makalah teknologi bersih kelompok 3
TRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH PILIHAN TEKNOLOGI BERSIH
“Penerapan Teknologi Bersih pada Pabrik Gula”
Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Defany Purnamasari (21030110141093)
2. Elfira Rizka Alfarani (21030110141023)
3. Risa Dwi Octaviani (21030110120016)
4. Ahmad Nur Iman (21030110141035)
5. Difa Adhyatama (21030110141001)
6. Fahmi Ramadhan P (21030110120007)
7. Ilham Dirga L (21030110120057)
8. Okdi Dwi S (21030110130086)
9. Gita Permana P (21030110130094)
10. Aziz Syaefurrohman (21030110130099)
11. RanaWilyan (21030110130104)
12. Asfarina Zumalla (21030110130108)
13. Webasyam A (L2C009182)
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gula pasir merupakan salah satu dari sembilan bahan pangan pokok yang berperan
penting dalam pemenuhan kebutuhan kalori masyarakat. Gula pasir memberikan
kontribusi lebih dari 90 % dari pemenuhan konsumsi masyarakat (sebagai pemanis)
disusul oleh gula merah (Sawit dkk, 1998 dalam Meiditha, 2003).
Produksi gula pasir di Indonesia mulai diusahakan sejak tahun 1600-an sedangkan
kejayaan industri gula terjadi pada tahun 1930. Setelah kemerdekaan, jumlah pabrik gula
di Indonesia semakin berkurang, bahkan sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1961
produksi gula pasir dalam negeri mengalami stagnasi. Saat ini berbagai usaha peningkatan
produksi gula sedang diupayakan, terutama yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi masyarakat (Mubyarto, 1994).
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, pendapatan masyarakat
serta semakin berkembangnya industri pengguna gula pasir (non-rafinasi) mengakibatkan
permintaan gula pasir dalam negeri mengalami peningkatan. Sebagai akibatnya, produksi
gula nasional tidak dapat mencukupi permintaan lokal sehingga impor gula pasir
cenderung mengalami peningkatan. Berikut ini disajikan perkembangan jumlah penduduk,
produksi, konsumsi dan impor gula di Indonesia. Konsumsi gula pasir dalam negeri
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1990, konsumsi gula pasir di Indonesia sebesar 2,4 juta ton untuk
memenuhi kebutuhan penduduk sebanyak 178.170 ribu jiwa. Selanjutnya, konsumsi gula
konsumsi gula pasir di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1999 yaitu sebesar
1,61% per tahun dan pertumbuhan produksi gula pasir rata-rata sebesar 1,44% per tahun
menunjukkan bahwa komoditi gula pasir masih dibutuhkan masyarakat. Produksi gula
pasir nasional mengalami penurunan terendah pada tahun 1998, yaitu sebanyak 1.488,27
ribu ton.
Usaha peningkatan produksi gula tidak terlepas dari usaha untuk memperbaiki
kinerja pabrik gula. Rendahnya kinerja lingkungan pabrik gula antara lain dikarenakan
belum adanya pendekatan pengelolaan lingkungan yang efektif, efisien dengan biaya yang
terjangkau Perbaikan kinerja pabrik gula dapat dicapai salah satunya melalui pendekatan
pengelolaan lingkungan yang dapat memberikan manfaat lingkungan sekaligus manfaat
ekonomi, yaitu pendekatan pengelolaan lingkungan yang ditujukan ke arah pencegahan
terjadinya limbah. Dari pendekatan inilah akhirnya timbul konsep produksi bersih.
Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
pencegahan dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi
dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan
lingkungan. Tujuan dari strategi dan rencana pelaksanaan produksi bersih dapat dicapai
apabila semua pihak terlibat, dan keberhasilannya tergantung pada dukungan dan
kerjasama semua pihak berdasarkan prinsip kemitraan (Bapedal, 1996).
