model prediksi retak pada beton bertulang akibat...
TRANSCRIPT
i
DISERTASI – RC143505
MODEL PREDIKSI RETAK PADA BETON BERTULANG AKIBAT KOROSI TIDAK SERAGAM KARENA INFILTRASI KLORIDA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN SIKLUS BASAH DAN KERING
WAHYUNIARSIH SUTRISNO 3113301015 PROMOTOR: Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D. Endah Wahyuni, ST., M.Sc., Ph.D. Data Iranata, ST., M.T., Ph.D. PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN STRUKTUR JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Disertasi disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
Teknik Sipil (Dr)
di
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh
Wahyuniarsih Sutrisno
NIP.3113 301 015
Tanggal Ujian : 27 Juli 2017
Periode Wisuda : September 2017
Disetujui Oleh:
1. Prof. Ir. Priyo Suprobo M.S., Ph.D (Promotor)
NIP: 195909111984031001
2. Endah Wahyuni ST., M.Sc., Ph.D (Co-Promotor)
NIP: 197002011995122001
3. Data Iranata ST., M.T., Ph.D (Co-Promotor)
NIP: 198004302005011002
4. Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi M.S, DEA (Penguji)
NIP: 195609171986031003
5. Lukman Noerochim ST., M.Sc.Eng., Ph.D (Penguji)
NIP: 197713032003121001
6. Prof. Dr. Ir. I Gusti Putu Raka, DEA (Penguji)
NIP: 195004031976031003
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Ir. Purwanita Setijanti M.Sc., Ph.D.
NIP. 195904271985032001
v
MODEL PREDIKSI RETAK PADA BETON BERTULANG AKIBAT
KOROSI TIDAK SERAGAM KARENA INFILTRASI KLORIDA DENGAN
MEMPERTIMBANGKAN SIKLUS BASAH DAN KERING
Nama mahasiswa : Wahyuniarsih Sutrisno
NRP : 3113301015
Promotor : Prof. Ir. Priyo Suprobo MS., Ph.D
Co-Promotor : 1. Endah Wahyuni ST., M.Sc., Ph.D
: 2. Data Iranata ST., MT., Ph.D
ABSTRAK
Korosi merupakan salah satu permasalahan durabilitas yang dapat menyebabkan
kerusakan pada struktur beton bertulang. Proses perbaikan dan perawatan struktur beton bertulang
akibat korosi merupakan proses yang cukup sulit dan mahal untuk dilakukan. Oleh karena itu,
diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi keretakan pada beton
bertulang akibat korosi. Terdapat dua masalah utama dalam pengembangan pemodelan retak pada
beton akibat korosi yaitu tidak dipertimbangkannya durasi basah dan kering serta masih
digunakannya asumsi korosi seragam.
Korosi pada daerah percikan memiliki mekanisme infiltrasi klorida yang berbeda bila
dibandingkan pada daerah fully submerged. Pada daerah percikan, beton mengalami sikus basah
dan kering sehingga mekanisme infiltrasi klorida sangat tergantung pada durasi basah dan kering.
Penelitian yang ada selama ini terkait pemodelan korosi maupun keretakan akibat korosi belum
mengakomodasi perbedaan konfigurasi durasi basah dan kering sebagai suatu variabel yang dapat
mempengaruhi kecepatan masuknya klorida pada beton. Selain permasalahan terkait dengan
siklus basah dan kering, permasalahan lain yang sering timbul pada pemodelan retak akibat korosi
adalah persebaran karat. Pada penelitian sebelumnya, para peneliti mengasumsikan korosi terjadi
secara merata disepanjang perimeter tulangan sehingga karat tersebar secara seragam atau
uniform di sepanjang perimeter tulangan. Namun, pada kondisi sebenarnya karat tersebar secara
tidak merata dengan kecenderungan bagian yang paling dekat dengan exposed surface memiliki
ketebalan karat yang lebih besar bila dibandingkan dengan bagian lain.
Dengan melihat dua permasalahan utama yang ada, penelitian ini berfokus untuk
mengembangkan suatu model prediksi keretakan akibat korosi dengan mempertimbangkan
ketidakseragaman persebaran karat dan adanya perbedaan konfigurasi durasi basah dan kering.
Penelitian disertasi ini meliputi kegiatan eksperimental, pemodelan secara matematis dan
numerik. Kegiatan eksperimental dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode
galvanostatik dan metode wetting and drying. Pemodelan matematis dikembangkan untuk
mendapatkan suatu model prediksi keretakan pada beton bertulang dengan pendekatan korosi
tidak seragam dan mempertimbangkan efek dari siklus basah dan kering.
Berdasarkan penelitian dan pengembangan model yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa model yang dikembangkan secara keseluruhan dapat menggambarkan hasil
eksperimental. Model infiltrasi klorida akibat siklus basah dan kering menghasilkan profil klorida
yang sama dengan eksperimental dimana bagian yang lebih dekat dengan exposed surface
menghasilkan konsentrasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan bagian yang jauh dari
exposed surface. Akan tetapi model yang dikembangkan masih menghasilkan konsentrasi yang
sedikit lebih besar pada exposed surface. Rata-rata perbedaan konsentrasi yang dihasikan
mencapai 6.24% bila dibandingkan dengan hasil eksperimetal.
Selain model infiltrasi klorida akibat siklus basah dan kering, model keretakan akibat
korosi juga dikembangkan dalam penelitian ini. Model keretakan beton akibat korosi dibagi
menjadi tiga tahapan utama yaitu tahap inisiasi, tahap retak pertama dan tahapan propagasi retak
hingga mencapai exposed surface. Model yang dikembangkan menggabungkan beberapa teori
dasar yang kemudian dikembangkan menjadi suatu model prediksi. Pada tahapan inisiasi, hukum
Faraday untuk kinematika korosi dan Gaussian Normal Function digunakan sebagai dasar
pengembangan model. Pada tahapan retak pertama dan perambatan retak, teori thick walled
cylinders digunakan untuk mensimulasikan proses keretakan akibat adanya korosi. Hasil
vi
pemodelan menunjukkan bahwa retak pertama terjadi 17.48 jam setelah pengujian dengan metode
Galvanostatik dimulai. Selanjutnya retak tersebut berpropagasi dan mencapai exposed surface
pada 80 jam setelah retak pertama mulai terjadi. Hasil ini lebih cepat bila dibandingkan dengan
pengamatan eksperimental. Hal ini dikarenakan oleh ketebalan karat hasil perhitungan yang juga
lebih besar dibandingkan pengukuran hasil eksperimental. Model ketebalan karat ini merupakan
dasar dari model retak yang dikembangkan. Apabila terdapat perbedaan ketebalan karat yang
dihasilkan, maka waktu retak yang dihasilkan dari model dan eksperimental juga akan berbeda.
Berdasarkan hasil pemodelan distribusi karat yang telah dilakukan, didapatkan bahwa ketebalan
karat hasil dari model lebih besar bila dibandingkan dengan hasil eksperimental. Perbedaan yang
terjadi mencapai 11.07% dan hal ini dimungkinkan karena adanya produk korosi yang masuk ke
dalam celah retak sehingga tidak terukur pada saat eksperimental.
Kata Kunci: Beton Bertulang, Infiltrasi Klorida, Korosi Tidak Merata, Siklus Basah dan Kering,
Galvanostatik, Retak
vii
PREDICTIVE MODEL OF CRACK IN REINFORCED CONCRETE INDUCED BY NON-
UNIFORM REINFORCEMENT CORROSION DUE TO CHLORIDE INFILTRATION
CONSIDERING WETTING AND DRYING CYCLE
Student’s Name : Wahyuniarsih Sutrisno
NRP : 3113301015
Suoervisor : Prof. Ir. Priyo Suprobo MS., Ph.D
Co-Supervisor : 1. Endah Wahyuni ST., M.Sc., Ph.D
: 2. Data Iranata ST., MT., Ph.D
ABSTRACT
Corrosion is one of the durability problems which can lead to the collapse of the
reinforced concrete structure. Repair and maintenance of the reinforced concrete structure due
to corrosion are a process which quite difficult and expensive to do. For that reason, it needs a
method to predict the cracking of the concrete due to corrosion accurately in accordance with
actual conditions. There are two main problems in the cracking model development due to
corrosion which are wetting and drying condition and uniform corrosion assumption.
Corrosion in the splash zone has different chloride infiltration mechanism compared with
the fully submerged area. Concrete in the splash zone exposed to wetting and drying environment.
Hence, the transport mechanism should consider the variable related to wet and dry duration.
Previous research related to chloride infiltration model did not consider the wetting and drying
duration as one of variables which can affect the chloride profile in the concrete. Aside from the
wetting and drying cycle problem, another problem which is critical to the corrosion induced
cracking is the distribution of corrosion products. The previous studies assume that corrosion
occurs uniformly along the perimeter of the steel bar. However, in fact, the rust is distributed
non-uniformly along the perimeter of the steel bar. The part which has closets distance to the
exposed surface tend to have thicker rust than the other parts.
By looking the two main problems, this research is focused on the predictive model
development of corrosion induced cracking by considering the effect of non-uniformed rust
distribution and different configuration of wetting and drying cycle. This research includes
experimental, mathematical and numerical modeling. The experimental activities were carried
out by using two main methods which are galvanostatic and cyclic wetting and drying method.
The two approaches were used to accommodate two problems which have been mentioned
previously.
Based on the research result, it can be concluded that the predictive models which have
been developed were proven to have a good agreement with the experimental result. Model of
chloride penetration due to cyclic wetting and drying produced a similar pattern of chloride
profile. However, the exact value from the predictive model is still 6.24% higher than the
experimental result.
Model of corrosion induced cracking also developed in this research. The model divided
into three main stage which are the initiation, first crack and cracks propagation stage. The
corrosion induced cracking model combined several related theory. For the initiation stage, the
Faraday’s Law for corrosion kinematics and Gaussian Normal Function were used.
Furthermore, the thick walled cylinders theory was used in the first crack and crack propagation
stage to simulate the cracking process due to corrosion. The predictive model showed that the
first crack occurred 17.48 hours after the corrosion test with Galvanostatic method was started.
The crack was propagated and reached the exposed surface 80 hours after the first crack. This
result is faster when compared with experimental observations. This is because the calculated
rust thickness is also greater than experimental results. The rust thickness is the basis of the crack
model, so if there is a difference in the thickness of the rust, then the cracking time generated from
the model and the experimental will also be different. The calculated rust thickness is thicker
viii
compared with the experimental results. The average difference reaches 11.07%. This condition
is possible because there was corrosion product which infiltrates into the crack tip and did not
measure during the experimental observation.
Keywords: Reinforced Concrete, Non-Uniform Corrosion, Chloride Infiltration, Wetting and
Drying Cycle, Galvanostatic, Crack
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala rahmat, taufik dan hidayah hingga penulis dapat merampungkan penyusunan
disertasi yang berjudul “Model Prediksi Retak Pada Beton Bertulang Akibat Korosi
Tidak Seragam Karena Infiltrasi Klorida Dengan Mempertimbangkan Siklus
Basah dan Kering”. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu persyaratan
akademis yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar Doktor (Dr) di Bidang Keahlian
Struktur, Program Doktor Teknik Sipil FTSP ITS.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia
khususnya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S3
melalui Program Beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul
(PMDSU).
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak berhingga penulis sampaikan
kepada Bapak Prof. Priyo Suprobo sebagai pembimbing utama atas segala bimbingan,
ilmu serta dukungan moral yang telah diberikan mulai dari awal studi hingga saat ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Endah Wahyuni, Ph.D dan Bapak Data Iranata Ph.D sebagai Co-
Promotor atas bimbingan dan masukan yang diberikan dalam penyusunan disertasi ini.
Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof.
Mitsuhiro Shigeishi yang telah bersedia membimbing dan membagikan ilmunya selama
penulis menempuh studi di Kumamoto University Jepang.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Johny Wahyuadi,
Bapak Prof. I Gusti Putu Raka dan Bapak Lukman Noerochim, Ph.D atas kesediaannya
menjadi penguji serta atas saran dan bimbingannya dalam penyelesaian dan
penyempurnaan disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Ir. Faimun ,Ph.D dan
Bapak Dr. techn. Pujo Aji sebagai tim komisi S3 atas saran dan bimbingannya dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
keluarga besar terutama kedua orang tua dan adik tercinta atas dukungan moral yang tidak
terhingga yang selalu diberikan mulai dari awal pengerjaan disertasi ini hingga selesai.
x
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman korbid (Asdam,
Indra, Hartana, Dilla, Resti, Rini, Laras, Winda, Taufiq, Mas Lutfi dan Mas Jaka), teman-
teman S51 dan teman-teman S3 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu atas segala
bantuan, dukungan dan semangat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas bantuan yang
diberikan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penyusunan disertasi ini tidak luput dari
kesalahan dan penulis menyampaikan permohonan maaf bila terdapat kesalahan pada
disertasi ini baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Akhir kata semoga semua yang
disampaikan dalam buku disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya serta
bermanfaat pula dalam perkembangan ilmu teknik sipil khususnya dalam bidang struktur.
Surabaya , 8 Agustus 2017
Wahyuniarsih Sutrisno
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
1.2.1 Detail Permasalahan ................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 6
1.3.1 Detail Tujuan ............................................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 6
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ............................................................. 7
1.6 Kontribusi dan Originalitas Penelitian ............................................................... 8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ..................................................... 13
2.1 Durabilitas dan Korosi Beton Bertulang .......................................................... 13
2.2 Proses Infiltrasi Klorida pada Beton ................................................................ 15
2.3 Pengaruh Mekanisme Basah dan Kering terhadap Infiltrasi Klorida pada Beton
Bertulang ......................................................................................................... 16
2.4 Proses Korosi pada Beton Bertulang akibat Infiltrasi Klorida ........................ 18
2.4.1 Proses Inisisasi Korosi ............................................................................ 18
2.4.2 Proses Propagasi Korosi ......................................................................... 21
2.5 Retak Pada Beton Bertulang Akibat Korosi .................................................... 23
2.6 Perkembangan Model untuk Menganalisa Keretakan Pada Beton Bertulang
Akibat Korosi .................................................................................................. 29
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................................... 35
3.1 Umum .............................................................................................................. 35
3.2 Lingkup Penelitian ........................................................................................... 35
3.3 Studi Literatur .................................................................................................. 37
xii
3.4 Uji Eksperimental ............................................................................................ 38
3.4.1 Persiapan Material .................................................................................. 38
3.4.2 Pengujian Material .................................................................................. 40
3.4.3 Mix Desain ............................................................................................. 41
3.4.4 Penentuan Kebutuhan Benda Uji ............................................................ 42
3.4.5 Pembuatan Benda Uji ............................................................................. 43
3.4.6 Perawatan Benda Uji .............................................................................. 45
3.4.7 Pengujian Properties Benda Uji .............................................................. 46
3.4.8 Pengujian Korosi dengan Metode Galvanostatik ................................... 49
3.4.9 Pengujian Korosi Metode Wetting and Drying ...................................... 50
3.4.10 Uji Konsentrasi Klorida dengan Titrasi (ASTM C 1218 dan ASTM C
114) .................................................................................................................. 52
3.4.11 Pengujian Mikrostruktur ....................................................................... 53
3.5 Pengembangan Model ...................................................................................... 56
3.6 Validasi Hasil ................................................................................................... 57
3.7 Penarikan Kesimpulan ..................................................................................... 57
BAB 4 PENGUJIAN SIFAT MATERIAL DAN DURABILITY PROPERTIES PADA
BETON ........................................................................................................................... 59
4.1 Umum .............................................................................................................. 59
4.2 Analisa Material ............................................................................................... 59
4.2.1 Analisa Semen ........................................................................................ 59
4.2.2 Analisa Agregat Halus (Pasir) ................................................................ 60
4.2.3 Analisa Agregat Kasar (Kerikil) ............................................................. 61
4.3 Pengujian Slump .............................................................................................. 62
4.4 Material Properties Beton ................................................................................ 62
4.4.1 Kuat Tekan ............................................................................................. 62
4.4.2 Kuat Tarik belah ..................................................................................... 64
4.4.3 Porositas ................................................................................................. 66
4.4.4 Koefisien Difusi ...................................................................................... 70
BAB 5 PENGUJIAN KOROSI DENGAN METODE GALVANOSTATIK DAN
WETTING AND DRYING ............................................................................................... 71
5.1 Umum .............................................................................................................. 71
xiii
5.2 Pengujian Korosi Metode Galvanostatik ......................................................... 71
5.2.1 Persiapan Benda Uji ............................................................................... 71
5.2.2 Hasil Eksperimental ................................................................................ 73
5.3 Pengujian Korosi dengan Metode Wetting and Drying ................................... 88
5.3.1 Persiapan Benda Uji ............................................................................... 88
5.3.2 Hasil Eksperimental ................................................................................ 89
BAB 6 MODEL PREDIKSI PENETRASI KLORIDA AKIBAT SIKUS WETTING AND
DRYING ........................................................................................................................ 107
6.1 Umum ............................................................................................................ 107
6.2 Model Penetrasi Klorida Pada Beton dengan Kondisi Fully Submerged ...... 107
6.3 Model Penetrasi Klorida pada Beton dengan Kondisi Wetting and Drying .. 115
6.4 Validasi Model ............................................................................................... 116
BAB 7 MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI KARAT DAN WAKTU INISIASI RETAK
DENGAN PENDEKATAN KOROSI TIDAK SERAGAM ....................................... 123
7.1 Umum ............................................................................................................ 123
7.2 Model Prediksi Distribusi Karat Tidak Seragam Pada Beton ........................ 123
7.3 Model Waktu Inisiasi Retak .......................................................................... 132
7.4 Pemodelan Waktu Propagasi Retak Hingga Mencapai Permukaan Beton .... 139
7.5 Perhitungan Waktu Retak Sebenarnya........................................................... 140
BAB 8 KESIMPULAN ................................................................................................ 143
BAB 9 FUTURE WORK .............................................................................................. 147
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 149
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Proses Rusaknya Lapisan Pasif Tulangan dan Terbentuknya Karat (Zhao et
al., 2011; Zhao et al., 2012; Zhao et al., 2011) ............................................. 1
Gambar 2.1. Korosi Pada Beton Bertulang (Dokumentasi pribadi, 2014) ..................... 14
Gambar 2.2. Proses Infiltrasi Klorida dengan Mekanisme Basah dan Kering (Ilustrasi
Pribadi, 2017) .............................................................................................. 17
Gambar 2.3 Ilustrasi konsep periode inisiasi dan propagasi korosi berdasarkan perbedaan
definisi (Schiessl dan Lay, 2005) ................................................................ 18
Gambar 2.4 Proses Terbentuknya Karat (Monteiro, 2013) ............................................ 20
Gambar 2.5. Ilustrasi proses elektrokimia pada baja tulangan (Beeby, 1978) ............... 21
Gambar 2.6. Perubahan Volume Tulangan Berdasarkan Tipe Produk Korosi yang
Terbentuk (Monteiro, 2013) ........................................................................ 21
Gambar 2.7. Proses Korosi dengan adanya pengaruh ion Cl- (Shi X et al., 2010) ......... 22
Gambar 2.8 Tahapan Terjadinya Retak Akibat Korosi (Zhao et al., 2013) ................... 24
Gambar 2.9 Compressive Stress Strain Curve for Concrete Divided into Four Region
Different Stage of Cracking Ulfkjaer (1992) dalam (Johannsson & Reitzel,
2011) ........................................................................................................... 26
Gambar 2.10 Stress distribution and softening curves: (a,b) cohesive crack model for
ductile-brittle metals; (c,d) cohesive crack model for quasibrittle materials
(concrete); (e,f) crack band model for quasibrittle materials (Bazant, 2002)
..................................................................................................................... 27
Gambar 2.11 Skema Keretakan Beton Bertulang Akibat Korosi (C. . Li et al., 2005) .. 29
Gambar 2.12 Distribusi Karat sepanjang Perimeter Tulangan (Zhao et al., 2011) ........ 32
Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Disertasi ........................................................... 37
Gambar 3.2 Bagan Alir Detail Kegiatan Eksperimental ................................................ 39
Gambar 3.3 Benda Uji Kubus untuk Pengujian Korosi dengan Metode (a) Galvanostatik
dan (b) Wetting and Drying ........................................................................ 43
Gambar 3.4 Proses Persiapan Agregat ........................................................................... 44
Gambar 3.5 Proses Persiapan Cetakan dan Pengecoran Beton bertulang ...................... 45
Gambar 3.6 Skema Pengujian Penetrasi (ASTM C 1202) ............................................. 47
Gambar 3.7 Skema Pengujian Accelerated Corrosion Test dengan Metode Galvanostatik
..................................................................................................................... 49
xvi
Gambar 3.8 Skema Pemotongan benda uji dan Alat pengamatan keretakan. ................ 50
Gambar 3.9 Pengujian Korosi dengan menggunakan Siklus basah dan keringMethod . 52
Gambar 3.10 Sampel yang digunakan untuk XRF ......................................................... 53
Gambar 3.11 Proses Preparasi Sample untuk Pengujian XRF ....................................... 53
Gambar 3.12 Sampel Beton Sebelum dan Setelah Dilakukan Proses Coating .............. 54
Gambar 3.13 Alat Uji SEM ............................................................................................ 55
Gambar 4.1. Perbandingan Nilai Porositas Terbuka untuk Tiga Tipe Sampel............... 68
Gambar 4.2. Perbandingan Nilai Porositas Tertutup untuk Tiga Tipe Sampel .............. 69
Gambar 5.1 Skema Pengujian Korosi dengan Metode Galvanostatik............................ 73
Gambar 5.2 Skema Pemotongan Sampel untuk Pengamatan Proses Korosi dan Keretakan
..................................................................................................................... 74
Gambar 5.3 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanstatik Hari
Pertama........................................................................................................ 74
Gambar 5.4 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanostatik Hari
Kedua .......................................................................................................... 75
Gambar 5.5 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanstatik Hari
Keempat ...................................................................................................... 75
Gambar 5.6. Keretakan yang terjadi pada Hari Ke-6 (Hasil eksperimental) .................. 76
Gambar 5.7 Retak Longitudinal pada hari ke 10 ............................................................ 76
Gambar 5.8 Retak pada penampang hari ke 15 .............................................................. 77
Gambar 5.9 Retak pada penampang hari ke 20 .............................................................. 77
Gambar 5.10 Retak pada Hari ke 24............................................................................... 78
Gambar 5.11. Pola Keretakan Beton Pada Hari ke-15 ................................................... 78
Gambar 5.12. Hasil XRD Produk Korosi ....................................................................... 79
Gambar 5.13 Polar Koordinat untuk Plotting Distribusi Karat ...................................... 81
Gambar 5.14 Teknik Pengukuran Ketebalan Karat ........................................................ 81
Gambar 5.15 Normalisasi Distribusi Tebal Produk Korosi ............................................ 83
Gambar 5.16 Hubungan antara lebar crack maksimum (mm) dan waktu perendaman
(hari) ............................................................................................................ 84
Gambar 5.17 Produk Korosi di Sepanjang Retak yang Terjadi Pada Usia 20 Hari ....... 85
Gambar 5.18 Hubungan antara Kandungan Klorida (%) dan Ketebalan Penetrasi (cm) 85
Gambar 5.19 Hubungan antara Prosentase Korosi dan Lebar Retak ............................. 87
xvii
Gambar 5.20 Skema Pengujian Korosi dengan Metode Wetting and Drying ................ 89
Gambar 5.21 Lapisan Tipis Kristal Garam yang Terbentuk di Permukaan Beton ......... 90
Gambar 5.22 Kondisi Permukaan Beton dengan Siklus Basah dan Kering (a) dan Fully
Submerged (b) Pada bulan ke Lima ............................................................ 90
Gambar 5.23. Hasil XRD Sampel 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering. ............................... 93
Gambar 5.24. Hasil XRD Sampel 1 Jam Basah dan 7 Jam Kering. ............................... 93
Gambar 5.25. Hasil XRD Sampel dengan Kondisi Fully Submerged ............................ 94
Gambar 5.26 Hasil SEM untuk Sampel 1 Jam Basah dan 7 Jam Kering. ...................... 95
Gambar 5.27 Hasil SEM untuk Sampel 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering ....................... 96
Gambar 5.28 Hasil SEM untuk Sampel Fully Submerged ............................................. 97
Gambar 5.29 Permukaan Sampel setelah Coating ......................................................... 98
Gambar 5.28 Hasil Low Magnification SEM sample 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
dengan Gold Coating .................................................................................. 99
Gambar 5.29 Hasil High Magnification SEM sample 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
dengan Gold Coating (Perbesaran 10.000X) ............................................ 100
Gambar 5.32 Grafik XRF dan Hasil EDS Persebaran Klorida untuk Tiga Tipe Sampel
................................................................................................................... 101
Gambar 5.33 Grafik XRF dan Hasil EDS Persebaran Silika untuk Tiga Tipe Sampel 101
Gambar 5.34 Chloride Profile Pada Bulan Pertama..................................................... 102
Gambar 5.35 Penampang Beton pada Kondisi Fully Submerged Bulan Pertama ........ 103
Gambar 5.36 Chloride Profile Pada Bulan Ke Tiga ..................................................... 104
Gambar 5.37 Chloride Profile Pada Bulan Ke Lima.................................................... 105
Gambar 5.38 Chloride Profile Pada Bulan Ke Sepuluh ............................................... 106
Gambar 6.1 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II dan Hasil
Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-1 ................... 109
Gambar 6.2 Hasil Perhitungan Konsentrasi Chlorida dengan Hukum Fick’s II dan Hasil
Eksperimental (Fully Submerged Condition) Pada Bulan ke-10 .............. 109
Gambar 6.3 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan Deff)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged ) Pada Bulan ke-1 .. 111
Gambar 6.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan Deff)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-10 . 111
xviii
Gambar 6.5 Hasil Perhitungan Koefisien Difusi dengan Hukum Fick II Berdasarkan Hasil
Eksperimental............................................................................................ 112
Gambar 6.6 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan Dapp)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-1 ... 113
Gambar 6.7 Hasil Perhitungan Konsentrasi Chlorida dengan Hukum Fick II (dengan Dapp)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-10 . 114
Gambar 6.8 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dan Hasil Eksperimental untuk
kondisi 1 Jam Basah dan 7Jam Kering ..................................................... 117
Gambar 6.9 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dan Hasil Eksperimental untuk
kondisi 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering .................................................... 118
Gambar 6.10 Hasil Pemodelan dan Pengujian Experimental Lu et al.......................... 119
Gambar 6.11 Hasil Pemodelan dan Pengujian Experimental (Iqbal, 2008) ................. 120
Gambar 7.1 Koordinat Polar untuk Plotting Distribusi Karat ...................................... 125
Gambar 7.2 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 6 ....................................... 128
Gambar 7.3 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 10 ..................................... 128
Gambar 7.4 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 15 ..................................... 129
Gambar 7.5 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 20 ..................................... 130
Gambar 7.6 Produk Korosi di Sepanjang Retak yang Terjadi ..................................... 131
Gambar 7.7. Ilustrasi Distribusi Karat Hasil Experimental dan Model........................ 132
Gambar 7.8 Hasil Perhitungan Waktu Inisiasi Retak ................................................... 135
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Based Value of Fracture Energy ................................................................... 29
Tabel 3.1 Matriks Kebutuhan Benda Uji ........................................................................ 42
Tabel 4.1 Hasil Analisa Kimia Semen Portland ............................................................. 59
Tabel 4.2 Sifat Fisik Agregat Halus ............................................................................... 60
Tabel 4.3 Hasil Analisa Ayakan Pasir ............................................................................ 60
Tabel 4.4 Sifat Fisik Agregat Halus ............................................................................... 61
Tabel 4.5 Hasil Analisa Ayakan Pasir ............................................................................ 61
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Slump Test ........................................................................... 62
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton ................................................................ 63
Tabel 4.8 Kuat Tekan Beton setelah Terekspose NaCl 5% ............................................ 63
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Beton ....................................................... 65
Tabel 4.10 Kuat Tarik Beton setelah Terekspose NaCl 5% ........................................... 65
Tabel 4.11 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus 1 Jam Basah dan 7
Jam Kering ...................................................................................................................... 66
Tabel 4.12 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus 3 Jam Basah dan 5
Jam Kering ...................................................................................................................... 67
Tabel 4.13 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus Fully Submerged 67
Tabel 4.14. Hasil Perhitungan Uji Kecepatan Penetrasi ion Klorida ............................. 70
Tabel 5.1 Properties Produk Korosi (Karat) .................................................................. 80
Tabel 5.2 Weight Loss Analysis for Reinforcement ........................................................ 87
Tabel 5.3 Kandungan Unsur Hasil Pengujian XRF untuk Benda uji Pada Bulan ke Lima
........................................................................................................................................ 92
Tabel 7.1 Hasil Perhitungan Luasan Karat Eksperimental dan Model......................... 131
Tabel 7.2 Perbandingan Hasil Pemodelan Pola Retak dengan Menggunakan Abaqus dan
Hasil Pengamatan Eksperimental ................................................................................. 136
Tabel 7.3. Hasil Pengamatan Retak Eksperimental ...................................................... 140
Tabel 7.4. Perhitungan Waktu Retak Sebenarnya Hasil Experimental dan Model ...... 141
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korosi tulangan pada beton bertulang merupakan penyebab utama dari masalah
ketahanan struktur yang menyebabkan menurunnya kekuatan struktur (Kumar et al.,
2013; Wong et al., 2010; Zhao et al., 2011). Proses korosi disebabkan oleh adanya reaksi
antara baja tulangan dan ion OH yang berasal dari reaksi oksigen dan air. Hal ini dapat
terjadi karena rusaknya lapisan pasif dari tulangan, dikenal juga dengan deppasivation,
yang disebabkan oleh adanya infiltrasi ion klorida (Cl-) ke dalam beton (Sudjono, 2007;
Zhao et al., 2013). Setelah depassivation terjadi pada tulangan maka produk korosi (karat)
akan terbentuk pada interface antara baja dan beton yang lebih dikenal dengan nama
corrosion-filled paste (CP) (Zhao, Xu, & Jin, 2013). Proses rusaknya lapisan pasif ini
diilustrasikan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Proses Rusaknya Lapisan Pasif Tulangan dan Terbentuknya Karat (Zhao et
al., 2011; Zhao et al., 2012; Zhao et al., 2011)
Seiring dengan berjalannya waktu volume produk korosi (CP) yang dihasilkan
setelah proses depassivation lebih besar dari logam asli (tulangan). Hal tersebut
menyebabkan produk korosi akan menekan permukaan beton sekitarnya serta
menghasilkan tegangan yang cukup besar pada cover beton (Du, Jin, & Zhang, 2014;
Zhao, Ren, Dai, & Jin, 2011; Zhao et al., 2013; Zhao, Karimi, et al., 2011). Peningkatan
produk korosi mengakibatkan retak mulai terjadi pada interface antara baja dan beton.
2
Seiring dengan berjalannya waktu, retak yang terjadi akan berpropagasi dan akhirnya
sampai ke bagian permukaan beton. Hal ini sangat membahayakan bagi pengguna suatu
struktur tersebut karena dapat menyebabkan penurunan kekuatan dan hancurnya suatu
struktur beton bertulang.
Studi mengenai keretakan beton bertulang akibat adanya korosi telah menjadi bahan
pembicaraan dan penelitian selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan korosi telah
menyebabkan banyak kerusakan terutama untuk bangunan yang berada di daerah laut.
Bangunan yang berada di daerah laut memiliki peluang besar terkena korosi karena
komposisi air laut yang terdiri atas zat agresif seperti klorida (Iqbal, 2008). Kerusakan
yang terjadi akibat adanya korosi ditandai dengan adanya retak, spalling dan perubahan
warna pada beton yang mengakibatkan penurunan kekuatan dan umur layan bangunan.
Beberapa metode telah dilakukan untuk mencegah maupun mengatasi permasalahan
kerusakan beton akibat adanya korosi dalam berbagai kondisi layan struktur. Pada kondisi
awal, beton dapat didesain untuk memperlambat kecepatan penetrasi klorida salah
satunya adalah dengan mendesain beton dengan kerapatan yang baik, meningkatkan tebal
selimut maupun melapisi tulangan dengan menggunakan epoxy. Pada kondisi
selanjutnya, ketika klorida telah mencapai batas dan mencapai bagian tulangan, maka
klorida yang ada di dalam beton harus dihilangkan. Cara yang dapat digunakan untuk
menghilangkan klorida yang ada didalam beton adalah dengan mengganti beton yang ada
dengan beton baru. Selain itu cara lain juga dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan
electrochemical procedure yang dikenal dengan Electrochemical Extraction (ECE).
Metode ini dilakukan dengan mengeluarkan klorida dengan mengaplikasikan high
voltage pada struktur tersebut. Pada kasus tertentu metode proteksi katoda dapat
dilakukan untuk mengurangi proses korosi yang terjadi.
Permasalahan yang ada saat ini terkait dengan waktu pelaksanaan maintenance yang
tepat untuk suatu struktur yang terkena korosi. Perbaikan dan perawatan yang selama ini
dilakukan cukup sulit dan relatif mahal. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan
tersebut para peneliti mulai mengembangkan model untuk dapat memprediksi waktu
terjadinya keretakan akibat korosi.
Penelitian mengenai korosi telah dilakukan oleh Liu dan Weyers dimana penelitian
ini menghasilkan perumusan lebar retak dan waktu terjadinya inisiasi retak akibat adanya
produk korosi (Liu & Weyers, 1998). Setelah itu penelitian dilanjutkan oleh Li et al
3
dengan mengembangkan perumusan dari Liu & Weyers dan merumuskan model untuk
memprediksi lebar retak dan menghubungkannya dengan waktu terjadinya korosi (C. .
Li, Lawanwisut, Zheng, & Kijawatworawet, 2005). Penelitian-penelitian tersebut
mengasumsikan bahwa retak yang terjadi diakibatkan oleh korosi yang merata disepajang
perimeter tulangan sehingga menghasilkan pola keretakan yang merata pula. Namun,
pada perkembangannya penelitian yang dikembangkan oleh Zhao menyebutkan bahwa
produk korosi yang terbentuk pada dasarnya tidak merata disepanjang perimeter tulangan
(Zhao, Hu, Yu, & Jin, 2011). Persebaran karat secara tidak merata (non-uniform) ini
menghasilkan pola keretakan yang juga tidak merata dimana retak lebih banyak ditemui
pada bagian yang menghadap permukaan beton yang terpapar klorida karena adanya
penumpukan karat pada bagian tersebut. Meskipun telah ditemukan dari hasil
eksperimental bahwa produk korosi yang terbentuk tidak tersebat secara merata
disepanjang perimeter beton, namun penelitian yang dilakukan Zhao untuk memprediksi
kerusakan (damage) yang terjadi akibat korosi masih menggunakan asumsi bahwa produk
korosi tersebar secara merata disepanjang perimeter beton (Zhao et al., 2011).
Seiring dengan berkembangnya penelitian yang ada baru pada beberapa tahun
terakhir ini mulai dinalisa kerusakan akibat adanya persebaran karat yang tidak merata.
Penelitian yang dilakukan oleh Muthulingam dan Rao menganalisa waktu terjadinya
inisiasi retak akibat adanya korosi dengan memodelkan beton bertulang ke dalam
program berbasis finite elemen (Muthulingam & Rao, 2014). Selain itu Cao dan Cheung
juga melakukan penelitian mengenai pitting corrosion yang dan hubungannya dengan
korosi yang tidak merata akibat infiltrasi klorida pada beton (Cao & Cheung, 2014).
