~$mbumikan konsep pendidikan imam ghazali

Upload: orgosm

Post on 14-Jul-2015

301 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

AB IV PENDIDIK MENURUT PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan murabbi, mu allim, dan muaddib yang ketiga istilah tersebut mempunyai penggunaan tersendiri dalam konteks Islam. AlGhazali menggunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti al-mu allim (guru), almudarris (pengajar), al-muaddib (pendidik) dan al-waalid (orang tua). Oleh karena itu, pembahasan dalam bab ini meliputi semua isltilah pendidik tersebut, yakni pendidik dalam arti umum yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. Pendidik dalam arti umum tersebut adalah perintis pembangunan di segala bidang kehidupan dalam masyarakat, tetapi ia merupakan pahlawan tak dikenal atau tak mau dikenal masyarakat. Untuk memenuhi peranan tanggung jawabnya yang besar dan mulia itu, perlulah seorang pendidik berusaha memiliki sifat-sifat yang baik dan menyadari kode etik guru serta kedudukannya.

A. Pengertian Pendidik Pendidik menurut perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi kognitif, potensi afektif, dan potensi psikomotorik.1 Pendidik ada juga yang mengartikan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah, dan mampu bersikap mandiri sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. 2 Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua anak didik sendiri karena merekalah yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya dan juga sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga. 3 Firman Allah SWT:

Artinya:

Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

(QS. Al-Tahrim: 6)

Akan tetapi karena perkembangan masa semakin maju dan kompleks, maka tuntunan orang tua semakin banyak terhadap perkembangan anaknya, dan mereka tidak mungkin lagi untuk sanggup menjalankan tugas mendidik itu. Oleh karena itu, anaknya diserahkan kepada lembaga sekolah. Sehingga pendidik di sini mempunyai arti mereka yang memberi pelajaran kepada anak didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sebuah sekolah.4 Penyerahan orang tua kepada lembaga sekolah bukan berarti bahwa orang tua lepas tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama dan yang paling utama, tetapi orang tua masih mempunyai saham dalam membina dan mendidik anak kandungnya untuk mencapai apa yang diharapkan dan untuk mencapai tingkat kedewasaan.

B. Kedudukan Pendidik Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam adalah penghargaan Islam yang tinggi terhadap pendidik (guru). Begitu tingginya penghargaan itu sehingga sampai menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. 5

Pemberian penghargaan yang demikian tinggi ini karena seorang guru selalu berhubungan dan terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam sangat menghormati ilmu dan orang yang berilmu. Sebagaimana yang diartikan dari beberapa pengertian hadis yang dikutip dari buku Asma Hasan Fahmi sebagai berikut: - Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada - Orang yang berpengetahuan melebihi orang yang beribadah, yang berpuasa dan yang menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi orang yang berperang di jalan Allah Al-Ghazali menjelaskan kedudukan tinggi yang dimiliki oleh orang berpengetahuan dengan ucapannya: Orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan, dia seperti matahari menerangi jalan, ia mempunyai cahaya dalam dirinya, seperti minyak wangi mengharumi orang lain karena ia memang wangi. yang ilmu yang yang

Asma Hasan Fahmi mengutip dalam Ihya Al-Ghazali yang mengatakan: Barang siapa yang memilih pekerjaan mengajar, maka sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang besar dan penting. Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang diberikan santapan jiwa dengan ilmu pengetahuan, pembina akhlak yang mulia, dan berusaha meluruskannya. 6

Imam Syauki dalam ungkapan syairnya tentang betapa tingginya penghargaan terhadap kedudukan orang yang berilmu pengetahuan adalah sebagai berikut: Berdirilah dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul. 7 Al-Ghazali menukilkan dari pendapat ulama yang mengatakan bahwa Pendidikan merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya, dan andaikan dunia tanpa pendidik niscaya manusia seperti binatang, sebab pendidikan merupakan upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah. 8 Penyebab utama orang Islam menghargai guru karena ada pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber dari Tuhan. Firman Allah:

Artinya:

Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang engkau ajarkan kepada kami (QS. Al-Baqarah: 2)

Ilmu itu datang dari Tuhan, berarti Tuhan adalah guru yang pertama. Pandangan tinggi dan menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang-orang Islam bahwa ilmu itu tidak bisa dipisahkan dari guru, maka guru mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Sehingga dari pandangan inilah melahirkan hubungan guru dan murid yang dalam Islam tidak berdasarkan untung rugi, baik dari segi ekonomi sehingga muncul pendapat haram mengambil upah (gaji) dari pekerjaan mengajar atau mendidik. Profesi pendidik atau pengajar menurut Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin beliau menyebutkan: Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dari segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu, maka mengajarkannya adalah memberikan faidah bagi keutamaan itu. Secara murni, mendidik dan mengajar adalah pekerjaan yang sangat mulia. Akan tetapi masyarakat modern dewasa ini lebih sering memandang pendidik sebagai petugas semata yang mendapatkan gaji dari negara atau institusi swasta serta tugasnya relatif dilimitasi dengan dinding sekolah. Inilah salah satu dampak dari komersial materialisme dan modernisasi sehingga melahirkan dampak terciptanya jarak (sosiopsikis) antara pengajar (guru) dengan pelajar.

Sesungguhnya, seiring dengan sinyalemen Al-Ghazali tersebut, tugas mengajar/mendidik menduduki posisi atau status terhormat dan mulia. Dengan kehormatan dan kemuliaan itu membawa konsekwensi logis bahwa pendidik/pengajar lebih dari petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti ditiru, dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti memperlakukan domba atau ternak yang perlu digembalakan atau didisiplinkan. Mohammad Athiyah Al-Abrasy memberikan komentar terhadap sinyalemen Al-Ghazali ini, antara lain: Di antara prinsip-prinsip pendidikan Islam yang paling mengagumkan adalah pengagungan ilmu pengetahuan, pengagungan ulama, sarjana-sarjana muslim dan guru-guru. Ilmu itu mulia dan guru adalah orang yang mulia bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, bagaimana caranya mengusahakan guru dan murid itu ikhlas dalam pelajaran dan penelitian, sehingga kita bisa dapati orang-orang pintar, ulama, sarjana, dan orang-orang terpelajar. Namun kalau pengagungan itu terlalu berlebihan, maka mungkin akan membawa kepada berkurang dan lemahnya jiwa kritis di kalangan mereka antara yang satu dengan yang lain. Ali Syaifuddin HA menyatakan, Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia sesuai dengan falsafah hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberi pelayanan jasa pada masyarakat dan manusia. 9 Seorang pendidik/guru adalah orang yang menempati status mulia di daratan bumi karena ia mendidik akal, hati, jiwa, dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsur yang terpenting dan mulia pada bagian tubuh manusia. Amien Daien Indrakusuma menyatakan: Tugas guru itu adalah tugas yang luhur dan mulia, tugas mendidik tunas-tunas bangsa adalah tugas terhormat dan tugas yang patut dijunjung tinggi dan disini pulalah letak kebahagiaan seorang guru.

C. Kode Etik Pendidik/Guru Al-Ghazali menyatakan: Seorang guru yang memegang sebuah vak mata pelajaran sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lain di hadapan murid-muridnya. Gagasan Al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu penyelenggaraan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi. Pandangan beliau ini dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan soal-soal kenegaraan dan hubungan guru dengan jabatan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Siti Maichati: Bahwa seorang guru tidak boleh melamar suatu pekerjaan, suatu kontrak sekali yang ditandatangani harus dipenuhi hingga selesai. Guru tidak boleh mencampuri urusan guru lain kecuali jika diminta pertolongannya. Soal rahasia yang disampaikan oleh anak didiknya harus merupakan rahasia antara keduanya kecuali disampaikan kepada orang lain yang berwajib dengan izin dari yang bersangkutan. Guru tidak boleh mengkritik rekan sejawatnya kecuali dengan jujur, tertulis, resmi, dan sebagainya. Sedangkan pengertian etik atau adab adalah ilmu yang mempelajari segala hal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia umumnya, terutama gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan hingga mengenai tujuannya atau perbuatannya. 10 Etika (ethica) berasal dari kata ethos yang berarti watak, sedangkan adab berarti keluhuran budi, sehingga menimbulkan kehalusan dan kesusilaan, baik yang bersifat lahir maupun batin. Sebagai suatu ilmu, etika harus bersistem dan bermetode, dalam pada itu selalu diutamakan objektivitas dan eksperimen. Sebagai ilmu kemanusiaan, etika dalam mempelajari soal-soal kebaikan dengan sendirinya atau mau tidak mau mendapat pengaruh besar dari ilmu ketuhanan (theologi) dan selalu berhubungan dengan ilmu pendidikan dan kehakiman.

Sedangkan pengertian etik/adab dihubungkan dengan adat istiadat, adab berarti kebiasaan, sedangkan adat istiadat adalah kebiasaan yang dianggap baik oleh khalayak dan dengan sengaja diperbaiki dan sebagai peraturan umum diakui kekuatan ikatannya untuk dan oleh rakyat di suatu daerah atau tempat.11 Sedangkan bila dihubungkan dengan pendidikan, adab diartikan ketertiban (tata) dalam hidup manusia, lahir dan batin, hingga hidup manusia itu berbeda dengan hidup makhluk-makhluk lainnya. Sehingga kode etik guru diartikan sebagai usaha pendidikan untuk mencapai cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia sebagaimana yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945, mutlak diperlukan sarana yang teratur dan tertib untuk dijadikan pedoman yang merupakan tanggung jawab bersama. Jadi, kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan anak didik, koleganya serta dengan atasannya.12 Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian juga jabatan pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.13 Kode etik guru yang telah digariskan Al-Ghazali ratusan tahun yang silam masih mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern, bahkan dasar-dasar yang telah diletakkannya kini dikembangkannya secara luas dan mendalam sekali. Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik/guru dalam 17 bagian, yaitu: 1. Menerima segala problem anak didik dengan hati lapang dan sikap terbuka dan tabah. 2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. 3:159) 3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak. 4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama (QS. 53:32) 5. Bersikap merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS. 15:88) 6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia. 7. Bersifat lemah lembut menghadapi anak didik yang rendah tingkat IQ-nya serta membinanya hingga tahap maksimal. 8. Meninggalkan sifat marah 9. Memperbaiki sikap anak didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang kurang lancar dalam berbicara. 10. Meninggalkan sifat yang menakutkan anak didik yang belum mengerti atau mengetahui 11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyan itu tidak bermutu. 12. Menerima kebenaran dari anak didiknya yang membantah apa yang disampaikannya 13. Mencegah anak didik untuk mempelajari ilmu yang membahayakan (QS. 2:195) 14. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari anak didik 15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik, serta terus menerus mencari informasi guna disampaikan kepada anak didik yang akhirnya mencapai pada tingkat taqarrub kepada Allah (QS. 98:5) 16. Mencegah anak didik untuk mempelajar ilmu yang hukumnya fardu kifayah sebelum mempelajari ilmu yang hukumnya fardu ain

