membangun akuntabilitas daerah otonom

Upload: jermi-haning

Post on 07-Jul-2018

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    1/20

      1

    Mewujudkan Akuntabilitas Pemerintah Daerah Otonom:Langkah apa yang dapat diambil?

    Jermi Haning1 

    1. 

    PendahuluanSemenjak digulirkannya reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, kita bersama telah menyaksikanperubahan yang cukup menyolok dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.Mungkin sektor politik dan ekonomilah yang mengalami perubahan yang cukup significant. Tidak hanyadi pusat, tetapi juga di daerah. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi perkembangan demokrasidan terutama memperkuat posisi bargaining power rakyat.

    Kelahiran UU No. 22/1999 dan 25/1999 telah membawa perubahan yang sangat menyolok:pemberdayaan DPRD dalam hubungan dengan eksekutif dan pembebasan Pemerintah Daerah daridikte Pemerintah yang lebih tinggi. Kita telah lihat bersama bahwa proses politik yang pertama telahmelahirkan suatu elite DPRD yang kuat, bahkan terlalu kuat dari pada Eksekutif sehingga banyak kasus

    penyalaggunaan kekuasaan yang terjadi. Belajar dari pengalaman ini, kemudian pemerintah melakukanrevisi atas undang-undang ini dengan mengembalikan proses akuntabilitas Kepala Daerah kepadaPemerintah Pusat.

    Revisi ini bisa dipandang sebagai upaya pemerintah pusat mengembalikan kekuasaannya yangberkurang, tetapi juga bisa dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi beban politik yangmestinya dipikul oleh Kepala Daerah dalam hubungannya dengan DPRD. Manfaatnya adalah bahwaKepala Daerah akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk mewujudkan janji-janjinya kepadarakyat. Perubahan ini juga bisa dianggap sebagai upaya disempowering   DPRD. Sehingga tidaklahmengherankan kalau Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia menanggapi perubahan ini secara negatif,bahkan menolaknya.

    Proses kedua pemerintah meningkatkan kemurnian pelaksanaan demokrasi melalui pemilihanlangsung, baik itu untuk Kepala Daerah dan anggota DPRD. Demokrasi perwakilan yang berakar jauhpada Polis Yunani (Li, 1999) cenderung menganakemaskan kedaulatan negara atas kedaultan rakyat.Sehingga perubahan ini mengembalikan kedaultan rakyat. Partisipasi politik rakyat memungkinkanmereka untuk bisa mengimbangi monopoli kekuasaan yang dinikmati birokrasi. Perubahan ini jugamemperkuat akuntabilitas publik dan legitimasi pejabat politik yang terpilih. Kedua belah pihak, KepalaDaerah dan DPRD akan mengklaim bahwa mereka terpilih dengan legitimasi yang kuat sehingga akanmemperkuat power bargaining. Mungkin kelemahan yang ada di DPRD adalah sistim pemilihan yangmasih memberi peluang kepada partai untuk menentukan Caleg Terpilih. Ada beberapa anggota DPRDyang tidak mendapat dukungan penuh, tetapi karena posisi mereka yang ada pada nomor urut atas

    sewaktu pemilihan anggota Legislatif sehingga mereka terpilih. Sementara itu mereka yang mendapatdukungan penuh tetapi karena tidak berada pada urutan atas, terpaksa harus menyerahkan nasibmereka pada peraturan yang telah ditetapkan itu.

    Menanggapi perubahan-perubahan ini, penulis akan melakukan analisis untuk memahami hubunganalamiah antara Legislatif dan Eksekutif terutama dalam hal akuntabilitas. Kedua penulis akanmelakukan comparative analysis  terhadap praktek-praktek terbaik di pemerintah daerah di beberapanegara barat agar bisa dipahami langkah selanjutnya yang bisa diambil untuk mewujudkan cek andbalaced relationship between legislative and eksecutive and citizen.

    2.  Apa itu Akuntabilitas (dan Tanggung Jawab)?

    1This paper was first presented to Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia’s Monthly Informal Discussion in Kupang,

    February 2005.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    2/20

      2

    Konsep akuntabilitas sangatlah kompleks untuk dimengerti (Mulgan 1997; Parker & Gould 1999;Sinclair 1995). Sehingga Barberis (1998:1) berpendapat bahwa “Accountability is an old and trickysubject”. Akuntabilitas di sektor publik sangatlah berbeda dari sector swasta. Akuntabilitas melibatkanmulti-hubungan, banyak peranan dan tugas dengan tingkat resiko, ketidakpastian yang bermacam-macam dan berbeda-beda dan bahkan harapan-harapan yang saling bertentangan.

    Pada umumnya, oleh karena keterbatasan bahasa Indonesia, sehingga akuntablitas  oleh pejabatpublik sering diartikan sebagai pertanggungjawaban. Hal ini bisa dipahami mengingat kenyataanbahwa dalam hal-hal tertentu kedua konsep ini memiliki makna yang sama. Keterbatasan pemahamanini banyak terjadi di negara-negara bukan penutur bahasa Inggris, dimana konsep akuntabilitas masihmerupakan konsep baru merupakan salah satu persoalan tambahan. Dalam pengertian yang khusus,akuntabilitas dipandang sebagai “kewajiban untuk memberikan jawaban atas suatutanggungjawab, melaporkan, menjelaskan, memberikan alasan, merespon, dan memikul suatutanggungjawab dan memberi diri untuk dinilai dan tunduk kepada suatu badan eksternal atausuatu penghakiman” (Caiden 1988:25). Dalam istilah yang sederhana, akuntabilitas adalah tentangpemberian suatu laporan tentang apa, bagaimana dan mengapa sumber daya dialokasikan untuktujuan tertentu, bagaimana kekuasaan dijalankan dan hubungan antara kekuasaan yang

    dijalankan dengan hasil yang diharapkan dan dicapai (Stewart 1984). Tujuan akuntabilitas adalahuntuk menghindari penyalagunaan kekuasaan, untuk memastikan bahwa tugas dilaksanakansebagaimana yang dimaksudkan dan untuk mendorong perbaikan kinerja.

    Element-element kunci dan umum akuntabilitas adalah pemberian laporan atas suatu tindakan yangdiambil dan diminta untuk bertanggungjawab atas tindakan yang telah diambil (Gray et al 1996; Stewart1984). Sehingga akuntabilitas tidak hanya menyangkut pemberian dan penerimaan informasi, tetapi

     juga tentang permintaan untuk bertanggungjawab. Akuntabilitas memungkinkan atasan untukmemeriksa dan memberi respon kepada bawahan (e.g. rewards, punishment). Namun demikianmestilah diakui bahwa tidaklah cukup untuk mengontrol bawahan hanya dengan mengandalkaninformasi yang diberikan. Satu kekuatiran yang berhubungan dengan laporan adalah bagaimana

    memastikan kebenaran informasi yang disampaikan? Diakui bahwa atasan menemui kesulitan danmembutuhkan biaya yang banyak untuk mendapatkan informasi yang benar tentang bawahan (Mulgan2000).

    Menurut Desautels (1997:10) ada lima elemen kunci dalam akuntabilitas:1.  Peranan dan tanggungjawab yang jelas;2.  Tujuan dan harapan akan kinerja yang jelas;3.  Harapan kinerja yang seimbang dengan kemampuan setiap pihak, sebagai contoh, otoritas, skills

    dan sumber daya;4.  Pelaporan akan informasi yang kridibel dan tepat waktu akan apa yang dicapai, dengan biaya apa,

    dan apa yang dipelajari; dan

    5. 

    Review dan feedback yang membangun atas kinerja yang dicapai, dimana prestasi diakui dankoreksi seperlunya dilakukan, pemberian sanksi dan penghargaan kepada individu yangbertanggungjawab.

    Lalu apa hubungan akuntabilitas dan tanggung jawab? Akuntabilitas memang berbeda dari konseptanggungjawab (responsibility), responsitas (responsiveness) dan pemberian jawaban (answerability).  Tanggung jawab adalah pemberian kekuasaan dan otoritas untuk menghasilkan kinerja tertentu.

