan penyuluhan

b. penekanan akan keterlibatan para petani dalam memperbaiki sistem

dengan menggunakan sistem terbaik yang ada ditambah dengan paham-

paham baru tentang peningkatan produktivitas

c. Keterlibatan para peneliti dari berbagai ilmu pada semua tahap penelitian

d. Mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi penelitian dan kebutuhan

untuk mengembangkan teknologi berbeda lingkungan utama ekologi dan

sosial ekonomi

e. Kebutuhan untuk memahami keserbagunaan sumberdaya dan rumah

tangga pedesaan sebagai unit produksi dan konsumsi, untuk menjamin

bahwa semua faktor yang relevan dipertimbangkan juga

f. Sifat dinamis dan interaktif proses penelitian dan kebutuhan akan

komunikasi yang berlangsung terus antara petani dan peneliti

g. Pengaruh arus-balik (feed back) yang diberikan oleh penelitian sistem

usaha tani untuk menentukan prioritas program penelitian dasar dan

komoditi

Penelitian SCP (Single Cell Protein) dari Limbah Minyak

Limbah minyak merupakan pemandangan yang tidak asing bagi kita jika

kita berada di kawasan perminyakan. Tumpahan sisa-sisa minyak mentah

tersebut mengotori tanah dan kemudian meresap ke tanah. Secara tidak langsung

limbah ini akan merusak tanah dan tanaman yang ada diatasnya. Tanah menjadi

kering dan tandus, akibatnya unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman juga

akan berkurang sehingga tanaman menjadi layu. Selain di tanah, limbah minyak

juga mengotori udara dan air. Udara di kawasan perminyakan sangat panas dan

timbul bau tidak sedap yang berasal dari buangan pengolahan minyak

(Jawa: lantung). Limbah minyak membuat air menjadi berwarna agak kehitaman

dan tampak warna seperti pelangi serta bau lantung yang menyengat. Pemisahan

limbah minyak dengan air dilakukan pada water treatment, dimana terjadi proses

destilasi yang memisahkan antara air dengan minyak. Namun saat ini water

treatment di Indonesia belum semutakhir yang ada di Jepang. Di Jepang terdapat

secondary system pada water treatment-nya, sehingga air hasil destilasi pada

proses penyaringan pertama masih disaring kembali. Hal ini dilakukan untuk

menghindari kemungkinan air buangan tadi masih mengandung polutan. Di

Indonesia proses tersebut belum dilakukan, sehingga air buangan pabrik

pengolahan minyak masih banyak mengandung polutan.

Menurut BPMIGAS (2005) komposisi minyak bumi yang ditambang

terdiri dari organik karbon yang secara sendiri-sendiri sulit diidentifikasi, tapi

secara umum disebut total petroleum hydrocarbon (TPH). Dijelaskan lebih lanjut

bahwa dilihat dari sudut pandang lingkungan, unsur-unsur paling penting dari

minyak mentah ini adalah: Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX)

yang bersifat toxic, dan Carcinogenic yang dikenal sebagai limbah berbahaya

(B3) dan dicurigai memiliki dampak cukup dahsyat terhadap tanah, air, dan

ekosistem. Fachruddin (2004) menambahkan bahwa senyawa BTEX dari minyak

mentah bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam,

baik di air maupun di darat.

Saat ini sulit sekali untuk menjinakkan limbah minyak ini. Pertambangan

minyak memang banyak mengganggu kelestarian lingkungan, tetapi disisi lain

emas hitam ini sesuatu yang sangat berharga dan sangat dibutuhkan oleh manusia.

Masalah lingkungan tentunya tanggung jawab dari manusia untuk tetap menjaga

kelestariannya, salah satunya dengan mengoptimalkan dari pengolahan limbah

minyak ini menjadi barang yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi kita.

Berbagai penelitian dan upaya terus dilakukan guna menemukan cara paling

efektif mengatasi masalah limbah minyak bumi ini. Salah satu teknologi yang

memberi harapan dan sedang diuji coba saat ini adalah teknologi bioremediasi

(bioremediation). Bioremediasi merupakan proses biologis (bioproses) yang

memanfaatkan bakteri mikrobiologis di dalam proses kerjanya. Selama ini, proses

ini lebih banyak dikenal dan popular digunakan dalam fermentasi pada pembuatan

tape singkong (BPMIGAS, 2005).

Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan

mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah.

Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah

dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri

tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang

dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi. Baru pada tahun

1980-an, bioremediasi mulai dikembangkan penggunaannya pada limbah yang

lebih sulit, misalnya pada kontaminasi tanah. Tapi pada prinsipnya, bioproses

yang digunakan tidaklah berbeda. Pada operasi perminyakan, khususnya lapangan

minyak yang terkontaminasi oleh minyak mentah, pemanfaatan proses

bioremediasi baru sekitar 30% (BPMIGAS, 2005).

Pada tahun 1986 telah dikembangkan pemanfaatan limbah minyak

menjadi pakan ternak berprotein tinggi yang berasal dari bakteri pemakan minyak.