17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada anak didik (QS. 2:44 dan 61:2-3) Membahas mengenai kode etik pendidik akan selalu berkembang dan bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan yang disesuaikan dengan sasaran dan tujuannya. Sehingga kode etik guru merupakan norma-norma yang akan selalu berkembang. Setiap ahli pendidikan mengemukakan pendapatnya berbeda-beda sesuai dengan batasan dan pandangan mereka terhadap tuntunan pendidikan yang dikaitkan dengan unsur terpenting dalam pendidikan yaitu seorang pendidik. Maka dapat disimpulkan bahwa kode etik pendidik/guru ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian, antara lain: a. Kode etik pendidik terhadap murid

b. Kode etik pendidik terhadap sesama guru atau rekan sejawat c. Kode etik pendidik terhadap atasannya

d. Kode etik pendidik terhadap pegawai tata usaha e. f. Kode etik pendidik terhadap orang tua murid Kode etik pendidik terhadap masyarakat

D. Kesimpulan Pendidik menurut perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik yang meliputi potensi kognitif, potensi afektif, dan potensi psikomotorik untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani serta dapat berdiri sendiri memenuhi kewajiban sebagai hamba Allah, makhluk sosial, dan makhluk individu. Banyak sekali ungkapan yang mengemukakan tentang betapa tinggi kedudukan seorang pendidik menurut perspektif Islam, antara lain: - Pendidik mempunyai kedudukan mulia, setingkat di bawah para nabi dan rasul - Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) karena ia mendidik jiwa, akal, dan roh manusia. Kode etik adalah segala norma kebaikan (dan keburukan) yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dengan murid, dengan sesama guru atau rekan sejawat, dengan atasannya, dengan pegawai tata usaha, dengan orang tua murid, dan dengan masyarakat. Apabila semua hubungan yang diatur di dalam kode etik ini dijalankan dengan baik, maka akan mempermudah tercapainya tujuan pendidikan. Dalam pelaksanaannya, sangat dibutuhkan kerja sama semua pihak yang terkait dalam pendidikan, tidak hanya membebankan kepada satu unsur saja, seperti hanya kepada seorang pendidik, tetapi perlu mendapat dukungan dari pihakpihak lain.

(Endnotes)

1

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), Cet. I, h. 74-75

2 Surya Subrata, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. I, h. 26 3 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1990), h.168

4 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 75 5 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 76 6 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 168 7 Muhammad Athiyah Al-Abrasy, Dasar-darsar Pendidikan Islam, Terjemahan Bustami Abdul Gani,(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 135-136

8 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terjemahan Ismail Yakub, (Semarang: Faizan, 1979),Cet. VI, h. 65-70

9 Team Dosen IKIP Malang, 1981 10 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, (PTRaja Grafindo Persada, 1993), Cet. V, h. 15

11 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, h.16 12 Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, h. 17

13 Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar dan Teori Pendidikan, (Surabaya: UsahaNasional, 1982), h. 147

BAB V PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam dunia pendidikan tentunya tidak lepas dari pembicaraan masalah proses berlangsungnya belajar mengajar, baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Pada intinya dalam proses belajar mengajar terdapat dua komponen pendidikan yang sangat esensial eksistensinya, yaitu pendidik dan peserta didik. Dikatakan esensial eksistensi keduanya karena sangat berpengaruh terhadap tujuantujuan pendidikan yang dituangkan dalam undang-undang. Sebuah lembaga pendidikan dikatakan berhasil tidak hanya dilihat dari banyaknya peserta didik yang dihasilkan, namun ada yang sangat urgen dari hal tersebut yaitu mampukah sebuah lembaga pendidikan menciptakan lulusannya yang berkualitas dan purnadimensial. Peserta didik merupakan raw material (bahan mentah) dalam proses transformasi pendidikan. Karena ia akan dididik sedemikian rupa sehingga menjadi manusia yang mempunyai intelektualitas tinggi dan akhlak yang mulia. Mungkin di satu pihak peserta didik sebagai objek pendidikan, namun di lain pihak peserta didik bisa dikatakan sebagai subjek pendidikan. Pada bab ini akan dibahas mengenai peserta didik dalam pendidikan Islam yang meliputi pembahasan tentang pengertian peserta didik, kedudukan peserta didik, kode etik peserta didik, kriteria peserta didik dalam pendidikan Islam, dan pendekatan-pendekatan peserta didik.

A. Pengertian Peserta Didik1 Dalam ilmu pendidikan banyak sekali pengertian tentang peserta didik yang dikeluarkan oleh para pakar pendidikan. Namun perlu digarisbawahi pada setiap pendapat para pakar tersebut dengan tanpa menyalahinya, bahwa dari sudut mana ia memberikan pengertian tentang peserta didik itu. Al-Ghazali memberikan pengertian tentang peserta didik sebagai anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dari pendidikan. Pendapat Al-Ghazali ini lebih menekankan peserta didik dari sudut keagamaan, karena ia (Al-Ghazali) memberikan argumennya melalui kata fitrah yang berarti suci dan menurut hadis Nabi Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Al-Ghazali juga mengatakan peserta didik sebagai objek utama pendidikan. Jika peserta didik dikatakan sebagai objek pendidikan, maka tak ubahnya peserta didik bagaikan sebuah wadah kosong yang bisa diisi apa saja oleh orang (pendidik) dengan tanpa mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam ciduk tersebut. Hal ini bisa menjadikan anak didik pasif, tidak memberikan pikirannya, argumen dan daya nalarnya, peserta didik menerima begitu saja setiap yang diberikan oleh pendidiknya, tidak aktif dan pendidik cenderung bersikap otoriter. Keadaan semacam ini biasanya terjadi di lembaga pendidikan yang masih tradisional, terpencil dan jauh dari suasana perkotaan. Namun ada juga sisi positifnya dari pendapat Al-Ghazali yaitu peserta didik lebih menghormati para pendidiknya.

Selain definisi yang dikemukakan Al-Ghazali, ada juga yang mendefinisikan peserta didik sebagai mitra pendidik. Seseorang yang memandang peserta didik sebagai mitra pendidik ini lebih menekankan peserta didik dari sudut psikologis. Dengan alasan kalau peserta didik dianggap sebagai mitra pendidik, maka terjadi hubungan pendekatan yang lebih harmonis antara pendidik dan peserta didik. Ada sisi baiknya pendapat yang mengatakan demikian di antaranya peserta didik lebih bebas mengeluarkan pendapatnya, daya nalarnya dan pemikirannya sekalipun itu bertentangan dengan yang dikemukakan pendidiknya. Dalam hal ini peserta didik ditempatkan sebagai subjek pendidikan karena anak didik cenderung bersikap aktif. Salah satu kelemahan pendapat tersebut adalah peserta didik cenderung kurang atau bahkan tidak menghormati dan patuh kepada pendidiknya dan kode etik yang ada pada dirinya. Jika demikian halnya, maka ada baiknya kita mengambil benang merah dari definisi tentang peserta didik yang penuh dengan fenomena. Secara universal, baik itu Islam atau non Islam, pengertian peserta didik adalah seseorang dalam artian umum, baik dewasa ataupun belum dewasa yang sedang menjalankan proses pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal sehingga menghasilkan sesuatu yang yang tidak ada pada diri peserta didik menjadi ada, baik itu berupa ilmu pengetahuan, etika maupun keterampilan yang hasilnya teraplikasi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah beberapa pengertian yang dapat dijabarkan, yang pada intinya peserta didik adalah orang yang sedang menjalankan proses belajar. Namun perbedaan yang diberikan oleh para pakar adalah perbedaan redaksional dan sudut pandang saja.

B. Kedudukan Peserta Didik Berbicara tentang kedudukan peserta didik sangat erat kaitannya dengan pengertian peserta didik yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyak sekali pendapat yang mengemukakan kedudukan peserta didik, namun pada hakikatnya adalah sama dan tidaklah bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi tentunya setiap pendapat sudah pasti memiliki kelebihan dan kelemahan yang dapat saling melengkapi. Al-Ghazali mengatakan bahwa kedudukan peserta didik adalah sebagai objek pendidikan. Ada benarnya pendapat Al-Ghazali tersebut karena peserta didik adalah orang yang dikenai, diajarkan, dididik, dan dibina oleh pendidik. Kelemahan dari pendapat tersebut adalah peserta didik menjadi pasif, tidak mengeluarkan pendapatnya dan terlalu mengkultuskan pendidiknya. Sisi positif dari pendapat Al-Ghazali tersebut adalah peserta didik lebih menghormati pendidiknya dan pendidikannya lebih terarah sebagaimana yang diharapkan oleh pendidik. Ada juga yang mengatakan bahwa kedudukan peserta didik dalam pendidikan Islam adalah sebagai mitra pendidik. 2 Tujuan yang ingin dicapai dari pendapat demikian agar peserta didik dapat mengembangkan intelektualnya. Peserta didik bebas berpendapat sekalipun pendapatnya itu bertentangan dengan pendidiknya, dan penalaran peserta didik lebih aktif. Pendapat seperti ini banyak sekali dipakai pada pendidikan Barat di mana peserta didik dan pendidiknya seperti teman belaka. Kelemahan yang terdapat dalam sistem pendidikan seperti ini, di antaranya peserta didik kurang menghormati pendidiknya dan pendidikan yang ada pada peserta didik kurang terarah sebagaimana yang dikehendaki oleh pendidiknya. Selain dari dua pendapat di atas, ada juga pendapat yang menyatakan kedudukan peserta didik sebagai orang/murid untuk menuangkan ilmu dari pendidiknya. Pendapat demikian itu telah keluar dari tujuan-tujuan pendidikan Islam. Dengan alasan apabila peserta didik dikatakan sebagai murid untuk menuangkan ilmu dari pendidiknya, berarti tugas pendidik hanyalah mengajar, tidak mendidik peserta didiknya.

