mistik imam ghazali

14
SISTEM PEGURON DALAM TRADISI SUFI: Telaah atas Etika Mistik Imam al-Ghazali Oleh Mohammad Masrur * Pendahuluan Dalam sejarah pemikiran Islam, Imam al-Ghazali diakui sebagai salah seorang pemikir yang hebat dan paling orosinil, tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia. Di mata banyak sarjana muslim modern maupun non-muslim, al-Ghazali dipandang sebagai orang yang terpenting sesudah Nabi Muham- mad SAW ditinjau dari pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan ajaran agama Islam. Sesungguhnya berkat pikiran al- Ghazali itulah paham Asy’ariisme mendapatkan kematangannya yang terakhir yang kemudian menjadi ciri utama paham teologi Sunni. Juga berkat karya Imam al-Ghazali, maka kesenjangan antara sufisme dan bidang agama lainnya, khususnya aqidah dan syari’ah menjadi semakin “menciut”. Bah- kan al-Ghazali telah berhasil mem- beri tempat yang mapan kepada paham esoterisme Islam itu dalam keseluruhan paham keagamaan yang dipandang sah dan ortodoks. Tetapi penyelesaian dan perpa- duan sebagaimana yang ditawarkan oleh al-Ghazali tersebut dirasakan oleh banyak pengamat begitu hebat, sehingga memukau dunia intelektual muslim (Sunni) dan membuatkan seolah-olah terbius tak tersadarkan diri. Philip K. Hitti dalam History of Arabs, misalnya, pernah mengatakan bahwa penye- lesaian masalah keagamaan yang diberikan oleh al-Ghazali sedemi- kian komplitnya, sehingga yang terjadi sesungguhnya ia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang walaupun sangat nyaman, kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam, konon sampai sekarang. 1 Salah satu buah pikir al-Ghazali yang diduga mempunyai implikasi besar dalam menumpulkan daya kreatifitas, etos kerja, dan ilmu pengetahuan Islam adalah konsep- nya tentang etika hubungan antara murid dan guru sebagaimana yang termaktub dalam Ihya’ Ulumuddin, khususnya dalam juz ketiga pada

Upload: man-ana-man-anta

Post on 23-Nov-2015

55 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Imam Ghazali

TRANSCRIPT

  • SISTEM PEGURONDALAM TRADISI SUFI:

    Telaah atas Etika Mistik Imam al-Ghazali

    Oleh Mohammad Masrur*

    PendahuluanDalam sejarah pemikiran Islam,

    Imam al-Ghazali diakui sebagaisalah seorang pemikir yang hebatdan paling orosinil, tidak saja dalamIslam tapi juga dalam sejarahintelektual manusia. Di matabanyak sarjana muslim modernmaupun non-muslim, al-Ghazalidipandang sebagai orang yangterpenting sesudah Nabi Muham-mad SAW ditinjau dari pengaruhdan peranannya dalam menata danmengukuhkan ajaran agama Islam.

    Sesungguhnya berkat pikiran al-Ghazali itulah paham Asyariismemendapatkan kematangannya yangterakhir yang kemudian menjadi ciriutama paham teologi Sunni. Jugaberkat karya Imam al-Ghazali,maka kesenjangan antara sufismedan bidang agama lainnya,khususnya aqidah dan syariahmenjadi semakin menciut. Bah-kan al-Ghazali telah berhasil mem-beri tempat yang mapan kepadapaham esoterisme Islam itu dalamkeseluruhan paham keagamaanyang dipandang sah dan ortodoks.

    Tetapi penyelesaian dan perpa-duan sebagaimana yang ditawarkanoleh al-Ghazali tersebut dirasakanoleh banyak pengamat begituhebat, sehingga memukau duniaintelektual muslim (Sunni) danmembuatkan seolah-olah terbiustak tersadarkan diri. Philip K. Hittidalam History of Arabs, misalnya,pernah mengatakan bahwa penye-lesaian masalah keagamaan yangdiberikan oleh al-Ghazali sedemi-kian komplitnya, sehingga yangterjadi sesungguhnya ia bagaikantelah menciptakan sebuah kamaruntuk umat yang walaupun sangatnyaman, kemudian mempunyaiefek pemenjaraan kreatifitasintelektual Islam, konon sampaisekarang.1

    Salah satu buah pikir al-Ghazaliyang diduga mempunyai implikasibesar dalam menumpulkan dayakreatifitas, etos kerja, dan ilmupengetahuan Islam adalah konsep-nya tentang etika hubungan antaramurid dan guru sebagaimana yangtermaktub dalam Ihya Ulumuddin,khususnya dalam juz ketiga pada

  • 170 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    bab Riyadhah al-Nafs.Oleh karena itulah, tulisan ini

    dimaksudkan untuk melihat lebihjauh tentang pemikiran al-Ghazaliseputar masalah etika hubunganantara murid dan guru sertaimplikasi-implikasi etis yangditimbulkannya akibat konsepsi itudalam dunia Islam masa kini.

