mekanisme seluler dalam patogenesis asma dan rinitis_ok

Upload: melchiadi

Post on 30-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis Eddy Surjanto, Juli Purnomo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

    banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

    hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang

    berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan

    atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas

    yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa

    pengobatan.1-3 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah

    terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin

    (Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous

    discharge.3

    Mukosa hidung dan bronkus memiliki banyak kemiripan. Kebanyakan

    pasien asma mempunyai gejala rinitis yang mendukung konsep one airway one

    disease. Akan tetapi tidak semua pasien rinitis menderita asma.4 Penelitian

    epidemiologis menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi bersamaan

    pada setiap negara. Prevalensi penderita asma tanpa rinitis kurang dari 2%

    sedangkan penderita asma dengan rinitis berkisar antara 10%-40%. Pasien

    dengan rinitis persisten lebih banyak menderita asma.5

    Anak dan dewasa yang menderita asma dan rinitis secara bersamaan

    lebih banyak pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan lebih lanjut

    dibanding menderita asma saja. Suatu penelitian menemukan pasien tersebut

    lebih banyak tidak masuk kerja dan menurunkan produktivitasnya tetapi dalam

    penelitian lain tidak menemukan hal tersebut.6

    Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan

    bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma

  • 2

    mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma

    meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin

    (IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam

    terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah yang rendah

    IL-4 dan IL-13 berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan

    hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel

    dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit.

    Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat

    berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah.7

    Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas

    bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat

    setelah musim serbuk sari (pollen season).8 Pasien dengan perennial rhinitis

    memiliki reaktivitas bronkus yang lebih tinggi dibanding pasien seasonal

    rhinintis.9

    HYGIENE HYPOTHESIS Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah

    banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan

    teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan

    lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi.10

    Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi

    didominasi oleh sitokin T helper (Th)2. Setelah lahir pengaruh lingkungan akan

    mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2.

    Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi

    tertentu (M. tuberculosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan

    antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap.

    Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi

    antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu

    kucing.11 Untuk lebih jelasnya faktor yang menentukan keseimbangan sitokin tipe

    Th1 dan Th2 dapat dilihat dalam gambar 1 di bawah.

  • 3

    Gambar 1. Keseimbangan sitokin Th1 dan Th2

    Dikutip dari 14

    Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi

    IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2

    dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh

    plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta

    berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini

    merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 40

    tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi

    antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi

    akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan

    kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12

    Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya

    akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon

    gama (IFN) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih

    jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.

  • 4

    Gambar 2. Pengaturan sintesis IgE limfosit B oleh limfosit T

    Dikutip dari 12

    Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi

    baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah

    seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.

    Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di

    atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan

    aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony

    stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan regulation on activation normal T cell

    expressed and secreted (RANTES).7

    MEKANISME INFLAMASI SALURAN NAPAS Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan

    asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan

    mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma.14

    Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas.

    Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin

    dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke

    sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil.14 Eosinofil sirkulasi masuk

    ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling

  • 5

    (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi,

    adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis.15 Eosinofil berinteraksi dengan selektin

    kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di

    superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu vascular-cell adhesion molecule

    (VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.7,14

    Gambar 3. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi

    Dikutip dari 15

    Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke

    saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES,

    eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory

    protein (MIP)-1 yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan

    mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran

    napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan

    inflamasi saluran napas yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang

    proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

  • 6

    Gambar 4. Proses inflamasi pada saluran napas Dikutip dari 14

    Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang

    dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa

    asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa

    lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum

    diketahui secara pasti.16

    Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting

    baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi

    sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek

    fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast

    terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.

    Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam

    merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat

    dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas

    atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis

    alergi daripada asma.7

  • 7

    Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi

    melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.

    Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan

    melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan

    kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui

    pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran

    napas dan juga pada reseptor otot polos.12

    Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan

    menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada

    saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.

    Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,

    hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi.12 Gejala rinitis

    maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel

    di bawah.

    Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

    MEDIATOR

    TANDA DAN GEJALA

    RINITIS ASMA

    HISTAMIN

    LEUKOTRIENS

    KININS

    PROSTA-

    GLANDINS

    ENDOTELIN

    HIDUNG GATAL, BERSIN,

    RINOREA, OBSTRUKSI

    RINIOREA, OBSTRUKSI

    OBSTRUKSI

    OBSTRUKSI

    HIDUNG GATAL, BERSIN,

    RINOREA

    BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI

    PROTEIN PLASMA, SEKRESI

    MUKUS

    BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI

    PROTEIN PLASMA, SEKRESI

    MUKUS

    BRONKOKONSTRIKSI, BATUK

    BRONKOKONSTRIKSI (PROSTA-

    GLANDIN E2, PROSTAGLANDIN

    D2), ANTI BRONKOKONSTRIKTOR

    (PROSTAGLANDIN E2), BATUK

    (PROSTAGLANDIN F2)

    BRONKOKONSTIKSI

    Dikutip dari 12

    Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen

    disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons

    tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi.7 Reaksi fase lambat diawali

  • 8

    dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4,

    selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5

    dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang

    teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase dan

    metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1, eotaksin), mediator lipid dan

    sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus.17

    Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.

    Gambar 5. Mekanisme inflamasi tipe cepat dan lambat

    Dikutip dari 17

    Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan

    kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai

    peran dalam patogenesis asma fase lambat.18 Untuk lebih jelasnya peran dari

    masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6.

  • 9

    Gambar 6. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

    Dikutip dari 18

    Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada

    saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian

    respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan

    oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan

    peningkatan reaktifitas saluran napas.19 Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan

    asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast,

    limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan

    jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinofil.20

    Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator

    yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak

    cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan

    rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau

    meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh

    darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting

    dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl

    leukotrien pada receptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna

    pada penderita rinitis dan asma.7

    Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih

    belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan

  • 10

    berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan

    proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian

    utama saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah

    akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui

    matriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi

    leukotrien.7

    Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan

    refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti

    apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau

    anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi

    bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari

    perbedaan respons end organ.21 Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,

    mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi

    mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein

    toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic

    protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan

    syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator

    lipid.22 Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan

    angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sntesis

    protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL-

    11, IL-13, IL-17, TGF-, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan

    diferensiasi dan migrasi fibroblas.22

    Transforming growth factor (TGF)- dan fibroblast growth factor (FGF)-2

    mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil

    menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel

    diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-. Aktivasi sel epitel,

    sntesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil

    yakni TGF-, IL-4, IL-13 dan TGF-..22 Pengaruh eosinofil terhadap remodeling

    jalan napas dapat dilihat pada gambar 7.

  • 11

    Gambar 7. Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas

    Dikutip dari 22

    Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru

    adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.

    Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin

    tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat

    waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada

    saluran napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen.7

    Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal

    epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih

    sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan

    zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan

    sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi

    pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih

    besar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama.7

    Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos

    saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses

    autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat

    perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat

    menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang

    bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi.7

  • 12

    Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan

    iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul

    efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada

    hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat

    persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan

    mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan

    menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis

    alergi dan asma.7

    SITOKIN PADA ASMA Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons

    terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator

    pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan

    tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel

    (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh

    (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk

    sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor

    atau produksi sitokin (antagonisme).15

    Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering

    pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan

    berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).

    Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyata

    karena ada kompensasai sitokin lain.15 Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada

    gambar 8.

  • 13

    Gambar 8. Sifat sifat sitokin

    Dikutip dari 15

    Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.

    Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor

    sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan

    dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap

    kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran

    yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran.15

    Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth

    factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen

    jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.13

    Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai : 13

    1. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,

    2. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor- (TNF-) dan IL-1,

    3. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,

    4. Growth factor seperti transforming growth factor dan epidermal growth

    factor.

  • 14

    Berikut ini akan dibahas peran dari masing-masing sitokin tersebut di atas.

    1. Sitokin Th2

    Di antara sitokin yang dihasilkan oleh Th2, IL-4 dan IL-5 mempunyai

    peranan yang paling penting.13

    Interleukin-4

    Interleukin-4 merupakan sitokin utama dalam patogenesis respons alergi.

    Hal tersebut berhubungan dengan sekresi IgE oleh limfosit B. Respons imun

    yang dimediasi oleh IgE ditingkatkan oleh IL-4 melalui kemampuannya

    memperbaiki reseptor IgE di permukaan sel. Reseptor tersebut antara lain

    reseptor IgE yang dengan afinitas rendah (FcRI, CD23) pada limfosit B dan sel

    mononuklear, serta reseptor IgE dengan afinitas tinggi terhadap sel mast dan

    basofil. Aktivasi sel mast tergantung IgE yang dirangsang oleh IL-4 ini

    mempunyai peran yang penting dalam perkembangan reaksi alergi tipe cepat.