Pakan ini lebih dikenal dengan Single Cell Protein (SCP) yang merupakan tindak

lanjut dari proses bioremediasi. Proses bioremediasi hanya berusaha untuk

menguraikan limbah minyak dan mengurangi jumlah cemarannya di lingkungan.

Sedangkan pembuatan SCP itu sendiri merupakan pemanfaatan dari bakteri

pemakan minyak yang jumlahnya berlebih. Perlu kita ketahui bahwa bakteri akan

hidup optimal pada kondisi dimana kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Bakteri akan

berkembang secara cepat dan pada saat itu bakteri hidup pada fase lag. Pada

proses bioremediasi bakteri akan dikondisikan sedemikian rupa sesuai dengan

kebutuhannya, hal ini memungkinkan bakteri untuk berkembang pesat dan

akhirnya terjadi over population. Jumlah bakteri yang berlebih justru akan dapat

mengancam kita karena sifatnya pemakan minyak, maka mungkin saja tidak

hanya limbah yang diuraikan tetapi juga minyak yang kita butuhkan.

Pakan dari bakteri pemakan minyak ini diperuntukkan untuk ternak

ruminansia. Ternak ruminansia merupakan hewan berlambung ganda dimana

didalamnya terdapat mikroorganisme yang bertugas sebagai pendegradasi serat

kasar yang berbentuk lignoselulosa atau hemiselulosa menjadi VFA (Volatyl

Fatty Acid). VFA atau asam lemak mudah terbang terdiri atas asam asetat,

propionat dan butirat dimana masing-masing mempunyai persentase yang

berbeda. Pada sapi pedaging propionat lebih mendominasi sedangkan asam asetat

lebih banyak dihasilkan oleh sapi perah karena berkaitan dengan tampilan kadar

lemak susu yang dihasilkan. SCP sendiri berperan sebagai tambahan nutrient

untuk mikroorganisme yang berada dalam rumen agar senantiasa bisa

menghasilkan VFA yang optimal. Jumlah VFA yang optimal dapat dilihat pada

tampilan produksi ternak itu sendiri. Jadi peranan mikroorganisme ini sangat

menentukan tingkat produktivitas ternak.

Selama ini ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan kambing

kebutuhannya hanya dipenuhi dari hijauan saja. Mungkin ada beberapa yang

sudah menggunakan pakan tambahan seperti konsentrat tetapi konsentrat dengan

kandungan protein tinggi akan sangat mahal harganya dan ini membuat peternak-

peternak tradisional tidak mampu memberikan pakan dengan kualitas tinggi.

Penelitian mengenai pemberian SCP pada ternak sapi ini hanya berjalan dalam

jangka waktu yang tidak lama. Aplikasi dari penelitian ini belum dilaksanakan

sepenuhnya dan hanya sebagai percontohan saja. Sayang sekali apabila

penelitian yang menghasilkan aset berharga ini tidak dikembangkan. SCP

merupakan pakan alternatif yang ditawarkan kepada peternak tradisional

khususnya di kawasan perminyakan untuk meningkatkan produktivitas ternaknya

PEMBAHASAN

Potensi Kawasan Perminyakan

Menurut data BPS kabupaten Blora terletak pada ketinggian 36 mm dpl

dengan suhu harian rata-rata 25-29 0C dan kelembaban relatif 73-86%. Kawasan

perminyakan di Kabupaten Blora tersebar di tiga tempat yaitu Cepu, Ledok dan

Nglobo. Daerah yang paling berpotensi untuk ternak sapi yaitu daerah Nglobo,

selain itu juga ada beberapa ekor kambing PE (Peranakan Ettawa) yang

dipelihara oleh penduduk. Daerah Nglobo merupakan kawasan pengeboran

minyak yang dikelilingi oleh hutan dan pemukiman penduduk. Mata pencaharian

yang dominan penduduk di sana adalah petani. Usaha yang dijalankan petani di

sana yaitu sistem pertanian campuran (Mix Farming). Beberapa petani kecil

memelihara beberapa ekor sapi dengan maksud digemukkan dengan bahan pakan

yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertaniannya.

Rata-rata setiap petani memiliki ternak sapi 1 hingga 5 ekor tetapi bahkan

ada yang memiliki hingga 15 ekor. Ternak hanya digunakan sebagi tabungan dan

sambilan saja. Ternak digembalakan pagi dan sore di tanah lapang di sekitar

tangki-tangki minyak di dalam kawasan perminyakan. Ada beberapa tempat yang

tidak boleh digunakan oleh untuk menggembalakan ternak karena ada jurang atau

mesin yang sedang beroperasi sehingga bisa membahayakan ternak. Pakan yang

diberikan pada ternak hanya berupa hijauan saja, pakan tambahan tidak diberikan

karena mereka tidak mampu untuk membelinya bahkan jika diberikan jumlahnya

juga sangat sedikit misalnya comboran dari dedak.