    Akuntabilitas adalah kewajiban yang dipikul seseorang untuk menghasilkan kinerja tertentu.  Tanggungjawab adalah kemampuan untuk bertindak. Akuntabilitas adalah kemampuan untuk

    memberi jawaban atas suatu tanggungjawab.  Tanggungjawab adalah kewajiban untuk bertindak demi kepentingan publik. Sementara

    Akuntabilitas  adalah kewajiban untuk memberi jawaban akan maksud sesuatu tindakan,kemudian jawaban akan hasil tindakan tersebut.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    3/20

      3

    Tanggung jawab menyangkut pemberian kekuasaan dan wewenang kepada seseorang pejabat.Mereka diberdayakan untuk bertindak atas nama rakyat. Mereka diberi kebebasan dalam pengambilankeputusan tetapi kemudian mereka dituntut untuk ber-akuntabel kepada mereka yang telah memberikepercayaan tersebut – rakyat.

    Responsitas umumnya menunjuk kepada situasi dimana pejabat-pejabat publik secara sukarela

    memberi respond atas permohonan untuk menjustifikasi tindakan-tindakan mereka tetapi tidak adakewenangan untuk memaksa mereka. Sehingga responsitas dapat diletakan pada titik tengah suatugaris lurus yang menghubungkan tanggungjawab dan akuntabilitas.

    Pemberian jawaban mengindikasikan suatu siatuasi dimana para pejabat memiliki hak hukum untukmewajibkan pejabat lain untuk memberi penjelasan akan tindakan-tindakan mereka tetapi tidak adasanksi/penghargaan yang bisa dikenakan/diberikan bila tindakan mereka dianggap tidakmemuaskan/memuaskan.

    Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana konsep-konsep ini mempunyai relevansidengan praktek akuntabilitas di pemerintah daerah di Indonesia. Jawaban yang pasti adalah bahwa

    pemerintah daerah perlu memutuskan apa itu akuntabilitas agar dapat dimengerti tujuan dari instrumen-instrumen akuntabilitas yang dimaksud. Pemahaman akan tujuan akan menuntun design instrumenakuntabilitas  –  apakah mau dipusatkan pada kewajiban-kewajiban atau harapan-harapan? Apakahakuntabilitas ditujukan kepada rakyat atau badan-badan pemerintah? Dengan suatu framework konsepyang jelas, pemerintah dan rakyat mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dari instrumen-instrumen akuntablitas.

    Rekomendasi tentang akuntabilitas dan tanggungjawab1.  Pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat, dengan berkonsultasi dengan publik, harus

    mengklarifikasi apa arti akuntabilitas dan memastikan bahwa hal ini diketahui oleh publik. Definisiini haruslah merupakan basis pernyataan akuntabilitas dalam kode etik DPRD dan menjadi acuan

    untuk kewajiban akuntabilitas eksekutif (Jadwal: Jangka Pendek)2.  Program-program pelatihan pemerintah provinsi harus memasukan, bila benar, pertimbangan

    konsep akuntabilitas dan tanggungjawab dan hubungan mereka dengan intrumen akuntabilitasyang dipakai pemerintah provisnsi (Jadwal: Jangka Menengah)

    3.  Peran Ganda DPRDDalam pemerintahan yang demokratis, adalah warga negara yang memberi mandat kepada pemerintahuntuk bertindak atas nama mereka. Pemerintah, pada gilirannya ber-akuntabel kepada warga negara.Namun mengingat kenyataan bahwa warga negara adalah bukan suatu organsasi, sehingga jelaslahbahwa ada masalah disini dalam mengorganisisaikan akuntabilitas.

    Memang diakui bahwa melalui pemilihan langsung, dialog, transparansi, partisipasi dan instrumenlainnya, akuntabilitas bisa dijalankan. Namun hal ini belumlah cukup. Oleh karena itu, DPRD haruslahyang bertindak atas nama warga negara sebagai principal atas agennya (Legislatif). Namun demikiannkehadiran DPRD tidak berarti bahwa akuntabilitas publik menjadi berkurang. Warga negara tidak hanyaberhubungan dengan DPRD sebagai agennya. Warga negara tetap memiliki hak untuk menuntutakuntabilitas pemerintah (Lihat Appendix 1).

    Semenjak diberlakukannya UU 22/1999 kita tahu bersama bahwa power bargaining DPRD telahdiperkuat. Posisinya sebagai principal telah dipulihkan setelah puluhan tahun terhegemoni. Undang-undang ini memang belum mewujudkan pemilihan langsung pejabat politik. Kita tahu bersama bahwapada dasarnya partailah yang memilih anggota DPRD dan seterusnya DPRD yang memilih Kepala

    Daerah dan Wakilnya. Kewenangan ini membuat DPRD benar-benar bisa memainkan peranannyasebagai principal.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    4/20

      4

    Namun demikian kita tahu bersama juga bahwa kenyataan yang sering terjadi adalah sebaliknya. Hasilpenelitian Gray, Owen, and Adams (1996:44) menunjukkan bahwa hubungan principal-agent “dapatberjalan ke arah yang sebaliknya; sehingga setiap pihak dapat menjadi agen dan principal”. Bukannyadikontrol oleh publik, kadang-kadang pemerintah yang mengontrol publik. Eksekutif juga bisa“menyetir”  DPRD dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Akibatnya adalahmerajalelanya praktek-praktek yang berbau KKN. Dibeberapa daerah DPRD dan Eksekutif

    “merampok” APBD yang notabenenya berasal dari principal yang sebenarnya, rakyat.

    Menyadari kelemahan ini, pemerintah pusat kemudian melakukan revisi atas UU 22/1999. KepalaDaerah yang selama ini bertanggungjawab kepada DPRD dirubah dengan hanya memberikan sekedarketerangan pertanggungjawaban, kembali seperti jaman orde baru. Pertanggungjawaban yangsebenarnya kemudian dialihkan kepada pemerintah pusat. Apapun motivasinya, seperti yang telahdiuraikan diatas, perubahan ini membuat DPRD kehilangan sebagian kekuasaannya.

    Belajar dari praktek akuntabilitas dari negara lain, pemerintah sebenarnya bisa melakukan beberapa haluntuk mengimbangi kekuasaan yang berkurang dan untuk meningkatkan pelayanan kepada rakyat,tanpa harus menciptakan hegemoni diantara Legislatif dan Eksekutif. Untuk menjamin kebenaran

    informasi yang disampaikan pemerintah, sebagai contoh, suatu Komisi Audit Parlement (KAP) yangberada dibawah DPRD dapat didirikan untuk itu. KAP memegang peranan dalam menjaminakuntabilitas pemerintah dan badan pengawasnya. Beberapa peranan KAP adalah: menyetujui rencanastrategis dan rencana kerja Badan Pengawas; mengambil peranan yang aktif dalam penunjukkanKepala Badan Pengawas, memonitor fungsi audit Banwas dan hubungan kerjanya dengan BPK; reviewkemajuan yang telah dicapai terhadap rencana; mereview laporan audit Banwas; dan menindaklanjutiimplementasi rekomendasi Banwas.

    Sementara itu, sebagai agen DPRD juga dituntut untuk ber-akuntabel kepada rakyat. Kebebasan dankekuasaan besar yang dinikmati DPRD perlu dikelola agar tidak disalahgunakan. Tantangan yangdihadapi adalah bagaimana rakyat bisa membuat DPRD berakuntabel? Memang diakui bahwa setiap 5

    tahun rakyat bisa membuat DPRD berakuntabel melalui pemilihan Legilstif. Bagi mereka yang dianggapberhasil tentu saja bisa dipilih kembali, sebaliknya bagi yang gagal tidak akan dipilih. Namun demikiandengan sistim pemilihan legislatif seperti yang di jelaskan diatas tadi, maka tidak ada jaminan bahwasuara rakyat benar-benar didengar. Suatu institusi independen yang ditugasi untuk mengawasi DPRDbisa menjadi solusinya. Selain instrument-instrument akuntabilitas lainnya (Lihat Appendiks 3).

