bab iv konsepsi islam kultural dalam pemikiran … 27807-islam kultural...umat islam dalam politik,...

75
Universitas Indonesia BAB IV KONSEPSI ISLAM KULTURAL DALAM PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID 4.1 Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong Munculnya Islam Kultural Pada masa awal pemerintahan Orde Baru muncul harapan baru di kalangan umat Islam bahwa mereka dapat berperan aktif dalam politik. 263 Munculnya harapan itu dikarenakan beberapa tindakan pemerintah Orde Baru yang menunjukkan “pemihakan” kepada umat Islam, seperti pembebasan tokoh-tokoh Islam dan diizinkannya koran dan majalah Islam diterbitkan kembali setelah sebelumnya pada masa Soekarno dilarang. Selain itu, umat Islam berkeyakinan bahwa mereka memiliki peran yang besar dalam memberangus gerakan komunis di Indonesia (PKI). Oleh karena itu, suatu hal yang wajar, menurut mereka, bahwa mereka dapat kembali berperan secara aktif dalam politik—setelah sebelumnya pada Demokrasi Terpimpin hal itu mengalami kendala dan halangan. Dengan aktifnya umat Islam dalam politik, maka harapan untuk kembali mengajukan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dan pelaksanaan agenda-agenda yang menguntungkan umat Islam dapat direalisasikan. Orde Baru pada awal pemerintahannya membebaskan tokoh-tokoh penting Islam yang dipenjara oleh rezim Soekarno, seperti HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Isa Anshary, dan Burhanuddin Harahap. Melihat tindakan pemerintah Orde Baru tersebut, wajar saja umat Islam beranggapan Orde Baru akan berbeda dengan Orde Lama. Antusiasme umat Islam dalam menyambut harapan baru itu terlihat dalam acara tasyakuran yang diadakan di Mesjid Al- Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 14 Agustus 1966. B.J. Boland menyebutkan acara tersebut dihadiri 50.000 umat Islam dan pemimpin-pemimpin besar politik Islam seperti Sjafruddin Prawiranegara, Asaat, Prawoto 263 Harapan ini muncul dikarenakan sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin, aspirasi politik umat Islam banyak dibungkam oleh Soekarno, seperti misalnya pembubaran Masjumi dan penangkapan tokoh-tokoh penting umat Islam (tokoh-tokoh Masjumi). Walaupun pada masa itu partai NU, PSII, dan Perti ikut “dilibatkan” dalam pemerintahan Soekarno, namun mereka tidak dapat berbuat banyak dalam mewujudkan aspirasi politik umat Islam. 93 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Upload: trinhthuy

Post on 16-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Universitas Indonesia

BAB IV

KONSEPSI ISLAM KULTURAL DALAM PEMIKIRAN NURCHOLISH

MADJID

4.1 Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong

Munculnya Islam Kultural

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru muncul harapan baru di kalangan umat

Islam bahwa mereka dapat berperan aktif dalam politik.263 Munculnya harapan itu

dikarenakan beberapa tindakan pemerintah Orde Baru yang menunjukkan

“pemihakan” kepada umat Islam, seperti pembebasan tokoh-tokoh Islam dan

diizinkannya koran dan majalah Islam diterbitkan kembali setelah sebelumnya

pada masa Soekarno dilarang. Selain itu, umat Islam berkeyakinan bahwa mereka

memiliki peran yang besar dalam memberangus gerakan komunis di Indonesia

(PKI). Oleh karena itu, suatu hal yang wajar, menurut mereka, bahwa mereka

dapat kembali berperan secara aktif dalam politik—setelah sebelumnya pada

Demokrasi Terpimpin hal itu mengalami kendala dan halangan. Dengan aktifnya

umat Islam dalam politik, maka harapan untuk kembali mengajukan Piagam

Jakarta sebagai dasar negara dan pelaksanaan agenda-agenda yang

menguntungkan umat Islam dapat direalisasikan.

Orde Baru pada awal pemerintahannya membebaskan tokoh-tokoh penting

Islam yang dipenjara oleh rezim Soekarno, seperti HAMKA (Haji Abdul Malik

Karim Amrullah), Isa Anshary, dan Burhanuddin Harahap. Melihat tindakan

pemerintah Orde Baru tersebut, wajar saja umat Islam beranggapan Orde Baru

akan berbeda dengan Orde Lama. Antusiasme umat Islam dalam menyambut

harapan baru itu terlihat dalam acara tasyakuran yang diadakan di Mesjid Al-

Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 14 Agustus 1966. B.J. Boland

menyebutkan acara tersebut dihadiri 50.000 umat Islam dan pemimpin-pemimpin

besar politik Islam seperti Sjafruddin Prawiranegara, Asaat, Prawoto

263Harapan ini muncul dikarenakan sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin,

aspirasi politik umat Islam banyak dibungkam oleh Soekarno, seperti misalnya pembubaran Masjumi dan penangkapan tokoh-tokoh penting umat Islam (tokoh-tokoh Masjumi). Walaupun pada masa itu partai NU, PSII, dan Perti ikut “dilibatkan” dalam pemerintahan Soekarno, namun mereka tidak dapat berbuat banyak dalam mewujudkan aspirasi politik umat Islam.

93 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Mangkusasmito, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, dan Mohammad

Natsir.264

Tahap pertama yang dilakukan oleh umat Islam untuk mewujudkan

harapannya adalah merehabilitasi Masjumi.265 Pada permulaan Juni 1966,

organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, secara terbuka mulai

menganjurkan perehabilitasian Masjumi.266 Sebagaimana diketahui, Masjumi

pada masa Demokrasi Terpimpin telah dipaksa Soekarno membubarkan diri.

Dukungan terhadap usaha rehabilitasi Masjumi itu tidak hanya datang dari

organisasi-organisasi Islam saja, melainkan juga dari Persahi (Persatuan Sarjana

Hukum Indonesia). Pada tanggal 3 Desember 1966, Persahi mengeluarkan

pendapat bahwa pembubaran Masjumi dan PSI tidak dapat dibenarkan, dan harus

direhabilitasi segera, sebab mereka adalah korban Orde Lama.267 Dengan adanya

dukungan dari Persahi ini menunjukkan bahwa aspirasi perehabilitasian Masjumi

tidak hanya didukung oleh umat Islam saja, melainkan oleh kalangan lainnya,

termasuk kalangan intelektual seperti Persahi.

Namun demikian, keinginan besar umat Islam tersebut mendapatkan

jawaban yang tidak mengenakkan dari Soeharto. Dalam surat yang dikirimkan

Soeharto kepada Prawoto Mangkusasmito pada 6 Januari 1967, sebagai balasan

surat Prawoto Mangkusasmito pada 22 Desember 1966 mengenai keberatan

terhadap status pembubaran Masjumi, dinyatakan bahwa Soeharto berdasarkan

alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis menolak rehabilitasi Masjumi.268

Alasan lain yang sebenarnya paling memengaruhi keputusan pemerintah itu

264B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff,

1971, hal. 148 265Masjumi dianggap sebagai partai terbesar Islam. Hal ini dibuktikan dengan

kemenangan Masjumi dalam Pemilu 1955 di wilayah-wilayah Indonesia. Walaupun umat Islam juga memiliki partai lain seperti NU, PSII, dan Perti namun partai-partai itu hanya berkembang di wilayah tertentu saja, seperti NU dan PSII di Jawa dan Perti di Sumatera Tengah. Sedangkan Masjumi berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ini dibuktikan pada pemilu tahun 1955. Oleh karena itu, ketika melihat ada kesempatan pada masa awal Orde Baru, umat Islam segera berusaha melakukan rehabilitasi Masjumi.

266Boland, The Struggle, hal. 151 267Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 190 268Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani

Press, 1996 , hal. 242

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

adalah dikhawatirkan akan menyebabkan bangkitnya “ekstremis” Islam apabila

Masjumi direhabilitasi.269

Pada tanggal 24 Oktober 1967, Mohammad Natsir mengirim surat kepada

pemerintah yang berisi pernyataan bahwa para tokoh Masjumi menegaskan

sikapnya secara terbuka, kalau partai Masjumi bisa direhabilitasi, maka M. Natsir

tidak akan menjadi pemimpin partai tersebut.270 Pernyataan ini nampaknya ingin

menghilangkan keberatan atau kekhawatiran pemerintah apabila Masjumi

direhabilitasi maka yang akan memimpin adalah Natsir.271 Namun, surat M. Natsir

ini tidak berhasil merubah keputusan Soeharto dalam menolak perehabilitasian

Masjumi.

Akan tetapi, Soeharto menyadari bahwa kekuatan politik Islam memiliki

basis massa yang besar sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Bukti besarnya

kekuatan massa Islam disaksikan Soeharto sendiri ketika umat Islam bersama

dengan Angkatan Darat berhasil memberangus komunis (PKI). Berangkat dari

kenyataan itu, Soeharto tetap berusaha mengakomodasi tuntutan rehabilitasi

Masjumi. Maka pada bulan Mei 1967, Soeharto menyatakan bahwa pemerintah

tidak berkeberatan terhadap pembentukan partai berbasis massa eks-Masjumi.

Pernyataan pemerintah itu direspons dengan cepat oleh tokoh politik Islam yang

dengan segera membentuk “Komite Tujuh” yang diketuai oleh Prawoto

Mangkusasmito.272 Komite ini akhirnya berhasil membentuk Parmusi (Partai

Muslimin Indonesia). Pemerintah, melalui Surat Keputusan Presiden No. 70 tahun

1968, kemudian mensahkan Parmusi pada tanggal 20 Februari 1968.273 Dengan

terbentuknya partai ini, maka sarana perjuangan cita-cita politik umat Islam

diharapkan dapat segera terealisasikan.

269Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 167 270Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah:

Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hal. 183 271Kekhawatiran pemerintah terhadap Natsir nampaknya dilatarbelakangi “sepak terjang”

Natsir pada masa sebelum Orde Baru berhasil meraih kekuasaan. Sebagaimana diketahui, Natsir merupakan salah satu tokoh Masjumi yang sangat kritis kepada pemerintah. Selain itu, Natsir merupakan tokoh yang konsisten memperjuangkan negara Islam dan juga ikut terlibat dalam PRRI.

272Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 86

273Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hal. 76

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Dengan terbentuknya Parmusi, pemimpin Islam eks-Masjumi berharap

dapat kembali aktif dalam politik. Ternyata, harapan itu tidak dapat terlaksana

dikarenakan mendapat penentangan dari pemerintah Orde Baru. Padahal,

Angkatan Darat dalam Seminar Angkatan Darat yang dilaksanakan pada Agustus

1966 menyatakan:

Anggota-anggota bekas partai yang dinyatakan terlarang (PSI, Masjumi, dan Murba) masih berstatus warga negara Indonesia dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila mereka segera diikutsertakan dalam kehidupan politik, supaya mendapat kesempatan yang sama untuk dapat dipilih dan memilih.274 Pernyataan itu pada akhirnya hanya merupakan pernyataan saja. Artinya,

ia tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap kebijakan pemerintah Orde

Baru.275 Para pemimpin eks-Masjumi tetap tidak diizinkan memimpin Parmusi,

sekalipun pada masa Masjumi masih berdiri pemimpin itu bersikap moderat

seperti Mohamad Roem. Tidak hanya melarang pemimpin eks-Masjumi

memimpin Parmusi, lebih jauh pemerintah Orde Baru juga melarang mereka

menjadi calon anggota legislatif Parmusi dalam pemilu 1971.276 Hampir 75%

calon yang diajukan oleh Parmusi ditolak pemerintah dengan alasan mereka masih

memiliki ikatan emosional dengan Masjumi.277 Selain itu, pemerintah Orde Baru

tidak mengizinkan tokoh-tokoh eks-Masjumi itu menjadi juru kampanye

Parmusi.278 Tindakan pemerintah Orde Baru ini menunjukkan sikap tidak

memihak mereka terhadap Islam politik yang diwakili oleh pemimpin-pemimpin

274Maarif, Islam dan Masalah, hal. 190 275Adanya perbedaan antara pernyataan Angkatan Darat dalam Seminar Seskoad dengan

keputusan pemerintah Orde Baru menunjukkan bahwa dalam ABRI, khususnya Angkatan Darat, terdapat perbedaan pemikiran dalam menyikapi status pemimpin eks-Masjumi atau Islam. Dalam ABRI terdapat dua aliran pemikiran, yaitu radikalis tentara (army radicals) dan pendukung Soeharto. Radikalis tentara berpandangan sekular yang menginginkan suatu perbaikan sistem politik secara keselurahan, sedangkan pendukung Soeharto memprioritaskan konsolidasi dan stabilisasi. Untuk lebih jelas lihat Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hal. 36-37

276Namun demikian, tindakan pemerintah ini didukung oleh ketua Parmusi yang ditunjuk oleh pemerintah, yaitu H.M.S. Mintaredja. Setelah ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru, Mintaredja langsung menyatakan tidak keberatan apabila pemerintah menghapus nama-nama tokoh Masjumi yang masuk dalam daftar calon untuk Pemilu 1971. Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah: Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hal. 179

277Tim Peduli Tapol, Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam, Yogyakarta: Wihdah Press, 1998, hal. 14

278Afan Gaffar, “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia”, dalam M. Imam Aziz, dkk. (penyunting), Agama, Demokrasi, dan Keadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 104

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

eks-Masjumi. Pemerintah Orde Baru nampaknya masih menganggap pemimpin

eks-Masjumi sebagai lawan potensial bagi kekuasaan mereka, sehingga usaha

apapun yang mengarah kepada penguatan keberadaan mereka akan dicegah oleh

pemerintah.

Pemerintah juga memberikan berbagai stigma yang cenderung berkonotasi

negatif seperti “kelompok ekstrem”, “garis keras”, atau “kelompok kanan” (sebuah

padanan kutukan politik atas PKI sebagai “ekstrem kiri”). Alasan pemerintah

menerapkan kebijakan ini adalah karena khawatir terhadap potensi mereka di

dalam memobilisasi umat untuk mengembalikan percaturan politik liberal pra-

Demokrasi Terpimpin.279 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Orde

Baru masih menganggap Islam sebagai kekuatan yang dapat “mengganggu”

jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mencegah

kembalinya para pemimpin politik Islam dalam aktivitas politik. Tindakan

pemerintah Orde Baru ini pada akhirnya kembali menimbulkan kekecewaan

kepada para pemimpin politik Islam.

Peristiwa politik lainnya yang menunjukkan upaya serius kalangan Islam

untuk merealisasikan cita-cita politiknya adalah usaha pengakuan Piagam Jakarta

sebagai dasar negara. Untuk merealisasikan cita-cita ini, pada tahun-tahun 1968

dan 1969, partai-partai Islam menyelenggarakan “Hari Peringatan Piagam

Jakarta” yang diselenggarakan setiap tanggal 22 Juni. Penyelenggaraan kegiatan

ini mendapat respons yang besar dari umat Islam. Isu mengenai Piagam Jakarta ini

mendorong kekuatan-kekuatan Islam kembali merapatkan barisan setelah

sebelumnya mengalami keretakan. Bersatunya umat Islam menjadi penting agar

pengajuan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dapat terlaksana dengan mudah.

Selain itu, dengan bersatunya umat Islam, sebagaimana mereka bersatu ketika

memberangus PKI, maka umat Islam dapat memberikan “tekanan” kepada

pemerintah untuk mengabulkan keinginannya.

Pada Sidang MPRS, 25-28 Maret 1968, pemimpin politik Islam berusaha

keras memasukkan Piagam Jakarta ke dalam agenda keputusan Sidang Umum

MPRS 1968 Komisi II. Akan tetapi usaha ini mendapat penentangan keras dari

kelompok PNI, Kristen, dan wakil ABRI. Ketiga kelompok ini, yang pada masa-

279Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 168

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

masa sebelumnya juga menentang Piagam Jakarta, ternyata tidak mengalami

perubahan sikap walaupun mereka telah menyaksikan peran umat Islam dalam

memberangus PKI. Perbenturan antara yang menuntut dan menolak Piagam

Jakarta dalam Komisi itu mengakibatkan persidangan menemui jalan buntu.

Melihat kenyataan itu, para wakil pemimpin politik Islam mengusulkan diadakan

pemungutan suara untuk menentukan keputusan akhir. Namun, usulan dari

kelompok Islam itu ditolak PNI.280 Akibat tidak adanya kesepakatan yang dicapai

mengenai hal ini, masa persidangan diperpanjang, tetapi kemajuan yang berarti

masih tidak bisa dicapai.281 Sampai persidangan ditutup oleh Nasution pada 31

Maret 1968, permasalahan ini tetap tidak menemukan penyelesaian.

Setelah perjuangan pengakuan Piagam Jakarta dalam persidangan Komisi

II dan Komisi III MPRS tidak berhasil sampai SU MPRS ditutup, maka wakil-

wakil partai Islam dari NU, PSII, dan Parmusi menemui Soeharto.282 Dalam

pertemuan itu wakil-wakil partai Islam mengemukakan keinginannya agar

pemerintah menjadikan aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik

resmi negara. Akan tetapi keinginan itu ditolak oleh Soeharto. Soeharto kemudian

menegaskan dalam Kongres Veteran pada April 1968 bahwa dia tidak bersedia

melaksanakan usul-usul dasar yang tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.283

Penolakan Soeharto terhadap gagasan pengakuan Piagam Jakarta

nampaknya dilandasi keyakinan bahwa perjuangan Orde Baru harus bebas dari

politik yang didasarkan kepada ideologi. Konflik ideologi pada masa-masa

sebelumnya, menurut pemerintah Orde Baru mengakibatkan kehancuran ekonomi.

Oleh karena itu, menurut Mohtar Mas’oed, seiring dengan slogan “ekonomi

sebagai panglima”, para intelektual Orde Baru mengajukan argumen tentang

280PNI menolak usulan kelompok Islam ini dengan alasan “untuk mencegah akibat-akibat

yang tidak diinginkan”. Lihat Nazarudin Syamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali Press, 1984, 177

281Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 82. 282Dalam menanggapi seruan vokal yang menghendaki dihidupkannya kembali Piagam

Jakarta, Letjen Soeharto, mengundang kelompok Islam dan meminta penjelasan bagaimana Piagam tersebut dilaksanakan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Pertemuan tersebut menghasilkan pembentukan tim ad hoc di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Deliar Noer, ketua Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), dengan tugas merumuskan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sayangnya sampai sekarang konsep tersebut tidak pernah muncul. Lihat Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001

283Cahyono, Peranan Ulama, hal. 73-74

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari ideologi.284 Namun

demikian, alasan penolakan pengakuan Piagam Jakarta dikarenakan semata-mata

alasan kekhawatiran konflik ideologi masih harus dipertanyakan. Artinya,

penolakan itu tidak hanya didasarkan kekhawatiran munculnya konflik ideologi

yang dapat menyebabkan terganggunya ekonomi, melainkan juga dikarenakan

terdapat alasan-alasan lain, seperti islamophobia di kalangan pejabat Orde Baru.

Kegagalan perjuangan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pandangan

di kalangan umat Islam, baik di kalangan Islam modernis dengan Islam

tradisionalis maupun di antara kalangan Islam modernis sendiri. Sebagian

kalangan berupaya memaksakan usaha pengakuan Piagam Jakarta ini. Adapun

beberapa kalangan Islam modernis berpendapat bahwa usaha pemberlakuan

Piagam Jakarta dalam situasi politik yang tidak mendukung usaha tersebut

merupakan usaha yang sia-sia. Sementara itu terdapat pandangan lain yang

menyatakan bahwa perjuangan menegakkan negara Islam merupakan khayalan

ideologis belaka.285

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin umat Islam terus terjadi pasca

kegagalan pengakuan kembali Piagam Jakarta. Sebagian kalangan tetap bersikeras

berusaha melakukan upaya tersebut. Akhirnya, pada 25 Oktober 1972, Mintaredja

menghadap Presiden Soeharto, dengan mengatasnamakan seluruh umat Islam,

memberi kepastian kepada Presiden bahwa Piagam Jakarta pasti tidak akan

disinggung dalam sidang MPR bulan Maret 1973.286

Usaha lain yang dilakukan para pemimpin politik Islam untuk

merealisasikan cita-cita politik Islam adalah pembentukan Majelis

Permusyawaratan Islam (MPI). Pembentukan institusi politik ini tidak kalah

menariknya dengan rehabilitasi Masjumi dan usaha pengakuan Piagam Jakarta

dalam SU MPRS karena seluruh elemen kekuatan politik Islam yang ada pada

waktu itu menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan

tidak adanya satu pun organisasi massa Islam yang menolak pembentukan forum

bersama umat Islam Indonesia.287 Sekali lagi nampak bahwa umat Islam ketika

284Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES,

1989, hal. 132 285Hefner, Civil Islam, hal. 173 286Cahyono, Peranan Ulama, hal. 77-78 287Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 89

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

berusaha merealisasikan keinginannya mereka menunjukkan kekompakan dan

persatuannya. Kekompakan umat Islam dan besarnya massa umat Islam ini

menjadi alasan yang kuat bagi adanya kekhawatiran pemerintah Orde Baru.

Ide pembentukan Majelis Permusyawaratan Islam berawal dari himbauan

yang dilontarkan oleh Harian Operasi, 10 Juni 1968, tentang perlunya dibangun

Majelis Pimpinan Perjuangan Umat Islam Indonesia. Himbauan itu bergayung

bersambut dengan seruan Jenderal Nasution dalam harian Duta Masyarakat, 17

Juni 1968, yang juga mendesak dibentuknya Majelis Permusyawaratan Islam.

Kedua himbauan itu akhirnya membangkitkan gairah tokoh-tokoh Islam untuk

menyelenggarakan forum yang dinamakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII).

Rencananya KUII akan dihadiri oleh seluruh organisasi dan partai Islam yang ada

di Indonesia dengan agenda kesatuan langkah dan program bersama dalam

menyambut Orde Baru. Akan tetapi harapan diselenggarakannya KUII yang

diharapkan sebagai momentum awal kebangkitan Islam pada masa Orde Baru

menjadi gagal total karena tidak diizinkan pemerintah.288

Pemerintahan Soeharto secara sistematis melakukan usaha-usaha

peminggiran Islam politik dalam kancah politik nasional Indonesia. Sepanjang

periode tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah juga meminggirkan simbol-

simbol Islam seperti terlihat dalam kebijakan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan mengenai penghapusan libur bulan Ramadhan dan larangan

pemakaian jilbab di sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta.289

Peminggiran Islam politik pada masa Orde Baru mencapai puncaknya

pada tahun 1985. Pada tahun itu pemerintah memberlakukan undang-undang

organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang berakibat kepada hilangnya

partai Islam.290 Undang-undang itu mewajibkan semua organisasi masyarakat dan

partai politik untuk menggunakan asas Pancasila sebagai asas organisasinya.