Sesuatu yang menarik dari peternak tradisonal di Nglobo ini adalah ternak

mereka tampak sehat dan jarang sakit, disisi lain ternak mereka hanya diberi

pakan hijauan saja dan hijauan itu pun diperoleh dari sekitar tempat pengeboran

minyak dan tangki-tangki penampungnya. Menurut Parakkasi (1999), ternak

yang digembalakan di pastora akan mendapat pakan yang sempurna karena

hijauan segar mengandung protein, vitamin dan mineral yang baik. Namun

kondisi hijauan disana tentu saja tidak sama dengan yang dimaksud pada

pernyataan tersebut. Tanah disekitar kawasan tersebut telah terkontaminasi

dengan minyak dan kemungkinan telah terserap oleh tanaman disekitarnya.

Apabila tanaman-tanaman tersebut terkonsumsi oleh ternak maka akan berdampak

pada kondisi fisiologisnya. Telah disebutkan bahwa minyak mengandung

Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX) yang bersifat toksik dan

karsinogenik (BPMIGAS, 2005). Senyawa-senyawa ini bisa terkonsumsi ternak

melalui hijauan yang termakan saat ternak digembalakan atau hijauan yang

diberikan oleh peternak bila hijauan tersebut dipotong disekitar tempat yang

terkontaminasi oleh minyak. Efek lingkungan dari kawasan perminyakan ini

tidak terlalu dirasakan oleh para peternak karena mereka tidak mengetahui bahwa

limbah dari pengeboran minyak bisa membawa dampak negatif bagi ternaknya.

Alternatif Pola Pengembangan

Kebutuhan daging akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya

jumlah penduduk di Negara kita. Namun peningkatan kebutuhan daging ini tidak

seimbang dengan populasi ternak yang ada. Telah disebutkan sebelumnya bahwa

menurut Ditjennak (1999) kekurangan produksi daging nasional sekitar 90 %

dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang menggunakan sapi bakalan

impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor. Selama ini kebutuhan

hanya dipenuhi dari peternak lokal dengan populasi yang kecil. Untuk itu perlu

dikembangkan sistem usaha ternak yang maju, efisien dan tangguh serta

berorientasi pada profitabilitas.

Berkaitan dengan hal tersebut, daerah Nglobo merupakan salah satu lokasi

yang representatif untuk didirikan sebuah farm yang bergerak dalam usaha

penggemukan sapi potong. Dasar pemikiran dalam pengambilan lokasi di daerah

Nglobo yaitu :

1. Daerah Nglobo berpotensi untuk menghasilkan ternak sapi potong yang

produktif. Populasi ternak sapi di daerah Nglobo terhitung cukup banyak,

hampir setiap penduduk memiliki ternak sapi meskipun jumlahnya tidak

seragam.

2. Kawasan perminyakan mempunyai aset berharga yaitu sumber bahan

pakan berprotein tinggi berupa SCP (Single Cell Protein). Pakan tersebut

bisa dijadikan pakan alternatif untuk diberikan pada ternak. Disamping

itu juga membantu para petani ternak dalam penyediaan pakan berkualitas

tinggi. Dengan begitu penerapan dari penelitian mengenai SCP telah

dilakukan sehingga penelitian tersebut tidak hanya tersimpan rapi sebagai

hidden knowledge tetapi main goal dari penelitian tersebut juga benar-

benar tercapai yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

produktivitas ternak.

3. Pendapatan per kapita penduduk di daerah Nglobo kebanyakan masih

dibawah rata-rata. Mata pencaharian pokok penduduk Nglobo adalah

petani dan memelihara ternak hanya sebagai usaha sambilan. Salah satu

alternatif untuk meningkatkan pendapatan penduduk Nglobo yaitu dengan

mengoptimalkan pemeliharaan ternak yang semula bersifat konvensional

beralih menjadi usaha komersial yang berorientasi pada profitabilitas dan

potensi pasar.

4. Lahan di daerah Nglobo masih banyak yang terbengkalai, belum banyak

lahan yang dimanfaatkan secara optimal. Tersedianya lahan mendukung

didirikannya usaha ternak sapi potong. Lahan selain berfungsi sebagai

media hidup ternak tetapi juga sebagai media tumbuhnya hijauan makanan

ternak. Sebagian lahan yang ada bisa digunakan peternak sebagai pastura

yang bisa ditanami dengan rumput maupun legume.

Kendala-kendala yang dihadapi untuk mengembangkan usaha peternakan di

kawasan perminyakan antara lain :

1. Keadaan agroekologi kawasan perminyakan.

Suhu rata-rata di kawasan perminyakan 25 – 29 0C dengan

kelembaban relatif 73-86%. Kondisi demikian kurang mendukung

kehidupan ternak. Zone comfort untuk ternak sapi berkisar 22,5 – 27 0C

dengan kelembaban relatif maksimal 80%. Apabila ternak dipelihara

pada dibawah atau diatas kisaran tersebut maka ternak akan menderita

cekaman dingin atau cekaman panas. Cekaman yang diderita akan

menyebabkan ternak menjadi stress. Pada kondisi yang stress ternak akan

mengubah pola konsumsinya sehingga berubah pula tampilan

produksinya. Saat ternak mengalami cekaman panas, ternak akan

cenderung mengurangi konsumsinya dan banyak minum untuk mengatur

panas tubuhnya. Sebaliknya, pada saat ternak menderita cekaman dingin

maka konsumsinya akan meningkat untuk mempertahankan panas

tubuhnya.