    Sistem Peguron dalam Tradisi SufiMengenai sistem peguron, yaitu

    hubungan antara murid dan guru,dalam Islam dikenal adanya duatipe. Kedua tipe peguron ituberkaitan erat dengan jenis ilmuyang diakui dalam ajaran Islam.Pertama , Ilmu yang berkaitandengan hidayah langsung dariAllah(laduniyyah) ini seperti disebutdalam al-Quran surah al-Kahfi (18)ayat 65, maka sifatnya adalahkhariqul addah atau luar biasamenurut pemahaman Fiqh/kalam.Yakni jenis ilmu yang merupakanmujizat dan itu merupakan tandakeabsahan para Nabi dan RasulAllah SWT. Maka dalam mengha-dapi jenis ilmu hidayat yangladuniyyah ini, Para murid seorangNabi wajib bersikap menerima danmentaatinya (samina wa athana)

    Jenis kedua, adalah ilmu ijtihadi,yakni ilmu yang berkaitan denganlogika penalaran ilmiah, baik dalambidang ilmu agama, atau dalam ilmupengetahuan umum dalam berbgaimacam cabangnya. Dalam bidangagama jenis ilmu yang kedua iniberkaitan dengan hasil ijtihad para

    ulama. Oleh karena itulah jenis ilmukedua ini bersifat ilmiah dan selaluterbuka untuk diperdebatkan dandikoreksi dalam setiap saat. Konsek-wensinya, sistem peguron dalampengembangan ilmu ijtihadi inimenuntut hubungan dialog antaraguru dengan para muridnya secaraterbuka.2

    Kedua sistem peguron dalamIslam tersebut, sebenarnya sumber-nya bisa dirujuk dalam al-Quransurah al-Kahfi (ayat: 65-82), yaituriwayat tentang bergurunya NabiMusa kepada Nabi Khidr. Untuklebih jelasnya, berikut cuplikandialog antara Musa dan Khidrsebagaimana dituturkan dalam Al-Quran :

    Lalu mereka bertemu denganseorang hamba diantara hamba-hamba kami yang telah Kamiberikan kepadanya rahmat (wahyudan kenabian) dari sisi Kami,danyang telah Kami ajarkankepadanya(Khidr) ilmu dari sisikami. (65).Musa berkata kepada Khidr:bolehkah aku mengikutimu supayakamu mengajarkan kepadaku ilmuyang benar diantara ilmi-ilmu yangdiajarkan kepadamu?(66).Khidr menjawab;Sesungguhnyakamu sekali-kali tidak akan sang-gup sabar bersamaku (67).Dan bagaimana kamu dapat sabaratas sesuatu yang kamu belummemiliki pengetahuan yang cukuptentang hal itu.!(68)Musa berkata; Insaallah kamuakan mendapati aku sebagaimanaseorang yang sabar, dan aku tidakakan menentangmu dalam suatu

  • 171Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    hal apapun.(69).Khidr berkata: Jika kamu mengi-kutiku, maka janganlah kamumenanyakan kepadaku tentangsesuatu apa pun, sampai akusendiri menerangkan kepadamu.(70)Maka berjalanlah keduanya, hinggatakkala keduanya berjalan menaikiperahu lalu Khidr melubanginya.Musa bertanya.mengapa kamumelubangi perahu itu? Karenaakibatnya kamu bisa meneng-gelamkan penumpangnya. Sesung-guhnya kamu telah berbuat suatukesalahan yang besar.(71)Khidr berkata: Bukankah aku telahberkata: Sesungguhnya kamusekali-kali tidak akan sabarbersamaku!(72) Dan seterusnya (lihat : QS. al-Kahfi 65-82).

    Kutipan di atas menunjukkanadanya dua sistem peguron, yaknipeguron yang mengembangkanilmu atas dasar logika penalaranyang runtut menurut aturan-aturanilmu mantiq. Sistem peguron bagipenyebaran ilmu-ilmu ilmiah baikdalam bidang ilmu agama maupundalam bidang-bidang ilmu-ilmuumum. Jenis sistem perguruan inimengembangkan mmodel hubu-ngan guru dan murid atas dasardialog, penalaran yang setara. Jadisecara terbuka dimana sang gurusiap dikoreksi oleh kejelian murid-muridnya. Model perguruan jenisini seperti tercermin dalam hubu-ngan antara Nabi Musa denganmuridnya, Yusa bin Nun yangmenyertai perjalanan beliau dalammencari ilmu sebelum ketemu

    dengan Khidr (lihat dalam QS. al-Kahfi: 60-64).

    Adapun perguruan jenis kedua,berkaitan dengan wahyu, hidayahAllah, atau ilmu ghaib yang dalamistilah ilmu kalam/fiqh disebut hal-hal yang khariqul addah.3 Dalammenghadapi ilmu yang merupakanmujizat para Nabi dan Rasul, paramurid diwajibkan menerima bulat-bulat dan mengimaninya agar bisamengerti dan paham. Jadi guru yangmenerima wahyu yang merupakankebenaran yang tak bisa dibantah,dan tak bisa dipersoalkan lagi akankebenarannya. Lantaran memangdipandang khariqul addah. Dalamkutipan firman Allah diatas,dicontohkan oleh kisah Nabi Musasebagai murid yang dilarangmempersoalkan apa yang dilakukandan diterangkanoleh Khidr selakuguru Nabi Musa.