Melihat penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti maka dapat disimpulkan
bahwa penelitian terkait waktu awal retak dan perambatannya hingga mencapai selimut
beton akibat korosi yang tidak merata masih belum dilakukan secara mendalam. Padahal
pada kenyataannya analisa ini sangat menentukan tingkat service ability dan waktu
perawatan dari struktur tersebut. Hal ini dikarenakan apabila retak telah terjadi maka
propagasi retak akan mulai terjadi di sepanjang selimut beton dan kemudian akan
berlanjut ke arah longitudinal. Fenomena ini semakin lama akan mengakibatkan
penurunan kinerja struktur dan kerusakan struktur tersebut.
Beberapa metode eksperimental telah dikemukakan oleh beberapa peneliti untuk
mengamati proses terjadinya korosi. Selama ini ekperimental yang dilakukan sebagian
4
besar menggunakan metode galvanostatik (Cao & Cheung, 2014; Liu & Weyers, 1998;
Vu et al, 2006; Wilson, 2013). Metode ini dilakukan dengan merendam beton pada larutan
NaCl dengan konsentrasi tertentu dan mengalirkan arus tertentu hingga terjadi korosi dan
retak. Meskipun metode tersebut mampu mesimulasikan proses korosi akan tetapi hanya
terbatas pada proses korosi yang terjadi pada beton dengan kondisi basah. Metode ini
tidak dapat mensimulasikan proses korosi pada beton yang berada di daerah percikan
(percikan).
Korosi pada beton pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
disekitar beton tersebut. Beton yang berada pada kondisi terendam air laut dan berada di
pesisir pantai memiliki perilaku yang berbeda. Struktur beton yang diletakkan pada
pesisir pantai maupun daerah percikan mengalami siklus basah dan kering sehingga
memiliki potensi korosi lebih besar dibandingkan dengan beton yang terendam. Beberapa
studi telah dilakukan terkait dengan pengaruh dari siklus basah dan kering terhadap
kedalaman penetrasi klorida dan waktu awal terjadinya korosi. Siklus basah dan kering
menyebabkan penetrasi ion agresif yang lebih dalam dibandingkan dengan kondisi basah
atau kering secara terpisah. Selain itu, siklus ini dapat menyebabkan peningkatan
corrosion rate dibandingkan dengan kondisi biasa.
Selain metode galvanostatik yang telah banyak dipakai untuk mensimulasikan proses
korosi, beberapa peneliti lain membuat suatu terobosan dengan menempatkan beton pada
suatu artificial environment chamber untuk melihat perilaku korosi yang sebenarnya
(Zhao et al., 2013; Zhao et al., 2011; Zhao et al., 2012; Zhao et al., 2011). Metode ini
pada dasarnya telah mampu merepresentasikan kondisi lingkungan yang meliputi kondisi
basah dan kering. Akan tetapi efek dari perbedaan durasi basah dan kering belum
dijadikan sebagai pertimbangan. Oleh karena itu investigasi lanjutan diperlukan untuk
untuk dapat mengetahui efek dari perbedaan durasi basah dan kering terhadap kecepatan
penetrasi klorida pada beton.
Dengan melihat perkembangan penelitian yang telah dilakukan terkait korosi yang
terjadi maka penelitian disertasi ini bertujuan untuk mengembangkan model keretakan
yang disebabkan oleh korosi dengan mempertimbangkan persebaran produk korosi yang
tidak merata. Selain itu efek dari perbedaan kombinasi durasi siklus basah dan kering juga
digunakan sebagai variable dari model yang dikembangkan pada penelitian ini. Oleh
karena itu penelitian ini mengambil judul “Model Prediksi Retak Pada Beton
5
Bertulang Akibat Korosi Tidak Seragam Karena Infiltrasi Klorida Dengan
Mempertimbangkan Siklus Basah dan Kering”.
Penelitian ini meliputi kegiatan eksperimental, pemodelan secara matematis dan
numerik. Kegiatan eksperimental dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu
metode galvanostatik dan metode wetting and drying. Dua metode ini dipilih untuk
mendapatkan data keretakan dan chloride profile pada beton. Pemodelan matematis yang
merupakan tujuan utama dari penelitian ini dikembangkan untuk mendapatkan suatu
model prediksi keretakan pada beton bertulang dengan pendekatan korosi tidak seragam
dan mempertimbangkan efek dari siklus basah dan kering.
1.2 Rumusan Masalah
Proses perbaikan dan perawatan struktur beton akibat korosi merupakan proses yang
relatif sulit dan mahal untuk dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang
dapat digunakan untuk memprediksi keretakan pada beton bertulang akibat korosi secara
tepat sesuai dengan kondisi sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengasumsikan korosi
terjadi secara seragam disepanjang perimeter tulangan serta tidak dipertimbangkannya
efek dari siklus basah dan kering menyebabkan model prediksi yang ada selama ini tidak
dapat memprediksikan proses serta waktu keretakan secara akurat. Dengan melihat fakta
tersebut, permasalahan utama yang dibahas pada penelitian disertasi ini adalah bagaimana
mengembangkan suatu model prediksi keretakan untuk beton bertulang akibat adanya
korosi yang tidak seragam yang disebabkan oleh infiltrasi klorida dengan
mempertimbangkan siklus basah dan kering.
1.2.1 Detail Permasalahan
Berdasarkan uraian permasalahan umum yang telah disampaikan sebelumnya maka
detail permsalahan pada disertasi ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hubungan antara perbedaan kombinasi durasi siklus basah dan
kering terhadap penetrasi klorida pada beton?
2. Model apakah yang dapat digunakan untuk memprediksi proses infiltrasi
klorida akibat siklus basah dan kering?
3. Bagaimana hubungan antara asumsi korosi yang tidak seragam terhadap
keretakan pada beton bertulang?
6
4. Model apakah yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu retak akibat
korosi yang tidak seragam?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya maka
tujuan dari penelitian disertasi ini adalah untuk menganalisa efek dari siklus basah dan
kering dan pengaruh penggunaan pendekatan korosi tidak seragam (non-uniform
corrosion) untuk mendapatkan model prediksi keretakan yang tepat pada beton bertulang.
1.3.1 Detail Tujuan
Berdasarkan uraian tujuan umum yang telah disampaikan diatas maka detail
permsalahan pada disertasi ini adalag sebagai berikut.
1. Mendapatkan hubungan antara perbedaan kombinasi siklus basah dan kering
terhadap penetrasi klorida pada beton bertulang.
2. Mendapatkan model yang dapat digunakan untuk memprediksi proses infiltrasi
klorida akibat siklus basah dan kering.
3. Mendapatkan hubungan anatara keretakan yang terjadi akibat korosi yang tidak
seragam.
4. Mendapatkan model yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu inisiasi
retak dan propagasinya akibat korosi yang tidak seragam.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari adanya penelitian disertasi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi bidang konstruksi dapat menjadi salah satu bahan referensi dalam
memprediksikan waktu retak akibat korosi sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan waktu maintenance dan repair pada bangunan yang berada pada
lingkungan yang terkontaminasi klorida.
2. Bagi praktisi dapat menjadi acuan dan pertimbangan dalam desain terutama untuk
struktur yang terletak pada lingkungan laut.
7
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup dari pelaksanaan penelitian disertasi ini meliputi eksperimental,
pemodelan numerik dan matematis. Terdapat beberapa batasan dalam penelitian ini yang
juga menjadi batasan dari model yang dikembangkan yaitu sebagai berikut:
1. Beton yang digunakan adalah beton normal dengan kuat tekan rencana adalah
30 MPa dan faktor air semen (FAS) sebesar 0.5.
2. Kadar garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%.
3. Pada kegiatan eksperimental dan pemodelan, benda uji dianggap tidak
menerima beban luar. Beban yang bekerja hanya beban pressure akibat
pertambahan volume karat.
4. Kondisi basah dan kering didekati dengan meletakkan beton pada chamber
dengan suhu 30oC (± 2oC) dan kelembapan maksimum 80%.
5. Variasi kondisi lingkungan (temperatur, kelembapan dan kadar garam) serta
mutu benda uji (beton dan tulangan) tidak dibahas dalam penelitian ini.
6. Terdapat 3 konfigurasi dalam pengujian dengan metode wetting and drying
yaitu:
a. Satu jam kering dan tujuh jam basah
b. Tiga jam kering dan lima jam basah
c. Terendam sempurna (fully submerged)
7. Tulangan yang digunakan tulangan ulir diameter 19 mm produksi PT Hanil
dengan mutu U40 (fy = 400 MPa).
8. Perhitungan luasan tulangan ulir diasumsikan sama dengan perhitungan
luasan tulangan polos.
9. Tulangan yang digunakan tidak melalui proses coating terlebih dahulu
sehingga proses korosi yang terjadi murni terhadap tulangan yang tidak
diproteksi sebelumnya.
10. Semen yang digunakan adalah Portland Pozzoland Cement (PPC) poduksi PT
Semen Gresik.
11. Campuran beton yang digunakan tidak menggunakan inhibitor.
12. Pemodelan numerik dilakukan secara dua dimensi (2D) dengan menggunakan
program Abaqus CAE.
13. Proses infiltrasi klorida dimodelkan dalam satu dimensi (1D).
8
14. Model penetrasi klorida yang dikembangkan hanya divalidasi dengan hasil
eksperimental jangkan pendek ( 10 bulan ). Sehingga untuk jangka panjang
perlu dilakukan validasi lebih lanjut.
15. Model keretakan akibat korosi yang tidak merata tidak mempertimbangkan
efek beban luar, precracking stage, pengaruh penggunaan tulangan sengkang,
penggunaan multiple reinforcement, dan stress reduction akibat pabrikasi
tulangan.
1.6 Kontribusi dan Originalitas Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian pendahuluan bahwa korosi
yang terjadi pada beton bertulang dapat menyebabkan keretakan yang mengarah pada
kegagalan struktur tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa efek dari
perbedaan kombinasi siklus basah dan kering dan pengaruh penggunaan pendekatan
korosi tidak seragam (non-uniform corrosion) untuk mendapatkan model prediksi
keretakan yang tepat pada beton bertulang. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa
suatu model yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu inisiasi retak pada beton
bertulang untuk beton yang berada pada daerah percikan dengan pendekatan korosi tidak
seragam. Dengan penelitian ini maka prediksi terhadap keretakan dapat dilakukan
dengan lebih akurat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya sehingga perkiraan waktu
perawatan dan perbaikan akibat korosi dapat dilakukan dengan lebih akurat. Berikut ini
merupakan distribusi penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dan posisi
penelitian yang dilakukan dalam peta riset yang telah ada.
9
Tabel 1.1. Distribusi Penelitian
NO Judul Thn Peneliti Tipe
Korosi Analisa Retak
Waktu
Inisiasi
Retak
Waktu
Propagasi
Retak
Jenis
Tulangan
Siklus
basah dan
kering
1 Modeling the Time-to-
Corrosion Cracking
of the Cover Concrete
in Klorida
Contaminated
Reinforced Concrete
Structures
1998 Youping Liu Seragam Merumuskan
Lebar retak
terhadap waktu
Ya Tidak Ulir Tidak
2 Crack Width Due to
Corroded Bar in
Reinforced Concrete
Structures
2005 C.Q. Li et al Seragam Ditinjau hubungan
lebar retak dengan
waktu dan
hubungan antara
tebal cover dan
waktu terjadinya
surface cracking
Ya
(Mengambil
data
penelitian
Liu et al)
Ya
(merumuskan
lebar retak dan
dihubungkan
dengan waktu)
Ulir Tidak
3 Non-Uniform
Distribution of Rust
Layer Around Steel
Bar
2011 Yuxi Zhao,
Bingyan Hu,
Jiang Yu
Weiliang Jin
Tidak
Seragam
NO Tidak Tidak Ulir Ya (Wet
3.53%
sodium
klorida, 4
hours ; Dry
400 C, 68
jam) selama
2 tahun
9
10
NO Judul Thn Peneliti Tipe
Korosi Analisa Retak
Waktu
Inisiasi
Retak
Waktu
Propagasi
Retak
Jenis
Tulangan
Siklus
basah dan
kering
4 Damage analysis and
cracking model of
reinforcement
concrete structure
with rebar corrosion
2011 Yuxi Zhao,
Jiang Yu,
Weiliang Jin
Seragam Menentukan
process retak
dengan perumusan
matematis dan
membagi proses
tersebut kedalam
beberapa sub
proses
Tidak Tidak Polos Tidak
5 Critical thickness of
rust layer at inner and
out surface cracking
of concrete cover in
reinforced concrete
structures
2012 Yuxi Zhao,
Jiang Yu,
Yingyao Wu,
Weiliang Jin
Seragam Melihat Pola
keretakan dari
hasil
eksperimental
Tidak Tidak Polos Tidak
6 Crack shape and rust
distribution in
corrosion-induced
cracking concrete
2012 Yuxi Zhao,
Jiang Yu,
Bingyan Hu,
Weiliang Jin
Seragam Merumuskan
Lebar retak
Permukaan dan
panjang retak
Tidak Tidak Ulir Ya (Wet
3.53%
sodium
klorida, 4
hours ; Dry
400 C, 68
jam) selama
2 tahun
7 Analytical Solutions
for Corrosion-
Induced Cohesive
Concrete Cracking
2012 Hua-Peng
Chen and Nan
Xiao
Seragam Merumuskan
Lebar Retak dan
propagasi retak
Ya
(exp. Liu’s )
Tidak Ulir
(exp.
Liu’s )
Tidak
10
11
NO Judul Thn Peneliti Tipe
Korosi Analisa Retak
Waktu
Inisiasi
Retak
Waktu
Propagasi
Retak
Jenis
Tulangan
Siklus
basah dan
kering
8 Modelling of
interaction between
corrosion-induced
concrete cover crack
and steel corrosion
rate
2013 Cao, Chong
Cheung, Moe
M S
Chan, Ben Y B
Seragam Hubungan antara
lebar retak dan
corrosion rate
dengan
menggunakan
couple numerical
analysis antara
microcell
corrosion dan
macrocell
corrosion
Tidak Tidak Polos Tidak
9 Modeling Corrosion
Induced Concrete
Damage
2013 Emilie et all Tidak
Seragam
Numerical
Simulation
menggunakan
Finite Element
program untuk
memprediksi lebar
crack
Tidak N/A Polos Tidak
10 Cover Cracking of
The Reinforced
Concrete Due to
Rebar Corrosion
Induced by Klorida
Penetration
2013 Galvez, JC et
all
Seragam Modeling crack
pattern
menggunakan
Finite element dan
waktu crack
mencapai cover
Tidak Ya Polos Tidak
11
12
NO Judul Thn Peneliti Tipe
Korosi Analisa Retak
Waktu
Inisiasi
Retak
Waktu
Propagasi
Retak
Jenis
Tulangan
Siklus
basah dan
kering
11 Non-uniform time-to-
corrosion initiation in
steel reinforced
concrete under
klorida environment
2014 Muthulingam,
S.
Rao, B.N.
Tidak
Seragam
N/A Menggunak
an Finite
Element
Model tapi
tidak
dijelaskan
lebih lanjut
mengenai
perumusan
yang
digunakan
Tidak Polos Tidak
12 Non-uniform rust
expansion for klorida-
induced pitting
corrosion in RC
structures
2014 Cao, Chong
Cheung, Moe
M.S.
Tidak
Seragam
Menganalisa
proses terjadinya
pitting corrosion
akibat adanya non
uniform corrosion
Tidak Tidak Polos Ya
(tidak ada
informasi
lebih lanjut)
13 Model Prediksi
Retak Pada Beton
Bertulang Akibat
Korosi Tidak
Seragam Karena
Infiltrasi Klorida
Dengan
Mempertimbangkan
Siklus Basah dan
Kering
2017 Wahyuniarsih
S.
Tidak
Seragam
Mengembangkan
Model Infiltrasi
Klorida Akibat
siklus basah dan
kering
Mengembangkan
model prediksi
retak dengan
pendekatan
korosi tidak
seragam
Ya Ya Ulir Ya
(Wet 5%
Natrium
Chloride.
Dry 300 C
Repeated for
10 months)
12
13
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1 Durabilitas dan Korosi Beton Bertulang
Durabitas merupakan kemampuan suatu material untuk menahan perubahan cuaca,
serangan iklim, abrasi atau segala proses perusakan yang berasal dari lingkungan
sehingga beton dapat mempertahankan bentuk asal, kemampuan, kualitas dan umur
layannya. Pada struktur beton bertulang durabilitas lebih menekankan pada kemampuan
struktur untuk menahanan terjadinya pelapukan, serangan bahan-bahan kimia, abrasi
maupun proses-proses lain yang dapat merusak struktur tersebut dengan mempertahankan
sifat-sifat dan kemampuannya (Monteiro, 2013).
Ketahanan struktur beton bertulang pada dasarnya mengacu kemampuan dari suatu
struktur dapat bertahan tanpa adanya kerusakan maupun gangguan pada performance
yang berarti (Kwan & Wong, 2011). Permasalan durabilitas pada struktur beton bertulang
sangat erat kaitannya dengan penurunan kekuatan pada struktur tersebut. Selain adanya
aksi mekanik seperti kelebihan beban dan adanya penurunan, sebagian besar penyebab
penurunan kekuatan pada struktur beton bertulang disebabkan karena permasalahan
durability. Setiap struktur memiliki persyaratan ketahanan durabilitas yang berbeda. Hal
ini tergantung pada lingkungan tempat beton tersebut berada dan properties yang
diinginkan
Korosi pada beton bertulang merupakan penyebab utama dari masalah ketahanan
struktur yang menyebabkan menurunnya kekuatan struktur (Chen & Mahadevan, 2008;
Zhao, Yu, Hu, & Jin, 2012; Zhao, Karimi, et al., 2011). Kasus kerusakan struktur akibat
korosi telah terjadi di beberapa Negara. Kasus runtuhnya beberapa kanopi dari beton di
Hong Kong terjadi karena adanya korosi pada pada tulangannya Yeung dalam (Webster,
2000). Sedangkan di Inggris, korosi merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh para
engineer yang menyebabkan diperlukan dana sekitar £550M tiap tahunnya untuk masalah
korosi pada beton bertulang (Webster, 2000). Sedangkan di Indonesia, kerusakan akibat
korosi berdasarkan para ahli dapat mencapai 1.5% dari Gross National Product (GNP)
(Darmawan, 2006 dalam Roberth, 2013). Korosi pada dasarnya merupakan hasil interaksi
antara material dengan lingkungannya. Hasil dari interaksi tersebut berupa degradasi
terhadap material yang berlangsung dari waktu ke waktu hingga mencapai kondisi stabil.
14
Proses ini berlangsung sangat lambat sehingga material masih dapat digunakan seperti
biasa selama proses tersebut berlangsung (Schweitzer, 1996).
Korosi pada beton sangat mempengaruhi kekuatan beton tersebut. Korosi
menyebabkan memburuknya lekatan pada beton dikarenakan memburuknya lekatan
antara beton dan tulangan sehingga kemampuan tulangan untuk memberikan kekuatan
dan daktalitas akan berkurang dengan adanya kerusakan pada tulangan yang disebabkan
oleh korosi (Fang et al., 2004). Gambar 2.1 menunjukkan kerusakan akibat adanya korosi.
Gambar 2.1. Korosi Pada Beton Bertulang (Dokumentasi pribadi, 2014)
Beton secara makro terlihat sebagai material yang kuat dan masif, tetapi jika dilihat
secara mikro maka beton adalah material yang berpori dengan diameter yang kecil. Pori-
pori di dalam beton pada umumnya bersifat heterogen dan memiliki ukuran diameter
berkisar antara 1 nm hingga lebih dari 10 μm (Silva, 2013). Ukuran diameter pori-pori
kapiler tersebut masih memungkinkan senyawa-senyawa di sekitar beton, seperti klorida
di air laut, untuk berinfiltrasi ke dalam beton dengan beberapa mekanisme transport
seperti difusi, adsorbsi dan mekanisme lainnya.
Seiring dengan waktu, senyawa yang masuk ke dalam beton akan mencapai
permukaan baja tulangan. Pada permukaan baja sebenarnya terdapat lapisan pasif baja
yang tipis yang berguna untuk melindungi baja dari korosi. Akan tetapi senyawa seperti
klorida yang masuk ke dalam beton menyebabkan rusaknya lapisan pasif dari baja
tulangan. Sedangkan, pada kasus korosi akibat karbonasi, lapisan pasif tidak terbentuk
secara sempurna akibat turunnya pH beton karena bereaksi dengan CO2. Rusaknya
lapisan pasif antara beton dan tulangan ini dikenal dengan istilah depasivasi. Setelah
depasifasi terjadi pada tulangan maka produk korosi, atau dikenal juga dengan sebutan
15
karat, akan terbentuk pada interface antara baja dan beton yang lebih dikenal dengan
nama corrosion-filled paste (CP) (Zhao et al., 2013).
Gambar 2.2 Korosi yang Terjadi pada Interface Baja dan Beton (Zhao et al., 2012)
2.2 Proses Infiltrasi Klorida pada Beton
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, beton merupakan material
yang porous. Tingkat porositas beton dipengaruhi oleh beberapa hal seperti rasio air
semen dan proses perawatan (Silva, 2013). Lebih lanjut dijelaskan pori yang terdapat
pada beton dapat dibagi menjadi tiga yaitu gel pores (berukuran 1 hingga 10 nm),
capillary pores (berukuran 10 nm hingga 10 μm) dan macro pores atau sering disebut air
voids (berukuran lebih dari 10 μm). Gel pores tidak berperan secara signifikan dalam
proses transport klorida ke dalam beton karena memiliki ukuran pori yang sangat kecil.
Sedangkan 2 jenis pori lainnya berperan dalam proses transport dengan melibatkan
pengaruh gravitasi (Silva, 2013).
Pada sub bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa beton yang berada pada daerah
terendam dan beton yang berada pada daerah percikan memiliki mekanisme infiltrasi
yang berbeda. Pada beton yang berada pada daerah percikan mengalami siklus basah dan
kering dimana mekanisme masuknya klorida tidak hanya terjadi dengan proses difusi
akan tetapi juga bersamaan dengan proses konveksi, absorpsi dan proses lainnya.
Korosi pada
Interface
Baja dan
Beton
16
Proses difusi dapat dijabarkan dengan menggunakan hukum Fick II seperti
diperlihatkan pada persamaan 2.1 (Shi et al., 2012; Sobhani dan Ramezanianpour, 2007;
Sudjono, 2007).
𝜕𝐶(𝑥,𝑡)
𝜕𝑡= 𝐷𝑐
𝜕2𝐶(𝑥,𝑡)
𝜕𝑥2 (2.1)
Dimana:
C (x,t) = konsentrasi senyawa yang terdifusi dalam fungsi jarak dan waktu
t = waktu
x = jarak
Dc = Koefisien Difusi
Persamaan Fick diatas dapat diselesaikan dengan menggunakan error function (Shi
et al., 2012; Silva, 2013; Sobhani dan Ramezanianpour, 2007; Sudjono, 2007). Sehingga
persamaan 2.1 diatas dapat diselesaikan dengan persamaan 2.2 di bawah ini.
𝐶(𝑥,𝑡)
𝐶𝑠= [1 − 𝑒𝑟𝑓 (
𝑥
2√𝐷𝑐𝑡)] (2.2)
Dimana Cs adalah konsentrasi senyawa pada permukaan. Nilai error function (erf)
didapatkan dari Gaussian error function yang nilainya dapat dilihat pada tabel umum
error function.
2.3 Pengaruh Mekanisme Basah dan Kering terhadap Infiltrasi Klorida pada Beton
Bertulang
Struktur beton bertulang yang terletak pada kondisi laut memiliki terbagi atas dua
kategori exposure utama yaitu langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Beton yang
berada pada kondisi direct exposure meliputi struktur-struktur yang tenggelam penuh
maupun sebagian di laut. Sedangakan kategori indirect exposure lebih mengacu pada
beton-beton yang terletak di pesisir pantai maupun daerah-daerah percikan (Iqbal, 2008).
Proses infitrasi klorida pada kedua daerah tersebut memiliki mekanisme yang
berbeda. Pada daerah percikan terdapat mekanisme siklus basah dan kering yang
berdampak pada kecepatan masuknya ion klorida pada beton. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa penetrasi klorida pada daerah yang mengalami siklus basah dan kering tidak hanya
terjadi dengan mekanisme difusi akan tetapi juga kombinasi dengan mekanisme lainya
17
seperti konveksi dan absorbsi. Gambar 2.2 menunjukkan proses infiltrasi klorida pada
beton yang mengalami siklus basah dan kering. Pada kondisi basah, air laut yang
mengandung klorida masuk ke dalam beton melalui mekanisme capillary suction.
Sedangkan klorida tetap berpindah dari konsentrasi tinggi ke rendah melalui mekanisme
difusi. Ketika kondisi lingkungan luar masuk ke kondisi kering, air yang berada didalam
pori akan menguap sedangkan kristal garam akan tetap berada pada beton. Bila kondisi
ini berlangsung terus menerus maka klorida akan lebih cepat masuk ke dalam beton. Pada
waktu paparan tertentu, jumlah klorida yang ada pada beton akan mencapai batasan untuk
merusak lapisan pasif pada tulangan dan menginisiasi proses korosi.
Gambar 2.2. Proses Infiltrasi Klorida dengan Mekanisme Basah dan Kering (Ilustrasi Pribadi,
2017)
Pada mekanisme ini, durasi basah dan kering juga sangat mempengaruhi proses
infiltrasi klorida ke dalam beton. Penelitian yang dilakukan oleh Iqbal, 2008 menyatakan
bahwa durasi basah dan kering mempengaruhi kecepatan proses infiltrasi klorida ke
dalam beton. Model prediksi infiltrasi klorida yang umum digunakan adalah dengan
menggunakan pendekatan Hukum Fick II sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab 2.2.
Model ini terbukti telah terbukti dapat mendekati proses infiltrasi klorida pada beton yang
berada pada kondisi terendam sempurna. Akan tetapi untuk beton yang berada pada
18
daerah percikam dengan kondisi terendam sebagian, hukum Fick’s perlu mendapatkan
beberapa penyesuaian agar dapat digunakan dan menghasilkan hasil prediksi yang sesuai
dengan kondisi sebenarnya.
2.4 Proses Korosi pada Beton Bertulang akibat Infiltrasi Klorida
Proses korosi pada beton bertulang terbagi atas proses inisiasi dan proses propagasi.
Proses inisiasi adalah proses yang dibutuhkan ion klorida untuk mencapai critical
chloride level untuk awal timbulnya korosi dikenal dengan Sedangkan, waktu yang
dibutuhkan oleh korosi untuk mengakibatkan kerusakan yang cukup untuk dilakukan
tindakan perbaikan disebut dengan periode propagasi (Webster, 2000). Ilutrasi konsep
inisiasi dan propagasi korosi dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Ilustrasi konsep periode inisiasi dan propagasi korosi berdasarkan perbedaan
definisi (Schiessl dan Lay, 2005)
2.4.1 Proses Inisisasi Korosi
Proses inisiasi korosi pada beton bertulang akibat infiltrasi klorida dimulai ketika
klorida masuk ke dalam beton dan merusak lapisan pasif tulangan. Kerusakan pada
lapisan pasif terjadi akibat klorida yang ada pada interface antara beton dan tulangan telah
melebili besarnya critical chloride content. Critical chloride content adalah batas
konsentrasi yang dibutuhkan untuk merusak lapisan pasif pada baja tulangan. Penelitian
mengenai critical chloride content telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Angst dan
Vennesland (2009) melakukan studi literatur mengenai hal-hal yang mepengaruhi critical
19
chloride content pada beton bertulang. Berdasarkan studi yang telah dilakukan maka
critical chloride content yang dapat menginisiasi terjadinya korosi bervariasi mulai dari
0.02% hingga 3.08% total klorida per berat binder.
Lapisan pasif pada tulangan dapat terpecah bila kadar klorida telah mencapai
konsentrasi tertentu. Setelah layer pasif pada tulangan terpecah, dengan bantuan
kelembaban dan oksigen maka akan korosi akan mulai terjadi.
Pada reaksi anoda, terbentuk discrete ions yang dapat bereaksi menjadi produk korosi
yang tidak dapat larut. Reaksi korosi dari sebuah metal M umumnya ditulis dengan reaksi
sederhana seperti ditunjukkan pad persamaan reaksi (2.3) (Liu, 1996)
M → M2+ + 2e- (2.3)
Permukaan baja yang lapisan pasifnya hilang akan menjadi anode dari reaksi korosi
baja tulangan. Persamaan reaksi anode ini dapat dituliskan seperti pada persamaan (2.4)
sebagai berikut:
Fe→ Fe2+ + 2e− (2.4)
Sudjono (2005) menjelaskan bahwa elektron yang dilepaskan dari reaksi anode
menyebabkan gas O2 dan air yang terdapat di atas permukaan baja yang masih tertutup
oleh lapisan pasif bereaksi. Bagian baja ini menjadi katode dari reaksi korosi baja
tulangan, dan reaksinya dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.5 berikut ini.
O2 + 2H2O + 2e− →4OH− (2.5)
Kedua ion yang terbentuk pada anode dan katode bergabung membentuk senyawa
hasil korosi yang dikenal dengan sebutan karat. Persamaan reaksi tersebut dapat dilihat
pada persamaan 2.6 dan 2.7 sebagai berikut.
2Fe +O2 + 2H2O→2Fe2+ + 4OH− (2.6)
2Fe2+ + 4OH− →2Fe (OH)2 (2.7)
Fe(OH)2 sebagai bentuk awal senyawa hasil korosi akan berada di permukaan baja
yang mengalami korosi. Gambar 2.4 berikut ini adalah ilustrasi yang menggambarkan
proses terbentuknya karat:
20
Gambar 2.4 Proses Terbentuknya Karat (Monteiro, 2013)
Reaksi pada katoda sangat sulit untuk diprediksi namun dapat dikatagorikan menjadi
kedalam lima tipe reaksi reduksi, yakni: Hydrogen evaluation Oxygen reduced in acids,
Oxygen reduction, Neutral solutions, Metal ion reduction, dan Metal deposition
(Schweitzer, 1996). Berdasarkan kandungan pH, reaksi yang mungkin terjadi pada katoda
dapat dibagi menjadi dua yakni rekasi pada pH > 7 dan pH < 7, dengan reaksi sebagai
berikut (Liu,1996).
pH < 7 :2H+ +2e → H2 (2.8)
pH > 7 :O2 + H2O +4e → 4OH- (2.9)
Pada Gambar 2.5 dapat dilihat bahwa rekasi katoda termasuk pada katagori Oxygen
reduction – Neutral solutions (reaksi utama). Pada proses reaksi kedua (secondary
reaction) terdapatnya oksigen dan kelembaban yang tepat mengakibatkan ferrous
hydroxide (2Fe(OH)2) berubah menjadi ferric oxide (Fe2O3H2O) (Webster, 2000).
21
Gambar 2.5. Ilustrasi proses elektrokimia pada baja tulangan (Beeby, 1978)
2.4.2 Proses Propagasi Korosi
Proses korosi selanjutnya tergantung pada pada konsentrasi O2 dalam air yang
terdapat pada pori-pori beton. Jika konsen trasi O2 tinggi maka akan terbentuk Fe(OH)3
dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
4Fe (OH)2 + O2+ 2H2O→4Fe (OH)3 (2.10)
Namun apabila pada waktu pembentukan senyawa Fe(OH)2 jumlah air tidak
mencukupi sedangkan konsentrasi O2 cukup maka terbentuk korosi yang berwarna merah
(FeOOH). Tetapi, jika konsentrasi O2 juga tidak cukup maka terbentuk korosi berwarna
hitam (Fe2O3) atau berwarna hijau (2FeO·Fe2O3·H2O).
Gambar 2.6. Perubahan Volume Tulangan Berdasarkan Tipe Produk Korosi yang Terbentuk
(Monteiro, 2013)
22
Bila tidak terhidrasi, ferric oxide (Fe2O3) akan mengeras dan menghasilkan volume
dua kali dari volume baja awal. Sedangkan apabila ferric oxide terhidasi maka akan
mengembang dan menjadi berpori. Ferric oxide yang mengembang akan menyebabkan
pertambahan volume 2-4 kali lipat pada permukaan beton dan tulangan. Ini menyebakan
timbulnya serpihan karat berwarna merah/coklat pada tulangan yang menyebabkan retak.
Hilangnya area metal dan terbentuknya karat terjadi pada anoda (Webster, 2000).
Produk korosi yang terbentuk sebagai hasil reaksi dari tulangan, oksigen dan air
dapat mengurangi luasan tulangan. Luasan karat yang terbentuk dapat melebihi luasan
asli tulangan dan menyebabkan expansive stresses yang dapat menimbulkan retak pada
over beton. Perbedaan tipe produk korosi yang terbentuk sangan mempengaruhi besarnya
pertambahan volume yang terjadi. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi besarnya
expansive pressure yang terjadi. Gambar 2.6 memperlihatkan ubungan antara tipe produk
korosi dan besarnya perumahan volume yang terjadi.
Gambar 2.7. Proses Korosi dengan adanya pengaruh ion Cl- (Shi X et al., 2010)
Korosi adalah suatu proses yang akan terus berlangsung apabila terdapat konsentrasi
O2 dan H2O yang cukup di dalam beton. Namun proses korosi ini dapat berlangsung lebih
cepat bila terdapat katalis yang dapat mempercepat proses pembentukan anda seperti
adanya ion klorida (Cl−). Ion Cl- ini berasal dari lingkungan yang aggresif seperti
lingkungan yang dekat dengan air laut. Klorida pada dasarnya tidak berperan dalam
pembentukan karat namun ion ini berperan dalam pengahancuran lapisan pasif pada
tulangan dan pembentukan anoda yang akan mempercepat terjadinya korosi. Proses
23
korosi akibat adanya infiltrasi klorida diilustrasikan pada Gambar 2.7. Pada gambar
tersebut dapat terlihat bahwa Fe2+ bereaksi dengan klorida untuk menghasilkan FeCl2
dengan adanya air dan oksigen maka mulai terbentuk produk korosi berup ferrous
hydroxide [Fe(OH)2]. Fe(OH)2 merupakan bentuk awal senyawa hasil korosi akan berada
di permukaan baja yang mengalami korosi. Semakin lama senyawa ini akan bereaksi
dengan oksigen dan air dan menghasikan senyawa Fe(OH)3 yang berwarna cokelat
kemerahan.
2.5 Retak Pada Beton Bertulang Akibat Korosi
Retak pada suatu elemen struktur merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan
karena dapat merusak ketahanan struktur, meningkatkan permeabilitas, dan mengurangi
kekuatan struktur tersebut. Setiap penggunaan material beton pada suatu struktur
bangunan pasti akan menimbulkan retak baik retak yang membahayakan maupun retak
yang tidak membahayakan (Setiawan, 2008). Crack atau retak pada beton bertulang dapat
disebabkan oleh pengaruh dari sifat beton, pengaruh dari lingkungan luar maupun akibat
reaksi yang terjadi antara beton dan tulangan yang menimbulkan korosi sehingga
menyebabkan crack (Aria, 2012).
