mengartikan revolusi mental ks 2014
TRANSCRIPT
8/12/2019 Mengartikan Revolusi Mental KS 2014
http://slidepdf.com/reader/full/mengartikan-revolusi-mental-ks-2014 1/4
"
Mengartikan Revolusi Mental
Karlina Supelli1
Perkenankan saya terlebih dulu menegaskan bahwa kehadiran saya di sini adalah sebagai seorang
undangan yang diminta untuk mengartikan istilah “Revolusi Mental” yang dikemukakan oleh JokoWidodo (Jokowi) dan Tim. Penegasan ini saya kemukakan karena cara kita memahami sekarang ini
diwarnai dengan kecenderungan untuk mengambil apa yang kita lihat dan dengar hanya menurut
apa yang kita suka, atau menafsirkannya sesuai kepentingan kita. Cara pikir ini cenderung
mengabaikan substansi. Substansi inilah yang akan saya bicarakan.2
Memahami Istilah
1. Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakaidalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu
terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduismemaupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17
Agustus 1956.
2. Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya:
‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, caramerasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan
bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan ciri
fisik benda-benda dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan
dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak
mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk
dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk
mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh
hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
3. Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik
“mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas
gawai ( gadget ), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi,
melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan
kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana
mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
4. Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran
moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada
hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal
kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat,hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
5. Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan
pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental
pelakunya!”, atau: “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus.
Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu
melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya
tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
1
Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.2 Apa yang saya sampaikan di sini merupakan endapan pemikiran yang sumber-sumbernya belum saya cantumkan
sehingga tulisan ini belum memenuhi kelayakan publikasi.
8/12/2019 Mengartikan Revolusi Mental KS 2014
http://slidepdf.com/reader/full/mengartikan-revolusi-mental-ks-2014 2/4
#
6. Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara “mental pelaku” dan
“struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola cara-
berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari
( practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisimaterial/fisik/sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara
integral.
7. Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan
kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secaramendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik
tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan ituhanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada
yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
8. Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara
masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang
melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
9. Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita
peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahanstruktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya,
kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melaluikepemilikan benda bermerek luar negeri.
10. Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir 5 dan 6 di atas sangat besar.
Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga
diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur,kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan
perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara
moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.
Operasionalisasi Revolusi Mental
1. Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental
melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang
berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan
hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan,
target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
2. Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi
mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir,
cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”
3
jika kitasungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi
Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke
tataran praktek hidup sehari-hari.
3. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni
pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran,
melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap
3 Kebudayaan tentu bukan bidang yang dengan kaku dapat dikemas ke dalam kotak strategi. Oleh karena itu, pengertian
“strategi” di sini lebih berfungsi sebagai semacam peta, jalan-jalan yang akan kita tempuh/hindari untuk menjelmakanvisi kebaikan hidup bersama.
8/12/2019 Mengartikan Revolusi Mental KS 2014
http://slidepdf.com/reader/full/mengartikan-revolusi-mental-ks-2014 3/4
$
dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’
memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
4. Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan
mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan
cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini
menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama,
dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan sehari-
hari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusandiarahkan untuk proses transformasi itu.
5. Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di
lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski
demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah
operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship).
Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etoswarga negara ini ‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah
kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan
atau budaya tertentu.
6. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini.Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang
tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
7. Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan:
a. Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga
negara yang baik?
b. Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari
siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?8. Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang
bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah
kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama,
suku/etnisitas, dll; jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
9. Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas. Dengan memusatkan
perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang punyai dampak kebaikan publik, kebaruan
terletak pada cara mendidik. Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak.
Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive
knowledge) ke pengetahuan praktis ( practical knowledge). Pengetahuan diskursif tentu sangat
dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlahsementara ini itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi Mental’, yang
paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis – transformasi pada tataran kebiasaan bertindak
sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
10. Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan,
Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi
suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan
kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari
dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudahmenjadi kebiasaan, sudah menjadi habit . Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang
mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu
menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
8/12/2019 Mengartikan Revolusi Mental KS 2014
http://slidepdf.com/reader/full/mengartikan-revolusi-mental-ks-2014 4/4
%
11. Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan (equality) diajarkan sejak anak-
anak. Itulah mengapa sistem welfare state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia.
Kendati dikenai pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan
sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara negara yang akuntabel dantidak korup). Di Jepang, sikap stoic (Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun
sampai menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih ingat reaksi tenang,
rasional, terkendali dan hening masyarakat Jepang yang banyak dibahas media internasionalketika terjadi tragedi nuklir 2011.
Kantung-kantung Perubahan
1. Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Padahal kalau
sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional.
Gerakan itu mencakup masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu
menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
2. Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai dengan membangun
kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang berfokus pada transformasi cara hidup
sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk
langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap
terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
3. Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para selebriti mencari
sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan
perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan
terjadi. ‘Revolusi Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran
moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan. Semua itu cenderung jadi
panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yangdibutuhkan adalah menaruh arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi
menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa.
Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalammemulai dan merawat revolusi mental.
4. Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society
yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakantransformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia.
Itulah ‘Revolusi Mental’.
***