    Mekanisme lain dimana IL-4 menyebabkan obstruksi saluran napas adalah

    melalui induksi gen musin dan hipersekresi mukus. Interleukin-4 meningkatkan

    ekspresi eotaksin dan sitokin inflamasi yang lain dari fibroblas yang akan

    menyebabkan inflamasi dan airway remodelling.23

    Aktivitas IL-4 yang penting dalam merangsang inflamasi pada pasien

    asma adalah melalui rangsangan vascular cell adhesin molecule (VCAM)-1

    pada endotel vaskuler.24 Melalui interaksi VCAM-1, IL-4 secara langsung

    menyebabkan migrasi limfosit T, monosit, basofil dan eosinofil ke daerah

    inflamasi. Interleukin-4 juga menghambat apoptosis eosinofil dan menyebabkan

    inflamasi eosinofilik dengan merangsang kemotaksis dan aktivasi eosinofil

    melalui peningkatan ekspresi eotaksin.25

    Aktivitas biologis IL-4 yang penting dalam perkembangan inflamasi alergi

    adalah kemampuannya mengendalikan diferensiasi sel limfosit T helper tipe Th0

    menjadi Th2. Sel Th2 ini bisa mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 tetapi tidak

    bisa mensekresikan IFN-.26

  • 15

    Interleukin -5

    Peran utama IL-5 adalah dalam hal maturasi eosinofil di sumsum tulang

    dan pelepasannya ke darah. Interleukin-5 pada manusia bekerja hanya pada

    eosinofil dan basofil yang akan menyebabkan maturasi, pertumbuhan, aktivasi

    dan kemampuan hidupnya.13 Pasien asma atopi mempunyai peningkatan

    ekspresi sitokin tipe Th2 (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF) pada cairan

    bronchoalveolar lavage (BAL) maupun biopsi bronkus dibanding dengan orang

    normal, tetapi tidak ada perbedaan dalam ekspresi sitokin Th1. Pasien asma

    atopi berhubungan dengan aktivitas IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.28 Gen mRNA

    IL-5 juga ditemukan pada eosinofil dan sel mast jaringan yang teraktivasi pada

    pasien dermatititis alergi, rinitis alergi dan asma. Hal ini meningkatkan dugaan

    bahwa IL-5 terdapat pada pasien atopi.13

    Interleukin-5 merupakan sitokin utama yang mengaktifkan eosinofil pada

    respons tipe lambat setelah pajanan antigen. Interleukin-5 merupakan sitokin

    penting dalam recruitment dan survival eosinofil. Sebaliknya IL-5 tidak penting

    dalam respons inflamasi tipe cepat pada pasien asma. Interleukin-5 tidak

    didapatkan di cairan BAL pada pasien asma ringan segera setelah terpajan

    alergen. Interleukin-5 juga berperan penting dalam recruitment eosinofil dari

    darah ke jaringan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian lokal recombinant human

    IL-5 di hidung pada pasien rinitis alergi merangsang akumulasi eosinofil dalam

    mukosa hidung. Interleukin-5 juga merangsang aktivasi eosinofil yang berada di

    jaringan yang mengalami inflamasi.28

    Interleukin-13

    Kadar IL-13 juga meningkat pada pasien asma dan mempunyai aktivitas

    biologis yang sangat mirip dengan IL-4. Hal ini bisa dilihat dari struktur

    reseptornya. Terdapat bukti bahwa kloning DNA terhadap IL-13 yang

    memperlihatkan bahwa reseptor IL-4 rantai merupakan komponen reseptor IL-

    13. Pemberian antagonis reseptor IL-4 dapat menghambat reseptor IL-4 maupun

    IL-13.29 Peran IL-13 terhadap asma diantaranya adalah :

  • 16

    1. Fungsinya overlap dengan IL-4.

    2. Merangsang sel B untuk mensintesis imunoglobulin E.

    3. Mengatur ekspresi FcRII (reseptor imunoglobulin E dengan afinitas

    rendah).

    4. Mengatur dalam penurunan produksi sitokin proinflamasi (TNF- dan IL-

    1), kemokin (RANTES) dan IL-12.

