materi 12b minimalisasi dampak kekeringan.pdf

3
Minimalisasi Dampak Kekeringan di Indonesia Adi Witono 1 Masalah kekeringan menjadi hal rutin yang terjadi di Indonesia. Tetapi penangangan untuk pencegahan dan penanggulangan sangat lamban sehingga menjadi masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan. Bahkan terus berulang dan semakin menyebar ke daerah-daerah yang tadinya tidak berpotensi terjadi kekeringan. Apakah hal ini akan kita biarkan? Tentunya kita sepakat TIDAK. Kita harus mencari solusi dan tidak larut dalam masalah tersebut. Secara sadar kita semua faham bahwa kejadian kekeringan ini akan menimbulkan masalah jika menyakut berbagai aspek kehidupan dan kita tidak mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Potensi Kekeringan di Indonesia Kekeringan yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami intensitas kejadian dan luasan area kekeringan yang terus meningkat. Hasil analisis data observasi terrestrial menunjukkan daerah yang berpotensi mengalami kekeringan umumnya mencakup Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Sulawesi. Daerah yang berpotensi mengalami kekeringan di Indonesia : No Propinsi Kabupaten 1 Banten Cilegon dan Serang 2 Jawa Barat Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Sumedang, Majalengka dan Bandung bagian Timur. 3 Jawa Tengah Cialcap, Brebes, Tegal, Pemalang, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Grobogan, Boyolali, Sragen, Magelang, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri 4 Yogyakarta Kulon Progo, Sleman, Bantul dan Gunung Kidul 5 Jawa Timur Tuban, Lamongan, Gresik, Bojonegoro, Nganjuk, Ponorogo, Madiun, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso 6 Bali Jembrana, Buleleng, Tabanan, Bangli, Karangasem, Badung, Denpasar dan Klungkung 7 NTB Lombok Barat, Lobok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima 8 NTT Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores, Sumba Barat dan Timur, Kupang dan Belu 9 Sulawesi Palu, Maros, Jeneponto, Kolaka, Kendari, Muna dan Buton Beberapa daerah tersebut dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya seperti Kabupaten Karawang dan Subang propinsi Jawa Barat. Hal pokok yang menjadi kunci keberhasilan daerah tersebut adalah telah terbangunnya infrastruktur jaringan irigasi yang relative baik dan pasokan air irigasi dari bendungan (Jatiluhur) relative mencukupi. 1 Staf Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan LAPAN Bandung

Upload: gusman-rosadi

Post on 26-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi 12b Minimalisasi Dampak Kekeringan.pdf

Minimalisasi Dampak Kekeringan di Indonesia Adi Witono1

Masalah kekeringan menjadi hal rutin yang terjadi di Indonesia. Tetapi penangangan untuk pencegahan dan penanggulangan sangat lamban sehingga menjadi masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan. Bahkan terus berulang dan semakin menyebar ke daerah-daerah yang tadinya tidak berpotensi terjadi kekeringan. Apakah hal ini akan kita biarkan? Tentunya kita sepakat TIDAK. Kita harus mencari solusi dan tidak larut dalam masalah tersebut. Secara sadar kita semua faham bahwa kejadian kekeringan ini akan menimbulkan masalah jika menyakut berbagai aspek kehidupan dan kita tidak mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Potensi Kekeringan di Indonesia Kekeringan yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami intensitas kejadian dan luasan area kekeringan yang terus meningkat. Hasil analisis data observasi terrestrial menunjukkan daerah yang berpotensi mengalami kekeringan umumnya mencakup Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Sulawesi. Daerah yang berpotensi mengalami kekeringan di Indonesia : No Propinsi Kabupaten 1 Banten Cilegon dan Serang 2 Jawa Barat Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon,

Kuningan, Sumedang, Majalengka dan Bandung bagian Timur.

3 Jawa Tengah Cialcap, Brebes, Tegal, Pemalang, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Grobogan, Boyolali, Sragen, Magelang, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri

4 Yogyakarta Kulon Progo, Sleman, Bantul dan Gunung Kidul 5 Jawa Timur Tuban, Lamongan, Gresik, Bojonegoro, Nganjuk,

Ponorogo, Madiun, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso

6 Bali Jembrana, Buleleng, Tabanan, Bangli, Karangasem, Badung, Denpasar dan Klungkung

7 NTB Lombok Barat, Lobok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima

8 NTT Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores, Sumba Barat dan Timur, Kupang dan Belu

9 Sulawesi Palu, Maros, Jeneponto, Kolaka, Kendari, Muna dan Buton

Beberapa daerah tersebut dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya seperti Kabupaten Karawang dan Subang propinsi Jawa Barat. Hal pokok yang menjadi kunci keberhasilan daerah tersebut adalah telah terbangunnya infrastruktur jaringan irigasi yang relative baik dan pasokan air irigasi dari bendungan (Jatiluhur) relative mencukupi. 1 Staf Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan LAPAN Bandung

