mengenal kasus-kasus endokrin anak

15
Kata Pengantar Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga penyusunan buku Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anakdapat diselesaikan. Buku ini disusun sebagai salah satu upaya memperkenalkan kasus-kasus di bidang endokrinologi anak. Upaya ini dilakukan karena selama ini kasus-kasus endokrin anak relatif belum dikenal luas termasuk di kalangan medis baik dokter spesialis, dokter umum, maupun tenaga medis lain. Di samping itu pengenalan kasus-kasus endokrin anak ini juga untuk memberikan gambaran bahwa ilmu endokrinologi itu tidak sulit dipahami. Bahwa ada aspek-aspek genetik maupun biologi molekuler pada ilmu ini, juga tidak membuat ilmu ini otomatis sulit dimengerti karena memang perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sekarang sangat pesat. Akhirnya, semoga penyusunan buku ini bermanfaat bagi yang membaca dan mempergunakannya dalam praktek sehari-hari. Kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini sangat mungkin ditemui. Untuk itu masukan, kritik dan saran akan kami terima untuk perbaikan lebih lanjut. Surakarta, 14 Agustus 2011 Penyusun

Upload: randicipta

Post on 21-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Sindrom Down

TRANSCRIPT

Page 1: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga

penyusunan buku “Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak” dapat diselesaikan. Buku ini disusun

sebagai salah satu upaya memperkenalkan kasus-kasus di bidang endokrinologi anak. Upaya ini

dilakukan karena selama ini kasus-kasus endokrin anak relatif belum dikenal luas termasuk di

kalangan medis baik dokter spesialis, dokter umum, maupun tenaga medis lain. Di samping itu

pengenalan kasus-kasus endokrin anak ini juga untuk memberikan gambaran bahwa ilmu

endokrinologi itu tidak sulit dipahami. Bahwa ada aspek-aspek genetik maupun biologi

molekuler pada ilmu ini, juga tidak membuat ilmu ini otomatis sulit dimengerti karena memang

perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sekarang sangat pesat.

Akhirnya, semoga penyusunan buku ini bermanfaat bagi yang membaca dan

mempergunakannya dalam praktek sehari-hari. Kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini

sangat mungkin ditemui. Untuk itu masukan, kritik dan saran akan kami terima untuk

perbaikan lebih lanjut.

Surakarta, 14 Agustus 2011

Penyusun

Page 2: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 1

BAB I

MENGENAL DIABETES MELITUS TIPE 1 PADA ANAK

Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS

[email protected]

Pendahuluan

Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir kuno lebih dari

3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai ‘sangat banyak buang

air kecil’. Sekitar 2000 tahun lalu, terdapat laporan dari Turki yang juga menyebutkan

penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang banyak. Pada tahun

1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang hampir bersamaan,

menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat destruksi dari pulau-pulau

Langerhans kelenjar pancreas (Brink SJ, dkk. 2010).

Diabetes melitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.

Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya adalah

gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau

gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005).

Pada makalah ini akan dibahas gambaran umum tentang diabetes mellitus tipe 1,

karena insidennya lebih banyak pada anak. Sedangkan diabetes mellitus tipe yang

lainnya (tipe 2, gestasional ataupun tipe lain) tidak dibahas secara rinci.

Epidemiologi

Angka kejadian diabetes di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada

anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari setiap 350 anak (pada usia 18 tahun). Puncak

kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang

anak. Kejadian pada laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Magge S. 2005).

Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta

Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden

di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000

penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100 ribu penduduk/tahun (Weinzimer

SA, Magge S. 2005).

Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registri

nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi Anak PP IDAI, terjadi

peningkatan dari jumlah sekitar 200-an anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi

sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi

apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa

terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1

yang dilaporkan. Data anak dengan DM di Subbagian endokrinologi anak IKA FK

UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2008-2010 adalah sebanyak 11 penderita

Page 3: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 2

DM dengan rincian 4 meninggal karena KAD (semuanya DM tipe 1). Sedangkan 6 anak

yang hidup sebagai penderita DM terdiri dari 3 anak DM tipe 1 serta 4 anak DM tipe 2.