Produksi bersih mengarah kepada efisiensi produksi sekaligus mengurangi limbah
yang dihasilkan sehingga dapat mengurangi biaya untuk penanganan limbah. Metode ini
melakukan penghematan biaya melalui penggunaan teknik-teknik daur ulang, substitusi
bahan baku, serta peningkatan sistem operasi. Penerapan produksi bersih dalam industri
memberikan pengaruh positif bagi perusahaan yang menerapkannya, baik secara finansial
maupun non-finansial. Produksi bersih dapat diaplikasikan pada berbagai industry
Tujuan
1. Mengetahui Proses Produksi Gula
2. Mengetahui Teknologi Bersih
3. Menjelaskan Teknologi Bersih yang dapat digunakan dalam produksi gula
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi Bersih
Strategi pengelolaan lingkungan pada awalnya didasarkan pada pendekatan daya
dukung lingkungan (carrying capacity approach), namun karena daya dukung lingkungan
alami memiliki kemampuan yang terbatas dalam menetralkan pencemaran yang makin
meningkat, maka upaya mengatasi masalah pencemaran berkembang ke arah pendekatan
pengelolaan limbah yang terbentuk (end-of-pipe treatment). Pengelolaan pencemaran
melalui pendekatan pengolahan limbah (end-of-pipe treatment) ternyata bukan cara yang
efektif dan hemat biaya, oleh karena itu strategi pengelolaan lingkungan harus diubah ke
arah pencegahan pencemaran, yaitu dengan penerapan Produksi Bersih. Strategi ini
merupakan paradigma baru dalam pengelolaan pencemaran lingkungan, sehingga masalah
pencemaran lingkungan, terutama bagi industri, tidak lagi identik dengan pengeluaran
tambahan yang menaikkan biaya produksi bagi industri tersebut (Saribanon,2003).
Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi, produk
dan jasa untuk meningkatkan eco-efficiency dan mengurangi resiko terhadap manusia dan
lingkungan. Pada proses produksi, produksi bersih meliputi konservasi bahan baku dan
energi, mengurangi bahan baku yang beracun dan mengurangi jumlah dan kadar racun dari
emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses produksi. Pada produk, strategi ini
menitikberatkan pada pengurangan dampak selama daur hidup produk dari saat bahan
baku sampai produk tersebut dibuang atau tidak terpakai lagi.
Manfaat penerapan produksi bersih menurut Bratasida (1996) antara lain
(a) mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan melalui upaya
minimisasi limbah, daur ulang pengolahan dan pembuangan limbah yang aman
(b) mendukung prinsip pemeliharaan lingkungan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan
(c) dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui
penerapan proses produksi, penggunaan bahan baku dan energi secara efisien
(d) mencegah atau memperlambat degradasi lingkungan dan mengurangi eksploitasi
sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah di dalam proses yang akhirnya
menuju pada upaya konservasi sumberdaya alam untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan
(e) mengurangi tingkat bahaya kesehatan dan keselamatan kerja
(f) memperkuat citra produsen di mata konsumen.
Manfaat ekonomi dari berkurangnya limbah yang harus dikelola merupakan pemikat
yang dapat dihitung secara nyata dalam bentuk biaya pengendalian pencemaran dan biaya
manajemen. Melalui upaya pencegahan pencemaran, penghematan biaya pengelolaan
limbah dapat dicapai.
Penghematan dapat dilakukan terhadap sejumlah biaya yang dikelompokkan sebagai
berikut.
1. biaya penanganan dan pengelolaan di dalam pabrik
2. biaya transportasi dan pemusnahan di luar pabrik
3. biaya administrasi dan pencatatan (Djajadiningrat, 1999).
Upaya pencegahan pencemaran melalui produksi bersih tidak saja akan membantu
kalangan industri meningkatkan keuntungan dari berkurangnya biaya untuk menangani
limbah, tetapi juga memberikan keuntungan dari segi peningkatan efisiensi produksi.
Produksi bersih dapat membantu mewujudkan industri berwawasan lingkungan.