Dengan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, maka Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) yang dianggap sebagai perwakilan partai Islam tidak bisa

lagi mengklaim dirinya sebagai partai Islam. PPP yang sebelumnya eksklusif

288Ibid., hal. 89-90 289Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran

Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. xii 290M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999, hal. 50

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

untuk umat Islam dipaksa pemerintah menjadi partai terbuka untuk semua

golongan.

Islam politik yang dianut oleh para pemimpin politik Islam mengakibatkan

umat Islam berada pada posisi marginal dalam perpolitikan Orde Baru. Indikasi

paling nyata semakin merosotnya posisi politik umat Islam dapat dilihat dari

hampir tidak adanya jabatan strategis negara yang dipegang oleh tokoh-tokoh

yang memiliki latar belakang “gerakan Islam”. Dalam empat kabinet Orde Baru,

sedikit sekali Muslim santri yang diangkat menjadi menteri. Sementara itu,

berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah banyak yang tidak

mengakomodasi aspirasi umat Islam.291 Dalam proses pengambilan keputusan

kebijakan, pemerintah tidak melibatkan elit-elit partai Islam.292 Keadaan tidak

mengenakkan ini tentu saja membawa intelektual Islam pada masa awal

pemerintahan Orde Baru berusaha mencari cara agar masalah ini tidak terus

berlarut-berlarut. Karena bagaimana pun juga umat Islam merupakan golongan

mayoritas di Indonesia, sehingga umat Islam harus berperan dalam membangun

bangsa Indonesia.

Dari berbagai peristiwa politik di atas sangat jelas menunjukkan bahwa

pemerintah Orde Baru yang baru berkuasa tidak berpihak kepada agenda politik

umat Islam. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto

memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing

kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang

nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua

pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-

partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal

menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang

Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di

Majelis Konstituate mengenai masa depan konstitusi Indonesia), serta pada tahun

1968 (SU MPRS), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali

disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”. Selain berhasil dikalahkan

291Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 143-142 dan Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 117

292Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 170. Lihat juga M. Rusli Karim, Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru, Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992, hal. 8

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara

simbolik, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai

menentang ideologi negara Pancasila.293 Keadaan itu tentu saja menimbulkan

kekecewaan, bahkan perlawanan keras sebagian umat Islam, terutama kalangan

Islam politik.

Keadaan terpinggirnya Islam politik ini, menurut Rusli Karim294,

menimbulkan dua reaksi umat Islam. Reaksi pertama adalah reaksi yang bersifat

negatif, yaitu munculnya berbagai pergerakan berlebihan, oposisi terhadap

pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan

agama. Tindakan seperti ini makin membuka peluang bagi pemerintah untuk

menekan umat Islam. Reaksi yang kedua adalah munculnya “kreativitas” untuk

mencari jalan keluar dari “kebuntuan” Islam politik. Reaksi semacam ini terutama

dilakukan oleh kelompok cendekiawan dan intelektual Muslim. Kegiatan ini

ternyata kemudian memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong

pemerintah untuk mengambil sikap akomodatif terhadap Islam.

Dengan demikian, kejatuhan Islam politik (dalam arti politik formal) di

Indonesia tidaklah menyebabkan Islam kehilangan elan vital dalam kerja

intelektual.295 Nurcholish Madjid yang ketika itu sebagai salah satu intelektual

muda Islam berusaha mencari cara agar umat Islam dapat berperan aktif dalam

membangun bangsa. Menurut Nurcholish Madjid pentingnya umat Islam berperan

aktif dalam membangun bangsa Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk

Indonesia beragama Islam, sehingga dalam pemikiran Nurcholish Madjid

kemajuan bangsa Indonesia juga berarti kemajuan umat Islam.

Keadaan politik yang tidak mengenakkan umat Islam pada masa Orde

Baru berbanding terbalik dengan keadaan nyata umat Islam di lapangan. Artinya

keadaan elit politik umat Islam yang mendapat tekanan dari pemerintah sangat

berbeda dengan keadaan umat Islam secara umum. Dalam pengamatan Nurcholish

Madjid umat Islam pada masa awal Orde Baru mengalami perkembangan yang

293Effendy, Islam dan Negara, hal. 2-3 294Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 50-51 295Ahmad Syafii Maarif, “Pengaruh Gerakan Modern Islam Indonesia terhadap

Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia Dewasa Ini”, dalam Akmal Nasery B., Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. III, Bandung: Mizan, 1991, hal. 49

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

sangat pesat, terutama dari segi jumlah pengikut.296 Daerah-daerah yang dulunya

kurang mengenal Islam secara baik, kemudian menjadikan Islam sebagai agama

utamanya, di samping agama-agama lain yang sudah ada. Selain itu Nurcholish

Madjid juga melihat meningkatnya perhatian kalangan menengah atas kepada

Islam. Hal itu terlihat, misalnya, dalam pengamalan kehidupan beragama mereka

sehari-hari ataupun dalam pernyataan dan sikap mereka yang resmi.297

Pengamatan Nurcholish Madjid ini dapat ditemukan pada kasus Pasuruan. Dua

tahun pasca peristiwa 30 September 1965, orang-orang Jawa di wilayah Pasuruan

meningkat perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan keislaman di masjid, seperti

salat berjamaah dan pengajian, karena dengan cara itu tuduhan sebagai komunis

menjadi berkurang.298

Namun demikian, terdapat perbedaan antara kasus masyarakat biasa, kasus

Pasuruan misalnya, dengan kasus mahasiswa. Apabila masyarakat meningkatkan

ibadahnya terhadap Islam dikarenakan sebuah ketakutan dicap sebagai komunis,

maka dikalangan mahasiswa hal itu terjadi dengan sendirinya (sukarela). Artinya,

peningkatan ibadah dalam kalangan mahasiswa tidak memiliki kaitan langsung

dengan ketakutan dicap sebagai komunis melainkan dikarenakan peningkatan

pengajaran pelajaran agama di universitas-universitas sekuler. Di ITB (Institut

Teknologi Bandung) misalnya, sebelum peristiwa 30 September, mahasiswa yang

melakukan salat Jumat digelari “Unta Arab”.299 Setelah peristiwa 30 September,

gelar tersebut tidak ditemukan lagi karena terjadi peningkatan perhatian

mahasiswa terhadap Islam.

296Namun demikian Nurcholish Madjid juga mengkritik umat Islam Indonesia yang lebih

mementingkan jumlah (kuantitas) daripada mutu (kualitas). Lihat Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 205. Kritikan Nurcholish Madjid tersebut sebenarnya untuk mendorong umat Islam agar tidak terpaku dengan banyaknya jumlah umat Islam saja (mayoritas jumlah) tetapi sebaliknya umat Islam harus meningkatkan mutu atau kualitasnya. Dengan meningkatnya kualitas umat Islam maka umat Islam dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa Indonesia.

297Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 204

298Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, (Penerjemah A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad), Yogyakarta: LkiS, 1999, hal. 359

299Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 518

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Sementara itu, Nurcholish Madjid melihat para tokoh dan pemimpin umat

Islam masih saja terlibat dalam konflik-konflik politik yang berkepanjangan dan

melelahkan dengan sesamanya atau dengan pemerintah. Sedang di pihak lain,

muncul perkembangan-perkembangan baru yang menuntut adanya pemikiran

alternatif baik di bidang agama maupun sosial politik. Dalam pandangan

Nurcholish Madjid, partai dan organisasi-organisasi Islam justru tidak peka

terhadap adanya perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat.300

Nurcholish Madjid, dalam pidatonya tanggal 2 Januari 1970,

menyimpulkan bahwa dia merasa yakin bahwa Islam tidak mungkin lagi akan

mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkan diwujudkan dalam jalur

partai politik praktis. Dalam kaitan ini, untuk menjaga kepentingan dan

kesinambungan perkembangan umat, dia menyerukan “Islam Yes, Partai Islam,

No” sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebutnya

“sekularisasi”.301 Dengan nada bertanya, Nurcholish Madjid mengajukan

pendapatnya:302

Sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada adalah image sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya, makin lama makin menanjak). Nurcholish Madjid juga mengkritik kecenderungan para tokoh Islam pada

waktu itu yang telah “mensakralkan” institusi-institusi profan seperti partai Islam,

ideologi Islam, dan gagasan negara Islam. Menurut Nurcholish Madjid yang

sakral hanyalah Allah semata, sedangkan persoalan lain seperti negara Islam,

partai Islam, dan ideologi Islam tidaklah sakral, karena Alquran maupun Hadis

tidak memerintahkan hal tersebut.

300M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang

Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 48 301Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 173 302Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 205

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Gagasan Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan nama Islam

kultural.303 Pemberian nama Islam kultural nampaknya ingin mengkontraskan

dengan Islam politik. Namun demikian, kemunculan Islam kultural sebenarnya

bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif304

atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan,

revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru.

Dengan adanya Islam kultural diharapkan umat Islam tidak mengalami

peminggiran lagi dalam aktifitas pembangunan bangsa Indonesia. Umat Islam

diharapkan berperan aktif dalam membangun Indonesia karena sebagaimana yang

dikatakan Nurcholish Madjid maju dan mundurnya Indonesia akan mendatangkan

keuntungan maupun kerugian bagi umat Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena

mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

Kemunculan Islam kultural dapat disebut sebagai langkah strategis untuk

menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam dan umat Islam. Rusli Karim

menyebutkan ada empat faktor yang mendorong kemunculan Islam kultural

sebagai suatu gerakan pembaruan di Indonesia.305 Pertama, kemerdekaan yang

dicapai bangsa Indonesia pada tahun 1945 telah menghilangkan sekat-sekat bagi

umat Islam sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan warga

negara lainnya. Kedua, sebagai hasil dari sosialisasi nilai modern melalui

“pendidikan umum” telah “membuka mata” umat Islam untuk lebih realistik

dalam menghadapi realitas kehidupan sekarang ini. Ketiga, sebagai

kesinambungan dari pencapaian pembaruan yang telah dirintis oleh kelompok

modernis sepanjang abad ke-20. Keempat, sebagai realisasi dari tanggung jawab

303Dikarenakan makalah yang dibacakan oleh Nurcholish Madjid pada tanggal 2 Januari

1972 memuat tentang pembaruan di kalangan umat Islam maka pada awalnya makalah itu dikenal sebagai makalah pembaruan sehingga sebagian kalangan kemudian menyebutnya sebagai gerakan pembaruan. Namun demikian, terdapat juga sebagian kalangan, seperti Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, yang menyebutnya dengan istilah gerakan “pemikiran baru”. Pada tahun 1980-an, gerakan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan istilah Islam kultural. Lihat catatan kaki nomor 9 Bab I

304Menurut Maswadi Rauf dikarenakan kemungkinan perdebatan hubungan Islam dengan politik tidak akan selesai, maka yang akan muncul paling-paling berbagai alternatif (pemikiran) yang dihasilkan oleh pemikir Islam, bukan sebuah kesepakatan. Lihat Maswadi Rauf, “Kata Pengantar, Islam dan Politik: Sebuah Debat Yang Tidak Pernah Selesai”, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, hal. viii

305Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 196

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

agama yang bertumpu kepada iman yang benar dan pemahaman yang cukup

terhadap berbagai aspek ajaran Islam.

Penulis sendiri melihat ada beberapa faktor yang mendorong munculnya

Islam kultural, yaitu pertama, keterbelakangan umat Islam di Indonesia akibat

dari sikap konfrontasi dengan pemerintah yang dilakukan oleh gerakan Islam

politik. Dalam hal ini, umat Islam harus mengalami peminggiran dalam politik

karena sikap penentangan kepada pemerintah, seperti misalnya dalam kabinet-

kabinet awal pemerintahan Soeharto golongan Islam hanya diwakili oleh beberapa

menteri saja. Kedua, kebuntuan gerakan Islam politik di Indonesia. Sebagaimana

yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, perjuangan Islam politik

dalam membentuk negara Islam berulang kali menemukan kegagalan. Ketiga,

kegagalan demi kegagalam Islam politik dalam perjuangan pengakuan Piagam

Jakarta (pembentukan negara Islam). Keempat, tekanan keras dari pemerintah

terhadap setiap kegiatan Islam politik. Kelima, usaha untuk melibatkan umat

Islam dalam pembangunan bangsa Indonesia secara aktif.

4.2 Islam Kultural dalam Konsepsi Nurcholish Madjid

Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan salah satu komponen yang

membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Dalam hal ini,

Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam. Yang paling

penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam,

yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.306

Menurut Nurcholish Madjid ada beberapa kata kunci dalam pendekatan

kultural (Islam kultural) yang ditawarkannya, yaitu pertama yang dimaksud

dengan tawaran kultural itu tidak semata-mata menunjuk hal-hal sempit dan

partisan, misalnya politik dan ideologi semata, tetapi kultural dalam format yang

meliputi segala-galanya. Kedua, itu berarti harus responsif terhadap tantangan

zaman. Artinya Islam harus tampil responsif terhadap tantangan zaman sehingga

tidak ada istilah akhir perjalanan. Ketiga, harus merupakan hasil dialog dengan

tuntutan-tuntutan ruang dan waktu, misalnya untuk Indonesia, Islam harus

melakukan dialog dengan tuntutan di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat

semacam kesejajaran, jika tidak kesatuan, antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

306Effendy, Islam dan Negara, hal. 16

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Islamic values dengan Indonesian values itu sebetulnya tidak bisa dipisahkan.

Dan ini sebenarnya sudah menjadi kenyataan nasional kita, misalnya istilah

perpolitikan yang berasal dari Islam: musyawarah, mufakat, rakyat, dewan,

hukum, tertib, aman, masalah, dan sebagainya. Keempat, ekslusivisme itu harus

diakhiri, diganti dengan inklusivisme, serba meliputi siapa saja.307

Gagasan Islam kultural untuk pertama kali termuat dalam makalah

pembaruan Nurcholish Madjid yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 1970 di

Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta. Dalam

makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah

Integrasi Umat” itu termuat beberapa pokok pemikiran atau gagasan Nurcholish

Madjid. Di sini hanya akan dibicarakan tema “sekularisasi” dan slogan “Islam

Yes, Partai Islam No”, karena dua tema tersebut merupakan tema sentral yang

berkaitan dengan gagasan Islam kultural.

Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk

menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi (profan), dan

melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan

kata lain, sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi

terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Illahiah

(transendental), yaitu dunia ini.308 Apapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti

nilai-nilai dan benda-benda, harus didesakralisasikan. Sedangkan yang harus

disakralisasikan hanya Allah.309

Namun demikian, dalam makalahnya itu Nurcholish Madjid tidak secara

jelas menyebutkan contoh apa saja yang harus dikenai konsep sekularisasinya itu.

Dia hanya menyebutkan secara umum, seperti benda-benda dan nilai-nilai yang

ada di dunia ini tanpa menjelaskan atau menyebutkan benda apakah atau nilai

apakah yang harus disekularisasikan. Selain itu, Nurcholish Madjid juga tidak

307Wawancara Majalah MATRA, “Tidak Usah Munafik!”, No. 77 Desember 1992 308Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208 309Gagasan Nurcholish Madjid ini hanya menyangkut satu sisi ajaran Islam saja, yaitu

teologi (kalam). Gagasannya ini tidak menyinggung masalah fiqh, misalnya, dikarenakan dia beranggapan bahwa fiqh itu mengandung masalah khilafiyah (masalah yang diperselisihkan hukumnya) yang mendorong umat untuk bertengkar dalam soal-soal yang tidak prinsipil (furu’iyah). Dalam kasus Islam Indonesia dapat dilihat perselisihan pengikut Muhammadiyah dengan NU dikarenakan masalah doa Qunut dalam salat Subuh. Padahal, Qunut sendiri merupakan permasalahan furu’iyah dalam agama Islam.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

secara tegas menyebutkan nilai-nilai yang telah diukhrawikan oleh umat Islam.310

Ketidakjelasan inilah yang nampaknya mendorong munculnya kritikan keras

kepada Nurcholish Madjid.

Salah satu tujuan sekularisasi Nurcholis Madjid adalah

menyentuhtanahkan (me-landing-kan) ajaran-ajaran agama sehingga sambung

dengan kehidupan nyata dan menjadi relevan dengan ruang dan waktu.311 Dengan

demikian, sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mengubah umat Islam menjadi

sekularis, melainkan untuk memantapkan tugas duniawi manusia sebagai

“khalifah Allah di bumi”. Tugas sebagai khalifah Allah itu pada gilirannya

memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan

memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan

hidupnya di bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya

tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Allah.312

Artinya, setelah manusia diberikan kebebasan, maka ia harus

mempertanggungjawabkan kebebasannya itu. Sebaliknya, apabila manusia tidak

memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu untuk hidupnya, bagaimana

mungkin dia akan diminta pertanggungjawabannya.313

Walaupun demikian, sekularisasi, menurut Nurcholish Madjid, memang

dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi

paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara.314 Tapi, ini bukanlah satu-

satunya arti istilah sekularisasi. Arti lainnya ialah yang bersifat sosiologis, bukan

filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah.

Nurcholish Madjid, dengan mengutip Parsons, menunjukkan bahwa sekularisasi,

310Contoh beduk dan kain sarung (yang duniawi) yang harus dipisahkan dari sahnya salat yang ukhrawi, itu kabarnya soal yang sudah dipecahkan bapak-bapaknya Hamka dahulu kala. Lebih lengkapnya lihat “Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41

311Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret 1983 dengan judul “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 21

312Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207 313Konsep mengenai “kebebasan” manusia ini dalam Islam melahirkan berbagai macam

aliran Kalam (teologi), seperti aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Murjiah, As’ariyah, dan lain sebagainya. Dengan melihat konsep “kebebasan” Nurcholish Madjid tersebut, kemungkinan besar dia lebih dekat kepada konsep “kebebasan” yang dianut oleh aliran Qadariyah atau Mu’tazilah.

314Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008), hal. 2968

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

sebagai suatu bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada

pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek

kehidupannya. Hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam

norma-norma dari nilai kemasyarakatan itu. Bahkan, proses pembebasan dari

takhayul itu bisa semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan

logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.315

Nurcholish Madjid juga menyebutkan pandangan Robert N. Bellah tentang

sekularisasi.316 Ketika Bellah mengemukakan ciri-ciri masyarakat Islam Klasik

(zaman Nabi dan al-Khulafâ al-Rasyidûn) yang dia nilai sebagai sebuah

masyarakat modern, Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural Islam Klasik

yang relevan dengan argumennya (bahwa Islam Klasik itu modern), yaitu

monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, devaluasi

radikal, atau sekularisasi pranata kesukuan Arab Jahiliyah, dan, akhirnya sistem

politik demokratis. Untuk jelasnya, mengenai sekularisasi itu, Robert N. Bellah

mengatakan bahwa Islam Klasik telah melakukan “devaluasi radikal dan orang

dibenarkan menyebutnya sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada

berhadapan dengan hubungan antara Allah dan manusia yang sentral itu. Di atas

segalanya hal ini berarti pencopotan pranata kesukuan atau perkeluargaan

(kinship), yang telah menjadi pusat kesucian Arabia sebelum Islam, dari makna

sentralnya”. Dengan kata lain, proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi”,

dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain

berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman

Jahiliyah pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka.

Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka

“sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan

bid’ah, khurafat, dan praktik syirik lainnya317 yang kesemuanya itu berlangsung di

bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan

315Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969 316Ibid. 317Konsep sekularisasi Bellah yang mempunyai makna pemberantasan bid’ah, khurafat,

dan syirik memiliki kesamaan dengan agenda Muhammadiyah pada awal pendiriannya, yaitu pemberantasan terhadap penyakit-penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Jadi, konsep sekularisasi Bellah yang “dipinjam” oleh Nurcholish Madjid ini sebenarnya hanya mengulangi apa yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dahulu. Hanya saja Muhammadiyah tidak menggunakan istilah “sekularisasi” melainkan langsung menggunakan istilah TBC.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

agama. Dengan demikian, menurut Nurcholish Madjid sekularisasi seperti itu,

seperti pandangan sosiologis Bellah, adalah konsekuensi dari tauhid. Tauhid

sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi ridlâ-

Nya, dan hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi

kehidupan manusia. Hal ini tidak salah, bahkan sesuai dengan pengertian

sosiologis Bellah tersebut, sebab pengertian itu mengandung makna pengalihan

sakralisasi dari suatu objek alam ciptaan (makhluq) ke Tuhan Yang Maha Esa.

Pranata kesukuan, seperti disebut Bellah, hanyalah salah satu dan merupakan yang

terpenting dari rasa kesucian Jahiliyah. Tetapi sesungguhnya, orang-orang Arab

Jahiliyah yang mensucikan atau menyembah objek lain, kesemuanya itu, dalam

pandangan Islam, termasuk manifestasi politeisme (syirik). Sedangkan yang

Mahasuci hanyalah Tuhan (subhanallah). Karena hanya Tuhan yang sakral, maka

seluruh kegiatan, untuk bisa mendapatkan maknanya yang hakiki, harus hanya

ditunjukkan kepada-Nya semata. Dengan implikasi orientasi kegiatan demi

kebenaran (al-Haqq), secara tulus dan ikhlas.318

Pandangan sekularisasi Nurcholish Madjid yang mendasarkan pada

konsep tauhid, mengesakan Tuhan, menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak

mutlak di dunia ini karena hanya Allah saja yang mutlak. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid ini merupakan

konsekuensi pemahaman radikal atas konsep tauhid.