Retak pada beton bertulang merupakan salah satu tanda awal kegagalan pada beton
bertulang. Beton merupakan suatu material yang lemah terhadap tarik. Meskipun pada
struktur beton bertulang telah terdapat baja tulangan yang berfungsi untuk menahan gaya
tarik serta mencegah terjadinya crack, namun pada beberapa struktur terjadinya crack
tidak dapat dihindari. Terjadinya retak pada struktur beton dapat tetap terjadi karena
adanya beban yang berlebihan sehingga tegangan tarik yang terjadi melampaui kapasitas
beton tersebut. Wittmann (1983) dalam Johannsson dan Reitzel (2011) menyatakan beton
dapat mengalami retak dalam tiga level berbeda yaitu sebagai berikut:
a. Retak Mikro
b. Retak Meso
c. Retak Macro
Pada tahapan retak mikro, retak pada beton hanya dapat dilihat dengan menggunakan
electron microscope. Pada level ini retak terjadi saat semen terhidrasi dan retak terbentuk
pada pasta semen. Pada tahapan retak meso, retak terbentuk pada ruang diantara aggregat
24
dan pasta semen. Sedangkan pada level retak makro, retak terjadi pada mortar antar
agregat.
Seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8, secara umum terjadinya retak pada beton
akibat korosi pada permukaan antara beton dan baja meliputi tiga tahapan yaitu tahapan
terbentuknya karat, tahapan terjadinya tegangan dan selanjutnya adalah tahapan mulai
terjadinya retak pada selimut beton (Liu & Weyers, 1998)
Gambar 2.8 Tahapan Terjadinya Retak Akibat Korosi (Zhao et al., 2013)
Pada permukaan baja terdapat lapisan pasif baja yang tipis. Lapisan pasif baja ini
berguna untuk melindungi baja dari korosi. Proses korosi pada tulangan ini diawali
dengan adanya reaksi antara permukaan pasif baja dengan larutan asam yang berasal dari
beton (Zhao et al., 2013). Hal tersebut menyebabkan rusaknya lapisan pasif pada
tulangan, atau lebih dikenal dengan depassivation, dan memburuknya lekatan antara
tulangan dengan beton akibat terlalu banyak klorida pada interface antara beton dan baja.
Setelah terjadinya depassivation, karat diasumsikan akan menutup pori-pori yang berada
disekitar interface antara baja dan beton (Zhao, Yu, Wu, & Jin, 2012). Pada tahapan ini
karat belum menyebabkan peningkatan tegangan akan tetapi volumenya yang semakin
bertambah mengakibatkan semakin banyak pori-pori beton yang terisi oleh karat (Fang,
Lundgren, Chen, & Zhu, 2004; Zhao, Yu, Wu, et al., 2012). Seiring dengan bertambahnya
volume karat yang terbentuk dan mengisi pori antara interface baja dan beton maka
peningkatan tegangan dan regangan mulai terjadi pada interface antara baja dan beton
(Fang et al., 2004). Ketika terjadi peningkatan tegangan tarik maka retak mulai terjadi
pada selimut beton.
25
Saat terjadinya korosi perbandingan volume antara senyawa hasil reaksi korosi
dengan senyawa yang bereaksi kira-kira 2,5 kali (Japan Concrete Institute, 1994) oleh
karena itu, selimut beton dapat mengalami keretakan akibat tekanan dari pengembangan
volume tersebut. Jika telah terjadi keretakan pada selimut beton maka gas O2, H2O dan
ion Cl− lebih mudah berinfiltrasi ke dalam beton dan kerusakan akibat korosi pada
bangunan beton akan menjadi lebih parah. Retak yang terjadi mengalami perambatan
seiring dengan semakin meningkatnya tegangan sehingga karat dapat mengisi pori-pori
kosong yang disebabkan oleh retak sehingga akan mulai terbentuk lagi karat baru dengan
proses yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Zhao et al., 2013).
Keberhasilan teori fracture mechanics untuk penyelesaian permasalahan retak pada
metal dan keramik menyebabkan teori ini dapat diterapkan untuk menganalisa keretakan
pada beton bertulang. Nuroji menyatakan bahwa pada konsep mekanika fraktur terdapat
tiga parameter yang diperlukan untuk menentukan hubungan tegangan regangan tarik
pada beton yaitu (Nuroji, 2004):
Kuat tarik saat fracture mulai terjadi
Luasan Hubungan Tegangan regangan
Bentuk descending branch
Kurva tegangan dan regangan tekan pada beton dapat dibagi kedalam beberapa zona
(Gambar 2.9) yang dapat menjelaskan proses terjadingan fracture pada beton. Ulfkjaer,
1992 dalam (Johannsson & Reitzel, 2011) menjelaskan proees tersebut sebagai berikut:
a. Proses inisisasi retak dimulai pada tahapan mikro. Tahapan ini disebabkan oleh
shrinkage, swelling dan bleeding pada beton akibat adanya beban. Untuk beban
berkisar antara 0 hingga 30 % dari beban ultimit, hubungan tegangan regangan
masih berada pada kondisi linear dan pertumbuhan retak tidak terjadi pada level
ini.
b. Pada tahapan selanjutnya, ketika beban mencapai 30-50 % dari beban ultimit,
terjadi pertumbuhan retak hingga mencapai ruangantara pasta semen dan agregat.
Perbedaan modulus elastisitas antara pasta semen dan agregat menyebabkan
meningkatnya non linearitas dari beton tersebut.
c. Tahapan selanjutnya adalah ketika beton mulai menerima 50% dari beban ultimit,
retak makro mulai terbentuk pada mortar dan berjalan diantara aggregat dengan
arah paralel dengan arah beban yang bekerja.
26
d. Ketika beban telah mencapai 75% dari ultimate load, keretakan yang lebih
kompleks terjadi dimana retak dengan lebar yang lebih besar mulai terjadi dan
pada akhirnya menyebabkan failure.
Gambar 2.9 berikut ini menunjukkan kurva tegangan regangan yang telah dibagi ke dalam
empat zona retak.
Gambar 2.9 Compressive Stress Strain Curve for Concrete Divided into Four Region
Different Stage of Cracking Ulfkjaer (1992) dalam (Johannsson & Reitzel, 2011)
Sedangkan pada kondisi tarik, terjadinya fracture sangat tergantung pada kekuatan
pada setiap elemen beton misalnya pada retak makro, fracture tergantung pada kekuatan
mortar. Proses fracture dimulai dengan adanya pertumbuhan retak hingga pada saat 80%
dari ultimate tensile load mulai terbentuk retak-retak baru akibat adanya redistribusi
tegangan. Retak terbentuk tidak merata pada spesimen. Ketika batas ultimate tensile load
tercapai maka local fracture zone akan terbentuk disertai dengan terbentuknya macro
crack. Fracture zone akan terus terbentuk pada bagian terlemah dari spesimen.
Untuk mensimulasikan fracture pada beton bertulang, teori fracture mechanics
sangat berhubungan erat dengan nilai fracture energy. Fracture energy (Gf) adalah
jumlah energi yang diperlukan untuk satu satuan retak dari luas suatu continunous crack
dan ditinjau sebagai input material properti Nuroji, 2004). Fracture energy dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan 2.11 berikut ini:
𝐺𝑓 = ∫ 𝜎𝑛𝑛. 𝑑𝑤 (2.11)
27
Dimana w adalah jumlah dari opening displacement dari semua microcracs dalam
fracture zone. Pada kasus pemodelan retak dengan pendekatan smeared crack, nilai w
digambarkan oleh regangan retak yang bekerja pada lebar tertentu yang dimana dalam
finite element disebut dengan crack band. Karena w merupakan akumulasi regangan retak
maka w dapat ditulis seperti gambar 2.12 berikut.
𝑤 = ∫ 𝜀𝑛𝑛𝑐𝑟 . 𝑑𝑛 (2.12)
Dimana n adalah variable dari jalur retak dengan menganggap retak mikro
terdistribusi merata disepanjang jalur retak maka w dapat ditulis sebagai berikut:
𝑤 = 𝑤𝑛𝑛𝑐𝑟 . 𝑏 (2.13)
Gambar 2.10 memperlihatkan model strain softening yang banyak digunakan adalah
model yang dikeluarkan oleh Bazant dan Hillerborg (2002) serta Bazant dan Oh (1983)
dalam (Nuroji, 2004).
Gambar 2.10 Stress distribution and softening curves: (a,b) cohesive crack model for
ductile-brittle metals; (c,d) cohesive crack model for quasibrittle materials (concrete);
(e,f) crack band model for quasibrittle materials (Bazant, 2002)
Anggapan dasar kedua model ini adalah lebar fracture zone (wc) dianggap sebesar 3
kali ukuran aggregat kasar maksimum dan retak beton seragam selebar crack band. Pada
kasus ini persamaan akhir untuk menghitung regangan fracture tarik ε0 adalah sebagai
berikut:
28
𝜖0 =2𝐺𝑓
𝑓𝑡 .𝑏 (2.14)
Dimana:
b = lebar elemen (tergantung pada ukuran elemen, jenis elemen, bentuk elemen)
ft = Kuat tarik beton
Gf = Fracture Energy
Setelah melakukan studi eksperimental Hillerborg et al (1976) mengusulkan bilinear
descending branch untuk prilaku strain softening sehingga persamaan diatas dapat
diturunkan menjadi:
𝜖0 =18𝐺𝑓
5𝑓𝑡 .𝑏 (2.15)
Kedua model tersebut telah terbukti cocok digunakan pada pemodelan struktur beton
bila menggunakan ukuran mesh yang relatif kecil. Comite Euro International du Beton
(1990) telah mengemukakan bahwa fracture energy dapat ditentukan dengan melakukan
pengujian lentur pada notched beam dimana nilai fracture energy sebanding dengan
luasan dibawah kurva load-displacement dibagi dengan luasan bersih dari specimen yang
berada diatas notch. Akan tetapi bila pengujian tidak dilakukan maka nilai fracture energy
dapat didekati dengan menggunakan persamaan 2.16. Selain itu besarnya fracture energy
juga dapat didekati dengan mengkorelasikan nilai fracture energy dengan ukuran agregat
seperti diperlihatkan padaTabel 2.2.
𝐺𝑓 = 𝐺𝑓0(𝑓𝑐𝑚
10)0.7 (2.16)
Dimana:
fcm = Kuat tekan karakteristik beton (MPa)
Gf0 = Base value of fracture energy based on maximum aggregate size
Nilai fracture energy berdasarkan ukuran aggregat disajikan pada Tabel 2.1.
29
Tabel 2.1. Based Value of Fracture Energy
Ukuran Agregat
Maksimum [Dmax (mm)]
Nilai Fracture Energy [Gf0
(Nmm/mm2)]
8 0.025
16 0.030
32 0.058
2.6 Perkembangan Model untuk Menganalisa Keretakan Pada Beton Bertulang
Akibat Korosi
Terdapat beberapa model yang dikembangkan untuk memodelkan retak serta crack
properties pada beton bertulang. yang disebabkan oleh penetrasi korosi pada interface
antara tulangan dan beton. Liu dan Weyers (1998) mengembangkan model waktu retak
dengan mempertimbangkan jumlah kritis dari karat yang dibutuhkan untuk mengisi ruang
diantara beton dan tulangan yang dapat menyebabkan retak pada selimut beton. Karat
diasumikan sebagai dinding tebal dengan ketebalan yang merata. Persebaran karat secara
merata diperlihatkan pada Gambar 2.11
Gambar 2.11 Skema Keretakan Beton Bertulang Akibat Korosi (C. . Li et al., 2005)
Ketebalan korosi yang merata didapatkan dari perumusan berikut ini (Liu & Weyers,
1998)
𝑑𝑠(𝑡) =𝑊𝑟(𝑡)
𝜋(𝐷+2𝑑𝑜)(
1
𝜌𝑟−
𝛼𝑟
𝜌𝑠𝑡) (2.17)
Dimana:
𝛼𝑟 = Koefisien terkait tipe produk korosi
𝜌𝑟 = Density dari produk korosi
𝜌𝑠𝑡 = Density dari baja tulangan
𝑊𝑟(𝑡) = Massa dari produk korosi dimana nilainya dapat dihitung sebagai berikut:
30
𝑊𝑟(𝑡) = [2 ∫ 0.105 (1
𝛼𝑟) 𝜋𝐷𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑡)𝑑𝑡
1
0]
1/2
(2.18)
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑡) : Corrosion Current Density (μA/cm2)
Seiring dengan bertambahnya volume karat yang terbentuk maka beton mulai
mengalami keretakan. Keretakan pada beton yang diakibatkan pertambahan volume karat
dibagi menjadi 3 tahapan yaitu tahapan sebelum retak, retak partial dan retak keseluruhan
(C. . Li et al., 2005).
Pada saat kondisi sebelum retak beton diasumsikan bersifat elastic isotropic
sehingga Li et al. (2005) menggunakan teori elastisitas untuk menghitung expansive
pressure yang terjadi
𝑃1 = −𝜎𝑟(𝑎) =𝐸𝑒𝑓𝑑𝑠(𝑡)
𝑎(𝑏2+𝑎2
𝑏2−𝑎2+ 𝑣𝑐) (2.19)
Dimana;
𝑎 = Jarak dari center tulangan ke interface antara baja dan tulangan yang dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
𝑎 = 𝐷+2𝑑𝑜
2 (2.20)
𝑏 = Jarak dari center tulangan ke exposed surface dan tulangan yang dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
𝑏 = 𝐷+2𝑑𝑜
2+ 𝐶 (2.21)
𝜎𝑟 = radial stress
𝐸𝑒𝑓 = modulus elastisitas efektif beton
𝑣𝑐 = poisson’s ratio beton
𝑑𝑜 = jarak interface anatar beton dan tulangan
𝐶 = tebal selimut beton
Pada saat retak mulai terjadi baik itu retak partial maupun retak keseluruhan maka
terjadi penurunan stiffness reduction factor. Nilai stiffness reduction factor (α) didapatkan
dari perumusan yang dirumuskan oleh Bazant dan Planas (1998) dan Sheng et al (1991)
dalam (C. . Li et al., 2005)
𝛼 =𝑓𝑡𝑒𝑥𝑝|−𝛾(𝜀𝜃̅̅̅̅ − 𝜀𝜃
𝑐̅̅̅̅ )|
𝐸𝑒𝑓𝜀𝜃̅̅̅̅ (2.22)
31
Dimana:
𝜀𝜃̅̅̅ = average tangential strain over the cracked surface
𝜀𝜃𝑐̅̅̅ = average tangential cracking strain
𝛾 = konstanta
Berdasarkan persamaan 2.22 diatas maka lebar retak yang diakibatkan oleh korosi
dapat dihitung dengan menggunakan perumusan berikut (C. . Li et al., 2005).
𝑤𝑐 =4𝜋𝑑𝑠(𝑡)
(1−𝑣𝑐)(𝑎
𝑏)
√𝛼+(1+𝑣𝑐)(
𝑏
𝑎)
√𝛼−
2𝜋𝑏𝑓𝑡
𝐸𝑒𝑓 (2.23)
Zhao et al. (2012) menyederhanakan perhitungan lebar retak dengan menggunakan
regresi hasil uji eksperimental. Pengukuran retak dilakukan dengan menggunakan digital
microscopy dan dilakukan setiap interval satu mm disepanjang perimeter tulangan mulai
dari permukaan tulangan hingga permukaan beton terluar (selimut) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.12 berikut ini.
(a) (b)
Gambar 2.12. Skema Pengukuran Retak akibat Korosi (a) dan Simplified Crack Model
(b) (Zhao, Yu, Hu, et al., 2012)
Sehingga berdasarkan pengukuran tersebut didapatkan perumusan lebar retak total yang
terjadi adalah
𝑊𝑖 = 𝑎(𝑅𝑖 − 𝑅) + 𝑏 (2.24)
Dimana:
a : Koefisien variasi lebar retak yang dapat dihitung dengan menggunnakan perumusan
32
𝑎 = 0.67857𝜌 − 0.00234 (2.25)
b : Koefisien lebar retak pada permukaan tulangan yang dapat dihitung dengan
menggunakan perumusan
𝑏 = 20.93𝜌 (2.26)
ρ : Prosentase korosi beton (%)
Selama ini analisa yang dilakukan untuk mengetahui perambatan retak akibat korosi
mengasumsikan bahwa korosi terjadi pada seluruh bagian dari tulangan sehingga
corrosion layer memiliki ketebalan yang sama. Namun penelitian yang dilakukan oleh
beberapa peneliti menyatakan bahwa produk korosi tidak terjadi pada seluruh area dari
tulangan sehingga distribusi yang dihasilkan tidak merata antara satu bagian dengan
bagian lainnya (Cao dan Cheung, 2014; Muthulingam dan Rao, 2014; Zhao et al., 2011).
Tidak meratanya distribusi ini menyebabkan pola retak yang terjadi akan berbeda dan
tidak dapat diprediksi dengan rumusan yang telah ada.
Gambar 2.12 Distribusi Karat sepanjang Perimeter Tulangan (Zhao et al., 2011)
Selain itu sebagian besar model yang diajukan tidak memperhitungkan perilaku
produk korosi yang dihasilkan. Padahan pada kenyataannya produk korosi tersebut
memiliki perilaku fisik maupun mekanis yang dapat mempengaruhi perilaku perambatan
retak maupun lebar retak yang terjadi (Zhao et al., 2013). Akibat tidak
dipertimbangkannya sifat-sifat dari produk korosi tersebut maka model-model empiris
yang diajukan pada penelitian sebelumnya hanya mampu menggambarkan pola
perambatan retak apabila validasi dilakukan dengan hasil eksperimental yang khusus
33
dijadikan referensi untuk penelitian tersebut. Namun apabila dibandingkan dengan hasil
ekperiental lainnya maka kecocokan model tersebut untuk menggambarkan laju retak
sangatlah rendah (Zhao et al., 2013; Zhao et al., 2012).
Penelitian mengenai persebaran korosi yang tidak merata (non-uniform corrosion)
telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Zhao et al telah melakukan penelitian mengenai
persebaran karat yang tidak merata disepanjang perimeter tulangan seperti diperlihatkan
pada Gambar 2.12 (Zhao et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al
menghasilkan suatu model persebaran karat secara tidak merata berdasarkan Gaussian
function (Zhao et al., 2011).
𝑇𝑟 =𝑎1
𝑎2√2𝜋𝑒
−(𝜃−𝜋
√2𝑎2)
2
+ 𝑎3 (2.27)
Dimana
𝑎1 = 𝑛𝑜𝑛 𝑢𝑛𝑖𝑖𝑓𝑜𝑟𝑚 𝑐𝑜𝑒𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑟𝑢𝑠𝑡 𝑙𝑎𝑦𝑒𝑟
𝑎1 = 49 𝜌 (2.28)
𝑎2 = 𝑠𝑝𝑟𝑒𝑎𝑑 𝑐𝑜𝑒𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑟𝑢𝑠𝑡 𝑙𝑎𝑦𝑒𝑟
𝑎3 = 𝑈𝑛𝑖𝑓𝑜𝑟𝑚 𝑐𝑜𝑒𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑟𝑢𝑠𝑡 𝑙𝑎𝑦𝑒𝑟
𝑎3 = 0 Bila korosi hanya terdapat pada sebagian dari perimeter tulangan
𝑎3 = 1.46 𝑇𝑟−𝑚𝑖𝑛 Bila korosi terdapat di sepanjang perimeter tulangan
Nilai dari koefisien yang digunakan dalam perhitungan karat tersebut didapatkan
berdasarkan analisa regresi dari hasil eksperimental yang telah dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu perumusan ini tidak dapat digunakan bila hasil persebaran karat dari
pengamatan langsung, baik hasil eksperimental maupun pengamatan di lapangan tidak
tersedia.
35
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Umum
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai lingkup penelitian, metodologi dan
rancangan teknik pelaksanaan penelitian. Lingkup penelitian berisi penjelasan singkat
terkait aspek-aspek yang dikerjakan dalam penelitian. Sedangkan metodologi disusun
agar tahapan penyelesaian permasalahan lebih terarah sehingga hasil yang didapatkan
merupakan hasil optimum dan sesuai dengan yang diharapkan. Seluruh tahapan
metodologi tersebut dijelaskan lebih rinci dalam sub bab selanjutnya.
3.2 Lingkup Penelitian
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai aspek yang dikaji dan dikerjakan pada
penelitian disertasi ini. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa efek
dari perbedaan konfigurasi siklus basah dan kering dan pengaruh penggunaan pendekatan
korosi tidak seragam (non-uniform corrosion) untuk mendapatkan model prediksi
keretakan yang tepat pada beton bertulang. Penelitian ini meliputi beberapa sub penelitian
utama seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.
Terdapat tiga tahapan kegiatan utama yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahapan
pertama adalah pengujian eksperimental. Pada tahapan ini dilakukan pengujian korosi
dengan menggunakan dua buah metode. Metode yang pertama adalah metode
galvanostatik dan metode kedua adalah metode wetting and drying. Pengujian
eksperimental dengan metode galvanostatik dilakukan untuk menginvestigasi proses
terjadinya retak akibat korosi. Persebaran produk korosi, atau yang disebut juga dengan
karat, juga dilakukan dalam metode ini. Sedangkan kegiatan eksperimental dengan
metode wetting and drying digunakan untuk menginvestigasi proses infiltrasi klorida ke
dalam beton akibat perbedaan durasi basah dan kering. Hasil dari kegiatan eksperimental
ini digunakan untuk memvalidasi model yang dikembangkan dalam penelitian disertasi
ini.
Pada pengujian ini sampel yang digunakan adalah kubus beton bertulang berukuran
150x150x150 mm dengan tulangan tunggal yang ditanamkan 40 mm dari exposed
surface. Ukuran ini dipilih untuk menyesuaikan dengan ketersediaan ruang untuk
36
pengujian dan kebutuhan benda uji. Penggunaan tulangan tunggal pada penelitian ini
bertujuan untuk memastikan retak yang terjadi disebabkan oleh korosi satu buah tulangan
dan mencegah adanya pengaruh beban tambahan dari terbentuknya karat pada tulangan
lainnya. Selain itu, ketebalan selimut beton sebesar 40 mm hanya diaplikasikan pada sisi
bawah dari benda uji untuk mencerminkan kondisi struktur balok yang sebenarnya
dimana untuk tulangan utama lentur hanya satu sisi dari tulangan yang memiliki jarak
paling dekat dengan exposed surface. Sedangkan sisi lainnya memiliki jarak lebih besar
dibandingkan dengan ketebalan selimut beton. Untuk memastikan proses transport
klorida hanya terjadi secara satu arah, maka permukaan beton selain dari exposed surface
dilapisi dengan epoxy untuk mencegah proses masuknya klorida dari permukaan lain
selain exposed surface. Untuk pengujian dengan metode wetting and drying, digunakan
tiga kombinasi durasi basah dan kering yang berbeda-beda. Secara natural, durasi basah
dan kering pada daerah percikan berbeda satu dengan yang lainnya karena perbedaan
kondisi gelombang serta pasang surut. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan tiga
buah chamber dengan kondisi temperatur dan kelembapan yang sama namun memiliki
durasi basah dan kering yang berbeda-beda.Tiga kondisi basah dan kering yaitu sebagai
berikut:
1 jam basah and 7 jam kering (w/d ≤ 0.5; 3 cycles per hari)
3 jam basah dan 5 jam kering (w/d > 0.5; 3 cycles per hari)
24 jam basah (w/d ≥ 1; fully submerged)
Setelah tahapan eksperimental selesai dilakukan, pada tahapan selanjutnya
dikembangkan model untuk memprediksi proses infiltrasi klorida akibat siklus basah dan
kering serta waktu keretakan dengan menggunakan asumsi non-uniform corrosion.
Model prediksi infiltrasi klorida dikembangkan untuk mengetahui chloride profile akibat
perbedaan durasi basah dan kering. Sedangkan model prediksi keretakan pada beton
bertulang dikembangkan untuk mendapatkan model prediksi waktu keretakan akibat
pendekatan korosi tidak seragam. Tahapan ketiga adalah pemodelan numerik untuk
mensimulasikan pola perambatan retak. Hasil dari model ini divalidasi meggunakan hasil
eksperimental yang telah dilakukan sebelumnya.
37
START
PERUMUSAN
PERMASALAHAN PENELITIAN
EKSPERIMENTAL
TESTMODELING
Validasi Model dan
Hasil Eksperimental
Penarikan
Kesimpulan
FINISH
STUDI LITERATUR
OK
SERIES 1
(Galvanostatik)
SERIES 2
(Wetting and
Drying)
Rust Distribution
Model
Time to Crack
initiation Model
Model of Chloride Penetration
on Fully submerged condition
(based on Fick s Law)
Preparasi dan Uji
Material
Pembuatan Benda
Uji
Pengujian
Properties Beton
SERIES 1
(Galvanostatik)
SERIES 2
(Wetting and Drying)
Pengumpulan dan Analisa
Data
(Time to cracking initiation
and cracking patern)
Pengumpulan dan
Analisa Data
(chloride penetration)
NOT OK
Crack
Propagation
Pattern Model
Model of Chloride Penetration
on Wetting and Drying condition
(based on Fick s Law)
Time to Crack
Propagation Model
Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Disertasi
3.3 Studi Literatur
Pada tahap awal dilakukan studi literatur mengenai topik yang dibahas dalam
disertasi ini. Referensi yang digunakan pada penelitian ini meliputi buku, jurnal maupun
peraturan yang terkait dengan korosi pada beton bertulang, retak akibat korosi serta dasar
38
pemodelan matematis terkait dengan korosi. Hasil dari studi literatur ini menjadi dasar
dalam perumusan permasalahan dan juga penentuan metode yang dilakukan dalam
penelitian ini. Beberapa referensi juga digunakan sebagai bahan validasi dari model yang
telah dibuat.
Berdasarkan hasil kajian literatur dilakukan perumusan permasalahan penelitian
untuk memperjelas tujuan dan arah dari penelitian disertasi ini. Beberapa batasan masalah
juga ditetapkan untuk mencegah meluasnya cakupan penelitian.
3.4 Uji Eksperimental
Pengujian eksperimental dilakukan sesuai dengan ruang lingkup dan batasan
penelitian yang ditetapkan. Uji eksperimental ini dilakukan untuk mengetahui proses
infiltrasi klorida ke dalam beton akibat siklus basah dan kering serta proses keretakan
akibat korosi yang terjadi pada tulangan. Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan,
eksperimental dilakukan dengan metode galvanostatik dan metode wetting and drying.
Metode galvanostatik digunakan untuk mengamati proses keretakan akibat adanya korosi
pada beton bertulang. Sedangkan metode siklus basah dan keringdigunakan untuk
mengamati proses masuknya ion klorida pada beton. Bagan alir kegiatan eksperimental
disajikan pada Gambar 3.2.
3.4.1 Persiapan Material
Pada tahap persiapan material ini diakukan persiapan dan pengumpulan material
yang akan digunakan dalam pembuatan benda uji beton bertulang. Material yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Semen
Digunakan Portland cement PPC produksi PT Semen Gresik. PPC merupakan
jenis semen yang memiliki bentuk partikel yang lebih spherical (bulat) bila
dibandingkan dengan jenis semen yang lain hal ini membuat workability semen ini
lebih baik dipandingkan dengan OPC. Pada beton yang menggunakan semen PPC,
senyawa Ca(OH)2 yang dilepaskan pada saat proses hidrasi awal bereaksi dengan
silica dan menghasilkan senyawa yang tidak larut sehingga mengurangi leaching
pada permukaan beton. Selain itu PPC juga membantu mengurangi pori dan menutup
pori kapiler sehingga permeabilitas beton berkurang. Jenis semen ini banyak
39
digunakan untuk daerah yang membutuhkan katahanan terhadap durabilitas dalam
tingkat sedang. Selain itu PPC juga saat ini telah dipasarkan secara bebas sehingga
merupakan jenis semen yang banyak digunakan di masyarakat. Berdasarkan fakta
yang telah dipaparkan diatas maka PPC dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini
agar hasil yang didapatkan lebih representatif dengan kondisi di lapangan.
STUDI LITERATUR
START
Persiapan
Material
Pengujian
Semen
Pengujian
Kerikil
Pengujian
Pasir
Pembuatan Benda Uji
(SERIES 2 Benda Uji
dengan wetting and
drying cycle)
Pembuatan Benda Uji
(SERIES 1
Benda Uji
Galvanostatik)
Perawatan
Benda Uji
Galvanostatik testPengujian Properties
BetonWetting and Drying
1. Lebar retak
2. Pola Retak
3. Persebaran Karat
4. Waktu Inisiasi Retak
1. Kuat tekan
2. Kuat Tarik
3. Porositas
4. Penetrasi Cl
1. Chloride Profile
2. Microstructure
SELESAI
Pengujian
Tulangan
Gambar 3.2 Bagan Alir Detail Kegiatan Eksperimental
b. Agregat Halus (Pasir)
Tidak ada kriteria khusus dalam pemilihan agregat halus selain kesesuaiannya
dengan persyaratan ASTM. Agregat halus yang digunakan adalah agregat alami yang
berasal dari daerah Lumajang.
40
c. Agregat Kasar (Kerikil)
Sama dengan agregat halus, agregat kasar yang digunakan harus memenuhi
standar ASTM. Agregat kasar yang digunakan merupakan batu pecah berasal dari
Pasuruan.
d. Tulangan
Tulangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulangan ulir. Pemilihan
tulangan ulir dilakukan karena jenis tulangan ini merupakan tulangan utama yang
digunakan pada setiap struktur beton bertulang. SNI 2847 terkait perencanaan beton
bertulang telah mewajibkan hampir semua struktur beton bertulang terutama yang
berada di wilayah rawan gempa untuk menggunakan tulangan ulir. Selain itu
penggunaan tulangan ulir diyakini dapat memberikan respon yang berbeda dalam
persebaran karat terutama untuk analisa korosi dengan menggunakan pendekatan
korosi tidak seragam. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan tulangan ulir
dengan diameter 19 mm produksi PT Hanil.
e. NaCl
Natrium klorida (NaCl) juga merupakan material utama dalam penelitian ini
karena merupakan larutan yang digunakan untuk mensimulasikan kondisi
lingkungan di sekitar beton. Pada penelitian ini digunakan Natrium klorida analisis
dengan kemurnian 97%
f. Aquades
Aquades merupakan cairan yang digunakan untuk melarutkan NaCl menjadi suatu
larutan dengan konsentrasi tertentu. Aquades dipilih dibandingkan air PDAM yang
biasa digunakan karena aquades merupakan H2O murni dan hamper tidak
mengandung mineral sehingga mampu menciptakan larutan NaCL murni
3.4.2 Pengujian Material
Pengujian material dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kelayakan material
sebelum digunakan sebagai campuran beton.
a. Pengujian Pasir
Agregat halus yang digunakan adalah pasir Lumajang. Selanjutnya dilakukan
analisa agregat halus yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui
41
karakteristik dari agregat halus tersebut. Pengujian yang dilakukan antara lain
adalah:
Pengujian berat jenis pasir (ASTM C 128-01)
Pengujian air resapan pasir (ASTM C 128-01)
Pengujian kebersihan pasir terhadap lumpur (ASTM 117-03)
b. Pengujian Kerikil
Kerikil yang digunakan adalah kerikil yang berasal dari batu pecah yang
diperoleh dari Pasuruan. Pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Pengujian berat jenis kerikil(ASTM C 127-01)
Pengujian air resapan kerikil(ASTM C 127-01)
Pengujian kadar lumpur kerikil (ASTM C117-03)
c. Pengujian Semen
Semen yang digunakan adalah Portland Pozzoland Cement (PPC) produk
PT Semen Gresik dengan standar mutu mengacu pada ASTM C 150 dan SNI
0302-2004. Semen PPC produksi Semen Gresik adalah semen yang digunakan
untuk bangunan umum seperti rumah, jembatan, jalan raya, landasan bandar
udara dan industri produk bangunan lainnya. Semen PPC ini juga baik untuk
bangunan yang memerlukan panas hidrasi sedang serta ketahanan sulfat sedang
seperti pada lingkungan bergaram dan berair seperti dermaga, bangunan irigasi,
bendungan dan bangunan tepi laut. Pengujian kandungan senyawa dalam
semen dilakukan dengan melakukan analisa XRD.
3.4.3 Mix Desain
Perencanaan campuran dilakukan dengan menggunakan metode DOE sesuai
dengan SNI 03-3449-2002. Metode ini merupakan metode umum yang digunakan dalam
pencampuran benda uji di Indonesia. Dalam perhitungan komposisi campuran beton
dengan metode ini, material yang digunakan terdiri atas semen, aggregate halus,
aggregate kasar dan air. SNI dan ACI menetapkan kisaran nilai maksimum untuk faktor
air semen (FAS) untuk struktur beton yang berada pada lingkungan aggresif yakni sebesar
0.4 hingga 0.5. Dengan mengikuti prinsip perencanaan campuran beton dengan metode
42
DOE, dimana kekuatan beton ditentukan oleh pemakaian FAS, maka untuk mendapatkan
campuran dengan kekuatan terendah maka pada penelitian ini nilai FAS yang digunakan
adalah 0.5.
3.4.4 Penentuan Kebutuhan Benda Uji
Beberapa tes dilakukan pada benda uji dalam penelitian ini. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penghitungan jumlah benda uji yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Perhitungan terhadap kebutuhan benda uji dilakukan untuk setiap pengetesan. Benda uji
yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis benda uji yakni yakni benda
uji silinder berukuran ø 10 x 20 cm dan benda uji kubus berukuran 15 x 15 x 15 cm. Tabel
3.1 menunjukkan matriks kebutuhan benda Uji.
Tabel 3.1 Matriks Kebutuhan Benda Uji
Jenis Pengujian Tipe Benda Uji
Jumlah benda
Uji
Galvanostatik Test Kubus 15 cm x 15 cm x 15cm 10
Wetting and Driying Test Kubus 15 cm x 15 cm x 15cm 12
Uji Kuat Tekan dan Tarik Silinder ø 10. 20 42
Uji Porositas Silinder ø 10. 20 15
Uji Penetrasi Silinder ø 10. 20 3
Benda uji adalah kubus beton bertulang dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm digunakan
untuk pengetesan metode galvanostatik dan wetting and drying. Benda uji kubus terbagi
atas dua konfigurasi dimana benda uji yang digunakan untuk pengujian korosi dengan
metode galvanostatik menggunakan benda uji dengan tulangan menonjol ke bagian luar
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.3 (a). Sedangkan benda uji kubus untuk
pengujian metode siklus basah dan keringmenggunakan benda uji dengan konfigurasi
tulangan tertanam seperti ditunukkan oleh Gambar 3.3 (b). Benda uji silinder ø 10. 20
digunakan untuk pengetesan kuat tekan, kuat tarik, uji penetrasi dan porositas. Benda uji
yang digunakan memiliki rasio air semen 0.5 menggunakan tulangan ulir dengan dimeter
19 mm dan tebal selimut beton sebesar 40 mm. Permukaan beton dan tulangan yang tidak
terekspose dengan NaCl dicoating dengan menggunakan epoxy untuk memastikan proses
transport klorida sesuai dengan asumsi yang digunakan yaitu hanya dari satu arah.
43
Gambar 3.3 Benda Uji Kubus untuk Pengujian Korosi dengan Metode (a) Galvanostatik
dan (b) Wetting and Drying
3.4.5 Pembuatan Benda Uji
Pada sub bab ini akan dijelaskan proses pembuatan benda uji yang akan digunakan
untuk pengujian selanjutnya. Benda uji terbagi menjadi dua jenis yakni benda uji silinder
berukuran ø 10 x 20 cm dan benda uji kubus berukuran 15 x 15 x 15 cm. Benda uji silinder
digunakan dalam pengetesan kuat tekan, kuat tarik, porositas dan penetrasi beton
bertulang. Sedangkan benda uji kubus digunakan pada pengujian korosi untuk
mendapatkan data mengenai infiltrasi klorida dan proses retak akibat korosi yang terjadi.