Sedangkan yang terakhir adalah pendapat yang menyatakan bahwa peserta didik adalah orang yang sedang belajar. Pendapat seperti ini bisa saja diterima karena memang pada dasarnya peserta didik adalah orang yang sedang belajar. Akan tetapi perlu diketahui bahwa seseorang yang sedang belajar belum tentu ia sedang dididik, maka dari itu agar lebih sempurna pendapat ini ditambahkan yaitu peserta didik berkedudukan sebagai orang yang sedang belajar dan mendapatkan pendidikan.

C. Kode Etik Peserta Didik Peserta didik dalam suatu satuan pendidikan mempunyai kewajiban-kewajiban dan juga hak-hak yang harus diperhatikan.Kewajiban dan hak peserta didik sering disebut juga dengan istilah kode etik peserta didik. Al-Ghazali menekankan kode etik peserta didik dari segi tasawuf, karena memang ia seorang sufi. Ia lebih memperhatikan sikap peserta didik kepada pendidik. Kode etik peserta didik yang diajarkan oleh Al-Ghazali antara lain: 1) Jangan berbicara di hadapan guru, 2) Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru,3) Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu. 4) Jangan bertanya kepada guru di tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah. 5) Jangan berunding dengan teman di tempat duduknya atau bicara dengan guru sambil tertawa. Namun, pendapat Al-Ghazali tentang kode etik peserta didik di zaman sekarang banyak diabaikan padahal pendapat yang diberikan Al-Ghazali sangat sesuai dengan ajaran Islam. Adapun di negara kita masalah kode etik peserta didik telah diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada bab V pasal 12 ayat 2 disebutkan setiap peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.

D. Kriteria Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam Peserta didik dalam pendidikan Islam sebenarnya memiliki kriteria-kriteria yang sedikit berbeda dengan peserta didik umum. Kriteria peserta didik dalam pendidikan Islam mungkin sangat erat dengan kode etik peserta didik itu sendiri. Adapun kriteria yang akan disebutkan nanti bukan berarti kewajiban yang memang harus ada secara paksa, melainkan secara universal. Kriteria tersebut adalah norma yang diajarkan dalam agama Islam. Kriteria itu antara lain: 1) Peserta didik dalam pendidikan Islam tidak mengenal usia, dalam arti setiap individu muslim berkewajiban untuk menuntut ilmu dari ia dilahirkan sampai ia meninggal (life long education). 2) Peserta didik dalam pendidikan Islam selalu menghormati sopan santun dan tata krama yang baik terhadap pendidik dan dalam pergaulan sehari-hari. 3) Peserta didik dalam pendidikan Islam menanggapi suatu persoalan tidak hanya mencari solusinya dengan satu disiplin ilmu, melainkan dari berbagai aspek keilmuan. 4) Peserta didik dalam pendidikan Islam dalam mengambil suatu keputusan ataupun untuk mengeluarkan pendapatnya tidak boleh bertentangan dengan aqidah, Al-Qur an dan Hadis. Pendidikan Islam haruslah menyajikan materi pendidikan yang menyatu dengan jiwa dan akal peserta didik sehingga dapat mewujudkan nilai etis atau kesucian, yang merupakan nilai dasar bagi seluruh aktivitas manusia, sekaligus harus mampu melahirkan keterampilan dalam materi yang diterimanya. Hal ini menjadi suatu kewajiban karena merupakan tujuan pendidikan menurut konsep Al-Qur an dan Hadis.

E. Pendekatan-pendekatan Peserta Didik Pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam usaha mempengaruhi peserta didik dalam proses pendidikan terdapat tiga pendekatan, yaitu: pendekatan sosial (social approach),

pendekatan

psikologi

(psychology

approach),

dan

pendekatan

edukatif

(paedagogis

approach). Pendekatan sosial yaitu menempatkan anak didik sebagai anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Pendekatan psikologis yaitu menempatkan anak didik sebagai suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Pendekatan edukatif yaitu menempatkan anak didik sebagai unsur yang sangat penting dalam rangka proses pendidikan.

F. Kesimpulan 1. Peserta didik adalah seseorang dalam arti umum, baik dewasa ataupun belum dewasa yang sedang menjalankan proses pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal sehingga menghasilkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya menjadi ada, baik itu berupa ilmu pengetahuan, etika maupun keterampilan yang hasilnya teraplikasi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Kedudukan peserta didik ada yang mengatakan sebagai objek pendidikan, ada juga yang mengatakan sebagai subjek pendidikan, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. 3. Peserta didik dalam menjalankan tugasnya di dalam pendidikan mempunyai kode etik atau peraturan tentang peserta didik yang isinya mencakup tentang kewajiban-kewajiban dan hakhak peserta didik. 4. Pendekatan-pendekatan terhadap anak didik meliputi pendekatan sosial, pendekatan psikologis dan pendekatan paedagogis.

Endnote

1Dalam pendidikan Islam, istilah lain untuk peserta didik adalah al-shabiy, murid, almuta alim, thalib al-ilmi, tilmiz, thifl. Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h, 249; Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Muda Pratama, 2005), h. 131; Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 74 2Mitra lebih identik dengan subyek atau pelaku pendidikan. Lihat; Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 47

BAB VI ALAT PENDIDIKAN ISLAM

Berhasil atau tidaknya proses pendidikan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendukung. Karena itu pendidikan Islam memerlukan landasan, tujuan, lingkungan, dan tidak kalah pentingnya alat-alat pendidikan yang dapat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Pada bab ini akan dibicarakan salah satu faktor pendukung pendidikan, yaitu alat pendidikan. Tinjauan tentang alat pendidikan ini meliputi pengertian alat pendidikan, fungsi alat pendidikan, jenis-jenis alat pendidikan, dan penggunaan alat pendidikan.

A. Pengertian Alat Pendidikan

Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat menunjang kelancaran proses pelaksanaan pendidikan. Pengertian ini mengarah pada alat sebagai sarana. Kata alat memang identik dengan benda, tetapi alat pendidikan tidak hanya terdiri dari benda-benda konkret saja, tetapi juga benda abstrak seperti nasihat, bimbingan, hukuman, hadiah, dan sebagainya. Menurut Sutari Imam Barnadib, alat pendidikan yaitu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. 1 Pengertian ini mengarah pada alat sebagai metode dan alat sebagai sarana. Sedangkan menurut Roestiyah NK alat pendidikan adalah metode dan teknik yang digunakan dalam rangka meningkatkan efektivitas komunikasi dan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Pengertian ini mengarah pada alat sebagai metode.

B. Jenis-jenis Alat Pendidikan Banyak sekali alat-alat yang digunakan sebagai alat pendidikan. Namun secara garis besar alat pendidikan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu alat pendidikan yang bersifat konkret dan alat pendidikan yang bersifat abstrak. Contoh alat pendidikan yang bersifat konkret adalah manusia, alam dan benda-benda, sedangkan contoh alat pendidikan yang bersifat abstrak adalah hal-hal yang ada pada manusia seperti pengetahuan, pengalaman, kebiasaan, nasihat, bimbingan, hukuman, hadiah, dan sebagainya.

Berikut ini dijelaskan alat-alat pendidikan tersebut: 1. Manusia, terdiri dari pendidik dan anak didik Pendidik dan anak didik adalah alat pendidikan yang bertanggung jawab khusus dalam hal pemilihan alat-alat2. Dalam diri pendidik dan anak didik terdapat alat pendidikan yang bersifat abstrak, antara lain: a. Pengetahuan, contohnya seorang murid yang mempelajari Al Quran harus memiliki pengetahuan bahasa Arab. Maka pengetahuan bahasa Arab sebagai alat pendidikan dalam mempelajari AlQur an. b. Pengalaman, pengalaman dijadikan sebagai alat pendidikan ini sesuai dengan pepatah Belajarlah dari pengalamanmu. c. Keterampilan, murid yang mempelajari Al-Qur an harus memiliki keterampilan membaca dan menulis untuk memperlancar proses belajar mengajar. d. Kebiasaan, contoh dalam pelajaran Fiqh perlu ditanamkan kebiasaan pada murid dalam praktik shalat agar kebiasaan tersebut memudahkan murid untuk cepat mengerti. e. Tingkah laku perbuatan/teladan, anak didik itu mudah meniru dan mengikuti semua tingkah laku, baik perbuatan ataupun cara bicara karena itu pendidik harus memberikan contoh yang baik. Dalam hal ini Rasulullah juga memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan hari kiamat dan banyak menyebut (mengingat) Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)

f. Anjuran atau perintah, dengan anjuran/perintah ini diharapkan anak didik mendengar apa yang harus dikerjakan. Contoh ayat Al-Qur an yang berupa perintah/anjuran adalah:

Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan

(QS. Al-Maidah: 2)

g. Larangan, dengan larangan ini diharapkan anak didik mendengar apa yang harus ditinggalkan. Contoh ayat Al-Qur an yang berupa larangan adalah:

Artinya: Dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2) h. Hukuman adalah konsekwensi dari pelanggaran terhadap perintah atau larangan Alat pendidikan yang bersifat abstrak di atas dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Alat-alat pendidikan yang sesuai dengan taraf perkembangan anak dan taraf sukarnya alat tersebut diterima oleh peserta didik, seperti pengetahuan, kebiasaan, dan keterampilan. 2. Alat-alat langsung atau alat-alat positif yaitu alat-alat yang bersifat menganjurkan sejalan dengan maksud usaha, seperti anjuran, perintah, dan suri tauladan. 3. Alat-alat tidak langsung atau alat-alat negatif yaitu alat-alat yang bersifat pencegahan dan pembasmian hal-hal yang bertentangan dengan tujuan, antara lain larangan, hukuman, peringatan, dan sejenisnya.

2. Alam Alam semesta ciptaan Tuhan juga dapat dijadikan sebagai alat pendidikan, baik alam nyata maupun alam tidak nyata. Contoh alam nyata yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan adalah perubahan siang dan malam, peristiwa-peristiwa alam (hujan, kilat, panas). Semua itu alat pendidikan yang langsung dapat kita rasakan dan kita lihat. Sedangkan contoh alam tidak nyata yang dijadikan sebagai alat pendidikan yaitu seorang guru yang mengajarkan ilmu ghaib kepada muridnya sehingga ia dapat berkomunikasi dengan makhluk halus seperti jin dan jin tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk melakukan hal di luar kemampuan manusia. Selain itu dalam Al-Qur an surat Al-Ghasiyah ayat 17-21 juga dijelaskan bahwa alam ini diciptakan sebagai peringatan. Di antara peringatan itu adalah agar manusia memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan sehingga manusia dapat mengambil pelajaran dari peringatan tersebut.

