mengenang kembali pemikiran harun nasution memadukan...

2
ISSN 2302-3090 No. 106/Th VIII/1-15 Juni 2018/16 Ramadhan-1 Syawal 1439 H www.graduate.uinjkt.ac.id Newsletter BERITA SEKOLAH Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta @spsuinjkt Memadukan Wahyu dan Akal: Berislam ala Harun Nasution Pengantar Redaksi Prof Dr Harun Nasution dikenal sebagai salah satu tokoh pem- baharu pemikiran Islam di Indonesia. Ia pernah menjabat Rektor IAIN Jakarta (1973 - 1984) dan Direktur Program Pascasarjana IAIN Jakarta (1984-1998). Guna mengenang kembali pemikiran pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 23 September 1919, itu, berikut kami turunkan tulisan Iswara N Raditya yang dimuat di tirto.id. Karena keterbatasan ruangan, tulisan kami turunkan dalam tiga edisi secara bersambung. “Harapanku memang cu- ma satu. Pemikiran asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu’tazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran ra- sional,” sebut Harun Nasution seperti dikutip Suminto (hlm. 61). Asy’ariyah kerap diang- gap sebagai aliran yang me- wakili golongan Islam tradi- sional. Sebaliknya, mu’tazilah merupakan kelompok Islam rasional. Mu’tazilah inilah yang dipegang teguh Harun dan diperkenalkan kembali ke Indonesia. Harun sangat terinspirasi dengan pemikiran tokoh ge- rakan modernisme Islam dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), yang dianggapnya selaras dengan teologi rasional mu’tazilah. Disertasinya pun mengangkat tentang sosok ini, yakni berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.” Terkait ini, Harun menu- angkan kecocokan pemikiran- nya dengan Muhammad Abduh melalui buku berjudul Pembaharuan dalam Islam: Se- jarah Pemikiran dan Gerakan (1996). Salah satunya tentang sikap jumud yang oleh Abduh disebut sebagai penyebab uta- ma kemunduran umat Islam (hlm. 174). Pemikiran Abduh ini sangat mengena dalam pema- haman Harun. Menurutnya, yang juga menjadi penyebab kemunduran umat Islam di In- donesia tidak lain adalah keju- mudan. Ia mengidentikkan ini dengan golongan asy’ariyah yang disebutnya bersifat sangat jabariah atau terlalu menyerah kepada takdir. Sebagaimana ditelaah Warkum Sumitro dan kawan- kawan dalam Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer: Kritik Terh- adap Paham Ortodoksi Perkawin- an Poligini di Indonesia (2014), Harun sependapat dengan Abduh bahwa sumber utama ajaran Islam juga dari akal ma- nusia. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi sehingga Islam adalah agama yang rasional (hlm. 38). Bagi Harun, mempergu- nakan akal adalah salah satu dasar dalam beragama Islam. Iman seseorang tidak akan sempurna jika tidak didasarkan pada akal. Dalam Islam-lah, menurutnya, agama dan akal pertama kali bisa berdamping- an. Harun meyakini potensi akal harus dimanfaatkan un- tuk mencapai kemajuan umat Islam yang terwujud dalam perkembangan ilmu penge- tahuan. Ilmu pengetahuan modern yang berdasar kepada sunatullah, tambahnya, tidak bertentangan dengan Islam. Kedua-duanya bersumber dari Allah. Islam mesti sesuai deng- an ilmu pengetahuan, demiki- an pula sebaliknya. Dalam bukunya yang menjadi rujukan utama para mahasiswa IAIN, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (1986), Harun menyatakan bahwa perpaduan pemikiran Abduh dan konsep mu’tazilah mampu membawa masyarakat menjauh dari keka- cauan, bahkan tanpa turunnya wahyu sekalipun (hlm. 47). Namun, bukan berarti Harun menentang konsep wahyu da- lam meyakini Islam dan keila- hian Tuhan. Harun justru selalu me- madukan wahyu dengan akal selaku dua unsur utama yang saling melengkapi. Ia meyaki- ni, al-Quran sebagai wahyu Al- lah memandang akal sebagai sesuatu yang sangat penting. Akal, menurut Harun, amat berguna bagi manusia untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan—hal-hal yang juga termaktub dalam kitab suci. Maka, Harun sangat tidak tertarik dengan ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid buta di kalangan umat dan menyebabkan orang Islam berhenti menggunakan akal- nya. Sikap seperti itu bahkan dipandang Harun bertentang- an dengan Alquran dan Hadis (Harun, 1996: 175). Harun menolak disebut sebagai ulama. Ia mengakui bahwa dirinya kurang cakap berbicara dengan kebanyakan orang. “Pembicaraanku seringka- li terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk berbi- cara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Se- bab, dongeng tidak masuk akal bagiku.” Apa yang dilakukan Ha- run, dengan segenap pro dan kontra yang menyertainya, semata-mata demi kebangkit- an umat Islam. Jika umat Is- lam ingin bangkit, kata Harun, tidak harus dilakukan dengan emosi keagamaan yang melu- ap-luap dan justru berpotensi menjadi bumerang, melainkan berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filo- sofis terhadap Islam itu sendiri. Mengenang Kembali Pemikiran Harun Nasution (Bagian 2 dari 3 tulisan)

