makalah si kelompok 7
TRANSCRIPT
MAKALAH STUDI ISLAM
“BAIK BURUK, BENAR SALAH, TINJAUAN AKHLAK ISLAMI”
Disusun Oleh:
Ana Yuliana 1111102000000
Ida Ayu Purnama 1111102000036
Inten Novita Sari 1111102000000
Khairul Bahtiar Azhar 1111102000000
Niekha Zoelinna 1111102000000
Nova Sari Aulia 1111102000000
Kelompok: 7
Kelas: II B-D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
BAIK BURUK, BENAR SALAH, TINJAUAN AKHLAK
ISLAMI
A. Antara Akhlak dan Etika
Kata “akhlak” merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluk,
berasal dari bahasa Arab, berarti perangai, tingkah laku atau tabiat. Secara
terminology, akhlak berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tiga
pakar di bidang akhlak yaitu Ibn Miskawaih, Al-Ghazali, dan Ahmad Amin
menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang
yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran
terlebih dahulu.
Kata akhlak, sering disinonimkan dengan moral dan etika. Ketiganya
berhubungan dengan tingkah laku manusia, juga dengan kebaikan dari
tingkah laku manusia. Namun, landasan ideologi ketiganya berbeda. Akhlak
dilandaskan dari agama, etika dilandaskan oleh pemikiran filsafat, dan moral
dilandaskan pada tradisi dan budaya.
Etika senantiasa disebut dengan ilmu tentang moralitas, yang
menyelidiki tingkah laku manusia. Sedangkan moral adalah ajaran tentang
baik, buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi
pekerti. Moral juga dituju untuk menggambarkan istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau
perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, dan buruk. Etika menjadi
alat untuk mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah.
Itu sebabnya kata tidak bermoral dan tidak etis berhubungan dengan apa
yang berkembang dalam tradisi serta budaya masyarakat.
Etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku
manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk. Ukuran yang
digunakan untuk menilai suatu perbuatan adalah akal pikiran.
Dalam term bahasa Indonesia, etika dapat dinyatakan sebagai ilmu
tentang perilaku manusia, moral sebagai ajaran mengenai tingkah laku
manusia. Itu sebabnya, akhlak dalam terminologi bahasa, ada yang disebut
akhlak mulia dan akhlak tercela.
Apabila kata “akhlak” dikaitkan dengan Islam, maka akhlak merupakan
perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam. Karenanya, tidak dikenal
akhlak tercela, yang ada hanya al-Akhlak al-Karimah yang artinya akhlak
mulia. Akhlak mulia ini dilandaskan pada tuntunan yang terdapat dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Akhlak ini, secara garis besar terbagi menjadi dua
bagian, yaitu akhlak terhadap Khalik atau pencipta yaitu Allah Swt. dan akhlak
terhadap makhluk . Makhluk adalah segala yang diciptakan oleh allah, yang
dibagi menjadi dua bagian yaitu manusia dan bukan manusia. Akhlak
terhadap manusia terdiri dari akhlak terhadap Nabi dan Rasul, akhlak
terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga, terhadap masyarakat, terhadp
bangsa, dan hubungan antar bangsa.
Akhlak terhadap selain manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
tehadap benda mati, terhadap alam nabati atau flora, dan terhadap alam
hewani atau fauna. Ajaran tentang dasar-dasar agama Islam ini, terangkum
dalam iman, islam, dan ihsan.
Sumber pijakan akhlak pada al-Qur’an dan Sunnah merupakan
perbedaan prinsip dari akhlak dengan etika, budi pekerti, moral, dan
sebagainya. Ukuran penilaian terhadap akhlak adalah al-Qur’an, itu sebabnya
ketika Siti ‘Aisyah diminta untuk mendeskripsikan akhlak Nabi Muhammad
Saw. beliau menjawab, “akhlak Nabi adalah akhlak al-Qur’an”.
Pada perkembangannya, akhlak karena identik dengan Islam, mulai
direduksi oleh penganutnya. Alasannya utamanya, karena akhlak tidak
nasional dan tidak internasional. Akhlak bahkan tampak menjadi tidak ilmiah,
kaena tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam kaidah ilmiah.