3. Benda-benda Dalam hal ini benda-benda yang dapat dijadikan sebagi alat pendidikan lebih mengacu pada jenis konkret. Benda konkret ini terbagi dua, yaitu: 1. Benda-benda tradisional Maksud benda tradisional ini adalah benda-benda yang tidak memerlukan teknologi modern dalam pembuatan dan penggunaannya. Contohnya papan tulis, buku-buku cetak, gambar, lukisan, peta, dan lain sebagainya. 2. Benda-benda modern Contoh benda modern yang dijadikan sebagai alat pendidikan adalah gambar yang diproyeksikan dengan alat seperti foto, film, slide, televisi, video, dan lain-lain. Sedangkan

contoh alat untuk didengar adalah audio tape recorder, radio, piringan hitam, CD Audio, dan lain-lain.

C. Fungsi Alat Pendidikan Secara garis besar fungsi alat pendidikan dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Sebagai Perlengkapan Sebagai perlengkapan, alat pendidikan membantu mempermudah pelaksanaan proses pendidikan, karena itu jangan sampai alat tersebut justru menghambat berlangsungnya proses pendidikan ini. Contoh, untuk menyeberangi sungai kita dapat memakai perahu, ban, jembatan dan sebagainya, maka kita harus memilih alat yang efisien dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam pendidikan kita mengambil contoh yaitu ketika mata kuliah muhadasah, tersedia alat-alat seperti spidol, papan tulis, kaset, tape, CD audio, ruang kelas dan ruang laboratorium bahasa. Alat tersebut harus disesuaikan dengan jenis mata kuliah, maka dari itu kita memilih tape, kaset, dan laboratorium bahasa. 2. Sebagai pembantu untuk mempermudah usaha mencapai tujuan Kami contohkan, ketika seorang murid mempelajari Al-Qur an, maka murid tersebut harus mempunyai modal berupa keterampilan berbahasa Arab untuk membantu dan mempermudah dirinya dalam mempelajari Al-Qur an tersebut. 3. Alat sebagai tujuan Contoh seorang belajar bahasa Arab dengan tujuan mengetahui isi Al-Qur an yang sesungguhnya.

D. Penggunaan Alat Pendidikan Setelah alat tersebut tersedia kita harus mengetahui bagaimana penggunaan alat tersebut karena penggunaan alat pendidikan tergantung pada banyak faktor. Kemampuan menyesuaikan alat yang digunakan dengan faktor yang mendukung merupakan penentu berhasil atau tidaknya suatu pendidikan mencapai tujuannya. 3 Penggunaan alat pendidikan harus disesuaikan dengan beberapa hal, antara lain: 1. Kematangan anak dalam menggunakan alat pendidikan. Dalam masalah ini peran pendidik sangat besar yaitu untuk membantu dalam pemilihan alat agar alat tersebut berfungsi sebagai penunjang efektivitas belajar bukan sebagai penghambat. Selain itu pemilihan alat pendidikan juga harus disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan siswa. 2. Ruangan dan waktu a. Ruangan adalah lingkungan yang ada di sekitar anak didik, contoh kelas. Jika seorang mengajar mengunakan metode diskusi maka ruangan kelas harus disesuaikan dengan metode itu. b. Waktu Jika seseorang mengajar pada waktu siang hari lalu digunakan metode ceramah. Apakah metode dan waktunya sudah sesuai? Menurut Zakiah Daradjat, pemilihan alat pendidikan harus disesuaikan antara lain:4 1. Pentingnya alat itu untuk mencapai tujuan atau kesesuaian alat itu dengan pengajaran 2. Alat itu harus disesuaikan dengan kemampuan siswa

3. Harus diperhatikan keadaan sekolah dan kondisi sekolah dalam pengadaan alat-alat pendidikan 4. Memperhatikan waktu yang tersedia untuk mempersiapkan alat dan penggunaannya di kelas 5. Harga atau biaya alat itu hendaknya sesuai dengan efektivitas alat E. Kesimpulan Pada dasarnya alat pendidikan itu adalah segala sesuatu yang digunakan untuk membantu kelancaran proses pendidikan, baik alat sebagai metode maupun alat sebagai sarana. Jenis-jenis alat pendidikan secara garis besar dapat dibedakan antara lain: manusia terdiri dari pendidik dan anak didik, alam terdiri dari alam nyata dan tidak nyata, serta benda terdiri dari benda tradisional dan benda modern. Fungsi alat pendidikan yaitu sebagai perlengkapan, pembantu pencapaian tujuan, dan sebagai tujuan. Sedangkan penggunaan alat pendidikan disesuaikan dengan kematangan anak didik dalam penggunaan alat tersebut dan masalah ruangan dan waktu. (Endnotes)

1 Jalaluddin dan Said Usman, Filasafat Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 1996), Cet. II, h. 56

2 3 4

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-Ma arif, 1989), Cet VIII, h. 55 Jalaluddin dan Usman Said, Filasafat Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Cet. II, h. 57 Zakiah Daradajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. II, h. 82 BAB VII KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Tujuan pendidikan di suatu negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan hidup negara tersebut yang mengakibatkanberbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan dan sekaligus akan berpengaruh pula terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negara tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi bidang pendidikan yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum senantiasa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Di Indonesia kurikulum merupakan produk baru dunia pendidikan. Sebelumnya lebih banyak digunakan rencana pengajaran dan selanjutnya digunakan Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PPSI). Kurikulum di Indonesia digunakan dan terus dibakukan dengan alasan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, psikologi anak, dan tuntutan kebutuhan anak, masyarakat dan zaman. Ada lima dasar yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan penyusunan maupun perubahan kurikulum, yaitu: 1. Falsafah negara 2. Perkembangan IPTEK dan kebudayaan 3. Tuntutan masyarakat terhadap hasil pendidikan

4. Ketenagaan dan praktik pendidikan 5. Kondisi sosiopsikologi anak didik Untuk lebih mengetahui hal ihwal kurikulum, baik dari segi asal-usul kurikulum sampai dengan perkembangannya, baik dalam pendidikan umum maupun pendidikan Islam, penulis akan menjabarkannya berikut ini.

A. Pengertian Kurikulum Di dalam kamus Webster s Third New International, istilah kurikulum awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno. Kurikulum dalam bahasa Yunani berasal dari kata curir artinya pelari, curere artinya tempat berpacu. Jadi secara etimologi kurikulum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.1 Pengertian kurikulum dalam dunia pendidikan terdapat banyak rumusan dari para ahli. Crow dan Crow merumuskan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. 2 Pendapat ini sangat sesuai dengan rencana pelajaran yang kita kenal pada sekolah-sekolah di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pendidik di negara-negara tersebut membatasi kurikulum pada dinding sekolah yang di dalamnya diajarkan suatu deretan mata pelajaran di mana murid-murid diwajibkan belajar dan menghafal dengan tekun. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum tersebut dipandang sudah ketinggalan zaman. Di kalangan pendidik modern timbul konsepsi baru dalam tentang definisi kurikulum, antara lain: 1. Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty dalam bukunya Reorganizing The High School Curriculum mengartikan kurikulum dengan aktivitas/kegiatan yang dilakukan murid sesuai dengan peraturan-peraturan sekolah.3 2. Menurut Saylor dan Alexander, sebagaimana dikutip S. Nasution, kurikulum bukan hanya sekadar memuat sejumlah mata pelajaran, tetapi termasuk di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.4 3. Zakiah Daradjat menyatakan kurikulum adalah suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.5 4. Hasan Langgulung dalam bukunya Manusia dan Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga, dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar kelas dengan maksud menolongnya untuk berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum tidak hanya berisi mata pelajaran dan kegiatan di dalam sekolah, tetapi juga mencakup berbagai aspek di luar sekolah yang berisi materi yang ditujukan untuk pengembangan potensi anak didik guna kepentingan hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya kurikulum mencakup empat aspek, yaitu: 1. Tujuan pendidikan yang akan dicapai kurikulum itu

2. Pengetahuan atau materi pelajaran 3. Metode, cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang. 4. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum. 6

B. Kurikulum Menurut Pendidikan Islam Adapun pengertian kurikulum dalam pendidikan Islam, jika kita kembali kepada kamuskamus Bahasa Arab, maka kita dapati kata-kata manhaj yang bermakna jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru latih dengan orang-orang yang terdidik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. Pengertian yang sempit tersebut bukan hanya berlaku di dunia Islam, tetapi juga berlaku pada sebagian negeri-negeri Timur, Afrika, dan Barat yang bukan Islam. Mengapa demikian? Karena kurikulum pada sebagian besar dunia Islam pada periode akhir dalam sejarahnya belum berkenalan dengan konsep pendidikan modern. Baru pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para pendidik modern mulai mengecam konsep, metode, dan alat-alat pendidikan yang berlaku di masjid-masjid, universitas-universitas Islam yang mulai muncul dalam dunia Islam pada pertengahan abad ke-19. Kecaman-kecaman para pendidik modern telah menarik perhatian para pendidik dan perencana kurikulum dalam dunia Islam dan telah mendorong para pendidik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan mereka dengan mengikuti semangat pendidikan modern di dunia Barat. Kecaman tersebut juga telah mengubah definisi mereka mengenai kurikulum, yaitu bahwa kurikulum tidak hanya meliputi mata pelajaran dan pengalaman yang tersusun yang berlaku di dalam kelas, tetapi meliputi semua kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga dan sosial yang dikerjakan oleh murid-murid di luar jadwal waktu dan di luar kelas di bawah bimbingan sekolah.7 Adapun tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan hakikat penciptaan manusia. Dalam hal ini, maka pengertian kurikulum pendidikan Islam berisi materi pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan Nabi yang berbunyi: Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. 8 Kurikulum dalam pendidikan Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu: 1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlakul karimah, baik dalam tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaannya 2. Kandungan materi pendidikan mencakup aspek jasmaniah, intelektual, psikologi, maupun spiritual 3. Adanya keseimbangan antara ilmu syariat dengan ilmu akliyat 4. Tidak melupakan bahan maupun apresiasi seni, tetapi juga tidak merusak perkembangan akhlakul karimah 5. Mempertimbangkan perkembangan dan kondisi peserta didik.9