Klasifikasi

International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO

merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). DM tipe 1 terjadi

disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat

disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin

berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM

tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2

biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas,

hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium

(Rustama DS, dkk. 2010).

Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009).

I. DM Tipe-1 (destruksi sel- )

a. Immune mediated

b. Idiopatik

II. DM tipe-2

III. DM Tipe lain

a. Defek genetik fungsi pankreas sel

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Kelainan eksokrin pankreas

Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasia; Kistik

fibrosis; Haemokhromatosis; Fibrokalkulus pankreatopati;

Dan lain-lain

d. Gangguan endokrin

Akromegali; Sindrom Cushing; Glukagonoma;

Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma;

Aldosteronoma; Dan lain-lain

e. Terinduksi obat dan kimia

Vakor; Pentamidin; Asam Nikotinik; Glukokortikoid;

Hormon tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid;

Dilantin; -interferon; Dan lain-lain

IV. Diabetes mellitus kehamilan

Sumber: ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009.

Kriteria Diagnosis

Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala

(polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah

Page 4: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 3

dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling

tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS,

dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009).

Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah:

1. Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau

2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dl atau

3. Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl.

Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang, yaitu C-peptide <0,85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu penanda

banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya

autoantibodi, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase

autoantibodies (65K GAD), IA2 ( dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase)

autoantibodies dan Insulin autoantibodies (IAA). Adanya autoantibodi mengkonfirmasi

DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya pemeriksaan autoantibodi ini relatif

mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009)

Perjalanan penyakit

Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical

Practice Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu:

- Periode pra-diabetes

- Periode manifestasi klinis diabetes

- Periode honey-moon

- Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode pra-diabetes

Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak karena baru ada

proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan

terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan

mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-peptide mulai menurun.

Pada periode ini autoantibodi mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan

laboratorium.

Periode manifestasi klinis

Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah terjadi

sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat kurang, maka

kadar gula darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang melebihi 180 mg/dl

akan menyebabkan diuresis osmotik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya

pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuria, dehidrasi, polidipsi). Karena

gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel, penderita akan merasa lapar

(polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita

memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.

Page 5: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 4

Periode honey-moon

Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini sisa-

sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin dari

dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan berkurang

hingga kurang dari 0,5 U/kg berat badan/hari. Namun periode ini hanya

berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu

adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang

menetap.

Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. Pada periode ini

penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya.

Pitfall dalam diagnosis

Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak

terlalu khas dan mirip dengan gejala penyakit lain. Di samping kemiripan gejala

dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari kemungkinan

penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum

pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi

pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah:

1. Sering kencing: kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih

atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah

adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah

enuresis lagi.

2. Berat badan turun atau tidak mau naik: kemungkinan diagnosis adalah

asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini

disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering

pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak.

3. Sesak nafas: kemungkinan diagnosisya adalah bronkopnemonia. Apabila

disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala

sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas

cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada

bronkopnemonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.

4. Nyeri perut: seringkali dikira sebagai peritonitis atau apendisitis. Pada

penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.

5. Tidak sadar: keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan

diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera

kepala (Brink SJ, dkk. 2010)

Page 6: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 5

Pilar-pilar Manajemen DM Tipe 1

Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan berupa

pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang perlu diperhatikan dalam

tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka

pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice

Consensus Guidelines. 2009)

Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu:

1. Insulin

2. Diet

3. Aktivitas fisik/exercise

4. Edukasi

5. Monitoring kontrol glikemik

1. Insulin

Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita

DM Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis

insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang

diperlukan.

a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,

kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran

(campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis

insulin ini tergantung regimen yang digunakan.

b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg berat

badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur

disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun

penderitanya.

c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional

serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat

berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan

regimen intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal

bolus dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal

maupun dosis bolus.

d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal

absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya), lengan atas,

lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk

absorpsinya.

e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari

beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia

pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat

badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit.