Maka di era modern ini, ajarn-ajaran tentang akhlak digantikan dengan
ajaran-ajaran etika, dengan melandaskan pada moral dan adat yang
berkembang di masyarakat. Etika dipandang sebagai deskripsi dari nilai-nilai
universal yang dianut oleh manusia. Etika dianggap mengadaptasi nilai dan
norma, dan dapat mengadaptasi dengan kebiasaan yang ada di masyarakat.
Padahal, kita telah melihat bagaimana adat yang berkembang di masyarakat,
tidak selalu mampu memenuhi nilai dan norma kebaikan yang universal.
Bagi Islam, orang tua perilaku dihormati tida hanya dengan perbuatan
tapi juga dengan ucapan. Mengucap “ah” saja sudah menjadi bagian dari
ketidakharmonisan. Akan tetapi, bagi masyarakat barat, memanggil orang tua
dengan nama panggilannya saja tidak masalah. Sama tidak bermasalahnya
dengan mengabaikan nasihat mereka, sebab informasi terbaik berdasar pada
akal tidak pada lainnya.
Untuk memahami etika, perlu dipahami terlebih dahulu ruang
lingkupnya. Etika dibedakan menjadi etika deskriptif, etika normatif, dan
metaetika. Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral
dalm arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam
suatu masyarakat atau individu yang berbeda dalam suatu masyarakat atau
individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam
kurun atau periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu
atau masyarakat yang berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu.
Misalnya, masyarakat jawa yang berbicara dalam ragam bahasa sesuai
dengan kedudukan dan kasta-nya, hingga jika ada yang berbicara tidak
sesuai dengan keragaman bahasanya, akan dipandang tidak etis.
Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif.
Ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang
berkaitan dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang
mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan secara rasional dan bagaimana
prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab itu dapat digunakan oleh manusia.
pada rumusan itu ditentukan mana yang disebut dengan bagain dari yang
baik dan mana yang bagian buruk.
Metaetika adalah kajian etika yang membahas tentang ucapan atau
kaidah-kaidah bahasa aspek moralitas, khususnya yang berkaitan dengan
bahasa etis. Ukurannya adalah logika, apakah bahasa ini layak digunakan
pada situasi tertentu? Atau apakah bahasa ini tidak layak disampaikan?
Semuanya dikaji dalam metaetika.
Meski dalam beberapa hal apa yang disebut etis juga berakhlak,
namun tak semua yang etis dapat dikatakan berakhlak. Ukuran utamanya
adalah perbedaan sumber ajaran. Akhlak karena dilandaskan pada al-Qur’an
dan Sunnah, sifatnya fix dan tak berubah-ubah. Seorang laki-laki tidak
diizinkan menikahi laki-laki adalah ketentuan yang fix dan tidak bisa dirubah,
meski tabiat itu kini tampak diizinkan dengan alasan hak asasi manusia.
Ini menjadi perbedaan yang signifikan antara akhlak dan etika. Akhlak
dengan kekuatan al-Qur’an dan Hadis, bersifat tetap dan untuk kepentingan
manusia. Memang, ada banyak orang yang menentang ketentuan al-Qur’an
dan Hadis ini. Namun, fakta menyatakan bahwa mereka yang menentng
karena perilaku mereka telah menyimpang dari akhlak. Apapun alasan
mereka, dengan dalih Hak Asasi Manusia, penyimpangan akhlak akan
merusak dan mengganggu stabilitas sosial. Sehingga, tak ada alasan yang
bisa dibenarkan ketika terjadi penyimpangan akhlak.
Kekuatan utama lain dalam akhlak yang menjadi dasar perilaku dan
sikap seorang muslim. Ketika seorang muslim melakukan sesuatu, mereka
akan senantiasa meyakini bahwa Allah melihat apa yang kita kerjakan, dan
para malaikat mencatat seluruh pekerjaan kita. Keyakinan ini dapat
membantu muslim bersikap dan bertingkah laku dalam koridor yang telah
ditetapkan oleh agama.