Penerapan produksi bersih saat ini telah memperoleh dukungan yang luas dengan
penerapan pada skala nasional maupun internasional melalui program Clean Development
Mechanism (CDM) yang tercantum dala Pasal 12 Protokol Kyoto. Penerapan CDM
terutama adalah untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir dan dilakukan sesuai dengan
kemampuan masing-masing negara. Bagi negara berkembang, kerjasama ini dapat
meningkatkan kegiatan ekonomi dan pembangunan di negara itu sendiri serta membantu
mempercepat tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Proses Produksi Gula
Dalam memproduksi gula pasir diperlukan bahan pembantu yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan memperlancar jalannya proses produksi gula. Bahan pembantu
adalah bahan yang digunakan dalam proses produksi untuk meningkatkan kualitas dan
memperlancar jalannya proses produksi gula. Bahan pembantu yang digunakan adalah
beberapa zat kimia, yaitu :
1. Triple Super Posphat (TSP)
Adalah bahan pembantu yang digunakan dan dicampurkan pada nira mentah di tangki
penampungan atau tangki nira tertimbang pada stasiun pemurnian. Tujuan pemberian asam
phospat cair ini adalah untuk menambah kadar phospat pada nira mentah dari konsentrasi
± 150 ppm menjadi konsentrasi ± 300 ppm, sehingga dalam proses pemurnian dapat
dengan mudah terbentuk endapan Kalsium Phospat (endapan inti) yang dapat menyerap
warna. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
P2O5 + 3 H2O 2H2OPO4
2H2OPO4 + 3 Ca(OH)2 Ca3(PO4)2 + 6 H2O
b. Susu Kapur (Ca(OH)2)
Adalah bahan pembantu yang digunakan pada stasiun pemurnian pada alat precontactor
dan defekator 2. Kapur yang sudah dicampur dengan air harus mencapai konsentrasi
tertentu yaitu 6o Be. Pemberian susu kapur adalah untuk menetralkan nira, mencegah
terbentuknya gula inversi, dan membentuk endapan kotoran dalam nira.
c. Belerang
Adalah bahan pembantu yang digunakan pada stasiun pemurnian pada tangki sulfitasi.
Belerang digunakan dalam bentuk sulfit yang bertujuan untuk menetralisir kelebihan susu
kapur dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira.
d. Flokulan
Adalah bahan pembantu yang digunakan di stasiun pemurnian pada Multi Tray Clarifier.
Tujuan pemberian flokulan adalah sebagai katalisator guna mempercepat proses
pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung lebih
cepat. Selain itu, penambahan flokulan juga dilakukan di flash tank dan bak pada rotary
vacuum filter dengan tujuan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih
mudah untuk disaring. Jenis flokulan yang digunakan adalah kurifloce.
E. Desinfektan
Desinfektan yang digunakan adalah jenis Buckom NT. Bahan kimia ini digunakan untuk
membunuh bakteri pengkontaminasi nira mentah. Pemberian desinfektan ini adalah
dengan cara disemprotkan pada talangtalang nira yang memungkinkan adanya mikroba
seperti Leuconostoc sp dan sebagainya.
f. Caustic Soda
Caustic soda (NaOH) dalam proses pembuatan gula digunakan untuk pembersihan (skrap)
evaporator. Bahan kimia ini berfungsi sebagai pelunak kerak-kerak yang terbentuk
sehingga tidak menghalangi proses pindah panas dalam nira.
BAB III
DIAGRAM ALIR PRODUKSI
Proses Pembuatan Gula
Pada dasarnya proses pembuatan gula terdiri dari beberapa bagian inti yakni stasiun
gilingan (ekstraksi), stasiun pemurnian (purifikasi), stasiun penguapan (evaporator),
stasiun kristalisasi, stasiun sentrifugasi dan penyelesaian
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Gula
1. Stasiun Gilingan
Tujuan dari stasiun gilingan ini adalah untuk mendapatkan nira sebanyak mungkin
dan mengusahakan agar nira yang tertinggal di ampas sekecil mungkin. Tebu masuk
gilingan 1. Ampas yang keluar dari gilingan 1 dicampr dengan nira yang berasal dari
gilingan 3 sebelum masuk ke gilingan 2. Ampas dari gilingan 2 dicampur dengan nira
gilingan 4 sebelum masuk ke gilingan 3, sedangkan ampas yang keluar dari gilingan 3
ditambahkan air imbibisi sebelum masuk ke gilingan 4. Hasil gilingan 4 adalah ampas
gilingan 4 dan nira gilingan 4. Ampas gilingan 4 diangkut dengan bagasse carrier menuju
ketel lama dan ketel Cheng Chen serta FCB untuk bahan bakar. Sebelum masuk ketel
Cheng Chen serta FCB, ampas disaring dalam rotary bagasse thumbler dengan tujuan
untuk memisahkan ampas kasar dan ampas halus. Ampas kasar masuk ketel Cheng Chen
sedangkan ampas halus dibawa ke unit vacuum filter.