Page 2: Materi 12b Minimalisasi Dampak Kekeringan.pdf

Pola ITCZ di Indonesia Kejadian hujan di equator, kususnya di Indonesia tidak lepas dari posisi Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera. Proses pembentukan awan diequator seperti dapat dilihat pada gambar berikut;

http://uk.encarta.msn.com/media_461550429_781534817_-1_1/Hadley_Cells_and_the_ITCZ.html

Diawali dengan perbedaan antara tekanan udara di equator dengan lintang menengah sehingga membawa uap air hangat dari permukaan yang bertekanan rendah. Hal ini diakibatkan tekanan udara dipermukaan rendah dibandingkan tekanan udara lapisan atmosfer bagian atas yang mendorong terangkatnya uap air yang berpotensi terjadinya hujan. Uap air tersebut membentuk kumpulan awan hujan aktif yang tinggi disekitar katulistiwa. Pembentukan awan ini cenderung sepanjang equator dan terbentuk suatu garis yang biasa disebut ITCZ (intertropical convergence zone). Pergerakan ITCZ sangat dipengaruhi oleh posisi dan peredaran matahari. Secara umum garis ITCZ dapat dilihat pada Gambar berikut:

http://kadarsah.wordpress.com/2007/08/30/itcz/

Pada bulan November-Januari garis ITCZ berada di selatan equator Indonesia sehingga potensi hujan sangat tinggi pada bulan tersebut, tetapi pada bulan Juni-Agustus garis ITCZ berada di sebelah utara garis equator yang menandakan curah hujan tinggi bergeser ke

Page 3: Materi 12b Minimalisasi Dampak Kekeringan.pdf

utara. Pada bulam Maret dan September ITCZ tepat melewati garis equator. Kondisi ini memaksa daerah-daerah di Indonesia yang berada di lintang selatan seperti pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara curah hujan menjadi rendah. Sehingga pada bulan Juni sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan equator kekurangan air yang berakibat rendahnya daya simpan air dalam tanah dan DAS (daerah aliran sungai). Kondisi ini mendorong terjadinya kekeringan. Tetapi kondisi dibagian utara equator terutama pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua potensi hujan relative lebih tinggi dari lintang bagian selatan. Sehingga kita perlu mengoptimalkan ketersedian air diketiga pulau tersebut untuk mendorong dikembangkannya sector pertanian, tentunya dengan sentuhan teknologi yang relevan karena kondisi lahan sangat berbeda dengan keadaan di Jawa. Solusi untuk Meminimalisasi Dampak Kekeringan Ada dua alternatif untuk mempertahankan pasokan kebutuhan pangan di Indonesia dari dampak buruk kekeringan. Pertama dengan mengoptimalkan suplay air berlebih pada musim hujan dengan menampung air hujan dan meningkatkan area resapan air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kedua mengembangkan area pertanian di luar Jawa dengan sentuhan teknologi ramah lingkungan untuk beradaptasi dengan kondisi lahan yang sebagian besar didominasi lahan gambut. Alternatif pertama memang harus dikembangkan di Jawa yang sudah lebih mapan dalam bidang pertanian. Pengembangan teknologi embung dan kanal reservoir sudah terbukti dapat membantu mengatasi kekurangan air pada bulan kemarau. Selain itu untuk daerah aliran sungai perlu penganganan lebih serius karena banyaknya lahan hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan beralih fungsi ke peruntukan yang lain seperti pemukiman. Kondisi tersebut mendorong hujan yang jatuh dialiran sungai tidak tertahan dan langsung mengalir ke system jaringan sungai yang menyebabkan melimpahnya air sungai dan membawa endapan tanah akibat erosi. Tingginya erosi di DAS cenderung menyebabkan pendangkalan sungai. Sedangkan pada musim kemarau pada satu sisi curah hujan rendah ditambah dengan simpanan air tanah sedikit menyebabkan debit aliran sungai sangat kecil dan volume air cenderung rendah. Untuk tindakan yang perlu dilakukan pada aliran sungai yaitu dengan membuat bendungan untuk menyimpan air pada musim hujan. Memang biaya yang diperlukan sangat tinggi, tetapi manfaat yang dirasakan lebih tinggi dan langsung menyentuh kebutuhan pengguna. Alternatif kedua cenderung dikembangkan diluar Jawa yang memang ketersedian air lebih tinggi dan lahan relative lebih luas. Pemikiran yang melatarbelakangi yaitu lahan sawah di Jawa dari tahun ke tahun terus berkurang karena kebutuhan lahan untuk pembagunan terus meningkat. Pemerintah perlu bertindak nyata di luar Jawa terutama Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan mengalokasikan sebagian lahan untuk pertanian. Dengan catatan tidak mengulang kegagalan pembukaan lahan sejuta hektar di Kalimantan. Aksi nyata ini juga dimungkinkan untuk merefungsikan kembali hutan gundul akibat illegal logging dan kebakaran hutan sehingga tidak terbengkalai terlalu lama dan dapat berfungsi untuk mengatasi krisis pangan yang mulai menghantui bangsa Indonesia. Bandung, 9 Juni 2008