Lahan di sekitar kawasan perminyakan merupakan lahan yang kurang

subur. Pada tanah yang kurang subur, unsur hara yang terkandung

jumlahnya terbatas. Perlu penanganan intensif untuk mengolah lahan

kering menjadi lahan yang produktif. Di samping itu pemilikan lahan

yang relatif, tersebar dan banyak diantaranya yang masih terisolir

merupakan kendala untuk mengembangkan usaha peternakan yang

intensif.

2. Kendala sumberdaya manusia dan ketrampilan petani masih sangat kurang

dan itu berkaitan dengan kondisi sosio-ekonomi para petani.

Petani mempunyai ketrampilan yang kurang dan kurang berorientasi

pada pasar. Untuk mengusahakan semua kebutuhannya terpenuhi, petani

cenderung melakukan berbagai macam usaha dan merasa puas jika

hasilnya dapat dinikmati sendiri, jadi tidak ada komoditas unggulan yang

diandalkan dan diperlukan oleh pasar.

3. Pemeliharaan ternak oleh petani masih dalam skala rumah tangga.

Pemilikan ternak oleh petani relatif dalam jumlah yang kecil dan

semuanya masih dikembangkan secara tradisional. Ternak hanya sebagai

tabungan saja, dan sebagai cadangan apabila petani mengalami gagal

panen.

Dari gambaran diatas, bisa disimpulkan bahwa untuk mengembangkan

suatu usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan diperlukan penanganan

yang intensif agar tercipta suasana yang kondusif untuk didirikan usaha

peternakan yang perspektif. Mengingat kemampuan modal dan ketrampilan

petani terbatas, maka dalam pengembangan usaha ini petani memerlukan mitra

Perguruan tinggi Badan Litbang

Inovasi Teknologi “PST dari Limbah Minyak”

kerja. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterlibatan dari pihak pemerintah,

swasta dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Alternatif pola pengembangan

di kawasan perminyakan digambarkan dengan ilustrasi berikut ini.

ALTERNATIF POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN

RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN

PERMINYAKAN

Pemerintah

Swasta

BUMN

ADOPSI

TEKNOLOGI

CHANGE AGENT

(Petugas penyuluh)

Penyuluhan Pengenalan teknologi Teaching Farm Training

Petani ternak - lahan - ternak

Produktivitas ternak meningkat

Pendapatan petani ternak meningkat

Modal Ternak Pakan Peralatan Pemasaran

Meningkatkan produksi daging

Tiga Aktor Pemerintah, Swasta dan BUMN

Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan

perubahan-perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan

mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang,

yang dilaksanakan oleh pemerintah yang didukung oleh partisipasi masyarakatnya

dengan menggunakan teknologi terpilih (Mardikanto, 1993). Dari pengertian

tersebut tampak bahwa pemerintah merupakan aktor yang memegang peran utama

dalam melaksanakan pembangunan. Tugas pokok pemerintah yaitu

meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan pemerintah sendiri membutuhkan

dukungan dari rakyatnya untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

Pada diagram alur diatas ditunjukkan bahwa pemerintah bekerjasama

dengan pihak swasta dan BUMN mempunyai peran ganda yang sangat esensial

dalam pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan.

Pemerintah bekerjasama dengan swasta dan BUMN membantu dalam

pengembangan teknologi yaitu teknologi bioremediasi yang memanfaatkan

bakteri pemakan minyak. Proses bioremediasi sebenarnya telah dikembangkan

dan diuji-coba di berbagai negara sejak tahun 1980-an , khususnya di Amerika

Serikat. Di Indonesia sendiri, aplikasi bioremediasi masih dalam tahap

pengembangan. Menurut LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri) ITB,

PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex) merupakan perusahaan eksplorasi dan

produksi migas yang memelopori penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia.

Bermula dari partisipasi Caltex pada sebuah seminar internasional

mengenai bioremediasi tahun 1994. Caltex adalah perusahaan Kontraktor Kontrak

Kerja Sama (KKS) BPMIGAS yang beroperasi di Riau sejak tahun 1950-an.

Sejak tahun 1994, Caltex mulai melakukan uji coba bioremediasi pada tanah yang

mengandung minyak di lapangan Minas yang memproduksi minyak ringan

(Sumatran Light crude oil/SLC). Minas dipilih karena dalam kegiatan produksi di

lapangan minyak itu, terbawa juga tanah yang mengandung minyak ke atas

permukaan bumi. Caltex juga melibatkan pihak-pihak lain seperti: Lemigas

(Lembaga Penelitian Minyak dan Gas), ITB, serta mahasiswa-mahasiswa tingkat

pascasarjana dan doktoral untuk menilai dan mengevaluasi lokasi kegiatan dan

kinerja bioremediasi dalam pelaksanaan uji coba. Penelitian-penelitian yang

dilakukan menyangkut: aspek-aspek teknis dan manajemen, dan untuk

mendapatkan masukan serta gambaran menyeluruh mengenai bioremediasi di

Minas bagi pertimbangan BAPEDAL terhadap aplikasinya. Dari uji coba ini

diperoleh prospek yang baik untuk dapat diterapkan secara lebih luas

(BPMIGAS, 2005). Hasil pengembangan lebih lanjut dari proses bioremediasi ini

adalah SCP (Single Cell Protein) untuk pakan ternak. Sudah menjadi kewajiban

dari pihak pemerintah untuk mensosialisasikan temuan ini kepada para peternak.