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengenang Kembali Pemikiran Harun Nasution Memadukan ...graduate.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/BS...2018/06/15  · IAIN Jakarta (1984-1998). Guna mengenang kembali pemikiran

ISSN 2302-3090

No. 106/Th VIII/1-15 Juni 2018/16 Ramadhan-1 Syawal 1439 H www.graduate.uinjkt.ac.id

Newsletter

BERITA SEKOLAHSekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

@spsuinjkt

Memadukan Wahyu dan Akal: Berislam ala Harun Nasution

Pengantar Redaksi

Prof Dr Harun Nasution dikenal sebagai salah satu tokoh pem-baharu pemikiran Islam di Indonesia. Ia pernah menjabat Rektor IAIN Jakarta (1973 - 1984) dan Direktur Program Pascasarjana IAIN Jakarta (1984-1998). Guna mengenang kembali pemikiran pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 23 September 1919, itu, berikut kami turunkan tulisan Iswara N Raditya yang dimuat di tirto.id. Karena keterbatasan ruangan, tulisan kami turunkan dalam tiga edisi secara bersambung.

“Harapanku memang cu-ma satu. Pemikiran asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu’tazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran ra-sional,” sebut Harun Nasution seperti dikutip Suminto (hlm. 61).

Asy’ariyah kerap diang-gap sebagai aliran yang me-wakili golongan Islam tradi-sional. Sebaliknya, mu’tazilah merupakan kelompok Islam rasional. Mu’tazilah inilah yang dipegang teguh Harun dan diperkenalkan kembali ke Indonesia.

Harun sangat terinspirasi dengan pemikiran tokoh ge-rakan modernisme Islam dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), yang dianggapnya selaras dengan teologi rasional mu’tazilah. Disertasinya pun mengangkat tentang sosok ini, yakni berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.”

Terkait ini, Harun menu-angkan kecocokan pemikiran-nya dengan Muhammad Abduh melalui buku berjudul

Pembaharuan dalam Islam: Se-jarah Pemikiran dan Gerakan (1996). Salah satunya tentang sikap jumud yang oleh Abduh disebut sebagai penyebab uta-ma kemunduran umat Islam (hlm. 174).

Pemikiran Abduh ini sangat mengena dalam pema-haman Harun. Menurutnya, yang juga menjadi penyebab kemunduran umat Islam di In-donesia tidak lain adalah keju-mudan. Ia mengidentikkan ini dengan golongan asy’ariyah yang disebutnya bersifat sangat jabariah atau terlalu menyerah kepada takdir.

Sebagaimana ditelaah Warkum Sumitro dan kawan-kawan dalam Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer: Kritik Terh-adap Paham Ortodoksi Perkawin-an Poligini di Indonesia (2014), Harun sependapat dengan Abduh bahwa sumber utama ajaran Islam juga dari akal ma-nusia. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi sehingga Islam adalah agama yang rasional (hlm. 38).

Bagi Harun, mempergu-nakan akal adalah salah satu

dasar dalam beragama Islam. Iman seseorang tidak akan sempurna jika tidak didasarkan pada akal. Dalam Islam-lah, menurutnya, agama dan akal pertama kali bisa berdamping-an.

Harun meyakini potensi akal harus dimanfaatkan un-tuk mencapai kemajuan umat Islam yang terwujud dalam perkembangan ilmu penge-tahuan. Ilmu pengetahuan modern yang berdasar kepada sunatullah, tambahnya, tidak bertentangan dengan Islam. Kedua-duanya bersumber dari Allah. Islam mesti sesuai deng-an ilmu pengetahuan, demiki-an pula sebaliknya.