2. Diet

Page 7: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 6

Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk

mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 50-

55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan

kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang

diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari

sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran

pengaturan persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang serta 25%

makan malam, diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan

kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan.

Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat

untuk menentukan dosis pemberian insulin.

3. Aktivitas fisik/exercise

Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga

akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan

apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu

menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap

insulin.

Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko

hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak

DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan

olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk

olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.

Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan

adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di

bawah 90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet

karbohidrat untuk mencegah hipoglikemia.

4. Edukasi

Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita

maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,

patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin

(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping

penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c

yang diinginkan.

5. Monitoring kontrol glikemik

Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah

baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup

pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari.

Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian

Page 8: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 7

insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu

dipantau

Tabel 2. Target kontrol metabolik pada anak dengan DM tipe 1

Target

metabolik

Baik

sekali

Baik Sedang Kurang

Preprandial <120

mg/dL

<140

mg/dL

<180 >180

Postprandial <140 <200 <240 >240

Urin reduksi - - + - >+

HbA1c <7% 7-7.9% 8-9% >10%

Sumber: Rustama DS, dkk. 2010.

Penutup

Penderita terbanyak diabetes mellitus tipe 1 adalah usia anak dan remaja. Perlu

kewaspadaan pada tenaga medis mengenai penyakit ini maupun komplikasi yang

mungkin terjadi yang seringkali salah diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis akan

berakibat fatal bagi keselamatan jiwa penderita DM tipe 1.

Page 9: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 8

Daftar Pustaka

Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and adolescents,

basic training manual for healthcare professionals in developing countries, 1st ed.

Argentina: ISPAD, h 20-21.

Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam: Moshang T

Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.

Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).

Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan,

editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161.

ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.

Page 10: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 1

BAB 2

MENGENAL HIPOTIROID KONGENITAL

Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS

[email protected]

Definisi dan Epidemiologi

Hipotiroid adalah keadaan yang disebabkan oleh kurangnya produksi hormon tiroid

atau kelainan aktivitas reseptor hormon tiroid. Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi

tiroid yang terjadi sebelum atau saat lahir. Berdasarkan penyebabnya dapat dibagi hipotiroid

primer, sekunder dan tersier. Hipotiroid primer terjadi apabila kelainan terdapat pada kelenjar

tiroid. Hipotiroid sekunder terjadi kelainan pada kelenjar hipofisis, dan hipotiroid tersier terjadi

kelainan pada hipotalamus (LaFranchi S. 2000).

Prevalensi di seluruh dunia sekitar 1:3000-4000. Pada penderita sindroma Down

insiden hipotiroid kongenital lebih tinggi, yaitu 1:141. Tidak ada perbedaan kasus ini

berdasarkan jenis kelamin, tetapi penelitian lain mengatakan perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki, yaitu 2:1. (LaFranchi S. 2000; Fort PF, Brown RS. 1996; Fadil R. 2005; Rossi WC,

Caplin N, Alter CA. 2005)

Patogenesis

Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi sebagai suatu divertikulum,

yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada bucopharyngeal cavity. Kelenjar tiroid yang

berkembang turun pada leher anterior, pada branchial pouches ke-4 dan mencapai posisi orang

dewasa setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi. Proses migrasi dari faring posterior ke leher

anterior ini dapat terhenti yang mengakibatkan timbulnya kelenjar tiroid ektopik (Fadil R.

2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).

Pada umur gestasi 10-11 minggu, kelenjar tiroid fetal sudah mampu menghasilkan

hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat gestasi 18-20 minggu, kadar T4 (tiroksin)

dalam sirkulasi fetus sudah mencapai kadar normal, pada masa ini aksis pituitari-tiroid fetal

secara fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid maternal. Produksi T3

(triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu

gestasi (Fort PF, Brown RS. 1996; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).

