mengapa pembangunan daerah gagal: studi …

16
Wacana Publik Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 111 DOI: https://doi.org/10.37295/wp.v13i02.36 website: wacanapublik.stisipoldharmawacana.ac.id 97 ISSN 1858-2400 (p) ISSN 2656-9558 (e) MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI KOMPARATIF PEMBANGNAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT DAN KABUPATEN PRINGSEWU Melyansyah 1 dan Budi Kurniawan 2* 1 Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI Jalan H.R. Rasuna Said Kav X-6 Nomor 8, Kuningan, Jakarta Selatan 2 Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro, No.1, Rajabasa, Bandarlampug, Lampung, Indonesia *Korespondensi: [email protected] Recieved: 19/08/2019|Revised: 23/09/2019|Accepted: 15/11/2019 Abstract The aim of this research is to compare the development performances based on Amartya Sen’s Capability Approach of two regional governments, KabupatenPringsewu and Kabupaten Lampung Barat in the Lampung Province. With combining descriptive quantitative and qualitative comparative case study research, we find that there is a respective contribution of both political and economic institution in determining development performance in these regions. Pringsewu is better than Lampung Barat in economic output and human development due to inclusive economic institutions. On the other hand, both regionshas the same extractive political institution with Pringsewuis relatively better in this category. This result strengthens the institution theory as the key factor for better development output. Keywords: development, capability approach, political institutions, economic institutions Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kinerja pembangunan berdasarkan Pendekatan Kemampuan Amartya Sen dari dua pemerintah daerah, Kabupaten Springwateru dan Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung. Dengan menggabungkan penelitian studi kasus deskriptif kuantitatif dan kualitatif komparatif, kami menemukan bahwa ada kontribusi masing-masing dari lembaga politik dan ekonomi dalam menentukan kinerja pembangunan di daerah ini. Pringsewu lebih baik daripada Lampung Barat dalam output ekonomi dan pengembangan manusia karena lembaga ekonomi inklusif. Di sisi lain, kedua daerah memiliki institusi politik ekstraktif yang sama dengan Pringsewuis yang relatif lebih baik dalam kategori ini. Hasil ini memperkuat teori institusi sebagai faktor kunci untuk hasil pembangunan yang lebih baik. Kata kunci: pembangunan, pendekatan kemampuan, institusi politik, institusi ekonomi PENDAHULUAN Kesenjangan pembangunan antar wilayah masih merupakan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Pelaksanaan pembangunan yang adil dan merata belum bisa diwujudkan dalam setiap rezim pemerintahan. Kesenjangan pembangunan dapat dilihat dari realisasi pembangunan yang sudah ada, dimana wilayah barat lebih baik daripada wilayah timur, daerah pusat lebih baik daripada daerah pinggiran, wilayah perkotaan lebih baik daripada wilayah kabupaten atau perdesaan. Ketimpangan tersebut terlihat dari rata-rata indeks pembangunan manusia, di mana 10 Provinsi dengan IPM terendah ada di kawasan timur, yaitu diantaranya Provinsi Papua (65,36), Provinsi Nusa Tenggara Barat (66,23), Provinsi Nusa Tenggara Timur (67,75) dan lain sebagainya (Dokumen Sambutan Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, 2013). Selain itu, jumlah penduduk miskin yang berada di desa lebih banyak dari pada penduduk miskin yang ada di kota. Melihat data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2014 sebanyak 13,8 % penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berada di desa sedangkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di kota hanya 8,2 % (Badan Pusat Statistik, 2014). Fenomena disparitas pembangunan antar wilayah juga terjadi di berbagai wilayah di dunia. Seperti yang terjadi antara Korea Utara (IPM 0,540, peringkat 174) dan Korea Selatan (IPM 0.912, peringkat 12) (UNDP, 2013).

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

DOI: https://doi.org/10.37295/wp.v13i02.36 website: wacanapublik.stisipoldharmawacana.ac.id

97

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL:

STUDI KOMPARATIF PEMBANGNAN KABUPATEN LAMPUNG

BARAT DAN KABUPATEN PRINGSEWU

Melyansyah1 dan Budi Kurniawan2* 1Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI

Jalan H.R. Rasuna Said Kav X-6 Nomor 8, Kuningan, Jakarta Selatan 2 Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung

Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro, No.1, Rajabasa, Bandarlampug, Lampung, Indonesia *Korespondensi: [email protected]

Recieved: 19/08/2019|Revised: 23/09/2019|Accepted: 15/11/2019

Abstract The aim of this research is to compare the development performances based on Amartya Sen’s Capability Approach of two regional governments, KabupatenPringsewu and Kabupaten Lampung Barat in the Lampung Province. With combining descriptive quantitative and qualitative comparative case study research, we find that there is a respective contribution of both political and economic institution in determining development performance in these regions. Pringsewu is better than Lampung Barat in economic output and human development due to inclusive economic institutions. On the other hand, both

regionshas the same extractive political institution with Pringsewuis relatively better in this category. This result strengthens the institution theory as the key factor for better development output. Keywords: development, capability approach, political institutions, economic institutions

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kinerja pembangunan berdasarkan Pendekatan Kemampuan Amartya Sen dari dua pemerintah daerah, Kabupaten Springwateru dan Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung. Dengan menggabungkan penelitian

studi kasus deskriptif kuantitatif dan kualitatif komparatif, kami menemukan bahwa ada kontribusi masing-masing dari lembaga politik dan ekonomi dalam menentukan kinerja pembangunan di daerah ini. Pringsewu lebih baik daripada Lampung Barat dalam output ekonomi dan pengembangan manusia karena lembaga ekonomi inklusif. Di sisi lain, kedua daerah memiliki institusi politik ekstraktif yang sama dengan Pringsewuis yang relatif lebih baik dalam kategori ini. Hasil ini memperkuat teori institusi sebagai faktor kunci untuk hasil pembangunan yang lebih baik. Kata kunci: pembangunan, pendekatan kemampuan, institusi politik, institusi ekonomi

PENDAHULUAN Kesenjangan pembangunan antar wilayah masih merupakan masalah yang dihadapi bangsa

Indonesia. Pelaksanaan pembangunan yang adil dan merata belum bisa diwujudkan dalam setiap rezim pemerintahan. Kesenjangan pembangunan dapat dilihat dari realisasi pembangunan yang

sudah ada, dimana wilayah barat lebih baik daripada wilayah timur, daerah pusat lebih baik daripada daerah pinggiran, wilayah perkotaan lebih baik daripada wilayah kabupaten atau perdesaan. Ketimpangan tersebut terlihat dari rata-rata indeks pembangunan manusia, di mana 10 Provinsi dengan IPM terendah ada di kawasan timur, yaitu diantaranya Provinsi Papua (65,36),

Provinsi Nusa Tenggara Barat (66,23), Provinsi Nusa Tenggara Timur (67,75) dan lain sebagainya (Dokumen Sambutan Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, 2013).

Selain itu, jumlah penduduk miskin yang berada di desa lebih banyak dari pada penduduk miskin yang ada di kota. Melihat data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2014

sebanyak 13,8 % penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berada di desa sedangkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di kota hanya 8,2 % (Badan Pusat Statistik, 2014). Fenomena disparitas pembangunan antar wilayah juga terjadi di berbagai wilayah di dunia. Seperti yang terjadi antara Korea Utara (IPM 0,540, peringkat 174) dan Korea Selatan (IPM

0.912, peringkat 12) (UNDP, 2013).