2. Stasiun Pemurnian
Tujuan dari stasiun pemurnian adalah untuk memisahkan gula dari kotoran yang
terikut dalam nira. Nira mentah yang berasal dari stasiun gilingan ditimbang dengan
timbangan boulogne kemudian dicampur dengan nira hasil saringan vacuum filter. Nira
mentah dipompa ke juice heater 1 dan ditambahkan dengan H3PO4 kemudian masuk ke
pre contactor. Ca(OH)2 ditambahkan ke pre contactor kemudian masuk ke defekator 1
lalu dialirkan ke defekator 2 yang juga ditambahkan Ca(OH)2. Dari defekator 2, nira
mentah dialirkan lagi ke tangk sulfitasi 1. Di dalam sulfitasi 1 ada penambahan SO2. Nira
dari sulfitasi 1 dipompa ke juice heater 2 kemudian dibawa ke flash tank untuk
menghilangkan gas-gas dalam nira. Setelah itu nira dialirkan ke floculator tank. Floculant
ditambahkan di floculator tank untuk menghilangkan flok-flok dalam nira. Kemudian nira
dialirkan ke single tray clarifier.
Di single tray clarifier, didapatkan dua jenis nira yaitu nira kotor dan nira jernih.
Nira kotor dipompa menuju vacuum filter. Kotoran yang dapat dipisahkan disebut blotong
sedangkan filtrat yang masih mengandung gula (nira tapis) dialirkan kembali ke tangki
sulfitasi 1. Nira jernih dialirkan ke stasiun penguapan.
3. Stasiun Penguapan
Tujuan dari stasiun penguapan adalah menguapkan sebanyak mungkin air yang
terkandung di dalam nira jernih sehingga mencapai kondisi larutan mendekati jenuh. Nira
jernih masuk ke evaporator. Steam terkondensasi menjadi kondensat dan larutan nira akan
menguap. Nira kental yang dihasilkan dipompa masuk ke tangki sulfitasi 2. Nira kental
tersebut ditambahkan dengan SO2 agar didapat gula yang warnanya putih.
4. Stasiun Masakan dan Sentrifugasi
Stasiun masakan atau stasiun kristalisasi adalah stasiun yang bertujuan untuk
mengkristalkan nira kental sehingga didapatkan kristal gula sesuai yang diinginkan. Secara
umum proses kristalisasi melewati 3 tahapan, yaitu:
1. Pembuatan Gula Bibitan
Pembuatan masakan A dibuat dari leburan gula C, gula D2, gula kasar dan halus,
nira kental, dan klare SHS. Masakan D dibuat dari stroop C serta klare D dan bibitnya dari
fondant. Masakan C dibuat dari stroop A dan gula D2.
2. Pembesaran Kristal Gula
Dilakukan dengan cara mendekatkan molekul sukrosa pada inti kristal. Sehingga
akhirnya molekul tersebut menempel pada inti kristal. Proses ini dilakukan dalam Vacuum
Pan pada daerah yang stabil. Kristal gula akan berada di tahap ini hingga besar kristalnya
sesuai dengan ukuran kristal gula produk (diameter 0,9-1,1 mm).
3. Kristalisasi sempurna
Tahap pembesaran kristal dilanjutkan dengan penguapan larutan untuk memperoleh
kepekatan setinggi-tingginya dengan tanpa menambah larutan baru (hanya ditambahkan air
seperlunya/secukupnya untuk menghindari terbentuknya kristal palsu dan juga
menguatkan kristal dan mengurangi larutan di sekeliling kristal) dan tetap menjaga agar
proses ini berlangsung pada daerah daerah stabil. Ciri kristalisasi sempurna adalah larutan
di sekeliling kristal tipis dan bening serta bebas dari kristal palsu (gula dengan diameter
kurang dari 0,9mm).
Pencucian dengan air adalah salah satu cara untuk menghindarkan terbentuknya
kristal palsu. Pencucian ini dilakukan saat bahan ditarik masuk Vacuum Pan. Pemasukan
bahan diurutkan mulai dari bahan dengan HK tinggi, kemudian bahan dengan HK lebih
rendah. Urutan pemasukan bahan untuk proses kristalisasi adalah sebagai berikut:
- Masakan A, bahan yang digunakan yaitu: gula C, klare SHS dan nira kental.