Kelenjar tiroid memerlukan tirosin dan iodium untuk membuat T4 dan T3, iodium

masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid dengan cara transport aktif. Di dalam sel, iodium akan

dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodida. Kemudian terjadi organifikasi, yaitu

iodida akan berikatan dengan molekul tirosin sehingga terbentuk Monoiodotirosin (MIT) dan

Diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi proses coupling. Dua molekul DIT akan membentuk

tetraiodotironin=tiroksin (T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan

Page 11: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 2

membentuk triiodotironin (T3). Tiroglobulin dengan T3 dan T4 berikatan dan disimpan dalam

lumen folikel.4 TSH akan mengaktifkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan

T3 dan T4 dari tiroglobulin. T4 merupakan hormon utama yang diproduksi dan dilepaskan oleh

kelenjar tiroid dan hanya 10-40% dari T3 dalam sirkulasi yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid,

sedangkan sisanya dihasilkan dari proses monodeiodonisasi dari T4 di kelenjar perifer. (Lane

PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Guyton AC. 1995).

T3 merupakan mediator utama yang mempunyai efek biologis dari kelenjar tiroid

dengan mengadakan interaksi dengan reseptor nuclear specific. Bila terjadi abnormalitas dari

reseptor tersebut akan mengakibatkan terjadinya hormon tiroid resisten. Pemeriksaan T3

dilakukan apabila dicurigai adanya resisten hormon tiroid yaitu ditemukan gejala klinis

hipotiroid namun kadar T4 dan TSH-nya normal, serta dibuktikan tidak adanya kelainan kadar

T3 (Fadil R. 2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995).

Pengaruh kadar hormon tiroid ibu terhadap fetus sangat minimal, tapi penyakit tiroid

ibu dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid fetus atau neonatus. Hormon T4 dapat melewati

plasenta secara bebas, sedangkan hormon-hormon tiroid lain tidak (LaFranchi S. 2000).

Autoantibodi IgG pada ibu penderita tiroiditis autoimun dapat melewati plasenta dan akan

menghambat fungsi kelenjar tiroid fetus (Dussault JH, Fisher DA. 1999). Tiamin yang dipakai

untuk terapi hipertiroid dapat memblok sintesis hormon tiroid fetal, tapi kebanyakan hal ini

bersifat transien. Iodium radioaktif yang dipakai ibu hamil akan merusak kelenjar tiroid fetus

secara permanen (Fadil R. 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001). Obat-obat lain yang

dapat mempengaruhi kelenjar tiroid adalah litium, estrogen, testosteron, salisilat dan

antikonvulsan (karbamazepin, fenobarbital, difenilhidantoin, fenitoin) (Rossi WC, Caplin N,

Alter CA 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001).

Hormon tiroid memberikan efek yang luas pada pertumbuhan, perkembangan dan

metabolisme, termasuk perubahan konsumsi oksigen, metabolisme protein, karbohidrat, lipid

dan vitamin (Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995). Hormon tiroid diperlukan

untuk pertumbuhan otak dan proses mielinisasi dari sistem konektivitas jaringan saraf. Periode

kritis terbesar untuk perkembangan otak akan dipengaruhi hipotiroid, yaitu pada beberapa

minggu atau bulan setelah lahir (Fadil R. 2005).

Etiologi

Etiologi dari hipotiroid kongenital tidak selalu mudah diketahui. Beberapa etiologi

adalah sebagai berikut:

- tiroid agenesis, tiroid disgenesis (aplasia, hipoplasia), tiroid ektopik sekitar 75-85%.

- dishormogenesis (TSH unresponsiveness, iodine trapping defect, defek organifikasi, defek

tiroglobulin, defisiensi atau insensitif terhadap TRH) sekitar 10-18%.

- disfungsi aksis hipotalamik-pituitari-tiroid sekitar 5%.

- transplasental obat antitiroid dari ibu ke bayi (iodium, obat-obatan atau antibodi ibu) sekitar

10%.

- resistensi jaringan perifer terhadap hormon tiroid.