Page 2: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

98

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Kesenjangan pembangunan juga terjadi antar kabupaten di Provinsi Lampung, yaitu antara Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu. Kabupaten Lampung Barat karena hampir selama satu dekade terakhir memiliki tren indeks pembangunan manusia terendah di antara kabupaten lainnya, selain itu juga Kabupaten Lampung Barat merupakan kabupaten penyumbang

angka kemiskinan terbesar untuk Provinsi Lampung menurut data BPS tahun 2013. Keadaan tersebut termanifestasi dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten

Lampung Barat yang menduduki peringkat terendah ketiga dengan nilai 70,37, setelah Kabupaten Pesisir Barat dengan IPM 68,43 dan Kabupaten Mesuji dengan IPM 68,79 di mana kedua

kabupaten tersebut masih terbilang sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB). Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Kabupaten Pringsewu yang menempati urutan pertama sebagai kabupaten paling sejahtera di Provinsi Lampung setelah Kota Bandar Lampung dan Kota Metro

dengan IPM 73,23 (BPS Provinsi Lampung, 2014). Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk menjawab

pertanyaan besar mengapa suatu daerah pembangunan bias berhasil sedang daerah lain gagal? Sebelum menjawab pertanyaan di atas penelitian ini didahului dengan melakukan studi Komparatif dari perspektif capability approach Amartya Sen, dengan penekanan fokus pada peran

institusi ekonomi politik di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pembangunan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu berdasarkan pada capability approach yang digagas oleh Amartya

Sen. Indikator perbandingan pembangunan bertumpu pada perbandingan Indeks Pembangunan Manusia serta elemen-elemen pembentuk indeks pembangunan manusia yang merupakan bentuk operasional dari capability approach. Penelitian ini juga menggunakan indikator pembentuk

capabilty, yaitu kebebasan politik, jaminan ekonomi, jaminan sosial, jaminan transparansi dan

jaminan keamanan. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat peran serta pengaruh institusi

politik dan institusi ekonomi terhadap pembangunan di tingkat lokal. Argumentasi utama tulisan ini adalah bahwa penyebab kesenjangan pembangunan antara dua kabupaten ini disebabkan karena perbedaan institusi di antara dua kabupaten terutama institusi ekonomi. Instititusi politik kedua kabupaten ini relatif sama yakni bersifat extractive.

METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif dan kualitatif analisis

kritis. Data yang dikumpulkan berasal dari hasil observasi, dokumentasi, hasil wawancara mendalam, serta studi kepustakaan. Informan penelitian ini berasal dari tiga arena yaitu, birokrasi, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi, yang berjumlah 30 informan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Teori Pembangunan: dari Pendekatan Klasik hingga Pendekatan Instutional

Diskursus tentang konsep pembangunan tidak pernah berhenti seiring berjalannya pembangunan di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional. Dinamika teori pembangunan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan di bawah ini:

a. Teori Klasik hingga paling Mutakhir

Perkembangan teori pembangunan di dunia dimulai dengan lahirnya pemikiran Adam Smith dalam buku Wealth of Nation. Namun, pada saat itu Smith belum bicara tentang pembangunan

yang sebenarnya hanya masih fokus pada diskursus pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan teori pembangunan semakin pesat pasca perang dunia II. Berbagai teori lahir memberikan kontribusi bagi pembangunan di berbagai negara, dimulai dari teori modernisasi yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi (Fakih, 2002). Kemudian lahir teori dependensi

untuk mengkritisi teori modernisasi yang hanya menyebabkan ketimpangan yang semakin jauh. Setelah itu era pembangunan masuk ke dalam era transisi Keynesian menuju Neoliberalisme, yang percaya bahwa pasar tidak bisa mengatur dirinya sendiri, perlu ada intervensi otoritas dan legitimasi dari negara (Peet & Hartwick, 2009).

Kemudian pada abad ke-19 dunia memasuki era Neoliberal, ditandai dengan perdagangan bebas yang berlaku di berbagai negara, didukung juga dengan berlakunya good governance di

berbagai negara (Prasetyantono dalam Wibowo & Wahono, 2003). Namun, pemikiran liberal mendapatkan kritik dari aliran post modernisme.

Page 3: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

99

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Konsep pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang dapat dinilai dengan pendapatan per kapita dinilai tidak bisa menggambarkan keadaan pembangunan yang sebenarnya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pendekatan baru untuk menjelaskan konteks

pembangunan secara lebih komprehensif, yaitu konsep capability yang digagas oleh Sen (Todaro,

2007). Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas terakit perkembangan teori pembangunan di dunia dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Dinamika Perkembangan Teori Pembangunan

Grand Theory/ Middle Theory

Ahli Tahun Asumsi Dasar Kritik

Grand Theory:

Ekonomi Klasik Middle Theory: -

Adam Smith, David Ricardo, Jhon Stuart Mill

Era 1770-an Menolak tangan-tangan negara dalam penguasaan terhadap ekonomi

Mekanisme pasar tidak akan mampu menciptakan keseimbangan karena berorientasi pada keuntungan

Grand Theory:

Keynesian

Middle Theory:

Teori Modernisasi, Dependensi, Tabungan & Investasi, Development State dan sebagainya

Walt W. Rostow,

Harrod-Domar, Max Weber, Robert Behall

1950-an

sampai dengan 1980-an

Mengutamakan

pertumbuhan ekonomi dengan adanya campur tangan negara

Menciptakan berbagai

dampak negatif yaitu di antaranya tingginya pengangguran dan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan, karena fokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan distribusi pertumbuhan.

Grand Theory:

Neoliberalisme Middle Theory:

Good Governance, Good Corporate Governance dan sebagainya

Gary S. Becker, Friedrich August von Hayek, Milton Friedman

Era 1980-an Sebuah mekanisme pasar yang bebas dari intervensi negara

Meletakan peran negara di bawah hegemoni pasar, meruntuhkan kedaulatan rakyat

Grand Theory:

Post Modernisme

Middle Theory:

Democratic Governance

Rita Abrahamsen,

Mark Bevir

Era 2000-an Menolak pada

penguasaan penuh pasar

-

Grand Theory:

Institusionalisme Middle Theory:

Capability Approach

Amartya Sen, Daron Acemoglu, James A. Robinson, Ha Joon Chang, Dani Rodrik

Era 2000-an bertepatan dengan MDGs

Pembangunan sebagai sebuah kebebasan substantif (human

capability)

Geografi dan budaya juga memiliki faktor penting, tidak selalu masalah institusi.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

b. Capability Aprroach (Amartya Sen)

Pembangunan dalam konteks kekininan tidak hanya bicara tentang peningkatan per kapita,

pengentasan kemiskinan serta pembangunan infrastruktur. Konsep pembangunan merupakan sebuah konsep yang amat luas dan multidimensional. Todaro menyebutkan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial, di samping akselerasi

pertumbuhan ekonomi, pemerataan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan

Page 4: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

100

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

(Todaro, 2007). Maka tujuan dari pembangunan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Amartya Sen dalam Nobel Laurate in Economics bahwa

pertumbuhan ekonomi tidak bisa menjadi indikator penentu kesejahteraan atau pembangunan. Pembangunan bisa dimaknai seberapa besar hidup yang dinikmati dan seberapa besar kebebasan yang dimiliki, selanjutnya konsep ini berkembang menjadi Development and Happiness Theory

(Todaro & Smith, 2012).