- Masakan C, menggunakan bahan gula D II, dan stroop A.
- Masakan D, menggunakan bahan stroop A, fondan (bibit gula D), stroop C dan klare D.
Nira kental yang dihasilkan dialirkan ke Pan A. Dari Pan A diperoleh mascuite yang
kemudian dialirkan ke palung pendingin. Dari palung pendingin, masakan A dipompa ke
puteran A sehingga dihasilkan stroop A dan gula A. Gula A diproses di mixer A kemudian
diputar lagi di puteran SHS. Dari puteran SHS dihasilkan gula SHS dan klare SHS. Klare
SHS dicampur lagi dengan nira kental untuk diproses lagi. Stroop A yang dihasilkan dari
puteran A dipompa masuk ke Pan C dan dicampur dengan magma D dari puteran D2,
kemudian masuk ke palung pendingin. Setelah itu dipompa ke puteran gula C. Stroop C
dan gula C dihasilkan dari puteran C. Gula C dialirkan ke magma C.
Di Pan D, stroop C dicampur dengan klare D. Masakan yang telah dihasilkan dialirkan ke
palung pendingin lalu dipompa ke puteran D1. Dari puteran D1 dihasilkan tetes dan gula
D1. Gula D1 dimasukkan ke dalam mixer untuk diproses. Gula D1 yang telah diproses
tersebut, dipompa ke puteran D2.
5. Stasiun Penyelesaian
Tujuan dari stasiun penyelesaian adalah untuk mengeringkan gula produk yang
dihasilkan. Selain itu bertujuan untuk menyeleksi sesuai ukuran kristal yang ditetapkan
yaitu 0.9–1.1 mm. Gula SHS dibawa ke talang goyang kemudian diangkut dengan
vibrating conveyor untuk dilakukan pengayakan. Gula SHS dilewatkan saringan yang
berukuran 8 mesh untuk menyaring gula kasar. Kristal gula yang tidak tersaring berupa
gumpalan kristal gula maupun pengotor lainnya seperti kerikil akan ditampung untuk
kemudian dilebur kembali bersama nira kental.
Kristal gula yang tersaring, dilewatkan saringan berukuran 23 mesh untuk
memisahkan gula halus yang nantinya dimasak kembali sebagai bibitan / babonan C.
Bagian kristal gula yang tertahan di saringan berukuran 23 mesh, masuk ke penampungan
gula sementara dimana terdapat bucket elevator yang akan mengangkutnya masuk ke
sugar bin.
Hasil saringan berupa kristal gula dimasukkan ke kantong-kantong berukuran 50 kg
menggunakan sugar bin agar berat gula yang berada dalam karung tepat 50 kg. Setelah itu
dilakukan penjahitan. Penjahitan karung gula dilakukan secara manual yaitu dengan
menggunakan tenaga manusia. Karung-karung gula yang telah dijahit tersebut, diangkut
secara manual dengan menggunakan tenaga manusia kemudian dibawa menuju gudang
penyimpanan. Dalam gudang penyimpanan, karung-karung gula tersebut ditata dan
disimpan dengan rapi. Selain itu, dilakukan pengawasan terhadap penyimpanan gula
tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
Teknologi Besih pada Produksi Gula
Limbah yang dihasilkan oleh setiap industri dapat merugikan ataupun
menguntungkan. Langkah awal yang menjadi kunci pengendalian pencemaran adalah
pengendalian pada sumbernya. Setelah sumber pencemarnya diketahui, maka dilakukan
pengenalan sifat dan karakter pencemar tersebut. Kemudian masing-masing sumber
pencemar tersebut dimasukkan dalam suatu daftar dan dilakukan pengelompokan sesuai
dengan karakter pencemarannya.
Limbah yang dihasilkan adalah limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Limbah cair yang dihasilkan merupakan air yang
digunakan dalam proses produksi yang mengandung banyak padatan tersuspensi dan zat-
zat kimia. Limbah padat yang merupakan produk samping yang dihasilkan berupa ampas
tebu dan blotong. Limbah udara yang dihasilkan adalah berupa gas-gas pembakaran dari
stasiun ketel, dan limbah B3 dihasilkan dari laboratorium pabrik.