Namun demikian, banyak intelektual Muslim yang mengkritik keras

konsep sekularisasi Nurcholish Madjid tersebut. Beberapa di antaranya dengan

tegas menyatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid tidak ada

bedanya dengan sekularisme. Untuk membantah kritikan dari orang-orang yang

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara “sekularisasi” dengan

“sekularisme”, Nurcholish Madjid menyebutkan definisi yang diberikan oleh

Harvey Cox mengenai “sekularisasi” dan “sekularisme”, yaitu:319

Sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang

318Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969-2970 319Nurcholish Madjid, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam

Islam”, dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 218

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

dimaksudkan. Namun, di manapun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme... Sekularisasi adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Jadi, penggunaan kata “sekularisasi” dalam sosiologi mengandung arti

pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian yang tidak pada tempatnya.

Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan

kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral.

Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan:320

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hirarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Menurut Nurcholish Madjid penggunaan istilah sekularisasi sama dengan

penggunaan istilah sosialisasi. Sosialisasi tidak selalu berarti penerapan

sosialisme. Islam sendiri pada awalnya bearti proses sekularisasi total terhadap

segala kepercayaan animistis yang menganggap benda dan alam sebagai wadah

bagi sukma atau sakti-sakti yang harus dihadapi dengan hormat, dan karena itu

menghambat orang yang ingin mengeksploitasinya tanpa menghubung-

hubungkannya dengan agama.321

Dengan pernyataannya itu, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa

terdapat perbedaan yang jelas antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme

adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari

agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan

duniawi ini.322 Dengan penegasan itu, Nurcholish Madjid ingin membantah

tuduhan sebagian kelompok yang menuduhnya menganut atau menyebarkan

paham sekularisme. Tetapi, walaupun Nurcholish Madjid dengan tegas dan

gamblang telah menjelaskan apa yang dia maksud dengan sekularisasi, tuduhan

itu tetap ada, bahkan bukan melunak melainkan bertambah keras.

320Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207 321“Fikiran-Fikiran Stensilan”, Tempo, 15 April 1972, hal. 30 322Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sekularisme dalam perspektif Islam

merupakan perwujudan modern dari paham dahrîyah,323 seperti diisyaratkan

dalam al-Qur’an, Q.45:24:

من علم ان هم كلذبالدهرومالهم وقالوا ماهى االحياتنا الدنيا نموت ونحيا ومايهلكنا اال

االيظنونMereka berkata, “Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja—kita mati dan

kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Tapi, mereka

sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah

menduga-duga saja. Jadi lanjut Nurcholish Madjid sangat jelas bahwa

sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.324 Karena

sekularisme tidak memercayai hari Akhir atau kehidupan di Akhirat nantinya.

Tapi, meskipun pengertian sosiologis sekularisasi itu sudah cukup banyak

digunakan para ahli ilmu-ilmu sosial, Nurcholish Madjid mengakui bahwa masih

tetap terdapat kontroversi di sekitar istilah itu. Hal ini dicerminkan oleh adanya

perdebatan dan polemik di sekitar buku Harvey Cox, Secular City. Kesulitan

timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat

sekularisme sebagai suatu ideologi yang secara khusus bersemangat antiagama.

Karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam

makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme

filosofis. Inilah yang agaknya menjadi dasar penolakan Rasjidi atas penggunaan

istilah sekularisasi oleh Nurcholish Madjid. Jika benar dugaan ini, maka keberatan

Rasjidi, lanjut Nurcholish Madjid, “cukup beralasan dan dapat diterima,” yaitu

“jika sekularisasi memang tak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa

Enlightenment Eropa.”325

323Kaum Dahriyah meyakini tidak ada kehidupan di akhirat nanti. Artinya, kaum

Dahriyah hanya meyakini kehidupan di dunia ini saja. Selain itu, mereka juga tidak meyakini adanya pencipta alam semesta ini, Allah SWT. Pada masa Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, kaum Dahriyah ini pernah mewarnai perdebatan teologi Islam. Diceritakan mereka berkeliling dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya untuk menantang ulama berdebat mengenai paham yang dianutnya itu. Sedemikian cerdasnya mereka dalam berdebat sehingga tidak ada satu pun ulama pada masa itu yang sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum Dahriyah ini. Akhirnya, Imam Abu Hanifah lah yang mampu menjawab semua pertanyaan kaum Dahriyah dan mematahkan semua argumen penguat paham mereka itu.

324Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968 325Ibid., hal. 2970

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Dikarenakan perdebatan yang berkepanjangan mengenai istilah

sekularisasi, maka ketika Nurcholish Madjid kembali dari Chicago pada tahun

1984, dia tidak pernah lagi menggunakan istilah sekularisasi tersebut. Dalam

suratnya yang ditulis pada 29 Maret 1983 kepada Mohamad Roem, Nurcholish

Madjid menyatakan penyesalannya: “memang disesalkan bahwa dalam

mencetuskan gagasan itu saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer,

seperti “sekularisasi”, yang secara etimologis belum mantap dan sampai sekarang

masih tetap kontroversial.”326 Menurut penulis perdebatan yang terjadi memang

patut disesalkan karena perdebatan itu banyak menghabiskan waktu dalam hal

istilah saja, sementara isi atau substansi gagasan Nurcholish Madjid, yaitu

pembebasan umat Islam dari pensakralan terhadap partai politik Islam dan konsep

negara Islam, menjadi “terlupakan” atau “terabaikan”.

Kesimpulannya, menurut Nurcholish Madjid terdapat perbedaan cukup

prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis.

Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi”, dan

“sekularisme” itu, maka dia berkata “adalah bijaksana untuk tidak menggunakan

istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah

teknis lain yang lebih tepat dan netral.”327

Tujuan gagasan sekularisasi ini dirumuskan antara lain adalah untuk

menyasar politik umat Islam. Diharapkan gagasan sekularisasi itu mampu

menghindarkan umat Islam dari “pemujaan” terhadap partai Islam.328

Sebagaimana diketahui partai Islam pada masa awal Orde Baru dan masa-masa

sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk mewujudkan berbagai

aspirasi umat Islam. Padahal, partai Islam pada masa itu mengalami tekanan yang

kuat dari penguasa karena dianggap dapat menghalangi pembangunan. Selain itu,

para pemimpin partai Islam tidak banyak berbuat dalam memberantas korupsi

yang berkembang. Bahkan, menurut Nurcholish Madjid, reputasi umat Islam di

326Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19 327Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2970-2971 328Nurcholish Madjid berharap akan tercipta suatu efek yang meruntuhkan monopoli dan

konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di tangan para pemimpin partai Islam. Sebab seringkali terjadi, kata Nurcholish Madjid, muncul “pemberhalaan” hasil interpretasi manusia atas ajaran-ajaran agama yang berarti menyamakan status (hasil pemikiran itu) dengan agama itu sendiri. Lihat Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 34. Lihat juga Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 79-80

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

bidang korupsi makin lama makin meningkat.329 Akibat gagasan sekularisasinya

itu partai Islam tidak lagi menjadi sakral dalam Islam.

Menurut Nurcholish Madjid pandangan apa adanya terhadap dunia, baik

material maupun non material, merupakan suatu kewajaran dikarenakan

pandangan itu merupakan konsekuensi logis dari tauhid (Pengesaan Tuhan).

Artinya, pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus

melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan

masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.330

Dengan demikian, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid

berarti pembebasan tatanan sosio kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan.

Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai etis. Akan

tetapi, tidak berarti agama kehilangan signifikansinya dalam kehidupan duniawi.

Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan arah dan orientasi, sekaligus

makna hidup serta legitimasi terhadap tertib sosial.331

Dalam pengertian inilah, Nurcholish Madjid melihat sekularisasi dalam

bentuk kehidupan politik harus dilakukan, mengingat di satu pihak situasi politik

Orde Baru menuntut adanya perubahan dalam bidang tindakan dan perilaku emosi

umat Islam, yang mana idealisme akan adanya integrasi antara agama dan politik

merupakan sesuatu yang tidak realistis dan utopis, bahkan hanya akan membawa

kepada kejumudan dan kemacetan pemikiran umat.332 Kondisi umat Islam,

menurut Nurcholish Madjid, sudah tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai

yang disangkanya Islami, mana yang bersifat transenden dan mana yang bersifat

temporal. Bahkan lebih jauh lagi, umat Islam menjadikan sesuatu yang seharusnya

tidak sakral menjadi sangat sakral, seperti perlakuan terhadap partai politik yang

menjadi salah satu sasaran pembaruan Nurcholish Madjid.

Gagasan sekularisasi ini membawa implikasi kepada penolakan terhadap

gagasan partai Islam dan negara Islam. Banyak orang yang salah paham terhadap

rumusan Nurcholish Madjid ini. Menurut Bahtiar Effendy sumber

329Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 118

330Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208 331Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 174 332Ibid., hal 175. Lihat juga Saiful Muzani, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”,

PRISMA, No. 1, Tahun XXII, 1993, hal. 76 dan Goenawan Muhammad dalam kata pengantar buku Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. xiii

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

kesalahpahaman orang-orang tersebut berasal dari ketidaksediaan melihat

rumusan Nurcholish Madjid itu dalam konteks pemikiran di atas. Jika pikiran

dasar di atas diikuti, maka soal “Islam Yes, Partai Islam, No” sama sekali tidak

menyiratkan pemahaman atau anjuran bahwa Nurcholish Madjid anti partai Islam.

Yang ingin dikatakannya sebenarnya adalah orientasi dan loyalitas umat Islam

hendaknya tetap kepada ajaran Islam, bukan kepada partai politik atau institusi

Islam.333 Dengan kata lain tujuan Nurcholish Madjid menyerukan slogan “Islam

Yes, Partai Islam No” adalah agar semua orang bisa mengaku Islam dengan

bebas.334

Selain itu, menurut Fachry Ali, dengan konsep sekularisasi Nurcholish

Madjid berharap akan tercipta efek yang dapat meruntuhkan monopoli dan

konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di

tangan para pemimpin partai Islam.335 Nurcholish Madjid juga berharap dengan

sosialisasi konsep sekularisasi itu terjadi pemencaran kekuasaan yang

memberikan dasar pembenaran bagi siapa pun untuk merasakan dirinya sebagai

seorang Muslim walaupun ia tidak pernah berhubungan dengan ideologi dan

partai-partai yang secara formalitas bersimbol Islam.336 Walaupun Nurcholish

Madjid mengakui bahwa umat Islam masih terpaku pada simbol, yaitu harus

mendirikan mesjid, naik haji, dan simbol yang lain.337

Pada saat diwawancarai oleh majalah Tempo tahun 1986, Nurcholish

Madjid kembali menegaskan pendapatnya mengenai sekularisasi. Dia

mengatakan:

Yang saya maksudkan dengan itu (sekularisasi—penulis) sebenarnya adalah bahwa tidak ada yang sakral, kecuali Allah. Desakralisasi, inilah yang saya maksud dengan sekularisasi. Nah, partai Islam itu tidak sakral, karena itu salah argumen yang mengatakan bahwa kalau tidak mencoblos

333Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, demokrasi, dan negara

yang tidak mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005, hal. 231 334“Berani Benar, Juga Berani Salah”, Wawancara Majalah D & R, No. 05/XXVII/14

September 1996 335M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam

Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002, hal. 161. Lihat juga Ali, Golongan Agama, hal. 79-80.

336Ridwan, Gagasan Nurcholish, hal. 161-162 337Nurcholish Madjid, “Presiden Mendatang Tidak Akan Mampu Menjadi Pilot”, Forum

Keadilan, No. 26, Th. IV, 8 April 1996

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

partai Islam dalam pemilu, maka kita bukan Islam. Karena itu, saya dulu berseru, “Islam, Yes, Partai Islam, No.”338 Dengan tidak sakralnya partai politik, maka umat Islam bebas memilih

partai apa saja asalkan memperjuangkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan,

toleransi, keterbukaan, saling menghargai, dan lain sebagainya. Umat Islam tidak

perlu merasa kurang keislamannya apabila tidak memilih partai Islam. Dengan

tidak dibatasinya umat Islam dalam memilih partai, maka tidak ada lagi

pengkotak-kotakan partai. Artinya, semua partai bisa dimasuki oleh umat Islam.

Dengan demikian, dakwah Islam dapat menyentuh semua golongan. Umat Islam

dapat berdakwah di mana saja tanpa bisa dibatasi sehingga Islam menjadi milik

semua.339

Sebaliknya, manuver-manuver yang dilakukan oleh politikus yang hanya

mencari keuntungan dalam partai politik, yang di kalangan Islam politik partai

dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk memperjuangkan kepentingan umat

Islam, menurut Nurcholish Madjid, melemahkan ukhuwah Islamiyah di kalangan

umat Islam.340 Para politikus itu hanya mengambil kesempatan untuk mencari

keuntungan dan jabatan. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka itu, tidak

jarang mereka melakukan tindakan-tindakan yang justru mengakibatkan

perpecahan di kalangan umat Islam.

Sementara itu, penolakan terhadap gagasan negara Islam pertama kali

dimunculkan oleh Nurcholish Madjid dalam ceramahnya pada tanggal 30 Oktober

1972 di Taman Ismail Marzuki.341 Menurut Nurcholish Madjid, gagasan negara

Islam yang pernah sangat kuat di masa lalu adalah kecenderungan yang bersifat

apologetik. Sikap apologetik itu tumbuh dari dua sisi. Pertama pertumbuhannya

adalah apologi kepada ideologi-ideologi Barat, seperti demokrasi, sosialisme,

komunisme, dan lain sebagainya. Apologi kepada ideologi-ideologi tersebut

menimbulkan adanya apresiasi yang bersifat ideologis politis kepada Islam (Islam

338“Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juni 1986, hal. 61 339“Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal.

57 340Stephen C. Headley, Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion, and Community in

Central Javanese Islam, Singapore: ISEAS Pulications, 2004, hal. 34 341Pada tahun 1972 sampai tahun 1974, Nurcholish Madjid melakukan perjalanan ke

berbagai daerah di Indonesia. Setelah itu, dia menjadi lebih yakin bahwa telah tepat waktunya untuk melakukan kritikan langsung terhadap tradisi pemikiran politik-keagamaan Islam modernis, termasuk kalangan eks-Masyumi. Lihat Taufik Abdullah, dkk., (editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid ke-5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hal. 453

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Politik), sehingga membawa kepada cita-cita negara Islam.342 Lebih lanjut

Nurcholish Madjid menegaskan:

“Saya berpendapat bahwa Islam bukanlah ideologi, meskipun ia malah seharusnya berfungsi sebagai sumber ideologi para pemeluknya. Tetapi Islam sendiri terbebas dari keterbatasan-keterbatasan sebuah ideologi yang sangat memperhatikan konteks dan ruang waktu itu. ...Pandangan langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada.”343

Adapun yang kedua adalah legalisme. Legalisme ini menumbuhkan

apresiasi serba legalistis kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang

menggambarkan bahwa Islam adalah struktur dan kumpulan hukum.344 Menurut

Nurcholish Madjid legalisme ini merupakan kelanjutan dari fiqhisme.345

Nurcholish menegaskan:

“Fiqhisme ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasinya pun, umumnya, masih memusatkan sasarannya ke bidang itu. Maka, negara Islam itu pun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqh itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.”346 Lebih lanjut Nurcholish Madjid menegaskan bahwa konsep negara Islam

tersebut merupakan distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama.

Menurutnya negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang memiliki

dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang

dimensinya spiritual dan pribadi.347 Dikarenakan kedua hal tersebut, negara dan

agama, berbeda maka pendekatan yang digunakan untuk kedua hal tersebut juga

berbeda.

Menurut Nurcholish Madjid inti ajaran Islam adalah iman, dan bahwa

iman mengandung arti apresiasi ketuhanan atau pengalaman keagamaan yang

342Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 253

343Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 46-47

344Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255 345Fiqh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad kedua dan

ketiga Hijriyah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. ...Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syariat. Lihat Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255

346Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255 347Ibid., hal. 255-256

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

menyangkut nilai-nilai pribadi yang paling dalam, dan bahwa semua itu berada

dalam fitrah atau kejadian kemanusiaan seseorang, maka iman atau penghayatan

keagamaan itu amat individual. Ia harus tumbuh dari pilihan merdeka. Ia dapat

berbeda pada tiap orang serta tidak dapat dipaksakan dari luar. Ia tersimpan secara

sempurna dalam lubuk hati atau budi nurani seseorang. Karena itulah, menurut

Nurcholish Madjid, tidak bisa ditempuh cara-cara kolektif dalam menjajagi

keagamaan seseorang. Karena itu pula, menurut Nurcholish Madjid, negara

sebagai pelembagaan dari kolektivitas tertentu “tidak mungkin menempuh

dimensi spiritual guna mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya

sehingga negara merupakan suatu kekuasaan rohani”.348 Walaupun di pihak lain

Nurcholish Madjid mengingatkan sesuatu yang penting pula bahwa “antara agama

dan negara hanya harus dibedakan, dan tidak mungkin dipisahkan”, sebab

“keduanya bertemu dalam individu, dan melalui individu-individu warganegara,

terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi dan sikap batin beragama

dengan kegiatan atau sikap lahir bernegara.”349 Jadi, agama dengan wahyu

membangun manusia melalui kejadian individualnya, dan kemudian manusia

dengan akalnya membangun dunia atau negara melalui watak sosialnya.

Negara dan agama dalam Islam tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam

melakukan setiap kegiatan, termasuk dalam kegiatan bernegara dan

bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencapai ridla Allah, dengan

iktikad sebaik-baiknya dan melaksanakan amal perbuatan setepat-tepatnya. Tidak

ada sedikit pun kegiatan seseorang, walaupun hanya seberat atom, yang tidak akan

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.350

Sebutan “Negara Islam” yang formalistik, menurut Nurcholish Madjid,

tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi sendiri maupun para penggantinya selama

berabad-abad, dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat hanya

sebagai gejala di zaman modern ini saja.351 Kemunculan istilah itu bisa diteliti

dalam kaitannya dengan bentuk interaksi umat dengan golongan-golongan lain,

dan akan jelas bahwa ide itu, apalagi sebutan formalnya, adalah suatu variabel

348“Kuliah Nurcholish Madjid”, Tempo, 2 Desember 1972, hal. 28 349Ibid. 350Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 1168 351Kompas, “Lebih Jauh dengan Nurcholish Madjid”, 3 November 1985

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

historis-sosiologis, bukan esensi agama Islam itu sendiri.352 Oleh karena itu,

bentuk formal tatanan kenegaraan bagi kaum muslimin bisa bermacam-macam,

asalkan tatanan itu memberi ruang bagi terlaksananya cita-cita dasar Islam.353

Dialihkannya pemikiran umat Islam oleh Nurcholish Madjid dari Islam

politik kepada Islam kultural bertujuan agar umat Islam dapat berperan aktif

secara kultural dalam pemerintahan Orde Baru. Selain itu, gagasan Islam kultural

Nurcholish Madjid merupakan cara ampuh dalam merespons kondisi perpolitikan

Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak memberikan kesempatan kepada Islam

politik untuk berkembang dalam merealisasikan cita-citanya. Dengan gagasannya

ini, menurut A. Satori Ismail, perjuangan umat Islam menjadi tidak terbatas hanya

dalam politik saja melainkan tersebar ke berbagai bidang lainnya seperti dakwah,

pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.354

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam tidak memerlukan sebuah

negara Islam dan bahwa “sekularisasi”—proses pembedaan aturan yang

ditetapkan oleh wahyu dari apa yang dirancang oleh manusia—merupakan suatu

keharusan.355 Proses pembedaan itu penting agar umat Islam tidak

mencampuradukkan masalah duniawi, yang membutuhkan penalaran akal, dengan

masalah ukhrawi. Apabila umat Islam sudah mampu membedakan hal itu,

diharapkan mereka mampu menghadapi setiap tantangan dunia modern yang

dihadapinya. Artinya, jika umat Islam dapat membedakan urusan dunia sebagai

urusan yang dirancang manusia maka apabila umat Islam menemukan kendala

atau tantangan dalam kehidupan di dunia, misalnya kondisi politik umat Islam

pada masa Orde Baru, mereka dapat segera memikirkannya dan menemukan

solusi bagi kendala dan tantangan itu.

Walaupun dengan tegas Nurcholish Madjid menyatakan bahwa konsep

negara Islam tidak ada dalam ajaran Islam, tetapi dia menyatakan bahwa dalam

Islam, agama dan negara tidak terpisahkan, namun tidak berarti bahwa antara

keduanya itu identik. Karena itu agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak

terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan: tidak terpisah, namun berbeda! Karena

352Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 28 353Ibid, hal. 29 354Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputat, 10 Juni 2010 355Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, penerjemah: Rofik

Suhud, Bandung: Mizan, 1998, hal. 68

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

itu, dari sudut pandangan Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara

sekular (artinya, bukan negara yang menganut sekularisme berupa pemisahan

negara dari agama) dan bukan pula negara teokrasi (artinya, bukan negara yang

kekuasaannya dipegang oleh para pendeta, rohaniwan, atau ecclesiatics, ahbâr

ruhbân), dapat dibenarkan.356

Dalam pandangan Nurcholish Madjid negara dan agama, dalam Islam,

tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam melakukan setiap kegiatan, termasuk

kegiatan bernegara dan bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencari

ridha Allah, dengan iktikad sebaik-baiknya dan pelaksanaan amal perbuatan

setepat-tepatnya. Tidak ada sedikitpun kegiatan seseorang, walaupun hanya

seberat atom, yang tidak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.357

Nurcholish Madjid kemudian mengutip ayat Alquran yang menegaskan bahwa

seluruh anggota tubuh manusia khususnya yang berkaitan dengan kemampuan

kognitif, yaitu akal budi (al-fu’ad) akan dimintai pertanggungjawabannya atas

pilihan-pilihan yang dilakukannya, yaitu ayat yang berbunyi:

ان عنه مسؤالاولئك آ آل مع والبصر والفؤادالس والتقف ماليس لك به علم انDan janganlah engkau mengikuti satu perkara yang tidak ada padamu pengetahuan mengenainya. Sebab, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani semuanya akan dimintai tanggung jawab tentang perkara itu. (QS. 17:36).358

Ayat tersebut di atas juga, menurut Nurcholish Madjid, dengan jelas

menuntut manusia (umat Islam) untuk mengadakan kajian dan kajian kembali

terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang kita anut, agar dengan begitu kita bisa

menganut dengan penuh tanggung jawab di hadapan Pengadilan Tuhan kelak, dan

di hadapan pengadilan sejarah dalam kehidupan sekarang.359 Artinya, suatu nilai

atau norma yang dianut oleh umat Islam harus senantiasa dikaji dan dianalisis

kembali. Karena, apabila umat Islam berhenti mengkaji nilai-nilai dan norma-

356Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. cxi

357Ibid. 358Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di

Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 220

359Madjid, “Sekitar Usaha”, hal. 220

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

norma yang dianutnya, umat Islam telah memutlakkan nilai-nilai dan norma-

norma itu. Padahal kemutlakan hanya milik Allah.