Persoalan yang mengemukakan dari koridor ini adalah banyaknya
penafsiran al-Qur’an yang menciptakan perbedaan-perbedaan. Akan tetapi,
sepanjang perbedaan itu tidak esensial dan tidak melewati ayat-ayat
muhkamat, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Misalnya saja,
persoalan bersentuhan tangan, yang ditafsirkan berbeda-beda dalam mahzab
Islam. Jumhur berpendapat bersentuhan tangan dapat membatalkan wudhu,
dan menjadi dalil untuk larangan bersentuhan tangan antara dua orang yang
bukan muhrim. Akan tetapi, sebaian imam lainnya tidak menganggap
bersentuhan fisik tersebut terbangkitkan syahwat. Perbedaan ini tidak perlu
dipermasalahkan, karena mungkin ada kebutuhan tertentu, dimana manusia
harus bersentuhan fisik. Pada kendaraan umum misalnya, ketika berdesak-
desakkan, akan sulit dihindari terjadinya sentuhan fisik, juga dengan non
muslim, kontak fisik dalam perjanjian bisnis terkadang mengharuskan muslim
berjabat tangan langsung.
Akan tetapi, berbeda dengan hidup serumah tanpa pernikahan, atau
juga dengan hubungan sesame jenis. Ketentuan pernikahan telah ditetapkan
secara jelas dan mutlak. Bahwa hanya laki-laki dan perempuan yang dapat
berpasangan, dan syarat untuk menjadi pasangan yang utuh adalah melalui
pernikahan yang ketentuannya telah ditentukan oleh agama.
Akhlak menjadi landasan spiritual bagi perkembangan sufi dan tarikat,
akhlak juga menjadi landasan spiritual bagi proses keimanan dan keislaman.
Sehingga dalam Islam, setiap tingkah laku manusia harus selalu ada dalam
ranah ibadah. Ranah pengabdian terhadap Allah Swt.
B. Hakikat Baik dan Buruk
Para filosofi dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk,
serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu
merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di
luar kemampuannya? Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa manusi memiliki dua
potensi kelakuan yaitu kelakuan baik dan buruk, seperti yang diuraikan dalam
al-Qur’an antara lain: QS. Al-Balad 90:10. Disebutkan pula dalam QS. As-
Syams 91:7-8;
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami
(jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan”.
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri
manusia dari kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung
kepada kebajikan.
Secara alamiah manusia itu positif (fithrah), baik secara jasadi, nafsani
(kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Komponen terpenting manusia
adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Dengannya
manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), cenderung kepada yang
benar (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan
mempengaruhi benda dan peristiwa.
Secara implicit al-Qur’an menginformasikan bahwa manusia memiliki tiga
aspek pembentuk totalitas yang secara tegas dapat dibedakan, namun secara
pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek itu adalah jismiyah (fisik, biologis),
ruhaniyah (spiritual, transendental), dan nafsiyah (psikis, psikologis).
Jismiyah merupakan aspek material yang substansi sebenarnya mati.
Kehidupannya adalah karena dimotori oleh substansi lain, yaitu nafs dan ruh.
Dengan kata lain aspek jismiyah ini bersifat deterministik-mekanistik. Struktur
ruh memberikan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi psikologi Islam. Ruh
merupakan substansi psikologis manusia yang menjadi esensi
keberadaannya. Ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi diri. Sampai saat
ini belum ada yang memahami hakikat ruh secara pasti, karena ruh
merupakan sebuah misteri ilahi. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ruh
merupakan urusan dan atau hanya dipahami oleh Allah. Manusia sama sekali
tidak memahaminya kecuali sedikit (QS. Al-Isra:85). Bersifat spiritual karena
ia merupakan potensi luhur batin manusia. Fungsi ini muncul dari dimensi al-
ruh atau spiritual (sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah dan memiliki daya
untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan
sifat-sifat Tuhan dalam dirinya).
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran,
perasaan, kemauan, dan kebebasan. Nafs memiliki esensi gaungan antara
jasad dan ruh. Apabila ia berorientasi pada jasad maka tingkah lakunya
menjadi buruk dan celaka, tetapi apabila mengacu pada ruh maka
kehidupannya menjadi baik dan selamat. Dengan kata lain nafs dipersiapkan
untuk dapat meampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan
baik dan buruk.