    Rekomendasi tentang peran ganda DPRD1.  DPRD haruslah didorong untuk melakukan analisis kebutuhan pelatihan diantara anggota-anggota

    DPRD dan melakukan program pelatihan jangka pendek bila dipandang perlu (Jadwal: JangkaMenengah)

    2.  DPRD bersama-sama dengan eksekutif haruslah melakukan investigasi cara-cara menguatkan

    secretariat keduanya khususnya menyangkut kinerja tugas-tugas khusus (Jadwal: JangkaMenengah)

    3.  Pemerintah pusat perlu melakukan review akan proses PEMILU, haruslah dipikirkan perbaikanakuntabilitas DPRD dan Kepala Daerah (Jadwal: Jangka Menengah)

    4.  DPRD mereview kode kelakuan untuk memasukan rincian peranan akuntabilitas mereka, mungkintermasuk pernyataan konflik kepentingan, deklarasi asset anggota dan kode etik (Jadwal: JangkaPendek)

    5.  DPRD perlu mempertimbangkan pemberian tanggungjawab area kepada setiap anggota sesuaidengan daerah pemilihannya. Anggota akan terlibat dalam suatu program konsultasi teratur denganmasyarakat di area tersebut dan bertindak selaku agen pengeluhan, dan bertanggungjawab atastindaklanjutnya (Jadwal: Jangka Pendek)

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    5/20

      5

    4.  Pemerintah sebagai Agen Akuntabilitas Sebagai agen, eksekutif berkewajiban untuk berakuntabel kepada DPRD dan warga negara. Diakuibahwa sistim pemilihan tidak langsung hanya memperlemah power bargaining rakyat. Adalah DPRDyang memilih Kepala Daerah dan selanjutnya berakuntabel kepadanya, bukan oleh dan kepada warganegara. Sistim ini hanya memperkuat hubungan akuntabilitas antara pemerintah dan kepada DPRD.Demikian pula dengan keberadaan LSM. Asia Foundation (2002) menemukan bahwa banyak

    pemerintah daerah yang melihat kehadiran LSM sebagai gangguan dan bukan sebagai partnerpembangunan.

    Table 1. Hubungan Akuntabilitas dalam Konteks Pemerintah Daerah di Indonesia

    Siapa Untuk Apa  Kepada Siapa  Bagaimana Untuk OutcomeApa 

    PemiluDebat di DPRD Penjelasan

    Legislasi Pertanyaan Anggota DPRD

    Informasi

    Kepala Daerah Kebijakan/Systems

    Publik Judicial Review Pengakuan

    Outputs / Fungsi DPRD ReviewSekretarisDaerah/KepalaDinas/Badan/Kantor Bagian, dll

    Proses-proses Administrasi,Value for money,Costs

    Komisi DPRD,Ombudsmen,Kantor Audit

    Laporan Tahunan Revisi

    Publik Public/privateVentures

    Perbaikan

    SanksiSumber: Haning (2003:21).

    Seperti telah diuraikan diatas tentang pengertian akuntabilitas, maka akuntabilitas eksekutif dapat dilihatdalam beberapa hal:

    a.  Penyediaan Informasi/PelaporanPenyediaan informasi atau laporan adalah esensi dari kewajiban memberikan jawaban. Ber-akuntabelartinya memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi dan menjawab pertanyaan menyangkut suatukeputusan atau tindakan. Penyediaan informasi atau “menginformasikan”, bisa menyangkut informasianggaran, laporan tahunan, evaluasi kinerja, website, surat khabar, bulletin dsbnya. Penyediaaninformasi kepada rakyat dalam rangka mewujudkan akuntabilitas memerlukan tranparansi baik itudalam proses-proses maupun dokumen-dokumen. Ini artinya bahwa proses-proses dan dokumen-

    dokumen, sebagai contoh, haruslah terbuka dan dapat diakses oleh umum termasuk media masa.

    Hal ini sejalan dengan UU 22/1999 yang mewajibakan pemerintah untuk menyediakan informasikepada publik, parlemen dan pemerintah yang lebih tinggi. Dikatakan bahwa pemerintah harusmemberikan laporan tahunan kepada parlement setiap akhir tahun dan pada akhir masa jabatannya(Article 44, 3).

    b.  Pemberian Penjelasan dan PembenaranModel akuntabilitas ini jauh melampaui pelaporan. Model ini menuntut penjelasan dan pembenaran;yaitu, mengapa dan bukan sekedar apa (Brinkerhoff 2001). UU 22/1999 mewajibkan pemerintah untukmengajukan laporan akuntabilitas kepada DPRD untuk hal-hal tertentu atas permintaan DPRD (Article

    45, 2). Permintaan ini dilakukan baik itu atas inisiatif sendiri maupun atas desakan dari rakyat, BadanPengawas dan Ombudsman. Wujudnya bermacam-macam. Bisa mulai dari dialog internal antara DPRD

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    6/20

      6

    dan Badan/Dinas/Bagian tertentu hingga yang lebih umum pada arena-arena seperti hearing DPRDatau pertemuan di balai kota dimana pejabat publik berdialog dengan warga.

    Dibeberap daerah di Indonesia dialog antara pemerintah daerah dan warganya dirasakan semakinumum seiring dengan implementasi otonomi daerah. Dialog dapat dipandang sebagai alat yang efektifuntuk menjawab kekuatiran akuntabilitas karena kedua belah pihak saling mendengar dan memberikan

    respon secara simpatik kepada pihak yang lain, dan mencoba mengerti apa yang dipikirkan dandirasakan oleh pihak lain tanpa paksaan (Roberts, 2002). Terlebih lagi disaat ada media masa yangdapat meliput gerakan setiap peserta, dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan membangunhubungan atas dasar saling mengerti dan belajar (Dryzek, 2000). Tidak ada tempat untuk bersembunyi

     jika ada yang salah. Dialog juga menuntut perserta untuk bisa bekerjasama dan membangun komitmen.Mungkin kelemahan dialog adalah tidak cukup untuk menuntut akuntabiltas seseorang. Dialogmencerminkan hubungan yang sama levelnya, sedangkan akuntabilitas lebih menunjuk pada hubunganatasan-bahwahan, antara principal dan agent, dimana bawahan/agent harus taat pada petunjukatasan/principal termasuk pemberian sanksi untuk suatu kegagalan (Mulgan 1997; 2000b; Ryan,Dunstan & Brown 2002). Sehingga dialog tidak memungkinkan rakyat untuk bisa mengontrol danmemberi sanksi, hanya sekedar penyampaian informasi dan penilaian atau verifikasi.

    c.  Review dan RevisiReview laporan pemerintah dimaksudkan untuk memastikan semacam jaminan bahwa informasi yangdiberikan benar-benar dapat dipercayai kebenarannya. (Stewart 1984). Dengan melakukan reviewDPRD dapat memeriksan dan menilai kinerja, sistim atau praktek, dan jika perlu melakukan perubahanuntuk memenuhi harapan para stakeholders. Permasalahan yang mungkin dijumpai dalam pelaksanaanreview adalah terbatasnya kemampuan sumber daya manusia dan ketidakmampuan DPRD untuk“memaksa” Badan Pengawas menghasilkan informasi yang benar -benar dapat dipercayai. Forum yangtelah dipakai selama ini adalah melalui komite-komite di DPRD yang mengeksplorasi lebih dalam suatuissue yang membutuhkan justifikasi lebih lanjut. Solusi lain yang mungkin bisa ditempuh adalah denganmeminta pihak ketiga, auditor swasta, untuk melakukan audit dan review atas dokumen-dokumen yang

    disampaikan.

    d.  Perbaikan atau pemberian Sanksi Akuntabilitas tidak selesai setelah informasi diterima/dilaporkan. Feedback dan juga reward orpunishment harus menyusul. Bila tidak ada konsekuensi yang mengikuti informasi kinerja, maka hal initidak akan mempengaruhi budaya korporasi, budaya belajar, budaya berubah dan budaya berprestasi(Brinkerhoff 2001). Untuk setiap aktifitas yang dimaksudkan untuk bisa merubah orang-orang yangmelaksanakannya, maka aktifitas ini harus mempengaruhi mereka secara langsung. Jika suatu kinerjayang baik tidak dilaporkan, dipublikasikan, direview, dan dihargai, maka mereka yang terlibat akanmenyadari bahwa tidaklah merupakan suatu masalah walaupun mereka tidak melakukan yang terbaikatau hanya mempunyai sedikit insentif untuk belajar dan berubah.