Sebagai khalifah (“wali pengganti” atau “duta”) Allah di bumi, manusia,

melalui masing-masing pribadi dan perorangannya, berbuat dan bertindak “atas

nama Allah” (bi ism Allah—bi-‘smi-‘al-Lâh—bismillah”), sebagai penegasan

kepada diri sendiri dan penyadarannya bahwa pekerjaan yang hendak

dilakukannya itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah yang telah

memberinya “mandat” sebagai khalifah di bumi.360 Maka ia harus melaksanakan

pekerjaannya setulus-tulusnya, sebaik-baiknya, dan setepat-tepatnya, dengan

ihsân dan itqân.361

Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-

baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah dan keinginan

mencapai ridla atau perkenan-Nya tersebut, seseorang harus memperhatikan

hukum-hukum obyektif yang menguasai pekerjaannya, lahir dan batin. Hukum-

hukum obyektif itu, yang dalam peristilahan Islam disebut Sunnatullah (Sunnat

al-Lâh—Hukum atau Ketentuan Allah), menyatakan diri dalam apa yang sehari-

hari disebut hukum alam untuk benda-benda mati dan hukum sejarah untuk

kesatuan rentetan pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial.362

Karena Sunnatullah itu merupakan gejala nyata sekeliling hidup manusia,

maka dapat dikatakan semua peradaban berusaha memahaminya. Usaha

memahami Sunnatullah itu menghasilkan falsafah (segi spekulatifnya) dan ilmu

pengetahuan (segi empiriknya). Maka untuk melaksanakan perintah Allah dalam

Alquran agar kita memahami Sunnatullah itu, kita diberi petunjuk oleh Nabi

s.a.w. agar kita belajar dari siapa saja, “sekalipun ke negeri Cina.” Nabi s.a.w.

360Di dalam Alquran disebutkan empat macam sifat manusia, yaitu: pertama, manusia

adalah makhluk terpilih (QS. Thaha: 122). Kedua, sebagai khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Ketiga, diberikan kepercayaan melaksanakan amanat yang semua mahkluk tidak bersedia (sanggup) menerimanya (QS. Al-Ahzab: 72). Keempat, untuk melaksanakan itu semua, manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat pun tidak tahu (QS. Al-Baqarah: 31). Lihat Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1991, hal. 75

361Ihsân adalah bekerja sebaik-baiknya guna mencapai tujuan yang optimal, tidak setengah-setengah, adapun itqân adalah membuat segala sesuatu yang kita lakukan atau kita buat menjadi sebaik-baiknya, meniru dan sejalan dengan sifat Allah. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. cxi-cxii

362Ibid., hal. cxii

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

juga menegaskan bahwa “Hikmah (yakni, setiap kebenaran dalam falsafah, ilmu

pengetahuan, dll.) adalah barang hilangnya kaum beriman. Oleh karena itu, siapa

saja yang menemukannya hendaknya ia memungutnya.” Beliau juga berpesan

agar kita memungut hikmah kebenaran, dan tidak akan berpengaruh buruk kepada

kita, dari bejana apapun hikmah kebenaran itu keluar. Bahkan Nabi s.a.w. sendiri,

menurut suatu penuturan, memberi contoh dengan mengirim beberapa sahabat

beliau ke Judishapur, Persia, guna belajar ilmu kedokteran dari kaum Hellenis di

sana.363

Itulah dasar pandangan bahwa urusan dunia (umûr al-dunyâ), seperti

masalah kenegaraan, berbeda dari urusan agama (umûr al-dîn), meskipun antara

keduanya tidak dapat dipisahkan. Sebab sementara dalam urusan dunia kita boleh,

malah dianjurkan Nabi, untuk belajar kepada siapa saja, dalam masalah agama

kita harus hanya berpegang kepada sumber-sumber suci, baik Kitab ataupun

Sunnah. Seperti sudah diuraikan, menciptakan sendiri “agama” atau “ibadat”

adalah sebuah bid’ah atau “kreatifitas” yang terkutuk, sementara menciptakan

suatu urusan dunia yang baik, sebagaimana antara lain banyak dicontohkan oleh

tindakan ‘Umar bin Khattab, seperti penunjukan beberapa orang sahabat (6 orang)

yang bertugas memilih penggantinya sebagai Khalifah umat Islam, adalah

dihargai sebagai kreatifitas atau “bid’ah” yang baik (bid’ah hasanah).364

Gagasan Nurcholish Madjid itu merupakan bagian dari strategi kultural,

dan karena itu sangat tidak memberi tempat kepada tujuan-tujuan sesaat. Islam

Kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid merupakan allocative

politics, yang diartikulasikan dengan cara mensubstansiasikan nilai-nilai dan etika

keislaman secara inklusif di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan

bernegara.365 Dia mengatakan, “insya Allah, kalau sudah diterima sebagai

keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan menyatakan

diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat, sehingga nanti Indonesia tumbuh

sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya

masalah keyakinan, tapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia

363Ibid., hal. cxiii 364Ibid., hal. cxiii-cxiv 365Sukidi, “Cak Nur Tidak Goyah”, Kompas, 14 Februari 1999

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

itu kan mayoritas Islam.”366 “Karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam,”

lanjut Nurcholish Madjid, “maka nilai yang paling baik mewarnai adalah nilai

Islam.”367

Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam,

Nurcholish Madjid secara tegas menentang gagasan negara islam. Gagasan

Nurcholish Madjid ini menitikberatkan pada usaha pembaruan keagamaan dan

etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok

masyarakat di luar umat islam. Dengan menempatkan diri sebagai reformis dan

modernis gaya baru, Islam kultural menentang pemisahan yang tegas, yang dibuat

oleh kaum reformis sebelumnya yang menjauhi kaum Jawa abangan, kaum mistik

sufi, kaum intelek sekuler, dan kaum Kristen. Banyak di antara mereka yang aktif

berdialog dengan orang Kristen dan sesekali dengan orang Hindu.368

Nurcholish Madjid mengatakan:

Karena itu kini bangsa Indonesia sangat comfortable dengan gagasan mereka berkenaan dengan hubungan antara agama dan negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu antara seluruh golongan.”369 Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi Nurcholish Madjid

negara Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia, sehingga umat Islam

tidak perlu mendirikan negara Islam. Yang paling penting, kata Nurcholish

Madjid, adalah bagaimana setiap undang-undang yang disusun di DPR (Dewan

Perwakilan Rakyat) memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan Islam kultural maka Pancasila dapat diterima dengan damai oleh

umat Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat, pemikiran Nurcholish Madjid telah

menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima Pancasila sebagai asas

organisasinya merasa “lebih damai karena menemukan kebenaran”.370 Lebih jauh

dikarenakan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut umat Islam, menurut Tempo,

366Nurcholish Madjid, “Menatap Islam Masa Depan”, dalam Edy A. Effendi (editor),

Islam dan Dialog Budaya., Jakarta: Puspa Swara, 1994, hal. 43 367Nurcholish Madjid, “Orang Tidak Bicara Tentang Negara Islam Lagi”, Pikiran Rakyat,

Sabtu, 20 Juli 1985, hal. 6 368Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES,

1988, hal. xxvii 369Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 21 370“Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juli 1986, hal. 57

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

sekarang tidak segan-segan menyatakan keislamannya tanpa mengaitkan dirinya

dengan gagasan negara Islam atau partai Islam.371

Nurcholish Madjid mengatakan bahwa prinsip-prinsip politik Islam secara

universal telah memperoleh wujud lokalitasnya di Indonesia, yaitu Pancasila.

Nurcholish Madjid berusaha menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah,

yakni sebagai common platform antar berbagai kelompok masyarakat dan

agama.372

Menurut Nurcholish Madjid, umat Islam dibenarkan menerima Pancasila

sebagai dasar negara. Penerimaan itu didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu

pertama nilai-nilai yang tercakup di dalam Pancasila dibenarkan atau sesuai

dengan ajaran agama Islam, kedua fungsinya sebagai nuktoh-nuktoh kesepakatan

antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.373

Namun demikian, terdapat sumber-sumber pandangan etis yang meluas

dan dominan, yang secara sangat potensial bisa menjadi ragi pandangan etis

bangsa secara keseluruhan, dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah etika

Pancasila. Yaitu, pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling

baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bahasa Indonesia; kedua, etika

kemodernan yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern,

dan yang introduksinya kepada bangsa kita, sayangnya, dimulai oleh kaum

penjajah melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan dan yang sampai kini

sebagian besar sistemnya masih bertahan; kemudian, ketiga, etika Islam sebagai

anutan rakyat merupakan agama paling luas menyebar di seluruh tanah air, dan

yang peranannya diakui para ahli sebagai perata jalan untuk tumbuhnya paham-

paham maju dan modern di kalangan rakyat kita, khususnya dalam bentuk paham

persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada

371“Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal.

62 372Nurcholish Madjid, dengan menggunakan istilah lain, mengatakan bahwa Pancasila

dan UUD 1945 adalah social contract yang mengikat seluruh masyarakat untuk mendirikan sebuah negara. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 76

373Madjid, Cita-cita Politik, hal. 56-58

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau huku (pengaruh

langsung sistem syariah), dan weltanschauung yang lebih bebas dari takhayul.374

Jika etika itu bisa dikembangkan, lalu bisa disemaikan lebih subur pada

kalangan generasi muda bangsa dengan suatu metode yang lancar, wajar, alamiah,

dan tanpa provokasi politik yang di negara berkembang selalu bersifat rawan dan

peka itu, maka, menurut Nurcholish Madjid, tidak mustahil Indonesia akan benar-

benar ditopang oleh pandangan etis yang sehat dan kuat, sebanding dengan

Amerika Serikat yang ditopang dengan etika WASP (White Anglo Saxon

Protestan).375 Artinya, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat Qur’ani

yang secara tegas menerima yang ma’ruf dan menolak yang mungkar.376 Dan

dengan begitu kita dibenarkan, lanjut Nurcholish Madjid, memandang Indonesia

sebagai sebuah “Negara Muslim”, sama dengan bagaimana Pak Natsir

memandang Amerika Serikat sebagai “Negara Kristen”.377

4.3 Sumber Pemikiran Nurcholish Madjid

Setelah menguraikan konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish

Madjid tibalah saatnya untuk mengetahui darimana Nurcholish Madjid

“mengambil” gagasannya itu. Sebuah pemikiran tidak mungkin berdiri sendiri. Ia

merupakan hasil dari proses pengolahan terhadap keadaan-keadaan yang ada di

masyarakat serta perenungan dan analisis mendalam terhadap pemikiran-

pemikiran yang telah ada sebelumnya. Setelah melalui proses tersebut, barulah

seseorang, seperti Nurcholish Madjid, mampu merumuskan gagasannya. Oleh

karena itu, tidak ada pemikiran yang benar-benar berdiri sendiri atau benar-benar

baru. Ia pasti memiliki kaitan dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Dengan melihat konsep Islam kultural yang dirumuskan, terutama

mengenai istilah “sekularisasi”, oleh Nurcholish Madjid terlihat jelas bahwa dia

banyak mengutip pendapat-pendapat ilmuwan Barat, seperti Robert N. Bellah,

Harvey Cox, dan Talcot Parsons. Nurcholish Madjid banyak merujuk definisi

374Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 22 Juni

1983 dengan judul “Saya tak Rela Peran Pak Natsir Dikecilkan”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 75

375Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79 376Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, penerjemah Hairus Salim HS dan Imam

Baehaqy, Yogyakarta: LkiS, 1993, hal. 28 377Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

sekularisasi dari ilmuwan Barat karena istilah sekularisasi memang muncul dari

sana. Oleh karena itu, pengambilan istilah sekularisasi dari Barat merupakan hal

yang biasa dan wajar. Namun demikian, secara keseluruhan Nurcholish Madjid

nampaknya banyak dipengaruhi oleh seorang ilmuwan Islam yang banyak

mengkritik ilmuwan lainnya yang dia anggap “menyimpang” dari Alquran dan

Hadis, yaitu Ibn Taimiyah.378

Dalam surat bertanggal 29 Maret 1983 yang dikirimkan kepada Mohamad

Roem ketika dia berada di Amerika Serikat, Nurcholish Madjid dengan jelas

menyatakan, “saya tertarik kepada Ibn Taimiyah karena peranannya yang sering

dipandang sebagai leluhur doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan

pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang

liberalistik.”379 Dengan pernyataannya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan

besarnya pengaruh Ibn Taimiyah bagi gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam.

Pengaruh Ibn Taimiyah tersebut tidak hanya terbatas pada gerakan fundamentalis

saja, melainkan gerakan liberal yang ada di dunia Islam.

Dengan menyatakan besarnya pengaruh Ibn Taimiyah ini bagi gerakan-

gerakan pembaruan di dunia Islam, Nurcholish Madjid secara tidak langsung

menunjukkan bahwa Ibn Taimiyah juga mempengaruhi dirinya. Karena, hampir

378Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10 Rabiulawal 611/22 Januari 1263-Damaskus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Dia merupakan pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaru abad ke-8 H/ke-14 M, berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim adalah seorang ahli hadis dan ulama terkenal di Damaskus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syekh Majuddin Abdus Salam juga adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemuka-pemuka dalam Mazhab Hambali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu). Profesinya sebagai penulis ditekuninya sejak usia 20 tahun. Tulisan-tulisannya banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Sebagai penulis, dia termasuk sangat produktif. Hasil karyanya berjumlah 500 jilid, di antaranya yang terkenal adalah Kitâb ar-Radd ‘Alâ al-Mantiqiyyîn (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik), Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah (Metode Sunnah Nabi), Majmû ‘al-Fatâwâ (Kumpulan Fatwa), Ikhlâs ar-Râ’i wa ar-Râ’iyat (Keikhlasan Pemimpin dan Yang Dipimpin), dan lain sebagainya. Sebagian besar aktifitasnya diarahkan kepada usaha untuk memurnikan paham tauhid, membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama dinyatakan tertutup, dan menghidupkan pemikiran-pemikiran salaf serta menyeru untuk kembali berpegang kepada Alquran dan Hadis. Corak pemikiran Ibn Taimiyah bersifat empiris, sehingga dia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris, prinsip pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran. Untuk lebih lengkapnya lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 168-171

379Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret 1983 dengan judul Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 13

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

semua kalangan di Indonesia sepakat bahwa Nurcholish Madjid merupakan sosok

pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Bahkan, Majalah Tempo memberikan

gelar “Sang Penarik Gerbong” kepada Nurcholish Madjid.

Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan keyakinannya bahwa jika

umat Islam, khususnya mereka yang merasa menganut atau diilhami oleh pikiran-

pikiran Ibn Taimiyah, mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual Ibn

Taimiyah, dapat diharap akan banyak diketemukan jalan keluar dari berbagai

kemacetan pemikiran zaman sekarang ini. Jalan keluar itu, dari berbagai segi,

akan memiliki tingkat keotentikan yang tinggi, yang bakal membawa umat Islam

memasuki abad modern dan berpartisipasi di dalamnya secara mantap tanpa

banyak halangan doktrinal.380

Pernyataan Nurcholish Madjid ini secara tidak langsung “mengecilkan”

peran ulama atau intelektual besar Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh

besar bagi perkembangan dunia Islam, seperti Imam Ghazali, Ibn Rusyd, Imam

Muslim, dan lain sebagainya. Bahkan lebih jauh dapat dikatakan dengan

menyatakan bahwa “jalan keluar yang dihasilkan oleh Ibn Taimiyah memiliki

tingkat keotentikan yang tinggi” Nurcholish Madjid telah “terjebak” dalam

pengagungan yang berlebihan terhadap Ibn Taimiyah. Karena, dengan pernyataan

itu akan timbul anggapan bahwa jalan keluar yang dihasilkan oleh ilmuwan atau

ulama Islam lainnya “kurang” otentik atau minimal di bawah “standar”

keotentikan Ibn Taimiyah.

Bentuk pengagungan terhadap Ibn Taimiyah itu kemudian tersimpulkan

dalam pernyataan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa, “Ibn Taimiyah

adalah seorang intelektual besar yang nampaknya tidak banyak dipahami, padahal

intelektualismenya itu baik sekali dicontoh dan dikembangkan lebih lanjut.”381

Kekaguman Nurcholish Madjid yang besar terhadap Ibn Taimiyah kemudian

diwujudkannya dalam bentuk disertasi yang khusus membahas tentang Ibn

Taimiyah, yaitu Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and

Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal

dan Wahyu dalam Islam).

380Ibid. 381Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Karena pengagungan terhadap Ibn Taimiyah sedemikian rupa dilakukan

oleh Nurcholish Madjid maka tidaklah mengherankan apabila banyak pemikiran-

pemikiran Ibn Taimiyah yang secara keseluruhan mempengaruhi pemikiran

Nurcholish Madjid.382

Salah satu pengaruh Ibn Taimiyah terhadap Nurcholish Madjid adalah

konsep sekularisasinya. Walaupun dia banyak mengutip definisi sekularisasi dari

ilmuwan Barat, karena konsep itu memang datang dari Barat, semangat atau dasar

dari sekularisasinya itu berasal dari pemikiran Ibn Taimiyah tentang “kerelatifan

manusia”. Dengan relatifnya manusia, maka apapun yang dihasilkan oleh manusia

tidak memiliki sifat mutlak. Artinya, pemikiran-pemikiran manusia akan terus

berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut Ibn Taimiyah, Nabi, sebagai manusia biasa bisa saja salah dalam

kehidupan sehari-harinya, kecuali dalam tugas menyampaikan wahyu.383

Buktinya, menurut Ibn Taimiyah, Allah banyak menegur Nabi Muhammad.384

Pendapat Ibn Taimiyah ini kemudian mempengaruhi pemikiran

Nurcholish Madjid yang juga memutlakkan secara total (kulliyah) kepada Allah.

Artinya, dalam pandangan Nurcholish Madjid, sebagaimana juga Ibn Taimiyah,

hanya Allah yang bersifat mutlak, sedangkan selain dari Allah tidak mutlak.

Sebab, bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai

suatu wujud mutlak. Menurut Nurcholish Madjid, tauhid justru mengajarkan

bahwa yang mutlak hanyalah Allah, sehingga Kebenaran Mutlak pun hanya ada

382Selain Ibn Taimiyah terdapat juga tokoh lain yang banyak mempengaruhi pemikiran

Nurcholish Madjid, terutama mengenai corak pemikiran neo-modernismenya. Tokoh itu adalah Fazlur Rahman, guru besar pada University of Chicago dalam bidang pemikiran Islam.

383Ibn Taimiyah menuturkan bahwa menurut sebagian ulama pernah terjadi syetan sempat membisikkan kepada Nabi s.a.w. untuk mengakui syafa’at burung mitologi, yang kemudian dikenal dengan “ayat syetan”. Menurut Ibn Taimiyah bunyi ayat itu, dalam bahasa Arab: “Tilka al-gharânîq al-‘ulâ, wa inna syafâ’atahum laturtajâ” (Itulah burung-burung gharânîq yang mulia, yang syafa’at mereka pastilah dapat diharap). Tetapi, Allah kemudian menghapus bisikan syetan itu dari kalbu Nabi, dan berkaitan dengan ini Ibn Taimiyah mengutip firman Allah: “Dan tidaklah Kami (Allah) utus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad), juga tidak seorang Nabi pun, kecuali bahwa jika dia (Rasul atau Nabi itu) mempunyai angan-angan (tamannî), maka syetan akan memasukkan (bisikan jahat) dalam angan-angannya itu. Allah pun kemudian menghapus apa yang dibisikkan syetan itu, lalu Dia kukuhkan ayat-ayat-Nya. Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Agar dengan begitu dia menjadikan apa yang dibisikkan syetan itu sebagai ujian (fitnah) bagi mereka yang dalam hatinya terdapat penyakit dan yang hatinya keras. Sungguh orang-orang zalim itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 52-53). Lihat catatan kaki Madjid, Islam Doktrin, hal. 90

384Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, editor: Edy A. Effendi, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 216

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

pada-Nya. Maka salah satu sifat atau kualitas Allah ialah Al-Haqq, artinya “Yang

Benar (secara mutlak)”.385

Dengan mengutip Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyebutkan sabda

Nabi bahwa ungkapan yang paling benar dari para penyair ialah ungkapan penyair

Labid, “Alâ kull-u syay’in mâ khalâ ‘l-Lâh-i bâthil-u” (Ingatlah, segala sesuatu

selain Allah adalah palsu).386 Artinya, hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah,

meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi

belaka.387

Dengan pemikiran seperti ini maka akibatnya nilai-nilai, institusi-institusi,

pemikiran-pemikiran, dan lain-lainnya tidak mutlak benar, yang pasti benar

hanyalah Allah. Dengan demikian, gagasan negara Islam dan partai politik juga

tidak mutlak sehingga ia harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dikarenakan negara dan partai politik tidak mutlak maka manusia dapat selalu

memikirkan apa yang terbaik untuk manusia itu. Justru apabila manusia berhenti

berpikir, dengan alasan bahwa apa yang telah ada itu sempurna, maka manusia itu

telah jatuh syirik (menyekutukan Allah) karena ia telah memutlakkan hasil

pemikirannya. Padahal, hanya Allah saja yang memiliki Kemutlakan.

Oleh karena itu, negara sebagai sesuatu yang tidak mutlak haruslah

senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Yang terpenting

adalah negara itu berguna atau bermanfaat bagi kemanusiaan itu. Dengan

mengutip pernyataan Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyatakan, “Tuhan

menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang

zalim meskipun Islam,” dan “dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun

kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezaliman sekalipun Islam.”388 Dari

pernyataan itu jelas bahwa sebuah negara menganut ideologi apapun tidak

penting, yang penting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keadilan di negara

tersebut.