    Menurut penelitian Dr. Simuh,dilaporkan bahwa pada mulanyahubungan antara guru dan muriddalam tradisi sufi sama seperti tradisiIslam pada umumnya. Yakni hubu-ngan antara guru dan murid sebatasmencari ilmu dan pengajarannya.Hanya dalam tasawuf berkaitandengan ilmu pengalaman kejiwaanyang mereka katakan sebagaikebenaran yang mutlak, yang takbisa diragukan, lantaran dikatakanlangsung dari petunjuk ghaib. Olehkarena itu dalam ajaran tasawuf,murid wajib patuh menerima apayang diajarkan oleh guru, murid takboleh mempertanyakannya, apalagi

  • 172 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    membantahnya. Hal ini memangsesuai dengan watak ilmu kasfsebagai ilmu ghaib yang merekanyatakan sebagai wahyu minor ataupetunjuk Tuhan secara langsung.Anehnya yang dipakai sebagai dalilkeharusan patuh dan menerimasecara mutlak ilmu sang guru adalahhubungan Nabi Musa denganKhidr.4 Jadi para penganut sufismecenderung menyamakan ilmu kasfyang mereka peroleh melaluipengalaman kejiwaan sewaktu fanadengan ilmu Khidr.

    Oleh karena itu dalam tasawufitu lebih mengutamakan perasaan(dzauq) dan pengalaman kejiwaan,maka ilmu yang diperoleh lewat kasfdipandang jauh lebih berharga danmeyakinkan daripada ilmu-ilmuyang hanya berhenti pada alasan-alasan atau dalil-dalil yang dhonni(dugaan yang beralasan kuat).Pendek kata, para sufi lebihmenomor-satukan ilmu ghaib daripada ilmu yang ilmiah. Dankarena ilmu ghaib selalu dibangga-banggakan, maka lalu ilmu inimenuntut model pendidikan yangguruisme. Dan sesudah munculordo-ordo sufi (tarekat), gurumenjadi keniscayaan. Menjalankantarekat tanpa guru dianggap tidakdibenarkan (man tashawwafa bighoirisyaikhin fa syaikhuhu syaiton).

    Sistem peguron yang tertutup ini,sebagaimana ditegaskan oleh R.A.Nicholson dalam kutipan berikutini:

    Bila murid mengikuti aturan umum,murid harus mengambil guru(Syaikh, Mursyid, Pir), yaituseorang suci yang matang denganpengalaman dan pengetahuannya,yang kata-katanya merupakanhukum mutlak bagi para muridnya.Seorang pencari Tuhan yangmencoba mencari jalan sendiritanpa bantuan seorang guru sulitdibenarkan. Orang demikian iniakan dibimbing setan.5

    Dari keterangan di atas nampakbetapa ketergantungan muridkepada guru sufi. Jadi muncullahikatan ketarekatan mengubahfungsi guru menjadi penentu abangbirunya nasib para murid. Jadi gurumenjadi penentu dimana muridharus tunduk dan patuh sertatergantung kepada gurunya secaramutlak. Pada waktu tasawuf masihmerupakan gerakan individual danelitisme, fungsi guru hanyalahmerupakan pengamat dan pena-sehat akan kekurangan dankekeliruhan sang murid. Imam al-Qusyairi6 misalnya dalam babwashiyat untuk para muridmengatakan sebagai berikut: walayanbaghi lilmurid an yataqida fial-masyayikh al-ishmah bal al-wajib an yundzarahum waahwalahum fayahsunu bihi al-dhan.

    Dari kutipan Risalah al-Qusyairyah ini didapati bahwa paramurid semula hanya dianjurkanuntuk berprasangka baik (husnudhon) kepada guru, dan tidak boleh

  • 173Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    menyangka bahwa guru ituterpelihara dan bebas dari kesalahan(mashum). Jadi petunjuk-petunjukguru masih perlu diperhatikan, tidakboleh ditelan mentah-mentah.Tetapi nampaknya model perguronsemacam ini sedikit demi sedikitmengalami pergeseran, khususnyasemenjak tasawuf dikembangkanoleh Imam al-Ghazali.

    Hubungan Murid dan Gurudalam Konsepsi Imam al-Ghazali

    Imam al-Ghazali(1050-1111)adalah ulama besar ahli syariatpenganut madzhab Syafii dalambidang fiqh, dan seorang teologpenganut madzhab Asyari yangamat kritis. Namun sesudah lanjutusia mulai meragukan dalil akalyang menjadi tiang tegaknyamadzhab Asyariyah dan dalilwahyu. Sesudah mengalamikeraguan terhadap kemampuanakal, akhirnya justru mendapatkepuasan dalam penghayatankeagamaan jenis sufisme, yaknimempercayai kemutlakan dalil kasfi.Dan ternyata akhirnya al-Ghazalimenjadi propagandais sufisme yangpaling bersemangat dan palingsukses. Ini terlihat misalnya tentangsimpatinya terhadap kehidupanpara sufi sebagaimana ditulis dalambukunya al-Munqidz min al-Dhalalberikut ini :