Sen mengatakan bahwa pembangunan tidak bisa seutuhnya diukur dengan pertumbuhan ekonomi saja melainkan harus memerhatikan peningkatan kualitas hidup seseorang dan peningkatan kebebasan yang dimiliki olehnya. Sen berpendapat bahwa kemiskinan tidak bisa diukur oleh pendapat dan utilitas yang dimiliki seperti yang dari dulu dipahami. Tapi

pembangunan harus mampu menjamin kebebasan seseorang. Pembangunan harus mampu membahas tentang apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan oleh sesorang. Esensinya bahwa yang terpenting bukanlah apa yang orang miliki tetapi apa yang bisa orang buat sebagai

sebuah yang berharga yang bisa membuat dirinya berharga (Sen, 2000). Lebih dalam lagi Sen mengatakan bahwa pembangunan adalah proses perluasan yang nyata

bagi setiap orang. Berfokus kepada kebebasan manusia memang sangat berlawanan dengan pemikiran lama bahwa pembangunan dapat dilihat dari peningkatan perkapita. Perluasan

kebebasan tersebut perlu didasarkan atas dua sudut pandang yaitu the primary end yang disebut sebagai peran konstitutif dan the principal means yang disebut sebagai peran instrumental. Peran

konstitutif dalam pembangunan mengacu pada pentingnya kebebasan. Sedangkan kebebasan

instrumental mengacu kepada sarana-sarana untuk mencapai kebebasan seutuhnya. Kebebasan instrumental itu meliputi, kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparansi dan jaminan keamanan. Masing-masing hak dan kesempatan pada setiap instrumen

tersebut sangat membantu dalam membentuk kemampuan seseorang (Sen, 2000).

c. Faktor Institusi Versus Faktor Geografi Mengapa sebuah daerah gagal dalam pembangunan dan daerah yang lain berhasil? Para

ekonom menawarkan tiga teori yakni buruknya instutitusi baik politik maupun pemerintahan. Ekonom yang lain membantah dengan mengatakan faKtor geografilah yang lebih dominan ketimbang institusi.

Pentingnya institusi politik dan ekonomi telah menjadi isu penting di dalam berbarapa dekade

terkahir. Institusi adalah syarat dasar dan utama bagi suksesnya pembangunan (Acemoglu dan Robinson, 2015). Terlebih lagi, IMF dan World Bank menjadikan reformasi institusi pemerintahan atau distilahkan dengan governance reform sebagai syarat pinjaman luar negeri.

Structural Adjustment Programs (SAP) kemudian menjadi resep bagi negara berkembang yang

mereka syaratkan sebagai obat penawar masalah-masalah pembangunan seperti kelaparan, kemiskinan dan rendahnya kualitassum berdaya manusia. Pakar ekonomi dari Universitas

Cambridge, Chang (2007) memperlihatkan besarnya kampanye institusi sebagai faktor utama pembangunan yang kemudian kita kenal dengan istilah good govenance:

"The IMF put great emphasis on reforming corporate governance institutions and bankruptcy laws during the 1997 Asian crisis, while the World Bank’s 2002 annual report (Building Institutions for Markets) focused on institutional development, although from a rather narrow point of view, as indicated by its title. There are a few reasons behind this rather dramatic change in the intellectual atmosphere"(Chang, 2007).

Berbeda dengan perspektif institusi, ilmuan lain melihat geografi sebagai faktor dominan

dalam menjelaskan mengapa suatu negara bisamaju dan gagal dalamp embangunan. Sachs (2003), Gallup et al (1999) dan Diamond (1997) misalnya, berpendapat bahwa geografi adalah faktor kunci yang menciptakan perbedaan cuaca, variasi kekayaan alam, jenis penyakit dan biaya

transfortasi. Geografi suatu daerah juga menjadi faktor utama yang menciptakan produktifitas pertanian dan kualitas sumberdaya manusia (dikutip dalam Rodrik, 2004).

Rodrik et all (2004), Mauro (1995), Hall and Jones (1999), dan Acemolglu dan Robinson (2012) adalah tokoh kunci yang percaya bahwa insitusi berperan penting dalam pembangunan.

Berbeda dengan halnya dengan mereka, Chang (2002) mengkritik ide tentang institusi yang menurutnya adalah bias idiologi neo-liberal yang Anglo-Saxon. Berbeda dengan Rodrik dan Acemoglu, Chang berkata bahwa dalam konteks sejarah kapitalisme, negara-negara maju tidak

Page 5: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

101

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

menjadikan institusi sebagai fondasi dasar pembangunan mereka, namun sebaliknya institusi yang inklusif tercipata setelah mereka mengalami kemajuan pembangunan ekonomi. Berdasarkanpengalaman negara maju, Chang menyarankan bahwa institusi dengan peran

intervensi negara dibutuhkan untuk kesuksesan pembangunan suatu negara (Chang, 2011). Di luar perdebatan antara perspekt ifinstitusi dan geografi, Collier (2007) menjelaskan lebih

kompleks mengapa sejumlah negara miskin yang diistilahkannya dengan the bottom billion dan

yang lain lebih baik. Beliau berpendapat bahwa ada beberapa jebakan yang membuat mengapa negara-negara itu terpuruk dalam kemiskinan seperti jebakan konflik, jebakankekayaanalam

(geografi yang kemudian mempengaruhi institusi), land locked dengan tetangga yang buruk dan

institusi (korupsi terutama di negara kecil). Pengertian institusi di sini diartikan sebagai aturan-aturan formal (hukum, aturan-aturan) dan

informal (konvensi, norma) dalam suatu masyarakat yang menata dan menyederhanakan interaksi manusia, khususnya institusi endogen seperti budaya, tradisi historis dan batasan-batasan politis

yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan memertajam kebijakan ekonomi (Maslichenko, 2001).

Institusi ekonomi bertugas untuk mengkoordinir aktivitas-aktivitas ekonomi dan penyediaan sarana ekonomi. Ekonomi berhubungan dengan masalah keterbatasan sumber daya, serta

implikasinya terhadap pemilihan alternatif lain atau pun terhadap penolakan alternatif lain. Institusi politik berfungsi memerkokoh pemerintahan. Perlu penataan partai politik secara demokratis dalam rangka menciptakan kehidupan partai politik yang lebih demokratis. Kejelasan

perundang-undangan dan modernisasi partai politik yang mengakar dalam kehidupan masyarkat sangat diperlukan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi disebabkan oleh institusi lokal yang mampu mengidentifikasi dan memobilisasi sumber daya yang ada. Namun, institusi lokal terkadang hanya

berorientasi pada segelintir orang atau elit kekuasaan. Seperti yang dinyatakan oleh Acemoglu dan Robinson (2015) bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi antar wilayah disebabkan oleh adanya institusi ekonomi politik ekstraktif yang memonopoli jalannya ekonomi politik, oleh karena itu perlu diciptakan institusi ekonomi politik inklusif. Perlu pemahaman lebih lanjut lagi

terkait konsep institusi ekonomi politik ekstraktif dan inklusif lihat tabel 2, 3 dan tabel 4.

Tabel 2. Perdebatan Institusi terhadap Hipotesis Geografi, Kebudayaan dan Kebodohan

Hipotesis /

Tokoh Pemikiran Kritik dari Institusi

Geografi Tokoh: 1. Jeffery

Sachs 2. Jared

Diamond

Daripada fokus pada peningkatan institusi di Sub-Sahara Afrika, akan lebih bijaksana berjuang untuk memerangi AIDS, tuberkulosis, dan malaria; mengatasi penipisan nutrisi tanah; dan membangun lebih banyak jalan untuk menghubungkan masyarakat di desa terpencil ke pasar regional atau wilayah pesisir (Jeffery Sachs, 2003).

Pada umunya penyakit dipicu oleh kemiskinan dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengambil langkah untuk menanggulangi berbagai masalah kesehatan. Misalnya Inggris, meningkatnya kesehatan masyarakat bukanlah faktor kemakmuran, melainkan buah dari perubahan kondisi politik dan ekonomi (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Asal-usul kesenjangan ekonomi terjadi sejak fase awal zaman modern, kurang lebih lima ratus tahun yang lalu, disebabkan berbagai sifat karakteristik tumbuhan dan hewanakibatfaktoralam yang akhirnya berdampak pada produktivitas pertanian.

Perbedaan tingkat kemakmuran terkait erat dengan distribusi teknologi industri modern yang tidak merata, namun tidak berhubungan dengan potensi penduduk untuk membudidayakan hewan dan tumbuhan, maupun perbedaan produktivitas intrinsik di bidang pertanian antar bangsa (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Kebudayaan Tokoh : Max Weber

Gerakan reformasi Protestan dan etos kerja Protestan telah membuka jalan kebangkitan masyarakat industri.