Dengan demikian, bentuk negara Republik seperti Indonesia tidak

bermasalah. Yang penting di Indonesia dijalankan nilai-nilai keislaman seperti

385Madjid, Islam Doktrin, hal. lxx 386Ibid. 387Ibid. 388Ibid., hal. cxvi

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

keadilan, kebersamaan, toleransi, persamaan derajat, dan lain sebagainya. Apabila

nilai-nilai keislaman itu telah dilaksanakan maka apapun bentuk negara Indonesia

tidak menjadi permasalahan. Umat Islam tidak wajib lagi mendirikan negara Islam

karena secara tidak langsung negara yang telah melaksanakan nilai-nilai

keislaman itu telah menjadi “Negara Islam”. Hal inilah yang diinginkan oleh

Nurcholish Madjid, yaitu dilaksanakannya nilai-nilai keislaman di Negara

Republik Indonesia.

Pemikiran Ibn Taimiyah, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas,

nyata sekali memengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid. Selain dari Ibn

Taimayah, pemikiran yang sama dengan pemikiran Nurcholish Madjid dan

nampaknya juga mempengaruhi pola pikirnya adalah pemikiran tokoh-tokoh

seniornya di HMI, yaitu H. MS. Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo. Selain itu,

pemikiran Nurcholish Madjid yang menolak gagasan negara Islam juga pernah

dikemukakan oleh salah satu tokoh eks-Masjumi, yaitu Jusuf Wibisono. Hanya

saja Jusuf Wibisono tidak merumuskan secara jelas dan terperinci pemikirannya

itu seperti yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid.

H. MS. Mitaredja adalah salah satu pendiri HMI dan dia menjadi Ketua

Umum Pengurus Besar HMI pertama (1947-1950). Dalam salah satu tulisannya

yang ditulis pada tahun 1968 dia menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah

merupakan hasil buatan manusia dan selanjutnya dia bertanya, “manakah yang

lebih penting Alquran atau Piagam Jakarta?”389 Lebih jauh dia mengatakan,

“apakah artinya berteriak-teriak mengenai Piagam Jakarta, kalau masih banyak di

antara kita melupakan dan meninggalkan pelaksanaan dari isi Piagam Jakarta itu

sendiri.”390 Dengan mengatakan ini, Mintaredja, menurut penulis, nampaknya

ingin menyatakan bahwa tokoh-tokoh Islam sebaiknya melupakan perjuangan

pengakuan Piagam Jakarta. Di samping itu, pernyataan Mintaredja ini, juga

menyiratkan bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keislaman,

bukan bentuk formalitas seperti pengakuan Piagam Jakarta.

Mengenai masalah negara Islam, dia menyatakan bahwa cita-cita negara

Islam tidak dapat diterima karena sejak masa Nabi...istilah “negara” dalam arti

389H.M. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta:

PT. Septenarius, Cetakan Kedua, 1976, hal. 44 390Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

negara seperti yang kita kenal sekarang, belum pernah ada.391 Mintaredja

menyatakan pemisahan agama dari negara pada dasarnya adalah sama dengan

pemikiran mengenai pemisahan politik dari agama, dan karena itu, menurutnya,

azasnya dikembalikan kepada Hadis yang berbunyi ‘kamu lebih mengetahui

urusan duniamu/keduniaanmu’.392 Lebih jauh dia menyimpulkan “er is toch well

enigzins scheiding tussen staat en kerk in de Islam” (dalam Islam dalam batas

tertentu toh ada juga pemisahan antara Negara dan Gereja).393

Dengan kesimpulannya itu, Mintaredja kemudian meminta agar saudara

seagamanya mengembangkan sikap toleransi terhadap orang yang mempunyai

pemikiran lain, yaitu pemikiran tentang “adanya pemisahan antara negara dan

gereja”. Dia juga meminta agar sesama warga negara Indonesia menghormati

Negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan dan diperjuangkan

bersama.394

Dahlan Ranuwihardjo adalah Ketua Umum Pengurus Besar HMI tahun

1951-1953. Dalam masa kepengurusannya ini sering diadakan diskusi mengenai

hubungan Islam dan negara. Di antara kesimpulan diskusinya itu adalah tidak ada

konsep negara Islam. Nampaknya dari diskusi-diskusi inilah Nurcholish Madjid

mulai mengenal permasalahan hubungan Islam dan negara. Selain itu, Dahlan

Ranuwihardjo juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno yang

menyatakan bahwa dia menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemikiran Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo tersebut dan diskusi-

diskusi yang diadakan dalam HMI menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish

Madjid juga terdapat dalam tokoh-tokoh seniornya di dalam HMI. Pemikiran-

pemikiran seniornya itu belum terumuskan secara jelas dan mendetail. Di tangan

Nurcholish Madjid lah kemudian pemikiran-pemikiran itu dirumuskan dengan

lebih jelas dan mendetail.

391Ibid., hal. 83 392Ibid., hal. 89 393Ibid. 394Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

BAB V

RESPONS DAN PENGARUH ISLAM KULTURAL

Nabi SAW pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, bahwa ijtihad

umatnya apabila benar akan memperoleh pahala dua, dan apabila salah akan

memperoleh pahala satu. Sabda Nabi ini menunjukkan betapa pentingnya ijtihad

dalam Islam demi kemajuan umat Islam. Namun demikian, menurut sebagian

ulama tidak semua orang bisa melakukan ijtihad. Artinya dalam melakukan ijtihad

seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan atau persyaratan-persyaratan tertentu,

misalnya menguasai bahasa Arab, ilmu tafsir, dan lain sebagainya. Apabila ia

tidak memiliki persyaratan-persyaratan tersebut, maka ia tidak memiliki

wewenang untuk berijtihad, tetapi cukup bertaklid saja.395

Dengan sabda Nabi di atas, umat Islam, yang memiliki kemampuan untuk

berijtihad, tidak seharusnya takut atau ragu berijtihad. Ijtihad asal untuk

kepentingan umat Islam akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah. Justru

menjadi tidak baik apabila umat Islam diam saja tidak mau berijtihad ketika ada

permasalahan yang muncul dalam umat Islam.396 Namun demikian, karena ilmu

pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing orang berijtihad tidak mutlak

sama, maka hasil ijtihadnya pun melahirkan perbedaan. Dengan demikian, wajar

saja apabila ditemukan perbedaan-perbedaan dalam hasil ijtihad, misalnya dalam

fiqh Islam Sunni saja dikenal dengan adanya empat Mazhab yaitu Maliki, Syafi’i,

Hanafi, dan Hambali. Dalam bidang teologi Islam terdapat aliran Al-Asy’ariyah,

Al-Maturidiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Murjiah, Jabariyah, dan lain

sebagainya.

Adapun di Indonesia, ijtihad dalam memahami hubungan Islam dengan

negara juga melahirkan perbedaan pandangan, yaitu munculnya gagasan Islam

politik dan Islam kultural. Perbedaan ini, sekali lagi, merupakan hal yang wajar.

Dalam BAB ini akan nampak berbagai respons terhadap gagasan Islam kultural

Nurcholish Madjid, baik itu respons yang berupa kritikan ataupun dukungan.

Selain pembahasan mengenai respons terhadap Islam kultural, dalam BAB V ini

395Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan

Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001, hal. 1-3 396Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputata, 10 Juni 2010

132 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

juga dibicarakan pengaruh gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid terhadap

umat Islam di Indonesia. Dengan membicarakan hal ini dapat diketahui apakah

gagasan Islam kultural memiliki pengaruh kepada umat Islam di Indonesia atau

justru tidak memberikan pengaruh apa-apa.

5.1 Respons Terhadap Islam Kultural

Satu gagasan pemikiran yang “keluar” dari arus utama pemikiran yang telah ada

akan menimbulkan berbagai respons dari berbagai kalangan, terutama kalangan

intelektual. Respons tersebut bisa berupa kritikan, baik yang bernada keras

ataupun tidak, dan juga dukungan. Salah satu gagasan yang banyak menimbulkan

respons dari berbagai kalangan umat Islam di Indonesia adalah gagasan Islam

kultural Nurcholish Madjid yang termuat dalam makalah pembaruannya.

Sebagaimana yang telah penulis bahas dalam BAB IV, konsep

“sekularisasi” atau “desakralisasi” dan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, yang

diproklamirkan pada 2 Januari 1970, serta “apologi negara Islam” pada 30

Oktober 1972, pada intinya menolak pensakralan terhadap sesuatu selain Allah

SWT. Dalam hal ini, partai politik dan konsep negara Islam menjadi sesuatu yang

tidak sakral atau tidak mutlak dalam pandangan Nurcholish Madjid. Hal inilah

yang menyebabkan gagasan Nurcholish Madjid tersebut telah “keluar” dari

pemikiran umat Islam pada umumnya. Karena, umat Islam saat itu meyakini

bahwa partai politik dan negara Islam merupakan sesuatu hal yang wajib

ditegakkan agar kepentingan umat Islam dapat dijalankan.397

Sebaliknya, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa yang terpenting adalah

dilaksanakannya nilai-nilai substansi keislaman, seperti keadilan, kesamaan,

partisipasi, dan musyawarah. Dengan demikian, negara Islam sebagai bentuk

formal perjuangan umat Islam dapat dikesampingkan. Pandangan inilah yang

memancing respons keras umat Islam terhadap gagasannya.

5.1.1 Kritikan Terhadap Islam Kultural

Menurut Mark R. Woodward, besarnya gelombang kritikan terhadap gagasan

sekularisasi Nurcholish Madjid mengindikasikan banyaknya kalangan

397Pada masa sidang BPUPKI, golongan Islam menuntut agar negara mengakui syariat

Islam. Tuntutan ini melahirkan Piagam Jakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan perjuangan golongan Islam menegakkan syariat Islam atau mendirikan negara Islam sebelum masa Orde Baru lihat BAB III.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

fundamental di kalangan masyarakat Indonesia.398 Namun, saya berpendapat

bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, besarnya kritikan

terhadap gagasan Nurcholish Madjid dikarenakan gagasannya itu dianggap telah

“keluar” atau “berbeda” dari arus utama pemikiran umat Islam ketika itu. Daud

Rasyid menyatakan munculnya kritikan terhadap gagasan Nurcholish Madjid

dikarenakan pandangan-pandangan Nurcholish Madjid dirasakan mementahkan

persoalan-persoalan yang sudah dianggap mapan dan mempertanyakan hal-hal

yang sudah diyakini sebagai kebenaran.399

Kritikan terhadap gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam

no”, dan penolakan terhadap negara Islam, yang semuanya itu kemudian dikenal

sebagai gagasan Islam kultural, muncul tidak hanya dari kalangan intelektual

satu generasi dengan Nurholish Madjid, tetapi juga dari generasi tua, seperti

Prof. Dr. H.M. Rasjidi, M. Natsir, dan Buya Hamka. Mereka ini dengan caranya

masing-masing melakukan kritikan atau bantahan terhadap gagasan Nurcholish

Madjid tersebut.

Kritikan terhadap slogan “Islam Yes, Partai Islam No” muncul pada 3

November 1970 di Harian Abadi. 400 Dalam harian tersebut, Hermansjah

Nazirun401 menulis bahwa slogan “Islam Yes, Partai Islam No” tidak tepat

diterapkan di seluruh wilayah Indonesia karena sebagaimana yang disebutkan

oleh Nurcholish Madjid hal itu merupakan kasus mahasiswa di ITB (Institut

Teknologi Bandung) dan kota-kota lainnya. Selain itu, menurut Nazirun terjadi

antusiasme yang besar di kalangan mahasiswa dan sarjana untuk terlibat aktif

dalam Parmusi. Hal itu, lanjut Nazirun dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa

yang menjadi pengurus Parmusi di tingkat wilayah (provinsi) sampai ke ranting-

ranting. Oleh karena itu, lanjutnya, “slogan Nurcholish Madjid itu dengan

sendirinya terbantahkan.”

398Mark R. Woodward, “Modernity and the Disenchantment of Life: A Muslim-Christian

Contrast”, dalam Johan Meuleman (editor), Islam in the Era Globalization: Muslim Attitudes towards Modernity and Identity, Jakarta: INIS, 2001, hal. 127

399Daud Rasyid, “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002, hal. vii

400Hermansjah Nazirun, “Kini Partai Islam Yes!”, Harian Abadi, Selasa, 3 November 1970, hal. 3

401Hermansjah Nazirun ketika itu adalah anggota Dewan Redaksi Majalah Suara Muhammadijah. Dia kemudian menjadi anggota DPR periode 2004-2009, dari PAN (Partai Amanat Nasional).

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Sementara itu, kritikan juga datang dari luar negeri, yaitu dari Arab Saudi.

Kritikan dari Fouad Abdullah M yang dimuat dalam majalah Tempo 12 Agustus

1972 mengatakan:

Bagi kami Sdr Nurcholish Madjid tidak lain memakai Islam sebagai "la 'ibun wa lahwun" sadja (main-main dan iseng-iseng red). Apalagi disamping Sdr Nurcholish masih ada tokoh-tokoh seperti Dr Sudjatmoko, Rosihan Anwar, jang lebih tjondong kepada Sekularisme daripada mejakini Islam dalam segala segi bentuknja. Seperti jang dikatakan Sdr Rosihan Anwar dalam diskusi tersebut, tidak lebih, persis seorang jang mempeladjari Islam setjara Islamologi sadja. Bahkan lebih dari itu, terlalu sering Ia membahas Islam dalam katjamata jang negatif. Sungguh, tokoh-tokoh "intelektuil" Islam sematjam jang namanja tersebut diatas tadi lebih pantas digolongkan kedalam deretan "tokoh-tokoh Islam Hipokrit di Indonesia, tokoh-tokoh Jukazzibu Bid-Dien (mendustakan agama)". Demikianlah tanggapan kami sebagai seorang Muslim jang merasa wadjib hukumnja ber-Amar Makruf Nahi Mungkar.402

Dengan adanya tanggapan dari Arab Saudi ini menunjukkan bahwa ternyata

gagasan Nurcholish Madjid tidak hanya tersebar di Indonesia saja melainkan

juga tersebar di luar negeri, khususnya Arab Saudi.

Prof. Dr. H.M. Rasjidi merupakan salah satu pengkritik yang paling keras

terhadap Nurcholish Madjid. Melalui tulisan yang berjudul “Koreksi Terhadap

Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi” yang ditulis pada tanggal 17

Agustus 1972, Rasjidi mengemukakan berbagai argumentasi untuk membantah

dan mengkritik konsep sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid.

Dengan menyebut Nurcholish Madjid “semau gue” dalam menggunakan istilah

sekularisasi403, Rasjidi mencoba untuk mematahkan konsep Nurcholish Madjid

sekaligus menunjukkan kelemahan-kelemahan Nurcholish Madjid dalam

merumuskan konsepnya itu.

Mengenai gagasan sekularisasi yang diusung oleh Nurcholish Madjid,

Rasjidi menyatakan bahwa bagaimanapun istilah itu tidak bisa diterapkan dalam

Islam karena Islam tidak pernah mengenal istilah tersebut. Istilah sekularisasi

merupakan istilah yang muncul di Barat dan Kristen sehingga tidak bisa

diterapkan dalam Islam. Sekularisasi, menurut Rasjidi, mempunyai hubungan

402Tempo, 12 Agustus 1972 403M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta:

Bulan Bintang, 1972, hal. 7-30

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

yang erat dengan sekularisme karena ia berarti penerapan sekularisme.404 Istilah

sekularisme, menurutnya, muncul pertama kali pada tahun 1851. Istilah ini

pertama kali digunakan oleh G.S. Holyoake (1817-1906) sebagai nama sistem

etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengaturan kepada

kehidupan manusia tanpa kepercayaan kepada Tuhan, Kitab Suci, atau hidup di

Hari Kemudian.405

Untuk membantah Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa istilah

sekularisasi tidak selalu berarti penerapan sekularisme dengan mengajukan

contoh istilah socialised medicine yang bukan merupakan penerapan

sosialisme406, Rasjidi justru menyatakan bahwa istilah tersebut di negara-negara

kapitalis merupakan penerapan sosialisme dalam pengobatan, yaitu setiap pasien

yang berobat tidak perlu membayar karena pemerintah, yang memakai

sosialisme sebagai dasar, akan membayar ongkos-ongkos pengobatan itu.407

Menurut Rasjidi kalau Nurcholish Madjid tetap menggunakan istilah

sekularisasi yang dia gunakan berdasarkan apa yang dia pahami maka segala

sesuatunya menjadi arbitrer. Artinya, makna sebuah kata atau istilah tergantung

dengan orang yang menggunakan istilah itu. Rasjidi mengatakan:

Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Sdr. Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, kopi, es jeruk, dan sebagainya, dengan tidak ada konsekuensinya apa-apa. Kalau saya berkata: ‘Yang saya maksudkan dengan pisang goreng adalah sikap manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja, maka tak ada yang berhak melarang saya berbuat demikian’. Mereka hanya ketawa dalam hati mereka karena keanehan istilah tersebut.408

Dengan meyakini bahwa sekularisasi berarti penerapan dari sekularisme

Rasjidi dengan tegas menolak pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan

bahwa istilah sekularisasi yang dia gunakan bukan sebagai penerapan

404Ibid., hal. 14 405Ibid. 406Nurcholish Madjid dengan tegas menyatakan bahwa istilah sekularisasi yang

digunakannya bukan dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme. Dia memberikan contoh istilah “sosialisasi” dalam perkataan Inggris, socialised medicine, (pengobatan yang disosialisasikan), sudah pasti bukanlah penerapan sosialisme. Lihat Nurcholish Madjid, “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 221. Untuk lebih lengkapnya mengenai penjelasan istilah sekularisasi yang digunakan oleh Nurcholish Madjid lihat BAB IV dalam tulisan ini.

407Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 14 408Ibid., hal. 15

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

sekularisme. Untuk memperkuat bantahannya terhadap Nurcholish Madjid,

Rasjidi mengutip pernyataan Alan Richardson yang mengatakan:

In actual English usage today the word “secularism” commonly denotes the widespread practical tendency to ignore God and all religious questions and observances through preoccupation with this worldly (secular) concerns, keeping up with everyone else, “getting on” in the world, the rat-race, which leaves one too exhilarated or too exhausted to sit down and think about ultimate things. (Dalam bahasa Inggris yang dipakai dewasa ini, kata “secularism” lazim diartikan sebagai suatu sikap kecenderungan yang terdapat luas di kalangan masyarakat untuk secara mudah menganggap sepi kepada Tuhan dan semua persoalan dan kegiatan keagamaan oleh karena kesibukan dengan hal-hal duniawi (sekuler), mengimbangi gerak setiap orang lain, mencari kemajuan di dunia ini, suatu lomba tiada hentinya yang membuat seseorang terlampau mabuk atau kehabisan tenaga, sehingga dia tidak sempat duduk dan berpikir mengenai hal-hal ukhrawi).409

Nurcholish Madjid, dalam tulisannya untuk memperingati 70 tahun

Rasjidi pada tahun 1985, mencoba menjelaskan arti sekularisasi yang menjadi

kritikan Rasjidi.410 Dalam tulisannya itu, dia kembali menegaskan perbedaan

antara sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi menurutnya merupakan

pengertian sosiologis sedangkan sekularisme memiliki pengertian filosofis.

Sekularisasi dalam pengertian sosiologis memiliki makna pembebasan

masyarakat dari belenggu takhayul. Ini artinya, menurut Nurcholish Madjid,

sekularisasi tidak menghapuskan orientasi keagamaan masyarakat. Bahkan

menurutnya, proses pembebasan dari takhayul itu terjadi karena dorongan

keagamaan, khususnya monoteisme.411 Adapun sekularisme menurutnya

memiliki pengertian penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan

duniawi ini.

Dalam tulisannya itu, Nurcholish Madjid juga menyatakan apabila

penolakan Rasjidi berdasarkan atas keyakinan bahwa sekularisasi tidak dapat

409Ibid., hal. 17 410Tulisannya itu menjadi catatan kaki no. 1 dalam tulisannya yang berjudul “Sekitar

Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215.

411Perlu diketahui menanggapi gencarnya kritikan terhadap dirinya, Nurcholish Madjid tidak memberikan jawaban satu persatu terhadap setiap kritikan yang datang kepadanya. Dia mengemukakan jawabannya dengan cara membuat beberapa makalah yang ditujukan untuk para pengkritiknya, lihat tulisannya “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, dan “Sekularisasi Ditinjau Kembali”. Tulisan-tulisannya ini dapat dilihat dalam bukunya Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, penyunting: Agus Edi Santoso, Bandung: Mizan, 1987. Pembahasan mengenai tulisan-tulisannya itu dapat dilihat dalam BAB IV tulisan ini.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

dipisahkan dengan sekularisme hasil masa Pencerahan Eropa, maka dia dapat

menerima penolakan Rasjidi tersebut. Selain itu, Nurcholish Madjid dalam

tulisannya itu juga kembali menegaskan untuk tidak menggunakan istilah

sekularisasi karena perdebatan yang ditimbulkannya. Sebagaimana diketahui

pada tahun 1983, dalam suratnya kepada Mohamad Roem, Nurcholish Madjid

juga telah menyebutkan tentang hal ini.