Dalam bukunya yang menjadi rujukan utama para mahasiswa IAIN, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (1986), Harun menyatakan bahwa perpaduan pemikiran Abduh dan konsep mu’tazilah mampu membawa masyarakat menjauh dari keka-cauan, bahkan tanpa turunnya wahyu sekalipun (hlm. 47). Namun, bukan berarti Harun menentang konsep wahyu da-lam meyakini Islam dan keila-hian Tuhan.

Harun justru selalu me-madukan wahyu dengan akal selaku dua unsur utama yang saling melengkapi. Ia meyaki-ni, al-Quran sebagai wahyu Al-lah memandang akal sebagai sesuatu yang sangat penting. Akal, menurut Harun, amat berguna bagi manusia untuk membedakan mana kebaikan

dan mana keburukan—hal-hal yang juga termaktub dalam kitab suci.

Maka, Harun sangat tidak tertarik dengan ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid buta di kalangan umat dan menyebabkan orang Islam berhenti menggunakan akal-nya. Sikap seperti itu bahkan dipandang Harun bertentang-an dengan Alquran dan Hadis (Harun, 1996: 175).

Harun menolak disebut sebagai ulama. Ia mengakui bahwa dirinya kurang cakap berbicara dengan kebanyakan orang.

“Pembicaraanku seringka-li terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk berbi-cara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Se-bab, dongeng tidak masuk akal bagiku.”

Apa yang dilakukan Ha-run, dengan segenap pro dan kontra yang menyertainya, semata-mata demi kebangkit-an umat Islam. Jika umat Is-lam ingin bangkit, kata Harun, tidak harus dilakukan dengan emosi keagamaan yang melu-ap-luap dan justru berpotensi menjadi bumerang, melainkan berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filo-sofis terhadap Islam itu sendiri.

Mengenang Kembali Pemikiran Harun Nasution

(Bagian 2 dari 3 tulisan)

Page 2: Mengenang Kembali Pemikiran Harun Nasution Memadukan ...graduate.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/BS...2018/06/15  · IAIN Jakarta (1984-1998). Guna mengenang kembali pemikiran

No. 106/Th. VIII/1-15 Juni 2018 Hal 2BERITA SEKOLAH

Pimpinan dan Staf Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1439 H

Penanggung Jawab: Prof Dr Dede Rosyada Redaktur: Nanang Syaikhu Editor: Muhammad Adam Hesa Desain Grafis: Arief Mahmudi Fotografer: Jayadi Sekretariat: Tony Kurniawan, Nurbaini Futuhat Wulansari, Mohammad Ainur Rofiq Alamat Redaksi: Gedung Sekolah Pascasarjana Lt 3 Jl. Kertamukti No. 5 Pisangan Barat, Cireundeu, Ciputat Timur 15419 Telp. (021) 7401472-74709260 ext. 308 Faks: (021) 74700919, E-Mail Redaksi: [email protected] Penerbit: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terbit sebulan dua sekali

BERITA UJIAN

Promosi Doktor Ujian Tesis

Ayu Alwiyah Aljufri (bawah), mahasiswi Program Doktor Konsentrasi Psikologi Islam, meraih yudisium Sangat Memuaskan dengan IPK 3,30 pada Promosi Doktor yang digelar di Auditorium pada 30 Mei 2018. Disertasinya berjudul Religiusitas dan Perilaku Konsumtif Para Pembimbing Haji dan Umrah berhasil dipertahankan di depan tim penguji (dari kiri ke kanan) Prof Dr Zainun Kamaluddin Fakih, Prof Dr Said Agil Husin Al Munawar, Prof Dr Achmad Mubarok, Prof Dr Masykuri Abdillah, dan Dr Ka-marusdiana. Promotor adalah Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo dan Prof Dr Abdul Mujib.

Saipullah (bawah), mahasiswa Program Magister Konsentrasi Pendidikan Islam, meraih yudisium Sangat Memuaskan dengan IPK 3,34 pada Ujian Tesis yang digelar di Auditorium pada 7 Juni 2018. Tesisnya berjudul Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Kitab Ādāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim dan Relevansinya terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia berhasil dipertahankan di depan tim penguji (dari kiri ke kanan) Dr Suparto, Prof Dr Suwito, dan Prof Dr Didin Saepuddin. Promotor adalah Prof Dr Abuddin Nata (kanan).

FOTO-FOTO DOK SPS UIN JAKARTA