C. Dasar, Prinsip, dan Fungsi Kurikulum 1. Dasar Kurikulum

Dasar kurikulum adalah kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk materi, susunan, atau organisasi kurikulum. Dasar kurikulum disebut juga sumber kurikulum atau determinasi kurikulum (penentu). Herman H. Horne membagi dasar kurikulum menjadi 3 macam, yaitu: a. Dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and needs of children) b. Dasar sosiologi, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari masyarakat (the legitimate demands of society) c. Dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live)

Pendapat Herman di atas sesungguhnya belum menjamin bahwa suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum memasukkan nilai-nilai yang wajib diresapi oleh anak sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. 10 Nilai-nilai yang wajib diresapi oleh anak menurut Al-Syaibani adalah nilai agama Islam yang berdasarkan Al-Qur an dan Hadis. Oleh karena itu, Al-Syaibani menetapkan 4 dasar dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu:

1. Dasar Agama Sistem pendidikan Islam harus meletakkan dasar falsafah, tujuan dan kurikulum pendidikan Islam yang pada dasarnya berdasarkan Al-Qur an dan Hadis. Karena kedua kitab tersebut merupakan nilai kebenaran yang universal, abadi dan bersifat futuristik. Nabi SAW bersabda:

Artinya: Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh dengan keduanya, kamu tidak akan tersesat, yakni kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Hakim) Di samping kedua sumber tersebut, masih ada sumber lain, yaitu dasar yang bersumber pada dalil ijtihadi.11 Dalil ijtihadi dapat berupa ijma (konsensus para ulama), qiyas (analogi), istihsan, istishab, masalihul mursalah, madzhab sahabi, sadzuz dzari ah, syar uman qablana, dan uruf.12

2. Dasar Falsafah Falsafah pendidikan Islam tidak tergolong kepada falsafah manapun buatan manusia, baik yang tradisionil maupun yang progresif, tetapi ia mempunyai ciri khas sendiri yaitu memperoleh wujudnya dari Tuhan Yang Mulia, bimbingan nabi dan pemikiran Islam yang betul sepanjang masa. Namun perbedaan falsafah Islam dengan falsafah lain tidaklah bertentangan dengan adanya persamaan antar falsafah-falsafah buatan manusia yang tradisionil maupun yang progresif. Di antara persamaan-persamaannya yaitu: a. Dengan falsafah idealisme yaitu kepercayaan terhadap nilai-nilai spiritual dan idealis yang ada akhirnya kembali kepada wahyu penciptaan yang maha tinggi dan mulia b. Dengan falsafah realisme natural yaitu kepercayaan bahwa alam nyata ini adalah alam yang sebenarnya yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengamatinya c. Dengan falsafah humanisme intelektual bahwa ia meninggikan tujuan, akal dan ilmu-ilmu kemanusiaan

d. Dengan falsafah realisme klasik bahwa ia mengakui wahyu Tuhan dan ilham sebagai dua sumber antara sumber-sumber dasar bagi pengetahuan, menghormati pemikiran dan penafsiran akal dengan mengakui peranan utama akal yaitu mencari kebenaran. e. Dengan falsafah naturalisme romantik yaitu memberontak kejumudan dan menaruh perhatian terhadap kehidupan aktual dan kontekstual dan menghormati keinginan dan kebutuhan individu. f. Dengan falsafah pragmatis bahwa ia mempercayai pentingnya membuka rahasia segala bidang kemanfaatan pada benda-benda yang memberi kebahagiaan bagi manusia.

3. Dasar Psikologis Dasar psikologis berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan pelajar, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan, minat, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses belajar, dan pengamatan mereka terhadap sesuatu.

4. Dasar Sosial Dasar utama kurikulum pendidikan Islam tergambar pada dasar sosial yang antara lain mengandung ciri-ciri masyarakat Islam yang berlaku pada proses pendidikan dan kebudayaan masyarakat yang bersifat umum atau khusus. Tugas kurikulum sendiri menurut dasar sosial adalah turut serta dalam proses pemasyarakatan bagi para pelajar agar para pelajar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat Islam tempat mereka hidup. Dan juga yang menjadi tugas pendidikan Islam adalah menyiapkan murid-murid memikul tanggung jawab dan perananperanan sosial yang diharapkan dari mereka dalam masyarakat Islam.13 Empat dasar di atas dilengkapi oleh S. Nasution yaitu dasar organisatoris. Dasar ini mengenai penyajian bahan pelajaran. Organisasi kurikulum dasar ini berpijak dari ilmu jiwa asosiasi yang menganggap keseluruhan adalah jumlah bagian-bagiannya sehingga menjadikan kurikulum merupakan mata pelajaran yang terpisah-pisah.

2. Prinsip-prinsip Kurikulum Adapun prinsip-prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam tidaklah beda dengan prinsip kurikulum pendidikan umum, yaitu: a. Prinsip yang Berorientasi pada Tujuan Al-umuru bimaqasidiha merupakan adagium ushuliyah yang berimplikasi pengusulan agar seluruh aktivitas kurikulum terarah sehingga tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya tercapai.14 b. Prinsip Relevansi Secara umum prinsip relevansi pendidikan dapat diartikan sebagai kesesuaian atau keserasian pendidikan dengan tuntunan vertikal dalam mengemban nilai-nilai. Masalah relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat ditinjau dari 3 segi, yaitu: 1. Relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup murid 2. Relevansi pendidikan dengan perkembangan kehidupan akan datang 3. Relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia pekerjaan c. Prinsip Efektivitas masa sekarang dan masa yang

Efektivitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana sesuatu yang direncanakan dapat terlaksana dalam dunia pendidikan. Efektivitas ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu efektivitas mengajar guru dan efektivitas belajar murid. d. Prinsip Efisiensi Efisiensi suatu usaha pada dasarnya merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan usaha yang telah dilakukan (input) sehingga hasilnya memadai dan memenuhi harapan. e. Prinsip Kesinambungan Kesinambungan di sini maksudnya adalah adanya saling hubungan atau jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan. f. Prinsip Fleksibilitas Yang dimaksud fleksibiltas adalah tidak kaku artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak. g. Prinsip Integritas Implikasinya adalah pengupayaan kurikulum tersebut agar menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang mampu mengintegrasikan antara zikir dan fikir serta manusia yang dapat menyelenggarakan struktur kehidupan dunia dan akhirat. h. Prinsip Kontinuitas Implikasinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal. i. Prinsip Objektivitas Implikasinya adalah kurikulum tersebut dilakukan melalui tuntutan kebenaran ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh emosi dan irrasional. j. Prinsip Demokrasi Implikasinya adalah pelaksanaan kurikulum harus dilaksanakan secara demokratis, artinya saling memahami keadaan dan situasi tiap-tiap subjek dan objek kurikulum.15

k. Prinsip Analisis Kegiatan Prinsip ini mengandung tuntutan agar kurikulum dikonstruksikan melalui proses analisis isi bahan pelajaran serta analisis tingkah laku yang sesuai dengan isi materi pelajaran. l. Prinsip Individualisasi Prinsip ini memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada umumnya yang meliputi seluruh aspek pribadi anak didik, seperti perbedaan jasmani, watak, intelegensi, bakat, serta kelebihan dan kekurangannya.16 m. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup Prinsip ini diterapkan dalam kurikulum mengingat keutuhan potensi subyek. Manusia sebagai subyek yang berkembang dan perlunya keutuhan wawasan manusia yang sadar akan nilai (yang menghayati dan yakin akan cita-cita dan tujuan hidupnya).

2. Fungsi Kurikulum Adapun fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam ada 4 fungsi, yaitu:

a. Alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. b. Pedoman dan program yang harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan c. Fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan d. Standar dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada catur wulan, semester, maupun pada tingkat pendidikan tertentu.

D. Bentuk-bentuk Kurikulum Bentuk kurikulum sendiri dalam pengertian falsafah adalah bentuk pengetahuan. Pada awalnya merupakan kerangka bagian dari dasar-dasar pembentukan kurikulum pendidikan Islam, yang meliputi tuntutan untuk mematuhi hukum-hukum Allah. Muhammad Fadhil Al-Jamaly memberi rumusan tersebut sebagai berikut: 1. Larangan mempersekutukan Allah 2. Berbuat baik kepada kedua orang tua 3. Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanah Allah 4. Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin. 5. Menjauhi permusuhan dan tindakan makar 6. Menyantuni anak yatim dan memelihara hartanya 7. Tidak melakukan perbuatan di luar kemampuan 8. Berlaku jujur dan adil 9. Menepati janji dan menunaikan perintah Allah 10. Berpegang teguh kepada ketentuan hukum Allah Kerangka tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk materi yang sejalan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu pendidikan akhlak dan juga harus memenuhi kriteria-kriteria pencapaiannya, yaitu adanya signifikansi, berhubungan dengan kebutuhan sosial, disesuaikan dengan minat dan perkembangan manusia, serta mengikuti disiplin ilmu yang telah disepakati. Untuk itu, ada syarat yang perlu diajukan dalam perumusan isi/bentuk kurikulum, yaitu: 1. Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia 2. Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu dalam rangka ibadah kepada Allah SWT 3. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik 4. Perlunya membawa anak didik kepada objek empiris, sehingga anak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan dalam masyarakat 5. Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi dan terlepas dari kontradiksi antar materi satu dengan materi yang lain. 6. Materi yang disusun harus memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang hangat 7. Adanya metode sehingga mampu mencapai materi pelajaran 8. Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis 9. Materi yang disusun mempunyai fungsi pragmatis tersendiri17

Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, disusunlah bentuk/isi kurikulum pendidikan Islam. Para ahli berbeda-beda dalam pembagian bentuk/isi kurikulum. Berikut adalah pendapat-pendapat mereka: 1. Menurut Ibnu Sina, ilmu dibagi berdasarkan tujuan, manfaat, serta sifatnya masing-masing. Berdasarkan sifatnya ilmu dibagi atas ilmu yang bersifat sementara dan ilmu yang bersifat abadi. Dilihat dari tujuannya ilmu dibagi atas ilmu teoritis dan ilmu praktis, dan yang tergolong ilmu teoritis adalah IPA, matematika, metafisika, dan fisika. Sedangkan ekonomi, politik, dan syariah digolongkan ke dalam ilmu praktis. 2. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu menjadi 6 kelompok, yaitu bahasa, logika, matematika, ilmu pengetahuan alam, metafisika, dan ilmu sosial. 3. Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi 3 kategori, yaitu ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diambil dari Al-Qur an dan Hadis, ilmu aqliyah yaitu ilmu yang diambil dari daya fikir manusia, dan ilmu lisan, seperti ilmu nahwu, bayan dan adab. 4. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi 4 jenis dengan mempertimbangkan jenis dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu ilmu-ilmu Al-Qur an, ilmu bahasa, ilmu fardhu kifayah dan ilmu-ilmu cabang filsafat. 5. Muhammad Fadhil Al-Jamaly menyarankan agar kurikulum pendidikan Islam berisi materi yang dikehendaki Al-Qur an, seperti ilmu agama, sejarah, falak, dan sebagainya. Walaupun berbeda-beda pembagiannya, tetapi pada akhirnya mereka sepakat bahwa bentuk/isi kurikulum terbagi atas 2 macam, yaitu perennial (naqliyah) dan acquired (aqliyah). Perennial diterima melalui wahyu, sedangkan acquired diperoleh melalui imajinasi dan pengalaman indera. Adapun rinciannya sebagai berikut: 1. Kelompok Perennial, terdiri dari: a. Al-Qur an meliputi qira at, hifz, tafsir, sunnah, siroh, tauhid, fiqh, ushul fiqh, bahasa AlQur an, baik fonologi, sintaksis, maupun semantik. b. Mata pelajaran bantu, meliputi metafisis alam, perbandingan agama, dan kultur Islam. 2. Kelompok Acquired, terdiri dari: a. Seni, meliputi seni arsitektur, bahasa dan sebagainya. b. Seni intelek, meliputi pengetahuan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan sebagainya. c. Ilmu murni, meliputi ilmu filsafat sains, matematika, statistik, kimia, biologi, dan sebagainya. d. Ilmu terapan, meliputi engineering dan teknologi, ilmu kedokteran, dan sebagainya. e. Ilmu praktik, meliputi ilmu perdagangan, administrasi, perpustakaan, komunikasi, dan sebagainya.18 Tampaknya secara prinsipil, kurikulum pendidikan Islam tak lepas dari dasar dan tujuan falsafah pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa bagian materi dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman dan lingkungan hidup manusia, tetapi keterkaitannya dengan hakikat kejadian manusia sebagai khalifah dan pengabdi Allah yang setia tidak dapat dilepaskan sama sekali.

E. Model-model Konsep Kurikulum Pendidikan Islam Dari sekian banyak pendapat para ahli mengenai model-model konsep kurikulum dapat dimodifikasikan sebagai berikut:

1. Kurikulum sebagai model subyek akademik. Model kurikulum ini sangat mengutamakan pengetahuan sehingga pendidikan diarahkan lebih bersifat intelektual. Model subyek akademik ini mengalami perkembangan menjadi 3 struktur disiplin, yaitu: a. Aliran yang melanjutkan disiplin struktur. Aliran ini menonjolkan proses penelitian ilmiah, baik masalah sosial, nilai-nilai maupun kebijaksanaan tokoh-tokoh pemerintah. b. Pelajaran terpadu. Dalam memahami masalah yang kompleks, aliran ini menggunakan beberapa disiplin ilmu yang terpadu. Oleh karena itu, pendekatannya adalah interdisipliner. c. Pendidikan fundamental. Aliran ini mementingkan isi dan materi, di samping cara-cara dan proses berfikir. 2. Kurikulum sebagai model humanistik (aktualisasi diri). Model ini berfungsi menyediakan pengalaman yang berharga bagi anak didik dan membantu kelancaran perkembangan pribadi anak didik. Jadi kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk menciptakan unsur kreativitas, spontanitas, kemandirian, kebebasan, aktivitas, pertumbuhan dari dalam, termasuk keutuhan anak sebagai keseluruhan, minat, dan motivasi intrinsik. 3. Kurikulum sebagai model rekonstruksi sosial. Kurikulum model ini pada dasarnya menghendaki adanya proses belajar yang menghasilkan perubahan secara relatif tetap dalam perilaku, yaitu dalam berfikir, merasa, dan melakukan.

F. Kesimpulan 1. Kurikulum adalah seluruh usaha sekolah atau sejumlah pengalaman yang diberikan oleh sekolah kepada peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas. Dalam pendidikan Islam kurikulum memiliki dasar agama dan akhlakul karimah yang bersumber dari Al-Qur an dan Hadis. 2. Dasar kurikulum meliputi dasar agama, filosofis, psikologis, sosial, dan organisatoris. 3. Prinsip kurikulum meliputi prinsip yang berorientasi pada tujuan, relevansi, efektivitas, efisiensi, kesinambungan, fleksibilitas, integritas, kontinuitas, objektivitas, demokrasi, analisis kegiatan, individualisasi, dan rinsip pendidikan seumur hidup. 4. Fungsi kurikulum meliputi kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai pedoman proses pendidikan, sebagai kesinambungan antara jenjang sekolah dan sebagai standar untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan. 5. Pembagian materi/isi kurikulum meliputi perennial (naqliyah) dan acquired (aqliyah). 6. Model-model konsep kurikulum meliputi: a. Kurikulum sebagai model subyek akademik b. Kurikulum sebagai model humanistik c. Kurikulum sebagai model rekonstruksi sosial

(Endnotes)

1 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah,2

3

(Bandung: Sinar Baru, 1991), Cet. II, h. 4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h. 123 Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 58

S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran 5 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, t.th.), Cet. III, h. 122 6 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1993), Cet. III, h. 145 7 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 478-484 8 Jalaludin Usman dan Usman Said, Falsafah Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II, h. 44-45 9 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 489512 10 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), Cet. I, h. 186 11 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Cet. VII, h. 175 12 Tim DEPAG RI, Ushul Fiqh, (Jakarta: Dirjen PKAI, 1986), h. 56 13 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 526532 14 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 193 15 Sudirman dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1989), Cet. II, h. 114 16 Ali Syaifullah, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 52-69 17 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 211-212 18 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 214

BAB VIII PENDEKATAN DAN METODE PENDIDIKAN ISLAM

Setelah mempelajari kurikulum pendidikan Islam perlu diketahui cara dalam menerapkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam bersumber dari Al-Qur an dan Hadis. Untuk dapat merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam secara maksimal perlu adanya pendekatan dan metode yang efektif. Penyampaian materi yang diberikan oleh seorang guru dapat berakibat buruk bagi anak didik jika dalam pelaksanaan pengajaran atau pendidikan digunakan metode yang keliru. Agar poses pendidikan Islam dapat sejalan dengan kemajuan masyarakat dan dapat memberikan fleksibilitas terhadap perkembangan nilai-nilai dalam ruang lingkup konfigurasinya perlu ada

pendekatan dan metode karena keduanya dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar mengajar. Jika pendekatan dan metode yang digunakan baik dan sesuai dengan kemampuan anak didik, tujuan yang diharapkan akan tercapai.

A. Pendekatan Pendidikan Islam Dalam menganalisa sasaran pendidikan Islam secara ilmiah diperlukan pendekatan yang sejalan dengan karakteristik sasaran yang hendak dideskripsikan. Dalam pendidikan Islam terdapat lima macam pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Filosofis Berdasarkan pendekatan ini, ilmu pendidikan Islam diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasari oleh nilai-nilai ajaran Islam menurut konsepsi filosofis yang bersumber pada kitab suci Al-Qur an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendekatan filosofis yang esensial ini adalah lahirnya sikap dan pandangan dasar yang meyakini bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mengandung konsep-konsep, wawasan, ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhadap pemikiran umat manusia dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya.

2. Pendekatan Sistem Watak ilmu pendidikan Islam adalah sistematik dan konsisten menuju ke arah tujuan yang hendak dicapai. Maka pendidikan Islam memerlukan pendidikan yang sistematis dan aspiratif terhadap kebutuhan umat. Selain dengan pendekatan sistem, orientasi pendidikan Islam memiliki karakteristik yang bersifat goal oriented yang secara operasional dapat dikembangkan ke dalam model sebagai berikut: a. Secara sistematis, manusia didik dipandang sebagai makhluk yang integralistik total yng terbentuk dari unsur rohaniah dan jasmaniah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. b. Secara paedagogis, pendidikan Islam diletakkan pada strategi pengembangan seluruh kemampuan dasar integralistik bertujuan membentuk pribadi muslim yang paripurna dalam dimensi rohaniah dan jasmaniahnya untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang berorientasi pada kesejahteraan hidup dunia dan akhirat secara simultan. c. Institusionalisasi (pelembagaan), pendidikan Islam diwujudkan dalam struktur yang hirarkis berjenjang sejalan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik menuju optimalisasi belajarnya yang mendalam dan meluas. d. Secara kurikuler, pendidikan Islam mengarahkan seluruh input instrumental (guru, metode, kurikulum, dan fasilitas) dan input environmental (tradisi, kebudayaan, lingkungan masyarakat, lingkungan alam) menjadi suatu bentuk program kegiatan kependidikan menuju kepada realisasi cita-cita Islam.

3. Pendekatan Paedagogis Pendekatan ini berpandangan bahwa anak didik adalah makhluk Tuhan yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan jasmani dan rohani yang memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan. Ilmu pendidikan Islam dilihat dari segi psikologi dan pedagogis mencakup lima faktor, yaitu:

1. Pendidik 2. 3. 4. 5. Anak didik Alat pendidikan Lingkungan Cita-cita dan tujuan

Untuk melaksanakan kelima faktor pendidikan tersebut diperlukan model tertentu yang akomodatif terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Model tersebut dapat diabstraksikan sebagai berikut: 1. Secara paedagogis, peserta didik dipandang sebagai makhluk termulia yang harus dididik dan belajar agar tetap menjadi manusia yang mulia di hadapan Allah yaitu manusia muslim yang paling bertaqwa kepada-Nya. 2. Secara epistemologi, peserta didik adalah hamba Allah yang diberi kemampuan belajar berkat naluri ingin tahu (curiosity) yang dengan pengetahuannya manusia dapat mengenal Tuhannya. 3. Secara kurikuler, proses kependidikan Islam mengandung materi pelajaran yang berorientasi kepada kebutuhan manusia pesertadidik selaku hamba Allah yang harus beribadah kepada-Nya, dengan kelengkapan ilmu agama dan pengetahuan umum yang integral menjadi satu acuan yang menjadi tempat kembalinya permasalahan hidupnya yang cenderung untuk berkembang terus sampai meninggal dunia.