    5. Mengatur peningkatan ekspresi VCAM-1 tapi bukan ICAM-1.

    6. Meningkatkan survival eosinofil.

    7. Kemotaksis dan aktifasi fibroblas.

    8. Merangsang produksi mukus.

    Pemberian antibodi anti IL-4 selama sensitisasi menunjukkan efek inhibisi

    dalam perkembangan Th2. Hal ini menunjukkan IL-4 penting dalam repons

    antigen tipe cepat. Interleukin-4 jika diberikan pada hewan yang telah mengalami

    sensitisasi kurang berpengaruh dalam menurunkan produksi sitokin Th2, refluks

    eosinofil dan hiperresponsivitas bronkus. Sebaliknya IL-13 lebih berperan

    daripada IL-4 setelah pajanan antigen sekunder 13

    Interleukin-9

    Interleukin-9 dihasilkan oleh Th2 dan eosinofil. Interleukin-9 merangsang

    proliferasi sel T yang telah teraktivasi, meningkatkan produksi IgE dari sel B,

    merangsang proliferasi dan diferensiasi sel mast dan merangsang ekspresi

    kemokin CC di sel epitel paru. Interleukin-9 berperan dalam hiperplasia sel

    goblet dan perkembangan sel mast.30 Pengaruh IL-9 terhadap asma adalah

    sebagai berikut :30

    1. Merangsang proliferasi sel T yang teraktivasi.

    2. Meningkatkan produksi imunoglobulin E

    3. Mengatur rantai pada reseptor FcRII

    4. Meningkatkan ekspresi IL-5, deferensiasi dan survival eosinofil

    5. Merangsang proliferasi dan deferensiasi sel mast

    6. Merangsang ekspresi kemokin CC pada epitel paru.

  • 17

    2. Sitokin proinflamasi

    Sitokin lain yang berperan dalam patogenesis asma adalah sitokin

    proinflamasi yaitu TNF- dan IL-1. Pengaruh TNF- diantaranya recruitment

    leukosit melalui pengaturan molekul adhesi pada sel endotel vaskuler dan

    merangsang sintesis sitokin dan kemokin. Sitokin TNF- juga bisa merangsang

    sel mesenkim seperti fibroblas atau sel otot polos. Hal ini akan menyebabkan

    airway remodelling. Inhalasi TNF- pada orang sehat menyebabkan peningkatan

    hiperresponsivitas saluran napas dan jumlah neutrofil sputum.31`

    Bukti menunjukkan bahwa TNF- merupakan elemen penting dalam

    menentukan derajat keparahan asma. Sampel sputum dan biopsi dari pasien

    asma berat menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil. Salah satu perangsang

    utama dalam recruitmen neutrofil adalah pajanan endotoksin. Keparahan gejala

    asma berhubungan dengan endotoksin dalam debu rumah dibanding alergen.

    Penelitian pada hewan menunjukkan efek yang dimediasi endotoksin terjadi

    karena terlepasnya TNF- endogen.32 Serangan asma akut juga dipengaruhi

    oleh jumlah TNF-. Penelitian terhadap cairan BAL pasien asma terpasang

    ventilator karena asma berat terdapat peningkatan kadar neutrofil dan sitokin

    pro-inflamasi seperti TNF-.33

    Sitokin GM-CSF merupakan salah satu colony stimulating factor (CSF)

    yang bekerja dalam mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan aktivasi sel

    hematopoetik termasuk sel inflamasi seperti eosinofil dan neutrofil. Sitokin GM-

    CSF dihasilkan oleh beberapa sel saluran napas yaitu makrofag, eosinofil, sel T,

    fibroblas, sel epitel, sel endotel dan sel otot polos saluran napas. Sitokin tersebut

    juga bisa memperlama daya tahan hidup sel eosinofil. Sitokin GM-CSF dapat

    merangsang pelepasan anion superoksid dan cys-LTs dari eosinofil. Sitokin GM-

    CSF dapat merangsang sintesis dan pelepasan beberapa sitokin lain termasuk

    IL-1 dan TNF- dari monosit. Ekspresi gen GM-CSF pada epitel tikus dengan

    menggunakan vektor adenovirus menyebabkan akumulasi eosinofil dan

    makrofag yang berhubungan dengan fibrosis yang irreversibel. Hal ini

  • 18

    menunjukkan bahwa GM-CSF mengakibatkan eosinofilia kronis dan airway

    remodeling pada asma.34

    Imunomodulatory cytokine

    Inflamasi saluran napas tidak hanya dirangsang oleh peningkatan

    ekspresi sitokin Th2 tetapi juga oleh penurunan ekspresi sitokin yang

    berlawanan. Immunomodulatory cytokines penting yang terlibat adalah IL-12,

    IL-18, interferon gamma (IFN-) dan IL-10.1

    Interleukin -12, interleuikin-18 dan interferon gamma

    Ekspresi IL-12 menunjukkan penurunan pada biopsi bronkus pasien

    asma. Interleukin-12 dihasilkan oleh antigen-precenting cells (APC) yang

    berperan penting dalam differensiasi Th1/Th2 selama presentasi antigen primer.