Pada abad ke-19 Prancis yang merupakan negara dengan mayoritas Katolik dengan cepat menyusul Belanda dan Inggris, Italia juga seperti itu (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Page 6: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

102

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Kebodohan Tokoh: Lionel Robbins

Ekonomi adalah ilmu yang mengkaji tingkah laku manusia sebagai hubungan antara upaya pemenuhan kebutuhan dengan ketersediaan sumber daya langka.

Kegagalan pembangunan bukan karena kebodohan pemimpin melainkan karena keberanian pemimpin merombak pola-pola institusi yang memiskinkan rakyat lalu bangkit dan menciptakan pertumbuhan ekonomi (Acemogul dan Robinson, 2015).

Institusi Tokoh: 1. Dani

Rodrik

Saat ini sudah ada kesepakatan di kalangan ekonom bahwa pertumbuhan ekonomi bergantung pada kualitas institusi, dan merupakan pola kemakmuran yang berlaku di seluruh dunia. Negara-negara kaya adalah negara di mana investor merasa aman tentang hak kepemilikan, aturan hukum berlaku, insentif swasta sejalan dengan tujuan sosial, kebijakan moneter dan fiskal yang didasarkan pada institusi ekonomi makro yang kuat, adanya jaminan sosial, dan warga negara memiliki kebebasan-kebebasan meliputi kebebasan sipil dan perwakilan politik (Rodrik, 2007).

2. D. Acemoglu & James Robinson

Perbedaan tingkat kemakmuran antarnegara disebabkan oleh perbedaan institusi ekonomi dan politik yang ada berikut tata hukum atau perundangan yang mempengaruhi mekanisme ekonomi dan insentif bagi rakyatnya (Acemoglu dan Robinson, 2015)

Sumber: Diolah kembali dari Sachs (2003), Acemoglu dan Robinson (2015), (Rodrik, 2007).

Tabel 3. Perbedaan Karakter Ekonomi Inklusif dan Ekstraktif Institusi Ekonomi Inklusif Institusi Ekonomi Ekstraktif

1. Adanya jaminan hak kepemilikan seseorang terhadap apa yang dimiliki

2. Adanya ruang yang sebebas-bebasnya untuk seseorang dapat berpartisipasi dalam perekonomian

3. Adanya iklim usaha yang kondusif untuk seseorang agar dapat melakukan kegiatan perekonomian

4. Institusi dapat mendorong seseorang untuk membuat sebuah inovasi yang dapat bermanfaat dan menciptakan kesejahteraan

5. Adanya peluang bisnis yang sama tanpa ada diskriminasi

6. Adanya insentif yang menjanjikan bagi setiap orang yang memiliki usaha dan kemampuan

1. Penguasaan aset ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang yang dekat dengan

kekuasaan 2. Tidak ada mobilitas ekonomi akibat

penguasaan aset di tangan segelintir orang 3. Tidak ada insentif ekonomi yang sepadan bagi

seseorang yang telah berusaha dan menciptakan sebuah inovasi

4. Adanya diskriminasi dalam menjalankan bisnis

Sumber: Diolah kembali dari Acemoglu dan Robinson (2015)

Tabel 3. Perbedaan Karakter Institusi Politik Inklusif dan Ekstraktif

Institusi Ekonomi Inklusif Institusi Ekonomi Ekstraktif

1. Setiap orang memiliki kebebasan berpartisipasi secara aktif dalam politik

2. Setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan (akses politik yang mudah)

3. Institusi politik yang bersifat plural 4. Setiap orang bisa menentukan pilihan politik

tanpa intimidasi dari pihak manapun 5. Adanya batasan terhadap elit politik dalam

bentuk check and balances

6. Adanya jaminan hukum untuk melindungi setiap hak-hak individu

7. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan kekuasaan

1. Penguasaan aset ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan

2. Tidak ada mobilitas ekonomi akibat penguasaan aset di tangan segelintir orang

3. Tidak ada insentif ekonomi yang sepadan bagi seseorang yang telah berusaha dan menciptakan sebuah inovasi

4. Adanya diskriminasi dalam menjalankan bisnis

Sumber: Diolah kembali dari Acemoglu dan Robinson (2015)

Gambaran Umum Pembangunan di Provinsi Lampung

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak lagi bisa menjadi jaminan bahwa suatu daerah dikatakan maju. Indikator pertumbuhan ekonomi hanya melihat dari sisi pembangunan ekonomi saja, tidak bisa melihat capaian pembangunan manusia yang justru penuh dengan permasalahan

Page 7: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

103

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

mendasar seperti permasalahan kesehatan dan permasalahan pendidikan serta permasalahan kehidupan lainnya. Oleh karena itu lahirlah Indeks Pembangunan Manusia sebagai sebuah indikator yang komprehensif untuk menggambarkan pembangunan di suatu daerah (Todaro,

2011). Berdasarkan data statistik terbaru dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki IPM yang

paling tinggi pada tahun 2013 adalah Kota Metro. Peringkat kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pringsewu. Posisi ini tidak mengalami

perubahan dibanding tahun 2012. Pada tahun 2013 angka IPM Kabupaten Pringsewu adalah sebesar 72,80. Walaupun dari sisi angka IPM mengalami kenaikan, tetapi status pembangunan manusia di Kabupaten Pringsewu masih tetap masuk dalam kelompok menengah atas (66 ≤ IPM

< 80). Capaian angka IPM tersebut menempatkan Kabupaten Pringsewu di jajaran atas kabupaten dengan pembangunan yang cukup pesat (Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pringsewu, 2014).

Sedangkan keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Kabupaten Lampung Barat.

Kabupaten Lampung Barat berada di urutan tiga terbawah bersama dengan tiga daerah otonomi baru (DOB). Pada tahun 2012 Kabupaten Lampung Barat berada di posisi 12 kemudian di tahun 2013 Kabupaten Lampung Barat berada di urutan ke-13, digeser oleh Kabupaten Tulang Bawang Barat yang terhitung masih merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Bahkan posisi Kabupaten Lampung Barat semakin ditempel oleh Kabupaten Mesuji dan Pesisir Barat yang memiliki perkembangan pembangunan yang cukup pesat dibandingkan dengan Kabupaten Lampung Barat.

Perbandingan capaian pembangunan kedua kabupaten tidak hanya digambarkan oleh posisi atau ranking dari masing-masing kabupaten, melainkan juga dapat dilihat dari angka reduksi

shortfall kedua kabupaten. Angka reduksi shortfall merupakan angka yang menunjukan tingkat

kemajuan pencapaian terhadap sasaran ideal IPM yang dihitung setiap tahun dalam suatu periode. Dengan kata lain, melalui reduksi shortfall ini dapat dilihat kecepatan perkembangan IPM

suatu daerah (Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pringsewu, 2014). Gambar 1. Reduksi Shortfall Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung Periode 2012-2013

Sumber: Dok. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pringsewu (2014).

Daerah yang memiliki reduksi shortfall paling tinggi adalah Kabupaten Tulang Bawang Barat

dengan nilai 1,83. Kemudian disusul oleh Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Tengah. Kemudian Kabuapten Pringsewu berada di posisi ke-4 bersama dengan Kabupaten Mesuji dengan

reduksi shorfall sebesar 1,56. Sebaliknya daerah dengan reduksi shortfall paling rendah adalah Kabupaten Lampung Barat yaitu sebesar 0,69. Angka reduksi shorfall antara Kabupaten Lampung

Barat dan Kabupaten Pringsewu memiliki kesenjangan yang cukup jauh yaitu berjarak angka 0,87.

Bahkan besaran jarak reduksi shortfall antara Kabupaten Lampung Barat dan Pringsewu lebih besar dibandingkan dengan angka reduksi shortfall yang dicapai oleh Kabupaten Lampung Barat

itu sendiri.