    Sungguh aku mengetahui secarayakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah

    menempuh jalan Allah SWT secarakhusus. Dan bahwa jalan yangmereka tempuh adalah jalan yangsebaik-baiknya, dan laku hidupmereka adalah yang paling benar,dan akhlak mereka adalah yangpaling suci. Bahkan seandainyapara ahli fikir dan para filosof yangbijak, dan ilmu para ulama yangberpegang pada rahasia syariatberkumpul untuk menciptakan jalandan akhlak yang lebih baik dari apayang ada pada mereka (sufi),mereka tidak mungkin bisamenemukannya. Lantaran gerakdan diamnya para sufi, baik lahirmaupun batin, dituntun oleh cahayakenabian. Dan tidak ada selaincahaya kenabian di atas duna inisuatu cahaya lain yang bisameneranginya.7

    Walaupun cita untuk menjalinkeselarasan pengalaman tasawufdengan syariat telah dicetuskan danmenjadi keprihatinan ulama-ulamasufi sebelumnya, namun baru Imamal-Ghazali yang secara kongkritberhasil merumuskan bangunanajarannya. Konsepsi al-Ghazaliyang mengkompromikan danmenjalin secara ketat pengamalansufisme dengan syariat disusundalam karyanya yang palingmonumental, yaitu Ihya Ulumuddin.Karya besar ini tediri dari empat jilidtebal-tebal. Pada jilid pertama dankedua dibahas secara panjang lebardan mendalam tentang pelaksa-naan kewajiban agama besertapokok-pokok akidah yang berkaitandengan syariat. Pada jilid ketiga,baru mulai dijelaskan tentang

  • 174 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    tarekat dan marifat atau ajaransufisme secara rinci. Yakni tentangmawas diri, penguasaan danpengendalian hawa nafsu, kemu-dian tentang cara-cara wiridan dandzikir serta hasilnya fana danpenghayatan alam ghaib, hinggamencapai penghayatan qurb yangsedekat-dekatnya dan akhirnyamenyaksikan langsung keagunganDzat-Nya. Kemudian pada jilidkeempat diuraikan tentangpenyakit-penyakit yang merusakhati, keburukan-keburukan yangberkaitan dengan mulut, mata,telinga dan anggota badan atauperbuatan manusia, beserta tata caramenyembuhkannya (munjiyat),yakni yang berkaitan denganpembinaan akhlak mulia danketakwaan kepada Allah SWT.8

    Pemikiran Imam al-Ghazaliseputar masalah hubungan atauetika antara seorang murid denganguru dalam sistem pengajaran sufi,bila dilacak dalam kitab IhyaUlumuddin, pada juz ke-3 sebagaiberikut:

    Pendinding antara murid denganTuhan ada empat hal, yaitu harta,kedudukan,taklid dan masiyat.Dinding prnyekat harta keduniaanhanya bisa dihilangkan denganmembuang segala miliknya,sehingga tak terisi kecuali sekedarhanya untuk mempertahankanhidupnya, dan selagi masih menyi-sihkan kelebihannya walaupunhanya satu dinar, pasti akanmemalingkan hatinya dan mendi-dingnya dari Allah. Adapun dinding

    kedudukan bisa dihilangkan denganmenjauhi segala bentuk kedudukandan pangkat Adapun rintangan taklid bisadihilangkan dengan melenyapkanjiwa taassub (fanatik) terhadapsegala madzhab, dan hanyaberpegang kepada kebenaranmakna Tak ada Tuhan selain Allahdan Muhammad adalah RasulAllah Dengan pembenaran imanyang jernih dan melenyapkansegala bentuk persembahan selainhanya kepada Allah saja Adapun dinding masiyat (dosa)adalah perintang yang hanya bisadihilangkan dengan bertaubat danmeninggalkan segala dosa sertamemperteguh niat untuk tidakmengulang berbuat dosa danmenyesali segala dosa yang telahlalu.Apabila telah terpenuhi segalapersyaratan ini, telah terbebas darijeratan harta dan kedudukan,sehingga laksana orang yang telahbersuci dan telah mengambil airwudlu serta telah siap untukmelaksanakan sholat, maka perluseorang imam untuk memimpin-nya. Maka demikian pula seorangmurid, memerlukan seorang gurudan syeikh yang bisa membim-bingnya untuk menuntun ke jalanyang benar, lantaran jalan agamaitu gelap dan rumit, sedang jalansetan adalah banyak, terang. Makasiapapun yang tidak punya guru,pasti dituntun oleh syetan ke jalanmereka yang sesat.Maka pengawal murid sesudahmemenuhi persyaratan tersebutadalah gurunya, maka harusmempercayakan diri pada gurunyabulat-bulat laksana si buta yangberserah pada penuntun di tepisungai, yakni pasrah bongkokan

  • 175Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    pada guru dan tidak menyalahinyasampai tercapainya tempat yangdituju, hendaklah diketahi bahwamanfaat kesalahan petunjuk guruseandainya salah, jauh lebihbermanfat dari pada kebenaranusahanya sendiri walaupun benar.99

    Seperti telah dituturkan di atas,bahwa kisah bergurunya Nabi Musakepada Khidr umumnya dijadikandasar bagi sistem peguron dalamtasawuf, lebih-lebih setelah muncul-nya tarekat-tarekat sufi. Ataudengan kata lain, munculnyaterekat-tarekat sufi itu lantaranadanya ikatan yang ketat danketergantungan para murid denganguru penerus pendiri ketarekatan.