    Sel APC utama yang terlibat dalam proses sensitisasi aeroalergen adalah sel

    dendrit di epitel saluran napas. Sel dendrit menunjukkan uptake antigen yang

    tinggi tetapi mempunyai kapasitas yang rendah sebagai APC. Penelitian pada

    binatang menunjukkan bahwa pemberian IL-12 selama proses sensitisasi primer

    akan menekan perkembangan Th2 yang diinduksi alergen. Interleukin-5

    merangsang produksi IFN- dan menurunkan produksi IL-5 akibat pelepasan

    IL-10.35

    Interleukin-12 dan IL-18 mempunyai kerja yang sinergis. Interleukin-18

    disekresi oleh makrofag dan dikatakan sebaagai IFN- releasing factor. Tidak

    adanya IL-18 meningkatkan eosinofilia yang diinduksi oleh antigen. Interleukin-

    12 dan IL-18 bekerja sinergis dalam merangsang IFN- dan menghambat

    sintesis IgE yang tergantung IL-4. Hal tersebut akan menghambat

    hiperresponsivitas saluran napas yang dinduksi alergen.36

    Interleukin-10

    Interleukin-10 merupakan sitokin yang mempunyai potensi untuk

    menurunkan proses inflamasi yang diatur oleh Th1 maupun Th2. Interleukin-10

    juga mempunyai efek yang menguntungkan dalam airway remodelling. Sitokin

  • 19

    IL-10 menurunkan sintesis kolagen tipe I dan proliferasi otot polos vaskuler.37

    Efek IL-10 terhadap respons saluran napas masih kontradiksi.13 Satu penelitian

    menunjukkan bahwa IL-10 menurunkan respons saluran napas,34 tetapi

    penelitian lain mendapatkan bahwa IL-10 menaikkan respons saluran napas

    yang dinduksi alergen meskipun terdapat penurunan recruitment eosinofil.39

    Dari keterangan terebut di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian asma

    tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan sitokin Th2 tapi juga oleh penurunan

    immunomodulatory cytokine.13 Untuk lebih jelasnya peran sitokin dalam

    patogenesis asma dapat dilihat pada gambar 9.

    Gambar 9. Sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma

    Dikutip dari 13

    3. Growth factor

    Asma kronik berhubungan dengan airway remodeling dengan terjadi

    fibrosis (terutama dibawah epitel), penebalan lapisan otot polos saluran napas,

    peningkatan jumlah mucus-secreting cell dan angiogenesis. Perubahan ini

    sebagai akibat growth factor yang disekresikan oleh sel inflamasi dan sel saluran

    napas.35 Growth factor yang berperan yaitu platelet-derived growth factor (PDGF)

    dan trasnsforming growth factor (TGF)-.

    Platelet-derived growth factor

    Platelet-erived growth factor dilepaskan dari beberapa sel di saluran

    napas. Sumber PDGF antara lain platelet, makrofag, sel endotel, fibroblas, sel

  • 20

    epitel saluran napas dan sel otot polos vaskuler. Beberapa rangsangan seperti

    IFN- dari makrofag alveoli, hipoksia, basic fibroblast growth factor (bFGF), stres

    mekanik sel endotel, TNF, IL-1 dan TGF- fibroblas dapat merangsang

    pelepasan PDGF. Jumlah reseptor PDGF diatur oleh TGF- yang dapat

    meningkatkan ekspresi resptor PDGF kulit manusia. Platelet-derived growth

    factor mengaktivasi fibroblas untuk berproliferasi dan mensekresi kolagen pada

    otot saluran napas. Kemampuannya mengekspresikan TGF- dapat

    meningkatkan peran eosinofil dalam remodeling jalan napas.34

    Transforming growth factor-

    Makrofag paru menyimpan banyak TGF- selama proses inflamasi.

    Fibroblas paru merupakan sumber TGF-. Sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil

    dan sel otot polos dpat mensekresikan TGF-. Sitokin TGF- berada di epitel

    saluran napas bawah normal. Sitokin TGF- terdiri dari famili growth-modulating

    cytokine yang dapat berperan penting dalam pembentukan protein matriks.