    UU 22/1999 menjelaskan secara jelas tentang penggenaan sanksi kepada Kepala Daerah yang laporanpertanggungjawabannya telah ditolak dua kali (Article 46). Kepala Daerah harus mengajukan laporanperkembangan tahunan kepada DPRD dan apabila laporan ini dianggap kurang layak dan tidakmemuaskan maka DPRD dapat memecatnya. Penggunaan wewenang DPRD ini telah bermuara padapemecatan beberapa Kepala Daerah di Indonesia. Mengingat kenyataan ini, maka adalah sangatpenting dijelaskan sejelas-jelasnya akan persyaratan akuntabilitas. Persyaratan yang ditetapkanharuslah transparant, jelas, realistik, dan tidak membebankan sehingga tidak akan dipakai sebagai alatpolitik untuk mengancam Kepala Daerah. Perlu juga adanya persamaan persepsi tentang persyaratanakuntabilitas diantara semua stakeholders yang ada. Kadang-kadang, sebagai contoh, DPRD lebihmenekankan pada efisiensi, sementara itu Media Massa lebih menekankan pada akses informasi dan

    transparansi.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    7/20

      7

    Kehati-hatian juga perlu diperhatikan dalam hal penggenaan sanksi. Perlu dipertimbangkan baik itukinerja maupun kemungkinan respon agen. Karena bagaimanapun tujuan akuntabilitas adalahperbaikan kinerja dan bukan untuk memasung agen. Sehingga fokusnya adalah bagaimana merubahbudaya organisasi dari yang semata-mata tunduk pada legislasi pada budaya yang lebih memihakpada fleksibilitas untuk pembelajaran yang berkelanjutan dan perbaikan. Selain itu, ada banyak faktoryang ikut memberi sumbangan pada kegagalan agen. Diantaranya adalah tidak cukupnya instruksi,

    kekuasaan dan sumber daya (legislasi yang sudah kuno, kegagalan untuk menyediakan petunjukkebijakan) dan penunjukkan pejabat yang tidak kompeten (Standbury & Priest 1998:19; Syahruddin &Taifur 2002).

    5.  Hubungan Akuntabilitas DPRD dengan Sektretaris Daerah Hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah bagaimana DPRD membangun hubunganakuntabilitas dengan pejabat yang paling senior pada birokrasi pemerintah daerah, yaitu SekretarisDaerah. Dalam undang-undang dan peraturan lainya diatur dengan jelas bagaimana DPRD menjalinhubunganya dengan Kepala Daerah, namun tidaklah demikian dengan Sekretaris Daerah. Sehinggayang terjadi adalah terdapat kehampaan hubungan. Manajemen Sektretaris Daerah seolah-olahmenjadi wilayah khusus Kepala Daerah dan Pemerintah yang lebih tinggi. Kepala Daerah mengajukan

    beberapa calon kepada Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi untuk mendapat pengesahan.Tidak ada aturan resmi yang mengatur hubungan akuntabilitas DPRD dan Sekretaris Daerah. Yang adahanyalah harapan-harapan dan bukan kewajiban-kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh SekretarisDaerah.

    Hal ini cukup aneh, oleh karena untuk suatu jabatan struktural birokrasi semacam ini mesti mendapatrestu dari pihak luar. Sementara dalam jabatan Kepala Daerah dan Wakilnya pemerintah yang lebihtinggi hanya mensyahkan pilihan rakyat, bukannya memilih satu diantara sekian kandidat yangdiajukan. Inilah bukti bahwa pemerintah masih memiliki kepentingan dalam pelaksanaan urusan internaldaerah. Sebagai pejabat politik yang mendapat kepercayaan rakyat, mestinya Kepala Daerah bebasmenentukan pilihannya dalam me-manage (merekrut) Sekretaris Daerah. Yang perlu dilibatkan adalah

    DPRD dan bukan pemerintah yang lebih tinggi. Memang diakui bahwa dalam praktek, seorangSekretaris Daerah biasanya harus melalui semacam fit and proper test  di DPRD, tetapi lebih dari ituDPRD tidak terlalu diperhitungkan.

    Bila kita melakukan analisis perbandingan dengan negara-negara lain, maka akan diketahui bahwapraktek di negara lain jauh berbeda dengan apa yang masih kita praktekkan saat ini. Jabatan SekretarisDaerah adalah jabatan karir struktural yang manajemennya sangat professional, non-politis dan menjadiurusan internal daerah. Bahkan DPRD mempunyai hubungan akuntabilitas yang sangat jelasdengannya. DPRD cukup terlibat dalam proses rekruitmen. Demikian juga dalam memangku

     jabatannya. Sebelum diangkat, Sekretaris Daerah melakukan “kontrak kinerja”  dengan DPRDberdasarkan standar kinerja yang disepakati bersama, sekalian dengan mekanisme evaluasi yang jelas,

    reguler dan pemberian “rewards and punishment”. Sehingga Sekretaris Daerah yang terpilih benar-benar mengetahui dengan jelas mengapa ia diperkerjakan, untuk tujuan apa dan untuk berapa lamadan lain-lain sebagainya. Iapun tahu kapan, mengapa ia diberhentikan dan siapa yang dapatmemberhentikanya. Jabatan Sekretaris Daerah adalah jabatan yang terbatas periodenya, ia tidakhanya asal “ber - ABS” dengan Kepala Daerah, tetapi harus mampu memenuhi standar kinerja yangmesti ia penuhi, termasuk yang telah disepakati bersama DPRD. Inilah juga mungkin yang menjadipertimbangan Pemerintah Pusat untuk ikut mengambil bagian dalam manajemen Sekretaris Daerah.

    Selain bisa direkrut dari birokrasi, jabatan ini bahkan terbuka untuk pihak lain dari swasta maupun LSM.Sehingga pejabat yang menduduki jabatan ini benar-benar kapabel dan professional dan memposisikandiri sebagai penjual (pelayanan/servis, barang dan jasa) kepada Kepala Daerah sebagai pembeli yang

    membeli sesuai dengan aspirasi rakyat. Dengan insentif yang cukup besar tidaklah mengherankankalau banyak jabatan Sekretaris Daerah di Amerika, sebagai contoh, bisa berasal dari manajer-manajerhandal dari perusahaan sekelas Coca cola.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    8/20

      8

    6.  Indikator KinerjaPenggunaan indikator kinerja telah menjadi bagian yang sangat penting dalam regim akuntabilitas saatini. Bukan saja dinegara-negara barat tetapi juga negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singaporedan Filipina. Indikator kinerja adalah suatu indikator yang dapat mengukur suatu aktifitas (contohpersentase anak usia sekolah yang terdaftar). Indikator kinerja mempermudah monitoring kinerjapemerintah diberbagai bidang aktifitas. Sementara itu standards kinerja adalah level kinerja yang

    diharapkan (contoh: 90 % anak usia 7 tahun terdaftar di sekolah). Pemerintah dan masyarakat bisabersama-sama menetapkan standard kinerja untuk pelayanan publik sehingga dapat diketahui dandiantisipasi level kinerja pemerintah. Penggunaan standar kinerja sering berasosiasi dengandesentralisasi dalam organisasi dan upaya pemberdayaan manejers untuk mengorganisasikan staf,sumber daya dan proses kerja mereka secara optimal untuk mencapai tujuan-tujuaan mereka.

    Indikator kinerja dan standar kinerja masih digunakan secara terbatas di Indonesia, tetapi tentu saja halini berubah seiring dengan implementasi Standard Minimum Penyediaan Pelayanan Publik (SMP3).Logika dibalik implementasi SMP3 adalah dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitaspelayanan publik dalam era transisi menuju otonomi daerah. Sebagai program pemerintah pusat, halyang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan tujuan implementasi SMP3 adalah bahwa

    penetapan SMP3 harus melibatkan konsultasi dan partisipasi yang luas dengan pemerintah daerah danmasyarakat lokal. Demikian pula dengan penetapan reward and punishment principle  yang harusmemperhatikan banyak aspek seperti alasan kinerja yang rendah, alokasi anggaran, impak daripemberian suatu hukuman dan strategi perbaikan kualitas.

    Untuk jangka pendek dan panjang penggunaan Client atau Citizen Charters dapat merupakan strategiyang tepat untuk mendorong perbaikan akuntabilitas unit-unit pemerintah daerah. Di Malaysia, sebagaicontoh, setiap unit pemerintah daerah memproduksi Client‟s Charter (Rahman 1995). Client‟s Charteradalah suatu komitment tertulis yang dihubungkan dengan upaya menghasilkan output suatu organisasikepada clientsnya. Client‟s Charter adalah suatu jaminan bahwa pelayanan suatu unit pemerintah akanmenaati kualitas standard yang dideklarasikan yang merupakan perwujudan dari upaya memenuhi

    persyaratan dan harapan yang ditetapkan oleh konsumen. Jika suatu unit pemerintah gagalmenghasilkan output sesuai dengan yang telah dideklarasikan dalam charter, publik bisa menggunakanhal ini sebagai dasar untuk mengajukan pengeluhan ketidaktaatan. Sekitar 50 persent staf merasakanpeningkatkan akuntabilitas dan kualitas pelayanan sebagai akibat dari implementasi Client‟s Charter.