    Dan peningkatan fungsi guru iniberkaitan erat dengan perubahanbesar dalam pengamalan ajarantasawuf, tasawuf yang sejak awalpertumbuhannya merupakangerakan individual dan elitisme,maka dengan dirintis Al-Ghazali,sehingga semenjak abad ke-12Masehi tasawuf berubah menjadiordo-ordo tarekat. Yaitu ikatan-ikatan komunal di bawah bimbing-an seorang guru atau syekh, yangmengamalkan teknik-teknik dzikirtertentu dan sejumlah wirid yangditemukan oleh seorang gurupencipta ordo tarekat. Denganperantaraan teknik-teknik dzikirdan aurad-aurad tersebut di atas,maka terekat sebagai instuisipenyederhanaan ajaran tasawufsegera bisa diikuti oleh golonganawam secara massal.10

    Perubahan dari gerakan elitismeindividual menjadi gerakan arusbawah secara massal disampingmemang merupakan kodrat dariperkembangan ajaran Islam itusendiri, juga merupakan suatutuntutan masyarakat. Tasawufmenurut kodratnya melahirkanorang-orang suci (para wali Allah)yang merasa menguasai ilmu ghaibyang mereka namakan keramat,tentu mereka itu amat dikagumi danmenarik minat bagi orang awam.Orang-orang awam menurutkodratnya memang sangat menga-gumi cerita-cerita tentang orangsuci dan cerita tentang ilmu ghaibyang mereka kuasai. Apalagi ajarantasawuf oleh para sufi dipropa-gandakan sebagai ilmu yang palinghebat, yang bisa mengantar manusiakearah kedalaman spiritual,kemantapan keyakinan agamamereka, dan keindahan akhlaknya.Tidak hanya itu, mengantarmanusia kepada kecerahan danmakrifat kepada Allah dan mengua-sai ilmu ghaib. Ini sebagaimanaditegaskan sendiri oleh Imam al-Ghazali seperti dalam kutipan dibawah ini:

    Iman itu punya tiga tingkatan.Tingkatan pertama, imannya orangawam, yaitu keimanan yangsemata-mata atas dasar taqlid.Kedua, keimanannya paramutakallimun, yaitu dasar sejenisdalil-dalil. Tingkatan ini masih samadengan derajat orang-orang awam.Yang ketiga, imannya para arifin(sufi) atas dasar penyaksian

  • 176 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    langsung dengan perantaraan nurulyakin.11

    Uraian di atas menunjukkanbahwa para sufi yang dapatmencapai penghayatan kejiwaansecara langsung terhadap Tuhandan alam ghaib merasa dirinyapunya kelebihan atau kekhususandi atas derajat para cendikiawanatau para ahli teologi/fiqh. Dandalam kitab Ihya itu Imam al-Ghazali mempropagandakanbahwa tingkat kedalaman spiritualpara sufi juga mencapai derajattertinggi dan mendorong ketekunanberibadah yang melebihi darigolongan awam dan para ahliagama biasa.

    Nicholson dalam The Mystics ofIslam menuturkan bahwa para sufiselalu menyatakan dan memper-cayainya bahwa mwreka adalahgolongan yang terpilih oleh Tuhan.Sementara para sufi merasa sebagaigolongan terpilih diantara kaummuslimin, para wali adalah golong-an terpilih dari para sufi, Ilham(keramat) yang diterima oleh parawali itu, walaupun menurut istilahdibedakan dan lebih rendahtingkatannya, namun semacamdengan wahyu yang diterima paraNabi.12

    Maka dengan munculnyaikatan-ikatan ketarekatan dalamsufi, maka mulailah terjadi peruba-han fungsi guru. Pada mulanya

    ulama sufi menganjurkan agarorang-orang yang menempuh jalantasawuf memerlukan seorang guruyang berpengalaman sebagai pena-sehat, terutama dalam penyucianhati dengan meniti maqam-maqamkenaikan rohani. Yakni guru sangatdiperlukan agar tidak sesat ke jalankesesatan, dan sebagai pengamatdalam pengendalian hawa nafsu,jangan sampai masih dihinggapi rasariya dan takabur yang sangat rumitdan halus. Kemudian denganmunculnya ordo-ordo ketarekatanfungsi guru bukan lagi sebatas padapengamat dan penasehat, akantetapi kini guru jadi pengajar danpembimbing para murid dalammengamalkan teknik-teknik dzikirdan pembina ordo ketarekanmereka. Nama setiap ordo ketare-katan selalu dihubungkan dengannama guru agung pencipta ajarantarekatnya. Ordo yang menganutteknik dzikir ciptaan syekh AbdulQodir al- Jaelani, dinamakan tarekatQadiriyah. Ordo tarekat yangmenganut ajaran Ahmad al-Rifaidinamakan tarekat Rifaiyah.Tarekat yang menganut ajaranMaulana Jalaluddin al-Rumidinamakan tarekat Maulawiyyah.13

    Dan demikian seterusnya bagitarekat-tarekat lainnya.