Berdasarkan tingkatan reduksi shortfall, Kabupaten Pringsewu bersama-sama Kabupaten

Mesuji pada periode 2012-2013 tergolong daerah dengan kecepatan pembangunan menengah karena memiliki angka reduksi shortfall antara 1,5 – 1,7. Sedangkan Kabupaten Lampung Barat

Page 8: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

104

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

memiliki angka reduksi shortfall sangat lambat karena memilki angka reduksi shortfall < 1,3 (Indeks

Pembangunan Manusia Kabupaten Pringsewu, 2014).

Perbandingan komponen atau elemen IPM tidak hanya cukup dengan membandingkan kedua komponen IPM kedua kabupaten secara deskriptif saja. Perlu ada telaah mendalam setiap komponen (AMH, RLS, AHH dan Daya Beli Masyarakat) agar diketahui kelemahan dan

kekuatan masing-masing komponen setiap kabupaten. Gambar 2. Perbandingan AHH Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu tahun 2010-2013

AHH Kabupaten Lampung Barat dan Pringsewu memang sama-sama memliki tren meningkat

setiap tahunnya. Namun, AHH Kabupaten Pringsewu lebih baik daripada AHH Kabupaten Lampung Barat dengan margin hampir satu poin. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk

Kabupaten Pringsewu rmemiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada penduduk Kabupaten Lampung Barat. Kualitas hidup yang baik ini sangat dipengaruhi oleh program-program pembangunan manusia di bidang kesehatan. Namun, kedua kabupaten harus terus meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan program-program yang lebih inovatif, karena AHH kedua

kabupaten masih tergolong AHH menengah. Secara umum, jaminan kesehatan di Kabupaten Pringsewu lebih baik dibandingkan dengan

Kabupaten Lampung Barat. Namun, kedua Kabupaten memang perlu lebih meningkatkan jumlah tenaga medis dan peningkatan mutu layanan kesehatan.

Alasan bahwa kesehatan sangat penting adalah bahwa (1) kesehatan merupakan adalah bentuk konstitutif dasar kesejahteraan seseorang; dan (2) memungkinkan seseorang untuk berfungsi sebagai agen yang bertujuan mengejar berbagai tujuan dan proyek dalam hidup yang

bernilai. Pandangan ini menyebarkan gagasan kesehatan sebagai sesuatu kebutuhan dasar yang sangat penting, tidak hanya didasarkan pada gagasan kesejahteraan yang didasarkan pada utilitas atau lainnya. Dalam terminologi Amartya Sen, kesehatan memberikan kontribusi untuk kemampuan dasar seseorang untuk berfungsi (Sen, 1985) untuk memilih kehidupan yang bernilai

(Sen dkk, 2004). Gambar 3. Perbandingan AMH Kabupaten Lampung Barat dan Pringsewu pada Tahun 2013

Kemudian untuk Angka Melek Huruf (AMH), pada tahun 2013 Kabupaten Lampung Barat

memiliki angka melek huruf yang lebih baik dibandingkan Kabupaten Pringsewu. Angka melek huruf Kabupaten Lampung Barat pada jenis kelamin laki-kali lebih rendah daripada Kabupaten

Pringsewu namun pada jenis kelamin perempuan dan jumlah keseluruhan AMH, Kabupaten

Page 9: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

105

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Lampung Barat lebih unggul daripada Kabupaten Pringsewu. Pada sektor AMH memang Kabupaten Lampung Barat lebih unggul kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh program-program pendidikan gratis yang menjadi program unggulan Kabupaten Lampung Barat.

Gambar 4. Perbandingan Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu Tahun 2010-2013

Kabupaten Pringsewu memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih baik. Rata-rata lama sekolah

penduduk Kabupaten Pringsewu tahun 2010 sebesar 8,58 tahun. Kemudian pada tahun 2011 mengalami kenaikan menjadi 8,60. Pada tahun 2012 dan 2013 rata-rata lama sekolah penduduk menjadi sebesar 8,62 dan 8,64.

Domain pendidikan dan kesehatan merupakan dua aspek kehidupan yang masuk ke dalam konsep jaminan sosial yang ditawarkan oleh Amartya Sen. Sen (1999) mengkategorikan pendidikan sebagai salah satu ”peluang-peluang sosial” (social opportunities) yang sangat

fundamental dalam menciptakan kemerdekaan hakiki semua orang untuk hidup lebih baik dan layak. Menurut Sen, akses terhadap pendidikan sebagai salah satu social opportunities ini penting

bukan hanya dalam rangka mencapai taraf hidup yang menyenangkan, tetapi pendidikan juga penting bagi warga sebagai modal awal untuk berperan serta secara lebih efektif dalam aktivitas ekonomi-politik-kultural secara lebih luas (Sen, 2000).

Sen mencontohkan bahwa kebutaaksaraan akan menjadi penghambat utama seseorang untuk

berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang mempersyaratkan adanya kemampuan baca-tulis atau pengendalian mutu secara ketat. Hal yang sama juga akan terjadi dalam peran serta politik warga di mana minimnya tingkat pendidikan juga akan menghambat partisipasi politik

seseorang dalam beragam aktivitasnya (Sen, 2000). Singkat kata, pendidikan menjadi hal paling vital, merupakan kunci utama bagi kemajuan dan kesejahteraan sebuah daerah.

Mengigat pendidikan dapat dianggap sebagai sebuah kebutuhan dasar yang dapat dilihat dalam dua cara. Pertama, dalam bahwa tidak adanya atau kurangnya kesempatan ini pada

dasarnya akan merugikan dan merugikan individu. Kedua, karena pendidikan memainkan peran penting dalam perluasan kemampuan lainnya, serta yang akan datang, dapat dianggap sebagai kebutuhan fundamental dan mendasar. Dengan kemampuan dari hasil pendidikan seseorang dapat memperluas kemampuan hidup dan sejahtera, tujuan akhirnya adalah kehidupan yang baik.

Oleh karena itu, jaminan pendidikan termasuk di antara kebutuhan dasar. Dalam analisisnya pembangunan dan kemiskinan, Sen menyoroti kontribusi pendidikan terhadap kualitas hidup dan pembentukan dan perluasan kemampuan manusia (Walker dan Unterhalter, 2007).

Page 10: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

106

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Gambar 5. Perbandingan Daya Beli Masyarakat Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu Tahun 2010-2013

Kemudian daya beli masyarakat Kabupaten Pringsewu lebih tinggi daripada daya beli

masyarakat Lampung Barat. Bahkan angka terakhir daya beli masyarakat Lampung Barat

tertinggal jauh dengan daya beli masyarakat Pringsewu lima tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat Pringsewu lebih tinggi dari pada pendapatan masyarakat Kabupaten Lampung Barat.

Kemudian terkait kebebasan politik di kedua kabupaten, Kabupaten Lampung Barat dan

Kabupaten Pringsewu memiliki kebebasan politik yang cukup baik. Masyarakat Lampung Barat dan Pringsewu merasakan mereka memiliki kebebasan dalam berpolitik, baik itu untuk menyampaikan gagasan, mengkritik, berdialog, kemudian masyarakat juga merasakan kebebasan dalam memilih pemimpin dan berpartisipasi di dalam pemilu. Meskipun demikian, masih saja

terdapat diskriminasi dan monopoli kekuasaan yang mengarah pada praktek politik ekstraktif. Bahkan beberapa kelompok masyarakat kurang merasakan perhatian pemerintah dalam kehidupan mereka.

Kebebasan politik di Kabupaten Pringsewu lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Lampung Barat. Masyarakat di Kabupaten Pringsewu lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan politik dibandingkan Lampung Barat yang cenderung tidak terlalu peduli dengan kehidupan politik. Kabupaten Lampung Barat sendiri malah cenderung ektraktif, di mana pilihan politik seseorang

ditentukan oleh persetujuan para elit. Namun, secara umum kebebasan politik di kedua kabupaten sudah cukup baik.

