masjid pathok negoro plosokuning 1724 2014...
TRANSCRIPT
MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014
(KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Disusun Oleh :
JOHAN EKO PRASETYO
1110022000004
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana, jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Oktober 2016
Johan Eko Prasetyo
MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014 (KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab Dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Johan Eko Prasetyo NIM: 1110022000004
Pembimbing
Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum NIP: 19541010 198803 1 001
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
i
DEDIKASI
Teruntuk Bapak Sumirno, Ibu Marsiti, Dwi Wulandari, dan semua orang yang terlibat dalam
pembuatan Skripsi ini
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan
sayang-Nya, semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita semua, amin. Shalawat
serta salam senantiasa kita persembahkan kepada junjungan alam baginda Rasulullah SAW,
keluarga serta sahabat, semoga kita sebagai ummatnya mendapat pertolongannya kelak, amin.
Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk
skripsi. Dalam rangka itulah penulis menyusun skripsi ini dengan judul :“MASJID PATHOK
NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014 (KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA).
Dalam proses penyusunan skripsi ini, begitu banyak penulis temui rintangan dan
hambatan. Sungguh pun begitu Alhamdulillah atas kerja keras semangat dan dukungan dari
semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu izinkan
penulis untuk menghaturkan ucapan terima kasih serta penghargaan kepada semua pihak yang
telah berpartisipasi dan memberikan dukungan moril dan materil, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala yang berarti.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam dan Sholikatus
Sa’diyah, M. Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Saidun Derani MA, selaku Pembimbing Akademik yang membantu dalam
pengesahan awal dan dorongan awal penelitian skripsi ini
5. Kepada Dosen Pembimbing Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum yang dengan sabar dan
penuh dedikasi tinggi selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan materi skripsi
ini.
6. Kepada Dosen Penguji, Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA dan Ibu Dr. Awalia
Rahma, MA
7. Kepada seluruh Civitas Akademik Fakultas Adab Dan Humaniora dan dosen-dosen
jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam yang memberikan sumbangsih ilmu dan
pengalamannya.
8. Seluruh Staff dan Pegawai Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Kedua Orangtua ku, Bapak Sumirno dan Ibu Marsiti, yang telah membimbing dan
memotivasi serta memberikan dukungan moril maupun materi yang tak terhingga dan
iii
telah mendidik penulis untuk terus menjadi pribadi yang tangguh dan bermanfaat, serta
adikku Dwi Wulandari.
10. Kepada Bapak Kammaludin Purnomo, selaku Ketua Takmir Masjid Pathok Negoro
Plosokuning dan Mbah Baghowi, yang telah membantu penulis selama meneliti di Masjid
Plosokuning.
11. Kepada Mas Reyhan Biadillah S. Hum, yang telah banyak sekali membantu penulis
dalam menyelesaikann skripsi ini.
12. Ketua Umum HMI Cabang Ciputat, Dani Ramdani dan kawan seperjuangan di bidang
PTKP HMI Cabang Ciputat, Alwan Nahrowi Ridwan.
13. Kepada Kawan-kawan “Kosan Sarang Penyamun”. Beng-beng, Kibo, Botles, Ncek, Acin,
Opang, Abong, dan Onye.
14. Kepada kawan-kawan SKI 2010, khususnya Hanafi Wibowo, Endi Aulia Garadian, Dede
Mulyana, Sukron Amin, Firman Faturohman, Ahmad Zaien, Oktariadi, dan M. Rahmat
Hidayat. Pengurus HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Kofah, Pengurus BEM
FAH 2013-2014, Kawan-kawan LK II HMI Cabang Karawang, Kawan-Kawan Cikal-
Cilandak, Kawan-Kawan KMS UIN Jogja ( Mas Cipto, Mas Bashori, Mas Rizal, Mas
Nuruddin, dan Mas Ahmadi), Kawan-kawan KKN Mentari, beserta Kawan-kawan KPU
UIN Jakarta 2014, dan Abang-abangku di SKI, khusunya Bang Dede Maulana dan HMI
Kofah. Mereka semua adalah yang tak hentinya memberikan dukungan, semangat, do’a
dan tawa sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dalam hangatnya ikatan
keluarga. Dan teruntuk “Basement Fakultas Adab dan Humaniora”, tempat dimana
penulis Jumpa Muka, Jumpa Pikiran, dan Jiwa.
Penyusunan skripsi ini, penulis selalu memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Semoga tulisan ini bias memberikan manfaat kepada siapa saja yang menjadikan
ini sebagai bahan bacaan mereka dan dapat menjadikan tulisan ini sebagai referensi.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Penulis
Johan Eko Prasetyo
iv
ABSTRAK
Johan Eko Prasetyo
Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)
Kerajaan Mataram, yang telah mengalami berbagai macam peristiwa disintegrasi dan
perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Maka dengan sendirinya daerah-daerah bekas Mataram beserta desa-desa yang ada di dalamnya,
juga ikut terbagi. Perebutan kekuasaan antar kerajaan juga terjadi di bidang religius dan sosial
yang mana saling berlomba untuk mendapatkan pengaruh. Hal ini pun terjadi saat Perang Jawa
berlangsung ketika Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjadikan daerah-daerah tersebut
yang sebagai basis perlawanan dan mobilisasi rakyat, salah satunya adalah Masjid Pathok
Negoro Plosokuning. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima Masjid Pathok
Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di
tenggara dan Dongkelan di selatan Kraton Yogyakarta, yang dikenal sebagai konsep papat
kalimo pancer.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan pada tahun 1724, adalah salah satu masjid
yang menjadi benteng dan pusat kajian religius bagi rakyat Yogyakarta. Aspek arsitektur
maupun hubungan koordinatif, selalu berhubungan dengan pihak Kraton Yogyakarta. Keunikan-
keunikan yang terdapat di masjid ini tidak dipunyai oleh Masjid-masjid Pathok Negoro lainnya,
terutama dari sisi keaslian arsitektur nya meskipun masih dalam satu jaringan Masjid Pathok
Negoro Yogyakarta. Pada pendirian konstruksi bangunan masjid, memakai kaidah dan prinsip
arsitektur khas Jawa, merujuk pada Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga. Masyarakat
di sekitar masjid juga selalu dikenal dengan nama kaum (santri), dengan penetapan oleh pihak
kraton sebagai sebuah daerah mutihan yang bersifat perdikan pada status tanahnya.
Kata kunci: Arsitektur, Konstruksi, Masjid, Pathok Negoro, Yogyakarta
v
DAFTAR ISI
DEDIKASI ...................................................................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................ ii
ABSTRAK .................................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv
DAFTAR ISTILAH .................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 1
B. Kerangka Tujuan dan Pembatasan Masalah ....................................................................... 6
C. Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 7
D. MetodePenelitian ............................................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................................. 15
F. Sistematika Penulisan ....................................................................................................... 18
BAB II GAMBARAN UMUM ....................................................................................................20
A. Kondisi Geografis ............................................................................................................ 20
B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro
Plosokuning ...................................................................................................................... 22
C. Kondisi Agama ................................................................................................................ 26
D. Kondisi Sosial-Budaya 31
BAB III KONSTRUKSI ARSITEKTUR ................................................................................. 36
A. Tata Peletakan Struktur Masjid ........................................................................................ 36
1. Bagian Dalam 36
Mihrab ............................................................................................................. 37
Ruang Shalat .................................................................................................... 37
Mimbar ............................................................................................................ 37
2. Bagian Luar ........................................................................................................... 38
A. Serambi 38
Serambi Bagian Timur ..................................................................................... 39
Serambi Bagian Utara dan Selatan ................................................................... 39
Pawestren ......................................................................................................... 40
B. Kolam ............................................................................................................... 40
C. Jembatan Penyebrangan ................................................................................... 40
D. Halaman 41
E. Makam ............................................................................................................. 41
B. Komposisi Struktur Masjid .............................................................................................. 42
1. Bagian Dalam 43
vi
A. Mihrab ............................................................................................................ 46
B. Ruang Shalat ................................................................................................... 46
C. Mimbar ........................................................................................................... 48
2. Bagian Luar ........................................................................................................... 49
A. Serambi ........................................................................................................... 49
B. Pawestren ........................................................................................................ 51
C. Kolam .............................................................................................................. 51
D. Jembatan Penyeberangan .................................................................................53
E. Halaman ...........................................................................................................54
F. Makam .............................................................................................................55
C. Teknik Konstruksi Masjid ………………………………... ............................................55
D. Fungsi Bagian-bagian Dalam Struktur Masjid ............................................................... 57
1. Bagian Dalam 58
2. Bagian Luar ........................................................................................................... 58
BAB IV PERWUJUDAN SIMBOLIK MASJID PATHOKNEGORO PLOSOKUNING ..64
A. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta ......................................................................... 64
1. Status Tanah ......................................................................................................... 65
2. Status Administrasi .............................................................................................. 67
B. Makna Simbolik Masjid Pathok Negoro Plosokuning ..................................................... 70
1. Politik ................................................................................................................... 71
2. Budaya ................................................................................................................. 74
C. Masjid Sebagai Simbol Sosio Religius 76
BAB V PENUTUP........................................................................................................................78
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 78
B. Saran-saran 80
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...82
LAMPIRAN………………………………………………………………….…………….……88
vii
DAFTAR ISTILAH
Pawestren : tempat solat untuk kaum perempuan
Soko Guru : tiang penyangga utama, biasanya berjumlah 4 (empat)
Soko Rowo : tiang penyangga tambahan
Palihan Nagari : pembagian negara
Nagaragung : daerah yang ada di sekitar kutagara, dan memuat tanah lungguh
para bangsawan dan pejabat tinggi
Kepengulon : dewan pengurus masalah agama
Perdikan : tanah yang tidak dikenakan pajak, atas titah sultan
Mutihan : daerah atau wilayah khusus untuk pendidikan Islam
Kaum : kaum santri yang belajar dan mengembangkan agama Islam
Papat Kalimo Pancer : kekuasaan sultan di empat penjuru mata angin, dengan kraton
sebagai pusatnya.
Paduraksa : pintu masuk ke sebuah lingkungan khusus seperti: masjid, makam
atau kraton.
Penyengker : pagar pembatas keliling masjid.
Kreweng : genteng tipis yang terbuat dari tanah liat yang dibakar
Tegel : lantai yang terbuat dari batu atau ubin halus atau keramik
Umpak : batu penyangga yang terbuat dari batu granit atau pualam
Gadha Sulur : ujung atap masjid
Joglo Meru : joglo yang menyerupai bentuk gunung
Patih Jawi : wakil raja yang mengurusi keadaan luar kraton
Patih Lebet : wakil raja yang mengurusi rumah tangga kraton
Wedana Jawi : pejabat administrasi setingkat kecamatan, yang mengurusi
administrasi luar rumah tangga kerajaan
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kerajaan Mataram adalah sebuah kerajaan terbesar di pulau Jawa
pada rentang abad ke-17 hingga dekade awal abad ke-18. Setelah wafatnya
Sultan Agung dan Amangkurat I, Kerajaan Mataram kehilangan
kedigdayaannya. Hal ini diperparah dengan banyaknya wilayah Kerajaan
Mataram Islam yang terpecah-pecah dan jatuh ke tangan VOC.
Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo (1676-
1678 M.)1. Kerajaan Mataram Islam selalu dilanda gejolak, misalnya saja
mulai dari pemberontakan Untung Surapati (1680-1710 M.)2 hingga Geger
Pecinan (1740-1743 M.)3. VOC yang menjadi tulang punggung tahta
Mataram, menjadi sasaran permusuhan para bangsawan yang tidak puas
ataupun dari kaum pemberontak saat itu. Sebelum tahun 1746 M., tahta
Kerajaan Mataram di Kartasura (ibukota Mataram) dipegang oleh
Pakubuwono II, namun sikap yang kurang tegas menjadikannya raja yang
terlihat lemah di mata rakyatnya.
Kerajaan Mataram terus mengalami masa disintegrasi dan terjadi
perebutan oleh para bangsawan. Setiap raja yang naik tahta selalu didukung
oleh VOC dengan konsesi yang sangat memberatkan kerajaan, oleh karena
1 Babad Trunojoyo-Suropati, terj. Balai Pustaka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm.
53. 2 H.J. De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII,
terj.Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 105. 3 W.G.J Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743, terj.
Akhmad Santoso (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. 31.
2
itu banyak bangsawan yang angkat senjata melawan keadaan tersebut. Pada
tahun 1746 M, ibukota Mataram dipindah dari Kartasura Surakarta oleh
Pakubuwono II. Selepas wafatnya Pakubuwono II pada tahun 1749 M.,
keadaan di dalam istana Surakarta sudah sedemikian genting, ditandai dengan
polarisasi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan Raden
Mas Said. Perang tersebut berakhir dengan kesepakatan pembagian Mataram
(Palihan Nagari) dalam perjanjian Giyanti 1755 M.4 Konflik yang terjadi
belum berakhir antara Pangeran Mangkubumi yang sekarang bergelar Sultan
Hamengkubuwono I dengan Raden Mas Said dan VOC. Setelah berperang
cukup lama, akhirnya Raden Mas Said diberikan sebuah kerajaan mandiri
oleh VOC dalam perjanjian Salatiga 1757 M, dengan gelar Pangeran Adipati
Mangkunegara.5
Setelah berakhirnya perjanjian itu, wilayah Mataram terbagi tiga
menjadi Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegara. Sementara untuk
wilayah pesisir mulai dari Tegal, Semarang, Surabaya hingga Pasuruan,
menjadi milik dan di bawah pengawasan langsung VOC. Setelah VOC runtuh
dan berganti kekuasaan selingan Inggris dalam Perang Napoleon, Yogyakarta
kemudian dibagi lagi menjadi Kadipaten Pakualam pada perjanjian Tuntang
1811 M.6
Setelah berakhirnya konflik berkepanjangan pada pertengahan abad
ke-18, Yogyakarta terus membenahi dirinya, termasuk mengadakan
4 Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1775, Perang Perebutan Mahkota III dan
Terbaginya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta, (Tangerang: CS Book,
2006), hlm. 138-139. 5 M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah
Pembagian Jawa, terj. E. Setyawati Alkathab, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 87. 6 Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden
Saleh, terj. Rahmat Widada, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 21.
3
pembangunan dan pengembangan wilayah, salah satunya adalah pendirian
Masjid Pathok Negoro, sebagian besar atas prakarsa Sultan
Hamengkubuwono I. Itulah keunikan Kesultanan Yogyakarta yang tidak
dimiliki oleh kerajaan saudaranya yang lain. Masjid Pathok Negoro juga
sebagai suatu tanda batas bagi konsep sistem kewilayahan dan kekuasaan
Sultan yang disebut Negaragung7 yang diri Sultan sendiri yang memerintah
wilayah tersebut.8
Keadaan yang damai dan makmur yang dialami oleh rakyat
Yogyakarta sejak tahun 1755 M berlanjut hingga berlangsungnya Perang
Jawa pada 1825-1830 M. Masjid dan pondok pesantren merupakan basis
massa Islam yang kuat di Jawa, yang menjadi pendukung perjuangan
Pangeran Diponegoro, meskipun Belanda berusaha merebut dan
menghancurkannya dengan membuat jaringan jalan dan benteng dalam
strategi fort stelsel.9 Belanda tidak dapat melakukannya, satu-satunya yang
bisa dilakukan adalah, memisahkan dan menghentikan bantuan dari pihak
kraton (Sultan), yang sejak berakhirnya Perang Jawa sudah acuh tak acuh lagi
hingga masa Revolusi Kemerdekaan.10
Pada saat kekuasaan Sultan di bidang keagamaan telah dipisahkan
dari kewenangannya oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka Sultan hanya
menjadi simbol saja. Sultan tidak dapat lagi bebas membina aspek keagamaan
7 Negara Agung: wilayah di bawah pengawasan langsung sultan /raja. 8 Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa, Relasi
Pusat-Daerah Pada Periode Akhir Mataram (1726-1745), (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm.
7. 9 Saleh As'ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-
1830, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 125 dan 148. 10 Muslimin, ‘’Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan
Kolonial (1910-1942)’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 42. (tidak diterbitkan)
4
rakyatnya. Salah satu cara agar Sultan dan pihak keagamaan (kepengulon)
terus berkontribusi dengan memberi dukungan secara langsung, berupa
pemberian status administratif dan penguatan kerohanian keluarganya dengan
mengirim belajar ke pondok pesantren yang menjadi satu dengan masjid,
salah satunya ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning.11
Masjid dan pondok pesantren sebagai pusat kajian agama Islam
adalah daerah bebas pajak sejak zaman Sultan Agung hingga Perjanjian
Giyanti. Meskipun telah terjadi peristiwa pembantaian ulama dan keluarganya
pada masa Amangkurat I. Daerah-daerah tersebut disebut daerah mutihan
dengan sifat tanah perdikan yang bebas pajak, warga di sekitar wilayah itu
disebut kaum, meskipun terdapat ikatan kebangsawanan dan protokoler raja,
namun tidak terikat oleh aturan-aturan kraton yang sangat berbeda dengan
tradisi kaum santri. Masjid juga dibangun dengan konstruksi yang megah,
dengan kolam di sekelilingnya ditambah dengan taman, mengikuti konsep-
konsep konstruksi Masjid Demak.12
Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima buah masjid
yang menjadi penanda batas kekuasaan sultan, sekaligus sebagai benteng
religius rakyat Yogyakarta, dengan sebutan istilah Masjid Pathok Negoro
yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur,
Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan kraton Yogyakarta.13
11 Muslimin, Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan
Kolonial (1910-1942), hlm. 42 12 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,
2000), hlm. 15. 13 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas
Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007) hlm. 43.
5
Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang didirikan pada tahun
1724, oleh Kyai Mursodo (anak Kyai Nuriman yang mendirikan Masjid
Pathok Negoro Mlangi), juga mengikuti aturan dan konsep arsitektur dari
Masjid Demak, yang terus bertahan hingga saat ini setelah menjadi saksi
berbagai macam peristiwa. Masjid ini juga mengikuti konsep tata negara dan
kota yang dikenal sebagai konsep kekuasaan dan kewilayahan yang disebut
papat kalimo pancer dengan raja sebagai pusatnya, konsep jaringan ini sangat
berbeda dari Kasunanan Surakarta.14
Penelitian ini dianggap menarik dan unik, karena hal ini adalah
sebuah kajian sejarah arsitektur dari sebuah Masjid Pathok Negoro, yang
hanya ada di Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut dianggap sebagai indikator
perubahan, baik politik maupun budaya, bagi legitimasi kekuasaan dari salah
satu Kerajaan Jawa yaitu Kesultanan Yogyakarta. Ditemukannya kesatuan-
kesatuan ideologis dan simbolis, dalam kekuasaan religius raja yang jarang
dipandang para sejarawan, sebagai suatu kajian sejarah kebudayaan yang
komprehensif dan utuh dalam memahami perubahan, dan dampaknya bagi
sosio-kultural dari sebuah karya seni berupa arsitektur masjid dalam kurun
waktu tertentu.
Dengan mencermati latar belakang di atas, ada beberapa
permasalahan yang muncul antara lain :
1. Kenapa didirikan Masjid Pathok Negoro Plosokuning?
2. Apa yang menjadi keunikan dari Masjid Pathok Negoro
Plosokuning?
14 Delih Kurniawan, ‘’Yogyakarta 1900-1940 (Kajian Historis Tata Kota)’’, (Skripsi
S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN
Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 65. (tidak diterbitkan)
6
3. Bagaimana kondisi arsitektur Masjid Pathok Negoro
Plosokuning?