    Rekomendasi tentang Indikator Kinerja1.  Pemerintah Provinsi perlu secara hati-hati mereview Standar Minimum Penyediaan Pelayanan

    (SMPP) guna menentukan apakah hal itu mungkin untuk diimplementasikan, guna menentukanbentuk bantuan apa yang diperlukan dari pemerintah pusat, guna memutuskan akan manfaatnyadalam mempromosikan pelayanan publik yang baik, dan untuk merekomendasikan alternativetindakan yang lebih cocok untuk daerah tersebut (Jadwal: Jangka Pendek).

    2. 

    Pemerintah Provinsi perlu melakukan publikasi, komparasi dan evaluasi secara teratur terhadapkinerja Pemerintah Kabupaten (Jadwal: Jangka Pendek).

    3.  Pemerintah Provinsi perlu mencari input, saran dan pelatihan, merancang danmengimplementasikan indicator kinerja, standar kinerja dan charter warga/clients dalam rangkamemperkenalkan versi mereka sendiri dalam suatu framework perbaikan kualitas (Jadwal: JangkaMenengah-Panjang).

    4.  Pemerintah Provinsi harus memilih dan memanfaatkan unit-unit pilot project dalam rangkapengenalan standar kinerja. Pelajaran yang diperoleh dari pilot project akan menjadi measukanbagi penggunaan indicator dan standar kinerja nantinya (Jadwal: Jangka Menengah).

    7.  Transparansi

    Undang-Undang 28/1999 pasal 4 berkenaan dengan “transparansi” dan menye rtakan hak masyarakatuntuk memperoleh informasi tentang governance. Konsep transparansi menyangkut keterbukaan, baikitu dalam proses maupun dokumen, yang jarang bahkan tidak mungkin dilakukan pada regim politik

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    9/20

      9

    yang lalu. Pemerintahan yang transparan menjamin kesempatan yang luas untuk publik untukmengetahui akan kegiatan mereka-mereka yang mengambil keputusan, keputusan yang diambil danalas an dibalik pengambilan keputusan tersebut. Transparansi adalah bukan suatu proses, tetapi lebihsebagai suatu syarat proses pembukaan terhadap publik. Peranannya adalah dalam mempromosikanmanajemen yang baik dan dalam mengurangi kesempatan untuk KKN.

    Dalam UU 22/1999 disyaratkan bahwa pertemuan DPRD, sebagai contoh, haruslah terbuka untukumum. DPRD dapat melakukan pengecualian terhadap aturan ini melalui suatu Kode Etik atau atasdasar persetujuan dengan ketua DPRD. Dalam prakteknya selama ini, kebanyakan DPRD membukadiri dan rapat-rapatnya kepada umum. Laporan tentang pertemuan DPRD dipresentasikan di mediamassa, dan opini tentang issu yang diperdebatkan dalam pertemuan dipublikasikan. Di beberapadaerah, publik diundang untuk bias menghadiri pertemuan komite-komite. Pada kesempatan lain,anggota DPRD bertemu secara khusus dengan publik untuk mendengar dan mendiskusikan keluhandan issu yang menjadi kekuatiran publik. Hal ini menunjukkan bahwa DPRD telah berupaya untukmelaksanakan kewajiban transparansi dengan serius.

    Namun demikian, ada bebereapa area dalam pengambilan keputusan yang memerlukan perhatian

    serius dan lebih dalam hal transparansi. Proses tender dalam menentukan pemenang/pelaksanakontrak pemerintah merupakan salah satu kekuatiran utama. Selama regim yang lama, proses indilakukan secara diam-diam dan tersembunyi dan penuh dengan praktek KKN. Dalam era reformasi ini,masih dijumpai banyak kasus dimana DPRD ikut „bermain‟ dalam menentukan pemenang suatu tender.Untuk itu, dalam rangka mereview proses tender, anggota DPRD diwajibkan untuk memberikan daftarkekayaan dan mendeklarasikan kepentingan komersial mereka yang dapat diakses oleh publik.Pengaturan akan konflik kepentingan juga dapat diperkenalkan baik itu oleh pemerintah pusat maupunpemerintah provinsi untuk secara jelas dan rinci menguraikan tindakan-tindakan anggota DPRD yangbertentangan dengan kepentingan publik dan merupakan suatu pelanggaran terhadap aturan hukum.

    Transparansi dalam aktifitas eksekutif juga merupakan suatu ketenatuan yang digariskan dalam UU

    tersebut. Hal ini dapat terlihat sebagian melalui pemberian laporan akuntabilitas Kepala Daerah kepadaDPRD. Namun demikian, juga dimintakan agar tindakan dari badan/dinas/kantor/unit eksekutif jugamenjadi lebih terbuka kepada publik. Orientasi unit-unit eksekutif agar lebih berorientasi kepada publikmelalui suatu budaya pelayanan publik.

    Rekomendasi tentang peran ganda DPRD1.  DPRD harus mempublikasikan jadwal pertemuan/sidang yang terbuka untuk publik dan agenda

    dari sidang-sidang tersebut. Ite-item ini haruslah tersedia di tempat-tempat tertentu yang dapatdijangkau oleh publik (Jadwal: Jangka Pendek)

    2.  Hasil pertemuan yang terbuka haruslah dipublikasikan di tempat-tempat yang dapat dijangkau

    publik (Jadwal: Jangka Menengah)3.

      Keputusan DPRD haruslah juga dipublikasikan di tempat-tempat yang dapat dijangkau publik(Jadwal: Jangka Pendek)

    4.  Proses tender untuk kontrak-kontrak pemerintah direview untuk memaksimalkan transparansidengan tujuan untuk mengurangi peluang KKN dan mark-up (Jadwal: Jangka Menengah)

    5.  Eksekutif, berkonsultasi DPRD, masyarakat madani dan rakyat, memperkenalkan proses-proses

    kerja yang dicirikan oleh transparansi yang lebih baik. Hal ini haruslah merupakan proses reviewunit-unit pemerintah daerah yang teratur (Jadwal: Jangka Pendek)

    8.  PartisipasiPartisipasi publik adalah prinsip umum governance dalam regim politik di Indonesia. Ide ini juga

    mendapat perhatian dalam UU 22/1999. namun demikian yang kemudian menjadi pertanyaan adalahapa yang merupakan partisipasi komunitas dalam governance? Partisipasi rakyat umumnya dikenalmelalui pemilihan umum. Ada banyak cara dimana publik dapat berpartisipasi pada governance level

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    10/20

      10

    local seperti yang telah dipraktekan oleh banyak negara. Dan salah satu argument yang melandasipertimbangan implementasi desentralisasi adalah untuk memungkinkan publik berpartisipasi secaralebih luas dalam pengambilan keputusan dalam issues yang langsung mempengaruhi kehidupanmereka.

    Pendirian LSM yang berbasis local adalah merupakan salah satu contoh. Organisasi-organisasi formal

    ini mungkin dapat memfokuskan diri pada salah satu issu khusus, seperti lingkungan hidup dan korupsi.Bahkan untuk cakupan yang lebih luas seperti promosi good governance. LSM cukup aktif dalamadvokasi dan penguatan kelembagaan di desa-desa. LSM menerbitkan brosur-brosur yangmenginformasikan kepada publik akan aktifitas pemerintah, mengkritisi pemerintah dan menyediakandata survey tentang sikap publik terhadap pelayanan pemerintah yang mereka rasakan dan terima.