Proses mix design dilakukan sesuai dengan SNI 03-3449-2002. Beberapa hari
sebelum proses pengecoran, dilakukan pencucian terhadap aggregat halus dan aggregat
kasar untuk menghilangkan debu halus yang menempel pada agregat yang dapat berakibat
pada meningkatnya kebutuhan air dan penurunan kekuatan material serta bond strength.
Agregat yang berada pada kondisi basah diletakkan pada ember agar agregat dapat
mengabsorpsi air, menstabilkan kondisi kelembapan dan membuang kelebihan air ke
bagian bawah ember yang telah dilubangi sebelumnya. Agregat yang berada pada bagian
terbawah, sekitar 5 hingga 10 cm dari dasar tempat penyimpanan, tidak digunakan karena
berada pada kondisi basah akibat dari kelebihan air yang terkumpul pada saat proses
penyimpanan. Agregat pada bagian atas dipindahkan ke tempat penyimpanan lain yang
dan disimpan hingga berada pada kondisi SSD (Saturated Surface Dry). Agregat inilah
yang digunakan dalam proses pencampuran beton. Proses persiapan agregat ditunjukkan
pada Gambar 3.4.
44
Gambar 3.4 Proses Persiapan Agregat
Sehari sebelum pengecoran, semua material disiapkan dan ditimbang sesuai dengan
kebutuhan. Persiapan cetakan juga dilakukan untuk mempermudah proses casting setelah
pengecoran. Agregat dan semen dibagi menjadi dua batch karena keterbatasan volume
mixer. Pencampuran dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan secara bertahap. Pada
tahapan awal pencampuran aggregat kasar dimasukkan terlebih dahulu hal ini disebabkan
karena ukuran partikelnya yang cukup besar dan juga untuk mencegah slip pada dinding
mixer. Semen dimasukkan di atas aggregate kasar kemudian dilanjutkan dengan
aggregate halus untuk mencegah debu halus dari material semen keluar dari mixer.
Material kering dicampur terlebih dahulu hingga tercampur secara homogen sekitar 30
hingga 60 detik. Setelah bahan-bahan kering tercampur tahapan selanjutnya adalah
penambahan air. Pencampuran semua bahan dilakukan hingga merata selama 3 hingga 5
menit. Setelah itu, beton segar yang telah dicampur dituangkan dalam wadah besar dan
mulai dicor kedalam cetakan yang telah disiapkan. Proses pengecoran ditunjukkan pada
Gambar 3.5.
Untuk memenuhi kebutuhan benda uji, cetakan yang disiapkan berupa cetakan
silinder dan kubus. Cetakan kubus dibagi kedalam dua konfigurasi penempatan tulangan
yang berbeda. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan metode pengujian korosi. Dalam
metode galvanostatik, tulangan dibuat menonjol keluar karena harus dihubungkan dengan
45
DC power supply untuk mempercepat proses korosi yang terjadi. Sedangkan pada metode
wetting and drying tulangan seluruhnya berada di dalam beton karena proses percepatan
korosi dilakukan dengan mempercepat siklus basah dan kering yang terjadi. Selain dalam
bentuk kubus, beton juga dicetak kedalam bentuk silinder untuk keperluan pengujian
karakteristik beton seperti pengujian kuat tekan, kuat tarik, dan pengujian lainnya.
Gambar 3.5 Proses Persiapan Cetakan dan Pengecoran Beton bertulang
Proses curing pada beton bertulang pada beton selama 28 hari sebelum dilakukan
pengujian korosi. Beton yang telah dicor didiamkan dalam kondisi ruangan selama 24
jam hingga mengeras. Setelah 24 jam beton dikeluarkan dari cetakan dan mulai dilakukan
curing. Proses curing awal dilakukan dengan menutupi seluruh bagian beton dengan kain
yang telah dibasahi sebelumnya. Bagian tulangan dilapisi dengan epoxy untuk mencegah
reaksi tulangan dengan kain basah sehingga korosi tidak terjadi lebih dahulu sebelum
pengujian korosi dilakukan.
3.4.6 Perawatan Benda Uji
Perawatan (curing) benda uji dilakukan dengan dua metode. Untuk benda uji
silinder dan kubus yang digunakan untuk pengujian wetting and drying, curing dilakukan
46
dengan merendam benda uji selama 28 hari dalam air PDAM. Sedangkan untuk benda uji
yang diuji dengan metode galvanostatik, curing dilakukan dengan melapisi beton dengan
lap kain basah untuk mencegah kontak tulangan yang menonjol dengan air. Lapisan
tulangan dilapisi dengan epoxy bening untuk mencegah kontak dengan udara selama
masa curing.
3.4.7 Pengujian Properties Benda Uji
a. Pengujian Slump (ASTM C 143)
Pengujian slump dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari dari beton segar
sehingga dapat diketahui tingkat workabilitinya. Untuk melakukan tes ini diperlukan
tabung Abraham atau dikenal juga dengan tabung kerucut serta alat perojok, mistar dan
pelat baja. Pada test ini beton dimasukkan secara bertahap menjadi tiga bagian dengan
masing-masing bagian diberikan rojokan sebanyak 25 kali rojokan. Setelah tabung
Abraham diangkat, maka dilakukan pengukuran selisih tinggi beton dan ketinggian
tabung Abraham.
b. Pengujian Kuat Tekan (ASTM C39 M-01) dan Kuat Tarik (ASTM C496)
Pengujian kuat tekan dilakukan sesuai dengan ASTM C39. Pengujian ini dilakukan
setelah benda uji silinder direndam dalam kolam perawatan selama 28 hari. Sebelum
pengujian kuat tekan benda uji didiamkan pada suhu ruagan untuk membuang kelebihan
air. Benda uji ditekan dengan pembebanan 1.5-3.5 kg/cm2/detik sesuai dengan ketentuan
ASTM. Kuat tekan beton didapatkan dengan membagi antara beban yang diterima dengan
luas area beton tersebut.
Preparasi material untuk pengujian kuat tarik dilakukan dengan metode yang sama
dengan penguian kuat tekan. Pengujian kuat tarik ini dilakukan sesuai dengan standar
ASTM C 496. Pemberian pembebanan dilakukan secara konstan dengan kecepatan antara
50 hingga 100 kN per menit. Besarnya kuat tarik belah dapat dihitung dengan membagi
dua kali beban maksimum dengan panjang benda uji dikalikan dengan diameter.
c. Pengujian Kecepatan Penetrasi Klorida (ASTM C1202)
Pengujian penetrasi klorida dilakukan sesuai dengan ASTM 1202. Pengujian ini
bertujuan untuk mendapatkan koefisien difusi awal dari sampel. Benda uji dipotong
47
dengan menggunakan alat pemotong untuk mendapatkan sampel beton dengan tinggi 5
cm. Selimut dari benda uji dilapisi dengan menggunakan epoxy. Pada tahapan selanjutnya
benda uji divakum selama tiga jam dan direndam selama 18 jam untuk membuat benda
uji berada pada kondisi jenuh.
Setelah berada pada kondisi jenuh benda uji ditempatkan pada alat pengujian
dengan sel sebelah kiri adalah terhubung dengan cairan NaOH 0,3 M dan bagian sebelah
kanan terhubung dengan NaCl 3%. Larutan NaCl diperoleh dengan melarutkan 3 gram
NaCl kedalam aquades hingga mencapai volume 100 ml dan larutan NaOH 0.3 N dibuat
dengan melarutkan tiap 0.3 berat molekul (BM) NaOh ke dalam aquades hingga volume
1 liter. Untuk keperluan pengukuran besarnya charge passed, sel yang berisi larutan NaCl
dihubungkan dengan terminal negatif dan sel yang berisi larutan NaOH dihubungkan
dengan terminal positif.
Gambar 3.6 Skema Pengujian Penetrasi (ASTM C 1202)
Koefisien difusi diperoleh dengan mengukur konsentrasi ion klorida pada benda
uji setelah dilakukan uji penetrasi dengan menggunakan perumusan sebagai berikut
𝐷 =𝑅𝑇𝐿
𝑧𝐹𝑈
𝑥𝑑−𝛼√𝑥𝑑
𝑡 (3.1)
Dimana z adalah valensi ion dimana untuk klorida diambil sama dengan satu.
Konstanta F dan R secara berturut adalah konstanta faradai dan konstanta gas. Sedangkan
T adalah temperatur absolut pada penelitian ini dimana diambil sebesar 30oC, U adalah
beda potensial listrik dan L adalah temal benda uji. Koefisien xd dan t adalah jarak
48
pengukuran konsentrasi klorida dari permukaan beton dan t adalah waktu pengukuran.
Koefisen dapat dicari dengan menggunakan perumusan berikut ini.
𝛼 = 2 × √𝑅𝑇𝐿
𝑧𝐹𝑈𝑒𝑟𝑓𝑐 (1 −
2𝑐𝑑
𝑐𝑜) (3.2)
Koefisien co dan cd adalah konsentrasi pada permukaan beton dan konsentrasi pada
titik xd.
d. Pengujian Porositas (AFNOR NF B 49104)
Pengujian porositas dilakukan untuk mengetahui besarnya pori di dalam beton.
Porositas pada beton dibedakan atas porositas terbua dan tertutup. Porositas terbuka
merupakan pori yang bersifat permeable yang berarti pori tersebut mampu ditembus oleh
air dan udara. Semakin besar porositas terbuka, maka beton cenderung memiliki kuat
tekan yang lebih rendah dan keropos. Sedangkan pori tertutup lebih bersifat impermeable
dan dapat mencegah beton dari keretakan. Pengujian porositas dilakukan untuk sampel
beton dengan tiga kondisi yang berbeda.
Benda uji diambil dari masing-masing chamber kemudian dipotong setinggi 2 cm.
Potongan benda uji tersebut direbus selama 5 jam agar semua pori yang berada di
dalamnya terisi air. Dalam keadaan basah, potongan benda uji ditimbang dalam air (= μ).
Kemudian, potongan benda uji ditimbang dalam keadaan SSD (= Mh). Setelah itu,
potongan benda uji dimasukkan ke dalam oven ± 100°C selama beberapa hari agar
semua air yang ada dalam benda uji menguap. Dalam keadaan kering tersebut benda uji
ditimbang (= Mo). Potongan benda uji dihancurkan dan kemudian dipisahkan dari agregat
kasarnya. Setelah dipisahkan, kemudian dihaluskan sampai lolos ayakan no. 200. Sample
yang telah dihaluskan ditimbang (= mo) dan dengan alat piknometer diukur
volumenya sesuai dengan hukum archimedes yang menyatakan bahwa volume air yang
keluar = volume benda yang tercelup di dalamnya (= Vo). Perhitungan porositas
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah pada persamaan 3.3 hingga 3.7 berikut ini.
Kepadatan absolut (r) adalah perbandingan berat dan volume dalam keadaan halus.
r = mo/ Vo (3.3)
Kepadatan visual (α) adalah perbandingan contoh dalam keadaan kering (Mo)
terhadap volume yang tampak (Mh - μ)
49
α = Mo/( Mh− μ) (3.4)
Porositas total (pt) dalam persen adalah perbandingan volume pori terhadap volume
yang tampak
pt ( % ) = 100 x ( 1- α/r) (3.5)
Porositas terbuka (po) dalam persen adalah perbandingan volume porositas
terbuka terhadap yang tampak.
po ( % ) = 100 x(Mh-Mo)/(Mh-μ) (3.6)
Porositas tertutup adalah perbandingan porositas tertutup terhadap volume yang
tampak.
pf ( % ) = pt – po (3.7)
3.4.8 Pengujian Korosi dengan Metode Galvanostatik
Pengujian korosi dengan metode Galvanostatik adalah salah satu metode uji korosi
dipercepat untuk melihat perilaku beton bertulang yang dilakukan dengan merendam
benda uji pada larutan NaCl dan mengalirinya dengan arus tertentu untuk menginisiasi
dan mempercepat proses korosi tersebut. Skema pengujian korosi ditunjukkan oleh
Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Skema Pengujian Accelerated Corrosion Test dengan Metode
Galvanostatik
Langkah pertama adalah menyiapkan larutan NaCl yang digunakan sebagai
artificial marine water. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah sebesar 5%. Sampel
beton disusun berdampingan satu dengan yang lain untuk mempermudah proses
50
pengujian. Terminal positif dari DC power supply dihubungkan dengan tulangan yang
berfungsi sebagai anoda dan terminal negatif dihubungkan dengan counter electrode,
dimana pada penelitian ini digunakan pelat baja, yang berfungsi sebagai katoda.
Pengujian dilakukan secara seri dengan mengalirkan arus konstan sebesar 190 ±2 μA/cm2.
Accelerated corrosion test dengan metode galvanostatik dihentikan setelah pengujian
mencapai usia 24 hari dengan indikasi retak telah mencapai selimut beton dan retak
longitudinal yang terjadi telah merata disepanjang permukaan beton. Selain itu pada usia
ini sampel beton sudah tidak dapat dipotong dengan baik karena bonding antara tulanga
dan beton rusak sehingga splitting terjadi saat pemotongan.
Pengamatan hasil eksperimen dilakukan setiap hari untuk mengamati proses
keretakan yang terjadi mulai dari inisiasi hingga perambatan retak. Pengamatan keretakan
dilakukan dengan cara memotong beton kedalam empat bagian yang sama ke arah
penampang. Setelah itu retak diamati dengan menggunakan hand microscope untuk
mendapatkan lebar retak pada beton tersebut. Selain itu pengamatan terhadap ketebalan
karat yang terbentuk juga dilakukan dengan menggunakan teknik digital measurement.
Teknik ini dilakukan dengan menggambil gambar dari sampel dan memprosesnya dengan
menggunakan image processing software untuk mendapatkan data ketebalan karat yang
terbentuk.
Gambar 3.8 Skema Pemotongan benda uji dan Alat pengamatan keretakan.
3.4.9 Pengujian Korosi Metode Wetting and Drying
Metode ini dilakukan dengan menempatkan benda uji berupa kubus beton bertulang
dalam suatu artificial chamber. Pada artificial chamber ini benda uji mengalami
perlakuan khusus untuk mensimulasikan proses basah dan kering. Temperatur dalam
chamber ini dijaga agar selalu konstan sebesar 30oC ± 2oC dan kelembapan maksimum
adalah sebesar 80%.
Rebar
Cutting lines
Concrete cube
H20-4
51
Durasi basah dan kering pada suatu lingkungan laut berbeda satu dengan yang
lainnya. Untuk beton yang berada pada kondisi percikan, waktu kering relatif lebih besar
dibandingkan dengan waktu basah. Sedangkan pada beton yang waktu keringnya sama
atau kurang dari waktu basah dapat dikategorikan masuk kedalam kondisi terendam
sempurna (fully submerged) karena kondisi struktur secara keseluruhan tidak berbeda
dengan kondisi fully submerged. Oleh karena itu, pada penelitian ini terdapat tiga buah
chamber dengan kondisi temperatur dan kelembapan yang sama namun memiliki durasi
basah dan kering yang berbeda-beda. Perbandingan yang digunakan untuk durasi basah
(w) dan kering (d) adalah untuk w/d ≤ 0.5, w/d > 0.5 dan w/d ≥ 1.
Tiga kondisi basah dan kering yaitu sebagai berikut:
1 jam basah and 7 jam kering (w/d ≤ 0.5; 3 cycles per hari)
3 jam basah dan 5 jam kering (w/d > 0.5; 3 cycles per hari)
24 jam basah (w/d ≥ 1; fully submerged)
Untuk mensimulasikan proses basah, larutan 5% NaCl disemprotkan melalui pipa
yang telah diberi head nozzle dibagian bawahnya. Sedangkan kondisi kering
disimulasikan dengan lampu infra merah. Durasi basah dan kering diatur dengan
menggunakan saklar yang dilengkapi dengan digital timer yang telah diatur sesuai dengan
durasi basah dan kering di setiap chamber.
Larutan NaCl 5% per seratus mililiter yang digunakan dibuat dengan cara
menimbang 5 gram NaCl ditambah aquades sampai volume 100 ml. Untuk volume yang
lebih besar, cara yang sama digunakan akan tetapi jumlah NaCl dan aquades yang
digunakan dikalikan secara proporsional. Air yang digunakan diganti setiap satu minggu
sekali untuk menjaga pH air dikisaran 7 dan menjaga konsentrasi nya agar tetap pada
konsentrasi semula yakni 5%.
Setelah dilakukan proses simulai korosi dengan menggunakan metode wetting and
drying, beberapa pengujian dilakukan untuk mendapatkan data seperti chloride profile
dan kondisi mikrostruktur dari beton tersebut. Chloride profile dianalisa dengan
menggunakan metode titrasi. Selain itu dilakukan pengamatan mikrostruktur dari ketiga
jenis sample untuk mengetahui pengaruh dari durasi basah dan kering terhadap perubahan
kondisi mikrostruktur dari beton tersebut. Penjelasan lebih detail terkait pengujian
mikrostruktur akan dijelaskan pada sub bab 3.4.11.
52
Gambar 3.9 Pengujian Korosi dengan menggunakan Siklus basah dan keringMethod
3.4.10 Uji Konsentrasi Klorida dengan Titrasi (ASTM C 1218 dan ASTM C 114)
Pengujian titrasi potentiometric atau dikenal juga dengan titrasi argentometri
dilakukan untuk mengetahui kadar klorida pada beton. Hal ini dilakukan untuk melihat
hubungan anatara pertambahan jumlah klorida dan waktu pengujian. Konsentrasi dari
klorida diketahui melalui proses titrasi dengan menggunakana perak nitrat (AgNO3).
Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu
larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasarkan pada pembentukan endapan dengan ion
Ag+. Biasanya, ion-ion yang ditentukan dalam titrasi ini adalah ion halide (Cl-, Br-, I-).
Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur dengan
larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar
yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam
larutan pemeriksaan dapat ditentukan. Percobaan ini berdasarkan pada reaksi
pengendapan zat yang cepat mencapai kesetimbangan pada setiap penambahan titran.
Untuk mendapatkan chloride profile dengan metode titrasi, beton harus dipotong
menjadi beberapa layer. Oleh karena itu, beton dipotong tiap ketebalan satu centimeter.
Layer tersebut kemudian dihancurkan dan disaring dengan saringan No. 200. Sampel
tersebut kemudian dilarutkan dengan nitric acid dan hidrogen peroksida. Pada bagian
akhir dilakukan titrasi dengan menggunakan perak nitrat untuk mendapatkan konsentrasi
klorida.
53
3.4.11 Pengujian Mikrostruktur
Pengujian mikrostruktur dilakukan terhadap sampel beton yang telah mengalami
pengujian korosi untuk mengetahui kondisi partikel di dalam beton tersebut. Data yang
didapatkan digunakan sebagai data pendukung dan justifikasi kondisi beton pasca
mengalami pengujian korosi. Pengujian mikrostruktur meliputi pengujian SEM/EDXdan
XRF.
a. Pengujian X-ray fluorescence (XRF)
Pengujian XRF dilakukan untuk mendapatkan prosentase unsur yang terkandung
pada beton tersebut. Proses pengamatan dengan teknik XRF diawali dengan pengambilan
sampel. Untuk pengamatan dengan menggunakan XRF, permukaan sampel harus rata
karena topografi sampel sangat mempengaruhi keakuratan pembacaan gelombang untuk
menentukan prosentase unsur dalam suatu sampel. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
permukaan yang cukup rata, pemotongan dilakukan dengan menggunakan gerinda.
Gambar 5.25 berikut menunjukkan sample yang digunakan untuk XRF.
Gambar 3.10 Sampel yang digunakan untuk XRF
Pengujian XRF dilakukan dengan memasukkan benda uji ke dalam suatu wadah pegas
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.11 Proses Preparasi Sample untuk Pengujian
XRF. Pembacaan unsur-unsur yang terdapat dalam sample dilakukan secara otomatis dan
membutuhkan waktu berkisar antara 15 hingga 20 menit per sampel.
Gambar 3.11 Proses Preparasi Sample untuk Pengujian XRF
54
Data yang didapatkan dari hasil pengujian dengan menggunakan XRF ini adalah
prosentase unsur untuk tiga buah sampel yakni sample durasi 1 jam basah dan 7 jam
kering, sampel dengan durasi 3 jam basah dan 5 jam kering serta sampel dengan kondisi
fully submerged.
b. Pengujian SEM/EDX (ASTM C 1723 2010)
Pengujian SEM/EDX dilakukan sesuai dengan ASTM C 1723 2010. Pengujian ini
dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi mikrostruksur sampel dan pola
persebaran tiap unsur pada sampel. Sampel yang digunakan dalam pengujian SEM ini
adalah sampel beton bertulang yang telah melalui pengujian dengan metode wetting and
drying.
Sampel yang telah mengalami siklus basah dan kering ditempatkan dalam suhu ruang
selama 24 jam. Sampel kemudian dipotong menjadi empat bagian seperti yang telah di
jelaskan pada sub bab 3.4.8 dan dipotong per layer dengan ketebalam satu cm. Untuk
mendapatkan sampel pada bagian dalam maka sampel yang telah dipotong diberi beban
bending hingga patah pada bagian tengahnya. Kemudian sample pada bagian tengah
dipotong hingga menghasilkan ukuran 0.5 x 0.5 cm.
Sebelum sampel dimasukkan ke dalam mesin uji SEM, benda uji divakum terlebih
dahulu. Proses vakum ini bertujuan untuk menghilangkan efek pergerakan elektron yang
tidak beraturan karena adanya molekul gas yang dapat menghasilkan penurunan intensitas
dan stabilitas. Selain itu adanya molekul gas juga dapat bereaksi dengan sampel yang
berakibat pada penurunan nilai kontras sehingga mengakibatkan detail gambar menjadi
lebih gelap.
Gambar 3.12 Sampel Beton Sebelum dan Setelah Dilakukan Proses Coating
55
Pengujian SEM dilakukan dengan 2 teknik yaitu dengan dan tanpa menggunakan
coating. Pengujian tanpa menggunakan coating dilakukan untuk mendapatkan hasil
mapping unsur yang sebenarnya dari sample yang ada. Sedanngkan pengujian dengan
menggunakan coating dilakukan untuk mendapatkan permukaan yang lebih konduktif
dan gambaran yang lebih jelas terkait dengan kondisi mikrostruktur pada beton. Gambar
3.12 berikut menunjukkan kondisi sampel beton sebelum dan setelah dilakukan coating.
Gambar 3.13 Alat Uji SEM
SEM dilakukan dengan menggunakan mesin JEOL JSM 7600F seperti ditunjukkan
oleh Gambar 3.13. Teknik pembacaan elektron yang nantinya ditampilkan dalam betuk
gambar pada SEM dapat terbagi menjadi dua yakni dari pantulan elastis dan inelastis.
Dari pantulan elastis didapatkan sinyal berupa backscattered electron yang menghasilkan
gambar berdasarkan perbedaan berat molekul. Atom yang memiliki berat molekul lebih
rendah menghasilkan gambar yang lebih rendah bila dibandingkan dengan atom yang
memiliki berat molekul lebih rendah. Sedangkan dari pantulan sinyal elastis didapatkan
sinyal berupa secondary electron yang menghasilkan gambar berdasarkan topografi dari
benda. Permukaan yang lebih tinggi menghasilkan gambar yang lebih cerah bila
dibandingkan dengan topografi yang lebih rendah. Secondary elektron menghasilkan
gambar yang cenderung lebih jernih dan tajam bila dibandingkan dengan backscattered
electron. Selain itu dari pantulan inelastis juga didapatkan data yang berkaitan dengan
karakteristik X-Rays yang dibutuhkan untuk melihat persebaran unsur pada sampel
56
tesebut. Oleh karena itu, teknik pembacaran elektron inelastis dipilih untuk digunakan
dalam penelitian ini.
3.5 Pengembangan Model
Pengembangan model dilakukan untuk mendapatkan sebuah formulasi yang dapat
mensimulasi dan memprediksi retak yang terjadi akibat adanya korosi. Pemodelan terbagi
atas dua tahapan yakni pemodelan penetrasi klorida ke dalam beton akibat siklus basah
dan kering serta pemodelan retak akibat korosi yang tidak merata.
Pengembangan model penetrasi klorida ke dalam beton akibat siklus basah dan
kering dilakukan dengan memodifikasi Hukum Fick. Hukum Fick sudah digunakan
secara umum untuk memodelkan proses transport suatu zat melalui sebuah fasa akibat
adanya gradien dari spesies tersebut. Model ini telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk mensimulasikan proses masuknya klorida ke dalam beton. Akan tetapi hukum Fick
ini cenderung sesuai untuk digunakan pada kondisi terendam sempurna. Oleh karena itu
pada peelitian disertasi ini dilakukan beberapa modifikasi terhadap Hukum Fick dengan
memasukkan beberapa koefisien yang mengakomodasi beberapa variabel seperti jarak
dari permukaan yang terkena paparan, durasi basah dan kering serta total waktu paparan.
Penentuan koefisien didapatkan dari analisa studi literatur yang dikombinasikan dengan
temuan-temuan saat eksperimental.
Selain pengembangan model penetrasi klorida, model keretakan juga
dikembangkan dalam penelitian ini. Pengembangan model dimulai dari pengembangan
model distribusi karat yang tidak merata di sepanjang perimeter tulangan. Model ini
diturunkan dari Hukum Faraday yang dikombinasikan dengan Gaussian Function for
Normal Variable. Setelah model persebaran karat ditemukan tahapan selanjutnya adalah
memodelkan waktu prediksi inisiasi retak. Untuk mendapatkan model ini, teori thick wall
cylinder digunakan sebagai dasar. Dengan menganggap beban pressure yang terjadi
disepanjang perimeter silinder adalah tidak merata akibat distribusi karat yang tidak
merata, maka akan didapatkan waktu keretakan pertama yang berbeda-beda di sepanjang
perimeter tulangan. Untuk memodelkan pola propagasi retak, pemodelan dibantu dengan
menggunakan program bantu komersial Abaqus CAE. Pedekatan XFEM digunakan
sebagai media untuk memodelkan propagasi retak secara diskrit.
57
Metode XFEM crack dapat menunjukan keberadaan diskontunuitas pada elemen
model dengan menambah derajat kebebasan (enriching) pada area local tertentu.
Pemodelan dilakukan dengan menggunakan traction-sparation tipe Maxps. Dalam
penggunaan Maxps, selain harus mendefinisikan nilai fr, parameter lain yang harus
ditentukan adalah nilai failure sebagai break point dimana retak akan terjadi. Pada
pemodelan ini nilai tersebut didefinsikan berdasakan fracture energy. Nilai fracture
energy didapatkan berdasarkan Perhitungan dari peraturan Comite Euro-International Du
Beton (CEB-FIP).
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendefiniskan parameter
pada pemodelan XFEM Crack, yaitu analisa hanya dapat dilakukan untuk prosedur
analisa statik dengan mesh refinement berdasarkan element CPE4, CPS4, C3D4, C3D8.
Perambatan retak akibat fatique tidak dapat dimodelkan dan pertumbuhan retak tidak
tumbuh pada sudut lebih besar dari 90o pada elemen tertentu. Dari permodelan dengan
menggunakan XFEM Crack Model maka didapatkan panjang retak dan propagasi arak
retak akibat korosi pada tulangan. Keseluruhan tahap pengerjaan tersebut dilakukan
berulang hingga didapatkan hasil permodelan yang relevan dengan kondisi asli hasil
pengujian.
3.6 Validasi Hasil
Pada tahapan ini dilakukan validasi terhadap model prediksi yang telah dilakukan
terhadap hasil eksperimental. Model infiltrasi klorida dibadingkan dengan hasil
ekpserimental dengan metode wetting and drying. Sedangkan model keretakan
dibandingkan dengan hasil eksperimental yang dilakukan dengan metode galvanostatik.
3.7 Penarikan Kesimpulan
Setelah analisa dan validasi selesai dilakukan maka tahap akhir dari penelitian ini
adalah penarikan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan.
59
BAB 4
PENGUJIAN SIFAT MATERIAL DAN DURABILITY PROPERTIES
PADA BETON
4.1 Umum
Bab ini membahas mengenai hasil dari kegiatan eksperimental yang telah dilakukan.
Kegiatan eksperimental yang dipaparkan pada bab ini bertujuan untuk mendapatkan
durability properties dari beton yang nantinya akan diuji dengan menggunakan pengujian
korosi. Pengujian properties beton ini meliputi pengujian terhadap material yang
digunakan sebagai campuran beton seperti semen, pasir, kerikil dan air. Pengujian
selanjutnya adalah pengujian properties beton yang meliputi pengujian kekuatan tekan,
kuat tarik, porositas beton dan kecepatan penetrasi klorida tersebut.
4.2 Analisa Material
Sub bab ini membahas mengenai hasil analisa pengujian material. Kualitas material
yang digunakan akan mempengaruhi kualitas beton yang dihasilkan. Material yang
dianalisa meliputi semen, pasir, kerikil, air serta tulangan. Pada penelitian ini digunakan
satu tipe beton dengan w/c adalah 0.5.
4.2.1 Analisa Semen
Semen yang digunakan dalam studi ini adalah semen PPC (Portland Pozzoland
Cement) produksi PT semen gresik. Analisa dilakukan terhadap kandungan kimia dari
semen yang digunakan. Hasil analisa ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Hasil Analisa Kimia Semen Portland
Jenis Pengujian Hasil Uji (%)
Silicon Dioksida (SiO2) 23.13
Aluminium Trioksida (Al2O3) 8.76
Ferri Oksida (Fe2O3) 4.62
Calcium Oksida (CaO) 58.66
Magnesium Oksida (MgO) 0.9
Sulfur Trioksida (SO3) 2.18
60
4.2.2 Analisa Agregat Halus (Pasir)
Agregat halus yang digunakan dalam penelitian ini adalah agregat lokal. Pengujian
yang dilakukan meliputi sifat fisik dan analisa gradasi dari pasir yang digunakan pada
penelitian ini. Tabel 4.2 berikut menunjukkan analisa sifat fisik pasir
Tabel 4.2 Sifat Fisik Agregat Halus
Jenis Analisa Satuan Hasil
Analisa
Syarat ASTM
Berat Jenis Kg/m3 2570 2400-2700 ASTM C 128
Kadar Resapan % 1.42 max 4 % ASTM C 128
Kadar Lumpur Rata-rata % 1.72 max 3% ASTM C 33
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisik agregat tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa agregat halus menunjukkan bahwa agregat tersebut telah memenuhi persyaratan
ASTM sehingga dapat digunakan pada campuran beton. Untuk mengetahui keseragaman
butiran pasir maka dilakukan analisa ayakan. Tabel 4.3 berikut ini adalah hasil analisa
ayakan pasir
Tabel 4.3 Hasil Analisa Ayakan Pasir
Lubang
Ayakan
Inch/mm
Pasir
Tertinggal
Gram % E%
4.76 8.9 0.89 0.89
2.38 45.6 4.56 5.45
1.19 49.9 4.99 10.44
0.59 438.9 43.89 54.33
0.297 363.6 36.36 90.96
0.149 71.4 7.14 97.83
PAN 21.7 2.17 100
Jumlah 1000 100 359.63
FM Pasir = 3.59
Berdasarkan analisa gradasi pasir dapat disimpulkan bahwa pasir yang digunakan
memiliki modulus kehalusan sebesar 3.59 dan masuk ke dalam gradasi 2.
61
4.2.3 Analisa Agregat Kasar (Kerikil)
Agregat kasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah batu pecah. Pengujian
yang dilakukan meliputi sifat fisik dan analisa gradasi dari kerikil yang akan digunakan.
Tabel 4.4 berikut menunjukkan analisa sifat fisik pasir.
Tabel 4.4 Sifat Fisik Agregat Halus
Jenis Analisa Satuan Hasil
Analisa
Syarat ASTM
Berat Jenis Kg/m3 2680 1600-3200 ASTM C 127
Kadar Resapan % 2.67 max 2 % ASTM C 127
Kadar Lumpur Rata-rata % 1.25 max 1% ASTM C 33
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisik agregat tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa aggregat halus menunjukkan bahwa agregat tersebut telah memenuhi pesyaratan
ASTM sehingga dapat digunakan pada campuran beton. Untuk mengetahui keseragaman
butiran pasir maka dilakukan analisa ayakan. Tabel 4.5 menunjukkaan hasil analisa
ayakan pasir.
Tabel 4.5 Hasil Analisa Ayakan Pasir
Lubang
Ayakan
Inc/mm
Batu Pecah
Tertinggal
Gram % E%
76.2 0 0.00 0.00
38.1 0 0.00 0.00
19.05 40 0.80 0.80
9.53 3990 80.12 80.92
4.76 950 19.08 100.00
2.38 0 0.00 100.00
1.19 0 0.00 100.00
0.59 0 0.00 100.00
0.297 0 0.00 100.00
0.149 0 0.00 100.00
PAN - - -
Jumlah 4980 100.00 681.73
FM Kerikil = 6.817
Berdaarkan analisa gradasi pasir dapat disimpulkan bahwa pasir yang digunakan
memiliki modulus kehalusan sebesar 6.817.
62
4.3 Pengujian Slump
Pengukuran slump dilakukan untuk mengetahui workability dari campuran beton
yang telah dibuat. Pengujian slump adalah alat kontrol kualitas yang baik. Perubahan
slump dalam pekerjaan beton menandakan perubahan dalam jumlah agregat dan air. Ini
memandakan sesuatu terjadi pada campuran yang membutuhkan perhatian. Pada
umumnya beton pada slump yang sama dapat digunkan dalam tujuan yang sama.
Pengujian slump dilakukan sebanyak tiga kali untuk melihat apakah hasil nilai slump
yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan. Tabel 4.6 berikut ini
menunjukkanhasil pengujian slump test dari campuran beton yang telah dibuat.
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Slump Test
Benda Uji Rata-Rata Nilai
Slump (mm) I II III
Nilai Slump 95 93 92.5 93.5
Berdasarkan hasil pengujian slump maka didapatkan rata-rata niai slump adalah sebesar
93.5 mm. Hal ini menunjukkan bahwa nilai slump memenuhi persyaratan yang ada.
4.4 Material Properties Beton
Setelah proses curing selesai dilakukan maka dilakukan pengujian terhadap
karakteristik beton. Pengujian tersebut meliputi pengujian kuat tekan, kuat tarik, porositas
dan kecepatan penetrasi klorida dari beton tersebut.
4.4.1 Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan beton dilakukan terhadap benda uji silinder berukuran 10x
20 cm. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan mengacu pada ASTM C39. Pengujian
awal kuat tekan dilakukan sebanyak empat kali saat umur beton 3, 7, 14 dan 28 hari.
Masing-masing pengujian menggunakan benda uji sebanyak tiga buah. Tabel 4.7 berikut
menunjukkan hasil pengujian kuat tekan beton tersebut.