4. Apa yang menyebabkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning
masih mempertahankan bentuk aslinya?
5. Kenapa Masjid Pathok Negoro Plosokuning mendapat status
Masjid Pathok Negoro?
6. Apa fungsi berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning bagi
masyarakat?
B. 1. Kerangka Tujuan
Adapun tujuan studi ini adalah:
1. Ingin menjelaskan didirikannya Masjid Pathok Negoro
Plosokuning.
2. Ingin mengetahui bentuk konstruksi arsitektur masjid dari awal
sampai sekarang.
3. Ingin mengetahui fungsi berdirinya masjid bagi masyarakat
sekitar.
2. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan tema studi yang penulis pilih, dirasa perlu memberikan
batasan masalah terlebih dahulu agar tujuan yang dicapai lebih terarah,
diantaranya:
1. Didirikannya Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
2. Kondisi konstruksi arsitektur masjid dari awal berdiri sampai
sekarang.
3. Fungsi dari berdirinya masjid bagi masyarakat sekitar.
7
C. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang
sudah ada, terutama terkait dengan sejarah arsitektur. Artinya, skripsi ini bisa
menjadi rujukan bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang benda-
benda cagar budaya, khususnya masjid dan budaya Jawa pada umumnya.
Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda
pada umumnya, yang akan meneliti tentang Sejarah Islam Lokal Indonesia,
terutama yang terkait dengan benda-benda cagar budaya, seperti masjid baik
dari segi arsitektur maupun dari segi budaya Jawa.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian sejarah, dengan menggunakan pendekatan bersifat deskriptif
analisis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.15 Sejarawan Indonesia yang
bernama Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa terjadinya peristiwa sejarah
dilatarbelakangi beberapa faktor penyebab, jadi ada banyak aspek yang perlu
dilihat mengapa suatu peristiwa itu terjadi.16
Penulis menggunakan pendekatan ilmu sejarah digunakan untuk
memaparkan tiap proses dalam peristiwa sejarah berdasarkan kronologis
waktu. Selain itu, pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan arkeologi
dan sosio-antropologi. Pendekatan arkeologi digunakan untuk memahami
15 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terj: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press, 1983), hlm. 32. 16 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 4-5 dan hlm. 144-156.
8
segala hal yang berhubungan dengan fisik masjid, terutama masalah struktur
bangunan beserta maknanya. Pada pendekatan ini (arkeologi) perspektif
budaya merupakan sarana untuk melihat bentuk fisik, yang diperlihatkan pada
sebuah hasil karya masyarakat dalam tradisi Jawa,17 yaitu masjid.
Sedangkan pendekatan sosio-antropologi digunakan sebagai acuan
pandangan tentang bagaimana alam pikiran penguasa dan rakyat Jawa pada
masa itu dan bagaimana perkembangan peradabannya, akan sebuah bangunan
fisik religius sebagai bagian dari perikehidupan dan tranformasi rakyat Jawa,
seperti hal masalah tata busana, arsitektur, etiket dan lain-lain.18
Masjid Pathok Negoro berasal dari dua bahasa dan tiga akar kata
yang berbeda, kata masjid berasal dari akar kata bahasa Arab. Kata dasar
masjid berasal dari kata kerja sajada yang berarti bersujud dan menyembah
kepada Allah atau Tuhan Semesta Alam, yang mana akar kata tersebut
mengalami perubahan makna dan pengucapan kata dalam ilmu sintaksis
bahasa Arab (ilmu sharaf) menjadi kata benda atau ism makaan atau
penetapan tempat. Sehingga, kata sajada berubah menjadi kata masjid yang
berarti “tempat bersujud” atau “menyembah Allah”.19 Kata masjid merujuk
pada penyebutan tempat ibadah bagi umat Islam. Dalam Bahasa Indonesia
kata masjid ini dicerap begitu saja tanpa adanya perubahan-perubahan berarti
dalam penyebutan maupun penulisan kata masjid.20
17 Handinoto, Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hlm. 110. 18 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis
Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hlm.
66. 19 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), hlm. 650 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 579
9
Adapun kata Pathok Negoro berasal dari dua kata bahasa Jawa,
yaitu Pathok dan Negoro. Pathok mempunyai beragam makna,21 namun
mempunyai satu tujuan makna kata khusus yaitu, “sebuah tanda yang
ditancapkan atau didirikan, baik berupa tanda yang terbuat dari kayu (tongkat
atau tanaman tertentu), batu ataupun bangunan fisik lainnya, yang
dimaksudkan sebagai batas dari sebuah kekuasaan tertentu baik individu
maupun kolektif.” Sedangkan kata Negoro, atau dalam bahasa Jawa halus
(inggil) nagari, memiliki arti kekuasaan negara yang dipimpin oleh seorang
raja dengan sistem tertentu.22
Sebuah hasil kebudayaan tentu berasal dari olah rasa, karya dan
karsa. Menurut Koentjaraningrat yang dikutip dari J.J Hoenigman proses
kehidupan memunculkan tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2)
activities (3) artifact. Prinsip pokok dari kebudayaan di dunia menurutnya
pula ada tujuh, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.23
Masjid Pathok Negoro Plosokuning di sini berada dalam tataran sistem religi
dan kesenian.
Pada masa Rasulullah masjid tidak ditentukan bentuk dan
bahannya, prinsipnya hanya satu, yaitu bagaimana masjid tersebut berfungsi
sebagai tempat ibadah maupun pusat sosialisasi umat. Bahkan jika ada masjid
yang fungsinya tidak dimaksudkan untuk itu, Allah memerintahkan kepada
21 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas
Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007), hlm. 44. 22 P. M. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987),
hlm. 215. 23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.
159.
10
Rasulullah SAW untuk menghancurkannya. Atas dasar keadaan itulah, maka
ajaran Islam memang tidak menetapkan ketentuan konstruksi arsitektur
bangunan masjid harus berbentuk seperti apa.
Islam yang datang dan menyebar ke sebuah wilayah baru,
kemudian berasimilasi dan menyerap kebudayaan yang telah ada, untuk
menjadi kebudayaan Islam. Keadaan asimilasi dan penyerapan kebudayaan
oleh Islam disebut sinkretisme, tanpa mengubah dasar-dasar dari ajaran
agama maupun kebudayaan yang ada, bahkan Islam semakin mewarnai
jalannya sebuah kebudayaan, contohnya kebudayaan Jawa. Oleh karena
itulah, etnis dan kebudayaan apapun bebas membangun kostruksi masjid
dengan gaya arsitektur apapun, asal fungsi utamanya tidak melenceng dari
syariat Islam. Itulah yang dicontohkan oleh para Walisongo pada masa lalu
dalam membangun masjid agung Demak. Model arsitektur masjid Demak
adalah acuan bangunan masjid berarsitektur gaya Jawa. Prinsip konstruksi
bangunan tidak ditentukan dalam ajaran Islam, namun prinsip konstruksi
arsitektur telah ada dalam kebudayaan Jawa, baik penentuan tempat dan
penentuan waktu pembangunannya maupun penentuan bentuk, semua telah
ada pada aturan dalam kebudayaan Jawa. Islam hanya melengkapi saja
dengan prinsip-prinsip ajarannya seperti kebersihan, keamanan dan upaya
pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa.24 Arsitektur mempunyai tiga bagian
prinsip, pertama, berkaitan dengan fungsi, kedua, berkaitan dengan bentuk
dan ketiga berkaitan dengan tata letak.
24 Nurcholis Madjid, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 1999), hlm. 13.
11
Teori yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Yu Hien
Hsieh,25 yang mengatakan bahwa, “sebuah bangunan pasti didirikan dengan
maksud-maksud tertentu, baik fungsi maupun bentuk.” Posisi dan waktu
pembangunan semua diatur sedemikian rupa, dengan segala perangkat yang
ada di dalamnya. Ada empat fungsi utama Masjid Pathok Negoro; pertama,
fungsi religius, sebagai tempat ibadah dan tempat belajar-mengajar agama,
kedua, fungsi geografis dalam bentuk teritorial sebuah wilayah kerajaan,
ketiga, fungsi sosial dalam bentuk interaksi antar personal, terakhir, yang
sekarang mungkin sudah tidak ada lagi, yaitu fungsi militer26, yang digunakan
untuk mobilisasi rakyat untuk berperang dan menggalang kekuatan. Sejak
didirikan pertama kali di tahun 1724 M, fungsi-fungsi tersebut tetap ada,
kecuali fungsi militer. Mungkin sekali fungsi militer berubah menjadi fungsi
ekonomis seiring berjalannya waktu. sebab sebagian besar penduduk wilayah
di sekitar masjid tersebut adalah para pengusaha dan pekerja wiraswasta yang
kuat etos kerjanya.
Prinsip bentuk gaya arsitektur masjid Jawa setidaknya ada tiga
pendapat, yang kesemuanya mengerucut pada pola penetapan ruang, bentuk
dan aspek pengaruh gaya yang diterapkan pada sebuah masjid berarsitektur
Jawa. Adapun pendapat-pendapat tersebut berasal dari: G.F Pijper,27
Handinoto28 dan Abdul Rochym.29
25 Alvin L. Bertrand, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian, Teori-teori
Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, terj. Sanapidh S. Faisal, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1980), 26-28. 26 Fungsi militer dipergunakan pada masa Perang Jawa (1825-1830) dan pada saat
revolusi fisik (1945-1949) 27 G. F Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia, 1900-1950,
terj. Tujimah dan Yessi Agusdin, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985). Hal ini
juga diperkuat oleh pendapat Helene Njoto tentang asal usul tata peletakan masjid di Jawa
12
Menurut G.F Pijper, denah dan bentuk dasar masjid berarsitektur
Jawa mirip seperti kompleks candi Hindu Jawa, terutama kompleks candi
Plaosan Lor. Hal tersebut ingin dibuktikan oleh G.F Pijper dengan
menyamakan denah penempatan candi perwara30 yang mengelilingi candi
utama. Jika hal tersebut disamakan dengan masjid, maka candi perwara
adalah bagian di luar masjid, sedangkan candi induknya adalah bagian utama
masjid.
Menurut G.F Pijper, arsitektur masjid bergaya Jawa mempunyai
bentuk enam karakter umum, yang tidak terdapat pada masjid di daerah
lainnya di luar kebudayaan Jawa, yaitu:
1. Berbentuk bujursangkar.
2. Lantainya langsung berada di tanah, tidak dibuat seperti lantai panggung.
3. Memiliki atap tumpang.
4. Mempunyai serambi.
5. Memiliki halaman yang dibatasi oleh pagar dan kolam, biasanya pintu
masuknya berada di bagian timur.
6. Memiliki ruang tambahan berupa mihrab di bagian barat masjid.
Handinoto hampir sependapat dengan G.F Pijper dengan
kesepakatan atas denah masjid berarsitektur Jawa. Handinoto kemudian lebih
dalam tulisannya, “On The Origins of the Javanese Mosque” dalam, The Newsletter Vol. 72,
2015. 28 Tulisan makalah tentang arsitektural masjid bergaya Jawa oleh Handinoto dan
Samuel Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad
15-16” dalam, Dimensi Teknik Arsitektur Vol.35, No. 1, Juli 2007. 29 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia,
(Bandung Angkasa, 1983). 30 Candi Perwara adalah candi pelengkap atau pendamping yang mengelilingi
candi utama
13
menyoroti bentuk arsitektur masjid Jawa, dengan penekanan bahwa masjid
berarsitektur Jawa terdapat prinsip-prinsip tertentu soal bentuknya.
Improvisasi dan inovasi orang-orang Jawa dalam mewujudkan
kebudayaannya pada bidang arsitektur masjid, menurutnya pula dapat dilihat
pada bentuk atap, tata letak dan prinsip konstruksinya. Untuk bagian
pawestren itu hanya wujud ajaran tentang penghargaan kepada kaum Hawa
yang ingin berjama’ah di masjid, sebab itu hanya bagian yang khusus
difungsikan untuk kaum Hawa.
Adapun menurut Abdul Rochym arsitektur masjid bergaya Jawa
dapat dengan mudah dilihat dan ditentukan bentuk serta denahnya. Masjid
berarsitektur Jawa tidak mengalami perubahan gaya dan prinsip selama
berabad-abad sejak masa Demak, perubahannya hanya pada masalah bahan,
karena ada beberapa bahan yang mudah rusak. Hampir sama seperti pendapat
G.F Pijper, menurut Abdul Rochym, masjid-masjid di Indonesia pada
prinsipnya berbentuk bujursangkar untuk meratakan shaf dalam sholat,
mempunyai bagian khusus seperti mihrab dan mimbar. Keunikan masjid
berarsitektur bergaya Jawa menurutnya mempunyai keunikan yang khusus,
terutama adanya bagian seperti kolam dan kompleks makam dalam satu
lingkungan masjid.
Konsep bangunan di belahan Dunia Timur, secara epistimologis,
sangat berbeda dengan konsep bangunan di belahan Dunia Barat. Pada
konsep bangunan Dunia Timur, konsep ornamental sangat ditonjolkan,
dibanding konsep fungsional Dunia Barat. Konsep privacy dalam penggunaan
ruang bangunan di Dunia Barat, sangat bertentangan dengan konsep
14
kebersamaan (common) pada penggunaan ruang di Dunia Timur, lebih-lebih
masalah estetika yang sangat jarang diperhatikan oleh konsep arsitektur di
Dunia Barat.
Konsep bangunan di Dunia Timur selalu memaksa orang untuk
menyesuaikan diri, untuk membentuk perilaku pribadi dan sosial, contohnya
sikap seseorang ketika berada dalam kompleks peribadatan, yang disesuaikan
dengan adat setempat.31 Untuk mencegah terjadinya gangguan kekhusukan
dalam sholat, maka aspek ornamental yang biasa ditemukan di arsitektur
Dunia Timur, di Masjid agung Kraton dan Masjid-Masjid Pathok Negoro,
sangat sedikit. Hanya ada sedikit ornamen yang diwarnai dengan warna
terbatas dan tidak mencolok.32 Suasana yang ingin ditampakkan oleh konsep
arsitektur.
Pada buku Konsep Kekuasaan Jawa karya G. Moedjanto, dia
berpendapat bahwa kekuasaan itu tidak dilihat dari kedudukannya sebagai
seorang raja semata, namun dia harus mewujudkannya pada hal lain yang
berkaitan dengan simbolisasi dalam kekuasaannya. Keunggulan dan
legitimasi tersebut, diwujudkan dalam upaya mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan rakyatnya.33 Hal itu bisa dilakukan melalui tulisan, pendirian
dan pemrakarsaan bangunan tertentu serta kepedulian akan suatu wilayah
31 Hindro T. Soemardjan, Pendidikan Arsitektur dan Pembangunan Nasional:
Sebuah Pendekatan Budaya, dalam Eko Budihardjo (ed.), Arsitektur Indonesia Dalam
Perspektif Budaya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 110-112. 32 Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1983), hlm. 108. 33 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Semarang: Hanindita,
1984), hlm. 21.
15
tertentu ataupun penggunaan simbol-simbol keramat bagi sebuah keluarga
atau kekuasaannya.34
Sebagai masalah dan konsep etos, maka para penguasa selalu
berusaha menumbuhkan kesadaran kolektif kelompok atau individu yang
dipimpinnya dalam sebuah daerah tertentu.35 Simbol-simbol yang diwujudkan
itu selalu berkaitan dengan penumbuhan kesadaran kolektif tentang diri dan
ruang yang dipertahankan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh subyek
penggunanya.36
E. Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang terkait dengan Masjid Pathok Negoro dan
kekuasaan Jawa Kesultanan Yogyakarta, telah banyak dan sangat banyak
ditulis, baik oleh penulis dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam bentuk
buku, tulisan makalah ataupun hasil penelitian. Tulisan-tulisan tersebut
umumnya hanya membahas sejarah politik, namun masih sedikit yang
membahas masalah perubahan dalam masalah arsitektural, hal tersebut dapat
dipahami, sebab masalah dan bahasan politik lebih banyak peminatnya.
Karya-karya dengan sudut pandang arsitektur dalam lingkup kajian
budaya dan arsitektural masjid di Plosokuning tidaklah begitu banyak, karya-
karya yang telah ada terbatas pada bahasan tertentu, yaitu ekonomi dan
politik. Pada kajian pustaka ini, ada beberapa karya-karya dalam bentuk buku
yang diambil oleh penulis sebagai pembanding dari penelitian yang akan
34 Ibid. 35 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 172. 36 Taufik Abdullah, “Nasonalisme Indonesia, Dari Asal-usul ke Prospek Masa
Depan”, dalam: Asvi Warwan Adam (peny.), Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi dan Persepsi
8, (Jakarta: MSI bekerjasama dengan ANRI, 1999), hlm. 15-16.
16
dilakukan. Karya-karya tersebut mempunyai perbedaan, sehingga kajiannya
tidaklah sama, meskipun data dan fakta yang tersaji dalam karya-karya yang
ada menjadi sumber rujukan penulis.
Buku karya Inajati Adrisijanti,37 Arkeologi Perkotaan Mataram
Islam, yaitu buku yang merupakan hasil penelitian arkeologi dan tata kota di
era Mataram Islam. Buku ini secara singkat menyinggung eksistensi masjid-
masjid di wilayah yang dulu termasuk Mataram Islam. Buku ini jelas berbeda
sekali dengan penelitian yang akan dibuat ini, terutama dengan masalah tema
yang akan diteliti, sebab tema penelitian ini adalah arsitektur masjid.
Buku lain yang juga membahas tentang masjid yang ada di
Yogyakarta, yaitu: Bunga Rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid
Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, karya Wahyu Indro S dkk.
Karya ini adalah karya yang paling lengkap yang membahas tentang masjid-
masjid kuno yang ada di Yogyakarta. Karya ini hampir sama seperti buku
sebelumnya, hanya saja obyek pembahasannya lebih banyak. Tentu saja
perbedaan dengan penelitian ini terletak pada aspek kedetailan dan masalah
makna arsitekturalnya.
Artikel karya Nensi Golda Yuli yang diterbitkan oleh International
Research Journal of Engineering and Technology, berjudul The Comparison
of the Muslim Settlements in Pathok Negoro Area,Yogyakarta, Indonesia.
Membahas mengenai perbandingan struktur perkampungan di sekitar masjid-
masjid Pathok Negoro di wilayah Yogyakarta.
37 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,
2000)
17
Karya-karya berbentuk hasil penelitian skripsi, setidaknya penulis
temukan sebanyak empat buah, yaitu: skripsi Indah Nur Hasanah,38 Dwi
Wahyuningsih,39 Muhammad Ali Sirojuddin,40 dan M. Irwan Ulil Albaab.41
Keempat karya ilmiah tersebut, tidak satupun yang sama dengan kajian
skripsi ini.
Skripsi karya Indah Nur Hasanah, kajiannya lebih condong kepada
sebuah tradisi di masyarakat sekitar, yang timbul dari adanya Masjid Pathok
Negoro Plosokuning. Bedanya dengan tulisan ini adalah di bagian sisi historis
perkembangan arsitektural masjidnya. Skripsi karya Muhammad Ali
Sirojuddin, mengupas mengenai managemen kepengurusan salah satu Masjid
Pathok Negoro pada masa kontemporer dengan mengambil studi kasus
Masjid Taqwa Wonokromo yang terletak di Bantul. Skripsi karya M Irwan
Ulil Albaab, membahas tentang perubahan masyarakat di sekitar Masjid
Pathok Negoro yang mengaktualisasikan diri mereka dalam perubahan
zaman. Bedanya dengan tulisan ini adalah sisi historis bangunan, bukan
keadaan masyarakatnya.
Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang Masjid
Pathok Negoro dalam kajian tertentu, namun masalah tema kajian, batasan
38 Indah Nur Hasanah, ‘’Tradisi Tahlil Pitung Leksan di Dusun Plosokuning, Desa
Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta’’,
(Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga, 2008). (tidak diterbitkan) 39 Dwi Wahyuningsih, ‘’Akulturasi Budaya pada masyarakat di sekitar Masjid
Sulthoni di Plosokuning, Ngaglik, Sleman’’, (Skripsi S1, pada Program Studi Sejarah
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2006). (tidak
diterbitkan) 40 Muhammad Ali Sirojuddin, ‘’Management Masjid Pathok Nagoro : Studi Masjid
Taqwa Wonokromo Bantul Yogyakarta’’. (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2015). (tidak
diterbitkan) 41 M. Irwan Ulil Albaab, ‘’Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer
Masyarakat “Masjid Pathok Negoro Plosokuning)’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, 2012). (tidak diterbitkan)
18
spasial dan temporal menjadi faktor pembeda. Hal tersebut merupakan celah
kajian penting bagi penulis, sebab hal tersebut juga merupakan faktor
pelengkap bagi penelitian-penelitian akan sejarah lokal Jawa, terutama di
dunia akademis.
Segala perbedaan yang didapatkan oleh penulis bukanlah menjadi
halangan bagi penelitian. Fokus kajian dibutuhkan sebagai sebuah batasan
dan ukuran bagi penulis, agar segala faktor pembeda tersebut menjadi
pelengkap bagi penelitian-penelitian di tempat yang sama di masa mendatang.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini secara garis besar mempunyai tiga hal dasar, yang
tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa:
pendahuluan, isi dan akhir atau kesimpulan, yang selalu berkaitan hubungan
antar bab tersebut pada pembahasannya. Tiap-tiap bagian pembahasan
tersebut terbagi dalam sistematika bab dan sub-bab yang jumlah bahasannya
tidak mengikat, sesuai dalam kaidah dan koridor penguraian hasil
penelitian.42
Pada Bab I adalah pendahuluan yang berupa proposal penelitian, di
dalamnya adalah pengungkapan untuk tujuan apa penelitian dilakukan,
bagaimana metodenya serta bagaimana sistematika pembahasannya. Pada
tahap ini penulis membeberkan tujuan,rencana sistematika, metode penelitian
dan landasan pemikiran serta teori sebagai rujukan berfikir bagi penelitian,
sebagai pengantar akademis maupun administratif agar arah serta maksud dan
42 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 69.
19
tujuan penelitian dapat diketahui di gambaran awal sebelum membaca seluruh
isi hasil penelitian.
Tahapan selanjutnya tertuang dalam Bab II, yaitu berupa gambaran
umum untuk melihat secara parsial masalah-masalah ataupun hal-hal yang
berkaitan dengan lingkup masalah spasial dan temporal yang terjadi di sekitar
tema atau wilayah, dalam hal ini keadaan umum tentang Masjid Pathok
Negoro Plosokuning bahasan tersebut berguna untuk mengetahui situasi yang
berkembang secara lebih detail dan berhubungan dengan bab selanjutnya.
Bab III adalah penguraian jawaban tentang bagaimana konstruksi
dari arsitektur masjid. Bagian ini berisi pembahasan tentang masalah material
pembentuk fisik masjid, tata letak serta fungsi-fungsi dalam arsitektur masjid.
Pembahasan ini untuk mendapatkan gambaran detail akan bagian-bagian
tertentu dalam rekonstruksi sejarah arsitektur masjid dalam bentuk fisiknya.
Pada tahap selanjutnya adalah Bab IV berupa pembahasan tentang
interpretasi yang berupa pemaknaan bagian-bagian fisik masjid terhadap
masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut diuraikan dalam beberapa sub bahasan
berupa penjabaran tentang pemecahan permasalahan yang timbul dari
pendirian masjid.
Tahap terakhir yaitu Bab V merupakan kesimpulan dari peristiwa
yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dengan penjabaran hasil-hasil dan
fakta yang didapat dari penelitian yang dilakukan.
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Kondisi Geografis
Wilayah Plosokuning adalah sebuah Desa di pedalaman Jawa, di
bekas Keresidenan Yogyakarta yang terletak 9 km bagian timur laut pusat
Kota Yogyakarta, terletak di daerah yang dinamakan lembah Mataram.43
Desa ini terletak di antara aliran Sungai Gajahwong di bagian barat dan
Sungai Manggis di bagian timur, yang membujur dari utara ke selatan,
dengan debit air yang cukup baik di musim kemarau untuk kebutuhan air
penduduk.
Sungai-sungai tersebut bermuara di laut selatan Jawa, dengan
pertemuan arus sungai (tempuran) di Sungai Opak dan Oyo. Tanah di
sekitarnya juga tergolong subur untuk pertanian dan perkayuan, namun dalam
perkembangannya, luas tanah untuk pertanian semakin berkurang dan pohon
untuk bahan-bahan bangunan berupa kayu harus didatangkan dari wilayah
Grobogan dan Madiun.44
Desa Plosokuning berdiri di atas tanah alluvial (tanah hasil
pelapukan lahar) Gunung Merapi yang terbentuk jutaan tahun lalu, dengan
dasar tanah sebagian batu wadas dan batu cadas keras, sedangkan
permukaannya dipenuhi oleh tanah hitam dan berpasir, serta berada di
43 Hiroyoshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran
Kembali”, dalam Akira Nagazumi (peny.), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang,
Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 14-15. 44Desak Made Oka, Hutan Jati Madiun, Silvikultur di Karesidenan Madiun 1830-
1910, (Semarang:PBS, 2010), hlm. 9.
21
ketinggian sekitar 127 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan
pertahun sekitar 800 milimeter.45
Luas keseluruhan Desa Plosokuning sekitar 15.000 m² (untuk
bagian sekitaran masjid, hanya seluas 2.500 m²), dengan kelembaban udara
mencapai 85-90 persen, pada ketinggian itu maka udara di sekitarnya
tergolong sejuk, dengan suhu rata-rata di musim panas dan musim hujan
berkisar antara 23-31 C°.
Vegetasi Desa Plosokuning berupa tumbuhan pangan dan
komersial seperti, padi dan palawija berupa singkong, ubi jalar, kelapa dan
tanaman buah-buahan lainnya, adapun tanaman komersial berupa kelapa,
kayu sengon, waru dan tumbuhan lainnya yang dapat dimanfaatkan kayunya.
Tanah di sekitarnya tergolong berbukit, di sebelah barat dan timur terdapat
dataran rendah yang sempit, sedangkan utara dan selatannya berbukit
mengikuti arah Gunung Merapi dengan tingkat kelandaian sekitar 25 derajat.
Tata letak Desa Plosokuning sejak tahun 1760 M hingga tahun
1926 M, adapun secara administrasi sejak tahun 1760 M hingga 1830 M,
berada di bawah pengawasan langsung Sultan dalam sistem kekuasaan
Nagaragung. Oleh Sultan daerah-daerah Pathok Negoro di bawah
pengawasan pemerintahan setingkat kawedanan (dikenal sebagai sistem
pemerintahan setingkat kecamatan atau distrik sekarang), yaitu abdi dalem
Reh Kawedanan Pengulon. Setelah reorganisasi pemerintahan pada tahun
1830 M, kekuasaan Sultan dipisahkan dari daerah itu, dengan penetapan
45 Tonny Whitten, Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A. Afiff, The Ecology
of Indonesian Series Volume II: The Ecology of Java and Bali (Singapore: Periplus Editions
(HK) Ltd., 2000), hlm. 41-42.
22
wilayah Plosokuning berada di dalam lingkungan wilayah administrasi distrik
Ngaglik, di bawah wilayah administrasi wedana Denggung pada tahun 1831.
Setelah diadakan lagi reorganisasi pemerintahan (pangreh praja)
pada tahun 1926, maka Plososkuning menjadi sebuah daerah onderdistrik, di
bawah distrik Ngaglik, di bawah afdeeling Sleman (sistem administrasi
kawedana Denggung sudah dihapuskan).46 Setelah reorganisasi wilayah dan
pamong praja kembali tahun 1947 M dan 1950 M hingga sekarang, tidak ada
perubahan sistem pemerintahan berarti.
B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning
Disintegrasi Kerajaan Mataram telah terjadi sejak masa
pemerintahan Amangkurat II, sebagian besar wilayah Mataram pada masa
Sultan Agung dan Amangkurat I di bagian barat (bang kulon) seperti
Priangan dan Karawang telah jatuh ke tangan VOC setelah tahun 1680 M,
serta Cirebon di tahun 1705 M, di bagian timur seperti Blambangan dan
Pasuruan, jatuh ke tangan kaum pemberontak Untung Surapati pada tahun
1686 M, sebelum akhirnya dihancurkan oleh VOC pada tahun 1710 M, yang
ditandai dengan pembuatan benteng pertama di Jawa Timur.47
Wilayah pesisir sejak tahun 1690 M sudah diserahkan Istana
Mataram kepada VOC, dari wilayah Tegal hingga Semarang dan kemudian
menyusul wilayah dari Semarang hingga Surabaya di tahun 1746 M. VOC
juga selalu berusaha menggerogoti tahta dan kebebasan Mataram dengan
46 Rijkblad Kasultanan Yogyakarta 1926, salinan Badan Perpustakaan dan Arsip
Derah Yogyakarta, 2004, hlm 21. 47 Robert W. Hefner, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj.
A Wisnuhardana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 15.
23
sistem monopoli perdagangannya, namun hal tersebut lebih disebabkan
karena kelemahan raja yang bertahta Mataram itu sendiri.
Setelah Sunan Amangkurat IV naik tahta, Pangeran Hangabei atau
RM Sandiyo yang merupakan anak Raja Mataram (Sunan Amangkurat IV),
pergi dari kraton. Dia enggan dijadikan raja pengganti ayahnya karena intrik
politik di Kraton Kartasura. Dia dijadikan Bupati Surabaya, namun setelah
Surabaya jatuh ke tangan VOC (1743 M), dia pergi ke daerah perbatasan
antara Kedu dan Mataram di Desa Susukan. Setelah ayahnya wafat dan tahta
Mataram digantikan oleh adiknya, Sunan Pakububuwono II, dia tetap
memilih pergi dari kraton.
Timbulnya kegelisahan akan kekuasaan Kerajaan Mataram hingga
akhirnya timbul Perang Suksesi, harus diakhiri dengan diadakannya
kesepakatan bersama untuk mengakhiri pertikaian yang terjadi, yaitu dengan
menempuh jalur damai. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 M,
antara Pakubuwono III yang masih kecil dengan Hamengkubuwono I dan
VOC adalah hasilnya. Namun, ternyata ini bukannya menghasilkan
kedamaian ataupun menyelesaikan masalah untuk kedua belah pihak, akan
tetapi malah menambah suasana tidak terkendali dengan keputusan yang
dibuat oleh keduanya dengan terjerumus ke dalam permainan politik VOC,
kali ini dengan Raden Mas Said, yang bertempur menuntut tahta Mataram
juga.
Hingga akhirnya, kesepakatan terakhir ditandatangani di Salatiga
pada pada tahun 1757 M, antara Pakubuwono III, Raden Mas Said dan VOC,
dengan isi perjanjian menyatakan bahwa Raden Mas Said sebagai (bergelar
24
Adipati Mangkunegoro), tidak boleh menuntut tahta dan memberikan hormat
pada kedua kerajaan yang sudah ada.48
Hasil-hasil dari perjanjian antara raja-raja bekas Kerajaan Mataram
dengan VOC tersebut adalah konsesi-konsesi tertentu, seperti perjanjian-
perjanjian yang telah diadakan di masa lalu, isinya selalu membelenggu
kekuasaan dan tahta Mataram, meskipun secara militer Kerajaan Mataram
yang telah terpecah itu masih utuh. VOC dibubarkan pada 1799 M setelah
mengalami kebangkrutan oleh pemerintah kolonial Belanda (negeri
Belanda).49
Setelah Kraton Yogyakarta berdiri, RM Sandiyo, yang kini bergelar
Kyai Nuriman, oleh adiknya, Sultan Hamengkubuwono I, diminta untuk ke
kraton dan menjadi penasihatnya, namun ditolak olehnya. Kyai Nuriman lalu
tetap memilih mengajar di desa. Desa tempat dia mengajar, telah berdiri
sebuah masjid yang dinamakan Masjid Mlangi, yang merupakan Masjid
Pathok Negoro pertama di Yogyakarta, yang berdiri sejak tahun 1723 M.
Kyai Nuriman memerintahkan kepada anaknya bernama Kyai
Mursodo, untuk mengajar dan mendirikan masjid di bagian timur, yaitu di
Plosokuning pada tahun 1724 M. Sejak sebelum pecah Perang Cina (1740-
1743 M) hingga perjanjian Giyanti (1755 M), masjid di Mlangi dan
48 Ki Sabdacarakatama, Ensiklopedia Raja-raja Tanah Jawa, Silsilah Lengkap Raja-
raja Tanah Jawa Dari Prabu Brawijaya V Sampai Hamengkubuwono X, (Yogyakarta: Narasi,
2010), hlm. 115. 49 C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 115.
25
Plosokuning telah berdiri, beberapa orang kaum pemberontak juga pernah ke
tempat ini untuk berlindung.50
Ketika Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono III
pada tahun 1812 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning mengalami renovasi
besar yang pertama. Selanjutnya renovasi dilakukan pada tahun 1869 M di
masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VI, setelah Yogyakarta
diterjang gempa besar tahun 1867.
Revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1949 M di
Yogyakarta, menjadikan masjid serta masyarakat Pathok Negoro sebagai
benteng dari sasaran serangan agresi militer Belanda (NICA), bahkan Masjid
Pathok Negoro menjadi semacam daerah yang steril dari agresi militer
Belanda. Meskipun menjadi daerah yang steril dari sasaran militer, bukan
berarti rakyat dan penguasa berpisah, bahkan beberapa keluarga dekat sultan
sering bertandang dan menyusup menjadi laskar perang, bahu-membahu
bersama para ulama dan rakyat, dalam menghadapi serangan Belanda di
Yogyakarta.51 Sultan bahkan sering mengirim kerabat dan putra-putrinya
untuk belajar di beberapa Masjid Pathok Negoro. Oleh sebab karena di bawah
pengawasan langsung raja, maka Masjid Pathok Negoro Plosokuning
berstatus Masjid Kagungan Dalem.
50 Yuwono Sri Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai Budaya
yang Terkandung Di Dalamnya, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota
Yogyakarta, 2010), hlm. 5. 51 Ervan Anwarsyah, ‘’Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di
Yogyakarta 1945-1949’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN
Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 42. (tidak diterbitkan)
26
C. Kondisi Agama
Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga Islam
datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil Tuhan
(Allah SWT) dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh karena itu
rakyat memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan raja dan
keluarganya dalam mengatur kehidupan mereka agar lebih baik, dalam wujud
istilah: papat kalimo pancer, yang berarti empat sisi dengan pusat di
tengahnya sebagai pengatur yang disebut raja.52
Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keislaman yang telah
menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam bentuk
perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha, dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan Garebeg Besar,
sebagai tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai perayaan rakyat
sebagai simbol kemurahan hati raja (Sunan Surakarta atau Sultan
Yogyakarta).
Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung
oleh VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap
bahwa meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka Masjid
Demak dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang abadi,
yang menjadi dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat Jawa.53
Pada masa itu pihak VOC tidak terlalu tertarik pada masalah Islam di
kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya adalah keuntungan dalam
berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa yang disebut peristiwa
52 Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis, hlm. 60. 53 Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah
Nubuat Kebudayaan Jawa, terj. Rahmat, dkk., (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 101.
27
pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh Pakubuwono IV yang
didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha menegakkan
agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung, namun hal
tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan gabungan dari
Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC.54
Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan
Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman
Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan
dunia dan agama (akhirat) di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima
sebagai agama resmi.55 Semenjak berhasil membangun Kesultanan
Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I56 berusaha membangun jaringan
keagamaan dengan berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok
Negoro, yang sebagian besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti
Masjid Dongkelan di bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di
sekitar bekas ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di
Berbah berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur
laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton.
54 Pada babad Pakepung, diceritakan bahwa Sunan Pakubuwono IV bersama empat
ulama yang berpengaruh, mulai melawan VOC dengan menerapkan hukum-hukum Islam
secara ketat, dia juga berusaha untuk tidak mematuhi isi perjanjian yang dianggap sebagai
penyerahan kepada kaum kafir. Akhirnya keempat ulama tersebut diserahkan pada VOC
untuk kemudian dibuang, sebagai kompensasi atas tidak jadinya penyerangan kraton
Surakarta yang telah dikepung. 55 Revianto Budi Santosa (ed.), Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari
Jadi Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008),
hlm. 46. 56 Sultan HB I adalah raja begitu fokus terhadap perkembangan Islam, dia juga
berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya adalah pemeluk Islam yang baik, dengan
menyalin dan menulis langsung dengan tangannya sendiri, mushaf al-Qur’an. Mushaf asli
tulisan tangan Sultan HB I, dapat dilihat di perpustakaan BPSNT Yogyakarta bagian koleksi
langka.
28
Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit,
tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual dan religius rakyat
Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak terdapat di wilayah Kasunanan
Surakarta atau di Kadipaten Mangkunegara dan Pakualaman.57 Pada pusat
Kotagede sendiri telah mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan
Senopati, serta terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri
dan agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar Masjid
Agung Kotagede.
Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam,
merupakan hal yang sangat disesali oleh Pangeran Diponegoro yang melihat
kebobrokan mental para bangsawan.58 Pangeran Diponegoro selama masa
Perang Jawa menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah Jawa yang
mengobarkan perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan Ngabdulkamid
Erucakra Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Banyak di antara
pendukungnya adalah santri dan kaum ulama, terutama Kyai Mojo, Kyai
Taptayani dan Kyai Nitiprojo serta ulama-ulama dari Kotagede dan sekitar
Masjid Pathok Negoro.59
Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum
bumiputra percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan privillage
pada keadaan dan diri seseorang tokoh seperti Kyai. Snouck C. Hurgronje,
sebagai penasehat pemerintah, dia menganggap masalah Islam secara negatif,
setidaknya ada tiga poin dalam pandangan pemerintah kolonial dalam
57 Sumintarsih, dkk.,Toponim KotaYogyakarta, hlm. 43. 58Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara, Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 14-16. 59 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 151.
29
memandang Islam, 1). Domain agama murni, yaitu memunculkan sikap netral,
2). Domain hukum, yang menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan
perubahan tidak seimbang untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3). Domain
politik, pada bagian ini pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa
penentangan terhadap adanya pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan
dengan kekuatan militer segala bentuk gerakan-gerakan perlawanan.Seluruh
poin-poin tersebut ditujukan untuk satu hal, yaitu politik asosiasi.60
Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan berakhir
dengan bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah kolonial Belanda
pada saat berlangsungnya Perang Jawa, hingga kemudian diambil kesimpulan
bahwa masalah keagamaan serta pendidikan agama Islam di pondok-pondok
pesantren harus diawasi dengan ketat serta ditekan sedemikian rupa, agar
segala bentuk embrio perlawanan dapat diredam sebelum muncul ke
permukaan, sehingga program-program pemerintah kolonial Belanda dapat
berjalan dengan lancar.
Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan sosial-
politik yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran melalui dakwah
dan pendidikan.61 Politik pengawasan agama tersebut berlangsung hingga
berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun 1942. Selepas tahun tersebut
politik asimilasi Pemerintah Pendudukan Jepang, berhasil menghimpun
dukungan rakyat dengan pendirian laskar Hizbullah.
60 Muhammad Hisyam, “Kebijakan Haji Masa Kolonial”, dalam A.B. Lapian (ed),
Sejarah dan Peradaban: Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm.
340-341. 61 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 75 dan
87.
30
Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk,
pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan
penyebaran ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme
sesungguhnya telah ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para santri
maupun para bandit, yang secara rapi terorganisir dan mempunyai struktur,62
bahkan keberadaan organisasi dan keberadaan banditpun diikat oleh nilai
religius dan kerjasama mereka dengan aparat desa.63 Tidak boleh dilupakan
peran dari para santri yang mewakili golongan “putih”, di mana pencak silat
(bela diri) diajarkan dan agaknya menjadi salah satu kurikulum yang tak resmi
di lingkungan pondok pesantren tradisional yang tesebar di seluruh Jawa.64
Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan tarekat yang
menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat sekitarnya yang diwakili
oleh para kyai dan kaum santri.65
Masuknya organisasi kemasyarakatan modern di bidang
keagamaan sejak awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan
Muhammadiyah, ikut membentuk perilaku keagamaan, meskipun empat dari
lima Masjid Pathok Negoro cenderung berafiliasi dengan ormas NU dan satu
dekat dengan Muhammadiyah, namun sebagai sebuah kesatuan religius,
afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta persatuan yang telah
terbangun.
62 Suhartono W. Pranoto, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 120-121. 63Suhartono, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-194 hlm. 151 dan
154. 64Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Studi Tentang Daya
Tahan Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 107. 65Ibid., hlm 108.
31
D. Kondisi Sosial–Budaya
Kekayaan di Jawa adalah tanah, raja adalah sebagai pemilik tanah
yang berguna untuk menggaji keluarga dan pegawai, salah satu bentuk
gajinya adalah pemberian tanah lungguh dengan ukuran cacah, yaitu ukuran
banyaknya keluarga petani yang mendiami sebuah wilayah tanah lungguh.
Pengelolaan tanah oleh para pemagang tanah tersebut, diserahkan pada
demang dan bekel, yang memberikan mereka kedudukan ekonomis dan
politis atas nama raja.
Perkembangan kependudukan atau demografis di Jawa mengalami
peningkatan dan penurunan yang tidak stabil sebagai akibat perang yang
terus-menerus terjadi. Penduduk di seluruh Jawa pada waktu itu sekitar lima
sampai enam juta jiwa hingga tahun 1790-an. Registrasi kasar dalam sensus
penduduk Jawa yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles di awal abad
kesembilan belas, menunjukkan peningkatan, namun tidak dapat dijadikan
acuan, sebab registrasi sensus tersebut tidak menyeluruh, karena terbatas pada
perkiraan yang dilaporkan oleh para bupati-bupati bawahan kolonial dengan
sistem cacah.66
Jumlah cacah juga sangat berperan dalam perang dan
pemberontakan. Sejak zaman Mataram hingga berakhirnya pemerintahan
Kolonial, daerah-daerah bebas pajak yaitu tanah yang disebut,
pesantren,pekumen, pekuncen, pemijen, putihan dan perdikan.67 Seiring
bertambahnya tanah-tanah yang dimaksudkan di atas, maka pemerintah
66Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda, Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa, 1795-
1880, (Jakarta: KITLV, 2004), hlm. 35. 67 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial
1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 39-40.
32
menghapus tanah-tanah tersebut jika tidak ada ketetapan pada masa
sebelumnya dalam Indische Staatregeeling tertanggal 2 September 1854 M
pasal 129. Ada beberapa kriteria desa yang wajib membayar pajak, yang
ditentukan oleh banyaknya penduduk yang mendiami suatu batas desa
tertentu dalam satu kawedanan.68 Kebanyakan para penduduk Jawa di
pedalaman adalah petani, yang menggantungkan hidupnya pada tanah
pertanian.69 Adanya ikatan vertikal ini dalam pembagian masyarakat desa,
maka kesetiaan abdinya dapat diukur oleh kebaikan tuannya.70 Pada hal ini
tuannya adalah pemimpin Masjid Plosokuning. Masalah pakaian dan bentuk
rumah rakyat Jawa juga diatur sedemikian rupa, begitu pula masalah
tingkatan bahasa, yang bentuk-bentuk feoadalisme dan strata sosial yang
berkembang pada zaman itu.71
Pengaruh agama Hindu dan Budha dalam Islam di Jawa,
mengakibatkan tumbuh suburnya legenda mistik seperti akan adanya Ratu
Adil yang akan menyelamatkan keadaan mereka dari kesengsaraan.
Masyarakat yang kebanyakan golongan abangan menganggap bahwa legenda
yang ada pada keberadaan dan peninggalan benda orang-orang hebat, dengan
mempersonifikasikan hal itu dalam sifat-sifat kemuliaan dan kekeramatan
orang tersebut, dengan harapan kebaikan orang tersebut akan berguna bagi
orang dan wilayah di sekitarnya seperti para kaum atau kaum santri yang
68 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), hlm.71 dan 86. 69 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 64-65. 70 A.M. Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi di
Indonesia, dalam: Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve dan Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan RI, 2012), hlm. 134-135. 71 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 139, 115.
33
merupakan representasi keagamaan orang Jawa kebanyakan.72 Pada
peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan mereka (rakyat Jawa), mitos
tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan kehidupan mereka.73 Sunan dan
sultan selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib, terutama dikatakan bahwa
mereka mempunyai hubungan khusus dengan penguasa Laut Selatan, Nyi
Roro Kidul sejak zaman Sultan Agung.74
Kraton adalah simbol dan pusat dari kebudayaan Jawa, makin jauh
dari kraton maka makin jauh dan makin pudar pula cerminan budaya yang
terpancar dan muncul dari dalam kraton,75 oleh sebab itu setiap raja berusaha
untuk mencitrakan dan selalu berusaha membawa sejauh mungkin hasil-hasil
yang telah dia ciptakan untuk rakyatnya.76 Oleh karena itu diciptakanlah
mitos di dalam ingatan kolektif rakyat. Fungsi mitos sendiri adalah untuk
menyediakan rasa dan makna hidup, yang membuat orang yang bersangkutan
akan merasa bahwa hidupnya tidak akan sia-sia, hal itu juga merupakan
tonggak ketahanan fisik dan mental dengan keyakinan akan harapan untuk
menggapai suatu tujuan di masa depan. Mitos kemudian oleh masyarakat
dipersamakan dalam lambang dan simbol Islam,yang dimaknai sebagai jalan
untuk mendekatkan diri pada Tuhan.77
72 Sukanto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm.88. 73 Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa
Problematika Metodologis” dalam T. Ibrahim Alfian (ed.), Dari Babad dan Hikayat Sampai
Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 253. 74Babad Sultan Agung, terj. Tim Balai Bahasa Yogyakarta, (Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta, 1989), hlm. 92. 75 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawulo, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 21. 76 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan
Konsentris, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris dan Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005), hlm.
153. 77 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangunan Makna dan Relevansi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 177-179.
34
Pada Perang Diponegoro, simbol-simbol tersebut diwujudkan
dengan bentuk perlawanan, pada orang kafir yang terwujud dalam bentuk
kelompok tertentu seperti pada golongan Tionghoa dan Belanda, yang selalu
menyusahkan kehidupan mereka, dalam penarikan pajak gerbang tol dan
aktivitas perdagangan candu mereka yang merusak.78 Keputusan pemerintah
kolonial yang melarang penyewaan tanah kepada pengusaha Eropa di Jawa
pada tahun 1824, mengakibatkan banyak para bangsawan dan tuan tanah yang
jatuh miskin, sebab uang sewa yang telah mereka terima sudah habis dan
tidak dapat mengembalikannya dan ini juga menjadi salah satu pemicu
perang.
Masyarakat Plosokuning pada masa modern tidaklah tergantung
pada kraton sebagai pusat sumber kehidupan, namun Kraton Yogyakarta tetap
didudukkan sebagai simbol saja. Sebagai masyarakat bebas, kebanyakan
penduduk di sekitar masjid berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha,
terutama di lingkungan santri,79 sedangkan sebagian besar penduduk di luar
lingkungan tersebut, memang masih banyak yang berprofesi sebagai petani.
Pada waktu-waktu tertentu mereka semua berkumpul untuk
menyelenggarakan acara khusus, baik dalam bentuk tradisi seperti kendurian
ataupun acara keagamaan yang sifatnya lokal maupun global, seperti acara
tahlilan, haul ulama pendiri yang telah wafat ataupun perayaan maulid Nabi
Muhammad atau hari-hari besar Islam lainnya.
78 Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol dan Perang Jawa, Perubahan Persepsi
Tentang Cina 1755-1825, terj. Tim Komunitas Bambu, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008),
hlm.81-82. 79 Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, hlm. 40.
35
Pendidikan dalam Islam adalah sebagai obat bagi ketertinggalan
dan prosesnya harus dilakukan dengan benar sesuai tuntutan zaman.80
Pendidikan Islam dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang ada di Masjid
Pathok Negoro Plosokuning yang juga telah berdiri sebuah pondok pesantren.
80 L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. R. Roeslan, (Jakarta: tanpa penerbit, 1966.)
hlm. 64.
36
BAB III
KONSTRUKSI ARSITEKTUR
A. Tata Peletakan Struktur Masjid
Secara umum struktur masjid terdiri dari dua bagian utama, yaitu:
bagian dalam dan bagian luar.81 Secara detail, penjabaran tentang bagian-
bagian itu dijelaskan di bawah ini:
1. Bagian Dalam
Bagian utama adalah sebuah bagian di dalam masjid yang
dikhususkan untuk aktifitas terbatas, berupa aktifitas ibadah semata, semisal
sholat, mengaji dan i’tikaf. Selain aktifitas tersebut, dilakukan di luar bagian
utama. Bagian utama terbagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing
bagian mempunyai batasnya tersendiri. Bagian utama masjid, sebagai tempat
yang hanya ditujukan untuk aktifitas ibadah semata seperti sholat dan
pelaksanaan ibadah yang membutuhkan khutbah. Bagian ini terdiri dari tiga
bagian, yaitu, mihrab (pengimaman), mimbar dan ruangan utama sholat.
Batas bagian utama masjid dengan bagian serambi, dibatasi oleh
sebuah dinding keliling, jendela berteralis kayu (kecuali jendela di bagian
barat) dan pintu kayu. Bagian utama masjid dinaungi oleh atap tajug
bertingkat dua. Pada bagian utama masjid, terhubung dengan sebuah jalan
masuk dari bagian serambi masjid, di bagian utara dan selatan, jalan masuk
tidak dibatasi oleh pintu, sedangkan di bagian timur, diberi oleh tiga pintu
81 Bagian-bagian masjid kuno di Jawa, umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu:
bagian dalam masjid dan bagian luar masjid.
37
kayu sebagai pembatas jalan masuk. Adapun penjelasannya keempat bagian
tersebut adalah:
A. Mihrab
Mihrab adalah ruangan kecil yang dikhususkan untuk imam
memimpin sholat. Berbentuk lengkung four centred82 dengan sebuah jendela
kecil di tengahnya. Bagian ini letaknya paling depan dan paling barat dari
bagian dalam masjid. Bagian luar ruangan mihrab, langsung berhadapan
dengan bagian makam yang dibatasi oleh dinding. Bagian makam langsung
dapat dilihat dari sebuah jendela yang berada persis di depannya.
B. Ruang Shalat
Ruangan untuk sholat adalah ruangan utama dalam masjid yang
berbentuk bujur sangkar. Ruangan ini dikhususkan untuk sholat laki-laki,
I’tikaf maupun mengaji. Ruangan ini berbatasan dengan mihrab, mimbar dan
pawestren. Di ruangan ini pembatas-pembatasnya ke bagian serambi berupa
dinding, pintu dan teralis kayu.
C. Mimbar
Bagian ini terletak agak ke sebelah kanan (utara). Sebuah ruangan
kecil yang sangat khusus di bagian dalam masjid, untuk khatib
menyampaikan khutbah. Selain itu juga digunakan untuk para penceramah
yang memberikan tausiyah jika ada perayaan hari-hari besar Islam yang
diselenggarakan oleh pengurus masjid. Mimbar ini dilengkapi dengan sebuah
tongkat yang dipakai khatib ketika memberikan khotbah. Ornamen pada
mimbar ini terdapat pada bagian pegangan
82 Four centred adalah bentuk lengkung yang memiliki sudut semu pada kedua
sisinya.
38
2. Bagian Luar
Bagian tambahan adalah bagian dimana aktifitas di dalamnya tidak
berkaitan langsung dengan aktifitas ibadah. Bagian tambahan masih termasuk
dalam lingkungan masjid, tetapi bukan tempat bagian utama dari inti aktifitas
masjid, oleh karena itu dapat dinyatakan sifatnya hanya pelengkap
(tambahan). Bagian tambahan masijid adalah bagian di luar bangunan utama
masjid, yaitu serambi, kolam, jembatan penyeberangan, halaman dan makam.
Bagian tambahan ini di beberapa masjid kuno di Jawa, dapat diamati
pada umumnya hampir selalu ada, yaitu kolam, jembatan penyeberangan,
halaman dan makam. Namun di beberapa masjid, tidak ditemukan bagian
tambahan berupa makam, seperti contohnya di masjid agung Kraton
Yogyakarta dan Surakarta, karena para raja pewaris Mataram dan
keluarganya, telah mempunyai tempat pemakaman sendiri, yaitu tempat
pemakaman keluarga raja Mataram di Pajimatan Imogiri. Adapun penjelasan
bagian tambahan masjid, yaitu:
A. Serambi
Bagian serambi adalah bagian yang terletak di antara bagian luar dan
bagian dalam masjid, yang setengah meter lebih rendah dari ruang utama. Di
serambi ini diletakkan beduk yang masih asli termasuk tempat untuk
menggantungkannya. Adapun pembagian serambi terdiri dari tiga bagian,
yaitu serambi bagian utara dan selatan, serambi bagian timur serta pawestren.
Di sekeliling serambi terdapat selasar yang letaknya lebih rendah dari lantai
serambi. Selasar tersebut dibatasi dengan pagar kayu yang berukuran
setengah meter. Sedangkan batas bagian serambi dengan bagian dalam, dapat
39
dilihat dengan adanya pintu masuk dengan melalui beberapa anak tangga.
Tiap bagian serambi mempunyai bagunan atapnya sendiri. Kedua bagian
tersebut semuanya tertutup bangunan yang beratap limasan, kecuali bangunan
serambi di bagian timur, beratap limasan lawakan. Penjelasan untuk kedua
bagian serambi yaitu:
1. Serambi Bagian Timur
Serambi bagian timur terdiri dari dua tingkatan, dengan perbedaan
ukuran dan ketinggian di setiap tingkatan. Penjelasan ukuran lebih detail pada
bagian ini dapat dilihat di bab ini pada poin B. Serambi bagian timur
terhubung melalui jembatan penyeberangan utama dengan bagian halaman.
Sedangkan di bagian utara dan selatan, terhubung melalui jembatan
penyeberangan dengan bagian halaman.
2. Serambi Bagian Utara dan Selatan
Serambi bagian utara dan selatan, hanya terdiri dari satu tingkat saja.
Bagian serambi utara dan selatan yang terhubung dengan serambi bagian
timur, tingkatan lantai yang pertama, sebab lantainya sejajar. Untuk mencapai
tingkatan yang kedua dari serambi bagian timur, harus melalui beberapa anak
tangga lagi, karena terdapat perbedaan tinggi lantai.
Bagian serambi utara dan selatan, dapat langsung berhubungan
dengan bagian dalam masjid, karena tidak dibatasi oleh pintu. Sedangkan
untuk mencapai bagian dalam masjid tersebut, jamaah harus menaiki
beberapa anak tangga. Untuk mencapai serambi utara dan selatan dari bagian
halaman, dapat dicapai melalui jalan lewat kolam atau jalan lewat jembatan
penyeberangan.
40
3. Pawestren
Bagian pawestren terletak agak di sebelah kanan di dalam masjid.
Bagian ini dibatasi oleh sebuah sekat dari dinding dan teralis kayu. Pawestren
dikhususkan untuk kaum wanita. Untuk masuk ke bagian ini dari luar, dapat
dicapai melalui serambi bagian utara. Sedangkan untuk mencapai bagian ini
dari dalam masjid, terdapat sebuah jalan tanpa pintu.
B. Kolam
Kolam air yang dibangun di Masjid Pathok Negoro Plosokuning
dibuat mengitari bagian utara, timur dan selatan masjid. Pada bagian ini, ada
tiga buah ruangan jalan untuk menyeberang tanpa harus melalui kolam air,
yang terletak di bagian timur, utara dan selatan. Batas-batas bagian kolam air
dengan bagian halaman dan bagian serambi, dibatasi oleh pagar yang
mengelilingi kolam. Air yang terdapat dikolam dahulu berasal dari Sungai
Gajahwong, yang berada dekat dengan masjid, namun seiring perubahan
zaman dan berkembangnya pemukiman warga sekitar masjid, aliran sungai
Gajahwong sudah tidak bisa lagi mengisi kolam yang ada di Masjid Pathok
Negoro Plosokuning, dan sebagai gantinya air yang mengisi kolam berasal
dari tempat wudhu dan air hujan disaat musim hujan datang.
C. Jembatan Penyeberangan
Pada bagian utara dan selatan Masjid Pathoknegoro Plosokuning,
dibangun ruangan jalan (jembatan penyeberangan) khusus bagi pejabat
tingkat bawah, seperti lurah, wedana (camat), carik (juru tulis) dan penghulu
41
masjid selain Masjid Agung Kraton yang ingin masuk ke dalam masjid. Pada
bagian timur, terdapat juga sebuah jembatan penyeberangan, yang khusus
diperuntukkan untuk pejabat tinggi Kraton Yogyakarta seperti bupati, patih,
sultan beserta keluarganya maupun utusan khususnya.83
D. Halaman
Halaman masjid hanya berupa tempat lapang yang agak luas, yang
mengelilingi bagian utama masjid. Bagian halaman lebih menjorok ke bagian
timur, sedangkan ke bagian barat (halaman di bagian utara dan selatan dari
bagian utama masjid), sisa halamannya tidak begitu luas. Pada bagian luar
lingkungan masjid terdapat rumah induk untuk pengasuh masjid, yang
dibangun sekitar awal dekade 1900-an.84 Pada bagian halaman terdapat empat
buah pohon sawo, dua buah pohon sawo yang sudah tua dan dua buah lagi
masih kecil. Pemisah antara bagian halaman masjid dengan lingkungan di
luar masjid, dibatasi oleh dinding pagar dan pintu masuk berupa gapura
paduraksa, dengan pagar besi yang diapit oleh dua pintu kecil di sebelah
kanan dan kiri pintu. Gapura tersebut mengikuti keadaan, seperti di Masjid
Agung Kotagede dan Masjid Agung Kraton Yogyakarta.85
Batas antara makam dan halaman diberikan pembatas berupa dinding
pagar dan pintu masuk dengan pintu besi. Dinding pembatas antara makam
dan halaman adalah bangunan baru, begitupun gapura pintu masuk ke areal
makam.