Jalur sosialisasi yang bisa ditempuh oleh pemerintah yaitu melalui penyuluhan

kepada para petani ternak.

Kerja sama Peneliti dan Agen Penyuluhan

Penelitian di bidang peternakan sering dilakukan dan biaya yang

dikeluarkan juga tidak sedikit, namun penerapan dari hasil penelitian tersebut

sangat terbatas sekali. Hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah

terkesan hanya sebagai suatu persyaratan untuk mempromosikan suatu organisasi

atau instansi. Para peneliti cukup puas dengan pujian dari sesama peneliti

mengenai hasil penelitiannya dan tidak sadar sumbangan apa yang telah dia

diberikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Hal

ini terjadi karena lemahnya hubungan antara peneliti dengan agen penyuluh.

Penerapan hasil penelitian jarang yang terlaksana karena lemahnya komunikasi

antara pihak peneliti dan petugas penyuluh, di lain pihak petugas penyuluh yang

langsung terjun ke lapangan mempunyai kemampuan pengetahuan dan

pemahaman yang terbatas dibandingkan para peneliti, karena kurangnya sarana

transportasi dan pekerjaan tulis-menulis yang mengikat mereka di belakang meja

(Van den Ban dan Hawkins, 1999).

Dengan adanya kerja sama antara pihak penyuluh dan peneliti maka

diharapkan aplikasi dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat

memberikan kontribusi berupa solusi alternatif untuk memecahkan permasalahan

di kalangan petani. Kerjasama yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan

analisis bersama mengenai permasalahan yang dihadapi oleh para petani ternak.

Analisis ini dapat dilaksanakan dengan pendekatan FSR (Farming System

Research) dimana diperlukan keterlibatan tim peneliti dari berbagai ilmu pada

setiap tahap penelitian untuk mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi

penelitian dan kebutuhan untuk mengembangkan teknologi berbeda bagi

lingkungan utama ekologi dan sosio-ekonomi. Kemudian tindak lanjut dari

kegiatan analisis ini adalah dilakukannya percobaan lapangan. Percobaan

lapangan ini merupakan tanggung jawab bersama antara peneliti dan agen

penyuluhan. Peneliti berperan untuk menentukan percobaan apa yang paling

diperlukan dan hasil-hasil yang mungkin didapat berdasarkan hasil penelitian atau

teori di lembaga mereka, sedangkan agen penyuluh memberikan gambaran kepada

peneliti mengenai kondisi petani, karena agen penyuluhan lebih mengetahui

informasi dan pengalaman apa saja yang dimiliki oleh petani.

Sementara itu pada percobaan lapangan, peneliti bertugas untuk

merencanakan rancangan penelitian yang baik serta menganalisis data yang

diperoleh, sedang agen penyuluh lebih banyak terjun ke lapangan. Agen

penyuluh bertugas mengawasi percobaan lapangan secara langsung dan

mengadakan observasi yang diperlukan. Dengan kerjasama ini diharapkan adanya

pembangunan pertanian yang mantap di wilayah tersebut dan tujuan dari

pembangunan akan tercapai sehingga kesenjangan antara pihak peneliti dan

penyuluh tidak lagi terjadi.

Kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh untuk mengadakan

percobaan lapangan, bisa diterapkan di daerah Nglobo sebagai langkah awal

untuk pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan tersebut. Adapun

percobaan lapangan yang bisa dilakukan adalah percobaan biologis menggunakan

ternak sapi sebagai ternak percobaan. Treatment yang dilakukan yaitu pemberian

pakan konsentrat dengan campuran SCP (Single Cell Protein) yang dihasilkan

dari olahan bakteri pemakan minyak. Parameter yang bisa diamati yaitu ADG

(Average Daily Gain), Feed Convertion dan Feed Cost per Gain. ADG yaitu

pertambahan bobot badan harian yang dicapai oleh ternak dan dapat diketahui dari

selisih dari bobot badan awal dan bobot badan akhir. Feed Convertion yaitu

jumlah pakan yang diperlukan oleh ternak untuk menghasilkan 1 kg daging dalam

hal ini adalah sapi pedaging, dan diketahui dari hasil perbandingan bobot badan

yang dicapai dengan jumlah pakan yang terkonsumsi ternak. Sedangkan Feed

Cost per Gain yaitu banyaknya biaya pakan yang dibutuhkan untuk setiap

peningkatan bobot badan ternak. Pihak penyuluh bertugas mengawasi

pelaksanaan percobaan tersebut misalnya dengan mengarahkan peternak

mengenai cara pemberian pakan campuran konsentrat dengan SCP, mengambil

data yang ada di lapangan, sedang pihak peneliti bertugas untuk menganalisis data

yang diperoleh dari agen penyuluh. Kerja sama yang baik antara peneliti dan

agen penyuluh menghasilkan tim yang solid, sehingga mampu menggerakkan

kembali roda usaha peternakan kita yang terkesan lamban.