63
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton
Umur
(Hari)
Berat
(Kg)
Beban
(Kg)
Kuat Tekan
(Kg/Cm2)
Kuat Tekan
Rata-Rata (Mpa)
3
3.789 10500 133.76
12.87 3.800 9800 124.84
3.825 10000 127.39
7
3.785 13500 171.97
17.83 3.775 14000 178.34
3.815 14500 184.71
14
3.812 16500 210.19
21.02 3.796 16200 206.37
3.880 16800 214.01
28
3.820 24500 312.10
31.42 3.781 24700 314.65
3.804 24800 315.92
Selain pengujian kuat tekan beton pada kondisi awal, pengujian juga dilakukan saat
beton telah mengalami pengujian korosi. Beton ditempatkan pada tiga kondisi paparan
yaitu:
a. 1 Jam Basah dan 7 Jam Kering
b. 3 jam basah dan 5 jam kering
c. Terendam Sempurna (Fully Submerged)
Larutan yang digunakan dalam pengujian ini adalah larutan NaCl 5%. Pengujian
dilakukan saat umur beton dua, enam, delapan dan sebelas bulan. Tabel 4.8 berikut ini
menunjukkan hasil pengujian kuat tekan beton yang telah terekspose oleh NaCl.
Tabel 4.8 Kuat Tekan Beton setelah Terekspose NaCl 5%
Umur Beton
(Bulan)
Kuat Tekan beto (MPa)
1 Jam Basah 7
Jam Kering Fully Submerged 3 Jam Basah 5 Jam
kering
2 35.35 35.41 35.38
4 35.29 35.80 35.03
6 33.63 32.87 31.59
11 33.38 31.21 29.55
Berdasarkan Tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan kuat tekan
beton cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu perendaman. Akan tetapi
64
bila dilihat secara detail, kuat tekan beton pada umur dua bulan masih menunjukkan
kenaikan dibandingkan dengan kuat tekan beton pada umur 28 hari. Sebagai catatan pada
kondisi ini beton telah mengalami paparan selama kurang lebih satu bulan. Hal ini
disebabkan karena reaksi semen dengan larutan NaCl menghasilkan chloroaluminates
yang menutupi pori-pori beton. Dalam jumlah tertentu, keberadaan chloroaluminates ini
dapan meningkatkan kuat tekan beton.
Akan tetapi, semakin lama waktu perendaman, kuat tekan beton semakin menurun.
Hal ini pada dasarnya juga tekait dengan terbentuknya chloroaluminates di dalam beton.
Pada durasi awal paparan, chloroaluminates yang terbentuk belum terlalu banyak
sehingga tidak mengakibatkan adanya tekanan pada pori beton. Dengan bertambahnya
waktu paparan, chloroaluminates yang terbentuk semakin banyak dan mulai menekan
permukaan pori beton sehingga retak mikro sudah mulai terbentuk. Hal ini menyebabkan
kekuatan beton semakin menurun seiring dengan meningkatnya waktu paparan.
Durasi paparan juga mempengaruhi kuat tekan beton beton dalam kondisi terendam
sempurna masih mempertahankan kenaiakn kuat tekan hingga usia enam bulan.
Sedangkan beton yang mengalami mengalami kondisi basah dan kering hanya mampu
mempertahankan kenaikan kekuatan hingga usia dua bulan. Penurunan kekuatan paling
signifikan terlihat pada beton yang mengalami kondisi tiga jam basah dan lima jam
kering. Sedangkan penurunan paling kecil terlihat dari beton yang mengalami perlakuan
satu jam basah dan tujuh jam kering.
4.4.2 Kuat Tarik belah
Pengujian kuat tarik dilakukan pada benda uji berbentuk silinder. Pengujian kuat
tarik belah dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik dari beton yang akan diuji korosi.
Pengujian dilakukan sebanyak empat kali saat umur beton 3 hari, 7 hari dan 28 hari.
Masing-masing pengujian menggunakan benda uji sebanyak tiga buah. Tabel 4.9
menunjukkan hasil pengujian kuat tarik beton tersebut.
Selain pengujian kuat tekan beton pada kondisi awal, pengujian juga dilakukan saat
beton telah mengalami pengujian korosi. Pengujian korosi yang dilakukan sama dengan
yang dilakukan untuk sampel uji kuat tekan. Larutan yang digunakan dalam pengujian ini
adalah larutan NaCl 5%. Pengujian dilakukan saat umur beton enam dan sebelas bulan.
65
Tabel 4.10 menunjukkan hasil pengujian kuat tekan beton yang telah terekspose oleh
NaCl.
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Beton
Umur (Hari) Beban (kg) Kuat Tarik Belah
(Kg/cm2)
Kuat Tarik
Belah Rata-
Rata (Mpa)
3
8300 11.748
1.170 8200 11.607
8300 11.748
7
13100 18.542
1.859 13000 18.401
13300 18.825
14
16500 23.355
2.350 16700 23.638
16600 23.496
28
20000 28.309
2.807 19700 27.884
19800 28.025
Seperti yang dapat dilihat pada hasil pengujian kuat tarik beton pada Tabel 4.9,
kuat tarik beton mengalami kenaikan mulai dari usia tiga hari sampai dengan 28 hari.
Hasil ini sesuai dengan kuat tekan beton yang juga mengalami kenaikan pada hari ke tiga
hingga hari ke 28. Kuat tarik beton setelah mengalami pengujian korosi ditunjukkan pada
Tabel 4.10. Sedangkan pada bulan ke -6, dimana sampel telah mengalami proses uji
korosi selama lima bulan, bisa dilihat bahwa kuat tarik beton tersebut mengalami
kenaikan akibat adanya chloroaluminates yang mulai terbentuk dan menyebabkan retak
mikro pada beton. Hal ini mengakibatkan penurunan kuat tarik pada beton tersebut.
Tabel 4.10 Kuat Tarik Beton setelah Terekspose NaCl 5%
Umur Beton
(Bulan)
Kuat Tarik Beton (MPa)
1 Jam Basah 7
Jam Kering Fully Submerged 3 Jam Basah 5 Jam
kering
6 2.751 2.707 2.650
11 2.650 2.500 2.447
66
4.4.3 Porositas
Porositas adalah prosentase ruang-ruang kosong, atau yang dikenal juga dengan
pori, yang terdapat pada beton dan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi durabilitas dan kekuatan beton tersebut. Pengujian porositas pada beton
tebagi menjadi dua jenis pengujian yaitu pori terbuka dan pori tertutup. Pengujian
porositas pori terbuka dilakukan untuk mengetahui prosentase pori yang bersifat
permeable atau dengan kata lain pori tersebut dapat ditembus udara maupun air. Pori
terbuka sangat mempengaruhi kodisi durabilitas beton karena semakin besar prosentase
pori terbuka maka beton dapat dikatakan beton dalam kondisi yang lebih keropos
sehingga dapat membuat zat-zat agrsif dan air lebih cepat masuk ke dalam beton.
Sedangkan pengujian porositas untuk pori tertutup dilakukan untuk mengetahui
prosentase pori yang bersifat impermeable atau pori yang tidak dapat ditembus udara
maupun air. Pori tertutup pada dasarnya dapat meningkatkan kuat tekan beton karena
adanya tekanan hidrostatis yang dapat mencegah beton dari terjadinya retak. Pengujian
porositas dilakukan pada sampel dengan exposed condition yang berbeda-beda. Pengujian
porositas dilakukan pada beton yang berumur 28 hari (1 bulan), dua, empat, enam dan
sebelas bulan. Tabel 4.11 hingga Tabel 4.13 menujukkan hasil pengujian porositas untuk
sampel dengan exposed condition yang berbeda-beda.
Tabel 4.11 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus 1 Jam Basah dan 7
Jam Kering
Parameter Umur Sampel (Bulan)
1 2 4 6 11
μ (gr) 13.450 14.700 14.700 14.900 14.870
Mh (gr) 22.800 25.100 25.300 25.400 25.350
Mo(gr) 21.500 23.500 23.500 23.500 23.400
mo(gr) 21.400 23.500 22.500 22.400 22.500
Vo(gr) 7.900 8.500 8.150 7.950 8.050
r 2.709 2.765 2.761 2.818 2.795
2.299 2.260 2.217 2.238 2.233
Porositas Total [Pt (%)] 15.113 18.269 19.696 20.568 20.115
Porositas Terbuka [Po (%)] 13.904 15.385 16.981 18.095 18.607
Porositas Tertutup [Pf (%)] 1.209 2.885 2.715 2.472 1.508
Tabel 4.11 menunjukan nilai porositas terbuka dan tertutup untuk sampel yang
mengalami kondisi satu jam basah dan tujuh jam kering. Dapat dilihat bahwa nilai
67
porositas terbuka dan tertutup mengalami kenaikan dari bulan pertama ke bulan kedua.
Seperti yang telah dipaparkan di awal sub bab bahwa kenaikan nilai porositas tertutup
mengindikasikan adanya kenaikan kuat tekan pada sampel. Sedangkan setelah bulan
kedua hingga bulan ke 11 nilai porositas tertutup mengalami penurunan seiring dengan
menurunnya kuat tekan. Sedangkan porositas terbuka cenderung mengalami kenaikan
seiring dengan bertambahnya waktu paparan. Semakin lama waktu paparan maka akan
semakin banyak larutan NaCl yang masuk ke dalam beton. Seiring dengan kondisi
tersebut maka porositas terbuka dari beton semakin besar. Hal yang sama juga dapat
terlihat pada Tabel 4.12 yang menunjukkan nilai porositas untuk beton yang mengalami
siklus tiga jam basah dan lima jam kering.
Tabel 4.12 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus 3 Jam Basah dan 5
Jam Kering
Parameter Umur Sampel (Bulan)
1 2 4 6 11
μ (gr) 13.440 14.700 14.680 14.900 14.900
Mh (gr) 22.800 25.700 25.700 25.700 25.900
Mo(gr) 21.500 23.500 23.450 23.400 23.400
mo(gr) 21.400 23.500 22.500 22.400 22.500
Vo(gr) 7.900 8.500 8.150 7.950 8.050
r 2.709 2.765 2.761 2.818 2.795
2.297 2.136 2.128 2.167 2.127
Porositas Total [Pt (%)] 15.204 22.727 22.921 23.103 23.891
Porositas Terbuka [Po (%)] 13.889 20.000 20.417 21.296 22.727
Porositas Tertutup [Pf (%)] 1.315 2.727 2.504 1.806 1.164
Tabel 4.13 Hasil Pengujian Porositas Beton yang mengalami Siklus Fully Submerged
Parameter Umur Sampel (Bulan)
1 2 6 8 11
μ (gr) 13.450 14.690 14.600 14.850 14.870
Mh (gr) 22.700 25.150 25.280 25.400 25.600
Mo(gr) 21.500 23.500 23.450 23.400 23.400
mo(gr) 21.400 23.500 22.500 22.400 22.500
Vo(gr) 7.900 8.500 8.150 7.950 8.050
r 2.709 2.765 2.761 2.818 2.795
a 2.324 2.247 2.196 2.218 2.181
Porositas Total [Pt(%)] 14.196 18.738 20.467 21.280 21.976
Porositas Terbuka [P0(%)] 12.973 15.774 17.135 18.957 20.503
Porositas Tertutup [Pf(%)] 1.223 2.964 3.332 2.323 1.473
68
Untuk beton yang berada pada kondisi fully submerged, terdapat sedikit perbedaan
pada nilai porositas tertutup. Nilai porositas tertutup masih mengalami kenaikan dari
bulan pertama hingga bulan ke-enam seperti ditunjukkan padaTabel 4.13. Hal ini sesuai
dengan kenaikan nilai kuat tekan yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 Nilai porositas terbuka
pada beton dengan kondisi fully submerged juga menunjukkan kenaikan sama seperti
beton yang mengalami siklus basah dan kering.
Gambar 4.1. Perbandingan Nilai Porositas Terbuka untuk Tiga Tipe Sampel
Gambar 4.1 menunjukkan perbandingan nilai porositas terbuka dari ketiga jenis
sampel. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhitungan nilai porositas
terbuka dilakukan untuk mengetahui prosentase pori yang bersifat permeable atau dengan
kata lain pori tersebut dapat ditembus udara maupun air. Berdasarkan gambar tersebut
terlihat pada bulan pertama atau sebelum beton terekspos dengan larutan NaCl, semua
benda uji memiliki nilai porositas terbuka yang hampir sama yakni berkisar antara 12%
hingga 13%. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu nilai porositas terbuka
semakin meningkat. Hal ini dikarekan semakin banyaknya air dan senyawa lain yang
masuk kedalam beton sehingga menyebabkan terbukanya pori dari beton sehingga nilai
porositas terbukanya juga semakin besar. Sampel yang mengalami perlakuan tiga jam
basah dan lima jam kering memiliki nilai porositas yang paling besar mulai dari awal
pengujian hingga akhir. Sedangkan sampel dengan perlakuan fully submerged memiliki
10
12
14
16
18
20
22
24
0 2 4 6 8 10 12
Poro
sita
s (%
)
Umur Sampel (bulan)
1Wet-7Dry Fully Submerged 3Wet-5Dry
69
nilai yang paling rendah di awal pengujian. Akan tetapi satu bulan setelah terpapar larutan
NaCl, dimana usia beton saat itu adalah dua bulan, nilai porositasnya terus meningkat
hingga mendekati nilai porositas sampel dengan perlakuan 3 jam kering dan 5 jam basah.
Selain itu, sampel dengan perlakuan 3 jam basah dan 5 jam kering memiliki nilai porositas
terbuka yang paling rendah selama rentang waktu pengujian yakni mulai bulan ke dua
hingga bulan ke sebelas. Hal ini dikarenakan karena kurangnya waktu basah yang
diterima sahingga peningkatan nilai porositas terbuka dari beton masih lebih kecil bila
dibandingkan dengan sampel lainnya.
Gambar 4.2. Perbandingan Nilai Porositas Tertutup untuk Tiga Tipe Sampel
Selain porositas terbuka terdapat pula porositas tertutup yang mempengaruhi
properties dari beton. Pengujian porositas tertutup bertujuan untuk mengetahui prosentase
pori yang bersifat impermeable atau pori yang tidak dapat ditembus udara maupun air.
Keberadaan pori ini sangat mempengaruhi kekuatan beton. Semakin besar nilai porositas
tertutup maka semakin besar pula kuat tekan beton tersebut. Pada Gambar 4.2 diatas dapat
dilihat bahwa hingga bulan ke dua semua sampel masih mengalami kenaikan nilai
porositas terbuka. Kenaikan nilai porositas terbuka ini juga diikuti dengan kenaikan kuat
tekan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.8. Kenaikan nilai porositas tertutup yang diikuti
dengan bertambahnya kuat tekan beton disebabkan oleh terbentuknya chloroaluminates
dalam jumlah tertentu yang menyebabkan pori yang kosong terisi oleh kristal
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 2 4 6 8 10 12
Poro
sita
s (%
)
Umur Sampel (Bulan)
1 Wet-7 Dry Fully Submerged 3 Wet-5Dry
70
chloroalumintates sehingga pengingkatan kuat tekan pun terjadi. Namun, seiring dengan
bertambahnya waktu, nilai porositas mulai mengalami penurunan yang juga diikuti
dengan penurunan kuat tekan beton. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah
chloroaluminates yang terbentuk sehingga pori-pori yang sebelumnya masih bisa
menahan tekanan chloroaluminates mulai terdesak dan menyebabkan retak pada beton.
retak mikro yang terbentuk pada beton tentunya akan menyebabkan menurunnya
kekuatan beton yang ditunjukkan oleh penurunan nilai kuat tekan.
4.4.4 Koefisien Difusi
Koefisien difusi menunjukkan kecepatan penetrasi ion klorida ke dalam beton.
Perhitungan koefisien difusi dilakukan setelah pengukuran charge passed dilakukan
selama enam jam. Perhitungan dilakukan dengan cara mengukur konsentrasi klorida yang
terdapat pada permukaan beton dan pada jarak ± 1 cm dari permukaan beton. Tabel 4.14
berikut menunjukkan hasil dari perhitungan uji kecepatan penetrasi klorda.
Tabel 4.14. Hasil Perhitungan Uji Kecepatan Penetrasi ion Klorida
No
Sampel
Co Cd T RTL/ZFU
xd t a
D
(%) (%) (K) (m) (dt) (m2/dt)
1 0.1083 0.0083 303 2.17E-05 0.01 21600 0.0494 5.08E-12
2 0.1194 0.0114 303 2.17E-05 0.01 21600 0.0474 5.28E-12
3 0.1083 0.0083 303 2.17E-05 0.01 21600 0.0487 5.15E-12
Rata-rata 5.17E-12
Pengujian koefisien difusi dilakukan terhadap tiga buah sampel. Berdasarkan
pengujian yang telah dilakukan didapatkan rata-rata koefisien difusi sebesar 5.17 x 10-12
m2/dt. Nilai koefisien difusi ini digunakan sebagai data awal untuk dimasukkan ke dalam
model prediksi yang dikembangkan.
71
BAB 5
PENGUJIAN KOROSI DENGAN METODE GALVANOSTATIK
DAN WETTING AND DRYING
5.1 Umum
Pada bab ini akan dilakukan pembahasan terkait dengan pengujian korosi dengan
menggunakan dua buah metode yakni metode galvanostatik dan metode wetting and
drying. Metode galvanostatik digunakan untuk mengamati keretakan yang terjadi pada
beton bertulang sedangkan metode wetting and drying digunakan untuk mengamati
proses transport klorida akibat adanya mekanisme siklus basah dan kering pada beton.
5.2 Pengujian Korosi Metode Galvanostatik
Pengujian korosi dengan metode galvanostatik dilakukan untuk mengamati proses
keretakan beton karena korosi. Karat merupakan produk hasil dari proses korosi. Karat
yang terbentuk disepanjang perimeter tulangan dan menimbulkan beban pressure pada
beton. Ketika beban tersebut telah menghasilkan tegangan yang melebihi dari tegangan
tarik dari beton tersebut maka keretakan akan terjadi.
Pengujian dengan metode galvanostatik ini dipilih karena metode ini dapat
mempercepat proses korosi. Metode ini merupakan suatu teknik mempercepat proses
korosi dengan memberikan electrochemical potential pada baja tulangan. Korosi pada
dasarnya merupakan suatu permasalahan durabilitas dimana proses ini membutuhkan
waktu lama untuk terjadi hingga menimbulkan keretakan pada beton bertulang. Dengan
metode ini pengamatan terhadap retak yang terjadi dapat dilakukan dengan lebih cepat
sebagai efek dari proses korosi yang dipercepat.
5.2.1 Persiapan Benda Uji
Benda uji yang digunakan dalam pengujian ini adalah benda uji kubus berukuran
150 x 150 x 150 mm. Beton yang digunakan dalam pengujian memiliki kuat tekan 31.42
MPa. Tulangan berdiameter 19 mm ditanam pada bagian tengah dengan kedua sisi
tulangan tersebut menonjol keluar. Nilai dari corrosion current density sebenarnya dari
baja tulangan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan bertikut
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟 =27(1−
𝑤
𝑐)−1.64
𝑑𝑐 (5.1)
72
Berdasarkan persamaan tersebut nilai corrosion current density tergantung pada
kualitas beton yang dalam perumusan tersebut dicerminkan dengan penggunaan variable
𝑤
𝑐 yaitu faktor air semen beton dan dc yaitu ketebalan selimut beton. Untuk penelitian ini
didapatkan nilai icorr sebesar 2.01 𝜇A/cm2. Berdasarkan nilai corrosion current density
yang telah didapatkan maka nilai corrosion rate dari tulangan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berdasarkan hukum Faraday berikut ini.
𝐶𝑅 = 𝐾𝑎𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟
𝑛𝐷 (5.2)
Dimana:
CR = Corrosion Rate (mm/year)
K = Faktor konstant (K=0.00327 mm/year)
a = Berat atom dari baja tulangan
icorr = Corrosion current density (μA/cm2)
n = Elektron valensi dari baja tulangan (n=2)
D = Density tulangan (g/cm2)
Dengan menggunakan persamaan 5.2 diatas maka didapatkan nilai corrosion rate
sebenarnya dari baja tulangan adalah sebesar 0.02335 mm/year.
Untuk mempercepat proses korosi yang terjadi, serangkaian eksperimental dengan
metode galvanostatik dilakukan. Proses pengujian korosi dipercepat dilakukan dengan
merendam beton pada larutan NaCl 5% selama hampir satu bulan untuk melihat response
beton tersebut mulai awal hingga terjadi retak. Untuk mempercepat proses korosi beton
dialiri arus dengan menggunakan arus DC sebesar 0.03 A. Dengan menggunakan
perumusan yang ada pada ASTM G102-89 maka nilai corrosion current density yang
dugunakan dapat dihitung sebagai berikut:
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟 =𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟
𝐴 (5.3)
Dimana:
icorr : Kerapatan arus (μA/cm2)
Icorr : Total current (μA)
A : Luas penampang tulangan (cm2)
Berdasarkan eksperimen didapatkan
Icorr = 0.03 A = 30 mA
A = 2π d + 2π r t = 161.082 cm2
icorr = 0.19 mA/cm2 = 190 µA/cm2
73
Dengan menggunakan metode dipercepat maka nilai corrosion rate beton saat
percepatan dapat dihitung dengan menggunakan perumusan 5.3. Berdasarkan hasil
pergitungan didapatkan nilai corrosion rate dari tulangan meningkat menjadi 2.207
mm/year. Gambar 5.1 berikut ini menunjukkan skema pengujian korosi untk metode
galvanostatik. Pengujian korosi dilakukan selama kurang lebih satu bulan untuk
mendapatkan data proses korosi yang terjadi serta keretakan akibat korosi.
Gambar 5.1 Skema Pengujian Korosi dengan Metode Galvanostatik
5.2.2 Hasil Eksperimental
Pengujian korosi dengan metode Galvanostatik telah dilakukan untuk mempercepat
proses korosi pada beton bertulang. Eksperimental ini dilakukan untuk melihat proses
keretakan yang terjadi akibat adanya korosi. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat
bahwa korosi yang terjadi tidak seragam disepanjang perimeter tulangan. Pada sub bab
berikutnya akan diperlihatkan hasil pengamatan visual serta hasil analisa dari kegiatan
eksperimental yang telah dilakukan.
5.2.2.1 Pengamatan Visual
Pengamatan terhadap keretakan dilakukan secara visual dan dengan bantuan
hand microscope untuk menentukan lebar dan pola keretakan yang terjadi. Benda uji yang
telah diuji korosi dipotong menjadi 4 bagian yang identik, seperti ditujukkan oleh Gambar
5.2 untuk diamati keretakan yang terjadi.
74
Gambar 5.2 Skema Pemotongan Sampel untuk Pengamatan Proses Korosi dan
Keretakan
Dilakukan pengamatan secara visual terhadap benda uji yang telah direndam. Pengamatan
visual terhadap benda uji pada hari pertama diunjukkan oleh Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanstatik Hari
Pertama
Berdasarkan hasil pengamatan visual dapat dilihat bahwa dalam beberapa jam korosi
mulai terinisiasi namun dalam rate yang cukup kecil sehingga belum terlihat adanya
perubahan warna yang signifikan pada tulangan. Perubahan warna terjadi pada titik-titik
tertentu yaitu pada bagian tulanga yang terhubung langsung dengan penjepit.
Pengamatan visual dilanjutkan pada hari kedua dengan mulai melakukan
pemotongan pada sampel beton. Sampel dipotong menjadi empat bagian yang sama ke
arah penampang. Gambar 5.4 menunjukkan hasil pengamatan visual dari benda uji yang
telah diuji korosi selama dua hari.
Rebar
Cutting lines
Concrete cube
H20-4
75
Gambar 5.4 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanostatik Hari
Kedua
Berdasarkan pengamatan pada hari kedua dapat dilihat bahwa proses korosi telah
mulai terinisisasi. Retak juga mulai terlihat pada interface antara beton dan tulangan dan
mulai merambat pada interface antara agregat kasar. Pada hari ke-4, terjadi penumpukan
korosi pada bagian tulangan yang mengalami kontak langsung dengan penjepit yang
mengalirkan arus. Retak pada hari keempat ini ditujukkan pada Gambar 5.5. Fenomena
ini dikarenakan korosi relatif lebih cepat terjadi pada bagian tulangan yang kontak
langsung dengan penjepit yang berfungsi sebagai konektor arus. Pengamatan visual pada
bagian dalam tulangan juga dilakukan. Pada pengamatan ini ditemukan bahwa retak
sudah mulai berpropagasi ke arah permukaan beton yang terpapar klorida. Selain itu
retak-retak mikro juga mulai terlihat pada interface baja dan beton di sekitar retak utama.
Gambar 5.5 Pengamatan Kondisi Visual Pengujian Korosi Metode Galvanstatik Hari
Keempat
76
Pada hari ke enam retak terlihat mengalami pertambahan panjang dan lebar. Retak
yang terjadi sudah berpropagasi di sepanjang selimut beton hingga mencapai permukaan
beton. Selain itu, retak disekitar retak utama juga mulai terinisiasi. Berdasarkan
pengukuran yang dilakukan, lebar retak minimum yang terjadi adalah sebesar 0.05 mm
dan lebar retak maksimum yang terjadi adalah 0.4 mm. Gambar 5.6 menunjukkan
keretakan yang terjadi pada hari keenam.
Gambar 5.6. Keretakan yang terjadi pada Hari Ke-6 (Hasil eksperimental)
Pada hari ke 10 korosi yang terjadi semakin parah. Hal ini terlihat dengan adanya
penumpukan korosi pada kolam perendaman. Retak arah longitudinal juga sudah semakin
terlihat. Lebar retak minimum adalah sebesar 0.1 mm yang terjadi pada permukaan beton
dan retak maksimum yang terjadi pada interface beton dan tulangan adalah sebesar 1 mm.
Berikut ini adalah hasil pengamatan visual dari keretakan pada hari ke 10
Gambar 5.7 Retak Longitudinal pada hari ke 10
Pada hari ke 15 retak sudah mulai membesar. Karat yang terbentuk sudak mulai
mengisi bagian beton yang mengalami retak. Lebar retak minimum yang terjadi pada hari
77
ke 15 adalah 0.3 mm yang terjadi pada permukaan beton dan retak maksimum adalah 1.3
mm. Gambar 5.7 menunjukkan visualisasi hasil keretakan yang terjadi.
Gambar 5.9 menunjukkan retak pada hari ke-20. Pada hari ke 20 crack
menunjukkan pertambahan lebar. Selain itu terdapat retak sekunder juga mulai terjadi
pada bagian lain pada beton. Lebar retak minimum yang terjadi adalah sebesar 0.5 mm
yang terjadi pada permukaan dan crack maksimum adalah 1.6 mm yang terjadi pada
interface antara beton dan tulangan.
Gambar 5.8 Retak pada penampang hari ke 15
Gambar 5.9 Retak pada penampang hari ke 20
Pada hari ke 24 retak yang terjadi semakin parah seperti diperlihatkan oleh
Gambar 5.10. Pada hari ke 24 retak minimum yang terjadi adalah 0.6 mm dan retak
maksimum yang terjadi adalah 2.5 mm. Pada periode ini, lekatan pada beton dan tulangan
jauh berkurang bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Hal ini menyebabkan
ketika beton akan dipotong, beton telah lepas dari bagian tulangannya terlebih dahulu
sehingga tidak dapat dipotong dan dilakukan analisa.
78
Gambar 5.10 Retak pada Hari ke 24
Pengamatan juga dilakukan terhadap pola keretakan ke arah memanjang pada tulangan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui keseragaman persebaran retak ke arah memanjang
dari tulangan. Pengamatan dilakukan terhadap empat bagian dari benda uji dengan
memotongnya ke dalam empat bagian yang sama. Gambar 5.11 menunjukkan hasil
pengamatan pola keretakan pada hari ke 15.
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Gambar 5.11. Pola Keretakan Beton Pada Hari ke-15
79
Berdasarkan pengamatan pola keretakan pada hari ke-15 dapat dilihat bahwa retak
berpropagasi ke arah yang sama pada keempat bagian dari benda uji. Pola keretakan tidak
persis sama pada keempat bagian dikarenakan posisi agregat yang berbeda-beda pada
setiap bagian. Retak selalu terjadi pada bagian telemah dari beton dimana bagian tersebut
adalah interface antara agregat dan mortar. Pada suatu campuran beton, persebaran
agregat selalu terjadi secara random. Oleh karena itu, pola keretakan pada suatu sampel
beton bertulang tidak akan bisa sama satu dengan yang lainnya. Akan tetapi bila ditinjau
secara umum, retak berpropagasi pada arah yang sama yaitu ke arah kanan dari benda uji.
5.2.2.2 Analisa Produk Korosi
Pada proses korosi, karat merupakan produk korosi yang selalu terbentuk
sebagai dari hasil dari proses electrochemical reaction. Produk korosi yang terbentuk dari
proses electrochemical analysis pada dasarnya berbeda-beda. Perbedaan karakteristik
karat ini akan mempengaruhi besarnya expansive pressure yang dihasilkan. Oleh karena
itu analisa terhadap produk korosi yang terbentuk penting untuk dilakukan karena
berkaitan dengan proses yang terjadi selanjutnya. Analisa XRD dipilih untuk mengetahui
jenis produk korosi yang terbentuk dengan mengetahui jenis produk korosi yang tebentuk.
Produk korosi dipisahkan dari baja tulangan dan disiapkan untuk pengetesan XRD. Hail
XRD diperlihatkan pada Gambar 5.12.
Gambar 5.12. Hasil XRD Produk Korosi
80
Berdasarkan hasil analisa dapat diketahui bahwa jenis karat yang terbentuk pada adalah
Lepodocrocite yang merupakan bentuk anhydrous dari iron (III) oxide-hydroxide
[Fe(OH)3]. Senyawa ini terbentuk karena adanya reaksi antara ion Fe2+ dan oksigen dan
air.
2Fe +O2 + 2H2O→2Fe2+ + 4OH− (5.4)
2Fe2+ + 4OH− →2Fe (OH)2 (5.5)
Ferrous Hydroxide atau Fe(OH)2 merupakan bentuk awal senyawa hasil korosi akan
berada di permukaan baja yang mengalami korosi. Semakin lama senyawa ini akan
bereaksi dengan oksigen dan air dan menghasikan senyawa Fe(OH)3 yang berwarna
cokelat kemerahan.
Fe(OH)2 + O2 + H2O → 4Fe(OH)3 (5.6)
Dengan diketahuinya jenis produk korosi yang terbentuk maka berdasarkan Gambar 2.6
dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maka didapatkan properties dari karat
tersebut seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Properties Produk Korosi (Karat)
Properties Value Satuan
Rust Type Fe(OH)3
Expand ratios of the original metals 4.3
Density 4.25 g/cm3
Perimeter tulangan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan polar
koordinatnya. Ilustrasi polar koordinat yang digunakan diperlihatkan pada Gambar 5.13.
Nr adalah ketebalan karat secara tidak merata di sepanjang perimeter tulangan dengan θ
adalah sudut polar koordinat. Bagian yang paling paling dekat dengan paparan, yakni di
permukaan bagian bawah dari beton, memiliki nilai θ sebesar 180o.
81
Gambar 5.13 Polar Koordinat untuk Plotting Distribusi Karat
Distribusi karat di sepanjang perimeter tulangan juga diamati dalam penelitian
ini. Pengamatan dilaukan dengan menggunakan digital photographic measurement untuk
mendapatkan data ketebalan karat di sepanjang perimeter tulangan. Pengambilan gambar
dilakukan dengan menggunakan hand microscope untuk mendapatkan perbesaran yang
diinginkan Pengambilan Teknik pengambilan gambar diperlihatkan pada Gambar 5.14.
Setelah itu gambar diproses dengan menggunakan drawing software untuk mendapatkan
dimensi dari karat yang terbentuk. Hasil dari pengukuran ini di plot ke dalam grafik yang
ditujukkan pada Gambar 5.15.
Gambar 5.14 Teknik Pengukuran Ketebalan Karat
Concrete
Rebar
Rust
82
Selain pengambilan data dari hasil eksperimental, analisa dengan menggunakan
pendekatan model Gaussian yang dilakukan oleh Zhao et al, 2011 juga dilakukan.
Perumusan yang dikemukakan oleh Zhao et al merupakan suatu perumusan yang
digunakan untuk mengidealisasi kurva persebaran karat yang tidak merata di sepanjang
perimeter tulagan. Nilai yang digunakan dalam perimusan yang dikeluarkan oleh Zhao et
al didapatka dari hasil pengukuran eksperimental. Dengan menggunakan perumusan ini,
maka didapatkan distribusi karat disepanjang perimeter tulangan sesuai dengan data
persebaran karat yang ada. Perimeter tulangan dibagi menjadi beberapa zona seperti yang
telah dijelaskan pada paragrad sebelumnya untuk melihat distribusi ketebalan karat pada
setiap zona dan menunjukkan ketidakseragaman distribusi karat disepanjang perimeter
tulangan. Berdasarkan pembagian perimeter tulangan tersebut makan distribusi tebal
produk korosi yang telah dianalisa dengan menggunakan Gaussian Method ditunjukkan
pada Gambar 5.15.
Hari Ke-4 Hari Ke-6
Hari Ke-10 Hari Ke-15
83
Hari Ke-20
Gambar 5.15 Normalisasi Distribusi Tebal Produk Korosi
Dapat dilihat bahwa ketebalan produk korosi terus bertambah seiring dengan
bertambahnya waktu perendaman. Lapisan karat yang terbentuk tidak merata disepanjang
perimeter tulangan. Bagian yang paling dekat dengan exposed surface memiliki ketebalan
karat yang paling besar bila dibandingkan dengan bagian lainnya. Dapat dilihat pula dari
plotting grafik hasil eksperimental, puncak dari kurva tidak berada tepat pada sudut 180o.
Hal ini disebabkan karena karat lebih cepat terjadi pada bagian ulir dan setiap benda uji
memiliki letak ulir yang tidak sama satu dengan yang lainnya sehingga nilai maksimum
dari ketebalan karat tidak tepat terjadi pada sudut 180o.
5.2.2.3 Crack Analysis
Pengamatan terhadap retak dilakukan secara visual dengan menggunakan
bantuan hand microscope. Pengamatan dilakukan terhadap retak kearah memanjang dan
melintang dari beton. Beberapa hal yang ditinjau terkait keretakan akibat korosi pada
beton bertulang adalah lebar retak dan infiltrasi produk korosi kedalam retak yang
terbentuk. Berdasarkan pengamatan visual retak mulai terjadi pada hari ke 2 dengan lebar
retak minimum dan maksimum yang terjadi adalah sebesar 0.01 mm dan 0.05 mm.
Seiring dengan bertambahnya waktu, retak yang terjadi semakin membesar dan melebar.
Gambar 5.16 dibawah ini menunjukkan hubungan anatara lebar retak maksimum dengan
lamanya waktu perendaman.
84
Gambar 5.16 Hubungan antara lebar crack maksimum (mm) dan waktu perendaman
(hari)
Gambar 5.16 menunjukkan pada fase awal paparan, retak tumbuh dengan cepat
dan mulai melambat pada hari ke-10 hinga pada hari ke 24. Hal ini disebabkan karena
beton pada bagian selimut sudah mulai berada pada fase jenuh sehingga oksigen dan
klorida yang terlarut pada air sangat sulit untuk masuk dan menyebabkan propagasi retak
berjalan dengan relatif lebih lambat. Sedangkan pada hari ke-24 hingga ke-28 retak yang
terjadi sudah semakin lebar sehingga air dapat masuk dengan lebih mudah. Hal ini
menyebabkan excessive crack mulai terjadi sehingga pertumbuhan retak terjadi dengan
sangat cepat. Selain itu karena retak yang sudah semaking parah, spalling mulai terjadi
pada elimut sehingga beton sulit untuk dipotong dan diamati.
Selain pengamatan terhadap propagasi retak, pengamatan juga dilakukan
terhadap infiltrasi produk korosi (karat) ke dalam celah retak yang telah terbentuk. Seiring
dengan terjadinya proses keretakan, produk korosi mulai mengisi celah disepanjang retak.