    Keberhasilan sejumlah guru-gurupembina ajaran suatu ordoketarekatan dengan penentuanteknik-teknik dzikir atau wirid-wiridsecara khusus di atas, berartimekanisme hubungan antara guru

  • 177Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    dengan murid-muridnya telahdigariskan secara jelas dan baku.Dengan demikian segera berkem-bang pula ajaran tentang ketergan-tungan para murid kepada guru atsusyekh mereka. Bahkan kemudianpara guru yang mereka pandangmursyid itu berfungsi sebagaiwasilah yang menentukan danmenjamin keberhasilan dalammengamalkan ajaran agama danketarekatan mereka.

    Mengapa sistem perantara(washilah) yang amat bertentangandengan prinsip tawhid yangmenjadi inti ajaran Islam ini bisaberkembang subur dalam kalanganpara penganut ordo-ordo ketareka-tan? Proses pemunculan praktek-praktek wasilah guru musyid inimemang tidak bisa dielakkan,karena memang merupakan anakkandung dari sufi order itu sendiri.Telah disinggung bahwa denganperantaraan teknik-teknik dzikirserta mewiridkan aurad-auradtertentu, maka segera terjadipengawaman dan pemassalan citaajaran tasawuf. Orang-orang awamdibaiat untuk masuk tarekat dandibimbing oleh guru tarekat untukikut mengamalkan dan merasakanajaran tasawuf menurut kadarkemampuan mereka masing-masing. Sedang menurut kodratnyacita menghayatan kasyf dan makrifatkepada Tuhan itu memang tidakmungkin bisa dicapai oleh orang-orang awam. Orang-orang awamtidak mungkin bisa mengadakan

    kontak langsung dengan roh paraNabi, Apalagi marifat dengan DzatTuhan. Mereka itu tidak mungkinbisa bertemu langsung denganTuhan, dan merasa plong atauseratus persen akan diterima Tuhandan akan menjadi kekasih Tuhanseperti halnya para wali Allah. Olehkarena itu nasib mereka harusdiserahkan bulat-bulat kepada sangguru yang mursyid, yang sanggupjadi perantara antara merekadengan pembina ajaran tarekatnya,semisal syekh Abdul Qadir al-Jaelani, dan dengan Tuhan.Berwasilah kepada guru ini merekalaksanakan dalam upacaratawajjuhan. Mengenai upacaratawajjuhan, Martin Van Bruinessendalam bukunya Tarekat Naqsaban-diyah di Indonesia menuturkan :

    Istilah ini berarti temu muka, tetapidalam lingkungan Naqsabandiyahtelah memperoleh beberapa artikhusus. Tawajjauh merupakanpenjumpaan dimana seseorangmembuka hatinya kepada syaikh-nya dan membayangkan hatinya itudisinari berkah sang syaikh. Sangsyaikh akhirnya membawa hatitersebut kepada Nabi Muhammadsaw.

    Ia dapat berlangsung sewaktupertemuan pribadi atau empat mataantara murid dan mursyid (baiatmerupakan kesempatan pertamadari tawajjuh), tetapi tawajjuh punmungkin terjadi ketika sang syaikhsecara fisik tidak hadir. Hubungandapat dilakukan melalui rabithah,dan bagi murid yang berpenga-laman, sosok rohani sang syaikh

  • 178 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    merupakan penolongannya yangefektif di kala sang syaikh tidakhadir-sama seperti ketika syaikhnyaada di dekatnya, tetapi yang palingbiasa, tawajjuh berlangsung selamapertemuan dzikir berjamaah dimanasyaikh ikut serta bersama murid-nya. Di beberapa daerah diIndonesia, pertemuan dzikir itusendiri disebut tawajjuhan. 14

    Uraian di atas menunjukkanbetapa sentralnya fungsi yangmereka pandang sebagai mursyid.Al-fana fi al-syaikh (fana dalamkesatuan dengan guru) dijadikanwasilah untuk mencapai penghaya-tan fana fi Allah. Yakni melaluilatihan mengkonsentrasikan selu-ruh kesadaran pada obyek yangkongkrit (figur gurunya), merambatdan dialihkan kepada figuralmarhum syaikh pendiri ajarantarekatnya, baru kemudian mening-kat pada fana dalam diri Nabi,kemudian kearah paling abstrak,yaitu fana di dalam Tuhan, danmenghayati kesatuan dengan Dia(wahdah al-wujud). Begitulahseterusnya yang dipraktekkan dalammodel-model pengajaran tarekat-rarekat sufi. Yakni melalui upacarabaiat, dimana sang guru sebagaipembimbing dan pemberi berkahrohani para murid dalam mencapaipenghayatan memang sangatmenentukan. Oleh karena ituperkembangan penerapan ajaranketarekatan itu kemudianmelahirkan apa yang para penulisbarat disebut syekh worship dan saint-worship.15 Yakni pengkeramatan

    para guru dan pengkeramatan parawali, terutama syaikh penciptaajaran tarekatnya. Dalam kalanganpenganut tarekat Qadariyahmisalnya, Abdul Qadir al-Jaelanimereka keramatksn sebagaisultannya para wali (sulthan al-auliya).