    Walaupun peranan yang semakin meningkat, tidak ada aturan formal yang mengatur tentang hal inidalam UU 22/1999. DPRD, oleh karena itu, mungkin perlu mengatur keterlibatan LSM secara wajibdalam berbagai proses pemerintahan. Di Filipina, sebagai contoh, the Local Government Code of 1991mewajibkan pendirian suatu badan (board) yang merumuskan pembangunan dan program investasi,dan mengkoordinasikan dan mengevaluasikan implementasi rencana-rencana tersebut. Perwakilan dari

    LSM harus menduduki paling kurang 25% keanggotaan badan itu. Boards lain seperti DewanKesehatan daerah, Dewan Sekolah, Dewan Pendidikan Daerah, dll, diwajibkan memasukan jumlahminimum anggotanya dari LSM sebanyak 25%. Penulis tidak advokasi adopsi model ini, namundemikian DPRD haruslah mempertimbangkan keterlibatan LSM secara formal dalam badan/dewansemacam itu. Keterlibatan LSM dapat merupakan cerminan partisipasi civil society (masyarakatmadani) dalam badan-badan penting pengambil keputusan local dan oleh karena itu memperluas basispengambilan keputusan local.

    Nampaknya ada semacam ketertarikan yang serius di pemerintah daerah akan perencanaan partisipatiftetapi mungkin perlu pemahaman yang lebih dalam mengembangkannya lebih lanjut. Partisipasi dapatmengambil berbagai macam bentuk dengan derajat yang berbeda pula (Lihat Appendix 4).

    Metode lain partisipasi adalah melalui suatu “Prosedur Pengeluhan” yang dapat mengambil bentukseperti Kotak Pengaduan, PO BOX, dan pertemuan warga dengan DPRD. Dengan demikian, makademonstrasi dapat tidak semestinya terjadi. Kehadiran prosedur pengeluhan juga mencerminkankeinginan penguasa untuk mendengarkan suara rakyat dan tindak lanjut yang akan diambil. Duamanfaat utamanya adalahy dalam membangunan kemampuan organisasi dalam menelusuri danmenyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat dan adanya transparansi dalam prosedur.

    Partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desamerupakan metode lain. Lebih khusus melalui Musrenbang (PPM/PPK) yang telah dikembangkan olehbeberapa pemerintah daerah. Hal yang mungkin perlu diperhatikan adalah bagaimana mewujudkan

    partisipasi masyarakat yang seimbang antara laki-laki dan wanita, antara orang tua dan orang muda,antara masyarakat kebanyakan dengan para elit.

    Rekomendasi tentang Partisipasi1.  DPRD dan eksekjutif haruslah mendorong partisipasi LSM dalam berbagai aktifitas pemerintah,

    khususnya dalam konsultasi menyangkut pengambilan keputusan, monitoring dan evaluasi aktifitaspemerintah dan dalam publikasi informasi kepada masyarakat (Jadwal: Jangka Menengah)

    2.  DPRD perlu mempertimbangkan keterlibatan LSM dalam badan-badan penasehat dan badan-badan resmi lainnya (Jadwal: Jangka Menengah).

    3.  DPRD dan eksekutif haruslah berkonsultasi dengan publik dan masyarakat madani untukmemastikan partisipasi mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan

    publik. Bentuk partisipasi yang lebih kuat dari sekarang ini perlu ditumbuhkan (Jadwal: JangkaMenengah).

    4.  DPRD dan eksekutif perlu memperkenalkan prosedur pengajuan keluhan atau melakukan review

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    11/20

      11

    atas praktek yang terjadi selama ini. Prosedur baru yang direvisi kemudian haruslah diumumkankepada publik, prosedur mengklarifikasi dan jika perlu menyederhanakan, dan proses tindak lanjutdiidentifikasi dan diumumkan kepada publik (Jadwal: Jangka Menengah).

    5.  DPRD dan eksekutif dapat memanfaatkan pemerintah desa guna memahami aspirasi masyarakatakar rumput, dan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pemerintahan (Jadwal: JangkaMenengah).

    9.  Proses Kerja dan Penilaian KinerjaReformasi proses-proses kerja dapat memberi suatu kontribusi pada peningkatan akuntabilitas pejabat-pejabat eksekutif. Reformasi semacam ini pada umumnya dimaksudkan untuk memperbaiki kualitasdan efisiensi pelayanan publik tetapi akan juga mempengaruhi akuntabilitas. Istilah-istilah seperti“streamlining” dan “reengineering” sering dipakai untuk mengidentifikasi reformasi struktur -strukturorganisasi dan proses-proses kerja. Promosi transparansi yang lebih baik semestinya tujuan yangintegral dari reformasi semacam ini.

    Reformasi di Filipina memperlihatkan dampak yang sangat berarti bagi akuntabilitas. Pada tahun 1994

    Komisi Pelayanan Publik meluncurkan suatu kampanye yang disebut “Citizen Now, Not Latter” (StoTomas 1995). Hal ini kemudian dilihat sebagai suatu mekanisme untuk memperbaiki kinerja pegawaidengan menggunakan tekanan luar untuk memperkuat sistim internal. Kampanye tersebut melibatkanpengadopsian Standar Norma Tingkah Laku dan Kesopanan kepada langganan. Ada model salamyang jelas, baik melalui tatap muka maupun lewat telepon, yang memasukan nilai-nilai dalammenawarkan bantuan maupun pelayanan. Para pegawai diharapkan untuk menjelaskan prosedursecara jelas kepada para langganan. Kampanye tersebut didukung oleh media yang membuat suatusistim pengeluhan melalui telepon menjadi dikenal secara umum. Tindakan yang diambil sebagai reaksiterhadap pengeluhan dilakukan lebih cepat dari sebelumnya dengan penekanan lebih padapencegahan dari pada hukuman.

     Alat lain yang dipakai untuk meningkatkan akuntabilitas PNS adalah melalui “PENILAIAN KINERJA”.Ini adalah salah satu bentuk akuntabilitas manajerial mengingat penilaian kinerja dilakukan dalamorganisasi, paling sering dilakukan oleh atasan. Dalam praktek sekarang ini, telah ada usaha untukmemperluas penilaian kinerja dengan jalan menggabungkan penilaian yang dilakukan oleh atasandengan rekan kerja. Aspek akuntabilitas dari penilaian kinerja terletak pada kenyataan bahwa parapejabat dievaluasi atasa dasar bagaimana mereka telah melaksanakan tanggungjawab yangdipercayakan kepada mereka. Namun demikian banyak pengalaman memperlihatkan bahwa penilaiankinerja umumnya hanya merupakan ritual dimana setiap pegawai memperoleh nilai. Contoh yang palingnyata adalah dalam pengisian DP3 pegawai dimana pengisiannya dilakukan sendiri oleh pejabat yangdinilai dan umumnya nilai yang diperoleh itu direkayasa. Jika tugas-tugas dan tujuan-tujuan individutidak ditetapkan dengan jelas, maka akan ada kesulitan dalam menentukan dasar penilaian. Mungkin

     juga ada semacam budaya yang menghambat dalam menilai pegawai. Mungkin hanya ada sedikitinsentif bagi para pegawai untuk menghasilkan kinerja yang baik. Politik dalam organisasi jugamungkin menginterfensi dalam proses penilaian. Para atasan mungkin tidak memiliki skill yang cukup.Pelatihan mungkin tidak dikaitkan dengan penilaian dan mungkin terjadi kekurangan transparansi dalamsistim yang dapat membawa dampak demotivasi pegawai. Haruskah criteria kinerja dibuatkan untuksetiap pekerjaan? Dan siapa yang akan melakukan itu dan membayar untuk itu? Dalam teoriakuntabilitas diperluas hingga penilaian kinerja, namun banyak praktek di negara-negara menunjukanbahwa hal ini tidak mungkin. Ini tidak berarti kita tidak semestinya mempertimbangkan penilaian kinerjasebagai salah satu elemen dari rejim akuntabilitas tetapi kita harus merancang danmengimplementasikan sistim penilaian kinerja secara hati-hati. Juga hal itu harus dilihat sebagai tujuan

     jangka panjang yang terdiri dari bagian-bagian suatu program reformasi administrative dan perbaikan

    kualitas.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    12/20

      12

    Instrument lain dalam mempromosikan akuntabilitas dalam organisasi publik adalah melalui kode etik.Kode semacam ini mengandung nilai dan praktek tingkah laku yang harus menjadi karakter parapegawai dalam melaksanakan tugas mereka. Kode etik mengandung prinsip-prinsip umum yangmenuntun tingkah laku. Di Iran, sebagai contoh, prinsip-prinsip moral adalah merupakan komponenyang dapat dinilai dalam sistim penilaian kinerja (Darwish & Faturechi 1995). Masalah utama dengankode etik adalah bahwa mereka mengandung nilai-nilai ideal yang mana disetujui oleh semua pihak

    tetapi mungkin tidak semuanya dapat direfleksikan dalam tingkah laku. Hanya denganmempropagandakan suatu kode etik itu tidak berarti bahwa para pegawai akan bertingkah laku sesuaidengan nilai-nilai yang ada didalamnya. Nilai-nilai ini haruslah diwujudkan agar bisa menjadi budayadari organisasi. Masalahnya adalah bagaimana mewujudkannya. Pendidikan adalah salah satu,sementara itu pemberian contoh adalah yang lainnya. Pengawasan external juga bisa bermanfaat.Namun demikian, budaya tidak bisa berubah total dalam satu malam dan di Indonesia, KKK, dantingkah laku yang tidak diinginkan lainnya telah menjadi berakar dalam tingkah laku para pegawai.Merubah budaya ini adalah salah satu element reformasi administrasi pemerintah daerah dan suatukode tingkah laku yang sukarela dapat bermanfaat, karena “pada akhirnya standar yang tinggitergantung pada kepercayaan, filosofi, dan disiplin diri individu” (Nolan 1998).