Gambar 5.17 berikut ini meunjukkan produk korosi yang mengisi celah-celah disepanjang
retak yang terjadi. Masuknya produk korosi ke dalam celah retak semakin lama akan
merembes ke luar sehingga karat akan bercampur dengan air perendaman. Hal ini
menyebabkan perubahan warna pada larutan NaCl dari yang semula berwarna bening
menjadi berwarna kecoklatan.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 5 10 15 20 25 30
Cra
ck W
idth
(m
m)
Exposure Time (Days)
85
Gambar 5.17 Produk Korosi di Sepanjang Retak yang Terjadi Pada Usia 20 Hari
5.2.2.4 Chloride Profile Analysis
Analisa terhadap chloride profile dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
klorida pada beton. Konsentrasi klorida maksimum terletak pada bagian yang paling
dekat dengan exposed surface. Kenaikan konsentrasi klorida terjadi mulai dari hari
pertama perendaman hingga hari terakhir. Pada hari ke 24 hingga 28 jumlah chloride
meningkat secara drastis. Hal ini terjadi karena retak yang terjadi sudah semakin besar
sehingga proses masuknya chloride ke dalam beton semakin cepat.
Gambar 5.18 Hubungan antara Kandungan Klorida (%) dan Ketebalan Penetrasi (cm)
Gambar 5.18 diatas menunjukkan konsentrasi klorida di sepanjang cross section
dari beton tersebut. Kedalaman diukur dari dasar beton hingga mencapai permukaan atas
pada beton. Seperti yang telah diprediksikan sebelumnya bahwa beton yang berada di
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 2 4 6 8 10 12 14
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
% )
Penetration Depth (cm)
day 6 day 10 day 15
day 20 day 24
86
bagian paling bawah, yaitu bagian yang paling dekat dengan exposed surface, memiliki
konsentrasi klorida paling besar. Hal ini terjadi karena bagian bawah dari beton
mengalami kontak langsung dengan larutan garam sehingga proses kenaikan konsentrasi
terjadi dengan lebih cepat.
5.2.2.5 Reinforcement Weight Loss Analysis
Analisa terhadap berkurangnya berat tulangan dilakukan untuk mengetahui
prosentase korosi yang telah terjadi. Analisa ini dilakukan dengan menimbang tulangan
yang sebelum dan setelah dilakukan uji korosi. Proses pengukuran berat tulangan
dilakukan sesuai dengan ASTM G1. Mehanical procedure dipilih sebagai metode yang
digunakan untuk membersihkan tulangan dari karat sebelum dilakukan pengukuran berat.
Perhitungn teoritis dilakukan dengan menggunakan Hukum Faraday.
Berdasarkan pada Hukum Faraday, massa dari produk korosi yang terbentuk akibat dari
arus yang diberikan dapat dihitung dngan menggunakan perumusan berikut:
𝑀𝑡ℎ = 𝐴𝐼𝑡
𝑍𝐹 (5.7)
Dimana:
Mth = Massa produk korosi teoritis (gr)
A = Berat Atom dari Baja Tulangan (56 gr)
Z = Elektron Valensi Baja Tulangan (Z=2)
Iapp = Applied Current (Amp)
T = Exposed Duration (Second)
F = Konstanta Faraday (96487 Amp-sec)
Rangkuman dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teoritis diperlihatkan
pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 memperllihatkan bahwa terdapat sedikit perbedaan antara
prosesntase korosi aktual dan hasil perhitungan secara teoritis. Hal ini terjadi karena
penerapan Hukum Faraday pada dasarnya adalah untuk logam yang tidak dilapisi oleh
material lain. Sedangkan pada kasus ini, tulangan berada di dalam beton. Hal ini
menyebabkan terdapat kemungkinan berkurangnya besaran arus yang teraplikasikan pada
tulangan yang terdapat bagian dalam beton yang berakibat pada melambatnya laju korosi
pada tulangan.
87
Tabel 5.2 Weight Loss Analysis for Reinforcement
Exposure
Time
Innitial
Weight
(Wi)
Weight After
Corrosion (Wf)
Weight
Loss
Actual
Weight
Loss
Theoritical
Corrosion
Percentage
(Actual)
Corrosion
Percentage
(Theoritical)
(Days) (Gram) (Gram) (Gram) (Gram) (%) (%)
2 566.594 565.125 1.469 1.504 0.26 0.27
4 566.588 564.125 2.463 3.008 0.43 0.53
6 566.595 563.474 3.121 4.512 0.55 0.80
10 566.593 560.512 6.081 7.521 1.07 1.33
15 566.589 558.359 8.230 11.281 1.45 1.99
20 566.594 555.944 10.650 15.042 1.88 2.65
24 566.593 551.963 14.630 18.050 2.58 3.19
Gambar 5.19 berikut ini menunjukkan hubungan antara prosentase korosi yang
terjadi dan lebar retak. Grafik tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan hasil
pengamatan maupun perhitungan secara teoritis dapat disimpulkan bahwa lebar retak
semakin bertambah sering dengan meningkatnya prosentase korosi yang terjadi. Hal ini
sangat jelas karena semakin besar prosentase korosi yang dihasilkan, maka volume karat
yang terbentuk akan semakin besar. Dengan meningkatnya volume karat, maka pressure
yang terjadi pada beton juga akan semakin besar sehingga retak yang terjadi akan semakin
besar.
Gambar 5.19 Hubungan antara Prosentase Korosi dan Lebar Retak
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8
Co
rro
sio
n P
erce
nta
ge (
%)
Crack Width (mm)
Actual
Analytical
88
5.3 Pengujian Korosi dengan Metode Wetting and Drying
Pengujian dengan metode siklus basah dan keringdilakukan untuk mengetahui proses
masuknya ion klorida ke dalam beton akibat siklus basah dan kering. Pada kondisi
lingkungan yang sebenarnya, struktur beton bertulang lebih sering berada pada kondisi
non-saturated dibandingkan dengan kondisi saturated terutama ketika beton tersebut
berada dalam kondisi cyclic wetting-drying. Berdasarkan hasil investigasi lapangan yang
dilakukan oleh beberapa peneliti, struktur beton yang berada pada kondisi basah dan
kering merupakan struktur yang paling rentan terhadap korosi sehingga desain yang
dilakukan tidak dapat mengabaikan faktor durabilitas. Berdasrkan hal tersebut maka pada
penelitian kali ini dilakukan pengujian korosi dengan metode artificial environment.
Metode ini dilakukan dengan meletakkan sample beton bertulang pada suatu chamber
tertutup dengan kondisi lingkungan yang dibuat sedemikian rupa untuk mendekati
kondisi lingkungan yang sebenarnya.
5.3.1 Persiapan Benda Uji
Benda uji yang digunakan dalam pengujian ini adalah benda uji kubus berukuran
150 x 150 x 150 mm. Beton yang digunakan dalam pengujian memiliki kuat tekan 31,42
MPa. Tulangan berdiameter 19 mm ditanam pada bagian tengah tanpa ada bagian yang
menonjol ke luar. Gambar 5.20 berikut ini adalah skema pengujian korosi dengan metode
wetting and drying.
(a)
89
(b)
Gambar 5.20 Skema Pengujian Korosi dengan Metode Wetting and Drying
Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga konfigurasi siklus basah dan kering
yang berbeda-beda. Konfigurasi pertama adalah dengan melakukan tiga siklus dimana
satu siklus terdiri atas satu jam basah dan tujuh jam kering. Konfigurasi kedua juga terdiri
atas tiga siklus dimana satu siklus terdiri atas tiga jam basah dan lima jam kering.
Konfigurasi terakhir adalah untuk kondisi submerged dimana beton mengalami siklus
basah selama 24 jam.
5.3.2 Hasil Eksperimental
Pengujian korosi dengan menggunakan metode siklus basah dan keringtelah
dilakukan untuk mensimulasikan proses masuknya ion klorida pada beton. Pada sub bab
ini akan dibahas mengenai hasil dari eksperimental yang telah dilakukan.
5.3.2.1 Pengamatan Visual
Pengamatan visual dilakukan terhadap beton yang telah terpapar siklus basah
dan kering. Berdasarkan hasil pengamatan visual yang telah dilakukan ditemukan bahwa
pada satu bulan setelah eksperimental dimulai, terdapat lapisan garam tipis di permukaan
beton seperti ditunjukkan pada Gambar 5.21.
Lapisan ini terbentuk karena pada saat proses drying. Pada proses ini garam
yang terkandung pada larutan NaCl mengkristal akibat adanya penguapan air. Hal ini
menyebabkan terbentuknya lapisan tipis pada exposed surface. Semakin lama beton
terpapar oleh air laut dalam skema basah dan kering maka proses spalling mulai terjadi
pada beton (Gambar 5.22) yang menyebabkan beton mengalami keropos meskipun korosi
belum sampai menyebabkan keretakan pada beton di bagian dalam. Kondisi ini berbeda
90
dengan beton yang berada pada kondisi terendam sempurna. Beton yang berada pada
kondisi ini tidak mengalami keropos pada permukaannya. Bagian permukaan beton pada
kondisi basah masih dalam keadaan baik tanpa adanya lapisan kristal garam yang
menempel pada permukaannya.
Gambar 5.21 Lapisan Tipis Kristal Garam yang Terbentuk di Permukaan Beton
Klorida dan karbon dioksida yang larut dalam air bereaksi dengan pasta semen
dalam beton sehingga menyebabkan calcium hydroxide (Ca (OH)2) yang ada pada beton
larut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya proses leaching yang diikuti dengan terjadinya
erosi pada permukaan beton. Kontak beton dengan air laut menyebabkan proses erosi
yang relative parah karena tingkat solubilitas atau kelarutan dari calcium hydroxide dan
gipsum lebih besar di air laut dibandingkan dengan air tawar.
(a) (b)
Gambar 5.22 Kondisi Permukaan Beton dengan Siklus Basah dan Kering (a) dan Fully
Submerged (b) Pada bulan ke Lima
91
5.3.2.2 Pengamatan Mikrostruktur
Reaksi chloride dengan pasta semen yang ada di dalam beton memiliki tiga efek
utama. Efek yang pertama adalah menurunkan pH beton yang berakibat pada larutnya
calcium hydroxide dan gipsum pada beton. Seperti yang telah diketahui secara umum
bahwa masuknya klorida pada beton memiliki kecenderungan untuk menurunkan pH dari
beton tersebut. Peristiwa leaching dari calcium hydroxide sangat kecil ketika pH dari
beton masih pada kisaran 13. Akan tetapi tingkat kelarutan dari calcium hydroxide akan
bertambah secara drastis ketika pH dari beon mengalami penurunan. Hal ini lah yang
menyebabkan proses leaching terjadi dengan cepat dan juga mengakibatkan erosi pada
beton. Pada kegiatan eksperimental yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa proses
leaching telah terjadi. Hal ini ditandai dengan hasil pengujian larutan yang telah
digunakan. Senyawa calcium hydroxide (Ca(H)2) ditemukan dalam pengujian larutan
NaCl yang telah digunakan dalam eksperimen.
Selanjutnya reaksi klorida dengan calcium sulfoaluminate akan mengakibatkan
pembentukan chloroaluminate yang dikenal juga dengan Friedel’s salt. Calcium
sulfoaluminate (3CaO.Al2O3.3CaSO4.32H2O) sangat umum ditemulan pada semen
portland dan berfungsi untuk mengatur hidrasi pada tahap awal, mencegah settin teng
terlalu cepat serta meningkatkan kekuatan beton. Calcium sulfoaluminate merupakan
senyawa hasil dari reaksi tricalcium aluminate, gipsum dan air seperti diperlihatkan pada
reaksi berikut ini.
3CaO.Al2O3 + 3(CaSO4.2H2O) + 26H2O 3CaO.Al2O3.3CaSO4.32H2O (5.8)
Reaksi diatas terjadi sangat cepat ketika semen bereaksi dengan air. Untuk beton
yang terkontaminasi dengan natrium klorida (NaCl), pada tahap awal NaCl bereaksi
dengan kalsium hdroksida yang berada di dalam beton dan menghasilkan kalsium klorida.
Seiring dengan bertambahnya waktu paparan, kalsium klorida akan bereaksi dengan
calcium sulfoaluminate menjadi senyawa yang memiliki bentuk menyerupai enttrigite
yang disebut dengan chloroaluminate (3CaO.Al2O3.CaCl2.32H2O). Berikut adalah reaksi
pembentukan chloroaluminates akibat adanya kontaminasi NaCl pada Beton.
2 NaCl + Ca(OH)2 2 NaOH + CaCl2 (5.9)
3CaO.Al2O3.3CaSO4.32H2O+CaCl2 3CaO.Al2O3.3CaCl2.32H2O + 3CaSO4 (5.10)
92
Terbentuknya chloroaluminates dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
internal pressure pada pori beton dan megakibatkan crak mikro yang dalam jangka
panjang dapat mempengaruhi properties dari beton seperti kuat tekan, kuat tarik dan
properties lainnya. Pengamatan mikrostruktur dari beton dilakukan dengan menggunakan
dua teknik pengamatan yakni XRF dan SEM. Pengambilan data dengan menggunakan
XRF dilakukan untuk mengetahui prosentase unsur yang terkandung pada beton tersebut
sedangkan SEM dilakukan untuk mengetahui kondisi mikrostruktur di dalam beton dan
keberadaan senyawa tri-chloroaluminate. Data yang didapatkan dari hasil pengujian
dengan menggunakan XRF ini adalah prosentase unsur untuk tiga buah sampel yakni
sample durasi 1 jam basah dan 7 jam kering, sampel dengan durasi 3 jam basah dan 5 jam
kering serta sampel dengan kondisi fully submerged. Berdasarkan hasil pengujian XRF,
seperti diperlihatkan pada
Tabel 5.3, dapat dilihat bahwa sampel dengan durasi 3 jam basah dan 5 jam kering
menunjukkan prosentase klorida yang paling besar bila dibandingkan dengan dua sampel
lainnya. Sedangkan sampel dengan durasi 1 jam basah dan 7 jam kering menunjukkan
prosentase klorida yang paling kecil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya waktu basah
sehingga proses difusi tidak dapat terjadi dengan sempurna.
Tabel 5.3 Kandungan Unsur Hasil Pengujian XRF untuk Benda uji Pada Bulan ke Lima
Element
3 Wet and 5
Dry Fully Submerged
1 Wet and 7
Dry
% Mass % Mass % Mass
C 5.317 5.430 4.299
O 51.263 51.190 51.393
Na 2.724 2.048 1.659
Mg 0.737 0.652 0.958
Al 5.208 4.931 6.014
Si 11.909 12.275 15.106
S 0.222 0.135 0.092
Cl 0.967 0.548 0.465
K 0.492 0.476 0.897
Ca 17.964 16.850 14.165
Fe 3.608 5.465 4.952
Tabel 5.3 juga menunjukkan kandungan unsur carbon yang cukup tinggi hal ini
dikarenakan karena karbon dioksida yang terkandung ikut masuk ke dalam beton
93
bersamaan dengan zat lainnya. Karbon ini akan bereaksi dengan kalsium yang terdapat
pada beton dan menyebabkan terbentuknya senyawa calcite. Keberadaan unsur karbon
yang cukup besar pada beton dapat meyebabkan menurunnya pH beton. Adanya
kandungan karbon pada analisa XRF ini ditunjang juga dengan keberadaan senyawa
calcite pada hasil XRD.
Gambar 5.23. Hasil XRD Sampel 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering.
Gambar 5.24. Hasil XRD Sampel 1 Jam Basah dan 7 Jam Kering.
94
Berdasarkan hasil XRD diketahui terdapat pembentukan beberapa senyawa
seperti calcite, quartz, brucite, alumina, dolomite, dan chloroaluminates. Senyawa
calcite merupakan senyawa yang terbentuk pada bagian permukaan dari beton. Senyawa
ini merupakan hasil reaksi dari senyawa hidrasi dari semen yaitu Ca (OH)2 dan gas CO2.
Sedangkan adanya senyawa quartz merupakan penyusun utama dari semen yang sangat
mempengaruhi properties dari beton seperti kuat tekan dan kuat tarik. Selain itu
keberadaan dolomite dan brucite juga ditemukan pada sampel. Adanya senyawa brucite
adalah hasil dari senyawa penyusun semen yaitu MgO dengan Ca(OH)2. Sedangkan
senyawa brucite berasal dari reaksi senyawa MgO dengan CO2. Terbentuknya senyawa
chloroaluminates juga terlihat dari hasil pengujian dengan menggunakan XRD. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kalsium klorida yang terbentuk pada beton
akibat adanya reaksi NaCl dan Ca(OH)2 akan bereaksi dengan calcium sulfoaluminate
menjadi senyawa yang memiliki bentuk menyerupai enttrigite yang disebut dengan
chloroaluminate (3CaO.Al2O3.CaCl2.32H2O).
Gambar 5.25. Hasil XRD Sampel dengan Kondisi Fully Submerged
Selain itu kandungan silika yang terkandung di dalam sampel yang mengalami
perlakuan 3 jam basah dan 5 jam kering merupakan yang terkecil diantara dua sampel
lain. Hal ini dikarenakan silika merupakan salah satu unsur yang berfungsi untuk
95
meningkatkan properties dan performa beton secara keseluruhan seperti meningkatkan
kuat tekan, ketahanan terhadap senyawa agresif seperti klorida, serta mengurangi
permeabilitas beton. Prosentase klorida yang tinggi menandakan bahwa ketahanan
durabilitas dan kuat tekan dari sampel tersebut telah menurun. Hal ini sesuai dengan
kondisi kuat tekan dari beton tersebut seperti ditujukkan pada Tabel 4.8.
Gambar 5.26 Hasil SEM untuk Sampel 1 Jam Basah dan 7 Jam Kering.
Untuk mengetahui morfologi mikrostruktur secara lebih jelas maka bagian kecil
dari sampe XRF diambil untuk diuji dengan menggunakan teknik SEM. Pengujian SEM
dilakukan dengan 2 teknik yaitu dengan dan tanpa menggunakan coating. Pengujian tanpa
menggunakan coating dilakukan untuk mendapatkan hasil mapping unsur yang
sebenarnya dari sample yang ada. Sedanngkan pengujian dengan menggunakan coating
dilakukan untuk mendapatkan permukaan yang lebih konduktif dan gambaran yang lebih
jelas terkait dengan kondisi mikrostruktur pada beton. Sebagai catatan bahwa hasil
pembacaan SEM/EDS ini hanya merupakan gambaran kasar kondisi mikrostruktur dari
sampel beton bertulang. Hal ini dikarenakan pembacaan dengan SEM/EDS hanya
96
menggunakan sebagian kecil dari sampel dan perbedaan lokasi sampel yang digunakan
akan mempengaruhi hasil akhir dari analisa SEM/EDS ini.
Gambar 5.27 Hasil SEM untuk Sampel 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
Gambar 5.26 hingga Gambar 5.28 menunjukkan hasil pengujian dengan
menggunakan SEM/EDX tanpa menggunakan coating untuk sampel dengan durasi 1 jam
basah dan 7 jam kering, sample dengan durasi 3 jam basah dan 5 jam kering serta sampel
dengan kondisi fully submerged secara berurutan. Gambar-gambar tersebut meliputi hasil
prosentase unsur dan gambaran microstruktur beton tersebut. Terkait prosentase unsur,
hasil SEM/EDX menunjukkan tren yang sama dengan hasil pengujian dengan XRF.
Mesikipun bila ditinjau secara nilai tidak persis sama namun tren yang dihasilkan diantara
keduanya sama. Hal ini disebabkan permukaan yang ditinjau untuk pengujian SEM/EDX
dan XRF tidak persis sama. Selain itu, analisa prosentase unsur pada SEM sangat
tergantung pada bagian yang diperbesar sehinga sampel yang sama dapat menghasilkan
prosentase unsur yang berbeda tergantung lokasi yang ditijau.
97
Gambar 5.28 Hasil SEM untuk Sampel Fully Submerged
Prosentase klorida pada sampel yang mengalami perlakuan 3 jam basah dan 5 jam
kering memiliki kandungan klorida yang paling besar dibandingkan dengan sampel
lainnya. Bagian yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah pada Gambar 5.26
hingga Gambar 5.28 menunjukkan struktur chloroaluminates pada pori-pori beton. Dapat
dilihat bahwa sample yang mengalami perlakuan basah dan kering dengan durasi 3 jam
basah dan 5 jam kering memiliki jumlah chloroaluminate yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan dua sample yang lain. Chloroaluminate berbentuk seperti jarum
tajam yang tersebar secara tidak merata pada pori-pori beton. Pada dasarnya bila
chloroaluminates terbentuk dalam jumlah yang tidak terlalu besar dan bereaksi dengan
Ca(OH)2 akan menyebabkan beton semakin compact (padat). Hal ini menyebabkan
beberapa peneliti menggunakan air laut sebagai bahan campuran beton. Akan tetapi
dalam jumlah yang besar, senyawa ini memiliki kecenderungan untuk berexpansi yang
berakibat terbentuknya local stress pada pori-pori beton sehingga menyebabkan
terjadinya crack mikro pada beton tersebut. Efek yang ketiga adalah memperbesar pori
dan meningkatkan permeabilitas dari beton tersebut. Akibat dari terbentuknya
chloroaluminates, pori beton menerima local stress sehingga menyebabkan pori beton
tersebut membesar dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas dari beton tersebut.
98
Gambar 5.29 Permukaan Sampel setelah Coating
Untuk memperjelas keberadaan trichloroaluminates pada beton maka dilakukan
coating dengan menggunakan emas pada sample. Gambar 5.29 berikut ini menunjukkan
permukaan sample setelah dicoating dengan menggunakan gold.
Dengan menggunakan coating maka pembesaran dapat dilakukan dengan lebih
teliti sehingga dihasilkan gambar yang lebih baik. Gambar 5.30 menunjukkan hasil SEM
untuk sample dengan perlakukan 3 jam basah dan 5 jam kering yang telah melalui proses
coating. Sample ini dipilih karena memiliki kandungan klorida yang paling tinggi
sehingga keberadaan chloroaluminate dapat terlihat dengan jelas.
Untuk melihat bentuk dan struktur chloroaluminates secara lebih jelas dilakukan
perbesaran sebesar 10.000X dan 20.000X seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.30.
Berdasarkan gambar tersebut sudah dapat terlihat bahwa pori-pori dari beton tertutup oleh
jarum-jarum yang posisinya tidak beraturan. Setelah beton terekspos oleh larutan NaCl
maka sebagian klorida tertahan pada dinding pori atau produk semen dan bereaksi yang
juga dikenal dengan istilah chloride binding seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.31.
Peristiwa chloride binding ini secara umum diklasifikasikan sebagai bentuh physical
binding dan chemical binding. Physical binding terjadi karena adanya peristiwa
elektrostatik atau dikenal juga dengan gaya Van der Walls atau gaya antara molekul
antara chloride dan C-S-H gel. Sedangkan chemical binding pada proses infiltrasi klorida
dapat didefinisikan sebagai iterajsi antara C-S-H gel dan ion klorida melalui proses
chemisoption dimana ion klorida teradsobsi secara kimiawi oleh C-S-H gel. Klorida yang
bereaksi dengan C-S-H gel mengakibatkan perubahan pada kondisi mikrostruktur beton
tersebut.
99
Gambar 5.30 Hasil Low Magnification SEM sample 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
dengan Gold Coating
Chloride yang bereaksi dengan cementitious material bereaksi dengan senyawa
utama yang terdapat pada semen yaitu tricalcium aluminate (C3A). Reaksi ini
menghasilkan chloroaluminate atau yang dikenal juga dengan sebutan Fridel’s salts
(3CaO. Al2O3. CaCl2. 10H2O). Friendel’s salt merupakan kristal yang dapat menurunkan
performa beton. Oleh karena itu limit kandungan klorida pada campuran beton telah
diatur pada peraturan beto bertulang. Untuk ACI dan SNI kadar klorida untuk beton
bertulang biasa (non-prategang) diambil berkisar anatara 0.15% hingga 1% tergantung
dari kondisi lingkungan di sekitar struktur tersebut dan tipe semen yang digunakan.
Chloroaluminate memiliki mikrostruktur yang menyerupai ettringgite pada beton
yang menggunakan semen portland. Penambahan gypsum pada semen portland sebagai
sumber calcium sufate menyebabkan terbentuknya ettringite akibat adanya reaksi dengan
calcium aluminate. Keberadaan chloroaluminates pada beton yang terpapar klorida
merupakan manifestasi terbentuknya secondary ettringgite. Meskipun bentuknya yang
hampir sama akan tetapi ettringgite yang merupakan produk hidrasi semen pada dasarnya
adalah submicroscopic sehingga ketika melakukan SEM yang terdeteksi adalah
10.000 X
20.000 X
100
secondary ettringgite yang dalam kasus ini dikenal juga dengan sebutan
chloroaluminates.
Gambar 5.31 Hasil High Magnification SEM sample 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
dengan Gold Coating (Perbesaran 10.000X)
Selain hasil diatas, hasil dari SEM juga dapat menunjukkan persebaran berbagai
unsur pada permukaan sample yang diuji. Gambar 5.32 menunjukkan bahwa benda uji
dengan perlakuan 3 jam basah dan 5 jam kering memiliki persebara klorida yang merata
dibandingkan dengan dua sampel lainnya. Hasil tersebt disajikan bersamaan dengan
grafik hasil pengujian XRF. Intensitas warna yang lebih cerah juga menunjukkan bahwa
prosentase unsur pada sampel tersebut cukup besar. Hal ini menandakan bahwa kristal
chloroaluminates yang terbentuk pada sampel ini lebih banyak bila dibandingakan yang
dua sampel yang lainnya.
Berbeda dengan persebaran klorida, persebaran silika pada sampel dengan
kombinasi 3 jam basah dan 5 jam kering merupakan yang paling rendah bila dibandingkan
dengan dua sampel lainnya seperti ditunjukkan pada Gambar 5.33. Hal ini dikarenakan
silika merupakan salah satu unsur yang berfungsi untuk meningkatkan properties dan
performa beton secara keseluruhan seperti meningkatkan kuat tekan, ketahanan terhadap
senyawa agresif seperti klorida dan sulfat, serta mengurangi permeabilitas beton.
Prosentase sulfat yang rendah menandakan bahwa ketahanan durabilitas dan kuat tekan
C-S-H
Ettrigite
(Chloroaluminates)
Capilarry
Void
101
dari sampel tersebut telah menurun. Hal ini sesuai dengan kondisi kuat tekan dari beton
tersebut seperti ditujukkan pada Tabel 4.8.
Gambar 5.32 Grafik XRF dan Hasil EDS Persebaran Klorida untuk Tiga Tipe Sampel
Gambar 5.33 Grafik XRF dan Hasil EDS Persebaran Silika untuk Tiga Tipe Sampel
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
89.5 90.5 91.5 92.5 93.5 94.5 95.5 96.5
Inte
nsi
ty
Angle (o)
3 Hours Wet and 5 Hours Dry
Fully Submerged
1 Hour Wet and 7 Hours Dry
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
104 106 108 110 112 114
Inte
nsi
ty
Angle (o)
3 Hours Wet and 5 Hours Dry
Fully Submerged
1 Hour Wet and 7 Hours Dry
102
5.3.2.3 Hasil Pengamatan Penetrasi Klorida
Pengujian kandungan klorida dilakukan dengan menggunakan metode titrasi
argentomeri. Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam
suatu larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasarkan pada pembentukan endapan
dengan ion Ag+. Salah satu cara untuk menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan
adalah dengan volumetric. Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi
indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan
mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat
diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan.
Pengetesan kandungan klorida dilakukan setiap 1 cm mulai dari permukaan
yang terkspose hingga bagian terjauh dari permukaan yang terkspose. Gambar 5.34
hingga Gambar 5.38 berikut ini menunjukkan chloride profile beton pada bulan ke-1, ke-
3, ke-5 dan ke-10.
Gambar 5.34 Chloride Profile Pada Bulan Pertama
Berdasarkan hasil pengetesan kandungan klorida pada bulan pertama, seperti
diperlihatkan pada Gambar 5.34, konsentrasi klorida paling besar berada pada bagian
yang paling dekat dengan exposed surface. Konsentrasi klorida menurun seiring dengan
bertambahnya jarak lokasi yang ditinjau dari esxposed surface. Setelah jarak 30 mm,
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 20 40 60 80 100 120 140
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
%)
Penetration Depth (mm)
1 hr wetting - 7 hrs drying
3 hrs wetting - 5 hrs drying
Fully Submerged
103
konsentrasi klorida mulai mendekati nol yang menandakan bahwa pada bulan ini klorida
yang terdapat pada interface antara baja dan beton masih sangat sedikit sehingga korosi
belum terinisiasi. Hal ini terbukti dari gambar penampang beton yang diperlihatkan oleh
Gambar 5.35. Dari gambar tersebut masih terlihat bahwa korosi belum terjadi dan
tulangan masih pada kondisi utuh.
Bila dilihat secara keseluruhan dari Gambar 5.34, kandungan klorida pada ketiga
sample dengan konfigrasi yang berbeda menujukkan adanya kesamaan kandungan
korida. Beton dengan perlakuan fully submerged memiliki kandungan klorida yang paling
tinggi. Sedangkan kandungan klorida paling rendah ditunjukkan oleh beton dengan
konfigurasi 1 jam kering dan 7 jam basah. Hal ini terjadi karena pada bulan awal difusi
masih menjadi mekanisme utama masuknya klorida ke dalam beton. Proses difusi yang
terjadi belum terpengaruh oleh durasi basah kering sehingga benda uji dengan perlakuan
fully submerged masih menjadi sampel yang memiliki kandungan klorida tertinggi
dibandingkan dua sampel yang lain.
Gambar 5.35 Penampang Beton pada Kondisi Fully Submerged Bulan Pertama
Pada bulan ke-3 hingga bulan ke-10, seperti ditunjukkan olen Gambar 5.36 hingga
Gambar 5.38, dapat dilihat bahwa beton dengan konfigurasi 3 jam kering dan 5 jam basah
menunjukkan peningkatan kandungan klorida yang signifikan. Hal ini menyebabkan
beton dengan konfigurasi ini memiliki kandungan klorida tertinggi diantara sampel yang
lain. Sedangkan kandungan klorida paling rendah ditunjukkan oleh beton dengan
konfigurasi 1 jam kering dan 7 jam basah. Hal ini dikarenakan waktu basah pada
konfigurasi ini relatif kecil sehingga proses difusi tidak terjadi dengan sempurna (Sutrisno
dkk, 2016)
104
Gambar 5.36 Chloride Profile Pada Bulan Ke Tiga
Hasil penelitian hingga bulan ke-10 ini menunjukkan bahwa beton dengan
konfigurasi 3 jam basah dan 5 jam kering memiliki kandungan klorida tertinggi karena
adanya kombinasi antara siklus basah dan kering. Dapat dilihat pada bulan pertama difusi
memang merupakan mekanisme utama masuknya klorida ke dalam beton. Hal ini
ditunjukkan oleh beton dengan konfigurasi fully submerged yang memiliki konsentrasi
klorida tertinggi pada bulan pertama. Akan tetapi, semakin lama durasi exposure,
konveksi mulai terjadi sehingga menyebabkan beton dengan kombinasi basah kering
tertrntu memiliki konsentrasi klorida yang lebih tinggi dibandingkan dengan beton
dengan konfigurasi fully submerged.
Konfigurasi 3 jam basah dan 5 jam kering memiliki kandungan klorida yang paling
tinggi karena pada kondisi basah, larutan NaCl yang mengandung klorida masuk ke dalam
beton. Klorida pada tahapan ini berpindah di dalam beton dari konsentrasi tinggi ke
rendah melalui mekanisme difusi. Ketika kondisi lingkungan luar berganti ke kondisi
kering, air yang berada didalam pori akan menguap sedangkan kristal garam akan tetap
berada pada beton sehingga klorida tetap dapat berpindah dengan bebas di dalam beton.
Konsentrasi klorida pada kondisi kering ini akan meningkat karena tidak bercampur
dengan air pori sehingga perbedaan konsentrai klorida di dalam beton yang berada pada
kondisi kering lebih tinggi bila dibandingkan dengan beton pada kondisi basah. Bila
kondisi ini berlangsung terus menerus maka klorida akan lebih cepat masuk ke dalam
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 20 40 60 80 100 120 140
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
%)
Penetration Depth (mm)
1 hr wetting - 7 hrs drying
3 hrs wetting - 5 hrs drying
Fully Submerged
105
beton. Pada waktu paparan tertentu, jumlah klorida yang ada pada beton akan mencapai
batasan untuk merusak lapisan pasif pada tulangan dan menginisiasi proses korosi. Selain
itu kondisi kering juga akan akan meningkatkan nilai koefisien difusi dari oksigen
dibandingkan pada kondisi basah sehingga proses korosi juga dapat terjadi dengan lebih
cepat.
Gambar 5.37 Chloride Profile Pada Bulan Ke Lima
Maskipun konfigurasi basah dan kering dapat mempercepat masuknya klorida ke
dalam beton, akan tetapi kurangnya waktu basah dapat menyebabkan proses difusi tidak
terjadi secara sempurna. Fenomena ini ditunjukkan oleh beton dengan konfigurasi 1 jam
basah dan 7 jam kering. Konfigurasi ini selalu memiliki kandugan klorida yang paling
kecil dibandingkan dengan konfigurasi yang lain mulai dari awal exposure hingga bulan
ke-10. Dengan melihat hasil ini dapat disimpulkan bahwa penetrasi klorida sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi durasi basah dan kering.
Dengan mengadopsi definisi dari proses difusi yaitu perpindahan suatu ion atu
senyawa dari area yang memiliki konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih
rendah, maka proses masuknya klorida ke dalam beton akan terus berlangsung selama
terdapat perbedaan konsentrasi klorida pada beton. Penggunaan kualitas beton yang lebih
baik seperti penggunaan beton denga faktor air semen yang lebih rendah dan penggunaan
teknik proteksi pada beton bertulang seperti coating dan cathodic protection dapat
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 20 40 60 80 100 120 140
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
%)
Penetration Depth (mm)
1 hr wetting - 7 hrs drying3 hrs wetting - 5 hrs dryingFully Submerged
106
memperlambat proses transport zat agresif seperti klorida ke dalam beton sehingga proses
korosi juga dapat berlangsung dengan lebih lambat.
Gambar 5.38 Chloride Profile Pada Bulan Ke Sepuluh
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 20 40 60 80 100 120 140
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
%)
Penetration Depth (mm)
1 hr wetting - 7 hrs drying
3 hrs wetting - 5 hrs drying
Fully Submerged
107
BAB 6
MODEL PREDIKSI PENETRASI KLORIDA AKIBAT SIKUS
WETTING AND DRYING
6.1 Umum
Bab ini menguraikan mengenai pengembangan model prediksi penetrasi klorida pada
beton yang terkena siklus basah dan kering (siklus basah dan kering). Perumusan difusi
digunakan sebagai dasar utama dari pengembagan model prediksi ini.
6.2 Model Penetrasi Klorida Pada Beton dengan Kondisi Fully Submerged
Proses masuknya klorida pada beton bertulang pada umumnya terjadi secara difusi.
Hukum Fick sudah sangat umum digunakan untuk memodelkan proses difusi pada
berbagai media yang memiliki perbedaan konsentrasi termasuk beton. Pada kondisi
steady state, dimana konsentrasi dianggal konstan, hukum Fick’s pertama dapat
digunakan untuk memodelkan proses difusi. Persamaan hukum Fick’s pertama
diperlihatkan pada persamaan 6.1 dibawah ini.