    AnalisaAl-Ghazali memang tidak

    pernah bisa lepas dari pertimbangansiapapun yang berusaha memahamiajaran agama Islam secara luas danmendalam. Ia, seperti telah ditutur-kan di atas, terkait erat denganproses konsolidasi paham sunni diluar mahzab Hambali. Dan karenadi bidang fiqh al-Ghazali menganutmahzab Syafii, maka nama pemikirbesar itu tidak dapat dilepaskan daridunia pemikiran dan pemahamanIslam di Indonesia, sebab dapatdikatakan bahwa seluruh kaummuslim di Indonesia bermahdzabSyafii.

    Dan bagaimanapun juga, al-Ghazali adalah manusia biasa yangtidak mungkin lepas sama sekali darikesalahan. Karena itu sama dengantokoh-tokoh besar dalam sejarahIslam manapun semisal al-Asyari,Ibn Sina, Ibn Taimiyah, bahkan jugasama dengan semua Imam mahzab(Anas bin Malik, Abu Hanifah,Muhammad Idris al-Syafii, danAhmad Ibn Hambal), al-Ghazaliadalah tokoh yang penuhkontroversi.

    Dan terlepas dari betapa berhar-

  • 179Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    ganya arti pendidikan spiritual-mistik al-Ghazali dalam kehidupanberagama, namun pendidikan danlatihan mistik yang terinstitusi atauterlembaga dalam suatu perkumpu-lan mempunyai implikasi dankonsekwensi sosiologis yang berat,baik dalam kehidupan pribadimaupun dalam kehidupan kelom-pok. Para pemula (murid) dan orangawam yang lain hanya mudahuntuk mengingat bahwa merekaharus tunduk dan patuh kepadasyaikh dan mengikutinya tanpasyarat sebelum dapat mencernadengan baik ajaran mistik yangbegitu rumit.

    Agaknya ajaran untuk patuhmengikuti sang guru ini sepertitampak dalam uraian di atas,ternyata yang lebih cepat terserapoleh para pemula dari pada subtansiajaran mistik itu sendiri.

    Lebih dari itu, dan sangat bolehjadi, bahwa implikasi dan konsek-wensi dari ajaran etika hubunganantara murid dan guru sebagaimanadiajarkan oleh al-Ghazali di atas,sangat besar pengaruhnya dalammenumpulkan daya kreatifitas, etoskerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak, murid tidak lagibisa otonom di hadapan sang guru.Setiap tindakan dan keputusannyaperlu dikonsultasikan dengansyekhnya. Maka benar apa yangpernah disinyalir oleh Prof. FazlurRahman bahwa begitu besar dandominannya peran guru spiritual itusehingga sufisme benar-benar

    menjadi pemujaan kepada orang.16

    Pemujaan kepada guru ataupengkramatan pada guru dalamterekat biasanya dimulai sejakupacara penerimaan murid baruyang mereka sebut baiat. Padahalpraktek baiat ini menurut peneli-tian para ahli ditiru dalam praktekbaiat dalam ajaran Syiah. J. S.Trimingham menjelaskan tentangasal-usul baiat ini sebagai berikut:

    Kehidupan suatu terekat bersandarpada tradisi sufi dan pembinaanpenerusnya. Melalui upacara baiatyang sesungguhnya seorang calonmurid diterima masuk dalamlingkungan persekutuan spiritual.Upacara baiat bagi seorang darwis(KADER GURU TAREKAT) tentu-nya jauh lebih komplek dari padaupacara baiat bagi para pengikuttarekat biasa(awam). Denganupacara sederhana, dia memulaimenjalani suatu pengabdian untukmelayani komunitas dalam zawiyahitu. Selama masa itu atau seterus-nya, dia diberi pelajaran dan latihanyang lebih maju lagi sehingga diasiap untuk menerima baiat secarapenuh. Dalam janji kesetiaan itu diamendapat perintah-perintah meliputiperintah yang terkenal : Kau harusmenyerahkan dirimu bulat-bulatkepada gurumu laksana mayat ditangan orang yang memandikan-nya, dibolak-balikkan sekehendakdia harus tunduk, dan denganberjabat tangan dia harus mengu-capkan janji kesetiaan. Dia laludibabtis (dimandikan) dengan air,diberi pakaian khirqah (rompi),diberi tasbih, dan diberi wirid-wiriddimana dia berjanji untuk menga-malkannya.Dia lalu diterima menjadi

  • 180 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    anggota ribath secara penuh danmenyesuaikan hidupnya denganperaturan ribatnya, sholat, puasa,berjamaah di waktu malam, danseterusnya.17

    Persoalan kreatifitas, inisiatif, etoskerja, etos ilmu memang jarangdisinggung dalam bentuk hubunganantara patron klien dalam kehi-dupan mistik. Kebanyakan merekadatang ke sana untuk riyadhoh.Dan Cuma pendidikan budi pekerti,kesempurnaan dan keutamaanakhlak yang sangat ditekankan olehlembaga majlis taklim, pengajianrutin, atau perkumpulan-per-kumpulan sejenis lainnya. Padahalmasyarakat kita sekarang sudahsemakin kritis. Sebelum berangkatke tempat pengajian atau majlistaklim, mereka sudah bisa menebakterlebih dahulu apa yang akandisampaikan sang khotib, pence-ramah, atau sang kyai. Semacamada gejala ketidak-puasan terhadapmateri pengajian yang hanyaberjalan dari itu ke itu.