Peran Penyuluh Sebagai Change Agent

Penyuluhan merupakan salah satu sarana untuk membantu masyarakat

desa mencapai kehidupan yang lebih layak, khususnya melalui pemanfaatan hasil-

hasil penelitian dan perealisasian kebijakan pembangunan pertanian (Van den Ban

dan Hawkins, 1999). Melalui penyuluhan diharapkan adanya perubahan perilaku

dari masyarakat. Perubahan perilaku yang bisa menuntun masyarakat untuk

menjadi lebih baik. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengubah

perilaku dari masyarakat petani, karena mengubah perilaku seseorang tidak

semudah untuk membalikkan tangan. Masyarakat petani yang ada di desa tidak

akan menerima begitu saja kehadiran para petugas penyuluh, bahkan tidak sedikit

petugas penyuluh yang mendapat tanggapan kurang menyenangkan dari para

petani. Posisi yang demikian itulah yang menjadi tantangan bagi setiap petugas

penyuluh.

Menurut salah satu petani ternak di daerah Nglobo, di desa mereka belum

pernah diadakan kegiatan penyuluhan, yang ada hanyalah mantri hewan. Mantri

hewan tersebut bertugas memeriksa ternak yang sakit dari para petani hanya jika

ada pengaduan dari petani. Petani jarang memanggil mantri hewan karena jarak

rumah mantri dengan rumah mereka sangat jauh, bahkan jika ternak mereka sakit

tidak mantri hewan yang dipanggil melainkan dukun yang dipercaya bisa

mengobati hewan dan hanya diberikan garam. Gambaran kondisi diatas

diharapkan bisa membuka mata dari pemerintah bahwa daerah Nglobo sangat

menantikan sentuhan dari para petugas penyuluh, mengingat potensi ternak dari

daerah tersebut besar. Selama ini pemerintah kurang tahu dan tanggap mengenai

potensi daerahnya sendiri, di lain pihak program kerja dengan target pertumbuhan

ekonomi selalu menjadi prioritas utama.

Pemerintah bisa mengandalkan peternakan sebagai sumber pendapatan

daerah bila peternakan yang didirikan dikelola dengan manajemen yang tepat,

mulai dari manajemen pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan hewan hingga

manajemen pemasaran. Bila hal ini diterapkan di daerah Nglobo, maka

pemerintah akan mengalami kesulitan menerapkan manajemen tersebut karena

petani ternak di daerah Nglobo belum siap dengan semua itu. Dibutuhkan

peternak yang trampil dan berbekal pengetahuan yang cukup untuk mengelola

peternakan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah agen untuk mengubah

perilaku peternak agar peternak menjadi trampil, memiliki pengetahuan yang

cukup sehingga mampu mengelola ternaknya agar produktivitasnya menjadi

semakin meningkat.

Alternatif metode penyuluhan yang bisa dilakukan bagi petani ternak di

daerah Nglobo yaitu metode Individu-kunci (Key Person) / Kontak- tani.

Individu–kunci (Key Person) adalah individu yang maju (inovatif), yang bersedia

bekerja sama sebagai rekan sekerja penyuluh untuk melaksanakan kegiatan

penyuluhan bagi warga masyarakat sekitar terutama di lingkungannya sendiri.

Jadi sasaran utama dari petugas penyuluh adalah individu-kunci yang biasanya

menjadi pimpinan lembaga-lembaga sosial (kelompok/organisasi) dan diakui

masyarakatnya sebagai panutan yang baik. Kemudian diharapkan dari individu-

individu kunci tersebut meneruskan penyuluhan kepada seluruh warga

masyarakatnya. Metode seperti ini lebih efisien karena penyuluh tidak perlu

berhadapan langsung dengan seluruh warga masyarakat, sehingga sangat

menghemat waktu dan biaya yang seringkali menjadi kendala untuk

melaksanakan kegiatan penyuluhan. Seperti di desa Nglobo, untuk menuju

rumah penduduk, kita harus menempuh perjalanan yang jauh terlebih harus

melewati kawasan perminyakan dan hutan jati. Jadi faktor geografis merupakan

kendala bagi para penyuluh untuk dapat terjun langsung menemui peternak.

Namun tidak dipungkiri, jika petugas penyuluh ingin melihat secara langsung

keadaan di lapangan untuk benar-benar meyakinkan para petani ternak mengenai

informasi yang mereka peroleh dari individu-kunci tadi.

Selain itu penyuluhan metode individu kunci lebih efektif, karena

penyuluhan yang dilakukan oleh individu-kunci lebih cepat diterima atau

dipercayai oleh masyarakat setempat yang karena individu sudah dikenal dan

diakui sebagai panutan yang baik. Apabila penyuluhan dilakukan oleh petugas

penyuluh sendiri maka warga setempat akan sulit menerima dan mempercayainya

karena informasi didapatkan dari orang luar lingkungannya yang belum mereka

kenal. Hambatan mungkin dihadapi oleh pelaksanaan metode ini yaitu sulit untuk

menemukan key person tersebut. Tidak semua individu kunci yang digunakan

penyuluh mendapat sambutan yang baik dari tokoh masyarakat setempat.