83 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. 84 Setelah gempa besar terjadi di tahun 1867 di Yogyakarta, memporakporandakan
sebagian besar bangunan, termasuk Masjid, maka seluruh bangunan mendapatkan renovasi.
Sayangnya tidak ada catatan, bagian konstruksi mana saja yang mendapatkan renovasi. 85 Gapura paduraksa adalah gapura pintu masuk areal makam.
42
E. Makam
Bagian makam di lingkungan Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
terdapat di bagian barat masjid. Pada bagian dalam makam terdapat tiga buah
bangunan, dua buah bangunan pertama merupakan bangunan lama,
sedangkan satu buah bangunan lainnya merupakan bangunan baru. Bagian
makam dibatasi oleh dinding yang dibangun keliling setinggi 2 meter,
sedangkan pembatas makam dengan halaman, telah dijelaskan dalam poin
sebelumnya. Makam hanya bisa dimasuki dari halaman masjid, karena
halaman masjid adalah satu-satunya akses masuk ke areal makam. Akses ke
bagian makam juga dibatasi, dengan izin yang diberikan secara khusus dari
pengurus masjid. Pada acara hari besar tertentu, ziarah ke areal makam
dipenuhi oleh para jama’ah, tanpa atau dengan izin pengurus masjid.86
Pada areal makam terdapat kurang lebih 60 makam, yang merupakan
keluarga besar dari pengasuh masjid, yang tertua tercatat adalah makam Kyai
Mursodo. Kyai Mursodo adalah generasi pertama pengasuh Masjid Pathok
Negoro Plosokuning.87 Makamnya dinaungi bangunan beratap genteng dan
berdinding tembok. Walau komplek makam dan masjid terpisah oleh tembok
, namun secara keseluruhan baik komplek makam dan masjid terletak dalam
satu kesatuan ruang. Komplek makam maupun masjid merupakan tanah milik
kraton.
B. Komposisi Struktur Masjid
Komposisi struktur masjid adalah penjelasan tentang bahan-bahan
utama (dasar), yang digunakan dalam konstruksi masjid. Adapun bahan-
86 Hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan bapak Kamaludin, pada
tanggal 7 Juni 2015. 87Hasil wawancara dengan bapak R Muh.Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015.
43
bahan utama yang digunakan dalam konstruksi masjid terdiri dari enam
bahan, yaitu: kayu, batu, tanah (dapat berupa keramik, genteng dan batu
bata), pasir dan kapur sebagai pelapis batu bata atau disebut plesteran,88
logam, serta kaca sebagai bahan tambahan.
Struktur masjid terbagi dalam dua bagian, sebagaimana pembagian
dalam tata peletakan struktur masjid, yaitu bagian dalam masjid dan bagian
luar masjid. Bagian-bagian di dalam lingkungan masjid tersebut pada
pembahasan di poin ini, akan dijelaskan mengenai komposisi struktur yang
dimaksud berupa, bahan dan ukuran, yaitu:
1. Bagian Dalam
Bagian dalam masjid berbahan dasar tanah (batu bata dan genteng)
kayu, logam dan kaca. Bagian yang berbahan dasar tanah (batu bata) adalah
dinding tembok, dahulu bagian dinding terbuat dari lembaran papan kayu jati.
Jika mengacu pada keterangan dari buku R. Suprobo, maka masjid Pathok
Negoro Plososkuning sejak tahun 1812 M, diganti dengan dinding tembok
dinding tanah (batu bata) yang belum dilapisi oleh plester pasir dan kapur.
Perbaikan dinding kembali dilakukan setelah tahun 1869 M, yaitu pasca
gempa besar yang melanda Yogyakarta pada tahun 1867 M, maka semua
dinding masjid Pathok Negoro yang ada di Yogyakarta dilapisi dengan plester
88Aspek percampuran budaya Indies, dapat dilihat antara Barat dan Jawa dalam
Masjid berupa dinding tembok. Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup
Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII-Medio Abad XX, hlm. 59.
44
pasir dan kapur.89 Plester kapur dan pasir kemudian dilapisi lagi oleh plester
semen pada saat renovasi besar tahun 1984 M.90
Bahan kayu menjadi bagian paling penting di bagian dalam masjid,
karena untuk pengantian dan pembenahannya, harus dikonsultasikan dahulu
dengan BP3 DIY dan Balai Arkeologi Yogyakarta, karena bangunan ini
termasuk dalam pengawasan kedua lembaga tersebut. Hanya sangat
disayangkan, bahan dasar tanah (genteng kreweng) di atap utama masjid (dari
sebelumnya atap sirap), telah diganti dengan bahan yang tidak mendekati
asli, yang tersisa hanya bagian puncak atap bersusun dua yang disebut
mustaka.91
Bahan dasar Mustaka yang sekarang, terbuat dari susunan logam seng,
dahulu terbuat dari tanah liat bakar (seperti bahan untuk genteng gada
sulur).Walaupun sekarang bahannya berubah, namun bentuk aslinya masih
tetap mengikuti ketentuan dari Kraton Yogyakarta.92 Sisi kepraktisan menjadi
hal utama, yaitu karena mudah diganti dengan model yang sama jika ada
kerusakan.93
Pada bagian utama tengah masjid (ruangan salat) yang ditopang oleh
empat tiang sokoguru, terdapat semacam plafond tepat di atas struktur dada
89 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung
Angkasa, 1983), hlm. 63. 90 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 14. 91 Pada keterangan berbeda, bahwa genteng kreweng yang baru, dipasang pada
renovasi di tahun 1946. Oleh hasil reportase, M. Fahrurrozaq, dalam program acara “Tasbih”,
yang diproduksi oleh ADITV, tahun 2010. 92 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kasultanan
Yogyakarta, (Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009), hlm 63. 93 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 7 Juni 2015.
45
paesi, disebut uleng.94 Uleng adalah sedikit bagian yang diberi potongan
kaca, sebagai tempat sinar matahari masuk. Bahan kaca yang terdapat di
jendela dan pintu masuk pada masjid Pathok Negoro Plosokuning, terdapat
pula di hampir semua masjid di Indonesia.95 Bahan dari semen yang
berbentuk kotak (konblok) dengan motif mercy, terdapat di bagian
pengimaman dan bagian dinding tembok pemisah antara ruang utama dan
ruang pawestren. Dinding pemisah antara ruang pawestren juga diberikan
teralis kayu di bagian atas dinding dari konblok.
Pada bagian atap seluruhnya telah diganti dengan genteng pada tahun
1946 M, dari sebelumnya beratap sirap dan atap kayu di tahun 1724 M dan
1812 M. Genteng tanah yang tipis (kreweng) pertama kali dipasang sekitar
tahun 1869 M. Pada tahun 1946 M, atap genteng kreweng diperbaharui
kembali, kemudian genteng kreweng diganti pada tahun 1990-an, dengan
genteng tebal yang bagus.96
Pada bagian mustaka puncak atap terbuat dari logam seng.
Sebelumnya mustaka sebagai mana gadha sulur terbuat dari tanah liat yang
dibakar, namun karena bahan ini mudah rapuh dan sangat sulit dibuat
kembali, maka untuk sisi kepraktisan, diganti dengan bahan dasar logam seng
dengan bentuk dan motif yang sama.
Tiap ujung bagian atap yang disebut gadha sulur, masih
dipertahankan seperti aslinya. Pada bagian talang, diberikan lapisan seng
94 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hlm. 517-518. 95 Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2006), hlm. 117-120. 96 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 11-13.
46
(logam) dibanding dahulu dari bambu yang mudah rapuh. Adapun penjelasan
bahan dan ukuran dari bagian dalam masjid, yaitu:
A. Mihrab
1. Bahan:
Bahan dasar dari bagian dinding mihrab adalah, batu bata, kapur dan
pasir. Untuk bagian jendela, berbahan dasar kayu dan kaca, sedangkan untuk
bagian plafon mimbar berbahan dasar kayu dan atapnya dilapisi genteng.
Dibagian kanan dan kiri mihrab terdapat konblok berlogo mercy (segitiga),
yang berfungsi sebagai ventilasi.
2. Ukuran:
Ukuran mihrab memiliki panjang 2 meter dan lebar 2 meter, sehingga
luas keseluruhan sekitar 4 meter². Untuk tinggi dari lantai ke plafon, hanya 2
meter di paling ujung, makin ke tengah, tingginya sekitar 2,5 m. Di pintu
masuk mihrab berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sekitar 0,5 m.
B. Ruang Shalat
1. Bahan:
Ruang sholat bahan dasar lantainya adalah batu, tanah, kapur dan pasir
(tegel) dan keramik. Pada bagian tiang penyangga, bahan dasarnya adalah
kayu jati dan batu (sebagai umpak). Jika mengacu pada pemasangan tegel
kembang di Masjid Agung Kraton pada tahun 1936 M, dari sebelumnya lantai
Masjid Agung Kraton terbuat dari batu yang dipotong tipis,97 maka
kemungkinan besar pemasangan tegel di Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
97 Sri Sugiyanti, dkk., Masjid Kuno Di Indonesia, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 1998/1999), hlm. 176.
47
tidak terlalu jauh jarak waktunya, mungkin setahun atau dua tahun setelah
Masjid Agung Kraton.
Hal ini mengacu pada asumsi, bahwa setelah selesai (atau dapat pula
bersamaan) perbaikan Masjid Agung Kraton, pasti juga akan dilakukan
perbaikan di masjid-masjid Pathok Negoro yang ada di seluruh Yogyakarta,
setelah gempa besar pada tahun 1867 M.
2. Ukuran:
Ukuran ruangan dalam masjid luas kelilingnya 180 m²98, dengan
bentuk bujur sangkar, maka masing-masing garisnya mencapai 45 meter.
Ketinggian masjid dari lantai hingga ke puncak atap sekitar 22 meter. Tiang
penyangga bagian dalam masjid, selalu mengikuti ketentuan seperti Masjid
Agung Kraton, terdapat 4 buah tiang utama (sokoguru) yang ditopang oleh
batu umpak berpahatkan lafadz Nabi Muhammad (sayang karena dicat dan
sudah sangat lama, keausan pahatan itu telah terlihat sehingga bentuk jelas
pahatan itu mulai pudar) dan 12 tiang penyangga tambahan (sokorowo), juga
ditopang oleh batu umpak.99
Masing-masing tiang penyangga sama diameternya, yaitu 25 cm
dengan volume keliling 100 cm². Ketinggian tiang ini dengan bagian atas
(plafon) bervariasi, untuk tiang tambahan (sokorowo) seluruhnya sekitar 3
meter, sedangkan untuk tiang sokoguru sekitar 5 meter, dengan ujung plafon
terbagi 4 bagian dengan masing-masing bagian terbagi dengan batas sebuah
kayu, yang disebut dada paesi. Dada paesi terbuat dari kayu jati dengan
diameter keliling sekitar 8 meter², dengan masing-masing bagian sisinya
98 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1 99 Sugiyanti, dkk., Masjid Kuno Di Indonesia, hlm. 178.
48
mempunyai panjang dan lebar 2 meter. Pada bagian atas terdapat sebuat celah
kecil dengan tinggi 10 cm, sebagai jalan masuk cahaya dan udara dari atas ke
bagian dalam masjid.
Ketinggian dari bagian dada paesi hingga ke atap, diperkirakan sekitar
4 meter. Sedangkan ukuran atap bagian tajug puncak di masing-masing sisi
sekitar 2 m. Sedangkan untuk atap tajug bawah yang menaungi bagian utama
masjid, penulis memperkirakan panjangnya sekitar 12 meter di setiap sisinya,
dengan ketinggian dari ujung atap bawah hingga ke ujung atap atas bagian
sekitar 6 m.
C. Mimbar
1. Bahan:
Bahan dasar dari bagian mimbar seluruhnya adalah kayu jati.
Dipilihnya kayu jati sebagai material utama, karena sesuai namanya kayu jati
adalah Sajatining Kayu. Kayu jati memiliki keistimewaan, yaitu kekuatannya.
Oleh karena itu, kayu jati digunakan sebagai bahan utama untuk membuat
kapal. Jika kapal yang terbuat dari kayu jati bisa bertahan menghadapi
gempuran ombak, maka apalagi jika ada mimbar masjid yang bahan
utamanya dari kayu jati, pasti bisa berumur lebih panjang.
2. Ukuran:
Ukuran mimbar berdiameter keliling sekitar 5 m², dengan lebar 50 cm,
panjang 2 meter dan tinggi 2,5 meter. Digunakan untuk khatib berkhutbah
dalam ritual rutin keagamaan (sholat Jum’at maupun khutbah sholat lainnya
yang menggunakan mimbar). Terdapat ukiran bermotif sulur yang artinya
tanaman merambat yang terdapat pada bagian pegangan.
49
2. Bagian luar
A. Serambi
1. Bahan:
Bahan dasar utama dari bagian serambi adalah batu, tanah, kayu dan
logam. Bahan batu digunakan untuk umpak dan lantai masjid. Bahan tanah
digunakan untuk bahan atap masjid berupa genteng dan lantai masjid.
Sebelum dilapisi dengan lantai keramik, bagian lantai yang dahulu berbahan
batu bata dilapisi oleh plester kapur dan pasir, sejak tahun 1976 M, seluruh
lantai serambi masjid dilapisi oleh ubin (tegel).100 Pada tahun 2000 M awal
lantai serambi telah dilapisi oleh keramik berwarna putih, baik serambi di
bagian bawah maupun serambi bagian atas, begitupula tangga-tangga
lantainya.101
Untuk bahan dasar logam, digunakan pada bagian pagar, yang
membatasi bagian serambi dari bagian kolam. Sedangkan penggunaan bahan
kayu, dapat diamati dengan adanya tiang penopang atap, rusuk atap dan pagar
keliling antara serambi atas dengan serambi bawah. Bagian atap dan tiang
penyangga atap, terbuat dari bahan kayu. Rusuk penyangga gentengpun
terbuat dari kayu. Beberapa bagian dari rusuk diganti secara temporal karena
termakan usia, termakan rayap atau untuk menambah kekuatan seperti dari
kayu jati. Tiang penyangga tidak pernah diganti total, karena bagian ini
menjadi bagian penting, sehingga pergantiannya memerlukan persetujuan dari
BP3 DIY dan Balai Arkeologi Yogyakarta.
100 Tim Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY, Tempat Ibadah Bersejarah
di DIY, (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY, 2002), hlm. 26. 101 Andrianto, Simbol-simbol Dakwah Masjid Pathok Nagari Plosokuning dalam
Tayangan Pesona Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika, hlm. 39.
50
2. Ukuran:
Luas keliling bagian serambi masjid sekitar 148 m²102, dengan
ketinggian dari tanah halaman luar sekitar 1 meter. Detail rinciannya yaitu,
luas keliling di bagian utara dan selatan masing-masing 18 m², dengan
panjang 10 meter, dan lebar 1,8 meter. Pada serambi bagian timur seluas
keseluruhan 130 m², dengan rincian, panjang 13 meter dengan lebar 10 meter.
Pada bagian serambi ini terdapat dua lapis lantai, sekitar 50 cm antara lantai
yang atas dan lantai yang bawah. Luas keliling di lantai lapis atas sekitar 115
m², dengan rincian panjang 11,5 meter dan lebar 10 meter. Pada bagian lapis
bawah, luas kelilingnya 15 meter, dengan panjang 10 meter dan lebar 1,5
meter. Bangunan serambi ditopang oleh 36 buah tiang penyangga kayu,
dengan rincian, 12 buah tiang berada di lantai serambi bagian atas dan 24
buah berada di serambi bagian bawah. Semua tiang di serambi ini bervolume
keliling 60 cm², dengan tiap bagian sisi tiang 15 cm. Tiap tiang ditopang oleh
sebuah batu umpak bervolume keliling 80 cm². Ketinggian bangunan serambi
di semua sisi luar hanya 2 meter, sedangkan di bagian dalam ketinggiannya
bervariasi, pada bagian serambi di lantai bawah, ketinggian di sisi luarnya 2
meter, sedangkan pada bagian serambi lantai atas antara 3 meter di lekukan
atap, hingga 4 meter di bagian tengah atau pada bagian yang atapnya
mengkerucut.
Bagian serambi yang berbatasan dengan bagian dalam masjid, dibatasi
oleh sebuah dinding, jendela dengan teralis kayu dan tiga pintu kayu yang
102 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1
51
besar, serta dilengkapi dengan 3 buah anak tangga untuk masing-masing
pintu, dengan panjang 50 cm serta ketinggian masing-masing anak tangga 20
cm. Pada bagian utara dan selatan, terdapat pintu kayu, yang membatasi
bagian serambi dalam dan serambi luar, yang dibatasi oleh dinding.
Bangunan serambi yang menaungi bagian utara dan selatan adalah bangunan
tambahan, dibangun sekitar awal abad ke-19 dan diperbaharui kembali sekitar
tahun 1990-an.103
B. Pawestren
1. Bahan:
Bagian pawestren bahan dasarnya adalah, tanah (berbentuk batu bata
dan keramik), kayu, kapur dan pasir. Untuk bagian dinding, bahan dasar
utamanya adalah batu bata yang dilapisi oleh campuran kapur dan pasir.
Sedangkan untuk teralisnya berbahan dasar kayu. Untuk bagian lantai bahan
dasarnya adalah keramik.
2. Ukuran:
Bagian pawestren berukuran 3 x 9.25 m². Panjang 9,25 m dan lebar 3
meter. Ketinggian bagian pawestren dari lantai hingga ke bagian atap,
bervariasi, di bagian paling kanan memiliki ketinggian sekitar 2 m, sedangkan
makin ke kiri makin tinggi dengan ketinggian maksimal 3 m.
C. Kolam
1. Bahan:
Pada bagian kolam, terdapat empat bahan utama, yaitu: batu, batu
bata, pasir, kapur dan logam. Batu, batu bata serta pasir dan kapur yang
103 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, (Sleman: Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning, 2010),
hlm. 13.
52
digunakan sebagai campuran plester. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan
dasar kolam, untuk menyimpan air agar tidak cepat hilang karena merembes
ke dalam tanah. Logam digunakan sebagai pagar pembatas kolam dengan
halaman. Tidak terdapat bahan logam di dasar kolam, karena memang
semenjak pertama dibangun, belum mengenal sistem konstruksi beton
bertulang.104
Dinding kolam yang dindingnya berhubungan dengan bagian serambi,
dilapisi oleh keramik berwarna krem. Sedangkan dinding kolam yang
berhubungan dengan bagian jembatan penyeberangan di utara dan selatan
masjid, lantainya dilapisi oleh keramik berwarna hijau. Sebelum dilapisi oleh
keramik, dulu hanya berupa plesteran pasir, kapur dan campuran semen.105
Bagian tanpa keramik masih dapat dilihat sebagiannya, terutama di bagian
tatag rambat atau anak tangga di dalam kolam menuju bagian serambi.
2. Ukuran:
Bagian kolam masjid berukuran keliling 224 m²106, dengan rincian,
bagian utara dan selatan: panjang kolam di bagian kanan serta kiri masjid 8
meter dan ruangan jalan di bagian kanan dan kiri juga memiliki panjang 8
meter, dengan lebar kolam 4 meter. Pada kolam di bagian timur, panjang
kolam 40 meter di bagian timur dan lebar kolam 4 meter, dengan kedalaman
3 meter, yang memiliki arti bahwa kita sebagai manusia dalam menuntut ilmu
harus total atau tidak setengah hati, tapi sedalam-dalamnya.
104 Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin, pada tanggal 7 Juni 2015. 105 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015.