Adapun untuk menanggapi ceramah Nurcholish Madjid yang berjudul

“Menyegarkan Faham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam Indonesia” di

Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 30 Oktober 1972, Rasjidi juga

mengemukakan kritikan kerasnya kepada Nurcholish Madjid. Bahkan, jika

dilihat dari isinya, kritikannya kali ini jauh lebih keras daripada kritikan

sebelumnya mengenai sekularisasi. Dalam tulisannya kali ini, dia menyebut

Nurcholish Madjid “seperti seorang sarjana Barat yang sama sekali tidak

mempunyai hubungan batin dengan Islam”,412 “nada kata-katanya sama dengan

kata-kata orang yang tidak suka terhadap Islam”,413 “kata-kata Nurcholish

Madjid bukan kata-kata orang yang percaya kepada Alquran, tetapi kata-kata

orang yang hanya pernah membaca Injil”,414 “Nurcholish Madjid belum

mempelajari Alquran”,415 “pemikiran Nurcholish Madjid kacau”,416 “pemikiran

Nurcholish Madjid merupakan pemikiran orang yang belum matang dan tidak

memenuhi syarat”,417 “pemikiran Nurcholish Madjid menggunakan asumsi yang

salah karena penyelidikan yang kurang teliti”,418 dan akhirnya “pemikiran

Nurcholish Madjid berbahaya bagi umat Islam Indonesia”.419

412Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 58 413Ibid., hal. 59 414M. Rasjidi, “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, Harian Abadi, Selasa,

5 Desember 1972, hal. 3 415Ibid. 416Ibid. 417Ibid., hal. 4 418Ibid. 419Ibid. Walaupun Prof. Rasjidi sangat keras dalam mengkritik dirinya, Nurcholish

Madjid tetap mengganggap bahwa Rasjidi merupakan salah seorang tokoh Islam besar yang memiliki pengaruh dalam kebangkitan intelektual di Indonesia. Dia menyatakan bahwa kritikan Rasjidi dikarenakan dia “selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual”. Lebih jauh Nurcholish Madjid mengatakan bahwa “kita bisa merasakan denyut nadi dari seorang tua yang diliputi kekhawatiran dan concern yang sejati terhadap perkembangan intelektual Islam di Indonesia.” Lihat Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Penolakan Nurcholish Madjid terhadap gagasan negara Islam yang dia

katakan sebagai “apologi Negara Islam”420, ditanggapi Rasjidi dengan

mengemukakan kritikan keras dan bantahan terhadap pendapat Nurcholish

Madjid tersebut. Menurut Rasjidi apologi bukan bumerang bagi umat Islam

tetapi bumerang bagi orang yang melakukan serangan terhadap Islam.421

Dalam kritikannya yang dimuat oleh Harian Abadi pada tanggal 5

Desember 1972, dengan judul “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish

Madjid”, Rasjidi menyatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid yang

menolak gagasan negara Islam merupakan pemikiran orang yang tidak percaya

kepada Alquran, melainkan pemikiran orang yang hanya pernah membaca

Injil.422 Dalam Injil (Matius 22:21) dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar hak

kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan hak Tuhan”. Perkataan Injil ini dengan

tegas memisahkan antara urusan dunia dengan urusan Tuhan. Dalam Islam,

menurut Rasjidi, tidak ada pemisahan antara urusan dunia (kemasyarakat)

dengan urusan Tuhan. Menurutnya, “barang siapa yang kenal dengan Alquran

dan Sunnah akan mendapatkan segi-segi duniawi dan kemasyarakatan yang

banyak sekali.”423

Rasjidi menyatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid yang

menyatakan bahwa konsep negara Islam merupakan distorsi hubungan

proporsional antara agama dan negara menunjukkan bahwa dia belum

mempelajari Alquran.424 Selain itu dengan mengatakan hal tersebut, Nurcholish

Madjid, menurut Rasjidi, secara tidak langsung menunjukkan kekacauan

pikirannya.425 Menurutnya, di dalam Islam terdapat prinsip-prinsip kenegaraan,

seperti musyawarah, rule of law, persamaan hak penduduk walaupun dari agama

yang berbeda dengan Islam, prinsip kemerdekaan beragama, prinsip kerjasama

internasional, meratakan kekayaan di antara para warga negara, hukuman berat

420Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam

Indonesia”, Indonesia Raya, Kamis, 9 November 1972, atau lihat juga Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 253-256

421M. Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 3 422Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 4 423Ibid. 424Ibid. 425Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

bagi para pelanggar kesusilaan baik berupa pencurian harta (orang atau negara)

atau gangguan terhadap kehormatan (sex).426

Namun demikian, Rasjidi mengakui bahwa tidak ada kata negara Islam

dalam Alquran. Menurutnya, kata negara Islam timbul karena keinsafan umat

Islam bahwa dalam sistem kapitalis individualis dan sistem komunis kolektivis

ada ekses-ekses yang tidak wajar dan kekurangan serta kelemahan dari sistem-

sistem tersebut.427 Oleh karena itu, umat Islam berusaha mengetengahkan

sistemnya sendiri untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan dari sistem-

sistem yang telah ada. Dengan demikian, menurut penulis, pengakuan Rasjidi ini

telah menunjukkan bahwa konsep negara Islam memang merupakan hasil olah

pikir atau ijtihad yang dilakukan oleh umat Islam.

Dari penjelasan Rasjidi di atas sebenarnya apa yang diungkap oleh Rasjidi

tersebut juga disetujui oleh Nurcholish Madjid. Dalam berbagai tulisannya

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa perlunya dilaksanakan nilai-nilai

keislaman dalam kehidupan bernegara, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi,

dan musyawarah.428 Hanya saja Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam

melaksanakan nilai-nilai tersebut tidak harus secara legal formal dalam bentuk

negara Islam, melainkan bisa saja dilakukan dalam bentuk sistem negara

apapun, seperti Republik misalnya. Justru dengan bisa dilaksanakannya nilai-

nilai keislaman dalam sistem kenegaraan yang tidak terbatas hanya dalam

bentuk negara Islam menunjukkan keuniversalan ajaran Islam.

Dengan pengakuan Rasjidi bahwa kata negara Islam tidak ada dalam

Alquran dan ia merupakan hasil pemikiran manusia menjadikan konsep negara

Islam itu sendiri tidak mutlak. Artinya, umat Islam dapat melaksanakan nilai-

nilai keislaman tanpa harus terpaku dengan konsep negara Islam itu sendiri. Di

sinilah gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid mengambil peran dan

tempatnya.

426Ibid. 427Ibid. 428Lihat misalnya tulisan Nurcholish Madjid mengenai “Cita-cita Keadilan Sosial dalam

Islam”, dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 101-104. Tulisannya ini secara tidak langsung merupakan jawaban atas kritikan Rasjidi mengenai penolakannya terhadap negara Islam.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Mengenai kerasnya kritikan Rasjidi terhadap Nurcholish Madjid, menurut

pengakuannya dalam majalah Panji Masyarakat pada 1 Januari 1982, dia

mendapat teguran karena kritikan kerasnya itu. Menurut orang-orang yang

menegur Rasjidi tersebut seharusnya dia memberi dorongan terhadap pemuda

(Nurcholish Madjid) yang sedang mencari kebenaran. Namun, Rasjidi

menjawab, “kasusnya bukan kasus pemuda berfikir dan mencari kebenaran,

akan tetapi kasus propaganda anti-Islam yang mendapat bantuan dari orang-

orang yang tidak suka kepada kebenaran, dan berusaha menjauhkan Islam dari

bumi dan iklim Indonesia.429

Selain Rasjidi, salah satu tokoh Islam terkemuka di Indonesia, Muhammad

Natsir juga melakukan kritikan terhadap Nurcholish Madjid. Dalam satu

kesempatan pidato di depan HMI, dia mengatakan bahwa ketaatan terhadap

gagasan sekularisasi akan berakibat seperti apa yang pernah disebut Nabi

sebagai cinta terhadap dunia yang mementingkan diri sendiri, di mana mati

merupakan suatu keadaan yang menakutkan.430 Menurut Natsir, orang yang

berpandangan keduniawian seperti ini akan berusaha mencari kenikmatan

duniawi selama masa kehidupannya dan menjauhi cita-cita yang paling luhur.

Orang seperti ini tidak akan segan untuk mengorbankan kebenaran demi

keuntungan pribadi agar dapat hidup dengan senang di dunia ini. Perbuatan

seperti ini tentunya akan bertentangan dengan ajaran Islam, yang di dalamnya

menyuruh orang agar melakukan kegiatan-kegiatan duniawi dengan sungguh-

sungguh sejalan dengan perintah dan kehendak Tuhan.431

Akibat gagasannya itu, Natsir menyatakan kekecewaannya terhadap

Nurcholish Madjid yang selama ini telah dia anggap “seperti anak sendiri”.432

Natsir menyatakan bahwa dia merasa tidak terlalu risau oleh hasrat mereka

(Nurcholish Madjid dan beberapa rekan-rekannya di HMI) untuk “melepas diri”

dari “para orang tua”, karena baik “mereka mencoba melepaskan diri atau tidak,

keterlepasan secara otomatis pasti terjadi ketika kami, kaum tua, mati”. Yang

429Rasjidi, “Pergolakan pemikiran Islam”, Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982, hal. 42

430Victor Immanuel Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, penerjemah: Hersri, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1982, hal. 151

431Ibid.. 432Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,

Penerjemah: Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 156

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

merisaukannya justru hasrat mereka untuk menjauhkan diri dari “cita-cita akidah

dan umat Islam”.433

Mengenai persoalan apakah Islam, sebagai suatu sistem keyakinan yang

diwahyukan Tuhan, juga merupakan dasar bagi suatu ideologi dari dirinya

sendiri, Natsir menyatakan bahwa apabila tokoh-tokoh HMI (mengacu pada

sarjana ilmu-ilmu sosial yang tak dibekali pendidikan Islam) membaca banyak-

banyak “dan dengan pemikiran kritis”, mereka akan mendapatkan bahwa “Islam

telah menetapkan dasar-dasar bagi kehidupan keluarga, soal-soal ekonomi, dan

soal-soal kemasyarakatan.”434

Sementara itu, Hamka menyatakan bahwa semua diskusi tentang

sekularisasi dan modernisasi merupakan satu upaya baru dunia Barat untuk

melaksanakan suatu bentuk baru kolonialisme, yaitu kolonialisme ideologi.

Termasuk di dalam kolonialisme ideologi ini, selain dari memperkenalkan

sekularisasi dan modernisasi, juga adalah perjudian, pelacuran dan tempat-

tempat plesiran, dan lain sebagainya. Bagi Hamka, kolonialisme ideologi ini

telah menyusup sangat dalam pada semua segi kehidupan kaum Muslim. Oleh

karena itu, Hamka memperingatkan kaum Muslimin agar selalu waspada dan

berpegang teguh pada ajaran-ajaran Alquran dan Hadis.435 Jika dilihat

dari pendapat Hamka tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid

secara tidak langsung telah “terjebak” oleh taktik peperangan ideologi yang

dikobarkan oleh Barat.

Sekularisme menurut Hamka tumbuh dari dasar jiwa yang tidak disadari,

yaitu kebencian yang ditanamkan terhadap Islam sehingga meskipun berkali-

kali pemerintahan bertukar, namun sikap terhadap Islam tetap sama, yaitu kaum

Muslimin semata-mata menjadi kelas yang diperintah dan sekali-kali jangan

mengemukakan cita-cita agama untuk jadi pegangan kehidupan.436

Sebelum Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan sekularisasinya,

Hamka sendiri mengakui bahwa dia mengagumi Nurcholish Madjid karena

433Ibid. 434Ibid., hal. 157 435Ibid., hal. 152 436Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.

31

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

harapan intelektual dan semangat Islamnya.437 Menurut Hamka telah terjadi

perubahan dalam diri Nurcholish Madjid yang disebabkan oleh sanjungan dan

sambutan yang berlebihan dari rekan-rekannya semasa dia menjadi tokoh

mahasiswa (Ketua HMI).438 Rekan-rekan Nurcholish Madjid itu yang menurut

Hamka menjadi pengagum tidak kritis yang telah memompa ego Nurcholish

Madjid dan yang membuatnya memalingkan punggungnya dari “orang-orang

tua”.439

Kritikan dan sanggahan di atas merupakan kritikan dan sanggahan yang

datang dari generasi tua. Adapun kritikan yang datang dari generasi yang

sezaman atau satu tingkatan dengan Nurcholish Madjid juga tidak kalah

kerasnya. Di antara mereka yang melakukan kritikan tersebut, yang akan

disebutkan dalam tulisan ini, adalah Abdul Qadir Djaelani, Endang Saefuddin

Anshari, Ismail Hasan Metareum, dan Amien Rais.

Abdul Qadir Djaelani, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta

periode 1960-1961, dalam khutbahnya di Mesjid Menteng Raya, mengkritik

keras Nurcholish Madjid dengan cara mengutip satu hadis yang meramalkan

akan lahirnya “anak-anak muda yang masih mentah pikirannya”, yang

“mengucapkan kata-kata Rasul, tetapi iman mereka tidak sampai melampaui

tenggorokan”.440 Dengan mengutip hadis ini, menurut saya, Abdul Qadir

Djaelani secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Nurcholish Madjid

belum cukup mempunyai ilmu untuk melakukan kajian lebih mendalam

terhadap Islam. Selain itu, dia juga ingin mengatakan bahwa keimanan

Nurcholish Madjid masih “rendah” karena jika dilihat dari makna hadis yang dia

kutip imannya tidak sampai tenggorokan. Artinya, iman Nurcholish Madjid,

yang menjadi sasaran hadis Abdul Qadir Djaelani ini, masih disekitar mulut,

belum sampai ke dalam dada.

Abdul Qadir Djaelani juga menegaskan bahwa pandangan Nurcholish

Madjid berakar dari filsafat moral yang hedonistiktuasional. Dalam

pandangannya gagasan itu sama sekali bertentangan dengan nilai moral abadi

437Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 153 438Ibid., hal. 154 439Ibid. 440“Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Alquran. Menurut Djaelani, nilai-nilai moral yang diperintahkan oleh Alquran

bersifat abadi karena nilai-nilai itu berasal dari firman abadi Allah.441

Sementara itu, Amien Rais juga melakukan kritikan terhadap gagasan

sekularisasi Nurcholish Madjid, walaupun tanpa menyebutkan secara langsung

namanya. Menurutnya, konsep sekularisasi mempunyai makna bahwa agama

kehilangan daya tarik dan pengaruhnya terhadap manusia modern.442

Berdasarkan pengalaman Barat, Amien Rais menyebutkan tiga pola sekularisasi,

yaitu pertama pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur-

struktur gerejani; kedua ekspansi politik dalam menjalankan fungsi-fungsi

pengaturan dalam bidang sosio-ekonomi yang semula dijalankan oleh struktur

agama/gereja; dan ketiga transvaluasi kultur politik yang menggarisbawahi

pentingnya nilai-nilai rasional, pragmatis, dan nontransendental.443

Dikarenakan sekularisasi merupakan proses pengaplikasian dari

sekularisme, maka sekularisasi harus ditolak karena Islam tidak mengenal istilah

sekularisasi. Namun demikian, seandainya sekularisasi tidak ditolak, konsep

sekularisasi dalam Islam akan runtuh dengan sendirinya karena Islam memang

tidak memberikan tempat bagi sekularisasi. Islam, menurut Amien Rais, tidak

mengenal dikotomi antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara yang

profan dan yang sakral, antara yang imanen dan yang transendental.444

Sekularisasi yang merupakan istilah Barat, menurut Amien Rais, telah

banyak ditinggalkan orang. Untuk melihat kasus di Amerika Latin, di mana

mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik, sekularisasi tidak

mendapatkan perhatian dari masyarakat. Dia berkata:

Fenomena Amerika Latin memperlihatkan bahwa tesis sekularisasi tidak “laku” di benua Katolik itu, sehingga asumsi bahwa sekularisasi adalah suatu gejala yang universal tidak dapat dipertahankan lagi. Karena itu, kita agak heran bahwa ada sementara orang Indonesia, termasuk dari kalangan umat Islam, yang mencoba menawarkan sekularisasi, seolah-olah tidak tahu bahwa dalam konteks budaya dan filsafat Barat sendiri sekularisasi itu sudah mulai goyah dan tidak laku. Barangkali, hal ini bisa terjadi

441Tanja, Himpunan, hal. 153 442M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987,

hal. 123 443Ibid., hal. 125 444Ibid., hal. 126

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

karena adanya semacam kelatahan intelektual yang mudah-mudahan tidak akan terulang lagi di masa depan.445

Walaupun Amien Rais tidak menyetujui konsep sekularisasi yang

dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, namun dia setuju bahwa gagasan negara

Islam tidak ada dalam Alquran. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Panji

Masyarakat tahun 1982,446 dia menyatakan bahwa “Islamic State” atau negara

Islam, tidak ada dalam Alquran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu,

menurutnya, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam.447

Lebih jauh Amien Rais menyatakan bahwa yang lebih penting adalah selama

suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan dan

menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh daripada eksploitasi

manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti

menurut Islam sudah dipandang negara yang baik.448

Selain itu, Amien Rais juga menyatakan bahwa masalah adil dan keadilan

sosial seperti yang termuat dalam Pancasila sesungguhnya merupakan salah satu

tema sentral dalam Alquran, kitab suci yang menjadi dasar pertama dan utama

dalam agama Islam.449 Kedua sumber Islam, Alquran dan Sunnah, dengan tegas

memerintahkan umatnya untuk menegakkan nilai-nilai utama seperti keadilan,

kebenaran, kejujuran serta melenyapkan kezaliman (dhulm) dan penindasan

(istibdad, eksploitasi), tapi tidak dengan tegas memerintahkan pembentukan

negara Islam (daulah Islamiyah).450

Pendapat Amien Rais ini dengan sendirinya, menurut penulis, mendukung

atau setidaknya setuju dengan gagasan Nurcholish Madjid yang menyatakan

bahwa tidak ada negara Islam dalam ajaran Islam dan itu hanya merupakan

445Ibid. 446Lihat Panji Masyarakat, No. 379/1982. Tulisan ini kemudian memicu korespondensi

atau surat menyurat antara Nurcholish Madjid, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat, dengan Mohamad Roem untuk membicarakan tentang ada atau tidaknya konsep negara Islam dalam Alquran atau Sunnah. Korespondensi ini kemudian dibukukan, termasuk di dalamnya dimuat tulisan Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, menjadi Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Agus Edi Santoso (penyunting), Jakarta: Djambatan, 1997

447Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. xxii

448Rais, “Tidak Ada”, hal. xxii-xxiii 449Amien Rais, “Indonesia dan Demokrasi”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, Aspirasi

Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983, hal. 66 450Ibid., hal. 73

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

apologi umat Islam terhadap ideologi-ideologi yang berkembang di Barat.

Karena pendapatnya itu sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Nurcholish Madjid, yaitu tidak ada konsep negara Islam dalam Alquran dan

Sunnah.

Sementara itu, Endang Saefuddin Anshari menyetujui pernyataan

Nurcholish Madjid yang menyebutkan buruknya citra partai politik Islam di

mata masyarakat (umat Islam) dikarenakan mentalitas korup dari para pemimpin

partai-partai Islam dan mereka bekerja bukan demi memajukan kepentingan

Islam, tetapi memakai nama Islam secara palsu untuk mencapai kepentingan-

kepentingan pribadi.451 Hal inilah yang antara lain mendorong Nurcholish

Madjid memproklamirkan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”.

Namun demikian, bukan berarti Endang Saefuddin Anshari menyetujui

semua gagasan yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Dia bahkan menjadi

salah satu pengkritik yang dominan dari kalangan intelektual Muslim satu

angkatan dengan Nurcholish Madjid. Mengenai sekularisasi misalnya, dia

menyatakan bahwa umat Islam tidak memerlukan sekularisasi karena pada

hakikatnya Islam bukan saja sebuah agama tetapi suatu pandangan hidup yang

lengkap. Oleh karena itu, menurut Anshari, dalam Islam tidak ada kegiatan

kemanusiaan, baik di dunia maupun di akhirat, baik rohaniah maupun

jasmaniah, yang dapat dilaksanakan terlepas dari iman keagamaan.452

Menurut Anshari, seluruh kegiatan manusia adalah untuk menyembah dan

mengabdi kepada Allah. Artinya, dalam Islam hubungan antara manusia dengan

Allah seperti hubungan antara seorang hamba atau abdi dengan tuannya. Dengan

demikian, gagasan sekularisasi atau desakralisasi terhadap semua masalah dan

nilai keduniawian berarti mengingkari tanggung jawab terhadap perintah Allah

dan dengan demikian merupakan perbuatan seorang yang tidak beriman atau

kufr.453

Penentangan Anshari terhadap gagasan sekularisasi tidak berarti juga

penentangan terhadap gagasan penolakan “negara Islam” yang dikemukan oleh

Nurcholish Madjid. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Majalah Tempo pada 29

451Ibid., hal. 146 452Ibid. 453Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Desember 1984, dia menyatakan bahwa yang tepenting bagi umat Islam adalah

isi, bukan label atau papan nama.454 Jadi, dalam konsep negara menurut Islam,

ada nilai-nilai dasar dan norma-norma asasi Islam, yang terkandung dalam

Alquran dan Sunnah Rasul, yang memberikan patokan pokok mengenai

pelbagai kegiatan sosio-kultural manusia. Termasuk melakukan aktivitas politik

kenegaraan. Sebuah negara, menurut Anshari, yang diletakkan atas dasar Islam,

menjunjung tinggi nilai dan norma Islam, dapat saja kalau mau disebut negara

Islam, atau “Negara Utama”, atau “Negara Adil Makmur”, atau nama lain apa

pun. Muslim sejati tidak komitmen dengan nama, tetapi dengan nilai dan

norma.455

Adapun Ismail Hasan Metareum mencoba menerka bahwa hati Nurcholish

Madjid sendiri sebenarnya “tidak sepenuhnya menyetujui beberapa istilah yang

dikemukakannya itu”.456 Di sini, Metareum tidak secara jelas menyebutkan

istilah apa yang tidak sepenuhnya disetujui oleh Nurcholish Madjid, tapi

nampaknya yang dia maksudkan adalah istilah sekularisasi.

Jika dilihat dari kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh penentang

Nurcholish Madjid dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang menjadi tema

pokok perdebatan itu adalah penggunaan istilah sekularisasi, bukan substansi

dari tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat Islam dari

pensakralan terhadap segala sesuatu selain Allah, seperti partai politik Islam dan

negara Islam. Para pengkritik banyak menghabiskan tenaganya dalam

mengkritik istilah sekularisasi, sedangkan substansi atau isi dari pemikiran

Nurcholish Madjid sendiri menjadi terabaikan. Nurcholish Madjid sendiri

kemudian menyadari hal ini.

Dalam surat tertanggal 29 Maret 1983 yang dikirim kepada Mohamad

Roem, Nurcholish Madjid mengakui bahwa “dalam mencetuskan gagasan itu

saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer, seperti “sekularisasi”, yang

secara etimologis belum mantap dan sampai sekarang masih tetap

kontroversial.”457 Oleh karena itu, lanjut Nurcholish Madjid dalam suratnya itu,

454Endang Saifuddin Anshari, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember

1984, hal. 19 455Ibid., hal. 18 456“Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41 457Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

“saya sampai kepada kesimpulan bahwa istilah kontroversial itu lebih baik tidak

digunakan, karena sangat mengganggu...apalagi ternyata “memperjuangkan”

diterimanya suatu versi pengertian tertentu tentang istilah itu, versi Harvey Cox

misalnya, nampaknya suatu hal yang sia-sia.”458 Pengakuannya ini kemudian

membawanya untuk tidak menggunakan istilah sekularisasi setelah dia kembali

dari Chicago.459

Atas pertimbangan itulah akhirnya Nurcholish Madjid, setelah kembali

dari Chicago pada tahun 1984, tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi dan

menggantinya dengan istilah “devaluasi radikal” atau “desakralisasi”. Namun

demikian, walaupun dia tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi karena

banyak menghabiskan tenaga, dia tetap memperjuangkan realisasi gagasan-

gagasannya itu bagi umat Islam Indonesia.