- ibu yang mengkonsumsi makanan goitrogenik (Fadil R. 2005; Djemli A, dkk. 2004; Caron P,

dkk. 2003; Unachak K, Dejkhamron P. 2004).

Page 12: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 3

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik tergantung dari tingkat fungsi kelenjar tiroid. Gejala hipotiroid yang

khas seringkali ringan atau tidak ada selama minggu-minggu pertama kehidupan. Hanya 10-

15% bayi baru lahir dengan hipotiroid yang terlihat secara klinis (Fort PF, Brown RS. 1996).

Manifestasi klinis awal berupa letargi, malas minum, kurang aktif, distres pernafasan,

hipotonia otot, fontanel anterior dan posterior terbuka dan lebar, pucat, sianosis perifer, suara

tangis serak, konstipasi, hipotermi, dan prolonged physiologic jaundice (Kappy MS, Steelman

JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001).

Manifestasi klinis lanjut berupa depresi nasal bridge, muka yang sempit (narrow

forehead), kelopak mata bengkak, kulit kasar tebal dan kering, rambut kasar, lidah besar,

distensi abdomen, hernia umbilikalis, refleks menurun, bradikardia, kardiomegali, efusi

perikardial asimtomatik, hipotensi, gangguan tekanan nadi, tuli neurosensoris, anemia tak

berespon terhadap besi, dapat terjadi slipped capital femoral epiphysis, gangguan

pertumbuhan dan perkembangan, retardasi mental, maturasi seksual terlambat, Kocher-Debre

semeliain syndrom yang terdiri dari hipertropi seluruh otot sehingga anak seperti Herculean

appearance (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001).

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan darah rutin/darah perifer lengkap dan

fungsi tiroid (TSH, T4, T3, TBG). Pemeriksaan fungsi tiroid yang diperiksa untuk hipotiroid

adalah TSH, T4 total (TT4), atauT4 bebas (fT4).

Kadar TSH normal di bawah 20-25 uU/ml setelah 24 jam pertama kehidupan. Bila kadar

TSH antara 25-50 uU/ml maka perlu evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar

TSH>50 uU/ml kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Pada pasien ini kadar

TSH 494,46 uIU/ml, sehingga didiagnosis hipotiroid kongenital primer. Kadar TSH yang

sangat tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena atireosis/aplasia tiroid,19

dan hasil dari USG pasien menyokong diagnosis adanya disgenesis kelenjar tiroid

(hipoplasia). Hasil pemeriksaan kadar AMA dan ATA yang negatif, menyingkirkan adanya

hipotiroid yang didapat (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS.

2001).

Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid. Biasanya anemia normositik normokrom,

terkadang mikrositik karena penurunan absorpsi besi, atau makrositik karena defisiensi

folat dan kobalamin. Gambaran sumsum tulang tampak lemak lebih banyak dan hiposeluler,

sedangkan eritropoesis biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik dan sumsum tulang

megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun sehingga antibodi melawan sel

parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid.Terapi hormon biasanya cukup efektif

memperbaiki anemia tsb (Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Kappy MS, Steelman JW,

Travers SH, Zeitler PS. 2001; Lanzkowsky P. 1995).

Page 13: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 4

2. Radiologis:

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui beberapa

gejala dari hipotiroid, seperti adanya kardiomegali pada foto toraks, umur tulang yang

terlambat (delayed bone age) (Fadil R. 2005).

3. Sidik tiroid:

Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 yang dapat membantu

menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya uptake radionuclide memberikan

kemungkinan sporadic athyroid hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual atau sublingual

(Fadil R. 2005).

4. USG:

Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi pemeriksaan ini tidak

dapat menentukan adanya tiroid ektopik ((Fadil R. 2005).

Pengobatan

Tindakan utama pengobatan hipotiroid kongenital adalah diagnosis dini dan

replacement hormon tiroid. Waktu paling baik pemberian hormon tiroid bila diagnosis dapat

ditegakkan sebelum bayi berumur 13 hari dan kadar hormon tiroid dalam darah mencapai

normal dalam umur 3 minggu (Topliss DJ, Eastman CJ. 2004; Kappy MS, Steelman JW,

Travers SH, Zeitler PS. 2001).