    10. 

    Kode Akuntabilitas DaerahSebagai framework untuk akuntabilitas, pemerintah daerah perlu menetapkan suatu Kode AkuntabilitasDaerah (KAD). Seperti yang telah ditunjukkan dalam tulisan ini, terdapat beragam instrumenakuntabilitas yang tersedia untuk pemerintah daerah. Beberapa instrumen ditetapkan oleh pemerintahpusat dan sebagian dikembangkan oleh pemerintah daerah yang merefleksikan kebutuhan-kebutuhandan harapan-harapan. KAD memungkinkan kita bisa melihat keseluruhan kewajiban akuntabilitas suatudaerah sebagai suatu matriks hubungan. Beberapa instruments diarahkan kepada publik, DPRD ataupemerintah pusat. KAD bisa dilihat sebagai keseluruhan regim akuntabilitas untuk pemerintah daerah,sebagai suatu kompilasi dari semua instruments akuntabilitas yang beroperasi di suatu daerah. KADharuslah merupakan suatu dokumen publik yang memberi informasi kepada unit-unit pemerintah danmasyarakat akan keseluruhan proses dan hubungan akuntabilitas didaerah dan bagaimana mereka

    harus diimplementasikan.

    Metodelogi pengembangan KAD dapat melibatkan empat tahapan: penetapan tujuan, pemilihaninstruments, designing instruments dan konsultasi. Walaupun langkah-langkah ini kelihatannya jelasdan berpisah, namun dalam prakteknya pembagian ini mungkin agak kabur. Langkah-langkah inimengindikasikan sifat alamiah kegiatan-kegiatan yang harus atau dapat dilakukan dalam menetapkaninstruments akuntablitas dan menginkoperasikan kedalam KAD. Disarankan juga agar penciptaaninstruments akuntabilitas dan KAD harus dilihat sebagai proses pembelajaran dimana peserta dapatmengunjungi kembali langkah-langkah terdahulu dan outputs dalam menghadapi ide-ide baru danperubahan lingkungan dan melakukan modifikasi seperlunya.

    Sebagai langkah awal dalam mendemonstrasikan komitmentnya pada akuntabilitas, DPRD dan/ataulegislatif dapat membuat semacam daftar pengecekan (checklist) akan mekanisme akuntabilitas yangberoperasi didaerah (Lihat Appendiks 1 dan 3). Checklist berisi nama-nama instruments akuntabilitas(laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah) dan arah hubungan akuntabilitas (Eksekutif kepadaDPRD). Sekali didaftarkan, keterangan yang lebih detail tentang bagaimana setiap mekanismeakuntabilitas beroperasi dibuat dan dipublikasikan kepada publik.

    Rekomendasi tentang Kode Akuntabilitas Lokal:1.  Pemerintah Provinsi perlu mempertimbangkan konsep Kode Akuntabilitas Lokal (KAL), merancang

    dan mengimplementasikan KAL yang sesuai dengan kebutuhan local (Jadwal: Jangka Menengah).2.  Pemerintah Provinsi perlu bersama-sama dengan masyarakat membuat daftar intrumen

    akuntabilitas yang selama ini berlaku dan mengumumkannya kepada masyarakat umum (Jadwal:Jangka Pendek).

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    13/20

      13

    11.  Kesimpulan Analisis di atas tidak dimaksudkan untuk merekomendasikan suatu panacea (obat untuk semuapenyakit). Analisis ini hanya memberi masukan akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih.

     Adaptasi melalui pilot project bisa jadi merupakan strategi yang bijaksana. Ada banyak aspek yangperlu dipertimbangkan dalam membangun suatu check and balance accountability relationships antara

    semua stakeholders yang ada. Yang perlu diingat adalah bahwa rakyat semakin sadar akan hak-hakmereka. Seiring dengan perkembangan global dan demokrasi, konsep good governance bukan hanyasebatas wacana, tetapi merupakan suatu kebutuhan rakyat yang perlu direalisasikan.

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    14/20

      14

    A

    N

    W

    A

    E

    G

    G

    R

    A

    A

    R

    Appendix 1. Proses Akuntabilitas di Pemerintah Daerah menurut UU 22/1999 (Adapted from

    IFAC 2000:10)

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    15/20

      15

     Appendix 2. Saluran-Saluran Akuntabilitas Utama di Pemerintah Daerah (Haning 2003)

    Garis AkuntabilitasGaris Komando

    Garis Pelaporan atau Penyediaan Informasi

    DPRD

    BadanPengawas

    Publik/Rakyat

    KepalaDaerah

    SekretarisDaerah

    Unit-Unit Pemerintah Daerah

    PemerintahPusat

    Pegawai Pemerintah Daerah

    PTUN

    DPR BPK

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    16/20

      16

     Appendiks 3. Kemungkinan Checklist Instrument Akuntabilitas Pemerintah Daerah

    Dari DPRD ke Warga dan LSM Dari Eksekutif ke Warga dan LSM Dari Eksekutif ke DPRD Dari DPRD kePemerintah Pusat

    o  Pemilihan anggota DPRDo  Sidang DPRD terbuka untuk publiko  Warga dan LSM terlibat dalam pertemuan

    komisi DPRDo  Kode Kelakuan DPRD (termasuk konflik

    kepentingan)o  Monitoring kinerja anggota DPRD (e.g.

    kehadiran)o  Konsultasi dengan warga, komunitas dan

    LSMo  Rencana Pembangunan Partisipatifo  Prosedure Pengaduano  Pusat Informasi DPRDo  Publikasi informasi (e.g. di media, di tempat

    umum)o  Peraturan menjamin proses tender yang adil

    dan jujur

    o  Prosedur pengaduano  Publikasi informasi tentang kinerja unit-

    unit pemerintah daerah (e.g. di media,surat khabar, tempat umum, kantorpemerintah)

    o  Publikasi standar kinerja unit-unitpemerintah

    Survey kepuasan pelanggano  Penggunaan kelompok konsumen

    sebagai referensio  Rencana Pembangunan Partisipatifo  Tanggapan terhadap permohonan

    informasio  Kode ethik untuk PNSo  Penilaian kinerja PNSo  Monitoring transparansi proses-proses

    kerjao  Charter warga/konsumen

    o  Laporanpertanggungajawabanakhir masa jabatanKepala Daerah

    o  Laporan sektoraleksekutif (e.g. kesehatan,pendidikan)

    Laporan akuntabilitasKepala Daerah lainnya(e.g. tentang proyek-proyek khusus)

    o  Laporan anggaran dankeuangan lainnya

    o  Tanggapan terhadappermohonan informasioleh DPRD

    o  Laporan keuanganpemerintah daerah

    o  RekomendasiuntukimpeachmentKepala Daerah

    o  Kepatuhan

    terhadapperaturanperundang-undanganpemerintah pusat

    Sumber: Haning (2003)

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    17/20

      17

     Appendix 4. A Map of Participation TypesParticipationType

    Objective Key Instruments Limitations

    Consultation to gauge communityreaction to aproposal and invite

    feedbackconsultation is onlyparticipation wheninformation gatheredcan influencesubsequent policychoices

    - key contacts- surveys- interest group

    meetings- public meetings- discussion papers- public hearings

    - delay betweenconsultation and anyoutcomes

    communities feel betrayedif they do not like thedecision

    Partnership involving citizensand interest groupsin aspects ofgovernment

    decision making

    - advisory boards- citizens advisory

    committees- policy community

    forum- public inquires

    - issue of who can seek fora community

    - bias toward establishedinterest groups

    legitimacy issues withthose excluded from theprocess

    Standing allowing third partiesto become involvedin the reviewprocess

    - review courts andtribunal

    - open and third partystanding

    - statuary processesfor social andenvironmentalimpact assessment

    - only relevant for thoseissue which come to court

    - expensive and timeconsuming

    - bias toward well fundedinterests

    - legal approach may beinappropriate for some

    issuesConsumerChoice

    allowing customerpreferences toshape a servicethrough choices ofproducts andproviders

    - surveys, focusgroups

    - purchaser/providersplits

    - competitionbetween suppliers

    - vouchers- case management

    - relevant only for servicedelivery issues

    Control to hand control of anissue to the

    electorate

    - referendum- „community

    parliaments‟ - electronic voting

    - costly, time consumingand often divisive

    are issue votes the bestway to encouragedeliberation?