Indikator-indikator terhadap berlaku baik dan buruk, dituturkan misalnya,
seperti dinyatakan oleh Al-Hasan: “Akhlaq yang baik adalah menghadapi
manusia dengan wajah cerah, memberi bantuan setiap kali diperlukan, serta
menjaga diri dari pada mengganggu orang lain”. Menurut Al-Washithiy:
“Akhlaq yang baik, adalah keadaan seseorang yang tidak mau berkata
ataupun diajak bertengkar oleh siapapun, disebabkan ma’rifatnya yang
mendalam berkaitan dengan Allah SWT”. Syah Al-Karmaniy berkata: “Akhlaq
yang baik adalah mencegah diri sendiri daripada mengganggu orang lain,
serta bersabar dalam melakukan kewajiban, betapapun beratnya”. Al-
washithy juga pernah berkata: “Berakhlaq baik adalah dengan membuat
orang lain merasa puas, baik di kala sedang kesusahan maupun
kesenangan”. Sahl A-tusturiy pernah ditanya tentang akhlaq yang baik lalu ia
menjawab: “Sedikitnya seorang yang berakhlaq baik akan selalu tabah
menghadapi kesulitan tidak mengharapkan balasan atas apa yang
dilakukannya, mengasihani orang yang melakukan kedzaliman terhadapnya,
dan memohonkan ampunan baginya serta mengasihinya”.
C. Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran ialah standar perhitungan, ini biasanya digunakan dalam
menjelaskan definisi berat, jumlah atau juga angka. Baik dan buruk
merupakan karakter, sehingga sifatnya abstrak dan sulit diukur dalam konten
definisi. Yang paling mudah adalah melihat indicator dari baik dan buruk.
Indikator ini diukur melalui sisi kepantasan yang basisnya adalah fitrah
manusia. Meski banyak pihak yang menyebutkan bahwa fitrah ini akan
berkembang dengan perkembangan lingkungan dan zaman, namun tetap ada
nilai-nilai universal yang diakui semua pihak sebagai sebuah dasar karakter
manusia.
Menurut para pakar pendidikan, ada hal-hal yang dapat dijadikan alat
untuk melihat ukuran baik dan buruk, yakni:
Pengaruh adat kebiasaan; manusia sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya. Adat istiadat melekat pada lingkungan dimana manusia
tinggal. Kekuatan adat istiadat memberi hukum kepada manusia sebelum
manusia tmbuh dan memahami ligkungannya. Adat istiadat menganggap
baik bila mengikutinya dan menanam perasaan kepada mereka bahwwa
adat istiadat itu membawa kebenaran. Apabila seseorang melanggar adat
istiadat yang berlaku, di akan dicela dan dianggap keluar dari lingkungan
yang seharusnya. Adat istiadat terbentuk dari (a) pendapat umum yang
diyakini oleh kebanyakan masyarakat di satu wilayah; (b) apa yag
diriwayatkan secara turun-temurun dari hikayat dan khurafat, dan
dipercayai secara penuh oleh masyarakat setempat. Pemahaman
erhadap adat-istiadat ini biasanya terpatahkan dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan terjadinya akulturasi budaya. Ilmu pengetahuan
yang berhasil menemukan rasionalisasi budaya dengan serta merta
melepaskan kekuatan adat istiadat, karena dianggap tidak rasional dan
logis. Akulturasi budaya, membawa pembaruan terhadap adat istiadat
yang berkembang.
Paradigma dan mindset; pengalaman eksternal kita, yaitu apa yang kita
lihat secara sensori, akan menstimulasi pengalaman lain dalam dunia
internal kita, pada pola pikir atau mindset. Mindset atau paradigma adalah
sebuah pola, model kerangka berpikir atau sudut pandang, yang
digunakan untuk ‘melihat’ dan memberi makna terhadap ‘dunia’ di
hadapan kita.