    Sitokin TGF- dapat merangsang maupun menghalangi proliferasi fibroblas,

    tergantung interaksinya dengan sitokin lain. Sitokin TGF- merangsang

    transkripsi fibronektin yang dapat berfungsi sebagai agen kemotaktik dan growth

    factor pada fibroblas manusia.34

    Sitokin TGF- juga terlibat dalam perbaikan epitel saluran napas yang

    mengalami kerusakan, TGF- merupakan perangsang utama dalam diferensiasi

    sel epitel normal. Sitokin TGF- merupakan sitokin profibrotik utama dalam

    merangsang fibrosis untuk meningkatkan sintesis dan sekresi matriks

    ekstraseluler. Sitokin TGF- juga merupakan kemoatraktan penting beberapa sel

    seperti monosit, fibroblas dan sel mast. 34 Sitokin TGF- mengaktivasi monosit

    untuk memproduksi sitokin lain seperti TNF-, TGF dan PDGF-B dan IL-1.

    Sitokin TGF- mempunyai cara kerja kompleks pada sistem imun. Sitokin

    TGF-1 menghambat sel T dan B. Sitokin TGF- menghambat proliferasi IL-1-

    dependent lympocyte, menghalangi perangsangan resptor IL-2 di sel T yang

    dimediasi IL-2, menghambat proliferasi sel otot polos saluran napas.34

  • 21

    Secara garis besar pengaruh sitokin terhadap patogenesis asma dapat

    dilihat pada keterangan di bawah :13

    Limfokin Pengaruh

    *IL-2 Eosinofilia pada invivo

    Perkembangan dan diferensiasi sel T

    *IL-3 Eosinofilia pada invivo

    Faktor hemopoetik yang penting

    *IL-4 Meningkatkan perkembangan eosinofil

    Menaikkan sel Th2, menurunkan sel Th1

    Menaikkan IgE

    *IL-5 Maturasi eosinofil

    Menurunkan apoptosis eosinofil

    Hiperreaktivitas bronkus meningkat

    *IL-13 Mengativasi eosinofil

    Menurunkan apoptosis eosinofil

    Menaikkan IgE

    *IL-15 Seperti IL-2

    *IL-16 Migrasi eosinofil

    Growth factor dan kemotaksis sel T (CD4)

    Sitokin proinflamasi

    *IL-1 Meningkatkan adesi pada endotel vaskuler, akumulasi eosinofil invivo

    Growth factor untuk sel Th2

    Growth factor sel B, kemoatraktan netrofil, aktivasi sel T dan epitel

    Hiperrektivitas bronkus meningkat

    *TNF- Mengaktivasi epitel, endotel, APC, monosit / makrofag

    Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus

    *IL-6 Growth factor sel T

    Growth factor sel B

    Meningkatkan IgE

  • 22

    *IL-11 Growth factor sel B

    Mengaktivasi fibroblas

    Meningkatkan hipereaktivitas bronkus

    *GM-CSF Mengaktifkan dan menurunkan apoptosis eosinofil

    Merangsang pelepasan leukotrien

    Maturasi dan diferensiasi sel hematopoetik, migrasi endotel

    Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus

    *SCF Meningkatkan VCAM-1 pada eosinofil

    Growth factor sel mast

    Sitokin inhibisi

    *IL-10 Menurunkan survival eosinofil

    Menurunkan sel Th2

    Menurunkan aktivasi makrofag/monosit, menaikkan sel B

    Menaikkan pertumbuhan sel mast

    Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

    *IL-Ira Menurunkan proliferasi sel Th2

    Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

    *IFN- Menurunkan influk eosinofil

    Menurunkan sel Th2

    Mengaktivasi sel endotel, sel epitel, makrofag / monosit alveoli

    Menurunan IgE

    Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

    *IL-18 Melepaskan IFN- dari sel Th1

    Mengaktivasi sel natural killer (NK) dan monosit

    Menurunkan IgE

    Growth factor

    *PDGF Proliferasi fibroblas dan otot polos saluran napas

    Melepaskan kolagen

    *TGF- Menurunkan proliferasi sel T, menghalangi efek IL-2

  • 23

    Proliferasi fibroblas

    Kemoaktraktan monosit, fibroblas dan sel mast

    Menurunkan proliferasi otot polos saluran napas

    4. Kemokin Kemokin merupakan sitokin kemotaksis yang berperan dalam menarik sel

    inflamasi ke jaringan. Recruitment sel inflamasi ke dalam mukosa saluran napas

    memerlukan kerjasama dengan aktivitas imunoregulasi sel Th2, ekspresi molekul

    adhesi pada endotel vaskuler dan aktivitas kemokin. Berdasar jumlah dan letak

    sistein dalam urutan asam amino, kemokin dikategorikan sebagai C, CC, CCX

    atau CX3C. Kemokin CXC atau kemokin- berfungsi menarik neutrofil sehingga

    berhubungan dengan proses inflamasi akut. Saat ini yang menjadi perhatian

    dalam proses inflamasi alergi terfokus pada kemokin CC atau kemokin-.