    Source: Bishop & Davis (2002:27).

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    18/20

      18

     Appendix 5. Tools for Accountability (Modified from Hayllar 1991) 

    EndsTo facilitate/enhance

    MeansTools

    Legitimacy of decision-makers Constitutions, electoral systems forgovernments and decision-making bodies,bureaucratic systems of representation, RoyalPerogative, legislation, letters of appointment,formal delegation od authority, standing orders

    Moral conduct Societal values, concepts of social justice andpublic interest, professional values,training/induction programs

    Responsiveness Public participation and consultation, debates,advisory bodies, public meeting, freedom ofspeech

    Optimal resource utilization Budgets, financial procedures, rules ofvirement, parliamentary public accountcommittees, auditing, public enquires andparticipation, formal planning systems

    Improving efficiency and effectiveness Information systems, value for money audits,setting objectives and stanhdars, program

    guidelines, appraisal, feedback from public

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    19/20

      19

    References:

     AF. 2002. Indonesian Rapid Decentralisation Appraisal (IRDA)  – Second Report, [Online], Available: http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA_Report2_english.PDF [18 May 2003].

    Barberis, P (1998). "The New Public Management and a New Accountability." Public Administration, Vol. 76

    (Autumn), pp. 451-470.

    Bishop, P and Davis, G., 2001, „Developing Consent: Consultation, Participation and Governance‟ in Davisand Weller (eds.) Are You Being Served? State, Citizens and Governance, Allen & Unwin, Australia.

    Brinkerhoff, D. 2001. Taking Account of Accountability: A Conceptual Overview and Strategic Options,[Online], Available:http://www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/ipc/wp-14.pdf [7 June 2003].

    Caiden, G. 1988. “The Problem of Ensuring the Accountability of Public Officials” in J. G. Jabbra and O. P.Dwevidi (eds) Public Service Accountability: A Comparative Perspective, Hartford CT, Kumarian Press, pp. 17-

    38.

    Darwish, M. and Faturechi, M. 1995. “reform to improve public sector performance in Iran” ,  Asian Review ofPublic Administration, Vol. 7, No. 2, pp. 67-69.

    Desautels, L.D. 1997. Public Sector Auditing in Canada and Shifting the Audit Focus to Results, [Online], Available:http://www.oag-bvg.gc.ca/domino/other.nsf/html/ipaa_e.html [5 May 2003].

    Dryzek, J. 2000. Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, and Contestation. Oxford: OxfordUniversity Press

    Gray, R.H., Owen, D., and Adams, C. 1996.  Accounting and Accountability: Changes and Challenges inCorporate Social And Environmental Reporting . New York, Prentice Hall

    IFAC. 2000. Corporate Governance in the Public Sector: A Governing Body Perspective, [Online], Available:http://www.ifac.org/Members/Source_Files/Exposure_Drafts/EXD-PSC-CorporateGovernance.pdf [4 January2003].

    Haning, J. 2003. “Accountability For Performance In Local Government In Indonesia: Sustainability BalancedScorecard Approach for Better Practices of Corporate Governance” Research Project in Policy andManagement , Adelaide, FIIPPM.

    Hayllar, M.R. (1991) ‘  Accountability: Ends, Means and Resources‟ Asian Review of Public Administration, Vol.3, No. 2, pp. 10-22.

    Li, B., 1999, „The Classical Greek Democracy and Its liberalism, Perspectives, Vol. 1, No.1

    Mulgan, R., 2000a. “Comparing Accountability in the Public and Private Sectors”  Australian Journal of Public Administration, Vol. 59, No. 1, pp. 87-97.

    Mulgan, R., 1997. “The Processes of Public Accountability”,  Australian Journal of Public Administration,Vol.56, No.1, pp.25-36.

    Nolan, L. 1998. “Just and honest government”, Public Administration and Development, Vol. 18, pp.447-455.

    Parker L. and Gould G., 1999, “Changing public sector accountability: critiquing new directions”,  Accounting

    http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA_Report2_english.PDFhttp://www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/ipc/wp-14.pdf%20%5b7http://www.oag-bvg.gc.ca/domino/other.nsf/html/ipaa_e.htmlhttp://www.ifac.org/Members/Source_Files/Exposure_Drafts/EXD-PSC-CorporateGovernance.pdfhttp://localhost/var/www/apps/conversion/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Microsoft/Word/Contents.htmhttp://localhost/var/www/apps/conversion/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Microsoft/Word/Contents.htmhttp://localhost/var/www/apps/conversion/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Microsoft/Word/Contents.htmhttp://localhost/var/www/apps/conversion/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Microsoft/Word/Contents.htmhttp://localhost/var/www/apps/conversion/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Documents%20and%20Settings/YYY/Application%20Data/Microsoft/Word/Contents.htmhttp://www.ifac.org/Members/Source_Files/Exposure_Drafts/EXD-PSC-CorporateGovernance.pdfhttp://www.oag-bvg.gc.ca/domino/other.nsf/html/ipaa_e.htmlhttp://www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/ipc/wp-14.pdf%20%5b7http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA_Report2_english.PDF

  • 8/18/2019 Membangun Akuntabilitas Daerah Otonom

    20/20

    Forum, Vol. 23, No. 2, pp. 109-135.

    Rahman, A.B.A. 1995. “Administrative improvement in the Malaysian civil service: implementation of theclient‟s charter”, Asian Review of Public Administration, Vol. 7, No. 2, pp. 53-66.

    Ryan, C., Dunstan, K., and Brown, J. 2002. “The Value of Public Sector Annual Reports and Annual Reporting

     Awards in Organisational Legitimacy” Accounting, Accountability and Performance, Vol. 8, No. 1, pp. 61-76.

    Sinclair, A. 1995. "The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses",  Accounting, Organisations andSociety, Vol. 20, No. 2/3, pp. 219-37.

    Standbury, W.T, & Priest, M. 1998.  An Accountability Framework for Regulatory Agencies and Tribunals,[Online], Available: http://www.inpuma.net/research/papers/salem/standbury.doc [4 April 2003]. 

    Stewart, J. 1984. “The Role of Information in Public Accountability”, in A. Hopwood and C. Tomkins (eds),Issues in Public Sector Accountability, Phillip Allan Publisher Limited, London, pp. 13-34.

    Sto Tomas, P.A. 1995. “Client satisfaction as a performance measure in the Philippine civil service”, Asianreview of Public Administration, Vol. 2, No. 2, pp.100-107.

    Syahruddin, H., and Taifur, W.D. 2002. The Role of Regional Assembly in Achieving the Objective ofDecentralisation, [Online], Available: http://128.8.56.16/DOCS/PEG/andalas_1.pdf[9 May 2003].

    Watt, P., Richards, S., and Skelcher, C., 2002.  Accountability, [Online], Available:http://www.rpani.gov.uk/account.pdf[14 July 2003].

    http://www.inpuma.net/research/papers/salem/standbury.dochttp://128.8.56.16/DOCS/PEG/andalas_1.pdfhttp://128.8.56.16/DOCS/PEG/andalas_1.pdfhttp://www.rpani.gov.uk/account.pdfhttp://www.rpani.gov.uk/account.pdfhttp://128.8.56.16/DOCS/PEG/andalas_1.pdfhttp://www.inpuma.net/research/papers/salem/standbury.doc