5.1.2 Dukungan Terhadap Islam Kultural

Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid juga mendapatkan dukungan dari

kalangan yang menganggap bahwa gagasannya itu dapat mendukung program-

programnya atau sesuai dengan pola pemikirannya. Pemerintah Orde Baru,

misalnya, mendukung gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid karena gagasan

itu “mendukung” program Orde Baru dalam rangka depolitisasi atau departaisasi

umat Islam. Sementara itu, beberapa kalangan intelektual yang mendukung

gagasan Islam kultural selain merasa gagasannya itu “cocok” dengan

pemikirannya, juga beralasan bahwa gagasan itu tepat dilakukan di Indonesia

ketika umat Islam tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam bidang

politik.

5.1.2.1 Dukungan dari Pemerintah Orde Baru

Pemerintah Orde Baru yang berusaha melaksanakan pembangunan ekonomi di

Indonesia melakukan berbagai usaha agar tercipta stabilitas nasional. Stabilitas

merupakan faktor penting dalam pembangunan agar pembangunan dapat

dilaksanakan dengan lancar tanpa adanya “gangguan” dari pihak-pihak yang

tidak “mendukung” usaha itu. Di antara usaha untuk menciptakan stabilitas

nasional adalah melakukan depolitisasi, departaisasi, dan deideologisasi

masyarakat. Islam, yang memiliki harapan dapat berperan lebih aktif dalam

458Ibid., hal. 22-23 459Lihat BAB IV

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

politik Orde Baru karena merasa memiliki peran membantu militer dalam

memberangus PKI, menjadi pihak pertama yang terkena program pemerintah

tersebut.

Para pemimpin Islam politik, seperti pemimpin partai eks-Masyumi, masih

berusaha dan meyakini bahwa perjuangan cita-cita Islam dapat dilakukan

melalui partai-partai politik. Oleh karena itu, pada awal pemerintahan Orde

Baru mereka tetap memperjuangkan cita-cita politik umat Islam, walaupun

usaha-usaha itu tidak membuahkan hasil. Kegagalan inilah yang mendorong

munculnya Islam kultural.

Islam kultural, dengan menggunakan metode berpikir kontekstual dan

penjelasan yang rasional, berhasil mengubah persepsi pemerintah Orde Baru

terhadap Islam. Penjelasan rasional bahwa cita-cita negara nasional tidak

bertentangan dengan Islam, karena konsep itu menurut Nurcholish Madjid

tidak ada dalam Alquran, dan bahwa Pancasila dengan Islam memang

kompatibel, karena nilai-nilai Islam telah termuat dalam Pancasila, serta partai

politik Islam tidak mutlak, jelas memengaruhi sikap pemerintah terhadap

Islam. Bahkan, gagasan Islam kultural ada kalanya dijadikan “referensi” oleh

pemerintah Orde Baru dalam menjelaskan kebijakan politiknya. Sebagai

contoh, gagasan Islam kultural yang menegasikan cita-cita negara Islam bukan

saja disambut dengan rasa lega oleh pemerintah Orde Baru, tetapi juga oleh

golongan-golongan lain yang masih dihantui rasa khawatir terhadap cita-cita

semacam itu.460

Dikarenakan memiliki kesesuaian dalam tujuan, maka elit politik Orde

Baru merasa berkepentingan untuk mendorong keberhasilan gagasan Islam

kultural yang dikembangkan Nurcholish Madjid. Kenyataan ini menciptakan

kesan di kalangan sebagian pemimpin Islam politik, gerakan pemikiran yang

dipelopori oleh Nurcholish Madjid tidak lebih sebagai upaya menarik simpati

pemerintah. Akan tetapi, Nurcholish Madjid tidak mundur dari gagasannya.

460M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang

Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 237

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Hal itu dikarenakan dia memiliki keyakinan bahwa gagasannya akan berguna

bagi umat Islam pada masa mendatang.461

Dukungan dari pemerintah Orde Baru muncul di antaranya dengan

pengakuan terbuka dari Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara 1988-1993 dan

1993-1998) tentang sumbangan Islam kultural dalam mempertemukan gagasan

Islam dengan konsep negara nasional. Dalam sebuah presentasi di Simposium

Festival Istiqlal pada 21 Oktober 1991, dengan tegas Moerdiono menyatakan

bahwa cendekiawan muslim, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,

dan lain-lainnya, berhasil menghilangkan dikotomi antara Islam dan negara

Nasional.462 Dampaknya kemudian adalah pemerintah, menurutnya, kemudian

secara sungguh-sungguh melaksanakan kebijaksanaan serta kegiatan nyata

untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan sah dari umat Islam. Dalam hal ini

Moerdiono menyebutkan beberapa tindakan pemerintah yang mendukung

kepentingan umat Islam, seperti perbaikan perjalanan ibadah haji, bantuan

untuk pendidikan dan lembaga keagamaan, dukungan peranan mendasar

agama dalam masalah nikah, talak, rujuk, dan hukum waris, pembangunan

mesjid-mesjid, dan reaksi cepat terhadap berita lemak babi dalam makanan

yang dijual kepada umum yang telah membantu menentramkan perasaan umat

Islam.463

Senada dengan Moerdiono, mantan Menteri Agama RI (1978-1983),

Alamsjah Ratuperwiranegara464, menyatakan bahwa “Nurcholish Madjid

mengajak kita untuk menjadikan Islam sebagai benda yang berharga”,

sehingga “Islam kita pelajari, kita junjung, dan kita laksanakan.”465 Oleh

karena itu, Alamsjah meminta agar Islam jangan dijadikan sebagai alat politik

karena dengan menjadikan Islam sebagai alat politik umat Islam akan kembali

461Robert W. Hefner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia,

Yogyakarta: Tiara Wacana 1995, hal. 14 462Makalah Moerdiono, Umat Beragama dan Negara Nasional: Sebuah Rekonstruksi

Pemikiran, dalam Yustiono, et. al (editor), Islam dan Kebudayaan: Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993, hal. 236-237

463Ibid. 464H. Alamsjah Ratuperwiranegara, lahir di Kotabumi, Lampung, 25 Desember 1925,

adalah mantan Menteri Agama RI (1978-1983) dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (1983-1988).

465Alamsjah Ratuperwiranegara, “Antara Islam Kultural dan Islam Politik”, dalam Gatot Indroyono (editor), Islam di Mata Para Jenderal, Bandung: Mizan, 1997, hal. 187

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

menjadi kalangan “pinggiran”, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya

pada masa Demokrasi Terpimpin dan awal pemerintahan Orde Baru.

Lebih jauh Alamsjah kemudian membandingkan gagasan Nurcholish

Madjid dengan gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan Muslim lainnya.

Dia berkata: “kalau dinilai lewat gagasannya, saya kira yang paling akseptabel

itu adalah Cak Nur... bila dibandingkan dengan Gus Dur dan Amien Rais.466

Penilaian Alamsjah ini tentunya tidak terlepas dari subjektivitasnya sebagai

umat Islam. Namun demikian, nampaknya karena hal inilah yang mendorong

Alamsjah kemudian mengaplikasikan gagasan Nurcholish Madjid ketika dia

menjabat sebagai Menteri Agama RI.

Pada masa dia menjabat sebagai menteri agama, yaitu tahun 1978-1983,

banyak peraturan yang telah dia telurkan untuk mendukung perkembangan

Islam kultural, misalanya: membebaskan dakwah, aliran kepercayaan

dikembalikan ke P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan)467, Pancasila

pengorbanan dan hadiah umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan,

menentukan tata cara merayakan Natal hanya Kristen dan Katolik saja

sementara yang lain tidak merayakan, dan orang agama lain tidak boleh duduk

dalam panitia perayaan.468

Alamsjah menyadari begitu besarnya peran Islam kultural bagi umat

Islam, termasuk dirinya. Dia berkata:

Kalau saya waktu itu dari partai Islam, maka sudah lama saya habis. Tapi karena saya bukan dari partai Islam, maka semua pihak dapat menerima. Termasuk usul yang saya kemukakan, yang kemudian diterima Pak Harto mengenai Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Sekarang ini, yayasan ini sudah mampu mengumpulkan uang hampir 200 milyar. Yayasan ini dapat membiyai da’i, dan sudah 800 mesjid permanen terbangun.469

Sementara itu, Munawir Sjadzali, yang menjabat sebagai menteri agama

sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V

(1988-1993), dengan terperinci menjelaskan berbagai program pembangunan

di bidang agama yang berhasil direalisasikan pemerintah Orde Baru,

466Ibid., hal. 190 467Sebelumnya, ada usaha dari MPR untuk menjadikan aliran kepercayaan sebagai agama

tersendiri. Namun dikarenakan besarnya protes dari umat Islam, pemerintah kemudian berusaha membatalkan tindakan ini.

468Ratuperwiranegara, “Antara Islam”, hal. 192 469Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

khususnya pada masa Kabinet Pembangunan V.470 Berbagai kebijakan

pemerintah Orde Baru—yang memihak umat Islam tidak akan terjadi apabila

umat Islam masih saja terpaku dengan cita-cita politiknya, seperti

pembentukan negara Islam—dengan jelas mendukung perkembangan Islam

kultural.

Pada tahun 1989, Pemerintah Orde Baru mengesahkan Undang-Undang

Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya undang-undang

ini maka:

a) Pendidikan agama diakui sebagai subsistem dari sistem pendidikan

nasional;

b) Pendidikan agama dikukuhkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-

sekolah umum: SD, SMTP, SMTA,dan perguruan tinggi;

c) Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dijamin keberadaannya, seperti

Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut-institut Agama

Islam.471

Masih berkaitan dengan undang-undang, pada tahun yang sama

pemerintah berhasil mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama. Sebenarnya, Peradilan Agama telah ada di

Indonesia sejak sebelum penjajah Belanda bercokol di Indonesia. Akan tetapi,

selama masa penjajahan Belanda, peradilan agama mengalami pengebirian.472

Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru membuat undang-undang baru yang

lebih mendukung perkembangan Peradilan Agama. Dengan adanya Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 tersebut, pengebirian terhadap Peradilan Agama

menjadi hilang. Isi undang-undang itu di antaranya adalah:

a) Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan

timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani

470Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI

Press, 1993, hal. 27-34 471Ibid., hal. 27 472Sejak tahun 1882, Peradilan Agama di Jawa dan Madura tidak diberi kewenangan

untuk ikut campur dalam pembagian warisan umat Islam. Lembaga ini hanya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan syariah yang sejalan dengan kebiasaan setempat (adat). Hal yang sama juga terjadi pada Kerapatan Qadli dan Kerapatan Dadli Besar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sejak tahun 1937. Lihat Ibid, hal. 28 dan baca juga Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998, hal. 292

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

pembagian warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di

wilayah-wilayah Indonesia yang lain;

b) Keputusan Pengadilan Agama final, tidak perlu lagi dikukuhkan oleh

Peradilan Umum; pelaksanaan/eksekusi keputusan Peradilan Agama

dilakukan oleh Peradilan Agama sendiri, tidak lagi oleh Peradilan Umum.

Oleh karenanya, harus diadakan jabatan juru sita dalam Peradilan Agama;

c) Sebagaimana halnya hakim pada lingkungan peradilan yang lain, hakim-

hakim pada Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,

tidak lagi oleh Menteri Agama. Mereka menjadi hakim-hakim negara

dengan kedudukan, hak, dan fasilitas yang setarap dengan hakim-hakim di

lingkungan peradilan lain. Paling tidak dalam teori, sesuai dengan UU

nomor 14 Tahun 1985 tentang Kemahkamahagungan, hakim agama dapat

menduduki jabatan Ketua Mahkamah Agung RI;

d) Untuk memberikan ketenangan psikologis bagi umat Islam yang mencari

keadilan, maka jabatan hakim, panitera, dan juru sita pada Peradilan

Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama Islam.473

Untuk mendukung terealisasinya cita-cita Islam kultural pemerintah Orde

Baru mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila pada 17 Februari

1982. Yayasan ini diketuai langsung oleh Soeharto. Program utama yayasan

ini adalah pendirian mesjid-mesjid untuk masyarakat Islam. Sampai tahun

1992, Yayasan ini telah berhasil membangun lebih dari 493 mesjid yang

harganya masing-masing antara 120 dan 140 juta rupiah. Soeharto juga

memprakarsai pengiriman 1000 dai dan penyuluh agama Islam melalui MUI

ke daerah-daerah transmigrasi. Para dai dan penyuluh itu selama tiga tahun

menerima bantuan sebesar Rp. 100.000,- per bulan dari Yayasan Amal Bakti

Muslim Pancasila serta alat transportasi (sepeda).474

Pada tahun 1991, Departemen Agama melakukan rehabilitasi dan

penambahan asrama haji di daerah embarkasi serta pembangunan asrama haji

di daerah-daerah transit. Misalnya rehabilitasi dan penambahan Asrama Haji

Pondok Gede dengan biaya sekitar 565 juta rupiah, Asrama Haji Juanda,

Surabaya, dengan biaya 117 juta rupiah, Asrama Haji Ujung Pandang, dengan

473Sjadzali, Islam Realitas, hal. 27-28 474Ibid., hal. 30

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

biaya 291 juta rupiah, dan Asrama Haji Polonia, Medan, dengan biaya 100 juta

rupiah. Selain itu, Departemen Agama juga melakukan pembangunan Asrama

Haji Sulawesi Utara dengan biaya 200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992

sebesar 183 juta, menjadi 283 juta, Asrama Haji Sulawesi Tengah sebesar 150

juta, Asrama Haji Kalimantan Timur sebesar 200 juta, ditambah dari APBN

1991/1992 sebesar 159 juta menjadi 359 juta, Asrama Haji Yogyakarta sebesar

200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992 sebesar 213 juta menjadi 413 juta,

Asrama Haji Jawa Tengah 200 juta, Asrama Haji Nusa Tenggara Barat 200

juta. Departemen Agama juga melakukan perluasan Asrama Haji yang telah

ada di Kalimantan Tengah dari dana APBN 1991/1992 sebesar 183 juta.475

Dalam dunia pendidikan, pemerintah juga mendukung pengembangan

dunia pendidikan. Bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu bagian

terpenting, menurut Islam kultural, dalam kemajuan umat Islam. Pada tahun

1975, telah ditandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam

Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayan, dan Menteri Agama, yang

mengakui madrasah-madrasah sama tarafnya dengan sekolah-sekolah

umum.476

Selain itu, untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan di

perguruan tinggi, pemerintah menyelenggarakan pendidikan Pascasarjana

untuk magister dan untuk doktor bagi para Dosen IAIN (Institut Agama Islam

Negeri), baik di dalam negeri maupun di luar negeri.477 Pemerintah juga, sejak

bulan November 1990, mulai menayangkan pelajaran bahasa Arab, yang

merupakan bahasa internasional dan bahasa Al-Qur’an, di TVRI.478

Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1980-an, pemerintah Orde Baru

mengizinkan siswa perempuan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri

dan membantu pembangunan Bank Islam.479 Pada tahun 1991, Suharto beserta

keluarganya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.480

475Ibid.,hal. 30-31 476Ibid.,hal. 32 477Ibid.,hal. 33 478Ibid.,hal. 33-34 479Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge:

Cambridge University Press, 2004, hal. 83 480Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Dukungan pemerintah Orde Baru terhadap pembangunan umat Islam

tersebut di atas tidak terlepas dari keberhasilan Islam kultural merubah

persepsi pemerintah Orde Baru yang sebelumnya menganggap umat Islam

sebagai “penghalang” potensial bagi pembangunan di Indonesia. Dengan

mencetuskan gagasan bahwa partai politik Islam tidak bersifat mutlak, konsep

negara Islam tidak ada di dalam Alquran maupun Hadis, serta Pancasila sesuai

dengan nilai-nilai keislaman, Islam kultural berhasil membuat pemerintah

mendukung perkembangan umat Islam. Dukungan pemerintah ini pada

akhirnya membuat umat Islam tetap bisa berperan dalam membangun bangsa

Indonesia. Dan inilah yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid.

5.1.2.2 Dukungan dari Intelektual Muslim

Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid tidak hanya menimbulkan kritikan

dari berbagai kalangan, melainkan juga menarik dukungan yang tidak sedikit

dari kalangan intelektual Muslim atau ulama. Walaupun ada di antara

intelektual-intelektual itu yang tidak tegas menyatakan dukungan terhadap

gagasan Nurcholish Madjid, namun gagasan atau pemikiran mereka memiliki

kesamaan dengan apa yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid.

Gencarnya kritikan terhadap Nurcholish Madjid menimbulkan pengakuan

terhadap gagasan Nurcholish Madjid. Seperti yang dikatakan oleh K.H.

Haman Ja’far,481 “saya tahu persis Nurcholish, apa pun boleh keluar dari

pikirannya, tetapi, saya yakin, hatinya tetap Islam. Apa yang ia maksudkan

dengan sekularisasinya berbeda jauh dengan sekularisme.”482

Respons berupa dukungan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh

Nurcholish Madjid juga muncul dari seorang tokoh Golkar di Sumatera Barat,

yaitu Letkol. Drs. Safroedin Bahar. Dalam tulisannya di Majalah Tempo dia

menyatakan simpati terhadap “gerakan” Nurcholish Madjid dan oleh karena

itu dia menyebarluaskan tulisan Nurcholish Madjid itu kepada anggota Golkar

di Sumatera Barat.483 Tindakan Safroedin Bahar ini menunjukkan bahwa

gagasan Nurcholish Madjid menurut hemat penulis “sesuai” dengan agenda

481KH. Hamam Ja’far adalah pemimpin sekaligus pendiri Pondok Pesantren Pabelan,

Magelang. 482Dikutip dari Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,

1993, hal. 91 483Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 127

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Golkar, yaitu menarik dukungan dari pendukung partai politik Islam (umat

Islam) yang telah dikenai sekularisasi Nurcholish Madjid, sehingga gagasan

itu perlu disebarluaskan.

Mengenai konsep negara Islam yang menjadi sasaran kritikan terhadap

Nurcholish Madjid juga mendapat pengakuan dari beberapa intelektual

Muslim. Di antaranya adalah dari salah seorang tokoh Muhammadiyah ketika

itu, yaitu Djarnawi Hadikusumo. Dia menyatakan bahwa dalam Islam, negara

Islam atau konsep negara Islam tidak ada. Yang ada menurutnya adalah hanya

penafsiran dari beberapa ulama.484

Sementara itu, Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan panggilan

Gus Dur, menyatakan bahwa dalam Islam negara itu adalah hukum, al-hukmu,

dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Menurutnya yang ada hanya

etika kemasyarakatan dan komunitas, seperti keadilan, kebersamaan, dan lain

sebagainya. Selama etika itu diberlakukan, selama itu pula tidak ada keberatan

dengan sistemnya.485

Senada dengan Gus Dur, Jalaluddin Rachmat juga menyatakan bahwa jika

etika itu dijalankan, tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain harus ikut

mempertahankannya sebagai kewajiban agama.486 Menurutnya apabila etika

itu dijalankan maka umat Islam harus taat kepada pemerintah yang sedang

berkuasa. Umat Islam harus mendukung pemerintah tersebut, baik pemerintah

itu berbentuk Republik, Monarki Parlementer, atau lainnya. Tujuan negara

bagi Islam, menurut Jalaluddin Rachmat, hanya untuk menegakkan

keadilan.487

Menurut Jalaluddin Rachmat, negara itu bisa berarti banyak. Dia

menjelaskan bahwa negara bisa berarti state, bisa juga berarti nation state.

Negara dengan arti nation state baru digali kira-kira pada abad ke-19. Kata ad-

Daulah adalah kata baru bahasa Arab untuk nation state. Jadi, kata ad-Daulah

itu dibuat orang untuk mengartikan definisi negara. Dari kerangka pemikiran

484Djarnawi Hadikusumo, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 19

485Abdurrahman Wahid, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 18

486Jalaluddin Rachmat, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 18

487Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

ini, sia-sialah, menurut Jalaluddin Rahcmat, mencari kata Daulah Islamiyah

baik di dalam Alquran maupun dalam Hadis. Jadi, jika dengan negara yang

dimaksud adalah Daulah ini, memang tidak ada dalam Islam.488

Dengan demikian, menurut Jalaluddin Rachmat Indonesia tidak perlu

diganti menjadi negara Islam. Yang terpenting adalah konsep-konsep Islami

diterapkan dalam kehidupan bernegara, di dalam negara Pancasila ini. Sebab,

sebagai contoh Arab Saudi dan Pakistan pun, yang mengaku sebagai negara

Islam, tidak menerapkan konsep Islam secara menyeluruh. Pakistan, misalnya,

tidak sepenuhnya menerapkan konsep ekonomi dan politik Islam.489 Bahkan,

Arab Saudi menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan keturunan yang

tidak ada dalam ajaran Islam.

Harun Nasution490 juga menegaskan bahwa di dalam Alquran tidak ada

istilah negara Islam. Menurutnya yang ada di dalam Alquran dan Hadis cuma

dasar-dasar bernegara, seperti keadilan, demokrasi, persamaan hak, dan

toleransi.491 Dasar-dasar ini dapat ditegakkan dalam bentuk negara apa pun,

tidak terbatas hanya dalam bentuk formalitas sebuah negara Islam. Memang

menurut Harun Nasution, untuk hukum-hukum Islam, harus ada kekuasaan

pemerintahan. Tapi jika melihat kondisi Indonesia, yang berdasarkan

Pancasila, sudah mencerminkan diri sebagai salah satu negara Islam, dengan

bentuk republik berasaskan musyawarah seperti yang berlaku di masa

khulafurrasyidin.492 Lebih jauh dia menyatakan bahwa di manapun di dunia ini

tidak ditemukan negara yang memberlakukan hukum Islam sepenuhnya.