    Kemokin tersebut mempunyai aktifitas kemotaktik terhadap eosinofil, sel dendrit,

    limfosit T, basofil dan monosit. Beberapa kemokin CC melekat pada reseptor

    CCR3, seperti RANTES, MCP-3, MCP-4 dan ligan spesifik CCR3 yaitu eotaksin.

    Pelepasan eotaksin berhubungan dengan derajat hiperresponsivitas bronkus.

    Blokade reseptor CCR3 menggunakan antibodi monoklonal atau modifikasi

    protein RANTES seperti Met-RANTES atau AOP-RANTES terbukti efektif pada

    percobaan binatang.13

    KESIMPULAN

    1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

    banyak sel dan elemennya.

    2. Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen

    sehingga merangsang inflamasi yang dimediasi IgE.

    3. Asma dan rinitis alergi mendukung konsep one airway one disease.

    4. Terdapat persamaan dan perbedaan mukosa hidung dan bronkus dalam

    patogenesis asma dan rinitis alergi.

  • 24

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman, diagnosis dan penatalaksaan di

    Indonesia. Jakarta : Balai penerbit UI, 2003.

    2. Boushey HA, Corry DB, Fahy JV. Asthma. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA,

    editors. Textbooks of respiratory medicine. 4th, ed. Philadelphia:WB Saunders company :

    2005.p.1169 -201.

    3. Bousquet J, Khaltaev K, Cruz. A, Denburg, Fokkens W, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and

    its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008; 63: 8160.

    4. Demoly P, Bousquet. J. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy

    2008; 63: 2514.

    5. Downie SR, Andersson M, Rimmer J, Leuppi JD, Xuan W, Akerlund A, et al. Association

    between nasal and bronchial symptoms in subjects with persistent allergic rhinitis. Allergy

    2004; 59: 3206.

    6. Price D, Zhang Q, Kocevar VS, Yin DD, Thomas M. Effect of a concomitant diagnosis of

    allergic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy 2005; 35: 282

    7.

    7. Alan R, David M, Jeffrey MD, Klause FR, Stephen PP, Robert MN, et al. Immunobiology of

    Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care

    Med 1999: 160: 177887.

    8. Riccioni G, Della Vecchia R, Castronuovo M, Di Pietro V, Spoltore R, De Benedictis M, et al.

    Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal and perennial rhinitis: is there a link

    for asthma and rhinitis? Int J Immunopathol Pharmacol 2002; 15: 69-74.

    9. Sohn SW, Lee HS, Park HW, Chang YS, Kim YK, Cho SH, et al. Evaluation of cytokine

    mRNA in induced sputum from patients with allergic rhinitis: relationship to airway

    hyperresponsivenes. Allergy 2008; 63: 26873.

    10. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ 1989; 299: 125960.

    11. Alfven T, Braun-Fahrlander C, Brunekreef B, von Mutius E, Riedler J, Scheynius A, et al.

    Allergic diseases and atopic sensitization in children related to farming and anthroposophic

    lifestyle the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: 41421.

    12. Peter H. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ

    1998; 316: 758-61.

    13. Kips J. Cytokines in asthma. Eur Respir J 2001; 18: 2433.

    14. Busse WW, Lemanske RF. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.

    15. Karnen GB. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI, 2006.

    16. Shaver JR, OConnor J, Pollice M, Cho SK, Kane GC, Fish JE. Pulmonary inflammation after

    segmental ragweed challenge in allergic asthmatic and nonasthmatic subjects Am J Respir

    Crit Care Med 1995; 152: 118997.

  • 25

    17. Jay WH. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic Invest

    2000; 105: 1331-2.

    18. Millos F, Snezana C. The role of eosinophil in asthma. Medicine and biology 2001; 8: 6-10.

    19. Iliopoulos O, Proud J F, Adkinson PS, Norman A, Kagey-Sobotka LM, Naclerio RM.

    Relationship between the early, late and rechallenge reaction to nasal challenge with antigen:

    observations on the role of inflammatory mediators and cells. J Allergy Clin Immunol 1999;

    86: 85161.