106 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1
53
D. Jembatan Penyeberangan
1. Bahan:
Bahan dasar dari jembatan penyeberangan, baik jembatan
penyeberangan utama107 maupun jembatan penyeberangan yang ada di utara
dan selatan, yaitu: tanah berupa genteng, logam untuk pagar pembatas, kayu
untuk jendela, tiang penyangga genteng dan rusuk, batu bata, pasir dan kapur,
untuk dinding jembatan penyeberangan di bagian utara dan selatan. Bagian
atap dari jembatan penyeberangan utama dan jembatan penyeberangan yang
ada di utara dan selatan, terbuat dari tanah berupa genteng. Genteng tersebut
agaknya baru, karena tidak ada ciri khas genteng lama berupa genteng
kreweng atau beratap sirap. Menurut R. Suprobo, atap sirap yang lama sudah
diganti dengan genteng baru, berupa genteng kreweng, lalu diganti lagi
dengan genteng baru yang lebih tebal.108 Jembatan penyeberangan di bagian
utara dan selatan, belum mengalami perubahan berarti pada bahan, terutama
temboknya masih asli. Hanya jendela saja yang diperbaharui, dari jendela
terbuka tanpa daun jendela, menjadi jendela tertutup dengan teralis kayu.109
Sedangkan lantai dan temboknya tetap dari batu bata yang dilapisi oleh pasir
dan kapur.
107 Menurut bapak Kamaludin, bagian lantai jembatan penyeberangan utama, bahan
dasar aslinya adalah kayu, lalu diganti dengan beton, untuk memperkuat kekuatan dan untuk
menyesuaikan dengan bagian serambi Masjid. Hal ini dilakukan semenjak renovasi besar-
besaran tahun 1984. Semenjak lantai jembatan penyeberangan utama diganti dengan beton,
maka secara otomatis, tiang penyangganya juga diganti dengan tiang dari logam, oleh karena
itu, bagian ini menjadi paling berbeda bahannya di antara yang lain. Untuk lapisan keramik,
dipasang sejak awal tahun 2000-an. Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin pada tanggal
7 Juni 2015. 108 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 15. 109 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 13.
54
2. Ukuran:
a. Jembatan Penyeberangan Utama
Panjang jembatan penyeberangan utama dari halaman masjid menuju
ke serambi sekitar 5 meter serta memiliki lebar 2 meter. Jembatan
penyeberangan utama memiliki tinggi dari lantai dasar hingga ke atap sekitar
3, 25 meter.
b. Jembatan Penyeberangan Bagian Utara dan Selatan
Pada bagian jembatan penyeberangan di bagian utara dan selatan,
panjangnya sekitar 5 meter dan memiliki lebar sekitar 3 meter. Untuk
ketinggian, bagian ini memiliki ketinggian sekitar 4 meter, dari dasar lantai
hingga ke atap berupa gada sulur.
E. Halaman
1. Bahan:
Bahan utama bagian halaman adalah tanah, batu, kapur, pasir, logam
dan kayu. Bagian tanah adalah alas dasar halaman, saat ini sekarang sudah
dilapisi oleh potongan tipis batu gunung. Bahan dasar tanah juga digunakan
untuk tembok pagar pembatas antara bagian halaman. Tembok pagar
pembatas tersebut dilapisi oleh bahan campuran kapur dan pasir untuk plester
batu bata. Untuk bahan kayu terdapat pada tumbuhan pohon sawo yang ada di
kanan dan kiri bagian timur halaman. Bahan logam digunakan sebagai daun
pintu pagar masuk masjid, di bagian timur maupun bagian selatan.
55
2. Ukuran:
Ukuran halaman masjid keliling sekitar 500 m²110, dengan perincian di
bagian utara dan selatan: lebar 4 m kali panjang 5 m (luas keliling 20 m²) dan
panjang 10 kali 46 m (luas keliling 460 m²).
F. Makam
1. Bahan:
Bahan utama makam yaitu, tanah, batu, kapur, pasir, kayu dan logam.
Bahan tanah terutama adalah atap dan tembok batu bata sebagai penaung
makam utama, yang dilapisi oleh plesteran pasir dan kapur. Sedangkan bahan
kayu digunakan pada rusuk atap dan pagar pintu ruangan makam utama.
Penggunaan bahan logam dapat dilihat pada pagar pintu masuk makam.
Penggunaan batu gunung, digunakan pada batu nisan dan kijing makam,
terutama makam utama keluarga inti pendiri masjid Pathok Negoro
Plosokuning.
2. Ukuran:
Ukuran luas keliling kompleks makam sekitar 300 m² dengan jumlah
makam sekitar 64 buah. Masing-masing bagian makam ada yang berluas 12
m², karena diberi bangunan penaung, terutama makam keluraga utama pendiri
Masjid Pathok Negoro Plosokuning, ada pula luas makam yang hanya 1x2 m,
karena hanya berupa makam tunggal.
110 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1
56
C. Teknik Konstruksi Masjid
Arsitektur di Jawa selalu mengikuti aturan dalam konstruksi yang lebih
besar, di pusat kota (Kotaraja).111 Arsitektur tradisional selalu memperhatikan
aspek budaya, iklim dan ekologis.112 Pada Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, semua aspek tersebut diperhatikan, mulai dari bentuk, fungsi
maupun bahan.
Penerapan teknik konstruksi masjid mengikuti konsep yang lama,
dapat dilihat dari bangunan masjid agung kraton, yang mengikuti bentuk
Masjid Agung Demak.113 Penerapan akan tinjauan budaya, melalui konsep
konstruksi masjid dapat diketahui dari intensitas perubahan cahaya dan suhu,
melalui ilmu falak dan tradisi setempat dalam teknik konstruksi masjid.114
Ada tiga landasan sikap utama dalam yang dapat diketahui dari teknik
konstruksi tradisional Jawa, yaitu: sikap kawruh, yaitu pengetahuan dasar
terhadap falsafah hidup dan alam. Sikap dharma, pengamalan ajaran agama di
dalam lingkungan, sebagai wadah bagi kehidupan dunia dan akhirat. Terakhir
adalah sikap tertib laksana, yang menyatakan bahwa manusia adalah subyek
yang bertanggungjawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
diwajibkan untuk menambah kesadaran dan pengetahuan hidup.115
111 Umar Kayam, “Arsitektur Masyarakat Transisi”, dalam Eko Budihardjo (ed.),
Jatidiri Arsitektur Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 179. 112 Andi Siswanto, “Pudarnya Arsitektur Tropis Indonesia”, dalam Eko Budihardjo
(ed.), Jatidiri Arsitektur Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 161-162. 113 John Pemberton, “Jawa”, On The Subject Of “Java”, terj. Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hlm. 85-86. 114 Arya Roland, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pusaka, 2012), hlm. 52-63. 115 Robi Sularto Sastrowardoyo, Peranan Arsitektur Tradisional, dalam Eko
Budihardjo (ed.), Arsitektur Indonesia Dalam Perspektif Budaya, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1991), hlm. 171-172.
57
Masjid dalam tradisi Jawa merupakan perwujudan dari kegiatan
religius sebagai bagian dari pusat kekuasaan. Konstruksi atap berwujud meru,
mendapat pengaruh Hindu dalam konstruksinya.116 Teknik konstruksi tiang
sokoguru yang diletakkan di atas umpak batu, berfungsi sebagai peredam
getaran.Bagian sambungan kayu atap joglomeru, dipakai teknik ikatan kayu
yang saling mengikat konsol dengan pasak kayu tanpa paku.Teknik tersebut
terbukti tahan terhadap berbagai goncangan, baik gempa bumi maupun
angin.Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara geografis berada di jalur arah
angin dari gunung Merapi di bagian utara, terutama pada malam hari dan juga
berada di atas wilayah yang rentan gempa.
Teknik konstruksi tersebut, diadopsi dari teknik bangunan Masjid
Demak yang berada di pinggir laut utara Jawa, yang kuat bertahan dari
hantaman angin laut di siang dan malam hari. Karena di zaman itu belum ada
teknik konstruksi beton bertulang, maka teknik inilah yang paling tepat
digunakan. Setidaknya ada tiga guncangan gempa besar yang pernah melanda
Yogyakarta, yaitu tahun 1824 M, 1867 M dan 2006 M, meskipun mengalami
kerusakan, namun hasilnya masjid tetap kokoh berdiri. Masjid Pathok Negoro
Plosokuning sendiri telah beberapa kali mengalami renovasi, yaitu: pada tahun
1776 M, 1812 M, 1831 M, 1869 M, 1956 M, 1976 M, 2000 M, 2001 M, 2002
M dan 2006-2007 M.
D. Fungsi-fungsi Bagian-bagian dalam Struktur Masjid
Tiap-tiap bagian dalam struktur masjid, mempunyai fungsinya masing-
masing. Penjelasan ini berguna untuk melihat penggunaan bagian-bagian
116 A Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,
Kajian Mengenai Konsep, Struktur dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha,
Islam Hingga Sekarang, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 9.
58
masjid, sesuai dengan konsep dan tujuan pembangunan dari bagian-bagian
masjid. Adapun fungsi-fungsi pada bagian-bagian masjid, yaitu:
1. Bagian Dalam
Bagian utama adalah struktur Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
sebagaimana telah dijabarkan di atas, terdiri dari tiga bagian, yaitu: mihrab,
ruang sholat dan mimbar. Penjelasan yang ada pada bagian ini disatukan, tidak
terpisah-pisah menurut susunan tersebut. Bagian utama masjid adalah bagian
terbatas, yang dibatasi oleh pintu kayu dan kaca serta dinding pembatas. Pada
saat ini tidak ada fungsi lain di bagian dalam masjid, kecuali untuk ritual
sholat, I’tikaf, mengaji dan prosesi yang ada dalam sholat Jum’at serta sholat
lainnya yang membutuhkan khatib. Bagian kecil di bagian barat masjid yang
berbentuk kubus kecil (mihrab), berfungsi utama sebagai ruang imam
memimpin sholat, tidak ada fungsi lainnya. Pada bagian dalam masjid di
sebelah kanan (utara), terdapat mimbar untuk khatib berkhutbah.
Pada masa sebelumnya sebelum Indonesia merdeka, ada sebuah
fungsi lain di bagian utama masjid, yaitu sebagai tempat berkumpulnya para
pejuang pada malam hari, karena Masjid Pathok Negoro Plosokuning, yang
berada di bawah pengawasan kraton Yogyakarta langsung, adalah salah satu
tempat steril yang dilarang dimasuki oleh militer Belanda. Kondisi itu terjadi
karena bagian utama masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai tempat
sholat, terutama di siang hari, tidak dicurigai untuk tempat berkumpul
memobilisasi rakyat.117
117 Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin, pada tanggal 7 Juni 2015.
59
2. Bagian Luar
Bagian luar berupa serambi, pawestren, kolam, ruangan jalan
jembatan penyeberangan, halaman dan makam, mempunyai beberapa fungsi.
Fungsi-fungsi dari bagian tambahan masjid Pathok Negoro Plosokuning, ada
yang bersifat praktis (utama) dan tambahan, yang sebenarnya bukan
peruntukkan asli bagiannya, namun tetap digunakan sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan penggunaan ruang masjid saat ini.
A. Serambi
Bagian serambi terdapat dua bagian dan masing-masing bagian
mempunyai dua fungsi. Bagian pertama serambi, adalah pawestren, dengan
fungsi utama yaitu tempat (ruangan) sholat khusus untuk kaum wanita, baik
di sebelah utara (kanan) dan selatan (kiri). Fungsi lainnya adalah tambahan
tempat sholat kaum pria pada hari Jum’at, ketika kaum wanita tidak
melaksanakan sholat Jum’at.
Serambi yang terbesar di bagian timur mempunyai banyak fungsi.
Fungsi utamanya adalah tempat untuk sholat, jika terpaksa bagian dalam
masjid telah penuh, maka fungsi tersebut menjadi paling penting, terutama
saat sholat Jum’at. Fungsi utama lainnya adalah, tempat bersilaturrahimnya
para jama’ah masjid selepas sholat dan saat acara tertentu seperti saat
diadakan pengajian rutin atau saat peringatan hari besar Islam tertentu.118
Fungsi tambahannya yaitu untuk beristirahat para jama’ah atau pengunjung
masjid, karena istirahat (tidur) di dalam bagian dalam masjid, sangat dilarang
118 Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin, pada tanggal 7 Juni 2015.
60
oleh takmir masjid.119 Adapula fungsi lainnya yaitu sebagai tempat untuk
menaruh inventaris masjid, di bagian kiri dan kanan yang tidak ada pintunya,
yaitu untuk menaruh perangkat alat musik rebana dan rak buku perpustakaan
kecil masjid.
B. Pawestren
Bagian pawestren fungsi utamanya adalah tempat untuk shalat kaum
Hawa (wanita). Fungsi utama ini berlaku setiap hari dalam shalat lima waktu,
bahkan pada waktu shalat Jum’at, beberapa jama’ah wanita, ikut dalam shalat
Jum’at, meskipun jumlahnya tidak banyak. Tidak ada fungsi tambahan di
bagian pawestren.
C. Kolam
Bagian kolam mempunyai berberapa fungsi, dengan fungsi utama dan
fungsi tambahan. Adapun fungsi utamanya yaitu: sebagai tempat bersuci
(sebelum dibuatkan area berwudhu khusus dengan pancuran pada tahun 1980-
an) dan pertahanan militer.120 Bagian kolam sengaja dibuat lebih rendah dari
bagian serambi, karena dahulu salah satu fungsinya sebagai benteng
pertahanan berupa parit yang berisi air, untuk menyulitkan musuh menyerang,
jika pasukan yang ada terpaksa bertahan di dalam masjid.121 Saat ini fungsi
praktisnya adalah tempat untuk memelihara ikan.
Fungsi tambahan adalah berupa estetika, yang menganggap masjid
(yang diwujudkan dalam arsitektural meru atau gunung di atapnya) adalah
sebuah pulau di tengah lautan. Pengaruh konsep Hindu dalam mikro kosmos
119 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. 120 Dwi Wahyuningsih, Akulturasi Budaya Pada Masjid Sulthoni di Plosokuning,
Ngaglik, Sleman, hlm. 38. 121Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, hlm. 41. (Keadaan serupa juga
ada di bekas Masjid agung Plered, di Masjid agung Kotagede dan Masjid agung Demak).
61
masyarakat Jawa, adalah proses pengejawantahan pancaran sinar raja dalam
arsitektural masjid pinggiran dari pusat kraton. Pada hal ini orisinalitas
perwujudan budayanya, hanya terdapat di Yogyakarta, yaitu di Masjid Pathok
Negoro.122
D. Jembatan Penyebrangan
Jembatan penyeberangan tanpa kaki menyentuh dan masuk kedalam
kolam. Fungsi utamanya adalah sebagai jembatan penyeberangan bagi pejabat
tinggi kraton dan pejabat masjid. Para pejabat diperlakukan berbeda dari
rakyat biasa, sebagai bentuk penghormatan, karena sudah berusaha
memajukan agama Islam di wilayah tersebut.Fungsi bagian ini dapat
ditemukan pada masjid besar kraton Yogyakarta dan Surakarta.123
Sebelum tahun 1990-an, jembatan penyeberangan digunakan
sebagaimana mestinya, terutama jembatan penyeberangan utama di bagian
timur. Fungsi utamanya adalah untuk menyeberang para pejabat tinggi Kraton
Yogyakarta. Namun saat ini fungsi utamanya menjadi tidak sesuai, saat orang
biasa dapat melaluinya. Fungsinya akan kembali seperti semula saat diadakan
acara besar tertentu yang menghadirkan pejabat kraton atau daerah.124
Sedangkan jembatan penyeberangan di bagian selatan dan utara
masjid, dahulunya difungsikan sebagai jembatan penyeberangan bagi pejabat
rendahan kraton. Seringkali difungsikan sebagai tempat menyimpan barang
tertentu, namun saat ini fungsinya hanya sekedar jembatan penyeberangan
semata dan tempat wudhu’, terutama bagi kaum wanita yang menuju ke
122 A. Bagoes, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian Mengenai
Konsep, Struktur dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga
Sekarang, hlm. 10. 123 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. 124 Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin, pada tanggal 7 Juni 2015.
62
bagian pawestren dengan tidak melalui kolam, karena pawestren terletak,
tepat di ujung jembatan penyeberangan bagian utara.
E. Halaman
Fungsi utama bagian halaman adalah sebagai tempat untuk kegiatan
non-ritual keagamaan seperti, tempat warga berkumpul membuat acara
tertentu. Adakalanya bagian halaman juga digunakan untuk aspek ritual
keagamaan, seperti saat sholat di hari-hari besar seperti Iedul Fitri atau Iedul
Adha. Pada beberapa peristiwa sejarah (Perang Jawa 1825-1830 M dan
Revolusi Fisik 1945-1949 M), bagian halaman juga digunakan sebagai tempat
berkumpulnya rakyat.125
Pada perayaan hari-hari besar tertentu, seperti pengajian akbar, bagian
halaman menjadi tempat berkumpulnya jama’ah untuk audiensi. Dua pohon
sawo kecik di bagian halaman, berfungsi menjadi penyejuk dan peneduh
halaman di siang hari. Bagian halaman juga dibatasi oleh sebuah pagar
tembok (panyengker), yang berfungsi sebagai pembatas antara bagian luar
masjid dengan lingkungan dalam masjid.
F. Makam
Fungsi utama makam Masjid Pathok Negoro Plosokuning, adalah
tempat untuk mengebumikan jenazah, dari keluarga yang masih bertalian
darah langsung dengan Kyai Mursodo sebagai pendiri Masjid Pathok Negoro
Plosokuning.126 Tidak ada fungsi praktis lainnya untuk bagian makam, hanya
fungsi religi saja yang dapat diketahui. Sebab makam berada di bagian barat
125 Yuwono Sri Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai
Budaya Yang Terkandung Di Dalamnya, hlm. 5. 126 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. (
Kyai Mursodo amak dari Kyai Nuriman, pendiri Masjid Pathok Negoro Mlangi).
63
masjid, maka makam sejak zaman Kesultanan Demak, berfungsi sebagai
tempat penghormatan dan pengingat para jama’ah yang berziarah, untuk
selalu mengingat kehidupan akhirat kelak.127 Karena untuk memberikan
pemaknaan utuh bahwa antara kehidupan dan kematian sangatlah dekat.
127 Roland, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa, hlm. 53.
64
BAB IV
PERWUJUDAN SIMBOLIK ARSITEKTUR
A. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta
Kedudukan atau status dalam struktur kerajaan, berkaitan dengan
tingkatan derajat, baik dalam bentuk, posisi maupun pancaran perhatian dari
pusat atau Kraton raja. Raja digambarkan sebagai pusat kekuasaan yang
memancarakan sinarnya ke segala penjuru kerajaan.128 Raja Jawa selalu
dianggap sebagai wakil Tuhan dalam segala hal, baik dunia maupun akhirat,
hal itu tercermin dari gelarnya Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengkubuwono Kaping atau Senopati Ingalogo Ngabdurrahman
Sayidin Panotogomo Kalipatullah ing Ngayogyakarta.129
Marcel Bonneff dalam tulisannya yang berjudul Le Kauman de
Yogyakarta Des Fonctionnaires Religieux Convertis Au Reformisme et a
i’Esprit d’Enterprise menyebutkan bahwa punggawa dari beberapa Masjid
Pathok Negoro, bertugas sebagai asisten khusus penghulu hakim yang
bertanggung jawab dalam pengadilan surambi di Masjid Agung Kraton dan
berjumlah empat orang.130 Menurut Bonneff, keberadaan Pathok Negoro ini
mengikuti konsep mancapat dengan penghulu di tengah-tengahnya. Keempat
orang penghulu dari Masjid Pathok Negoro tersebut, menempati desa yang
128 Revianto Budi Santosa (ed.), Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari
Jadi Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008),
hlm. 46. 129 Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis
Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, hlm. 60. 130 Mercel Bonneff, “Le Kauman de Yogyakarta. Des Fanctionnaires Religieux
Convertais Au Reformisme et a i’Esprit d’Entreprise”, ARCHIPEL, No. 30. (Paris:
Assosiation Archipel, 1985), hlm. 178.