Dalam mengelola dan menimisasi limbahnya secara umum menggunakan dua
metode pendekatan, yaitu pendekatan in of pipe dan out of pipe. Pendekatan in of pipe
merupakan pendekatan ke arah produksi bersih yang mengusahan meminimisasi
terbentuknya limbah dari awal hingga akhir proses produksi. Pendekatan out of pipe
merupakan pengolahan limbah setelah limbah tersebut terbentuk sehingga tidak
membahayakan bagi lingkungan.
Adapun langkah-langkah dalam penerapan Teknologi Bersih, yaitu:
Mengidentifikasi proses yang ada dalam suatu proses,
Mengidentifikasi material berlebih yang bisa digunakan
Mengidentifikasi proses lain yang dapat digunakan,
Mengidentifikasi sumber pembuat limbah
Mengidentifikasi proses pengolahan limbah
Mengidentifikasi pemanfaatan limbah
Dengan proses yang terdiri dari tahap persiapan, tahap proses, tahap pemurnian produk,
tahap pengepakan produk.
Dan penerapan teknologi bersih yang telah diterapkan pada pabrik gula ini yaitu:
Metode In Of Pipe
Produksi bersih adalah suatu strategi atau usaha berkesinambungan, terpadu dan bersifat
preventif dalam manajemen lingkungan yang akan mencegah dan atau mengurangi
dampak terhadap lingkungan melalui siklus hidup produk dari awal penyediaan bahan
baku sampai pembuangan akhir. Inti dari pelaksanaan produksi bersih adalah mencegah,
mengurangi dan atau menghilangkan terbentuknya limbah atau pencemar pada sumbernya
diseluruh daur hidup produk, yang dicapai dengan menerapkan kebijaksanaan pencegahan,
penguasaan teknologi bersih dan akrab lingkungan, serta perubahan mendasar dalam sikap
dan perilaku manajemen.
1. Daur Ulang (Recycle)
a. Penggunaan dan Daur Ulang Kembali (In site Recovery and Reuse).
Penggunaan kembali pada tempatnya (On-site recovery and Reuse) adalah penggunaan
kembali limbah yang dihasilkan pada proses. Penggunaan kembali air hasil akhir pengelolaan
limbah, pengambilan tebu yang tercecer di emplacement untuk dimasukkan ke stasiun
gilingan, penggunaan ampas tebu dari stasiun gilingan sebagai bahan bakar, penggunaan uap
nira dari stasiun masakan (kristalisasi) untuk stasiun penguapan (evaporasi), peleburan
kembali gula hasil yang biasanya pada awal masih kotor untuk dijadikan umpan pada stasiun
kristalisasi, peleburan kembali gula yang tidak memenuhi kriteria produk (gula kasar dan gula
halus) di stasiun sentrifugasi untuk dijadikan bibitan di stasiun kristalisasi, dan seterusnya.
b. Produk Samping yang Bermanfaat (Creation of Useful By Product). Penciptaan produk samping yang berguna juga merupakan strategi yang digunakan oleh
PG. Pesantren Baru sebagai usaha untuk meminimisasi limbahnya. Produk samping ini ada
yang secara langsung dijual tanpa melalui proses terlebih dahulu dan ada juga yang diproses
terlebih dahulu sehingga nilai ekonominya lebih tinggi. Hal ini tentu saja akan memberikan
keuntungan tambahan bagi pihak perusahaan. Produk samping yang dihasilkan adalah ampas
tebu dari stasiun gilingan yang selain digunakan sebagai bahan bakar ketel juga dijual kepada
perusahaan-perusahaan kertas. Tetes yang dihasilkan di stasiun sentrifugasi juga merupakan
hasil samping yang memberikan keuntungan kepada perusahaan. Produk samping lain yang
juga bermanfaat bagi perusahaan adalah abu cerobong yang telah diendapkan dalam kolam
pembuangan akhir. Abu dijual ke masyarakat yang biasanya digunakan sebagai tanah urug.