𝐽 = −𝐷𝜕𝑐(𝑥)
𝜕𝑥 (6.1)
Akan tetapi pada banyak kasus difusi, konsentrasi selalu berubah terhadap waktu
sehingga hukum Fick’s pertama berkembang menjadi Hukum Fick kedua seperti
ditunjukkan pada persamaan (6.2). Pada Hukum Fick pertama, bila nilai dari 𝜕𝑐(𝑥,𝑡)
𝜕𝑡 adalah
konstan (J) maka hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan konsentrasi yang terjadi
terhadap waktu sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Fick pertama sebenarnya
adalah simplifikasi dari Hukum Fick kedua yang mengasumsikan difusi terjadi pada
kondisi steady state.
𝜕𝑐(𝑥,𝑡)
𝜕𝑡= −
𝜕𝐽
𝜕𝑥= 𝐷
𝜕2𝑐
𝜕𝑥2 (6.2)
Pemodelan infiltrasi klorida ke dalam beton dengan menggunakan Hukum Fick
ke dua telah mulai dikenalkan oleh Colle Pardi et al, 1970. Pada kasus infiltrasi klorida
pada beton bertulang, difusi merupakan mekanisme yang utama. Mekanisme transport
dengan proses difusi ini umum digunakan untuk beton yang berada pada kondisi terendam
sempurna (fully submerged). Penyelesaian Hukum Fick diatas telah banyak diteliti dalam
108
beberapa dekade dan salah satu penyelesaian yang umun digunakan adalah dengan
menggunakan error function sebagai berikut:
𝐶(𝑥,𝑡)
𝐶𝑠= [1 − 𝑒𝑟𝑓 (
𝑥
2√𝐷𝑐𝑡)] (6.3)
Dimana Cs adalah konsentrasi senyawa pada permukaan. Nilai error function (erf)
didapatkan dari Gaussian error function yang bergantung dari hasil perhitungan 𝑥
2√𝐷𝑐𝑡.
Waktu awal terjadinya korosi sangat ditentukan oleh chloride threshold (Ct) yang
dapat menyebabkan terjadinya depasivasi pada beton. Angst dan Vennesland telah
meneliti besarnya chloride threshold yang dapat mengakibatkan terjadinya depasivasi
pada beton (Angst & Vennesland, 2009). Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan
bahwa chloride threshold bervariasi dari 0.02% hingga 3.08 % tergantung pada kualitas
dari interface antara tulangan dan beton, pH dari pore solution dan electrochemical
potential dari tulangan. Beberapa peraturan juga menetapkan batasan critical chloride
content pada beton untuk mencegah terjadinya depasivasi. ACI Committee 201
menetapkan batasan sebsesar 0.1 untuk beton normal yang berada pada kondisi lembab
dan terekspose langsung oleh klorida.
Untuk menentukan waktu awal terjadinya korosi maka dapat diasumsikan nilai
dari Cs adalah konstan dengan mengasumsikan besarnya adalah sama dengan kandungan
klorida yang ada pada air laut. Waktu awal terjadinya korosi juga tergantung pada
ketebalan selimut dari beton karena klorida yang masuk harus melewati selimut beton
sebelum mencapai tulangan. Kondisi tersebut dapat dituliskan secara matematis seperti
perumusan yang dikemukakan oleh Zhang dan Lounis berikut ini (Zhang & Lounis,
2006):
𝑇𝑖(𝐶𝑠, 𝐷, 𝐶𝑡𝑑𝑐) =𝑑𝑐
2
4𝐷𝑐[𝑒𝑟𝑓−1(1−𝐶𝑡𝐶𝑠
)] (6.4)
Dimana dc adalah ketebalan selimut beton, Ct adalah chloride threshold, Dc adalah
koefisien difusi dan Cs adalah konsentrasi klorida pada permukaan beton. Gambar 6.1 dan
Gambar 6.2 menunjukkan hasil perhitungan konsentrasi klorida dengan menggunakan
pendekatan Hukum Fick II dan hasil eksperimental pada bulan ke-1 dan ke-10.
109
Gambar 6.1 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II dan Hasil
Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-1
Gambar 6.2 Hasil Perhitungan Konsentrasi Chlorida dengan Hukum Fick’s II dan Hasil
Eksperimental (Fully Submerged Condition) Pada Bulan ke-10
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Depth From Surface (mm)
Experimental Calculation
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Depth From Surface (mm)
Experimental
Calculation
110
Berdasarkan Gambar 6.1 dan Gambar 6.2 dapat terlihat perbedaan konsentrasi
yang cukup signifikan antara hasil eksperimental dan perhitungan dengan menggunakan
Hukum Fick II. Hal ini disebabkan oleh penggunaan koefisien difusi yang konstan pada
saat perhitungan konsentrasi klorida tersebut. Koefisien difusi umumnya ditentukan
melalui pengujian awal dari beton pada usia awal setelah curing (28 hari). Hal ini
bertujuan untuk mengetahui koefisien difusi dari beton sebelum terkontaminasi oleh
karbon dioksida maupun klorida. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu,
koefisien difusi pada beton yang terpapar klorida akan berubah akibat adanya proses
transport. Observasi yang dilakukan oleh Takewaka et al, 1988 mengemukakan bahwa
koefisien difusi yang digunakan tidak boleh lagi dianggap konstan akan tetapi harus
mengalami perubahan seiring dengan waktu paparan. Hasil yang dikemukakan oleh
Taekawa juga sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Michael et al, 1999 dan
Wang et al, 2014. Penyebab dari fenomena ini adalah seiring dengan bertambahnya waktu
paparan, kondisi mikrostruktur beton tidak sama seperti kondisi awal. Besarnya porositas
tertutup juga menurun seiring dengan bertambahnya waktu paparan. Berdasarkan
penelitian yang dikemukakan oleh Taekawa et al, 1998 dan Michael, eet al, 1999 maka
dapat disimpulkan hubungan antara koefisien difusi dan waktu paparan. Difusi dalam
kurun waktu tertentu disebut juga dengan diffusi efektif (Deff) yang dapat dirumuskan
sebagai berikut.
𝐷𝑒𝑓𝑓 = 𝐷𝑐 × (𝑡0
𝑡)
𝑚
(6.5)
Dimana nilai t0 adalah referensi waktu yang besarnya adalah 28 hari. Sedangkan
m adalah konstanta yang mewakili kualitas beton yang digunakan. Besarnya nilai
koefisien dapat diambil berdasarkan penelitian Mangat dan Moloy, 1994 yaitu sebesar
𝑚 = 2.5 𝑊 𝐶 − 0.6⁄ (6.6)
Dengan menggunakan asumsi ini dilakukan perhitungan kembali untuk
memodelkan penetrasi klorida pada kondisi fully submerged. Gambar 6.3 dan Gambar
6.4 berikut menunjukkan hasil perhitungan konsentrasi klorida dengan menggunakan
111
pendekatan Hukum Fick II (dengan Deff) dan hasil eksperimental pada bulan ke-1 dan ke-
10.
Gambar 6.3 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan Deff)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged ) Pada Bulan ke-1
Gambar 6.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan Deff)
dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-10
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Depth From Surface (mm)
Experimental
Calculation
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Depth From Surface (mm)
ExperimentalCalculation
112
Dapat terlihat dari Gambar 6.3 dan Gambar 6.4 bahwa terdapat penurunan
konsentrasi klorida hasil perhitungan bila dibandingkan dengan hasil pada Gambar 6.1
dan Gambar 6.2. Akan tetapi hasil ini masih cukup jauh dari hasil eksperimental yang
dihasilkan. Hal ini kemugkinan besar disebabkan oleh perbedaan konsentrasi klorida yang
terdapat disepanjang cross section dari beton. Seiring dengan bertambahnya waktu,
klorida akan masuk ke dalam beton dan menyebabkan terbentuknya Friedel’s salt di
dalam beton. Hal ini menyebabkan terjadinya pore refinement pada beton karena
Friedel’s salt yang terbentuk mengisi pori-pori pada beton. Hal ini menyebabkan
koefisien difusi pada beton semakin kecil pada permukaan yang terpapar langsung dengan
klorida. Berdasarkan pada penjelasan diatas, maka terlebih dahulu dicari hubungan antara
jarak dari permukaan terhadap koefisien difusi beton.
Gambar 6.5 Hasil Perhitungan Koefisien Difusi dengan Hukum Fick II Berdasarkan
Hasil Eksperimental
Hasil perhitungan koefisien difusi yang dilakukan dengan menggunakan
concentration profile technique ditunjukkan oleh Gambar 6.5. Teknik ini bertujuan untuk
mendapatkan koefisien difusi berdasarkan hasil konsentrasi klorida yang didapatkan dari
pengujian titrasi. Bedasarkan perhitungan koefisien difusi hasil analisa eksperimental
dapat dilihat bahwa koefisien difusi cenderung mengalami kenaikan seiring dengan
bertambahnya jarak dari permukaan. Semakin jauh jarak titik yang ditinjau dari
0
5E-11
1E-10
1.5E-10
2E-10
2.5E-10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Dif
fuss
ion
Co
efic
ien
t (m
2/s
)
Penetration Depth (mm)
1st Month
3rd Month
5th Month
10th Month
113
permukaan beton maka koefisien difusi yang dihasikan semakin besar. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nerst, dimana besarnya difusi bertambah seiring
dengan adanya pencairan larutan. Hal ini juga ditunjang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Chaterji, 1994 yang menyatakan bahwa besarnya koefisien difusi
meningkat seiring dengan menurunnya konsentrasi NaCl%. Karena semakin jauh jarak
dari permukaan konsentrasi larutan semakin kecil, maka koefisien difusi dari beton
tersebut juga semakin besar.
Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan analisa regresi dari data eksperimental
dan ditemukan bahwa koefisien difusi juga tergantung dari perbandingan antara jarak
yang ditinjau dari permukaan (X) dan ketinggian cross section beton yang ditinjau (X).
Berdasarkan hasil tersebut maka perumusan koefisien difusi efektif (Deff) pada persamaan
6.5 dapat dikembangkan dengan menambahkan faktor jarak sebagai berikut:
𝐷𝑎𝑝𝑝 = 𝐷𝑒𝑓𝑓 × 𝐸𝑥𝑝 [∆𝑋
𝑋] × 5log (∆𝑋) (6.7)
Dengan menggunakan persamaan koefisien difusi diatas maka dilakukan
perhitungan kembali untuk menetukan profil klorida pada beton yang ditinjau.
Gambar 6.6 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dengan Hukum Fick II (dengan
Dapp) dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Penetration Depth(mm)
Experimental Calculation
114
Gambar 6.7 Hasil Perhitungan Konsentrasi Chlorida dengan Hukum Fick II (dengan
Dapp) dan Hasil Eksperimental (Kondisi Fully Submerged) Pada Bulan ke-10
Bedasarkan hasil pada perhitungan pada Gambar 6.6 dan Gambar 6.7 dapat dilihat
bahwa konsentrasi klorida hasil perhitungan sudah mendekati hasil eksperimental yang
ada. Dapat dilihat pula hasil konsentrasi klorida pada bagian yang paling dekat dengan
permukaan, yaitu 10 mm dari permukaan, menunjukkan perbedaan konsentrasi klorida
yang cukup besar.
Hal ini disebabkan oleh penentuan konsentrasi klorida pada permukaan beton
yang nilainya cenderung lebih besar dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Glass, 2000 juga menyatakan bahwa aksi chloride yang
masuk ke dalam beton dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya dalah penentuan
boundary condition. Boundary condition seperti konsentrasi klorida pada permukaan
beton (Cs) nilainya sebenarnya tidak sama dengan dengan konsentrasi klorida pada air
laut. Akan tetapi karena perhitungannya yang cukup rumit maka konsentrasi klorida di
dalam air laut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menentukan nilai konsentrasi
klorida pada permukaan beton. Hal ini menyebabkan konsentrasinya hasil perhitungan
cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil eksperimental.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (
%)
Penetration Depth (mm)
Experimental Calculation
115
6.3 Model Penetrasi Klorida pada Beton dengan Kondisi Wetting and Drying
Pada kondisi fully submerged difusi merupakan mekanisme transport yang utama.
Akan tetapi beton yang berada pada daerah percikan mengalami kombinasi basah dan
kering sehingga difusi bukan lagi menjadi satu-satunya mekanime masuknya klorida ke
dalam beton. Beberapa peneliti mendekati kondisi ini dengan menggabungkan antara
difusi dan konveksi.
𝜕𝑐
𝜕𝑡= −𝐷∇𝑐 + 𝑐𝑢 (6.8)
Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Lu et al menyatakan bahwa konveksi
pada lokasi yang semakin jauh dari permukaan dapat diabaikan dan difusi tetap menjadi
mekanisme utama. Akan tetapi jarak dari permukaan yang terkena paparan langsung,
dimana dalam penelitian Lu et al disebut sebagai zona konveksi, harus tetap
dipertimbangkan saat melakukan perhitungan infiltrasi klorida dengan menggunakan
difusi. Hal ini telah dibahas pada sub bab sebelumnya dimana jarak dari permukaan beton
yang terkena paparan (X) telah dimasukkan ke dalam penentuan koefisien difusi.
Berdasarkan hasil pengamatan konsentrasi klorida yang telah dibahas sebelumnya
pada sub bab 5.3.2.2 didapatkan bahwa durasi basah dan kering dalan suatu siklus siklus
basah dan keringmempengaruhi proses masuknya klorida ke dalam beton. Pada periode
pengujian yang panjang didapatkan siklus basah dan kering dengan periode tertentu dapat
mengakibatkan klorida berpenetrasi lebih cepat ke dalam beton. Sedangkan disisi lain
kurangnya durasi basah dalam suatu siklus wetting and drying juga dapat mempengaruhi
kecepatan penetrasi klorida tersebut. Berdasarkan fitting dari hasil eksperimental
didapatkan bahwa terdapat hubungan antara total siklus basah dan kering harian terhadap
konsentrasi klorida.
Berdasarkan hasil eksperimental tersbut, maka perumusan difusi yang digunakan
untuk memodelkan proses infiltrasi klorida pada kondisi fully saturated dapat juga
digunakan untuk memodelkan proses infiltrasi klorida pada kondisi basah dan kering
dengan menambahkan variable durasi basah dan kering. Perumusan tersebut dapat
dituliskan secara matematis sebagai berikut.
𝐶(𝑥,𝑡)
𝐶𝑠= 𝛼 × [1 − 𝑒𝑟𝑓 (
𝑥
2√𝐷𝑎𝑝𝑝𝑡)] (6.9)
116
Dimana:
= Koefisien yang tergantung pada durasi basah dan kering pada suatu siklus
Dapp = Modified Diffusion Coeficient (lihat persamaan 6.7)
C(x,t) = Konsentrasi pada titik x dan waktu t
Cs = Konsentrasi awal
x = Lokasi yang ditinjau
Berdasarkan hasil eksperimental yang telah dibahas sebelumnya pada Bab 5, durasi
basah yang kurang menyebabkan proses difusi tidak berjalan secara maksimal sehingga
konsentrasi klorida pada titik yang sama menjadi lebih kecil. Oleh karena itu besarnya
nilai tergantung dari rasio antara total waktu basah (w) dan kering (d) sebagai berikut:
Untuk w/d ≤ 0.5
𝛼 = 0.5 × 𝐸𝑥𝑝 [𝑤
𝑑] (6.10)
Untuk w/d > 0.5
𝛼 = 0.75 × 𝐸𝑥𝑝 [𝑤
𝑑] (6.11)
Untuk w/d ≥ 1
𝛼 = 1
Koefisien w adalah total waktu basah dalam satuan jam. Sedangkan d adalah total
waktu kering dalam satu siklus basah dan kering dalam satuan jam. Pada sub bab
selanjutka akan ditunjukkan hasil pemodelan proses infiltrasi klorida dibandingkan
dengan hasil eksperimental untuk siklus dengan 1 jam basah dan 7 jam kering serta 3 jam
basah dan 5 jam kering secara berurutan.
6.4 Validasi Model
Pada sub bab ini akan dibahas hasil validasi model dengan hasil eksperimental.
Berdasarkan Gambar 6.8 dan Gambar 6.9 dapat dilihat bahwa model yang digunakan
untuk mensimulasikan proses masuknya klorida pada beton mendekati hasil
eksperimental. Rata-rata perbedaan yang terjadi mencapai angka 6.24 % untuk semua
sampel. Perbedaan paling besar terjadi pada permukaan beton. Hal ini disebabkan oleh
117
penentuan konsentrasi klorida pada permukaan beton yang nilainya cenderung lebih besar
dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Proses masuknya klorida ke dalam beton
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya dalah penentuan boundary condition.
Boundary condition yang utama adalah konsentrasi klorida pada permukaan beton (Cs).
Pada model yang dikembangkan nilai konsentrasi klorida diambil sama kandungan
klorida pada air laut dimana sebenarnya nilainya tidak sama dengan dengan konsentrasi
klorida pada air laut. Akan tetapi untuk penyederhanaan, maka konsentrasi klorida di
dalam air laut ini digunakan sebagai pendekatan untuk menentukan nilai konsentrasi
klorida pada permukaan beton. Hal ini menyebabkan konsentrasinya hasil perhitungan
cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil eksperimental.
Gambar 6.8 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dan Hasil Eksperimental untuk
kondisi 1 Jam Basah dan 7Jam Kering
Secara keseluruhan, hasil pemodelan selalu menghasilkan kandungan klorida yang
lebih besar bila dibandingkan dengan hasil eksperimental. Pada aplikasi penggunaan
perumusan difusi untuk material porous dengan kondisi basah dan kering pada dasarnya
kandungan klorida yang dihitung seharusnya adalah yang berada pada pore solution.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Penetration Depth (mm)
1st Month Exp 3rd Month Exp
5th Month Exp 10th Month Exp
1st Month Predictive 3rd Month Predictive
5h Month Predictive 10th Month Predictive
118
Akan tetapi teknik pengukuran dengan cara ini sangat rumit sehingga lebih banyak
peneliti yang mendekati dengan metode titrasi yakni dengan menghaluskan beton menjadi
bentuk powder dan mengukur total klorida yang ada pada beton. Dengan teknik ini jumlah
klorida yang termasuk dalam perhitungan adalah klorida yang pore solution dan juga
klorida yang terabsobsi secara fisik. Hal ini mengakibatkan jumlah klorida yang terukur
menjadi lebih besar.
Gambar 6.9 Hasil Perhitungan Konsentrasi Klorida dan Hasil Eksperimental untuk
kondisi 3 Jam Basah dan 5 Jam Kering
Untuk menguji keakuratan model, dilakukan validasi dengan menggunakan
penelitian lain. Terdapat dua penelitian yang hasil eksperimentalnya digunakan sebagai
bahan validasi model. Validasi pertama dilakukan dengan membandingkan hasil
eksperimental yang dilakukan oleh Lu et al (Lu, Gao, Cui, & Liu, 2015) dengan model
prediksi yang telah dikembagkan. Penelitian yang dilakukan oleh Lu et al ini
menggunakan sampel berupa balok beton bertulang dengan dimensi 150 x150 x 400 mm
dengan w/c sebesar 0.43. Sampel menggunakan pengujian dengan metode wetting and
drying menggunakan larutan NaCl 5%. Durasi basah dan kering menggunakan rasio 1:1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Penetration Depth (mm)
1st Month Exp 3rd Month Exp
5th Month Exp 10th Month Exp
1st Month Predictive 3rd Month Predictive
5h Month Predictive 10th Month Predictive
119
yaitu dengan detail 7 jam basah dan 7 jam kering. Pengujian dilakukan secara terus
menerus selama 30 minggu dalam suhu rata-rata sebesar 16.3o C dan kelembapan 76%.
Gambar 6.10 menunjukkan hasil permodelan dibandingkan degan hasil pengujian
eksperimental yang dilakukan oleh Lu et al. Berdasarkan gambar tersebut, dapat terlihat
bahwa hasil eksperimental dan pemodelan memiliki tren profil klorida yang sama. Akan
tetapi bila ditinjau dengan lebih detail, hasil pemodelan cenderung menghasilkan
konsentrasi klorida yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena perbedaan suhu yang
digunakan pada saat eksperimental dan referensi suhu yang digunakan pada model.
Seperti yang telah dijelaskan pada awal bab ini, suhu yang digunakan pada eksperimental
yang dilakukan oleh Lu et al adalah sebesar 16.3o C. Sedangkan suhu yang digunakan
sebagai referensi pada model yang digunakan adalah sebesar 30 ± 2oC. Suhu ini dipilih
untuk mengakomodasi suhu pada daerah tropis. Suhu daerah tropis khususnya Indonesia
berkisar antara 25 o C hingga 36o C dengan suhu rata-rata siang hari adalah 31.5 o C dan
malam hari 29.5 o C. Untuk mengakomodasi hal tersebut maka dalam penelitian ini
diambil kisaran suhu sebesar 30 ± 2oC.
Gambar 6.10 Hasil Pemodelan dan Pengujian Experimental Lu et al.
Penelitian yang dilakukan oleh Iqbal ini menggunakan benda uji silinder dengan
dimensi 50 x 100 mm. Benda uji ditempatkan dalam dua kondisi temperatur yang berbeda
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
0 10 20 30 40 50
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Penetration Depth (mm)
Predictive Model (30C)
Eksperimental Lu et al (16.3C)
120
yaitu 20oC dan 40oC. Peneliti menggunkan NaCl dengan konsentrasi 6%. Beton yang
digunakan memiliki w/c sebesar 0.5. Penelitian dilakukan selama 1 bulan dengan durasi
basah sebesar 33 jam dan durasi kering sebesar 39 jam.
Gambar 6.11 Hasil Pemodelan dan Pengujian Experimental (Iqbal, 2008)
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 6.11, tren profil klorida yang
dihasilkan oleh hasil pemodelan sama dengan hasil ekspermental. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa model yang dikembangkan telah mampu mensimulasikan proses
masuknya klorida ke dalam beton yang terpapar klorida dengan mekanisme basah dan
kering. Dapat dilihat pula bahwa hasil pemodelan menghasilkan konsentrasi klorida yang
lebuh tinggi bila dibandingkan dengan hasil eksperimental dengan kondisi temperatur
20oC dan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil eksperimental dengan kondisi
temperature 40oC. Hal ini membuktikan bahwa temperatur mempengaruhi besarnya
konsentrasi yang terjadi pada suatu lokasi yang sama. Perbedaan suhu seperti yang telah
dibahas pada banyak penelitian sebelumnya sangat mempengruhi kecepatan penetrasi
klorida. Penelitian yang telah dilakukan oleh Yuan et al dan Iqbal telah membuktikan
secara eksperimental bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
proses masuknya klorida ke dalam beton (Iqbal, 2008; Yuan, Shi, Schutter, & Audenaert,
2009). Pada suhu yang lebih rendah, kecepatan penetrasi klorida cenderung lebih kecil
bila dibandingkan dengan beton yang diletakkan pada suhu yang lebih tinggi. Untuk
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
0 20 40 60 80 100
Ch
lori
de
Co
nce
ntr
atio
n (%
)
Penetration Depth (mm)
Predictive Model (30C)
Experimental Result (40C)
Experimental Result (20C)
121
membuktikan hal ini dilakukan validasi model dengan menggunakan hasil eksperimental
yang dilakukan oleh Iqbal (Iqbal, 2008). Dengan melihat kenyataan tersebut maka
kedepannya perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait dengan pengaruh suhu terhadap
kecepatan penetrasi klorida terutama untuk tropical area. Hal ini dikarenakan area tropis
memliki karakteristik suhu dan kelembapan yang cenderung berbeda bila dibandingkan
dengan daerah empat musim.
123
BAB 7
MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI KARAT DAN WAKTU INISIASI
RETAK DENGAN PENDEKATAN KOROSI TIDAK SERAGAM
7.1 Umum
Bab ini menguraikan mengenai pengembangan model prediksi persebaran karat yang
tidak merata di sepanjang perimeter tulangan. Untuk mempermudah analisa, beberapa
peneliti mengasumsikan bahwa karat terbentuk secara merata di sepanjang perimeter
tulangan. Akan tetapi pada praktek nya karat terbentuk secara tidak merata dan
mengenerate non-uniform internal pressure pada beton. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya retak yang persebarannya juga tidak merata disepanjang perimeter tulangan.
Oleh karena itu selain mengembangkan model untuk persebaran karat yang tidak merata,
sebuah model untuk memprediksi waktu inisiasi retak akibat korosi yang tidak merata
juga akan dibahas dalam report ini.
7.2 Model Prediksi Distribusi Karat Tidak Seragam Pada Beton
Setelah proses inisiasi korosi terjadi maka karat akan terbentuk. Sebagian besar
peneliti mengasumsikan bahwa karat terbentuk secara seragam (uniform) disekeliling
tulangan. Padahal pada prakteknya, korosi lebih dulu terjadi pada tulangan yang berada
pada permukaan yang mengalami kontak langsung denganair laut. Sedangkan pada
permukaan lainnya korosi akan terjadi kemudian. Oleh karena itu pemodelan proses
propagasi karat hingga inisiasi retak dilakukan dengan menggunakan asumsi non-uniform
corrosion.
Karena proses inisiasi korosi yang terjadi tidak seragam, maka perkembangan produk
korosi juga tidak merata. Berdasrkan hasil ekspermental yang telah dilakukan dapat
dilihat bahwa produk korosi terbentuk tidak seragam dimana penumpukan produk korosi
lebih banyak terjadi pada permukaan tulangan yang berhadapan langsung dengan air laut.
Dengan melihat distribusi korosi yang terjadi maka digunakan perumusan umum
Gaussian Function with Normal Random Variable yang ditampilkan sebagai berikut:
𝑓𝑥(𝑥) =1
√2𝜋𝜎𝑒𝑥𝑝 [−
(𝑥−𝜇)2
2𝜎2 ] , −∞ < 𝑥 < ∞ (7.1)
124
Dimanaa:
𝜇 = titik tengah dari nilai puncak atau maksimum
𝜎 = nilai standar deviasi atau Gaussian RMS width
1
√2𝜋𝜎 = ketinggian atau nilai puncak dari kurva
Perumusan terserbut menghasilkan grafik kurva normal dimana bentuk kurva
tersebut akan digunakan sebagai simplifikasi dari distribusi karat yang tidak merata (non-
uniform rust distribution). Beberapa penyesuaian dilakukan terhadap perumusan diatas
agar dapat mensimulasikan proses korosi yang sebenarnya. Zhao telah mengembangkan
perumusan untuk menormalisasi hasil eksperimental dengan dasar yang sama yaitu
Gaussian function (Zhao, Hu, et al., 2011).
𝑇𝑟 =𝑎1
𝑎2√2𝜋𝑒
−(𝜃−𝜋
√2𝑎2)
2
+ 𝑎3 (7.2)
Dimana
𝑎1 = Non uniform coefficient of rust layer ; a1= 49 ρ
𝑎2 = Spread coefficient of rust layer ;
𝑎3 = Uniform coefficient of rust layer ;
𝑎3=0 Bila korosi hanya terdapat pada sebagian dari perimeter tulangan
𝑎3=1.46 Tr-min Bila korosi terdapat di sepanjang perimeter tulangan
Perumusan tersebut terbukti telah dapat mensimulasikan ketebalan karat yang
terbentuk secara non-uniform. Akan tetapi, perumusan tersebut berbasis pada analisa
regresi yang berdasrkan pada data persebaran karat hasil eksperimental. Hal ini
mengakibatkan perumusan ini tidak dapat digunakan sebagai prediksi karena untuk
mendapatkan variable yang digunakan dalam perumusan tersebut, analisa terhadap karat
yang terbentuk pada struktur yang ditinjau harus dilakukan terlebih dahulu.
Pada disertasi ini, faktor corrosion rate dan waktu akan digunakan sebagai variable
untuk mendapatkan persamaan yang dapat digunakan untk mensimulasikan proses
propagasi karat secara non-uniform. Ketidakseragaman ketebalan karat yang terbentuk
125
dideskripsikan kedalam fungsi polar koordinat sepeti ditunjukkan pada Gambar 7.1.
Posisi ketebalan maksimum diumpamakan terjadi pada saat θ = 180o.
Gambar 7.1 Koordinat Polar untuk Plotting Distribusi Karat
Berdasarkan pada Hukum Faraday maka massa dari produk korosi yang terbentuk per
unit luas permukaan akibat dari arus yang diberikan dapat dihitung dngan menggunakan
perumusan berikut:
𝑀𝑡ℎ = 𝑊 𝐼𝑎𝑝𝑝 𝑇
𝐹 (7.3)
Dimana:
𝑀𝑡ℎ = 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑘𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
𝑊 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑏𝑎𝑗𝑎 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (27.925 𝑔𝑟)
𝐼𝑎𝑝𝑝 = 𝐴𝑝𝑝𝑙𝑖𝑒𝑑 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 (𝐴𝑚𝑝 𝑐𝑚2)⁄
𝑇 = 𝐸𝑥𝑝𝑜𝑠𝑒𝑑 𝐷𝑢𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛
𝐹 = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎 𝐹𝑎𝑟𝑎𝑑𝑎𝑦 (96487 𝐴𝑚𝑝 − 𝑠𝑒𝑐)
Sedangkan massa produk korosi sebenarnya berdasarkan dari eksperimental sesuai
dengan ASTM GI dapat diketahui dengan menggunakan perumusan berikut:
𝑀𝑎𝑐 = 𝑊𝑖−𝑊𝑓
𝜋𝐷𝐿 (7.4)
Dimana:
𝑀𝑎𝑐 = 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐴𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑘𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 (𝑔𝑟)
𝑊𝑖 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖𝑠𝑖𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖 (𝑔𝑟)
126
𝑊𝑓 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖 (𝑔𝑟)
𝐷 = 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑐𝑚)
𝐿 = 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑐𝑚)
Prosentase korosi juga dapat dihitung dengan membandingkan antara selisih berat
tulangan sebelum dan setelah terkorosi dengan berat inisial dari tulangan seperti
ditunjukkan pada perumusan berikut ini
𝜌 = (𝑊𝑖−𝑊𝑓)
𝑊𝑖× 100 (7.5)
Dengan mengasumsikan bahwa massa produk korosi yang terbentuk bila dihitung secara
teoritis dan aktual adalah sama, maka equivalent corrosion current density (𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟) dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟 = (𝑊𝑖−𝑊𝑓) 𝐹
𝜋𝐷𝐿𝑊𝑇 (7.6)
Dari persamaan diatas dapat juga ditulis bahwa:
(𝑊𝑖 − 𝑊𝑓) = 𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟𝜋𝐷𝐿𝑊𝑇
𝐹 (7.7)
Dengan mensubtitusikan persamaan diatas kedalam persamaan prosentase korosi maka
didapatkan persamaan berikut:
𝜌 = 𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟𝜋𝐷𝐿𝑊𝑇
𝐹𝑊𝑖× 100 (7.8)
Luasan produk korosi yang terbentuk disepanjang perimeter tulangan (Ar) dipengaruhi
oleh luas penampang tulangan awal (As), prosentase korosi (ρ), serta volume expansion
ratio dari produk korosi yang terbentuk (n). Dengan mengasumsikan bahwa produk
korosi yang terbentuk adalah merata disepanjang perimeter tulalangan maka didapatkan
persamaan berikut:
𝐴𝑟 = 𝜌𝐴𝑠𝑛 (7.9)
Bila keliling tulangan adalah π.D, maka ketebalan karat yang terbentuk secara merata
disepanjang perimeter tulangan (Un) dapat dituliskan dalam persamaan berikut:
127
𝑈𝑛 =𝐴𝑟
𝜋𝐷 (7.10)
Dalam persamaan zhao ketebalan produk korosi yang terbentuk dianggap sebagai
penjumlahan antara koefisien a1 dan a3 yang dimana pada perumusan yang dikembangkan
kali ini penjumlahan nilai tersebut dideskripsikan sebagai Un. Persebaran produk korosi
dideskripsikan ke dalam persamaan 𝑒−𝑛(𝜃−𝜋)2
2√2𝜋𝑇. Persebaran produk korosi ini dipengaruhi
oleh expansion ratio dari produk korosi dan waktu. Semakin besar expansion ratio dari
produk korosi, maka kurva yang dihasilkan akan semakin ramping begitu pula sebaliknya.
Selain expansion ratio, waktu juga mempengaruhi persebaran produk korosi. Hal yang
sama juga ditukkan oleh persamaan regresi yang dikemukakan oleh Zhao dimana waktu
akan mempengaruhi besarnya spread coefficient. Semakin bertambahnya waktu maka
ekspansi yang tejadi akan semakin lambat karena pori-pori pada tulangan dan beton telah
terisi oleh produk korosi. Berdasarkan persamaan diatas dan dengan mengadopsi
persamaan Gauss dan maka ketebalan produk korosi secara tidak seragam disepanjang
perimeter tulangan (Nr) dapat dituliskan dengan persamaan berikut.
𝑁𝑟 = 𝑈𝑛𝑒−𝑛(𝜃−𝜋)2
2√2𝜋𝑇 (7.11)
Untuk memvalidasi model prediksi yang telah dihasilkan, maka hasil prediksi
tersebut akan dibandingkan dengan hasil eksperimental yang telah dilakukan sebelumnya.
Perhitungan dengan menggunakan perumusan yang dikemukakan oleh Zhao juga
digunakan sebagai salah satu pembanding dari model prediksi yang telah dihasilkan.Data
yang digunakan pada perhitungan ini adalah berdasarkan data exposure condition yang
didapatkan dari hasil eksperimental.
Gambar 7.2 dan Gambar 7.3 menunjukkan grafik persebaran karat antara hasil
analisa eksperimental, model prediksi dan perumusan yang dikemukakan oleh Zhao pada
hari ke 6 dan 10. Pada awal waktu exposure, terlihat pada hari ke-6 dan ke-10
eksperimental, tebal produk korosi maksimum yang terjadi telah mencapai 0.4 mm dan
0.8 mm. Hasil distribusi karat dari model prediksi maupun hasil dari uji eksperimental
memilki tren yang sama. Akan tetapi, hasil perhitungan dari model prediksi menunjukkan
ketebalan produk korosi yang lebih tinggi dibandingkan hasil eksperimental dan
persamaan Zhao. Selain itu dapat dilihat pada grafik tersebut, kurva hasil model prediksi
menunjukkan luasan area yang lebih besar bila dibandingkan dengan hasil eksperimental
128
maupun kurva hasil perhitungan dengan menggunakan perumusan pendekatan yang
dikemukakan oleh Zhao.
Gambar 7.2 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 6
Gambar 7.3 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 10
Sedikit berbeda dengan pengamatan pada hari ke-6 dan ke-10, Gambar 7.4 dan
7.5 menunjukkan bahwa pada hari ke-15 dan hari ke-20 hasil obeservasi menunjukkan
puncak ketebalan karat hasil dari model yang sedikit lebih rendah dari pada eksperimental
dan perhitungan dengan menggunakan perumusan Zhao. Akan tetapi, dapat dilihat pula
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Ru
st T
hic
knes
s (
mm
)
Polar Coordinate (Deg)
Experimental Result Predictive Model Zhao
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Ru
st T
hic
knes
s (m
m)
Polar Coordinate (Deg)
Experimental Result Predictive Model Zhao
129
dari kurva bahwa jumlah produk korosi yang terbentuk hasil dari predictive model
menghasilkan jumlah produk korosi yang lebih besar bila dibandingkan dengan hasil
eksperimental maupun model Zhao. Hasil ini menunjukkan kecenderungan yang sama
dengan hasil sebelumnya. Hasil dari predictive model ini menunjukkan jumlah
keseluruhan dari produk korosi yang dihasilkan termasuk produk korosi yang masuk ke
dalam celah retak. Sedangkan untuk perhitungan dengan menggunakan model Zhao
maupun hasil eksperimental tidak memperhitungkan jumlah produk korosi yang masuk
ke dalam celah retak.