65
ditetapkan sebagai desa perdikan dan bernama Kauman (nama Kauman
mengikuti sifat perdikan-nya). Keempat desa tersebut adalah: (1) Mlangi; (2)
Plosokuning; (3) Babadan; dan (4) Dongkelan. Pada keterangan Bonneff
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebutan Pathok Negoro meliputi: jabatan
asisten penghulu, masjid, dan desa yang berstatus perdikan.
Pada konteks Masjid Pathok Negoro Plosokuning, raja merupakan
pelindung agama sekaligus perwujudan dari pancaran sinar raja di salah satu
sudut kerajaan, dalam hal ini Kraton Yogyakarta ke daerah Plosokuning.
Sejak masa Sultan Hamengkubuwono I hingga saat ini, Masjid Pathok
Negoro Plosokuning, tetap merupakan bagian yang integral dengan kraton,
dan segala aspek yang berkaitan dengannya dalam hal struktural, dibahas
secara lebih mendalam dalam dua poin di bawah ini:
1. Status Tanah
Sebagaimana telah disampaikan secara singkat di bab sebelumnya,
bahwa status tanah di Masjid Pathok Negoro Plosokuning bersifat perdikan.
Tanah perdikan adalah status yang diberikan pihak kraton karena beberapa
sebab, salah satunya karena adanya keistimewaan tertentu, misalnya terdapat
makam kerajaan atau tempat tinggal tokoh tertentu yang berjasa pada raja dan
pusat pengajaran agama Islam.131
Tanah atau desa yang diberikan status perdikan adalah secara khusus
mempunyai keistimewaan, dengan pemberian keputusan daerah bebas pajak,
tidak diwajibkan kerja wajib dan tidak boleh diganggu gugat. Desa ini akan
memberikan bantuan secara utuh kepada raja, apabila raja membutuhkan.
131 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta, (Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009), hlm. 48.
66
Penduduk desa hanya diwajibkan menjaga, memelihara dan memajukan
sesuai dengan keadaan yang diembannya, misalnya memajukan pendidikan
Islam atau merawat makam ulama dan tokoh kerajaan.
Pemberian status desa perdikan Plosokuning sudah diberikan sejak
masa Sultan Hamengkubuwono I. Hal ini berkaitan dengan pertalian darah
dan kedudukan serta keadaan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, yang
pengasuhnya masih keponakan langsung dari Sultan Hamengkubuwono I.
Pengukuhan tanah perdikan pada Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
tertuang dalam keputusan dari Sultan Hamengkubuwono II dengan kalimat:
“Sitinggil menyang Pagelaran, Pangulu Menyang Sayid Syarip,
sakancanira pradikan, mutihan pathoknagari, sedene ketib, modin, nguni
tuguripun, aneng mesjid Surambya”.132
Seiring bertambahnya tanah-tanah yang dimaksudkan di atas, maka
pemerintah kolonial berusaha menghapus tanah-tanah tersebut di hampir
semua daerah di Jawa, jika tidak ada ketetapan pada masa sebelumnya. Hal
tersebut tertuang dalam Indiesche Staatregeeling tertanggal 2 September
1854 M pasal 129. Ada beberapa kriteria desa dengan status tersebut, yang
diwajibkan pemerintah kolonial membayar pajak, yaitu yang ditentukan oleh
banyaknya penduduk yang mendiami suatu batas desa tertentu dalam satu
kawedanan.133
Keputusan kolonial yang menghalangi kemajuan agama Islam, tidak
terjadi di daerah sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning, yang berada di
132 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta, hlm. 49. 133 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), hlm.71 dan 86.
67
bawah pengawasan langsung Sultan. Status tanah perdikan tidak pernah
berakhir, namun berganti keadaan sejak Indonesia merdeka dan Yogyakarta
menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.134
2. Status Administrasi
Kewenangan yang diterima oleh Masjid Pathok Negoro Plosokuning
dari kraton, mencerminkan keinginan kraton untuk mengatur daerahnya,
dengan salah satu sudutnya adalah Masjid Pathok Negoro di Plosokuning.
Pemberian status tersebut berasal dari Sultan Hamengkubuwono I secara
informal, kemudian diakui secara formal yang diketahui sejak masa Sultan
Hamengkubuwono II, lalu diperkuat kemudian di masa Sultan
Hamengkubuwono III. Sebab sifat tanahnya yang perdikan, maka sebagian
besar penduduknya dan takmir masjid khususnya, berstatus sebagai abdi
dalem kraton di bidang agama.135
Status administrasi diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan lapis
empat. Sebagaimana telah dijelaskan di bab II sebelumnya, bahwa secara
status kewilayahan berada di bawah pengawasan langsung Sultan
Hamengkubuwono, melalui Patih Jawi, kemudian Wedana Jawi yang
membawahi negaragung Gadhing Mataram.136 Secara adminitrasi
keagamaan, berada di dalam administrasi Reh Kawedanan Kepengulon di
bawah korps Suronoto, namun korps Suronoto dibubarkan paksa pada tahun
1830, karena diketahui membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang
134 Artinya adalah, tanah dengan sifat tanah perdikan tetap ada dan diakui, namun
tidak membayar pajak langsung ke negara, tetapi pihak Kratonlah yang membayar pajak ke
negara. 135 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta, hlm. 54. 136 S. Margana, Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 10.
68
Jawa.137 Setelah korps tersebut dibubarkan paksa oleh Belanda melalui
kraton, maka yang tertinggal hanya administrasi keagamaan, dengan bagian
kewilayahan melalui kawedanan kepengulon.
T.S Raffles dalam tulisannya History of Java, menceritakan bahwa
dalam pengadilan surambi di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, penghulu
utama jika akan memutuskan sebuah perkara, dibantu oleh para penghulu
yang berasal empat dari masjid, termasuk Plosokuning. Data ini kemungkinan
berasal dari pengamatan pejabat pemerintah di tahun 1812-1816 M, saat
kekuasaan Inggris berlangsung.138
Tugas dan fungsi abdi dalem Pathok Negoro, baik secara formal
maupun informal, yaitu:
a. Sebagai pemimpin daerahnya sendiri (desa tempat masjid berdiri).
b. Sebagai pemimpin agama bagian pedesaan daerah.
c. Pembantu penghulu gedhe dalam pengadilan surambi di Masjid
Agung Kraton Yogyakarta.
d. Pengurus utama seluruh bangunan Masjid Pathok Negoro.
Adapun para penghulu hakim dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning
sejak tahun 1771 M hingga tahun 1928 M,139 dalam catatan arsip Kawedanan
Kepengulon, yang berjudul: Kundisi Sebatipun Abdi Dalem Golongan Reh
Kawedanan Pengulon Tahun 1928, yaitu:
137 Vincent J.H. Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta 1830-
1870, terj. E. Setyawati Alkhatab, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 12. 138 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta, (Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009), hlm. 54. 139 Kemungkinan besar, pengangkatan para penghulu hakim dengan sistem
administrasi kepengulon di Kesultanan Yogyakarta, terjadi setelah berdirinya Masjid agung
Kraton. Meskipun begitu, keberadaan Masjid Pathok Negoro diakui secara informal, baru
setelah Masjid agung Kraton berdiri dan keberadaan lima Masjid Pathok Negoro lengkap
berdiri, dibentuklah birokrasi secara formal. Ada perbedaan silsilah di salah satu sumber
69
a. R.M Kyai Mustapa anak dari Kyai Mursodo, bergelar Kyai Khanafi 1.
b. Kyai Khanafi II dengan nama asli R.M Kyai Ali Imron.
c. Kyai Khanafi III dengan nama asli R.M Kyai Sarbini.
d. R.M Pawirodimedjo, sebagai Lurah desa Plosokuning.
e. Kyai Khanafi IV dengan nama asli R.M Jasmani.
Status administrasi pengadilan kepengulon dalam pengadilan surambi
oleh Masjid agung dan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, dihapuskan
secara administrasi negara, melalui keputusan UU no. 23 tertanggal 29
Agustus 1947 M. Secara adat korps kepengulon tetap diakui oleh negara
sebagai bagian dari institusi intern Kesultanan Yogyakarta.140 Daerah
Plosokuning dibagi menjadi dua bagian, Plosokuning lebet dan Plosokuning
jawi,141 yang ditandai dengan stratifikasi masyarakatnya. Plosokuning
lebet,142 hanya terdiri dari keluarga inti keturunan Kyai Mursodo dan
berstatus Priyayi dengan gelar raden, sedangkan Plosokuning jawi, adalah
para pendatang.
Setelah pengadministrasian ulang pada tahun 1947 M, maka sistem
administrasi kepengulon Masjid Pathok Negoro Plosokuning khususnya, tidak
lagi berlaku di dalam aktifitas pengadilan dan birokrasi hukum negara, tetapi
sistem birokrasi kepengulon di seluruh Masjid Pathok Negoro pada umumnya
masih berlaku secara internal dan terpisah dari negara, yaitu sebagai bagian
dari birokrasi kepengulon Kraton Kesultanan Yogyakarta, namun tidak lagi
140 Albaab, Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer Masyarakat
“Masjid Pathok Negoro Plosokuning), hlm. 26. 141 Plosokuning Jawi adalah daerah diluar lingkaran inti masjid, tetapi masih dalam
batas administrasi desa. 142 Plosokuning Lebet adalah daerah yang mana dikhususkan untuk keluarga dari
keturunan Kyai Mursodo.
70
mempunyai wewenang mengadili secara hukum negara,143 namun tetap
diakui sebagai pengawal tradisi budaya Jawa dan bersifat mengurus Masjid
saja sebagai takmir. Adapun nama-nama personilnya,144 yaitu:
a. R. Zainuddin sebagai ketua takmir Masjid Pathok Negoro
Plosokuning pertama, bertugas sejak tahun 1946/ 7 hingga 1952.
b. R. H. Marchum, bertugas: 1953 hingga 1987.
c. R. Zaini Mulyadi, BA., bertugas: 1988 hingga 1993.
d. R. Drs. Idris Purwanto, bertugas: 1994 hingga 1998.
e. R. Amd, Suprobo, bertugas: 1999 hingga 2003.
f. R. H. Kamaluddin Purnomo, SH, bertugas: 2004 hingga sekarang.
B. Makna Simbolik Arsitektur Masjid
Simbol bagi manusia, adalah sarana komunikasi yang diwujudkan
dalam bentuk-bentuk atau makna-makna tertentu, untuk disampaikan kepada
manusia yang lain agar mengerti keinginan dan kebutuhannya. Pada manusia
Jawa, simbol sebagai sarana komunikasi, diwujudkan dalam bentuk-bentuk
yang mempunyai makna-makna tertentu, yang diharapkan dapat diingat,
dikupas dan terus dilestarikan semangatnya oleh generasi selanjutnya.145
Bangunan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, dapat dinyatakan sebagai
sebuah simbol dalam bentuk tetenger. Setiap bangunan menurut Romo Y.B
Mangunwidjoyo, seharusnya memiliki aspek guna dan citra. Makna dari kata
143 Kewenangan mengadili perkara pidana bahkan sudah tidak berlaku lagi sejak
tahun 1831, namun untuk masalah kemasyarakatan seperti pernikahan, tempat untuk
meminta pendapat serta aspek keagamaan lainnya, masih tetap berlaku. Hukum positif
Belanda yang diterapkan di Kesultanan Yogyakarta sejak tahun 1831, sehingga pengadilan
surambi yang memutuskan perkara pidana sudah tidak ada lagi. Tim Museum Sonobudoyo,
Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, hlm. 77. 144 Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 16. 145 Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, hlm. 36.
71
Guna adalah selalu berkaitan dengan kegunaan, untuk apa bangunan itu
dibangun dan dengan dengan maksud yang bagaimana bangunan itu dibuat.
Sedangkan makna kata Citra adalah, bagaimana kesan dan penghayatan akan
makna simbolik yang mungkin ditimbulkan dari sebuah bangunan.146 Dapat
diketahui dalam bebrapa aspek, yaitu:
1. Politik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa asal kata dari
Pathok Negoro, adalah batas negara. Masjid Pathok Negoro secara nyata
adalah batas negara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta
dalam bentuk bangunan rumah ibadah. Masjid di masa penjajahan selain
berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk
bermusyawarah, menggalang persatuan dan kesatuan untuk mengusir
penjajah.147
Semenjak berdiri negara Kesultanan Yogyakarta di tahun 1755 M,
Masjid Pathok Negoro telah menjadi semacam tanda perbatasan wilayah
antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Pada masa itu
(sebelum tahun 1830 M) wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan
Surakarta saling bercampur aduk, sehingga dibutuhkan batas politis berupa
bangunan atau tetenger tertentu yang menandakan batas wilayah negara
masing-masing.
146 Eko Budihardjo, Arsitektur dan Kota di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni,
1991), hlm. 9. 147 G.M Sudarmika, “Tinggalan Arkeologi Sebagai Salah Satu Wahana Pemersatu
Unsur Bangsa”, dalam, Proceeding EHPA, Mencermati Nilai Budaya Masa Lalu Dalam
Menatap Masa Depan, Bedugul 14-17 Juli 2000, (Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian
Arkeologi, 2001), hlm. 292.
72
Simbol berupa pengakuan Masjid-Masjid Pathok Negoro
memunculkan kesan bahwa Sultan, sebagai pemimpin negara Kesultanan
Yogyakarta, melindungi aset fisiknya secara politis dengan mengakui secara
informal dan formal, daerah yang mengembangkan agama Islam dengan
memberikan keistimewaan tanah dan penduduknya, sebagai bagian dari klaim
religius dengan cara melindungi di bawah naungannya.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah daerah perbatasan milik
Kesultanan Yogyakarta, yang terletak di perbatasan bagian barat laut
Kasunanan Surakarta dan timur laut dari ibukota raja Kesultanan Yogyakarta.
Kondisi berbeda terjadi di Kasunanan Surakarta, hal itu terjadi karena di
Kasunanan Surakarta tidak mempunyai keadaan dan ketentuan seperti itu,
tidak ada tanda perbatasan yang jelas, seperti tonggok batas atau bangunan
yang diakui oleh pihak Kasunanan Surakarta terhadap wilayahnya.
Sultan dengan tegas menyatakan bahwa daerah Masjid yang ada di
lima sisi Kotaraja Kesultanan Yogyakarta, yang berbatasan dengan wilayah
Kasunanan Surakarta, sebagai bagian dari Kesultanan Yogyakarta dengan
cara membentuk dan mengintegrasikannya dalam birokrasi Kesultanan
Yogyakarta. Hal itu ditandai dengan terbentuknya sistem birokrasi,
sebagaimana telah dijelaskan dalam poin sebelumnya.
Selama masa Perang Jawa (1825-1830 M) yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro, Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara aktif ikut
membantu perjuangannya melalui penyediaan logistik, tenaga dan tempat
73
bernaung serta beristirahat bagi pasukan yang sedang bertempur melawan
Belanda.148
Banyak para pejabat penting kraton dan keluarga raja yang
berkunjung secara berkala ke Masjid Pathok Negoro Plosokuning selama
masa Kolonial, menandakan bahwa secara politis, keberadaan Masjid Pathok
Negoro Plosokuning diakui secara politis. Konsep arsitektur Jawa yang
muncul dalam bentuk arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
menandakan bahwa Sultan sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta, masih
memegang teguh adat Jawa serta agama Islam yang saleh, yang sederhana
dan religius, dengan mendirikan tonggak agama dan melestarikannya sebagai
bagian dari garis besar negara Kesultanan Yogyakarta, yang berupaya
melindungi serta mengembangkan agama Islam di tanah Jawa.
Walaupun sempat dicurigai sebagai sarang perlindungan para
pemberontak, namun Masjid Pathok Negoro Plosokuning tidak pernah
dihancurkan oleh Belanda. Belanda hanya memaksa korps yang menaungi
aspek religius Kesultanan Yogyakarta, yaitu korps Suronoto, dipisahkan
secara politis dari induknya yaitu kraton, serta dirontokkan kewenangannya,
yaitu dengan pembubaran korps Suronoto di tahun 1830 M. Walaupun telah
terjadi pemisahan secara birokratis selama masa kolonial, namun pihak kraton
tetap memperhatikan perkembangan Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
meskipun hanya dalam bentuk pembangunan fisik.
148 Meskipun tidak ada catatan resmi, namun ada indikasi bahwa penduduk di sekitar
dan takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning membantu Pangeran Diponegoro, yang
diwujudkan dengan adanya pohon sawo yang menjadi simbol pusat komunikasi bagi pasukan
yang berperang. Lagipula Pangeran Diponegoro sering sekali berkunjung ke daerah-daerah
pusat kajian Islam untuk belajar dan bertemu tokoh ulama. Salah satu bukti Masjid yang
menjadi sasaran serangan pasukan Belanda adalah Masjid Pathok Negoro Dongkelan, yang
dibakar Belanda di tahun 1825.
74
Selama masa kolonial hingga terjadinya Perang Kemerdekaan 1945-
1949 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang telah menjadi salah satu
tempat penggemblengan spiritual rakyat Yogyakarta, mendapat perlindungan
secara maksimal dari Sultan Hamengkubuwono.149 Belanda sepertinya
mengerti, apabila Belanda menganggu aktivitas Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, berarti menganggu agama rakyat dan melukai hati Sultan
Hamengkubuwono (sebab pengasuh dan pengurus Masjid, masih kerabat
Sultan dan abdi dalem-nya), sebagai pemimpin spiritual Islam rakyat
Yogyakarta. Oleh karena itu Sultan Hamengkubuwono selama masa Perang
Kemerdekaan enggan bekerjasama dengan Belanda dan bahkan terus
berkomunikasi dengan kaum ulama dan gerilyawan melalui kurirnya.150
2. Budaya
Konsep arsitektur yang dimunculkan di Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, adalah hasil penghayatan adat dan tradisi arsitektur lokal di
tanah Jawa pada waktu itu. Bangunan rumah ibadah seperti masjid di Jawa,
tentu selalu mengikuti pakem atau standar yang telah lebih dulu ada, yaitu
Masjid Agung Demak.151 Bangunan Masjid tidak pernah ditentukan standar
bentuknya dalam Islam, bahkan tiap daerah mempunyai standar dan gaya
arsitektur nya sendiri, sehingga inti nilainya, yaitu beribadah sholat dan
aktivitas religius lainnya, tidak terganggu oleh adanya perbedaan bentuk.
Hanya tujuan penghadapan nya tetap sama, yaitu menghadap kiblat sebagai
149 Albaab, Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer Masyarakat
“Masjid Pathok Negoro Plosokuning), hlm. 38. 150 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Kota Yogyakarta, (Depok: Komunitas
Bambu, 2006), hlm. 36. 151 Kayam, “Arsitektur Masyarakat Transisi”, dalam Eko Budihardjo (ed.), Jatidiri
Arsitektur Indonesia, hlm. 179.