2. Pengurangan pada Sumbernya (Source Reduction)
a. Perubahan Bahan Input (Input Material Change)
Dalam proses produksinya, menggunakan bahan baku tebu yang berasal dari tanaman
tebu (Sacharum officinarum). Produk yang dihasilkan adalah gula SHS (Super High Sugar)
atau GKP (Gula Kristal Putih). Bahan penunjang atau bahan pembantu yang digunakan oleh
Pabrik Gula adalah Asam Phospat Cair, Susu Kapur (Ca(OH)2), belerang (SO2 (g)), flokulan,
desinfektan, dan caustic soda. Penggunaan asam phospat cair (P2O5) yang berfungsi untuk
membentuk endapan kotoran dalam nira menggantikan peran Tripple Super Phospat (TSP).
b. Pengendalian Proses yang Baik (Better Process Control)
Pengendalian proses yang baik diperlukan untuk menurunkan inefisiensi proses.
Diharapkan dengan adanya pengendalian proses yang baik akan dihasilkan produk yang lebih
baik dengan tingkat inefisiensi proses yang rendah.
Metode Out Of Pipe
Metode ini dilakukan untuk mengolah air limbah yang dihasilkan agar tidak
mencemari lingkungan sekitarnya. Rata-rata air limbah yang dihasilkan setiap menitnya
adalah 1700 m3.
A. Inhouse Keeping
Pengolahan limbah cair diawali dengan pengendalian/penurunan beban pencemaran yang
dilakukan didalam pabrik (inhouse keeping). Tujuan utama dilakukan inhouse keeping
adalah
a. untuk mengendalikan operasi pabrik agar jumlah kehilangan gula sekecil mungkin
(kehilangan gula bisa disebabkan oleh kebocoran, luapan dan sebagainya)
b. untuk menurunkan beban pencemaran. Saluran Inhouse Keeping ini berada di bawah
tanah dan menuju ke kolam penampungan awal limbah pengolahan yang berada di bagian
timur stasiun gilingan. Di kolam penampungan awal ini limbah diberi susu kapur
(Ca(OH)2) untuk menaikkan pH limbah cair yang asam. Dari kolam penampungan awal
ini limbah dipompa menuju ke UPLC (Unit Penanganan Limbah Cair).
B. Proses Pengolahan Limbah Cair dan Udara
Penanganan limbah cair yang berupa ceceran minyak atau oli dilakukan dalam
tempat penangkap minyak atau oli. Sistem pada penangkap minyak tersebut adalah aliran
berdasarkan perbedaan berat jenis air dan minyak. Berat jenis minyak kurang dari berat
jenis air, sehingga minyak akan berada di lapisan atas dan tidak bercampur dengan air.
Untuk memisahkan minyak dari air akan digunakan ampas dan dilakukan secara manual
oleh pekerja. Ampas akan menyerap minyak yang terdapat di permukaan air. Minyak dan
ampas tersebut akan digunakan sebagai bahan bakar ketel.
Gas buang yang berasal dari cerobong boiler akan dilewatkan ke Wet Scrubber
terlebih dahulu sebelum keluar melalui cerobong. Pencemaran gas SO2 dihindari dengan
cara pemasukan gas SO2 kedalam Reaktor Sulfitasi dilakukan menggunakan sistem
hisapan (Induced draft). Hisapan udara diperoleh dengan cara mengalirkan nira melalui
ventury dengan menggunakan pompa sirkulasi. Sistem seperti ini membuat percampuran
(difusi) gas SO2 dalam nira secara relatif berlangsung lebih sempurna dan pencemaran gas
SO2 akibat kebocoran perpipaan dapat dikurangi.
C. Limbah B3
Limbah B3 yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru antara lain :
1. Bahan pelumas / oli bekas.
2. Kertas saring dan residu bekas bahan penjernih larutan nira (Pb –Acetat).
3. Timah hitam (Pb) hasil elektrolisa filtrat nira.
Limbah di atas dihasilkan dari proses:
1. Bahan pelumas/oli bekas berasal dari penggantian oli kendaraan bermotor dan bekas
pendingin rol-rol gilingan.
2. Pb-Acetat berasal dari bahan penjernih penyaringan larutan nira.
3. Timah hitam (Pb) berasal dari sisa filtrat penyaringan larutan nira.
Sejauh ini pengelolaan yang dilakukan oleh pihak pabrik adalah
1. Bekas kertas saring dan residunya dikumpulkan, dikeringkan kemudian disimpan dalam
drum plastik.