4. Pendekatan Keagamaan (Spiritual) Pendekatan ini memandang bahwa ajaran yang bersumberkan Al-Qur an dan Hadis menjadi sumber inspirasi dan motivasi pendidikan Islam. Secara prinsip Allah SWT telah memberi petunjuk bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki struktur dan postur psikis dan fisik yang paling sempurna yang dapat berkembang ke arah pola kehidupan yang bertaqwa kepada pencipta-Nya. Model yang ideal bagi proses pendidikan Islam dengan nilai-nilai religius Islam tersebut dapat dideskripsikan secara prinsipil sebagai berikut: 1. Pandangan religius, tiap manusia adalah makhluk berketuhanan yang mampu mengembangkan dirinya menjadi manusia yang bertaqwa dan taat kepada Allah sesuai dengan fitrahnya manusia menjadi hamba Allah yang mengabdi dan berserah diri kepada-Nya. 2 Proses kependidikan, diarahkan kepada terbentuknya manusia muslim yang dedikatif kepada Allah dan bersikap menyerahkan diri secara total kepada-Nya. Dirinya dan keseluruhan hidupnya adalah milik Allah semata. 3. Kurikulum pendidikan Islam harus diisi dengan materi pelajaran yang mengandung nilai spiritual yang komunikatif kepada pencipta alam serta mendorong minat anak didik untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 4. Strategi operasionalisasi adalah meletakkan anak didik berada dalam proses pendidikan Islam sepanjang hayat dari lahir sampai meninggal dunia. Dalam kehidupan itulah dijumpai makna edukatif bagi pengembangan hidup keagamaan, sedangkan pendidikan formal untuk merentangkan makna kehidupannya selaku hamba Allah yang taat.

5. Pendekatan Historis

Berbagai pandangan ulama dan ilmuwan Islam untuk menganalisa pendidikan Islam menunjukkan bahwa pada prinsipnya pendidikan Islam berproses dalam lima aspek, yaitu: 1. Ideal Proses pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita ajaran Islam 2. Institusional Tujuan atau cita-cita akan lebih mudah dicapai melalui proses kependidikan jika ditransformasikan melalui institusi (lembaga) kependidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. 3. Struktur Struktur (bentuk) kelembagaan kependidikan yang berjenjang (bertingkat) untuk mencapai tujuan pendidikan secara bertahap sesuai tingkat perkembangan anak didik. 4. Material Tujuan akhir dan sementara pendidikan Islam menentukan corak materi pelajaran yang efektif dan efisien, yang diajarkan dengan karakteristik dan idealitas nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan. Berdasarkan pengamatan sejarah pendidikan Islam bahwa pada masa keemasan peradaban dan pembaharuan pemikiran umat Islam terbukti di kalangan umat Islam telah dikembangkan prinsip-prinsip modernisasi, yaitu: a. Para pemuka umat Islam telah berusaha melakukan reorientasi pemikiran ke arah pemurnian ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang pokok yaitu Al-Qur an dan Hadis. b. Ijtihad tetap terbuka dan diajarkan oleh para pembaharu umat Islam sejak masa Jamaluddin Al-Afghani sampai sekarang dengan modifikasi pemikiran yang berorientasi kepada kebutuhan modernisasi kehidupan umat sejalan dengan dinamika kemajuan IPTEK. c. Para ilmuwan dan ulama sejak zaman keemasan telah berusaha mengintegrasikan agama dan ilmu pengetahuan. d. Membangkitkan semangat mempelajari dan meneliti bidang-bidang keilmuan Islam dengan latar belakang iman. e. Dari segi pendekatan sosiokultural, umat Islam pada masa kejayaan telah mampu mengembangkan 60 cabang ilmu pengetahuan sebagai disiplin ilmu. Pada masa itu ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum.1

B. Metode Pendidikan Islam 1. Pengertian Metode Pendidikan Islam Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui atau melewati dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk lebih memahami metode itu sendiri seyogiyanya harus diketahui beberapa istilah lain yang berkaitan dengan metode yaitu strategi dan teknik. Strategi adalah langkah-langkah yang disusun untuk mencapai tujuan, sedangkan teknik terbagi dua yaitu teknik langsung dan teknik tidak langsung. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa metode pembelajaran adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran oleh guru kepada murid agar murid dapat memahami pelajaran dengan mudah dan efektif. Menurut Al-Nahlawi dalam Al-Qur an dan Hadis dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Menurut Al-Nahlawi, metode untuk menanamkan rasa iman adalah:

1 Metode hiwar (percakapan qur ani dan nabawi) 2. Metode kisah qur ani dan nabawi 3. Metode amsal (perumpamaan qur ani dan nabawi) 4. Metode keteladanan 5. Metode pembiasaan 6. Metode ibrah dan mau idzoh 7. Metode targhib dan tarhib.2 Dalam dunia pendidikan dikenal empat metode ilmu pendidikan, yaitu: 1. Metode empiris-positivistis yang berkembang di Inggris dan AS

2. Metode hermeneutik Metode ini berusaha memahami kenyataan pendidikan yang konkret dan historis untuk menjelaskan makna struktur dari kegiatan pendidikan. 3. Metode deskriptif fenomenologis. Metode ini mencoba menguraikan kenyataan pendidikan dan mengklasifikasikannya tanpa membawa perubahan dalam praktik. Metode ini berpangkal pada pengalaman luar dan menguraikan ciri-cirinya. 4. Metode filosofis kritis. Metode ini mengkritik semua metode yang ada. Selain dari empat metode yang lengkap meliputi segala aspek ilmu pendidikan, ada metode lain yang hanya membicarakan sebagian dari ilmu pendidikan Islam, seperti syarat-syarat pendidikan, norma-norma pendidikan, dan lain-lain yang disebut metode kombinasi. 3 Dalam sejarah pendidikan Islam dapat diketahui bahwa para pendidik muslim dalam beberapa situasi dan kondisi yang berbeda telah menerapkan berbagai metode pendidikan. Ulamaulama muslim yang mengemukakan pendapat tentang metode pendidikan di antaranya: 1. Al-Ghazali - Lebih cenderung berfaham empirisme. Karena itu beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik. - Dalam proses pendidikan dimulai dengan hafalan diteruskan dengan pemahaman - Pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang diarahkan pada pembentukan akhlak mulia. 2. Ibnu Khaldun - Hendaknya tidak memberikan pelajaran yang sulit kepada anak didik - Anak didik diajarkan pelajaran yang sederhana yang dapat dipahami akal pikiran kemudian secara bertahap diajarkan pelajaran yang lebih sukar dengan menggunakan alat peraga tertentu. 3. Ibnu Sina - Lebih menekankan pendidikan moral - Metode yang diperlukan adalah metode pembiasaan, perintah dan larangan, pemberian motivasi, hadiah dan hukuman. 4. Muhammad Abduh - Menekankan kemampuan rasio dengan memahami ajaran Islam dari sumbernya (Al-Qur an dan Hadis) sebagai pengganti metode hafalan. 4 2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran 1. Metode Ceramah

Metode ceramah adalah cara penyajian yang dilakukan guru dengan penjelasan secara langsung kepada siswa. Kelebihannya: a. Mudah dilakukan oleh guru b. Materi yang banyak dapat dijelaskan oleh guru dalam waktu singkat c. Guru dapat menjelaskan dengan menekankan materi-materi yang penting. d. Guru dengan mudah menguasai kelas. e. Organisasi kelas dapat diatur menjadi lebih sederhana

Kekurangannya: a. Akan menimbulkan kebiasaan buruk terhadap siswa karena siswa tidak dibiasakan mencari dan mengolah informasi dan hanya ingin dibina sebagai penerima informasi. b. Informasi yang disampaikan mudah usang c. Hal-hal yang disampaikan guru hanya terbatas pada materi yang diingat guru saat itu d. Tidak semua murid mampu menerimanya dengan baik apabila dihubungkan dengan pendengaran. e. Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang tajam f. Kurang memberikan rangsangan terhadap kreativitas siswa dalam mengemukakan pendapat g. Dapat menimbulkan verbalisme

2. Metode Tanya Jawab Metode ini merupakan metode tertua yang banyak digunakan dalam proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab baik oleh guru maupun oleh siswa. Kelebihannya: 1. Dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa 2. Merangsang siswa untuk lebih melatih mengembangkan daya pikir/daya ingatnya

3. Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat 4. Dapat mengetahui daya pikir siswa dalam mengemukakan pokok-pokok pikiran dalam menjawab dan kemampuan siswa dalam penguasaan materi 5. Sebagai pendorong dan pembuka jalan bagi siswa dalam penelusuran berbagai sumber belajar. Kekurangannya: 1. Tidak mudah membuat pertanyaan yang mudah dipahami siswa 2. Siswa sering merasa takut bila guru kurang bisa menciptakan suasana 3. Guru masih mendominasi proses belajar mengajar 4. Waktu yang digunakan menjadi kurang efisien bila jumlah siswa terlalu banyak 5. Waktu sering terbuang bila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan

3. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan memperagakan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari siswa. Kelebihannya: 1. Pengajaran menjadi lebih jelas dan konkret 2. Siswa lebih mudah memahami materi pelajaran 3. Proses pengajaran akan lebih menarik 4. Siswa dirangsang untuk aktif mengamati dan menyesuaikan materi antara teori dengan kenyataan. Kekurangannya: 1. Guru harus memiliki keterampilan khusus 2. Fasilitas dan biaya tidak selalu tersedia dengan baik 3. Memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang serta waktu yang lama

4. Metode Karya Wisata Metode karya wisata adalah cara penyajian pelajaran dengan membawa siswa mempelajari sumber-sumber mata pelajaran di kelas. Kelebihannya: 1. Metode ini merupakan aplikasi prinsip pengajaran yang disebut asas aktivitas dalam belajar 2. Lebih merangsang siswa untuk lebih banyak belajar dan dapat mengembangkan kemandirian siswa 3. Membiasakan siswa mencari dan mengolah sendiri informasi dan komunikasi 4. Dapat membawa efek instruksional dan efek pengiring untuk tugas di dalam dan di luar kelas 5. Membina tanggung jawab dan disiplin siswa serta dapat mengembangkan kreativitas siswa. Kekurangannya: 1. Siswa sulit dikontrol, khusus tugas kelompok tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikan tugas hanya anggota tertentu. 2. Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individual siswa 3. Dapat menimbulkan kebosanan siswa jika tugas yang diberikan tidak bervariasi 4. Sering menjadi keluhan dan beban siswa jika pemberian tugas sering tidak disertai penilaian.