75
pusat penghadapan umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat di seluruh
dunia, serta adanya tempat pengimaman.152 Keadaan itulah yang
memunculkan akulturasi budaya dan nilai Islam yang terwujud dalam
arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning di Kesultanan Yogyakarta.
Sebagai Masjid Pathok Negoro dengan status otonomi yang lebih
rendah dari Masjid Agung Kraton, maka standar pembangunannyapun
berbeda dan disesuaikan dengan yang lebih tinggi derajatnya secara
birokratis. Contoh paling mudah dilihat adalah atap tumpang yang hanya
berundak (bersusun) dua dan bukan tiga seperti di Masjid Agung Kraton.153
Kraton Yogyakarta adalah salah satu simbol dan pusat dari
kebudayaan masyarakat Jawa. Makin jauh masyarakat dari kraton, maka
makin jauh dan makin pudar pula cerminan budaya yang terpancar dan
muncul dari dalam kraton,154 oleh sebab itu setiap raja berusaha untuk
mencitrakan dan selalu berusaha membawa sejauh mungkin hasil-hasil yang
telah dia ciptakan untuk rakyatnya.155
Mengikuti tradisi konstruksi dalam budaya Jawa, maka rumah-rumah
di sekitarnyapun dibuat mengikuti kaidah arsitektur Jawa, terutama bagian
atap dan tata letak ruangan nya.156 Meskipun telah terjadi perubahan secara
perlahan, namun arsitektur utama Masjid Pathok Negoro Plosokuning tetap
152 Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya
(Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 3. 153 Siswanto, “Pudarnya Arsitektur Tropis Indonesia”, dalam Eko Budihardjo (ed.),
Jatidiri Arsitektur Indonesia, hlm. 161-162. 154 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawulo, hlm. 21. 155 Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris,
hlm. 153. 156 Jogja Heritage Society, Pedoman Pelestarian Bagi Pemilik Rumah : Kawasan
Pusaka Kotagede, Yogyakarta, Indonesia, hlm. 17.
76
lestari sebagai simbol arsitektur dalam budaya Jawa, yang sesuai dengan
kaidah-kaidahnya.
Aspek budaya lainnya yang diwujudkan dalam arsitektur Masjid
Pathok Negoro adalah pelestarian budaya Jawa, yang dilakukan secara nyata
dibangun sesuai dengan kaidah dan panduan dalam adat dan tradisi
masyarakat Jawa, baik dalam tata peletakan maupun pemunculan simbol-
simbolnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, juga ikut memaknai simbol-simbol arsitektur Masjid Pathok
Negoro Plosokuning dengan caranya sendiri, berupa aktifitas sosial dan
religius, yang ditujukan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.157
C. Peran Masjid Dalam Kegiatan Sosio-Religius
Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1942 M, menandai
berakhirnya tradisi lama dalam status dan stratifikasi social seperti pada
zaman Belanda. Terjadi perubahan sosial mendasar, yang terlihat kentara
sekali di bidang ekonomi di tahun 1970 M. Banyak Priyayi yang sebelumnya
mempunyai pengasilan tetap, kini menjadi jatuh kehidupan ekonominya,
masyarakat Plosokuning jawi yang kemudian mempunyai kehidupan lebih
baik, tidak enak hati apabila mempekerjakan mereka (Plosokuning lebet)
dengan statusnya sebagai Priyayi. Namun hal itu perlahan-lahan hilang
karena akhirnya para Priyayi bekerja pada Priyayi lainnya di kota
Yogyakarta.158
157 Hasanah, Tradisi Tahlil Pitung Leksan di Dusun Plosokuning, Desa
Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm.
16-18. 158 Albaab, Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer Masyarakat
“Masjid Pathok Negoro Plosokuning), hlm. 75-77.
77
Aktifitas religius yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai
wujud dari memakmurkan masjid, selalu dilakukan. Adanya aktifitas tersebut,
secara langsung mempertemukan masyarakat dalam satu wadah silaturahim
di masjid sebagai pusatnya. Aktifitas religius dapat berarti aktifitas sosial,
dengan cara bertatap muka dan bertukar pikiran. Tradisi slametan, kenduren,
tahlilan dan lain-lain seperti pengajian akbar ataupun hanya sekedar rutinitas
sholat berjama’ah, membuat seluruh kegiatan masyarakat, tertuju pada aspek
moral dan terkesan agamis.159
Peran masjid dan perangkatnya sebagai monumen religious adalah
pemersatu masyarakat Plosokuning pada khususnya dan masyarakat
Yogyakarta pada umumnya sejak pertama kali didirikan, aspek-aspek tersebut
tidak pernah hilang, hanya bergeser perlahan sesuai semangat zamannya.
Terdapat paling tidak tiga fungsi utama Masjid Pathok Negoro, Plosokuning
khususnya, sebagai upaya memperkuat identitas keislaman dan
kemasyarakatan, selain sebagai tempat ibadah. Berdasarkan hal itu, maka
fungsi Masjid Pathok Negoro dapat dipisahkan menjadi:
1. Fungsi politis meliputi: pemerintahan, pertahanan, dan peradilan.
2. Fungsi edukatif meliputi: tempat belajar dan majlis taklim .
3. Fungsi kemasyarakatan meliputi: pengurusan kematian, penyelengaraan
pernikahan dan kegiatan-kegiatan keagamaan.160
159 Andrianto, Simbol-simbol Dakwah Masjid Pathok Nagari Plosokuning Dalam
Tayangan Pesona Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika, hlm. 46. 160 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta, hlm. 54 dan hlm. 74.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning, tidak hanya
terjadi di satu masa saja, tetapi berkesinambungan dan dinamis.
Pembangunan dan perubahan terjadi dari masa ke masa, secara perlahan-
lahan. Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah sebuah cerminan dari
arsitektur rumah ibadah masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan sebagai tanda batas
negara, antara Kasunanan Surakarta dengan Kesultanan Yogyakarta. Ketika
Kesultanan Yogyakarta belum berdiri di tahun 1755, Masjid Pathok Negoro
Plosokuning sudah lebih dahulu ada di tahun 1724. Pendiri pertama Masjid
ini adalah Kyai Mursodo, yang merupakan anak dari Kyai Nur Iman, Mlangi.
Kyai Nur Iman adalah anak dari Susuhunan Amangkurat IV, yang merupakan
kakak dari Sunan Pakubuwono II dan Sultan Hamengkubuwono I. Kyai Nur
Iman enggan bergelut di bidang politik, dia lebih suka memperdalam ilmu
agama, dia membangun berbagai pusat keagamaan di wilayah pelosok desa,
sehingga ketika Yogyakarta berdiri, pusat keagamaan yang telah ada berserta
masjidnya, diakui sebagai bagian dari Kesultanan Yogyakarta.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan dengan mengikuti
kaidah-kaidah, dalam konstruksi arsitektural rumah ibadah dalam budaya
Jawa. Bahan-bahan serta teknik konstruksinya, masih mempertahankan aspek
lokalitas, sehingga kesan asli dan terpelihara masih ada di Masjid Pathok
79
Negoro Plosokuning. Bahan-bahan yang digunakan dan teknik konstruksi
lokal, mengantarkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning tetap menjaga
keaslian dan kekuatan konstruksinya hingga saat ini, yaitu:
1. Arsitektur: Karena mengikuti pakem arsitektur Masjid Kraton, dengan
perbedaan di bagian atap.
2. Status: Masjid ini memiliki status istimewa di Kesultanan Yogyakarta,
dengan pengakuan dan pemberian status tanah, berupa tanah perdikan.
Pengurus masjid nya pun diangkat menjadi pegawai di lingkungan kraton.
3. Keaslian Bangunan: Di saat bangunan-bangunan Masjid Pathok Negoro
lainnya diubah, Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih tetap
mempertahankan keasliannya.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning memang hanya sebuah benda
yang diam sebagai monument religius, namun dampak yang dimunculkan
dari berbagai simbol yang ditampakkan dalam seni arsitekturnya, membuat
dinamika masyarakat sekitar ikut memakmurkan kegiatan masjid. Ada
beberapa fungsi yang diwujudkan dalam arsitektur Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, yaitu:
1. Makna politik berupa: simbol pertahanan negara.
2. Makna budaya berupa: simbol pelestarian tradisi dan kesenian lokal dalam
akulturasi Islam-Jawa.
3. Makna edukatif berupa: pusat kajian Islam.
4. Makna administratif berupa: pengangkatan abdi dalem-nya secara
birokratis di Kesultanan Yogyakarta.
80
B. Saran-saran
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, serta shalawat Nabi Muhammad
atas cahaya Islam yang dibawanya. Berakhirnya kesimpulan di atas,
menandakan berakhirnya penelitian tentang sebuah kajian historis arsitektural
Masjid, yaitu Masjid Pathok Negoro Plosokuning di Yogyakarta.
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah, pemahaman tentang
perkembangan, teknik konstruksi masjid dan pengupasan makna simbolik
yang ada dalam interior dan eksterior masjid. Berkat teknik dan makna
simbolik yang ada, maka masyarakat memakmurkan masjid dengan terus
mengikuti maknanya sesuai dengan keadaan zaman.
Pada penelitian ini belum menyentuh dan melihat hasil perbandingan
keadaan dunia di luar Masjid Pathok Negoro Plosokuning selama masa
tertentu. Aspek tersebut dapat saja menjadi celah kajian yang lain tentang
khazanah sejarah arsitektur Masjid. Sejarah perubahan sosial yang terjadi di
sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning selama rentang masa dari 1724
hingga saat ini belum tersentuh secara baik, atau dapat pula di seluruh Masjid
Pathok Negoro yang ada di Yogyakarta. Perubahan-perubahan yang diangkat
dalam hasil penulisan ini, masih sebatas pada perubahan konstruksi
arsitektural dan yang berkaitan dengannya seperti administrasi-birokrasi.
Keadaan yang belum sempurna ini, kiranya dapat ditambal kekurangannya,
sehingga khazanah tulisan sejarah Masjid, baik Pathok Negoro maupun masjid
kuno pada umumnya secara komprehensif, dapat digambarkan dengan baik
dalam penelitian selanjutnya.
81
Semua kekurangan tersebut, kiranya menjadi pemacu dan pemicu bagi
sejarawan lain, untuk memperbaiki dan bahkan menuliskan tema yang sama
di lokasi, dan waktu yang berbeda. Semua kekurangan yang ada, penulis
harapkan bagi para pembaca yang budiman, agar selalu memberi masukan
yang membangun, kapanpun dan dimanapun pembaca berada. Terima kasih.
Akhir al-kalam, Alhamdulillahi Robb Al-‘Alamin. Assalamualaikum
wa Rahmat Allahi Rabb al-‘Alamin
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
A Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,
Kajian Mengenai Konsep, Struktur dan Elemen Fisik Kota Sejak
Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang, (Bandung:
Alumni, 2006)
A.M. Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi
di Indonesia, dalam: Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan
Perlawanan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve dan Kementrian
Pariwisata dan Kebudayaan RI, 2012)
Abdullah, Taufik “Nasonalisme Indonesia, Dari Asal-usul ke Prospek Masa
Depan”, dalam: Asvi Marwan Adam (peny.), Sejarah Pemikiran,
Rekonstruksi dan Persepsi, Jakarta: MSI bekerjasama dengan ANRI,
1999.
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Abdurrachman, Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah
Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008)
Abdul, Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia,
Bandung Angkasa, 1983.
Adrisijanti, Inajati, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta:
Jendela, 2000.
Andi, Siswanto, “Pudarnya Arsitektur Tropis Indonesia”, dalam Eko
Budihardjo (ed.), Jatidiri Arsitektur Indonesia, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1991)
Arya, Roland, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pusaka, 2012
Babad Sultan Agung, terj. Tim Balai Bahasa Yogyakarta, (Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta, 1989)
Babad Trunojoyo-Suropati, terj. Balai Pustaka, Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
83
C.R, Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-
1799, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Carey, Peter, Asal-usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan
Raden Saleh, terj. Rahmat Widada, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2010.
Denys, Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan
Konsentris, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris
dan Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005)
Desak, Made Oka, Hutan Jati Madiun, Silvikultur di Karesidenan Madiun
1830-1910, (Semarang:PBS, 2010)
Djamhari, Saleh As'ad, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng
1827-1830, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Djoko, Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni Sampai
Revolusi, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011)
Efendi, David, The Decline Of Bourgeoisi, Runtuhnya Kelompok Dagang
Pribumi Kotagede XVII-XX, Yogyakarta: POLGOV UGM, 2010.
Ervan, Anwarsyah, Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di
Yogyakarta 1945-1949, (Jakarta: Skripsi Fakultas Adab Jurusan
Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, 2010, tidak
diterbitkan)
Graaf, H.J. De, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung,
terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1990.
___________, Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII
terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1989.
Hendriatmo, Anton Satyo,Giyanti 1775, Perang Perebutan Mahkota III dan
Terbaginya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta,
Tangerang: CS Book, 2006.
Herusatoto, Budiono Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Semarang: Hanindita,
1984.
84
Hiroyoshi, Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa:
SuatuPenafsiran Kembali”, dalam Akira Nagazumi (peny.), Indonesia
Dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX
& XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1986)
Houben, Vincent J.H., Keraton Dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870, terj. E. Setyawati Alkhatab, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002.
Imam, Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Studi Tentang
Daya Tahan Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
John, Pemberton, “Jawa”, On The Subject Of “Java”, terj. Hartono
Hadikusumo, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Kartodirdjo, Sartono Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Ki Sabdacarakatama, Ensiklopedia Raja-raja Tanah Jawa, Silsilah Lengkap
Raja-raja Tanah Jawa Dari Prabu Brawijaya V Sampai
Hamengkubuwono X, Yogyakarta: Narasi, 2010)
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.
__________, Raja, Priyayi dan Kawulo, Yogyakarta: Ombak, 2009.
L., Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. R. Roeslan, Jakarta: tanpa penerbit,
1966.
M. Bibit, Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya
dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama, Jakarta: Gelegar Media
Indonesia, 2009.
Margana, S., Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Muhammad, Hisyam, “Kebijakan Haji Masa Kolonial”, dalam A.B. Lapian
(ed), Sejarah dan Peradaban: Sejarah dan Dialog Peradaban, Jakarta:
LIPI Press, 2005.
Muhammad, Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara, Pahlawan
Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Nancy K., Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang,
Sejarah Nubuat Kebudayaan Jawa, terj. Rahmat, dkk., Yogyakarta:
Mata Bangsa, 2002.
85
Nurcholis, Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangunan Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000.
Oloan, Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya,
Bandung: Angkasa, 1993.
Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta: LP3ES, 1991.
Peter, Boomgaard, Anak Jajahan Belanda, Sejarah Sosial dan Ekonomi
Jawa, 1795-1880, Jakarta: KITLV, 2004.
Peter, Carey, Orang Cina, Bandar Tol dan Perang Jawa, Perubahan
Persepsi Tentang Cina 1755-1825, terj. Tim Komunitas Bambu,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Remmelink, W.G.J., Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743,
terj. Akhmad Santoso, Yogyakarta: Jendela, 2002.
Revianto Budi, Santosa (ed.), Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah
Hari Jadi Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya
Kota Yogyakarta, 2008.
Ricklefs, M.C., Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792,
Sejarah Pembagian Jawa, terj. E. Setyawati Alkathab, Yogyakarta:
Mata Bangsa, 2002.
Robert W., Hefner, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian
Politik, terj. A Wisnuhardana, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Soemardjandan, Selo dan Soeleman Sumardi, Setangkai Bunga Sosiologi,
Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964.
Sri, Sugiyanti, dkk., Masjid Kuno Di Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 1998/1999.
Suhartono W., Pranoto, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-
1942, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Sumardjo, Jakob, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-
Historis Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia,
Yogyakarta: PENERBIT QALAM, 2002.
Sukanto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999.
Sumintarsih, dkk., dengan Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota
Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota
Yogyakarta, 2007.
86
Supartono, Widyosiswoyo, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2006.
Suroyo, A.M., Juliati, Eksploitasi Kolonial Abad XIX; Kerja Wajib Di
Karesidenan Kedu 1800-1890, Semarang: Penerbit Yayasan Untuk
Indonesia, 2000.
Tim Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY, Tempat Ibadah
Bersejarah di DIY, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY,
2002.
Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-masjid Pathok Negoro di Kasultanan
Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta,
2009.
Tonny, Whitten, Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A. Afiff, The
Ecology of Indonesian Series Volume II: The Ecology of Java and
Bali, Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000.
Umar, Kayam, “Arsitektur Masyarakat Transisi”, dalam Eko Budihardjo
(ed.), Jatidiri Arsitektur Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1991.
Yulianto, Sumalyo, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.
Yuwono Sri, Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai
Budaya yang Terkandung Di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas
Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2010.
Wawancara:
Bapak M. Kamaludin Purnomo ( Ketua Takmir Masjid Pathok Negoro Ploso
Kuning)
Sabtu, 30 Mei 2015. Pukul, 16:45. Dikediaman Bapak M. Kamaludin
Purnomo
Mas Bashori ( Peneliti Majid Pathoknegoro )
Kamis, 04 Juni 2015. Pukul 19:00. Di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Mbah Baghowi ( Imam Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning )
Selasa, 02 Juni 2015. Pukul 15:03. Di Masjid Pathok Negoro Ploso
Kuning
87
Jurnal:
G.M Sudarmika, “Tinggalan Arkeologi Sebagai Salah Satu Wahana
Pemersatu Unsur Bangsa”, dalam, Proceeding EHPA, Mencermati Nilai
Budaya Masa Lalu Dalam Menatap Masa Depan, Bedugul 14-17 Juli 2000,
(Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, 2001)
Mercel Bonneff, “Le Kauman de Yogyakarta. Des Fanctionnaires
Religieux Convertais Au Reformisme et a i’Esprit d’Entreprise”, ARCHIPEL,
No. 30. (Paris: Assosiation Archipel, 1985)
Buletin:
R. Suprobo, A. MA, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro,
Plosokuning, Minomartini, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, 2002
Audiovisual:
Jalan-jalan Islami Masjid Pathok Negoro Plosokuning
(Wednesday, June 17, 2015, 9:07:14 PM)
Sejarah Masjid Pathok Negoro Plosokuning (Wednesday, June 17,
2015, 9:07:20 PM)
TPA Masjid Pathok Negoro Plosokuning, TVRI 17 Juli 2013
(Wednesday, June 17, 2015, 9:07:52 PM)
88
LAMPIRAN
Foto bersama Bapak M. Kamaludin
(Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning)
Cagar Budaya Masjid Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta
89
Foto bersama Mbah Baghowi
( Imam Masjid Pathok Negoro Plosokuning)
Kolam
(berfungsi sebagai tempat bersuci)
90
Bedug Pemberian Kraton Yogyakarta
Mimbar
91
Tempat Pengimaman
Pintu Masuk Masjid Dari Serambi
92
Gerbang Masjid SebelahTimur
Batu Waluh atau Labu
Kubah Masjid Berbentuk Limas
93
Makam Mbah Mustofa
Gerbang Makam Mbah Mustofa
Silsilah Keturunan
94
Menara Masjid
Gerbang Selatan Masjid
Denah Masjid Plosokuning
95
Piagam Penghargaan
( Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia )
Piagam Penghargaan
( Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta )
96
Piagam Penghargaan
( Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata RI )
Serambi atau Beranda Masjid
97
Atap Masjid Tampak Dari Dalam
Taman Kanak-Kanak Sulthoni
Pintu Masuk Masjid
98
Umpak Masjid