2. Timah hitam (Pb) hasil dari Elektrolisa Filtrat dikeringkan dan disimpan dalam toples
plastik tertutup. Penanganan limbah B3 adalah spesifik karena bersifat racun (toxic),
mudah terbakar dan meledak, bersifat korosif, dan juga dapat menyebabkan infeksi baik
pada manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Limbah B3 PG. Pesantren Baru tersebut akan
dikumpulkan dan dikoordinir dari direksi PTPN X untuk selanjutnya ditangani oleh PPLI
(Prasadha Pamunah Limbah Industri).
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Gula pasir merupakan salah satu dari sembilan bahan pangan pokok yang
memberikan kontribusi lebih dari 90% dari pemenuhan konsumsi masyarakat. Konsumsi
gula pasir dalam negeri cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan konsumsi gula di Indonesia yang mencapai nilai 1,44% per tahun tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi gula yang menyebabkan kebutuhan gula dalam
negeri harus ditambahkan dengan cara mengimpor dari luar negeri. Pertumbuhan impor
gula ini mencapai 21,6% per tahun.
Peningkatan produksi gula dapat dicapai dengan salah satunya menerapkan produksi
bersih pada industri gula. Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang
bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terusmenerus pada proses produksi,
produk dan jasa untuk meningkatkan eco-efficiency dan mengurangi resiko terhadap
manusia dan lingkungan.
Rekomendasi produksi bersih pada Pabrik Gula adalah penurunan kadar air ampas,
penggunaan dolomit sebagai subtitusi penggunaan kapur pada stasiun pemurnian, produksi
produk samping yang bermanfaat dan good house keepin. Produksi produk samping yang
dapat dilakukan pada Pabrik Gula adalah dengan memanfaatkan limbah produksi gula
seperti ampas, blotong, tetes, pucuk tebu dan daun tua sebagai pakan ternak.
Good house keeping yang dapat dilakukan oleh Pabrik Gula adalah menerapkan
manajemen O&M (Operation and Maintenance) seperti menutup conveyor belt
pengangkut ampas menuju boiler, sugar bin yang berfungsi untuk menampung gula SHS
sebaiknya ditutup sehingga gula yang dihasilkan tidak tercecer dan membersihkan kerak
dan karat pada alat processing. Kebiasaan sederhana karyawan seperti menutup kran air
yang telah tidak digunakan, mematikan lampu yang tidak digunakan, pemakaian helm,
sarung tangan, sepatu boot, masker hidung dan sumbat telinga juga sangat membantu dan
dalam berarti dalam peningkatan efisiensi produksi PG.
Saran
Peningkatan kinerja dalam pabrik yang paling nyata adalah penurunan jam berhenti
giling dan peningkatan kapasitas giling harian.Hal ini dapat dicapai dengan adanya
peningkatan kegiatan maintenance terhadap peralatan processing dan mengoperasikan
peralatan sesuai dengan SOP sehingga tidak terjadi hambatan mulai dari awal proses
hingga menjadi produk akhir (gula SHS). Dari segi bahan baku yang digunakan sebaiknya
merupakan varietas tebu unggul yang kemudian dipantau mutu dan produksinya secara
teratur. Hal ini diharapkan akan mampu menambah produktivitas dan rendemen tebu yang
selanjutnya akan menghasilkan jumlah kristal gula yang besar pula.
Kedisplinan karyawan juga perlu untuk ditingkatkan seperti dalam hal penggunaan
helm, sarung tangan dan sepatu boot yang sebenarnya berfungsi untuk melindungi
keselamatan karyawan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bapedal. 1994. Program Produksi Bersih Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Penerbit
Nuansa, Bandung.
Bratasida, Liana. 1996. Prospek Pengembangan Sistem Manajemen Lingkungan di Indonesia.
BAPEDAL, Jakarta.
Djajadiningrat, Surna T. 1999. Peranan Produk dan Teknologi Bersih dalam Meningkatkan
Daya Saing Industri Nasional. Artikel dalam Paradigma Produksi Bersih-
Mendamaikan Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan. Penerbit Nuansa,
Bandung.
Lestari, Galuh Ajeng. 2006. Studi Potensi Penerapan Produksi Bersih pada Industri Gula.
Jawa Timur.
Meiditha, Nilla. 2003. Analisis Efisiensi Produksi Gula Pasir di Pabrik Gula Kebon Agung,
Kabupaten Malang. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas
Pertanian. IPB, Bogor.
Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. Penerbit BPFE, Yogyakarta.