    20. Kroegel C, Virchow JC, Luttmann W, Walker C, Warner JA. Pulmonary immune cells in

    health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J 1998; 7: 51943.

    21. Shaver JR., Zangrilli JG, Cho SK, Cirelli RA, Pollice M, Hastie J et al. Kinetics of the

    development and recovery of the lung from IgE-mediated inflammation: dissociation of

    pulmonary eosinophilia, lung injury, and eosinophil-active cytokines. Am J Respir Crit Care

    Med 1997; 155: 4428.

    22. Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med

    2003; 167: 199-204.

    23. John M S, Hirst J, Jose PJ, Robichaud A, Berkman N, Witt C, Twort HC et al. Human

    airwaysmooth muscle cells express and release RANTES in response to Thelper 1 cytokines:

    regulation by T helper 2 cytokines and corticosteroids..J Immunol 1999; 158:18417.

    24. John WS, Larry B. Th2 cytokines and asthma Interleukin-4: its role in the pathogenesis of

    asthma, and targeting it for asthma treatment with interleukin-4 receptor antagonists.

    Respiratory Research 2001; 2: 66-70.

    25. Moser R, Fehr J, Bruijnzeel PL. IL-4 controls the selective endothelium driven transmigration

    of eosinophils from allergic individuals. J Immunol 1992 ;149: 1432-8.

    26. Hoontrakoon R, Kailey J, Bratton D. IL-4 and TNF- synergize to enhance eosinophil survival

    J Allergy Clin Immunol 1999;103: 239-41.

    27. Seder RA, Paul WE, Davis MM, Fazekas GB. The presence of interleukin 4 during in vitro

    priming determines the lymphokine-producing potential of CD4+ T cells from T cell receptor

    transgenic mice. J Exp Med 1992; 176:1091-8.

    28. Scott G, Shelby PU, Francis MC, Richard WC, Robert WE. Th2 cytokines and asthma The

    role of interleukin-5 in allergic eosinophilic disease. Respir Res 2001; 2(2): 719.

    29. Humbert M, Durham SR, Kimmitt P, et al. Elevated expression of messenger ribonucleic acid

    encoding IL-13 in the bronchial mucosa of atopic and nonatopic subjects with asthma. J

    Allergy Clin Immunol 1997; 99: 65765.

    30. Yuhong Z, Michael M, Roy CL. Th2 cytokines and asthmaInterleukin-9 as therapeutic target

    for asthma. Respir Res 2001;2:804

  • 26

    31. Amrani Y, Panettieri RA Jr, Frossard N, Bronner C. Activation of the TNF Alpha-P55 receptor

    induces myocyte proliferation and modulates agonist-evoked calcium transients in cultured

    human tracheal smoothmuscle cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1996; 15: 5563.

    32. Jatakanon A, Uasuf C, Maziak W, Lim S, Chung KF, Barnes PJ. Neutrophilic inflammation in

    severe persistent asthma. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160: 15329.

    33. Tillie-Leblond I, Pugin J, Marquette CH. Balance between proinflammatory cytokines and

    their inhibitors in bronchial lavage from patients with status asthmaticus. Am J Respir Crit

    Care Med 1999; 159: 48794.

    34. Peter JB, Fan CK, Clive PP. Inflammatory mediators of asthma: An update. The American

    society for pharmacology and experimental therapeutics 1999; 50: 515-96

    35. Kips JC, Brusselle GJ, Joos GF. Interleukin-12 inhibits antigen-induced airway hyper-

    responsiveness in mice. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: 5359.

    36. Kodama T, Matsuyama T, Kuribayashi K. IL-18 deficiency selectively enhances allergen-

    induced eosinophilia in mice. J Allergy Clin Immunol 2000; 105: 4553.

    37. Koulis A, Robinson DS. The anti-inflammatory effects of interleukin-10 in allergic disease.

    Clin Exp Allergy 2000; 30: 74750.

    38. Tournoy KG, Kips JC, Pauwels RA. Endogenous interleukin-10 suppresses allergen-induced

    airway inflammation and nonspecific airway responsiveness. Clin Exp Allergy 2000; 30: 775

    83.

    39. Scott MR, Justice JP, Bradfield JF, Enright E, Sigounas A, Sur S. IL-10 reduces Th2 cytokine

    production and eosinophilia but augments airwayreactivity in allergic mice. Am J Physiol Lung

    Cell Mol Physiol 2000; 278: 66774.