Tingkat kritis Kabupaten Pringsewu memang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Lampung Barat. Hal tersebut disebabkan karena di Kabupaten Pringsewu banyak sekali LSM-

LSM yang hidup dan aktif mengkritisi kebijakan pemerintah. Selain itu peran akademisi juga cukup sentral di Kabupaten Pringsewu, kemudian mahasiswa juga aktif menjalankan fungsinya sebagai social control di dalam masyarakat. Keadaan tersebut berbeda dengan yang terjadi di

Kabupaten Lampung Barat, di mana hanya elemen-elemen tertentu saja yang mengkritisi pemerintah, bahkan masyarakat awam cenderung tidak peduli bahkan bisa dikatakan apatis

terhadap kinerja pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan uji akses yang telah dilakukan, secara umum dapat diketahui bahwa

tata kelola pemerintahan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu cenderung tertutup. Meskipun transparansi di Kabupaten Pringsewu lebih baik dibandingkan dengan

Kabupaten Lampung Barat. Fakta tersebut dibuktikan dengan nilai transparansi Kabupaten Pringsewu yang lebih baik daripada Kabupaten Lampung Barat, yaitu memiliki rata-rata nilai 1,36 yang berarti tertutup namun mendekati cenderung tertutup sedangkan Kabupaten Lampung Barat

memilki nilai 0,63 yang berarti sangat tertutup. Namun secara umum, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten

Pringsewu belum bisa memenuhi berbagai indikator transparansi. Smith (2004), mengemukakan bahwa proses transparansi meliputi:

Pertama, standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa proses

pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat; Kedua, consultation processes (Proses Konsultasi), berati adanya dialog antara pemerintah dan

masyarakat; Ketiga, appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses

pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. Tidak

Page 11: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

107

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam website lembaga pemerintahan.

Berdasarkan hasil uji akses yang telah dilakukan oleh peneliti. Sebagian besar bahkan nyaris

semua SKPD di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu masih memilki uji akses yang melalui prosedur tertentu. Nilai paling tinggi yang diraih oleh beberapa SKPD di Kabupaten Pringsewu adalah sebesar nilai 3. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi di Kabupaten Lampung Barat dan Pringsewu masih jauh dari transparan. Terlebih lagi jika dalam konteks dunia

keninian setiap Pemda harus memberikan publikasi melalui internet atau website. Sepertinya hal

tersebut masih sangat diwujudkan. Seperti dikatakan Grimmelikhuijsen dan Meijer (2012) bahwa “Governments all around the world are enhancing their transparency by providing all sorts of information about government activities and performance on public websites.”

Keterbukaan informasi publik juga dapat menciptakan kebijakan yang sesuai dengan preferensi publik sehingga dapat menciptakan pembangunan yang tepat sasaran. Public information

belongs to the public.” dan, “the public’s business should be done in public (Gant, 2011). Dari beberapa

pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang transparan. Seluruh informasi dan urusan publik harus diselesaikan dalam ranah publik.

Kemudian ditambahkan oleh Amartya Sen bahwa,”Developtmnet can be seen as a process of expanding the real freedoms that people enjoy”. Dapat dipahami bahwa ketelibatan publik di dalam

pembangunan sangat bertumpu pada transparansi pemerintah.

Transparansi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu memang masih cenderung buruk. Pemerintah kedua kabupaten harus menjamin bahwa publik bisa mendapatkan informasi publik dengan mudah. Karena dalam konteks kekinian, transparansi

tidak hanya menciptakan sebuah keterbukaan informasi saja melainkan juga berpengaruh dalam pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi.

Seperti yang dijelaskan oleh Gurin (2014) bahwa “governments now alsorecognize open data as a

tool for economic development”. Kemudian dipertegas kembali dalam kesimpulannya bahwa “open

data can boost economic development, improve trust in government, and fight corruption”. Transparansi

memang menjadi salah satu aspek penting penentu pembangunan suatu daerah. Kemudian, terkait kondisi keamanan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu

sangat baik. Meskipun kedua daerah memiliki catatan konflik yang cukup banyak, namun

pemerintah daerah kedua kabupaten mampu menyelesaikan konflik tersebut sehingga tidak menjadi konflik terbuka yang memakan korban. Selain itu peran aparat untuk menciptakan keamanan cukup dominan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mempertahankan keamanan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu, yaitu

penciptaan lapangan kerja, peningkatan tingkat pendidikan, menggiatkan kehidupan bermasyarakat serta meningkatkan peran fungsi kontrol sosial, berupa ketegasan penanganan konflik oleh aparat keamanan, termasuk kegiatan cegah dini oleh aparat intelijen.

Secara umum, pembangunan yang relatif lambat di Kabupaten Lampung Barat disebabkan

oleh berbagai faktor, yaitu rendahnya kesadaran pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi daerah yang ada seperti pertanian dan perkebunan di Kabupaten Lampung Barat. Selain itu program-program pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat belum bisa

memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. Berbagai faktor tersebut disebabkan oleh rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk membangun, serta tidak diikutsertakan masyarakat di dalam pembangunan daerah sehingga setiap program pembangunan hanya terputus di tengah jalan.

Kemudian pembangunan yang relatif lebih baik di Kabupaten Pringsewu disebabkan oleh berbagai faktor juga, yaitu diantaranya adanya nilai pluralisme yang sangat tinggi di Kabupaten Pringsewu, sehingga membuka ruang setiap orang untuk membuka peluang usaha di Kabupaten Pringsewu. Selain itu, kondisi wilayah yang aman dan kondusif juga membuat para investor

banyak berinvestasi di Kabupaten Pringsewu. Letak wilayah Kabupaten Pringsewu juga sangat startegis sebagai jalur perdagangan di tiga kabupaten (Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Lampung Tengah). Kemudian ada semangat kebersamaan untuk membangun juga yang tercermin dalam moto jejama secancanan. Nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat tersebut yang melahirkan iklim usaha yang sangat inklusif di Kabupaten Pringsewu.

Page 12: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

108

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

Pembangunan di Kabupaten Lampung Barat cenderung buruk juga disebabkan karena Kabupaten Lampung Barat merupakan kawasan rural (pedesaan). Kabupaten Lampung Barat termasuk kawasan rural karena lebih dari 50 persen pendapatan daerah disokong oleh sektor pertanian (BPS Lampung Barat, 2014). Daerah yang bertumpu pada sektor pertanian dan

perkebunan masuk ke dalam kategori daerah rural. Seperti yang dipaparkan sebagai berikut: “A rural areas population density is very low. Many people live in a city, or urban area. Their homes and businesses are located very close to one another. In a rural area, there are fewer people, and their homes and businesses are located far away from one another. Agriculture is the primary industry in most rural areas. Most people live or work onfarms or ranches. Hamlets, villages, towns and other small settlements

are in or surrounded by rural areas“ (National Geographic, 2019) Oleh sebab itu pembangunan di Kabupaten Lampung Barat cenderung lambat karena hanya

bertumpu pada satu sektor. Namun argumen tersebut tidak bisa dibenarkan juga. Kabupaten

Tulang Bawang Barat juga merupakan daerah rural, di mana 49,93 persen pendapatan daerah disumbang oleh sektor pertanian dan perkebunan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulang Bawang Barat, 2014). Tetapi Kabupaten Tulang Bawang Barat memiliki pembangunan yang sangat signifikan, dibuktikan pada tahun 2014 memiliki angka reduksi shortfall urutan pertama di

Provinsi Lampung, bahkan masuk dalam akselerasi pembangunan sangat cepat, sedangkan Kabupaten Lampung Barat berada di urutan terakhir serta tergolong dalam daerah dengan akselerasi pembangunan yang sangat lambat (Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten

Pringsewu, 2014). Selain beberapa faktor di atas, lambatnya pembangunan di Kabupaten Lampung Barat

disebabkan oleh adanya institusi ekonomi politik ekstraktif. Kemudian sebaliknya, pembangunan yang relatif lebih baik di Kabupaten Pringsewu disebabkan oleh adanya institusi ekonomi inklusif

yang terpisah dari institusi politik ekstraktif. Temuan-temuan peneliti di lapangan memberikan abstraksi bahwa Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu cenderung memiliki institusi ekonomi politik ektraktif. Namun, terdapat perbedaan kadar ekstraktivisme diantara kedua kabupaten, kemudian Kabupaten Pringsewu juga sangat beruntung memiliki institusi dan

iklim ekonomi yang sangat inklusif.