5. Metode Pemecahan Masalah Metode pemecahan masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dalam usaha mencari pemecahan atau jawaban siswa.

Kelebihannya: 1. Pendidikan di sekolah lebih relevan

2. Membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, baik permasalahan pribadi, keluarga, masyarakat, dan sebagainya 3. Merangsang pengembangan menyeluruh. Kekurangannya: 1. Kemampuan dan keterampilan seorang guru dalam menentukan suatu masalah sesuai dengan tingkat berpikir siswa sangat diperlukan 2. Memerlukan waktu yang sangat banyak dan sering mengambil waktu pelajaran lain. 3. Merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa karena dalam pemecahan suatu masalah memerlukan berbagai sumber belajar. kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan

6. Metode Diskusi Metode diskusi adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana siswa dihadapkan pada suatu permasalahan berupa pertanyaan atau yang bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Kelebihannya: 1. Merangsang kreativitas siswa dalam bentuk ide-ide, gagasan, prakarsa, dan terobosan baru dalam pemecahan masalah 2. Membiasakan siswa bertukar pikiran dengan temannya atau orang lain 3. Dapat dibina sikap demokrasi pada siswa 4. Cakrawala berpikir menjadi lebih luas 5. Hasil diskusi adalah hasil pemikiran bersama dan dipertanggungjawabkan bersama yang melibatkan banyak orang. Kekurangannya: 1. Menentukan suatu masalah yang sesuai dan menarik bagi siswa bukan hal yang mudah 2. Sering terpaksa memperpanjang waktu dari yang direncanakan 3. Kadang-kadang pembahasan menjadi lebih luas dan mengembang sehingga masalah pokok menjadi kabur 4. Perbedaan pendapat yang emosional dan tidak terkontrol dapat menyinggung perasaan.

6. Metode Simulasi Metode ini pada hakikatnya diangkat dari situasi kehidupan. Simulasi berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berbuat seolah-olah, atau simulation yang berarti tiruan atu perbuatan yang hanya berpura-pura saja. Kelebihannya: 1. Dapat memupuk daya cipta siswa

2. Merangsang siswa menjadi biasa dan terampil dalam menanggapi dan bertindak secara spontan 3. Memperkaya pengetahuan, sikap, keterampilan, dan pengalaman tidak langsung dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematik 4. Siswa belajar menghargai dan menerima pendapat orang lain. Kekurangannya: 1. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sempurna 2. Pelaksanaan simulasi sering menjadi kaku dan tidak jarang hanya dijadikan sebagai alat hiburan 3. Menuntut hubungan yang akrab, fleksibel, dan demokratis

7. Metode Eksperimen Metode eksperimen adalah cara penyampaian bahan pelajaran dengan melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sesuatu yang sedang dipelajari. Kelebihannya: 1. Dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran dan kesimpulan berdasarkan percobaan sendiri 2. Mengembangkan sikap eksploratif tentang sains dan teknologi 3. Didukung oleh asas-asas didaktik modern. Kekurangannya: 1. Memerlukan berbagai fasilitas yang tidak mudah diperoleh 2. Tidak semua materi pelajaran dapat dieksperimenkan 3. Menuntut penguasaan pengembangan materi, fasilitas, peralatan dan bahan mutakhir 4. Lebih sesuai menyajikan bidang-bidang sains dan teknologi.

8. Metode Penemuan (Discovery-Inquiry) Metode penemuan adalah cara penyajian bahan pelajaran yang melibatkan siswa dalam proses mental dalam rangka penemuannya. Kelebihannya: 1. Pengajaran menjadi student centered 2. Proses belajar meliputi semua aspek menuju kepada pembentukan manusia seutuhnya. Kekurangannya: 1. Pemecahan masalah bersifat mekanistis, formalitas, dan membosankan 2. Menuntut bimbingan guru yang lebih baik dalam penyelidikan yang dilakukan siswa 3. Kebebasan yang diberikan kepada siswa tidak dapat menjamin keaktifan dan ketekunan siswa.

9. Metode Proyek atau Unit

Metode proyek atau unit adalah penyajian bahan pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna. Kelebihannya: 1. Dapat merombak pola pikir siswa yang sempit menjadi luas dan menyeluruh 2. Siswa dibina dengan kebiasaan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu 3. Bahwa pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih diperlukan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah kehidupan praktis sehari-hari. Kekurangannya: 1. Baik secara vertikal maupun horizontal, kurikulum nasional belum menunjang pelaksanaan metode ini 2. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini memerlukan keahlian khusus 3. Spesialisasi setiap mata pelajaran sangat diperlukan dalam pemecahan masalahmasalah kehidupan.5 Di samping metode-metode di atas, ada cara atau metode lain yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu: 1. Metode Diakronis Suatu metode ajaran Islam yang mengandung aspek sejarah. Metode ini disebut juga metode sosio-historis yang membuat anak didik memahami ajaran Islam berdasarkan sejarah. Metode ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-A raf ayat 176. 2. Metode Sinkronis Analitik Suatu metode pendidikan Islam yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek. Metode ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Taubah ayat 122. 3. Metode Empiris Metode ini merupakan latihan anak dalam mempelajari proses realisasi, aktualisasi dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam melalui suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial dengan dalil. Metode ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 4. Metode Problem Solving Metode ini merupakan pelatihan anak didik yang dihadapkan pada berbagai masalah suatu cabang ilmu pengetahuan. Metode ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53. 5. Metode Induktif Metode yang dilakukan pendidik dengan cara mengajarkan materi yang khusus kepada yang umum. 6. Metode Deduktif Metode yang digunakan pendidik dalam mengajarkan ajaran Islam melalui cara menampilkan kaidah yang umum kemudian menjabarkan dengan berbagai contoh masalah sehingga terurai.6

C. Tujuan, Fungsi, dan Tugas Utama Metode Pendidikan Islam Tujuan penggunaan metode adalah agar menjadikan proses dan hasil belajar mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna serta menimbulkan kesadaran pada anak didik untuk mengamalkan ajaran Islam dan sebagai teknik motivasi untuk membangkitkan gairah belajar anak didik secara mantap. Uraian ini menunjukkan bahwa fungsi metode pendidikan adalah mengarahkan keberhasilan belajar, memberi kemudahan bagi anak didik untuk belajar berdasarkan minat, serta mendorong usaha kerjasama dalam kegiatan belajar mengajar antara pendidik dan anak didik. Tugas utama dari metode pendidikan Islam adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan paedagogis sebagai kegiatan antar hubungan pendidikan yang terealisasi melalui penyampaian keterangan dan pengetahuan agar siswa memahami, mengetahui, menghayati, dan meyakini materi yang diberikan serta dapat meningkatkan pola pikir. Selain itu tugas utama metode pendidikan Islam adalah membuat perubahan dalam sikap dan minat serta penemuan nilai dan norma yang berhubungan dengan pelajaran dan perubahan dalam pribadi dan bagaimana faktor-faktor tersebut diharapkan menjadi pendorong ke arah perbuatan nyata. Al-Syaibani mengemukakan dasar-dasar penyusunan metode pendidikan Islam. Ada empat hal yang menjadi pertimbangan penggunaan metode pendidikan Islam, yaitu: 1. Dasar agama, yang bersumber dari Al-Qur an, Hadis, perbuatan sahabat dan ulama salaf 2. Dasar biologis, meliputi kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia anak 3. Dasar psikologis, meliputi motivasi, kebutuhan emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan bakat dan intelektual anak didik. 4. Dasar sosial, meliputi pertimbangan kebutuhan sosial di lingkungan anak didik. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Al-Syaibani mengungkapkan bahwa metode pendidikan Islam mencakup empat tujuan pokok, yaitu: 1. Menolong anak didik mengembangkan kemampuan 2. Membiasakan anak didik membentuk sikap yang baik 3. Membantu anak didik bersikap efektif dan efisien 4. Membimbing aktivitas anak didik. 7 individualnya

D. Kesimpulan Dalam dunia pendidikan terdapat berbagai pendekatan dan metode yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Di antara pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan filosofis, sistem, paedagogis, keagamaan, dan historis. Di antara metode yang dapat digunakan adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, dan lain-lain.

(Endnotes)

1 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. IV, h. 116-134 2 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992),Cet. II, h. 135

3 M. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Alumni, 1989), h. 11-13 4 Abdur Rahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 205

5 Sudirman, Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), h. 113 6 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: PT Trigandakarya, 1993), h.250

7 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),h. 54-55 cari Syaibani

BAB IX LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Berbicara mengenai pendidikan tidak mungkin terlepas dari suatu proses yang panjang. Oleh karena itu, mencapai tujuanpendidikan tidak secepat membalikkan telapak tangan. Merupakan fitrah pada diri manusia di mana dalam dirinya berpeluang untuk dapat menerima dan menyerap segala hal, baik atau buruk yang ada di sekitarnya. Karena itu Islam dalam hal ini memfilter keadaan tersebut berdasarkan Al-Qur an dan Hadis yang merupakan dasar pokok pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam meliputi dasar dan tujuan, peserta didik, pendidik, kurikulum, metode, lingkungan, alat, evaluasi, dan kegunaan ilmu pendidikan Islam, yang kesemuanya ini sangat berperan dalam menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan. Salah satu bagian yang penting tersebut adalah lingkungan, sebab pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya, yang terkadang dapat memberi implikasi positif dan negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, sikap, akhlak, dan perasaan agamanya.

A. Pengertian Lingkungan Pendidikan

Dalam arti luas lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan, dan alam. Dengan kata lain, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, atau kejadian-kejadian yang mempunyai hubungan dengan seseorang. 1 Menurut Mohammmad Al-Toumy Al-Syaibani, lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk kegiatannya. Keadaan sekitar benda-benda, seperti air, udara, bumi, langit, matahari, dan sebagainya, juga masyarakat yang mencakup insan pribadi, kelompok, institusi, sistem, undang-undang, adat kebiasaan, dan seb