menggali lebih dalam makna halalan thayy

Upload: marshellatripradilaga

Post on 06-Mar-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makanan halal

TRANSCRIPT

Menggali Lebih Dalam Makna Halalan ThayyibanOleh; Agung NurcholisMahasiswa Pasca Sarjana Universitas Darussalam Gontor((((((((( ((((( (((((((((( (((( ((((((( (((((((( ( ((((((((((( (((( (((((((( (((((( ((((( (((((((((((

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. Al-Maidah; 88) Mengkonsumsi sesuatu yang halalan thayyiban merupakan salah satu ciri dari orang yang bertaqwa. Hal tersebut bisa kita mengerti, apabila kita menelaah dengan baik ayat di atas; perintah mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban dilanjutkan dengan perintah untuk bertaqwa. Ini menandakan akan pentingnya perhatian Islam terhadap halal dan thayyib-nya sesuatu sebelum dikonsumsi atau digunakan.

Kata thayyib dalam Al-Quran

Thayyib adalah sebuah kata sifat yang berfungsi paling dasar untuk menyatakan kualitas yang menjelaskan perasaan seperti sangat menggembirakan, senang dan manis. Kata ini seringkali juga digunakan untuk mengkualifikasikan baiknya rasa makanan, air, wangi-wangian dan sejenisnya. Di samping itu, kata ini juga tepat diaplikasikan pada berbagai hal lain; oleh karna itu kita bisa temukan beberapa kolaborasi kata dalam Al-Quran seperti; riih thayyibah angin yang baik yang membawa sebuah kapal diatas laut, sebagai lawan riih asifah angin badai (QS. Yunus; 22), begitu juga dengan balad thayyib daerah dengan tanah yang baik dan subur (QS. Al-Araf; 58), lalu masakin thayyibah tempat tinggal yang menyenangkan yang berfungsi sebagai ungkapan untuk tempat tinggal bagi laki-laki dan perempuan di surga Adn (QS. At-Tawbah; 72).Kata thayyib -walaupun tidak sering- dapat juga digunakan dalam pengertian kualitas religius seorang hamba. Adalah sebuah contoh yang tepat;. orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik (thayyibiin) oleh Para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".(QS. An-Nahl; 32). Maka jelaslah dalam konteks ini thayyib bisa menggantikan muttaqi yaitu orang yang takut kepada Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya (QS. An-Nahl; 28) kata thayyibuun dipertentangkan dengan zalimii anfusihim, yaitu orang yang menganiaya diri mereka sendiri, sepadan dengan sebuah ungkapan yang telah kita ketahui bersama yaitu kafiruun.

Dalam frase al-kalimah at-thayyibah ucapan yang baik (QS. Ibrahim; 24) merupakan ungkapan yang menunjukan rumusan Tawhid; tidak ada tuhan selain Allah. Maka bagaimanapun juga makna baik disini haruslah berarti baik secara agama atau shalih, karna frase itu sendiri berhubungan erat dengan al-amal as-shalih perbuatan shalih. Hal ini sebagaimana ternyatakan dalam QS. Fathir ayat 10; Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Makanan yang thayyibPenting untuk diperhatikan bahwa dalam ihwal makanan, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, merupakan sesuatu yang paling disorot diantara berbagai benda yang dikelilingi oleh segala macam larangan. Al-Quran memasukkan ide yang khusus, yaitu pensucian dengan mengasosiasikan thayyib dengan halal, yang berarti sah menurut hukum dalam pengertian bebas dari semua larangan. Maka dalam kasus makanan, thayyib hampir menjadi sinonim dari halal, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT; Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik. (QS. Al-Maidah; 4). Dari sini kita bisa menggariskan kesimpulan bahwa makanan yang thayyib seharusnya merupakan makanan yang halal, bukanlah makanan yang thayyib apabila Allah tidak menghalalkan makanan tersebut.Perlu kita garisbawahi juga bahwa kata thayyib sebagian besar- dipertentangkan dengan khabits, dan sangat signifikan selalu berkaitan dengan pertentangan antara kata halal-haram; orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (QS. Al-Araf; 157).Halal dalam Al-QuranBila kita telaah dengan seksama kata halal dalam Al-Quran selalu dikaitkan dengan kata haram. Jika dikatakan dengan tegas, haram adalah larangan, sedangkan halal menunjukkan apapun yang tidak masuk ke dalam larangan, yaitu apapun yang ditetapkan bebas dari larangan itu. Haram diberlakukan pada tempat, benda, orang dan tindakkan, lalu pada level selanjutnya haram merupakan sesuatu yang tidak boleh didekati, tidak boleh disentuh. Kata haram dalam Al-Quran menciptakan suatu konsepsi moral dan spiritual yang baru mengenai larangan, dan memberikan sisi etik pada konsep haram yang dimiliki arab jahiliyyah; Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Araf; 33)Dalam Al-Quran terdapat kata lain untuk menyatakan barang tabu (haram). Untuk salah satu contohnya Al-Quran mendatangkan kata; suht, sebagaimana yang dimakan oleh orang Yahudi (QS. Al-Maidah; 62). Walaupun kita tidak bisa mengatakan secara pasti tentang apa barang larangan yang dimakan orang Yahudi tersebut, sangat mungkin bahwa hal itu merujuk pada riba. Kita mengetahui bahwa larangan memakan bunga dari uang yang dipinjamkan ditujukan secara eksklusif kepada orang Yahudi; Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa; 161)