Bahkan menurutnya, “Republik ini malah lebih banyak memenuhi syarat-

syarat negara Islam dibandingkan dengan negara-negara yang menyebut

dirinya negara Islam di Timur Tengah,” karena “di sini, pelaksanaan hukum

Islam—misalnya hukum waris—bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.”493

488Ibid. 489Ibid. 490Harun Nasution (1919-1998) terkenal sebagai seorang filsuf Indonesia yang mencoba

mengembangkan paham Mu’tazilah. Dia menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta pada tahun 1969 dan 1973.

491Harun Nasution, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 19

492Ibid. 493Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Ahmad Syafii Ma’arif494, dalam tulisannya pada tahun 1983 menyatakan

bahwa Kitab Suci (Alquran) kelihatannya tidak tertarik pada teori politik khas

yang harus diikuti oleh umat Islam. Menurutnya perhatian utama Alquran

ialah agar masyarakat dan negara ditegakkan atas tonggak-tonggak keadilan

dan moralitas. Maka di atas tata nilai etik Alquran inilah suatu bangunan

politik Islam harus didirikan. Lanjutnya karena Alquran tidak menggariskan

bentuk dan struktur tertentu tentang negara, maka model dan struktur dari

organisasi politik Islam bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, ia dapat

senantiasa dipertanyakan, diperbaiki, dan disesuaikan dengan zaman dan

kebutuhan umat Islam asal prinsip dasarnya dipertahankan. Prinsip dasar yang

terpokok ialah konsep syura (prinsip konsultasi) yang menjadi ajaran sentral

dalam cita-cita politik Alquran.495

Kekuasan politik atau negara, menurut Ahmad Syafii Ma’arif, hanyalah

sebuah alat bagi agama, bukan persambungan dari agama. Oleh sebab itu,

slogan “Islam adalah agama dan negara” (Islam din wa daulah), menurutnya,

hanyalah mengaburkan hakikat misi kenabian Muhammad dan bersikap tidak

adil terhadap ajaran Alquran. Bahkan, lanjutnya, perkataan daulah yang

berarti negara tidak dijumpai dalam Alquran.496

Sementara itu salah satu pemimpin partai eks-Masyumi, Mohamad Roem,

juga berpendapat tidak jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan

pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh intelektual Muslim di atas.

Dalam suratnya yang dikirim kepada Nurcholish Madjid pada tahun 1983,

sebagai balasan atas surat Nurcholish Madjid yang dikirimkan kepadanya

mengenai tanggapan M. Roem atas tulisan Amien Rais tentang tidak adanya

negara Islam di majalah Panji Masyarakat, M. Roem menyatakan bahwa “jika

Dr. Amien Rais mengatakan: ‘Tidak ada negara Islam’ dalam Sunnah, saya

494Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh Muhammadiyah. Dia menyelesaikan pendidikannya

di Universitas Chicago, di mana Nurcholish Madjid juga menyelesaikan studinya di universitas tersebut. Pada tahun 1998, dia terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah.

495Ahmad Syafii Maarif, “Islam, Politik, dan Demokrasi di Indonesia”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983, hal. 42

496Ibid., hal. 45

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

rasa dia benar.”497 Lebih lanjut M. Roem menyatakan bahwa “Amien Rais

dengan pernyataannya itu tidak saja dia benar, akan tetapi dia juga bijaksana,

karena di Indonesia istilah itu (istilah negara Islam), lebih baik jangan dipakai,

karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, malah ada yang alergi

mendengar istilah itu.”498

Bahkan M. Roem lebih lanjut menyatakan bahwa negara yang didirikan

oleh Nabi Muhammad di Madinah bukanlah negara yang dinamakan dengan

negara Islam. Dia berkata:

Saya rasa yang disusun oleh Nabi di Yastrib, kemudian bersatu dengan Makkah pada hakikatnya adalah suatu negara, yang tidak dinamakan negara Islam oleh Nabi sendiri. Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada “negara Islam” atau Islamic State tidak dalam nama (What is in a name), melainkan dalam substance, dalam hakikatnya. Sesudah itu, saya rasa tidak ada lagi negara yang dapat menyamai negara itu, sebab siapa pun orangnya yang memimpin, ia tidak dapat menyamai Nabi.499 Dengan mengatakan hal itu, M. Roem nampaknya ingin menegaskan

sebesar apapun usaha umat Islam untuk mendirikan negara yang sama dengan

negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad tidak akan berhasil karena Nabi

SAW adalah seorang Rasul yang tentunya dalam setiap tindakannya

mendapatkan petunjuk langsung dari Allah.

Menurut saya, negara bentukan Nabi SAW memang menjalankan aturan-

aturan Islam. Tetapi, Nabi SAW tidak pernah secara eksplisit menyebut negara

yang dia pimpin sebagai negara Islam. Jadi, yang dijalankan adalah aturan atau

nilai-nilai keislaman, tetapi bentuk negara itu sendiri secara formal tidak

bernama negara Islam. Dengan demikian, menurut saya, yang paling penting

adalah dijalankannya nilai-nilai keislaman. Hal inilah sebenarnya yang

diinginkan oleh Nurcholish Madjid.

Adapun dari kalangan NU, selain Abdurrahman Wahid, juga terdapat kiai

yang memiliki pandangan yang sama dengan Nurcholish Madjid mengenai

tidak adanya konsep negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Menurut

KH. Achmad Siddiq, Rais Am NU tahun 1984, Islam tidak pernah

497Mohamad Roem, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 2

498Ibid. 499Ibid., hal. 6-7

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara. Menurutnya bentuk

tuntas sebuah negara tidak pernah ditemukan di dalam Alquran maupun Hadis.

Lebih jauh Achmad Siddiq menyatakan bahwa yang menjadi tugas utama

pemerintahan adalah menegakkan keadilan dan menyampaikan amanat kepada

ahlinya.500

Bahkan menurut Achmad Siddiq, Indonesia adalah negara Muslim jika

dilihat dengan kacamata fiqh, bukan kacamata politik. Dalam menyimpulkan

pendapatnya itu, Achmad Siddiq berpegang kepada kitab Bughyah al-

Mustarsyidin, bab al-Amaan (keamanan) dan al-Hudnah wal Jizyah (gencatan

senjata dan upeti), yang menyebutkan: setiap wilayah atau tempat yang pernah

dikuasai oleh orang Islam, nama negara atau wilayah itu tetap Muslim dan

tidak pernah berubah selamanya.501 Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa

Islam pada abad pertama Hijriyah sudah masuk dan berkuasa di Nusantara,

sekalipun dalam ukuran Samudera Pasai (kerajaan Islam pertama di Indonesia

yang didirikan oleh Sultan Malikush Shaleh, persis di tepi sungai Pasai,

Lhokseumawe, Aceh), maka sekalipun kemudian kekuasaan itu terputus oleh

penjajahan Belanda, negara ini, berdasarkan kaidah dalam kitab itu, tetap

Muslim.502

Adapun Dawam Rahardjo berpendapat bahwa konsep “negara Islam”

adalah salah satu jenis kontrak yang bersifat totaliter dan elitis. Menurutnya

dalam konsep seperti itu, elite yang berkuasa adalah mereka yang dinilai

paling mengetahui tentang hukum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling

tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cenderung

bertindak atas nama Tuhan, sepertinya mereka “mengambil alih” kekuasaan

Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan negara, memikul tugas

khilafah.503

Dari beberapa pandangan yang telah penulis kemukakan di atas, dapat

dilihat bahwa mereka sepakat istilah negara Islam tidak ada dalam Alquran.

Istilah negara Islam merupakan hasil ijtihad kaum Muslim dalam menghadapi

500KH. Achmad Siddiq, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984,

hal. 17 501Ibid. 502Ibid. 503Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 190

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

ideologi Barat, seperti kapitalisme dan komunisme. Tidak adanya istilah

negara Islam juga disetujui oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Amien Rais yang

sangat keras mengkritik Nurcholish Madjid mengenai penggunaan istilah

sekularisasi. Dalam hal ini, saya juga berpandangan hal yang sama, yaitu tidak

adanya istilah negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Adapun dalam

sejarah Islam klasik, menurut saya, belum pernah ada secara jelas negara yang

dapat dikatakan sebagai negara Islam, terkecuali pada masa modern, seperti

negara Pakistan, Iran, dan Arab Saudi. Namun demikian, masing-masing

negara itu juga memiliki perbedaan mengenai Islam yang diakuinya, misalnya

Iran menganut Islam Syiah dan Arab Saudi menganut Islam Sunni (Wahabi).

Dalam menilai kritikan maupun dukungan terhadap gagasan Nurcholish

Madjid dapat diambil kesimpulan dari Mochtar Pabottinggi.504 Menurutnya

kesalahan pokok Rasjidi, dalam menilai ide-ide Nurcholish Madjid ialah

ketidaksediaannya atau ketidakmampuannya menangkap niat dari istilah-

istilah maupun ide-ide Nurcholish Madjid tersebut. Dia, misalnya, mati-matian

hendak menyatuartikan kata sekularisasi, dengan sepenuhnya menafikan

maksud dan konteks yang dikehendaki Nurcholish Madjid. Rasjidi mungkin

lupa bahwa kata, terlepas dari pengaruh diskursus, tidak mungkin berfungsi di

luar kebebasan hakikinya untuk memilih konteks. Dan sesungguhnya

pertandingan antardiskursus itu sendiri mencakup pertandingan antara

pemaknaan-pemaknaan tertentu dari suatu kata. Kata bisa diumpamakan

senantiasa berada dalam rimba, lokasinya harus selalu ditebak dan ditentukan

kembali secara baru. Kata ditandai oleh keterbatasannya dalam menangkap

realitas, dalam mewakili apa yang sungguh-sungguh dimaksud. “Word...”

menurut Joseph Conrad, “are the great foes reality”.505 Namun, orang tokh

tidak bisa berhenti atau menunggu untuk berkata, karena itu merupakan syarat

mutlak untuk berada. Itulah sebabnya maka Ernst Cassirer menyatakan bahwa

“meaning must be explained in terms of being”.506

504Mochtar Pabottinggi, “Tentang Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim: sebuah

Analisis”, dalam Mochtar Pabottinggi (penyunting), Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986, hal. 238

505Dikutip dari Ibid., hal. 239 506Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Sementara, kesalahan (yang mungkin pada akhirnya telah disadari)

Nurcholish Madjid (dan teman-temannya), menurut Pabotinggi ialah

keterbatasan mereka untuk menangkap kenyataan bahwa, pada Islam, yang

tradisi tidak mesti berarti tradisional.507

Adapun menurut penulis sendiri munculnya kritikan ataupun dukungan

terhadap gagasan Nurcholish Madjid merupakan suatu hal yang wajar saja.

Sebuah pemikiran bagaimanapun juga tidak mutlak benar atau tidak mutlak

salah. Dalam memahami ajaran agama, seseorang sangat bergantung kepada

kemampuan dan metodologi dalam memahami ajaran agama tersebut. Apabila

dia memiliki kemampuan yang bagus dan metodologinya juga baik, maka

hasil yang diperolehnya dalam memahami agamanya juga bagus. Tapi,

kembali lagi bahwa bagus atau tidak itu tergantung kepada orang yang

menilainya.

Namun demikian, menurut penulis, perdebatan yang berlarut-larut

mengenai istilah sekularisasi pada akhirnya memalingkan perhatian terhadap

isi atau substansi dari gagasan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat

Islam dari mensakralkan partai politik dan negara Islam. Padahal yang

terpenting dari sebuah pemikiran atau gagasan adalah isinya karena

sebenarnya isi dari pemikiran itulah yang dapat memberikan pengaruh bagi

orang yang memahaminya, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.

5.2 Pengaruh Islam Kultural

Gagasan Islam kultural yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ternyata

memiliki pengaruh positif yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam pada

masa Orde Baru. Namun demikian, ada sebagian kalangan yang berpendapat

bahwa gagasan Islam kultural tidak memberikan pengaruh terhadap umat Islam.

Menurut mereka, pemikiran Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruh

kepada kalangan tertentu saja, misalnya terhadap kalangan intelektual Islam,

sementara terhadap masyarakat luas pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid

tidak memberikan pengaruh apa-apa.

Selain itu, menurut Aminuddin, walaupun gagasan Islam kultural telah

dikumandangkan Nurcholish Madjid sejak awal 1970-an, tepatnya sejak 2 Januari

507Ibid.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

1970, gagasan ini kurang efektif mempengaruhi agenda strategi politik umat Islam

hingga penghujung dasawarsa 1970-an. Kekurangefektifan gagasan tersebut,

menurut Aminuddin, disebabkan oleh tiga hal508, yaitu pertama gerakan

pemikiran yang dipelopori Nurcholish Madjid masih bersifat elitis karena hanya

mengandalkan diskusi-diskusi terbatas dan jurnal-jurnal ilmiah sebagai sarana

penyebaran idenya. Kedua, seruan Nurcholish Madjid kepada kaum Muslim agar

tidak terlalu mengandalkan perjuangan pada medan politik partisan tenggelam

oleh perdebatan pemikiran teologinya di masyarakat. Ketiga, masih kuatnya

pengaruh penganut strategi lama dalam tubuh kaum Muslimin seperti terlihat

dalam Pemilu 1971 dan 1977. Sementara Nurcholish Madjid sendiri, sebagai

pioner pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No” malah terlibat kampanye PPP

dalam pemilu 1977. Menurut Aminuddin, gerakan Islam kultural baru mulai

memiliki pengaruh yang berarti setelah Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan

melakukan langkah-langkah konkret gerakan Islam kultural dengan memulai

serangkaian rekayasa di NU.509

Ketegasan Islam kultural mengenai tidak adanya negara Islam dan ideologi

Islam membuatnya tidak dicurigai oleh rezim Orde Baru. Menurut Liddle,

semboyan “Islam Yes, Partai Islam No” adalah tepat untuk menggambarkan peran

kelompok Islam dalam pemerintahan Indonesia yang demokratis, berkesan dan

stabil, mengingat Islam sebagai partai akan menimbulkan perlawanan keras dari

kelompok lain. Sebaliknya, Islam dalam bentuk organisasi-organisasi sosial yang

memperjuangkan kepentingan dan wawasan mereka di berbagai lapangan politik

akan berhasil tanpa adanya tantangan dari pihak manapun.510 Sementara itu

menurut Munawir Sjadzali, menteri agama 1983-1993, dengan tiadanya partai

Islam perjuangan kepentingan Islam makin berhasil.511

Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Islam kultural berhasil

memberikan pengaruhnya bagi kemajuan umat Islam Indonesia, seperti

terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Bank Muamalat,

508Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan

Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 153 509Ibid. 510M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999, hal. 220 511Sjadzali, Islam Realitas, hal. 61-66

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal, dan Penetapan UU Sistem

Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama yang mengakui eksistensi dan

aspirasi umat Islam. Pada saat yang sama, kegiatan-kegiatan dakwah juga semakin

intensif dan ekstensif.512

Bresnan menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim513, bahwa

sejak 1980-an kelompok Muslim mulai memasuki elit nasional di Indonesia.

Mereka terlibat dalam kegiatan di luar dunia tradisional Islam, akrab dengan

pengelolaan institusi sekular besar dan menikmati keuntungan ekonomi yang

tidak pernah diimpikan oleh para pendiri Sarekat Islam dahulu. Hal itu merupakan

pengaruh dari Islam kultural. Namun saya berpendapat bahwa kemajuan yang

dicapai oleh umat Islam itu tidak semuanya dikarenakan pengaruh dari Islam

kultural. Dalam hal ini, meningkatnya jumlah sarjana-sarjana Muslim juga

berpengaruh bagi meningkatnya peran umat Islam dalam pemerintahan Orde

Baru.

Kemunculan Nurcholish Madjid dengan gagasan Islam kulturalnya juga

membantu mendobrak kungkungan teologis umat Islam yang cenderung bersikap

mengisolasi diri dari “dunia sekular”. Dengan adanya gagasan Nurcholish Madjid

ini, maka umat Islam yang terlibat dalam birokrasi pemerintah menjadi semakin

mantap. Umat Islam yang bekerja di birokrasi pemerintah pada akhirnya

membawa pengaruh yang menguntungkan bagi umat Islam, yaitu adanya gejala

Islamisasi Birokrasi yang marak terjadi pada tahun 1980-an.514 Birokrat Muslim

ini memang tidak memiliki keterkaitan kuat terhadap pemikiran Islam yang

teoritis, tetapi merekalah yang menyediakan mekanisme praktis bagi pembumian

gagasan Islam kultural dalam struktur politik Orde Baru.515

Wakil par excellence dari kaum politisi dan birokrat ini di antaranya

adalah Akbar Tanjung516 (Ketua HMI, 1971-1973) dan Mar’ie Muhammad

512Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul

Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. xxix 513Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 198 514Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 12 515Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia

Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 556 516Akbar Tanjung berkata, “gagasan-gagasan ‘liberal’ Nurcholish Madjid banyak

memberikan inspirasi bagi kalangan aktivis HMI untuk menyelami panggung politik. Menurut Nurcholish, nilai-nilai yang diperjuangkan harus bersifat universal, bukan simbol-simbol Islam. Maka, saya berpendapat bahwa dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut pada level praktis tidak

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

(aktivis HMI terkemuka). Di belakang keduanya, terdapat blok intelektual Muslim

berorientasi pragmatis yang lebih menghendaki posisi-posisi politik dan birokrasi,

tetapi tidak bisa mencapainya melalui kendaraan Islam politik. Integrasi mereka

dengan birokrasi dan dunia politik Orde Baru memperkuat “blok-dalam” Muslim

yang telah dirintis oleh intelektual Muslim sebelumnya.517

Bagi intelegensia Muslim dari “blok-dalam”, slogan “Islam Yes, Partai

Islam No” dan penerimaan Pancasila oleh organisasi-organisasi besar Islam

setelah 1983 sangatlah berkaitan. Keduanya dipandang sebagai indikasi

penerimaan diri terhadap ortodoksi negara dan membuka jalan bagi rujuk antara

intelegensia Muslim dan negara serta menjadikan negara lebih responsif terhadap

kepentingan-kepentingan kultural dan posisional kaum Muslim.518

Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini pada akhirnya bisa

membebaskan intelektual Muslim yang terlibat dalam birokrasi dari stigma

sebagai lawan Orde Baru dan membantu memecahkan hambatan psikologis untuk

mengekspresikan dan menyosialisasikan Islam kultural di lingkungan birokrasi.519

Birokrat Muslim pada masa itu secara terbuka, misalnya, melakukan salat

berjamaah, mengadakan acara keagamaan, dan merayakan hari besar Islam.

Mereka juga mendirikan mushalla, dan kemudian mesjid di kantor-kantor

pemerintah. Secara pelan tetapi pasti, birokrat Muslim berani mengekspresikan

identitas Islam mereka, yang diekspresikan melalui penciptaan tradisi baru seperti

pembiasaan ucapan salam, assalamu’alaikum, dan naik haji. Mulailah terjadi

rujuk antara Muslim abangan dan santri di tubuh birokrasi karena yang disebut

pertama secara lambat laun mulai bergabung ke dalam “rumah” Islam kultural.

Banyak birokrat Muslim abangan yang mulai belajar lebih banyak tentang Islam

dengan mengundang guru Islam privat ke rumah-rumah mereka, termasuk

Presiden Soeharto.520

harus masuk partai Islam. Saya berkeyakinan bahwa aspirasi umat Islam bisa terpenuhi tanpa partai Islam.” Dikutip dari Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Pengantar Editor”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hal. xvii

517Ibid., hal. 556-557 518Ibid. 519Ibid., hal. 562 520Ibid. Di antara guru-guru agama terkenal yang menjadi guru bagi keluarga Soeharto

adalah Quraish Shihab dan Qosim Nurseha.

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

Muncul akibat-akibat mengejutkan dari perkembangan ini, yang diwakili

cerita B.J. Habibie berikut. Dia bercerita, pernah pada akhir 1970-an, Soeharto

memimpin dan membuka sidang Kabinet dengan menggunakan peci dan

mengucapkan “bismillah”. Habibie kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa

Anda melakukan itu?” Soeharto kemudian menjawab, “Awalnya kita lemah

secara ekonomi. Oleh karena itu, kita membutuhkan lobi Katolik bagi masyarakat

kapitalis internasional dan itulah sebabnya sulit bagi saya untuk mengeksprsikan

identitas Islam saya. Namun, sekarang kita telah cukup kuat untuk menegaskan

identitas kita sendiri.”521

Gerakan Islam kultural yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid

memberikan kontribusi besar terhadap fenomena “penghijauan” atau Islamisasi di

dunia birokrasi dan politik Indonesia.522 Dengan Islam kultural maka terjadilah

proses santrinisasi seperti yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid. Hasilnya, saat

ini tidak ada lagi tokoh Islam santri yang berani mengatakan bahwa di antara

tanda kesempurnaan atau kebaikan keislaman seseorang adalah menjadi anggota

atau aktivis gerakan Islam formal, misalnya. Tidak ada lagi tokoh yang berani

mewajibkan orang Islam untuk memilih partai-partai Islam dalam pemilu seperti

dulu.523

Gagasan Islam kultural kemudian berkembang ke seluruh masyarakat luas

seiring dengan perkembangan gerakan pembaruan di dalam NU. Tokoh utama

yang menjadi penggerak gerakan pembaruan dalam tubuh NU adalah

Abdurrahman Wahid. Menurut Dawam Rahardjo, gagasan Islam kultural

Nurcholish Madjid ini diikuti oleh NU dengan gerakan “Kembali kepada Khittah

1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 dan Muhammadiyah dengan

wacana “Masyarakat Utama”, walaupun dengan dalih lain.524 Dengan “masuknya”

kedua organisasi ini ke dalam gerbong Islam kultural maka secara tidak langsung

521Habibie menceritakan kisah ini kepada para pemimpin Majelis Sinergi Kalam

(MASIKA-ICMI) pada 5 Mei 1998, sebagimana yang penulis kutip dari ibid, hal. 563 522Ibid., hal. 573 523Hajriyanto Y. Thohari, “’Negara Santri’, Menengok Tesis Cak Nur”, dalam Abdul

Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. 31 524Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”,

dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal. xii

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

Universitas Indonesia

membuktikan bahwa kemajuan Islam lebih banyak dicapai melalui kegiatan

kemasyarakatan daripada kegiatan politik.525

525Ibid., hal. xiii

Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.