Alternatif yang bisa dilakukan penyuluh yaitu dengan menanyakan langsung

kepada warga setempat tentang siapa yang dianggap berpengaruh/ panutan yang

baik dari sebagian besar masyarakat di lingkungan tersebut, kemudian setelah

diketahui individu kunci yang terpilih tadi dikonsultasikan dengan tokoh formal

atau dengan pejabat setempat.

Materi penyuluhan yang bisa diberikan yaitu mengenai teknik budidaya

ternak sapi dan hijauan makanan ternak, cara pemilihan bibit unggul, penggunaan

sapronak, pemberian pakan yang berkualitas dan teknologi pascapanen.

Termasuk didalamnya mengenai masalah sosial ekonomi peternakan yang

meliputi ekonomi produksi, pemasaran hasil serta membuat perencanaan usaha

sendiri. Materi diberikan secara bertahap dan berkelanjutan, karena melihat

kondisi penduduk desa Nglobo yang status pendidikannya rata-rata masih rendah,

jadi perlu waktu yang agak lama untuk memahami materi yang belum pernah

mereka dapatkan sebelumnya.

Setelah petani ternak dirasa sudah bisa menerima materi penyuluhan,

maka untuk lebih membuat petani semakin mempercayai materi yang

disampaikan, langkah selanjutnya yaitu pelaksanaan demonstrasi oleh petugas

penyuluh. Demonstrasi yaitu menunjukkan, membuktikan atau meragakan

sesuatu yang nyata agar orang lain mempercayainya (Mardikanto, 1993). Metode

demonstrasi yang dilaksanakan pada tahap awal yaitu Demplot (Demonstrasi

plot). Demplot ini dilaksanakan oleh kontak tani dan keluarganya dengan lahan

kurang lebih 0,1 Ha. Materi yang dilakukan misalnya dengan cara menanam

rumput gajah, cara pemupukan serta teknologi pengawetan hijauan seperti Silase

dan pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami untuk diamoniasi, karena di

daerah Nglobo merupakan daerah yang panas dan kering sehingga sulit untuk

mendapatkan hijauan untuk pakan ternak. Dengan pelaksanaan Demplot ini

diharapkan para petani ternak semakin percaya karena dengan melihat mereka

akan dapat mengetahui secara langsung bukti-bukti nyata apa yang selama ini

mereka terima. Pada pelaksanaan demonstrasi, diharapkan timbul minat pada

setiap diri peternak, karena mereka bisa mengevaluasi dan mempertimbangkan

keuntungan yang bisa diperoleh dengan cara yang baru mereka terima disbanding

dengan cara lama yang dulu mereka lakukan.

Setelah timbul minat, maka langkah berikutnya yaitu mendirikan sebuah

kandang percontohan(Teaching Farm) sebagai pengembangan dari demplot tadi.

Kandang percontohan ini mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada yang

digunakan pada saat demplot. Kandang percontohan bisa diambil dari percobaan

lapangan yang merupakan hasil kerjasama antara peneliti dengan agen

penyuluhan. Setelah percobaan selesai dan mendapatkan hasil yang bagus, maka

bisa diterapkan lebih lanjut oleh para peternak dengan menggunakan fasilitas telah

ada di kandang percontohan tersebut. Penyuluh bisa melakukan training bagi

sebagian petani ternak untuk mempraktekkan materi yang telah mereka dapatkan.

Bagi petani ternak pria lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang berkaitan

dengan ternak pengolahan lahan yang akan ditanami rumput gajah sebagai

tanaman makan ternak, sedangkan untuk kaum wanita lebih banyak membantu

untuk pemeliharaan rumput gajah, membuat silase atau pengawetan jerami dengan

cara amoniasi pada saat musim hujan, karena pada musim hujan produksi hijauan

mengalami surplus sedangkan pada musim kemarau petani ternak sulit

mendapatkan hijauan, jadi pengetahuan tentang pengawetan hijauan kepada petani

ternak sangat diperlukan sekali.

Training atau pelatihan bagi para petani ternak akan semakin menambah

ketrampilan dan pengetahuan mereka, paling tidak mereka sudah paham dan

mampu melaksanakan apa yang telah mereka dapatkan. Setelah materi terdahulu

sudah bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh petani ternak, maka

penyuluh bisa memberikan tambahan materi seperti pengenalan teknologi SCP

dan pembuatan pupuk dari kotoran ternak mereka. Pengenalan teknologi ini

tentunya juga dilakukan secara bertahap karena materi ini setingkat lebih tinggi

dari materi sebelumnya, jadi mungkin petani ternal lebih sulit untuk mencernanya.