Institusi Politik Ekstraktif di Lampung Barat

Telah terjadi hegemoni kekuasaan di Kabupaten Lampung Barat. Hegemoni kekuasaan di

Kabupaten Lampung Barat ini bisa disebut sebagai sebuah lingkaran setan, di mana kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir orang dalam sebuah rezim pemerintahan. Hal tersebut seperti keterpurukan yang terjadi di negeri Sierra Leone. Ketika lingkaran setan muncul sebab-sebab yang sangat alamiah. Institusi politik ekstraktif akan berpotensi menciptakan sebuah institusi ekonomi

ekstraktif juga yang bertujuan untuk memperkaya segelintir orang. Pihak-pihak yang berada dalam institusi politik ekstraktif tersebut membangun pasukan pribadi, kemudian merekayasa pemilu untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka sangat getol mempertahanakn sistem yang sudah ada dengan cara menciptakan platform yang memungkinkan institusi politik ektraktif tetap hidup. Hal

tersebut dilakukan dengan menguasai semua parpol (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Praktek politik ekstraktif juga terlihat dari proses pergantian perangkat pemerintahan yang terindikasi ada praktek nepotisme. Proses pergantian perangkat pemerintahan tersebut memang sudah menjadi tujuan utama dari bupati terpilih pada saat itu. Hal tersebut dilakukan untuk

membuat kekuasaan berada dalam genggaman tangan secara utuh. Oleh karena itu berbagai aktor yang memiliki potensi menjadi penjegal di dalam kekuasaan akan disingkirkan. Kemudian yang dipilih untuk menggantikan adalah orang-orang yang dapat dipastikan tunduk dan ikut terhadap kekuasaan sang penguasa.

Fenomena tersebut relatif sama seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe yang memiliki institusi ekonomi politik bercirikan ekstraktif. Tepatnya ketika Mugabe bersama dengan ZANU-PF (Zimbabwe African National Unioun-People’s Federation) sukses merebut kekuasaan dari rezim

apertheid Rhodes. Mugabe bergerak cepat untuk menguasai pemerintahan dengan menyingkirkan rival-rival politiknya dengan cara kooptasi politik lawan. Setelah dilantik menjadi presiden, di

mana sebelumnya Mugabe merupakan perdana menteri, pada tahun1990 Mugabe membubarkan senat kemudian memasukkan orang-orang pilihannya ke badan legislatif. Pada awal masa kemerdekaan itu Mugabe mengambil alih sejumlah institusi politik ekstraktif, di mana Mugabe

Page 13: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

109

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

banyak mengangkat orang menjadi pegawai negeri tentu saja orang-orang yang menjadi pendukung setia ZANU-PF (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Kemudian, di Lampung Barat juga kekuasaan penguasa sangat tertutup untuk orang-orang

yang tidak mendukungnya pada proses pencalonan. Sebagian besar yang menduduki kursi jabatan adalah mereka para relawan, kemudian yang menjadi pemegang proyek pemerintah adalah juga para relawan atau tim sukses.

Permainan para pemborong dalam kontestasi politik lokal di Kabupaten Lampung Barat

merujuk pada praktek institusi ekonomi ektraktif. Penguasaan proyek pekerjaan pemerintah hanya dikuasi oleh segelintir orang yang dekat dengan penguasa. Seperti yang terjadi di Mesir pada tahun 1978 ketika sekelompok pengusaha beraliansi dengan partai penguasa pemerintahan di

Mesir. Banyak tokoh pengusaha besar yang diangkat menduduki pos-pos penting pemerintahan yang terkait dengan bidang bisnis mereka, mislanya saja Rasheed Mohammed Rasheed, mantan presiden perusahaan Unilever untuk kawasan Afrika, Timur-Tengah dan Turki ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Perindustrian. Kemudian ada juga Mohamed Zoheir

Wahid Garana yang merupakan pemilik Garana Travel Company, salah satu agen perjalanan di

Mesir diangkat menjadi Menteri Parawisata (Acemoglu dan Robinson, 2015). Berbagai sektor perekonomian, para penguasa besar tersebut meminta pemerintah

memproteksi mereka dengan menyusun undang-undang yang menghambat masuknya pebisnis di bidang-bidang tersebut. pengusaha-pengusaha yang dekat dengan rezim penguasa bukan hanya

menikmati proteksi dari negara, tetapi juga menguasai kontrak-kontrak karya pemerintah dalam bentuk proyek. Hal tersebut sama seperti di Lampung Barat ketika pengusaha yang sangat dekat dengan penguasa dengan mudah menjadi pemegang proyek pemerintah (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Pembangunan yang buruk tersebut membuat Kabupaten Lampung Barat sebagai daerah tertinggal, namun keadaan miris tersebut tidak membuat penguasa memiliki motivasi dan komitmen untuk memperbaiki, tetapi malah mensyukuri agar banyak aliran dana dari pemerintah

pusat kepada daerah tertanggal, yang menjadi ironi adalah aliran tersebut terindikasi dikuasai oleh institusi ektraktif di Lampung Barat.

Fenomena bantuan yang dikuasai oleh institusi politik ekstraktif ini seperti yang terjadi di Afghanistan. Para penduduk desa di sebuah distrik terpencil di tengah-tengah lembah Afghanistan

mendengar pengumuman di radio tentang program bernilai ratusan juta dolar yang dialokasikan untuk membangun kembali pemukiman di daerah tersebut. Ternyata dari jumlah yang pernah dijanjikan sudah dipotong 20 persen untuk mengongkosi biaya operasional, sisanya 80 persen disubkontrakkan ke sebuah LSM yang mereka menyunat 20 persen dana tersebut. Sejumlah

penelitian mensinyalir bahwa dana bantuan asing yang benar-benar diterimakan ke sasaran hanya tinggal 10 atau 20 persen dari jumlah semula (Acemoglu dan Robinson, 2015).

Institusi Politik Ekstraktif di Lampung Barat tercermin dari visi Bupati Lampung Barat yang sangat politis. Program kerja Bupati yang sangat terlihat adalah pemekaran kecamatan dan desa di

Kabupaten Lampung Barat. Tujuan dilakukannya pemekaran kecamatan dan desa waktu itu adalah untuk menempatkan pion-pion kekuasaan sebagai camat dan kepala desa di semua desa yang baru terbentuk. Langkah ini dilakukan hanya untuk sekedar melanggengkan kekuasaan sang

penguasa.

Perkembangan Institusi Ekonomi Inklusif di Bawah Bayang-bayang Insititusi Politik Ekstraktif di

Pringsewu

Kabupaten Pringsewu juga cenderung memiliki institusi politik ekstraktif. Fenomena tersebut diamini sendiri oleh aktor yang merupakan bagian dari pemerintah daerah Kabupaten Pringsewu.

Memang benar terjadi diskriminasi di dalam politik di Kabupaten Pringsewu. Bahkan pada awal kepemimpinan bupati sempat terjadi nepotisme berdasarkan suku di dalam pemerintahan, di mana banyak sekali pegawai beretnis Jawa yang menjadi pejabat di SKPD seperti menjadi kepala

dinas dan lain sebagainya. Adanya institusi politik ekstraktif di Kabupaten Pringsewu juga dipertegas dengan adanya

fenomena kedekatan legislatif dengan eksekutif. Legislatif cenderung bermitra dengan eksekutif, padahal harusnya legislatif menjadi kontrol dan penyeimbang terhadap eksekutif. Praktek bermitra

tersebut semakin dipertegas dengan adanya kedekatan personal antara Wakil Bupati dan Ketua

Page 14: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

110

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

DPRD Kabupaten Pringsewu, di mana Bapak Narapati SZP (Wakil Bupati) merupakan sepupu dari Bapak Aminullah (Ketua DPRD).