    PenutupDari uraian di atas tampak jelas

    bahwa tasawuf mengarahkanpikiran manusia untuk lebih me-ngutamakan apa yang merekanamakan sebagai ilmu ghaib atauilmu ladunni. Oleh karena itu sistem

    pendidikan yang memang sesuaidengan tujuan mereka adalah keta-atan secara mutlak kepada guru atauguruisme.

    Sistem pendidikan semacam itutentu hanya mampu dan mengarahuntuk menciptakan pengikut-pengikut yang setia menurut garisguru. Jadi memang amat hebatuntuk mencapai jumlah murid danketaatan, namun amat manduldan tumpul dalam berkompetisimengejar kualitas penalaran, karenamemang model pengajaran mereka,dari sejak semula sudah menolaksistem penalaran, dialog, apalagidebat. Keadaan itu ditambah pulabahwa puncak kebesaran ilmutasawuf itu telah tercapai dalamajaran Imam al-Ghazali, al-Hallaj,dan Ibn Arabi, dan tidak mungkinakan berkembang lagi. Gejalanyalalu mandeg, dan mentradisi, berpu-tar hanya itu-itu saja. Dan sangatboleh jadi sudah tidak mungkinakan mendapatkan sesuatu yanglebih baru lagi dan unggul. Makabisa dibayangkan bila umat Islamtenggelam dalam cita penghayatanmarifat dan mengan-dalkan ilmuladunni melulu, tentu hanya akanberjalan di tempat, dan tak akanmungkin bisa berpacu denganperkembangan kemajuan perada-ban umat-umat lain dewasa ini.[]

  • 181Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    CATATAN AKHIR:

    *Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,juga sebagai anggota dewan redaksi jurnal WAHANA AKADEMIKA danjurnal Theologia Semarang.

    1Philip K. Hitti, History of Arabs, (London : Macmillan Ltd, l973), h.432.2Uraian lebih detail bisa dilihat dalam buku Simuh, Tasawuf dan

    Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, l996), h. 215.3Ibid., h. 220.4Ibid., h. 234.5If he follows the general rule, he will take director (Syekh, Pir, Mursyid)

    i.e.a. holy man of ripe experience and profound knowledge, whose leastword is absolute law to his disciples. A Seeker who attempts to traverse thePath without asistance recieves litle sympathy. Of such a one it is said thathis guide is Satan. Lihat RA. Nicholson, The Mystic of Islam, (London :l974), h. 32. Abu Qosim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 142.

    6Abu Qosim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.),h. 142.

    7Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Mesir :Darul Kutub Ihya al-Arabiyah, tth.), h. 31.

    8Lihat dalam kitab karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, IhyaUlumuddin, Juz 1-4. (Mesir : Mathbaah al-Ilmiyah, tth.).

    9al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, (Mesir : Mathbaah al-Ilmiyah, tth.),h. 73.

    10Simuh, op. cit., h. 235.11Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 3, h. 15.12The sufis have always declared anf believed them selves tobe Gods

    chosen people. When the sufis are the elect of the Moslem community, thesaints are the elect of the sufis. The inspiration of the Islamic saints, thoughverbally distinguished from that of the prophets and inferior in degree, is ofthe same kind. Lihat RA. Nicholson, op. cit., h. 121-122.

    13Simuh, op. cit., h. 239.14Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung :

    Mizan, l992), h. 86.15RA. Nicholson, op. cit., h. 140-141. Atau dalam isitilah Prof. Fazlur

    Rahman, karena begitu besar dan dominannya peran guru spiritual itu,sehingga sufisme atau mistisisme benar-benar menjadi pemujaan kepadaorang. Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka,l984), h. 202.

    16Fazlur Rahman, ibid.17JS. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (New York : l960), h. 187.

  • 182 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

    Sistem Peguran dalam Tradisi Sufi

    DAFTAR PUSTAKA :

    Al-Quran al-Karim.

    Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Mesir :Darul Kutub Ihya Arabiyah., tth.).

    Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1-4. (Mesir :Mathbaah al-Ilmiyah, tth.).

    Abu Qosim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.).

    Djohan Effendi, Drs. (ed.), Sufisme dan Masa Depan Agama, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993).

    Fazlur Rahman, Prof., Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka,l984).

    JS. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (New York : l960).

    M. Amin Abdullah, Dr., Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar l995).

    Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung :Mizan, l992).

    Nurcholish Madjid, Dr., (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : BulanBintang, 1984).

    Philip K. Hitti, History of Arabs, (London : Macmillan Ltd, l973).

    RA. Nicholson, The Mystic of Islam, (London : l974).

    Simuh, Prof. Dr., Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta :Rajawali Pers, l996).

    Yusuf al-Qardhawi, Dr., Al-Imam al-Ghazali Baina Madihihi wa Naqidihi,(Mesir : Darul Wafa, l988).