Secara semantik kata haram memiliki hubungan mendasar dengan rijs kekotoran. Dalam QS. Al-Anam; 145, Al-Quran memaparkan susunan makanan yang terlarang bagi Muslim, yang mana dalam ayat itu secara eksplisit kekotoran menjadi alasan utama pelarangan bangkai, darah dan daging babi. Lalu dengan alasan yang sama kekotoran menjadi alasan pelarangan bagi anggur yang memabukkan, permainan judi, syirk dan mengundi nasib dengan anak panah. Dalam QS. Al-Maidah; 90 hal-hal tersebut dilarang karna dinilai tidak bersih, rijsun min amali asy-syaithan. Kata rijs di tempat lain diperluas sampai kepada penyakit yang ada dalam hati orang kafir QS. At-Tawbah 125. Dan pada akhirnya kafir sendiri disebut rijs; Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. At-Tawbah; 95)Lebih jauh lagi, makanan yang baik tidak akan menjadi halal apabila tidak diproses dengan cara yang telah disyariatkan Allah SWT. Seperti dalam QS. Al-Anam; 118, bahwa Allah mewajibkan kepada umat Muslim untuk menyebut nama Allah sebelum menyembelih binatang-binatang untuk dikonsumsi; Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.Lalu mengenai kata halal, secara semantik hanya sedikit yang dapat diungkapkan. Namun, pada hakikatnya kata halal menunjuk kepada segala sesuatu yang tidak terlarang, maka bukanlah sesuatu yang halal apabila hal itu dilarang. Halal juga merupakan sesuatu yang baik dan patut disyukuri; Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah; 172).Kesimpulan

Dari hasil kajian semantik singkat yang baru kita lakukan tadi, kita bisa menarik kesimpulan penting. Bahwa sesuatu yang halalan thayyiban haruslah berupa sesuatu yang baik, produktif, menyenangkan serta shalih, bukan menurut ukuran manusia tetapi menurut ukuran Allah Tuhannya manusia, sebagaimana yang telah Allah terangkan dalam kitabNya dan sunnah nabiNya. Halal dan thayyib juga harus berkonotasi terhadap ketaqwaan terhadap Allah, serta harus dikonsumsi atau digunakan dengan cara yang telah disyariatkan Allah.

Barang haram adalah barang yang kotor, bagi jasmani maupun bagi rohani. Barang haram tidak hanya akan mengotori dan menyakiti tubuh fisik, tetapi juga akan mengotori jiwa dan mempengaruhi akhlaq dan mendatangkan penyakit hati. Sebab itu marilah kita senantiasa berusaha memperoleh hal-hal yang halal dan menjauhi hal-hal yang haram. Wallahu alam bishowab.