Kabupaten Pringsewu cenderung memiliki intitusi ekonomi inklusif. Perkembangan ekonomi di Kabupaten Pringsewu lebih didorong karena adanya kultur pluralisme di dalam iklim

perekonomian. Selain itu Kabupaten Pringsewu juga memiliki ekonomi yang lebih maju karena memiliki wilayah yang cukup aman dan kondusif untuk usaha.

Berdasarkan temuan-temuan yang ada, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu memiliki institusi politik yang cenderung ekstraktif. Namun Kabupaten

Pringsewu memiliki institusi ekonomi yang cenderung inklusif. Inklusivitas dunia ekonomi tersebut disebabkan adanya nilai pluralisme yang sangat tinggi di Kabupaten Pringsewu. Temuan di Kabupaten Pringsewu ini merujuk pada pada pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi dapat

terjadi di dalam tatanan institusi poltik ektraktif, yaitu melalui skenario munculnya institusi ekonomi agak inklusif akibat dari kesempatan yang diberikan oleh intitusi politik ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2015).

PENUTUP Pembangunan Kabupaten Pringsewu relatif lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten

Lampung Barat. Berbagai indikator pembangunan telah memberikan gambaran jelas terkait pembangunan kedua kabupaten. Mengingat konsep pembangunan yang begitu bermakna luas, maka peneliti membandingkan pembangunan kedua kabupaten dengan berpedoman kepada

capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), beserta elemen-elemen pembentuk IPM, kemudian juga berdasarkan konsep capability Amartya Sen serta penekanan peran institusi ekonomi politik di

dalam pembangunan. Berdasarkan berbagai indikator tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Kabupaten Pringsewu relatif lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Lampung Barat.

Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu memiliki institusi politik yang

cenderung ekstraktif. Namun Kabupaten Pringsewu memiliki institusi ekonomi yang cenderung inklusif. Inklusivitas dunia ekonomi tersebut disebabkan adanya nilai pluralisme yang sangat tinggi di Kabupaten Pringsewu. Berbeda dengan Kabupaten Lampung Barat, di mana permainan

politik sangat bertumpu pada pendekatan primordialisme yaitu patron dan klien. Ikatan kultural tersebut yang membuat kekuasaan cenderung ekstraktif, di mana semua keputusan politik ditentukan oleh penguasa.

Peneliti menilai bahwa pembangunan Kabupaten Pringsewu sangat terbantu dengan adanya

pluralisme yang sangat tinggi di Kabupaten Pringsewu yang membuat roda pembangunan Pringsewu terus bergerak. Selain itu, institusi politik dan ekonomi merupakan dua elemen yang terpisah di Kabupaten Pringsewu dan Lampung Barat. Sehingga tidak ditemukan dampak yang signifikan dari institusi politik ekstraktif terhadap institusi ekonomi. Hal tersebut disebabkan

karena sektor perekonomian di Kabupaten Pringsewu masih dalam proses berkembang, apalagi Kabupaten Lampung Barat yang masih cenderung mengalami stagnansi.

Pembangunan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu sebaiknya mampu

mengembangkan potensi daerah. Pembangunan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu sebaiknya melibatkan masyarakat, baik itu dimulai dari proses formulasi program pembangunan, implementasi serta evaluasi. Perlu adanya perbaikan institusi politik di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pringsewu. Pelaksanaan pemerintahan di Kabupaten Lampung

Barat seyogyanya menjunjung tinggi asas transparansi, melibatkan partisipasi masyarakat serta menghilangkan diskriminasi politik yang dilakukan sekelompok oknum di dalam pergolakan politik elit.

Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat seyogyanya menciptakan iklim usaha yang

kondusif dan menjanjikan berbagai insentif ekonomi. Selain itu juga, pemerintah daerah sebaiknya bersikap terbuka kepada berbagai pelaku ekonomi agar para investor tertarik untuk investasi, sehingga perputaran ekonomi di Kabupaten Lampung Barat semakin gencar. Perlu ada kekuatan penyeimbang pemerintah agar tidak ada penyelewengan dan monopoli kekuasaan,

dalam hal ini adalah para penggiat sosial.

DAFTAR PUSTAKA Acemoglu, D., & Robinson, J.A. 2015. Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran

dan Kemiskinan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Page 15: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan...)

111

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)

BPS Lampung Barat. 2014. Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2014. Lampung Barat: BPS.

BPS Pringsewu. 2014. Pringsewu Dalam Angka Tahun 2014. Pringsewu: BPS.

Collier, P., 2008. The bottom billion: Why the poorest countries are failing andwhat can be done about it.

New York: Oxford University Press.

Chang, H.J., 2002. Kicking away the ladder: development strategy in historical perspective. London:

Anthem Press.

Chang, H.J., 2011. “Institutions and economic development: theory, policy and history”. Journal

of Institutional Economics, 7(04), pp.473-498.

Chang, H.J. ed., 2007. Institutional change and economic development. Tokyo, New York, Paris:

United Nations University Press.

Dokumen Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Lampung Barat Tahun 2014

Dokumen Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Lampung Barat Tahun 2014

Dokumen Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pringsewu Tahun 2014

Dokumen Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Pringsewu Tahun 2014

Fakih, M. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.Yogyakarta: INSIST Press.

Gant, J & Turner-Lee, N. 2011. Government Transparency : Six Strategies for More Open and

Participatory Government. Washington DC: The Aspen Institue.

Grimmelikhuijsen , S.G. & Meijer, A.J. 2012. “The Effects of Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government Organization: Evidence from an Online Experiment”. Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access dipublikasi pada 5 November

2012 oleh Oxford University Presss.

Gurin, J. 2014. “Open governments, open data: A new lever for transparency, citizen engagement, and economic growth”. The SAIS Review of International Affairs, Volume 34 No. 1 halaman 71-

82. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

National Geographic, (tanpa tahun). “ Rural Area” diakses pada https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/rural-area/

Peet, R& Hartwick, E. 2009. Theories of Development: Contention, Arguments, Alternatives (2nd

Edition). New York: The Guilford Press.

Rodrik, D, et.al .2004. “Institutions Rule: The Primacy of Institutions Over Geography and

Integration in Economic Development”. Journal of Economic Growth. Vol. 9. 2004 (131-165).

Rodrik, D. 2007. One Economics Many Recipes: Globalization, Institutions and Economic Growth. New

Jersey: Princeton University Press.

Sachs, J. 2003. “Institutions Matter, but Not For Everything: The Role of Geography and Resources Endowments in Development Shouldn’t be Underestimated”. Journal of Finance and

Development, Juni 2003.

Sen, A. 2000. Development As Freedom. New York: ALFRED A. KNOFF, INC.

Sen, A., dkk. 2004. Public Health , Ethics and Equity. New York: Oxford University Press.

Todaro, M. P. & Smith, S. C. 2012. Economic Developtment (11th Edition). New York: Pearson.

Walker, M. & Unterhalter, E. 2007. Amartya Sen’s Capability Approach and Social Justice In

Education. New York: PALGRAVE MACMILLAN.

Page 16: MENGAPA PEMBANGUNAN DAERAH GAGAL: STUDI …

Wacana Publik

Volume 13, No. 02, Desember 2019, pp. 97 – 111

Melyansyah dan Kurniawan (Mengapa Pembangunan Daerah Gagal: Studi Komparatif Pembangunan ...)

112

ISSN 1858-2400 (p)

ISSN 2656-9558 (e)