Obat yang diberikan adalah Na-levotiroksin. Dosis obat berbeda-beda menurut umur

pasien dan juga berdasarkan respon klinis maupun laboratorium terhadap terapi yang

diberikan.

Dosis: umur dosis (ug/kg)

0-3 bulan 10-15

3-6 bulan 8-10

6-12 bulan 6-8

1-5 tahun 5-6

6-12 tahun 4-5

>12 tahun 2-3

Tanda-tanda overtreatment yang harus dievaluasi selama terapi hormon adalah

nervousness, hiperaktif, kecemasan, takikardia, palpitasi, tremor, demam, diaforesis, keluhan di

perut, berat badan menurun.

Prognosis

Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih

baik (Caron P, dkk. 2003; Narendra MB. 2002).Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa

walaupun diterapi sedini mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit

(Hanukoglu A, dkk. 2001).

Page 14: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 5

DAFTAR PUSTAKA

LaFranchi S (2000). Disorders of the thyroid gland. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadephia:WB Saunders Co;1696-1705.

Fort PF, Brown RS (1996). Thyroid disorders in infancy. Dalam:Lifshitz F. Pediatric

Endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker Inc:369-381.

Fadil R (2005). Hipotiroid kongenital. Dalam: Simposium peran endokrinologi anak dalam

proses tumbuh kembang anak. Padang: Bagian IKA FK Unand bekerjasama dengan UKK

Endokrinologi Anak IDAI. h. 8-17.

Djemli A, Fillion M, Belgoudi J, Lambert R, dkk (2004). Twenty years later: a reevaluation of

the contribution of plasma thyroglobulin to the diagnosis of thyroid dysgenesis in infants with

congenital hypothyroidism. Clinical Biochemistry.37:818– 822.

Rossi WC, Caplin N, Alter CA (2005). Thyroid disorders in children. Dalam:Moshang T, Jr.

Pediatric endocrinology: the requisites in pediatrics. Edisi 1. Missouri: Mosby Inc.h.171-190.

Caron P, Moya CM, Malet D, Gutnisky VJ, Chabardes B, Rivolta CM, Targovnic HM (2003).

Compound heterozygous mutations in the thyroglobulin gene (1143delC and 6725G3A

[R2223H]) resulting in fetal goitrous hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.88:3546–3553.

Unachak K, Dejkhamron P (2004). Primary congenital hypothyroidism: clinical characteristics

and etiological study. J Med Assoc Thai.87(6):612-617.

Topliss DJ, Eastman CJ (2004). Diagnosis and management of hyperthyroidism and

hypothyroidism. MJA 2004;180:186–193.

Lane PA, Nuss R, Ambruso DR (2001). Hematologic disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,

Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric diagnosis &

treatment.Edisi 15.New York:McGraw-Hill Inc. h.750-751.

Guyton AC (1995). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.h.677-

686.

Dussault JH, Fisher DA (1999). Thyroid function in mothers of hypothyroid newborns. Obstet

Gynecol.93:15–20.

Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS (2001). Endocrine disorders. Dalam: Hay WW,

Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric

diagnosis & treatment. Edisi 15. New York: McGraw-Hill Inc.h.843-845.

Hanukoglu A, Perlman K, Shamis I, Brnjac L, Rovet J, Daneman D (2001). Relationship of

etiology to treatment in congenital hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.86:186–191.

Lanzkowsky P (1995). Manual of pediatric haematology and oncology. Edisi ke-2. New York:

Churchill Livingstone Inc.h.66-67.

Page 15: Mengenal Kasus-Kasus Endokrin Anak

Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS Page 6

Narendra MB (2002). Penilaian dan perkembangan anak. Dalam: Narendra MB, Sularyo T,

Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGN, editor. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1.

Jakarta: CV Sagung Seto.h.95-111.