Untuk memudahkan penyampaiannya, penyuluh bisa menggunakan gambar atau

film documenter mengenai manfaat SCP dan proses pembuatan pupuk dari

kotoran ternak sapi. Dengan media visual yang ditampilkan, diharapkan

mempermudah penyuluh untuk menyampaikan informasi tersebut kepada petani

ternak. Dari pengenalan teknologi ini diharapkan petani ternak mau dan mampu

untuk mengadopsi inovasi teknologi yang telah disampaikan. Proses adopsi ini

membutuhkan kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh, pihak peneliti

lebih menguasai mengenai inovasi teknologi yang disampaikan sedang agen

penyuluh membantu meyakinkan petani, hingga petani bisa mengadopsi teknologi

yang disampaikan kepadanya.

Pemasaran Produk

Setelah petani ternak dirasa sudah cukup mandiri, trampil dan mampu

mengadopsi teknologi dengan baik, maka giliran pemerintah untuk membantu

petani ternak untuk mengembangkan usaha peternakan. Petani ternak mampu

menyediakan lahan dan beberapa ekor ternak sapi, sedangkan pemerintah bisa

membantu dengan memberikan modal dengan kredit lunak, penyediaan sapronak

dan membantu petani ternak untuk memasarkan ternaknya. Selama ini petani

ternak menjual ternaknya melalui blantik tanpa memperhitungkan biaya produksi

yang dikeluarkan. Peternak cukup puas bila harga sapi dengan harga bibit yang

dibeli dulu mempunyai selisih yang agak besar, dengan begitu peternak sudah

merasa untung. Petani ternak mematok harga ternak pada nominal tertentu sesuai

dengan kondisi fisik ternak secara umum tanpa ada penimbangan terlebih dahulu.

Pemerintah bisa membantu petani ternak dalam memasarkan hasil ternaknya,

misal dengan pemotongan ternak di RPH milik pemerintah, dari RPH maka

produk yang dipasarkan berupa daging, jeroan (viscera), atau hasil ikutan ternak

lainnya seperti kulit dan darah.

Pemotongan hewan khususnya sapi, peternak di daerah Nglobo bisa

mengirimkan ternaknya ke RPH yang ada di Cepu. Peluang bagi peternak daerah

Nglobo untuk menjual ternaknya ke RPH Cepu, selain jalur transportasi mudah

juga jarak yang dekat sehingga tidak membuat ternak stress dalam perjalanan.

Hasil pemotongan tersebut bisa dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan daging

masyarakat sekitar kecamatan Cepu bahkan seluruh masyarakat yang ada di

kawasan kabupaten Blora. Dengan demikian selain bisa meningkatkan kualitas

gizi masyarakat khususnya yang ada di kawasan kabupaten Blora, pendapatan

petani ternak yang ada di Nglobo menjadi meningkat, setelah terjadi perubahan

perilaku dalam mengembangkan usaha peternakannya. Semakin meningkatnya

pendapatan petani ternak, maka modal pinjaman dari pemerintah akan semakin

cepat pula dikembalikan, sehingga dana dari pemerintah juga akan segera bisa

dialokasikan untuk kepentingan yang lain. Peternakan rakyat yang dikembangkan

di daerah Nglobo bisa dijadikan sumber pendapatan daerah khususnya kabupaten

Blora, apabila usaha peternakan tersebut sudah semakin maju dan mampu untuk

melakukan ekspansi keluar. Dengan demikian pendapatan daerah kabupaten

Blora bisa meningkat, karena ada tambahan pemasukan dari sektor peternakan.

PENUTUP

Kesimpulan

Pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan yang

berwawasan lingkungan yaitu pola budidaya ternak dimana kebutuhan ternak

dipenuhi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya namun tetap

dengan memperhatikan aspek konservasi, sumber daya alam yang digunakan tidak

rusak dan tetap terpelihara. Pengembangan usaha peternakan di kawasan

perminyakan Nglobo tidak akan berhasil tanpa melibatkan unsur pemerintah,

swasta dan BUMN. Dengan didirikannya usaha peternakan rakyat di daerah

Nglobo, maka akan dapat meningkatkan pendapatan petani ternak dan secara

tidak langsung membantu pemerintah terutama dalam sektor perekonomian.

Saran

Pada kenyataannya alternatif pola pengembangan usaha peternakan rakyat

di kawasan perminyakan akan banyak menemui hambatan-hambatan terutama

dalam masalah finansial dan dari pihak petani ternak sendiri, untuk

mengantisipasi hal itu diperlukan perencanaan yang matang dan pertimbangan

dalam berbagai aspek sehingga penerapan teknologi yang dilakukan benar-benar

sesuai dengan potensi SDA, SDM dan potensi pasar. Kerjasama yang baik antara

pihak peneliti dan penyuluh sebaiknya selalu dijaga karena hubungan yang efektif

antara para peneliti di bidang peternakan dan agen penyuluhan akan membantu

pemerintah dalam meningkatkan pembangunan pertanian khususnya di sektor

peternakan. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa diharapkan peran

aktifnya, terutama dalam menggali potensi daerahnya agar setelah lulus nanti akan

tercetak sarjana-sarjana sebagai Jobmaker, sehingga mampu menciptakan

lapangan kerja bagi para Jobseeker.

DAFTAR PUSTAKA

POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN

KABUPATEN BLORA

KARYA TULIS MAHASISWA

Oleh :

Yuni Primandini H2C 002 181

JURUSAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2005

KATA PENGANTAR