Gambar 7.4 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 15
Hasil yang ditunjukkan pada Gambar 7.2 hingga Gambar 7.5 menunjukkan adanya
shifting pada puncak kurva hasil perhitungan dengan menggunakan model yang
dikembangkan bila dibandingkan dengan hasil eksperimental maupun perhitungan
dengan perumusan yang dikemukakan oleh Zhao. Adanya shifting ini menunjukkan
puncak kurva yang merupakan representasi dari tebal karat terbesar antara hasil model
dan eksperimetal tidak sama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model yang
dikembangkan menunggunakan θ = 180o sebagai puncak dari kurva dimana titik ini
merupakan titik yang paling dekat dengan exposed surface. Akan tetapi pada kenyataan
yang sebenarnya, karat lebih banyak menumpuk pada bagian ulir yang letaknya tidak
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Ru
st T
hic
knes
s (m
m)
Polar Coordinate (Deg)
Experimental Result Predictive Model Zhao
130
dapat ditentukan secara pasti. Setiap benda uji akan memiki posisi ulir yang berbeda satu
dengan yang lain sehingga untuk penyederhanaan moel yang dikembangkan
mengasumsikan letak ulir berada pada titik θ = 180o.
Gambar 7.5 Non-Uniform Distribution Karat pada hari ke 20
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat perbedaan luasan
karat yang terbentuk hasil dari pengamatan eksperimental dan perhitungan dengan
menggunakan model. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh adanya karat yang
masuk ke dalam celah retak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.6.
Gambar 7.6 diatas menunjukkan produk korosi yang masuk ke dalam celah-celah
retak. Hal ini menyebabkan pada saat observasi dan pengukuran dilakukan terhadap
jumlah produk korosi yang terbentuk di sepanjang perimeter tulangan, sebagian produk
korosi yang masuk kedalam celah retak tidak termasuk dalam jumlah karat yang
terobservasi. Selain itu, Zhao juga mengemukakan bahwa perumusan yang telah
dikemukakan sebelumnya tidak mempertimbangkan jumlah produk korosi yang masuk
ke dalam celah karat. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kurva hasil model yang
dikemukakan oleh Zhao lebih mendekati hasil eksperimental yang ada dibandingkan
dengan kurva hasil model prediksi. Namun, perlu diingat bahwa untuk dapat mengenerate
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Ru
st T
hic
knes
s (m
m)
Polar Coordinate (Deg)
Experimental Result Predictive Model Zhao
131
kurva dengan persamaan Zhao beberapa parameter seperti a1, a2 dan a3 harus dicari
terlebih dahulu berdasarkan hasil pengamatan eksperimental.
Gambar 7.6 Produk Korosi di Sepanjang Retak yang Terjadi
Tabel 7.1 Hasil Perhitungan Luasan Karat Eksperimental dan Model
Exposure
Time
Rust Area
Model
Rust Area
Experimental Area Differences
Rust Area in
Crack
Opening
(Days) (mm2) (mm2) (mm2) % (mm2)
2 4.492 4.021 0.471 10.49 0.398
6 5.566 4.844 0.722 12.97 0.682
10 9.205 8.280 0.925 10.05 0.774
15 13.190 11.669 1.521 11.53 1.391
20 15.839 14.205 1.635 10.32 1.497
132
Gambar 7.7. Ilustrasi Distribusi Karat Hasil Experimental dan Model
7.3 Model Waktu Inisiasi Retak
Waktu inisiasi terjadinya retak pada beton akibat korosi terjadi apabila besarnya
critical tensile stress akibat bertambahnya produk korosi telah melampaui besarnya
kapasitas tegangan tarik dari beton. Beberapa peneliti telah mengembangkan persamaan
berdasarkan teori thick walled cylinder yang telah umum digunakan untuk
mensimulasikan beban pressure pada suatu pipa. Dengan mengasumsikan bahwa beton
adalah material yang bersifat elastic homogenous dengan besarnya inner radius sebesar
(D+2do)/2 dan outer radius sebesar C + (D+2do)/2 dimana C adalah ketebalan selimut
beton dan D adalah diameter tulangan, maka besarnya beban pressure yang terjadi akibat
ketebalan produk korosi dapat dituliskan dengan persamaan 7.12 berikut ini (C. Li,
Melchers, & Zheng, 2007):
𝑃 = −𝜎𝑟(𝑎) =𝐸𝑒𝑓𝑑𝑠(𝑡)
𝑎(𝑏2+𝑎2
𝑏2−𝑎2+ 𝑣𝑐) (7.12)
Dimana:
𝑎 = 𝐷+2𝑑𝑜
2 (7.13)
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
-15 -10 -5 0 5 10
Original Bar Diameter Experimental Model
EXP
OSE
D S
UR
FAC
E
Concrete
Original Rebar
133
𝑏 = 𝐷+2𝑑𝑜
2+ 𝐶 (7.14)
C = Tebal selimut beton
σr = Radial stress
Eef = Modulus Elastisitas Efektif Beton
vc = Poisson's ratio beton
𝑑𝑠 = Ketebalan karat (uniform)
Retak akan terjadi pada beton ketika stress yang terjadi akibat karat telah
mencapai nilai tertentu. Karat akan menyebabkan internal pressure load yang akan
menyebabkan tensile stress pada beton. Berdasarkan teori pressure vessel yang dibebani
oleh internal pressure, besarnya beban pressure dapat dilitung dengan menggunakan
perumusan berikut:
𝑃 =2𝐶𝑓𝑡
(𝐷+2𝑑0) (7.15)
Teori tersebut dijelaskan pula pada penelitian yang dilakukan oleh Liu and
Weyers (Liu & Weyers, 1998). Dimana, C adalah ketebalan selimut dan ft adalah
kekuatan tarik dari beton. Dengan menggunakan persamaan 7.12 dan 7.15 dan
mengasumsikan bahwa pressure yang terjadi telah mengakibatkan failure maka
didapatkan bahwa ketebalan produk korosi yang mengakibatkan terjadinya retak dapat
dituliskan dalam 7.16 sebagai berikut:
𝑑𝑠(𝑡) =𝐶𝑓𝑡
𝐸𝑓(
𝑏2+𝑎2
𝑏2−𝑎2+ 𝜗𝑐) (7.16)
Karena ketebalan produk korosi merupakan variable time dependent, maka waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan keretakan dapat diketahui. Bila ds (pers. 7.16) dianggap
sebagai ketebalan produk korosi secara non-uniform (pers. 7.11) maka waktu inisiasi
korosi non-uniform (𝑇𝑐𝑟,𝑖𝑛) dapat dituliskan sebagai berikut:
134
𝑇𝑐𝑟,𝑖𝑛 = √[(𝐶𝑓𝑡𝐹𝑊𝑖2√2𝜋
𝐸𝑓𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟𝐿𝑊𝐴𝑠𝑛𝑒−4(𝜃−𝜋)2) (𝑏2+𝑎2
𝑏2−𝑎2+ 𝜗𝑐)]
1.5
(7.17)
Dimana:
𝑊𝑖 = Berat inisial dari tulangan sebelum terkorosi
𝐷 = Diameter dari tulangan
𝐶 = Selimut Beton
𝐿 = Panjang Tulangan
𝐴𝑠 = Luas Penampang Tulangan
𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟 = 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑡 𝑐𝑜𝑟𝑟𝑜𝑠𝑖𝑜𝑛 𝑐𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦
𝑎 = 𝐷+2𝑑𝑜
2 (7.18)
𝑏 = 𝐷+2𝑑𝑜
2+ 𝐶 (7.19)
σr = Radial stress
Eef = Modulus Elastisitas Efektif Beton
ϑc = Poisson's ratio beton
𝑑𝑠 = Ketebalan karat (uniform)
Waktu korosi ini dihitung setelah proses korosi terjadi dan tidak termasuk waktu
masuknya klorida pada saat fase inisiasi korosi. Selanjutnnya akan dijelaskan validasi
model keretakan yang dihasilkan dan hasil eksperimental. Berdasarkan hasil pengamatan
eksperimental, retak sudah terlihat pada hari ke dua setelah experimental dilaksanakan.
Gambar 7.8 menunjukkan hasil perhitungan waktu retak dari sampel.
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan waktu iniasi retak terjadi 17.48 jam
setelah pengujian dengan percepatan. Hal ini sesuai dengan hasil eksperimental yang
menunjukkan keretakan telah terjadi pada hari ke dua. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa waktu retak dihitung setelah proses korosi terjadi dan waktu inisiasi
korosi tidak diperhitungkan ke pada perumusan ini.
Seiring dengan bertambahnya waktu pengujian, retak mulai muncul pada bagian
lain. Hal ini terlihat juga dari hasil pemodelan yang menunjukkan retak mulai terbentuk
pada bagian lain di sepanjang perimeter. Gambar 7.8 memperlihatkan bahwa hingga
waktu akhir pengujian eksperimental, yakni pada hari ke 20, retak sudah terbentuk mulai
135
dari sudut 48o hingga 312o. Hasil ini juga sesuai dengan hasil eksperimental seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.9 dimana pada hari ke 20 retak sudah mulai terjadi di bagian
tersebut. Berdasarkan perhitungan dengan perumusan 7.12 didapatkan bahwa tebal
produk korosi yang dibutuhkan untuk menginisiasi retak adalah sebesar 0.0073 mm. Bila
dibandingkan dengan hasil pengamatan ketebalan retak pada hari ke 2, ketebalan retak
maksimum adalah sebesar 0.1 mm. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa retak terjadi
pada pada hari ke 2 dari hasil eksperimental.
Gambar 7.8 Hasil Perhitungan Waktu Inisiasi Retak
Untuk memperoleh hasil simulasi yang lebih riil, maka dilakukan pemodelan
dengan bantuan program berbasis finite element yaitu Abaqus CAE. Pemodelan dilakukan
dengna menggunakan Extended Finite Element Method untuk mensimulasikan proses
perambatan retak yang terjadi. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Extended Finite Element (XFEM) yang dikombinasikan dengan penggunaan concrete
damage plasticity pada material properties dari beton tersebut. Pemodelan dengan teknik
ini memungkinkan propagasi retak dapat terlihat secara diskrit. Model yang digunakan
adalah 2D plannar dengan tipe deformable yang memiliki tipe plannar shell.
Properties yang digunakan di pemodelan ini mengacu pada hasil analisa material
input XFEM crack model. Dalam analisa tersebut dinyatakan bahwa pemodelan ini
menggunakan dua parameter yakni elastic material behaviour dan traction separation
0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
0 60 120 180 240 300 360
Cra
ck In
itia
tio
n T
ime
(ho
urs
)
Angle (Degree)
136
Maxps. Penggunaan traction separation Maxps berdasarkan pemilihan data yang
digunakan yakni peninjauan terhadap demage intiation yang didefiniskan terhadap
maksimum principal stress. Nilai parameter traction separation Maxps didapatkan
berdasarkan hasil pengujian kuat tarik belah beton. Berdasarkan output analisa tersebut
didapatkan parameter input maximal principal stress fr sebesar 2.807 MPa. Pada Maxps
Damage parameter didefinisikan nilai damage evolution yang bertujuan untuk
pendefinisian sifat material berdasarkan pertumbuhan damage sehingga pada akhirnya
menyebabkan kegagalan. Damage evolution pada pemodelan mengacu kepada nilai
parameter fracture energy. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan berdasarkan
Gambar 4.7 didapatkan nilai fracture energy sebesar Gf = 0.08 N/mm.
Beban dihitung dengan menggunakan persamaan 7.12 dengan menggati variable
ds dengan menggunakan variable Nr pada persamaan (7.11). Dengan menggunakan
teknik ini beban dapat tesebar secara non-uniform disepanjang perimeter tulangan sesuai
dengan ketebalan karat yang terbentuk.
Tabel 7.2 Perbandingan Hasil Pemodelan Pola Retak dengan Menggunakan Abaqus dan
Hasil Pengamatan Eksperimental
Hari
Ke-
Abaqus Experimental
2
138
15
20
Tabel 7.2 menunjukkan hasil pemodelan dengan menggunakan program Abaqus
CAE. Extended Finite Element (XFEM) digunakan untuk memodelkan retak secara
diskrit sehingga pola retak terlihat dengan jelas dan bukan hanya sebatas kontur dan
konsentrasi tegangan. Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat bahwa retak yang
dihasilkan dari pemodelan memiliki pola yang sama dengan hasil eksperimental. Pada
hari ke dua, nilai regangan maksimum yang terjadi adalah sebesar 0.00013. Hasil
regangan hari kedua ini sudah melebihi dari nilai tensile strain dari beton yaitu sebesar
0.00012 sehingga retak telah terjadi pada hari ini. Retak pertama terjadi pada titik diantara
dua ulir. Hal ini menunjukkan bahwa retak perma memiliki kecenderungan terjadi pada
bagian ulir dari tulangan karena pada bagian ini korosi lebih cepat terjadi sehingga
penumpulan karat terjadi pada bagian ini. Hasil ini sesuai dengan hasil pengamatan
eksperimental dimana pada hari ke dua retak juga telah terjadi di lokasi yang sama.
Setelah mengalami keretakan petama, retak terus berpropagasi hingga hingga
mencapai exposed surface dari beton. Nilai regangan maksimum yang terjadi juga
139
semakin bertambah. Pada hari ke dua puluh, terdapat retak sekunder yang juga muncul
pada bagian kiri bawah. Hal ini sesuai dengan
7.4 Pemodelan Waktu Propagasi Retak Hingga Mencapai Permukaan Beton
Waktu propagasi retak dimulai dari waktu retak pertama (crack initiation) hingga
retak mencapai permukaan beton. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab seblumnya
bahwa retak telah terinisiasi pada hampir semua lokasi di sepanjang perimeter tulangan.
Akan tetapi hasil ekpserimental memperlihatkan bahwa hanya terdapat beberapa retak
yang berpropagasi hingga mencapai selimut beton. Kenyataan ini didukung juga oleh
pernyataan beberapa peneliti yang menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya
pressure, hanya single crack yang dapat berpropagasi hingga mencapai selimut beton
(Nguyen et al. 2006; Ohtsu and Yoshimura, 1997). Bila dilihat secara sederhana,
propagasi retak sangat tergantung pada kualitas beton dan ketebalan selimut beton.
Semakin besar cover beton makan propagasi akan semakin lama sedangkan semakin baik
kualitas beton maka propagasi akan berjalan semakin lambat. Bedasarkan hal ini maka
waktu mulai retak pertama hingga mencpai cover beton adalah sebagai berikut:
𝑇𝑠𝑟,𝑖𝑛 =𝐶
𝑊𝑐 (7.20)
Dimana C adalah selimut beton dan Wc adalah rasio air semen yang digunakan
pada beton tersebut. Dengan menggunakan perhitungan ini didapatkan waktu terjadinya
retak pertama permukaan beton dihitung dari waktu retak pertama terjadi hingga
mencapai cover beton adalah 80 jam. Tabel 7.3 dibawah ini menunjukkan data
pengukuran lebar retak hasil dari pengujian eksperimental.
Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa retak pada permukaan telah terjadi
diantara hari ke 4 hingga ke 6. Hal ini ditunjukkan dengan sudah mulai terlihatnya retak
pada hari ke 6 dengan ketebalan retak pada permukaan adalah sebesar 0.05 mm. Hal ini
sesuai dengan hasil yang didapat dari hasil pemodelan yang menunjukkan bahwa retak
terjadi pada kisaran 80 jam setelah retak pertama terjadi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perumusan yang dikembangkan dapat memprediksi waktu terjadinya retak pada
beton dengan kondisi dan batasan-batasan yang telah ditetapkan sebelumnya.
140
Tabel 7.3. Hasil Pengamatan Retak Eksperimental
Hari
ke
Waktu
Pengambilan
Data
(WIB)
Time
(hours)
Total
Time
(hours)
Max
Crack
Width at
Cross
Section
(mm)
Max
Crack
Width
at
Surface
(mm)
Keterangan
1 10.00 0 0 0 0 Corrosion Initiation
2 10.30 24.5 24.5 0.1 0 Crack Initition
3 13.30 27 51.5 0.15 0 Crack Propagation to Surface
4 13.30 24 75.5 0.25 0 Crack Propagation to Surface
6 14.00 24.5 100 0.4 0.05 Surface Crack Propagation
10 14.00 24.5 124.5 1 0.1 Surface Crack Propagation
15 14.00 24.5 149 1.2 0.3 Surface Crack Propagation
20 14.00 24.5 173.5 1.3 0.5 Surface Crack Propagation
7.5 Perhitungan Waktu Retak Sebenarnya
Perhitungan waktu retak sebenarnya dapat dilakukan dengan mengacu pada
penelitian yang pernah dilakukan oleh Vu dkk pada tahun 2006. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa waktu retak sebenarnya dapat dicari apabila waktu retak secara
eksperimental, real corrosion current density dan experimental corrosion current density
diketahui nilainya. Dengan menggunakan pesamaan yang dikeluarkan oleh Vu dkk maka
waktu retak sebenarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Vu,
Stewart, & Mullard, 2006)
𝑡𝑐𝑟(𝑟𝑒𝑎𝑙) = 𝑘𝑅 ×𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑒𝑥𝑝)
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑟𝑒𝑎𝑙)𝑡𝑐𝑟(𝑒𝑥𝑝) (7.21)
Dimana icorr adalah corrosion current density dan 𝑡𝑐𝑟(𝑒𝑥𝑝) adalah waktu retak yang
didapatkan dari hasil eksperimental. Nilai kR dapat dicari dengan menggunakan
perumusan 7.22. berikut ini (Vu et al., 2006).
𝑘𝑅 ≈ 0.95 [𝑒𝑥𝑝 (−0.3𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑒𝑥𝑝)
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑟𝑒𝑎𝑙)) −
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑒𝑥𝑝)
2500𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑟𝑒𝑎𝑙)+ 0.3] (7.22)
Nilai dari corrosion current density dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
bertikut
141
𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟 =27(1−
𝑤
𝑐)−1.64
𝑑𝑐 (7.23)
Dimana 𝑤
𝑐 adalah faktor air semen beton dan dc adalah ketebalan selimut beton. Untuk
penelitian ini didapatkan nilai icorr sebesar 2.01 𝜇A/cm2. Tabel 7.4 menunjukkan hasil
pergitungan retak sebenarnya hasil dari eksperimental dan model. Hasil perhitungan
terhadap hasil eksperimental menunjukkan retak pertama terjadi pada 0.276 tahun atau
sekitar 3.2 bulan setelah korosi mulai terjadi. Sedangkan hasil perhitungan terhadap
model yang dikembangkan menghasilkan waktu retak yang lebil cepat yakni sekitar 0.189
tahun atau 2.3 bulan setelah korosi terjadi.
Tabel 7.4. Perhitungan Waktu Retak Sebenarnya Hasil Experimental dan Model
Status
Max
Crack
Width at
Surface
(mm)
Cracking
Time Exp
Cracking
Time
Model
Real Cracking
Time
(Experimental)
Real Cracking
Time (Model)
Hours Year Hours Year
Inner Crack
Initition 0 24.5 17.48 2327 0.276 1660 0.189
Surface Crack
Initiation 0.05 100 80 9500 1.084 7600 0.868
Crack Surface
Propagation 0.1 124.5
N/A
11827.5 1.350
N/A Crack Surface
Propagation 0.3 149 14155 1.616
Crack Surface
Propagation 0.5 173.5 16482.5 1.882
143
BAB 8
KESIMPULAN
Bagian ini membahas mengenai kesimpulan dari disertasi yang telah disusun.
Berdasarkan penelitian dan analisa yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Siklus basah dan kering sangat mempengaruhi properties dari beton seperti
porositas, kuat tekan dan kuat tarik. Pada awal paparan, kekuatan tekan dan
tarik beton mengalami peningkatan yang juga ditunjukkan dengan
bertambahnya nilai porositas tertutup. Seiring dengan bertambahnya waktu
paparan, kekuatan beton semakin menurun akibat chloroaluminates yang
terbentuk sebagai akibat dari masuknya klorida ke dalam beton. Hal ini
ditandai oleh menurunnya nilai porositas tertutup dan meningkatnya nilai
porositas terbuka.
2. Hasil pengamatan pengujian korosi dipercepat dengan metode galvanostatik
menunjukkan bahwa produk korosi tersebar secara tidak merata di sepanjang
perimeter tulangan. Hal ini disebabkan bagian yang paling dekat dengan
exposed surface mengalami korosi terlebih dahulu dibandingkan dengan
bagian lainnya.
3. Hasil eksperimental menunjukkan retak juga tidak terjadi di sepanjang
perimeter tulangan tapi hanya pada beberapa bagian. Retak mulai terlihat pada
interface antara beton dan tulangan bagian bawah (yang paling dekat dengan
exposed surface) pada hari ke-2. Retak terus berpropagasi hingga mencapai
exposed surface pada hari ke-4.
4. Hasil pengamatan pengujian dengan metode wetting and drying menunjukkan
perbedaan permukaan beton dengan siklus basah dan kering dan beton yang
berada pada kondisi fully submerged. Beton dengan siklus basah dan kering
memiliki permukaan yang lebih kasar dan terdapat beberapa bagian yang
mengalami spalling.
5. Hasil eksperimental juga menunjukkan bahwa perbedaan durasi basah dan
kering juga mempengaruhi kecepatan penetrasi klorida ke dalam beton dan
juga kondisi mikrostruktur beton.
144
6. Pengembangan model telah dilakukan untuk memprediksi masuknya klorida
ke dalam beton dengan mempertimbangkan siklus basah dan kering. Model
ini memodifikasi Hukum Fick II dengan menambahkan koefisien terkait
dengan durasi basah dan kering. Berdasarkan validasi yang telah dilakukan
model yang dihasilkan dapan memprediksi masuknya klorida ke dalam beton
baik untuk kondisi fully submerged maupun basah dan kering. Secara umum
perbedaan yang dihasilkan antara model dan eksperimental mencapai 6.24%
dimana model menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hasil eksperimental.
7. Model distribusi karat secara tidak merata juga telah dilakukan. Model ini
mengadopsi Hukum Faraday dan Gaussian function with normal random
variable untuk dapat memprediksi jumlah dan distribusi karat yang terbentuk.
Berdsarkan hasil validasi dapat disimpulkan bahwa model yang
dikembangkan menghasilkan jumlah karat yang lebih besar dibandingkan
dengan hasil eksperimental. Rata-rata perbedaan jumlah karat yang dihasilkan
mencapai 11.07%. Meskipun jumlah karat yang dihasilkan lebih besar, akan
tetapi distribusi karat yang dihasilkan oleh mampu sudah mampu
mendeskripsikan distribusi karat yang sebenarnya dari hasil eksperimental.
8. Model waktu retak juga dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan pada
teori thick walled cylinder. Karat yang terbentuk diasumsikan akan
menghasillkan expansive pressure pada beton yang akan menyebabkan beton
tersebut mengalami keretakan. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan
waktu iniasi retak terjadi 17.48 jam setelah pengujian dengan percepatan.
Hasil ini sedikit lebih cepat bila dibandingkan dengan hasil eksperimental
yang menunjukkan keretakan telah terjadi pada hari ke dua (24 jam setelah
pengujian dimulai). Hasil pengamatan eksperimental menunjukkan retak
berpropagasi hingga mencapai exposed surface beton pada hari ke 6 atau 100
jam setelah pengujian dimulai. Sedangkan hasil dari model menghasilkan
waktu yang lebih cepat yakni 80 jam.
9. Hasil pemodelan dengan menggunakan pendekatan XFEM juga menunjukkan
bahwa model yang dikembangkan menunjukkan pola retak yang mendekati
hasil eksperimental. Dapat dilihat bahwa retak mulai terjadi pada hari ke 2
147
BAB 9
FUTURE WORK
Seiring meningkatnya pembangunan infrastruktur di daerah maritim, penelitian
terkait korosi pada infrastruktur terutama yang berasal dari material beton merupakan
penelitian yang sangat penting untuk dilakukan. Meskipun penelitian yang telah
dilakukan pada disertasi ini telah terbukti dapat memprediksi proses inisiasi korosi hingga
retak pada beton, akan tetapi masih terdapat beberapa keterbatasan dan hal-hal yang
belum dimasukkan ke sebagai variable dalam pengujian maupun pengembangan model.
Oleh karena itu terdapat beberapa penelitian ke depan yang dapat dilakukan antara lain.
1. Perbedaan kondisi lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
proses transportasi klorida ke dalam beton. Sebagai contoh, berdasarkan validasi
yang dilakukan pada sub bab 6.4 perbedaan temperatur sangat jelas
mempengaruhi kecepatan penetrasi klorida. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut
terkait efek perbedaan kondisi lingkungan terhadap kecepatan transportasi klorida
ke dalam beton dan watu inisasi dan propagasi retak perlu dilakukan.
2. Pada penelitian ini beban luar masih belum digunakan dalam kegiatan
eksperimental dan pemodelan keretakan. Model yang dikembangkan hanya
terbatas akibat peningkatan volume dari karat. Padahal dalam kondisi sebenanya
adanya tambahan beban luar sangat mempengaruhi properties dari beton yang
dapat mempercepat proses keretakan pada beton. Oleh karena itu penelitian lebih
lanjut perlu dilakukan untuk mengamati efek dari adanya beban luar terhadap
waktu retak yang terjadi.
3. Pada penelitian ini masih digunakan tulangan tunggal pada beton. Pada
kenyataannya fakta di lapangan selalu menggunakan lebih dari satu tulangan
utama dan tulangan geser. Penggunaan lebih dari satu tulangan akan menmah
beban pressure pada beton yang akan mempercepat keretakan yang terjadi. Oleh
karena itu penelitian lebih lanjut diperlukan terkait hal ini.
4. Efek siklus basah dan kering dalam jangka panjang juga perlu diteliti lebih lanjut
karena terdapat kemungkinan untuk terjadinya perubahan perilaku transport pada
beton. Selain itu pengaruh keretakan terhadap mekanisme transport pada beton
juga perlu diamati lebih lanjut.
148
5. Pengembangan suatu sistem monitoring pada struktur terhadap korosi yang
terintegrasi sangat perlu untuk mulai dikaji. Sistem monitoring ini akan sangat
berguna untuk menetapkan atau mmprediksi umur layan struktur serta waktu
maintenance dari struktur yang berada dalam kondisi lingkungan dan jenis
material yang berbeda.
149
DAFTAR PUSTAKA
ASTM Standard C33. (2003). Specification for Concrete Aggregates. ASTM
International, West Conshohocken, PA. www.astm.org.
ASTM Standard C12. (2001). Standard Test Method for Density, Relative Density
(Specific Gravity), and Absorption of Coarse Aggregat. ASTM International, West
Conshohocken, PA, www.astm.org.
ASTM Standard C128. (2001). Standard Test Method for Density, Relative Density
(Specific Gravity), and Absorption of Fine Aggregate. ASTM International, West
Conshohocken, PA. www.astm.org.
ASTM C143 / C143M. (2000). Standard Test Method for Slump of Hydraulic-Cement
Concrete. ASTM International, West Conshohocken, PA. www.astm.org.
ASTM Standard C39/C39M. (2001). Standard Test Method for Compressive Strength of
Cylindrical Concrete Specimens. ASTM International, West Conshohocken, PA,
www.astm.org.
ASTM Standard C496/C496-96. (1996). Standard Test Method for Splitting Tensile
Strength of Cylindrical Concrete Specimens. ASTM International, West
Conshohocken, PA, www.astm.org.
ASTM Standard C1202. (1997). Standard Test Method for Electrical Indication of
Concrete’s Ability to Resist Chloride Ion Penetration. ASTM International, West
Conshohocken, PA, www.astm.org.
ASTM Standard C1723. (2010). Standard Guide for Examination of Hardened Concrete
Using Scanning Electron Microscopy. ASTM International, West Conshohocken,
PA, www.astm.org.
ASTM Standard C1218/C1218M. (1999). Standard Test Method for Water-Soluble
Chloride in mortar and Concrete. ASTM International, West Conshohocken, PA,
www.astm.org.
ASTM Standard C 114. (2003). Standard Test Methods for Chemical Analysis of
Hydraulic Cement. ASTM International, West Conshohocken, PA, www.astm.org.
Angst, U., & Vennesland, Ø. (2009). Critical chloride content in reinforced concrete–
State of the art. Proceeding of Concrete Repair, Rehabilitation and Retrofitting II,
Eds:Alexander et al, Taylor & Francis Group, London (pp. 311–318).
Bazant, Z. P. (2002). Concrete Fracture Models : Testing and Practice. Engineering
Fracture Mechachanics, 69, 165–205.
Cao, C., & Cheung, M. M. S. (2014). Non-uniform rust expansion for chloride-induced
pitting corrosion in RC structures. Construction and Building Materials, 51, 75–81.
http://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2013.10.042
150
Chen, D., & Mahadevan, S. (2008). Chloride-induced reinforcement corrosion and
concrete cracking simulation. Cement and Concrete Composites, 30(3), 227–238.
http://doi.org/10.1016/j.cemconcomp.2006.10.007
Fang, C., Lundgren, K., Chen, L., & Zhu, C. (2004). Corrosion Influence on Bond in
Reinforced Concrete. Cement and Concrete Research, 34(11), 2159–2167.
http://doi.org/10.1016/j.cemconres.2004.04.006
Iqbal, P. O. (2008). Chloride Transport Coupled with Moisture Migration in Non
Saturated Concrete Exposed to Marine Environmet and Application to Cracked
Concrete. Disertasi Ph.D., University of Tokyo, Tokyo Jepang.
Johannsson, B., & Reitzel, P. (2011). Numerical Analysis of a Reinforced Concrete Beam
in Abaqus 6.10. Master Thesis, Aalborg University, Aalborg Denmark.
Kumar, V., Singh, R., & Quraishi, M. A. (2013). A Study on Corrosion of Reinforcement
in Concrete and Effect of Inhibitor on Service Life of RCC, Journal of Material
Eviromental Science 4(5), 726–731.
Kwan, A. K. H., & Wong, H. H. C. (2011). Durability of Reinforced Concrete Structures,
Theory vs Practice, Proceedings of Hong Kong Government Standing Committee
on Concrete Technology Annual Concrete Seminar, (pp. 1–20), Hong Kong.
Li, C. ., Lawanwisut, W., Zheng, J. J., & Kijawatworawet, W. (2005). Crack Width Due
to Corroded Bar in Reinforced Concrete Structures. International Journal of
Materials and Structural Reliability, 3 No 2(September), 87–94.
Liu, Y. (1996). Modeling the Time-to-Corrosion Cracking of the Cover Concrete in
Chloride Contaminated Reinforced Concrete Structures. Disertasi Ph.D., Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Liu, Y., & Weyers, R. (1998). Modeling Time to Corrosion Cracking in Chloride
Contaminated Reinforced Concrete Structures. ACI Materials Journals, 95, 675–
681.
Monteiro, P. (2013). Durability of concrete: ability to resist weathering action, chemical
attack, abrasion, or any process of deterioration. Presentation, University of
California.
Muthulingam, S., & Rao, B. N. (2014). Non-Uniform Time-to-Corrosion Initiation in
Steel Reinforced Concrete under Chloride Environment. Corrosion Science, 82,
304–315. http://doi.org/10.1016/j.corsci.2014.01.023
Nuroji. (2004). Penggabungan Model Smeared dan Disrcrete Crack pada Analisis
Struktur Beton Bertulang Dengan Memperhitungkan Pengaruh Bond-Slip. Disertasi
Ph.D., Institut Teknologi Bandung.
Schweitzer. (1996). Corrosion Engineering Handbook. Newyork: Marell Decker, Inc.,
New York.
151
Shi, X., Xie, N., Fortune, K., & Gong, J. (2012). Durability of Steel Reinforced Concrete
in Chloride Environments: an Overview. Construction and Building Materials, 30,
125–138. http://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2011.12.038
Silva, N. (2013). Chloride Induced Corrosion of Reinforcement Steel in Concrete:
Threshold Values and Ion Distributions at the Concrete-Steel Interface. Disertasi
PhD., Chalmers University of Technolog, Gothenburg Swedia.
Sobhani, J., & Ramezanianpour, A. A. (2007). Chloride-Induced Corrosion of RC
Structures, Asian Journal of Civil Engineering (Building and Housing), 8(5), 531–
547.
Sudjono, A. S. (2007). Prediksi Waktu Layan Bangunan Beton Terhadap. Civil
Engineering Dimension, 7(1), 6–15.
Vu, K., Stewart, M. G., & Mullard, J. (2006). Corrosion-Induced Cracking : Experimental
Data and Predictive Models, ACI Structural Journals, (102), 719–726.
Sutrisno, W. dkk. (2016), Experimental Test of Chloride Penetration in Reinforced
Concrete Subjected to Wetting and Drying Cycle. Applied Mechanics and
Materials. (851), 846-851
Webster, M. P. (2000). The Assessment of Corrosion-Damaged Concrete Structures,
Disertasi Ph.D, University of Birmingham UK.
Wilson, J. (2013). Accelerated Artificial Corrosion Monitoring of Reinforced Concrete
Slabs Using the Half- Cell Potential Method. University of Massachussetts Lowell,
Massachusets Amerika
Wong, H. S., Zhao, Y. X., Karimi, a. R., Buenfeld, N. R., & Jin, W. L. (2010). On The
Penetration of Corrosion Products From Reinforcing Steel into Concrete due to
Chloride-Induced Corrosion. Corrosion Science, 52(7), 2469–2480.
http://doi.org/10.1016/j.corsci.2010.03.025
Zhao, Y., Hu, B., Yu, J., & Jin, W. (2011). Non-uniform distribution of rust layer around
steel bar in concrete. Corrosion Science, 53(12), 4300–4308.
http://doi.org/10.1016/j.corsci.2011.08.045
Zhao, Y., Karimi, A. ., Wong, H. S., Hu, B., Buenfeld, N. R., & Jin, W. (2011).
Comparison of uniform and non-uniform corrosion induced damage in reinforced
concrete based on a Gaussian description of the corrosion layer. Corrosion Science,
53(9), 2803–2814. http://doi.org/10.1016/j.corsci.2011.05.017
Zhao, Y., Xu, H., & Jin, W. (2013). Concrete cracking process induced by steel corrosion-
A review. Proceeding of EASEC Conference (pp. 1–10).
Zhao, Y., Yu, J., Hu, B., & Jin, W. (2012). Crack shape and rust distribution in corrosion-
induced cracking concrete. Corrosion Science, 55, 385–393.
http://doi.org/10.1016/j.corsci.2011.11.002
152
Zhao, Y., Yu, J., & Jin, W. (2011). Damage analysis and cracking model of reinforced
concrete structures with rebar corrosion. Corrosion Science, 53(10), 3388–3397.
http://doi.org/10.1016/j.corsci.2011.06.018
Zhao, Y., Yu, J., Wu, Y., & Jin, W. (2012). Critical thickness of rust layer at inner and
out surface cracking of concrete cover in reinforced concrete structures. Corrosion
Science, 59, 316–323. http://doi.org/10.1016/j.corsci.2012.03.018