Ilmu Pengetahuan; dengn potensi akal pikiran manusia, Allah
memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengelola alam semesta
serta memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan
kesejateraan hidup manusia. Berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri
sendiri, melainkan berkaitan dengan faktor-faktor lain yang saling
mempengaruhi.
Intuisi; merupakan kekuatan batin yag dapat mengenal sesuatu yang baik
dan buruk dengn sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Ituis
dipandang sebagai sebuah kemampuan yang secara kodrati dapat
member instrumen yang membedakan baik dan buruk.
Evolusi; benar dan salah dalam teori evolusi dipandang berhubungan
dengan perubahan zaman. Mereka mempercayai evolusi menilai bahwa
akhlak harus ikut berkembang sesuai dengan perkembangan social dan
budaya.
Dalam Islam, ukuran baik dan buruk, bersifat tetap, karena apa yang
termaktub dalam al-Qur’an dan Hadist, menjadi wajib untuk dilakukan.
Apa yang wajib dan apa yang haram dengan tegas dijelaskan oleh al-
Qur’an dan hadist, adapun hal-hal yang kemudian berkembang setelah
masa Nabi, atau karena tidak ada di masa Nabi.
Berakhlak dan Beretika Profesi
Profesi , berhubungan dengan professional, yakni keahlian seseorang bterhadap
bidan yang digelutinya. Mereka yang professional adalah orang-orang yang
mengandalkan ketrampilan khusus yang menuntut pengemban profesi tersebut
untuk terus memperbaharui ketrampilannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Untuk menjadi professional, Bartono dan Novianto menyebutkan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Seorang professional mempunyai sikap mental positif terhadap pekerjaannya
2. Staying power
3. Mampu bekerja sama dengan orang banyak
4. Inginterus menambah kemampuan dengan belajar
5. Pengalaman yang cukup dan setara dengan profesinya
6. Mengutamakan kualitas
7. Menguasai dasar-dasar pekerjaan atau profesinya
Ketujuh syarat tersebut dikaitkan dengan etika profesi, yakni artinya mereka yang
professional adalah yang mematuhi setiap kode etik profesi. Adanya kode etik
profesi akan mencegah anggota profesi melakukan hal-hal yang tidak etis yang
memungkinkan profesi tersebut menjadi tidak dihargai oleh masyarakat.
Pemahaman tentang profesi dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan
sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang
tinggidengan melibatkan komitmen pribadiyang mendalam. Profesi mempunyai
tuntutan yang sangat tinggi, bukan hanya dari dalam tapi juga dari dalam diri sendiri.
Tuntutan ini bukan hanya menyangkut keahlian, tapi juga komitmen moral ;
tanggung jawab, keseriusan, disiplin dan integritas pribadi.
Profesi masih dibedakan lagi profesi khusus yang disebut profesi luhur. Profesi
luhur menekankan pengabdianatau pelayanan kepada masyarakat pada umumnya
melebihi hal-hal umum lainnya. Jadi, profesi ini tidak semata-mata atas kebutuhan
memenuhi nafkah hidup, tapi juga berkenaan dengan pelayanan terhadap
masyarakat. Misalnya pada profesi dokter, penasehat hukum, hakim, jaksa,
rohaniawan, tentara dan sebagainya. Orang-orang berprofesi ini dituntut untuk lebih
mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Sayangnya,
perkembangan masyarakat agak mengubah citra profesi luhur ini. Profesi luhur itu
kini malah diperdagangkan dengan harga tinggi dan ketentuan-ketentuan kapitalistik.
Terlepas dari kenyataan bahwa dokter, penasehat hukum, hakim, dan jaksa yang
mengabdi pada masyarakat.
Sedangkan etika yang secara definisi menjadi pedoman dalam bersikap dan
berperilaku dalam garis niali moral dan norma, hakikatnya bersumber dan bermuara
pada akhlak.
Kehadiran etika pada profesi, menjadi pagar atas perilaku para professional
dalam menjalankan profesinya. Etika profesi menekankan kejujuran, tanggung
jawab, dan itikad moral, dan ini berkenaan langsung dengan akhlak manusia.
Bahkan jika etika hendak dirujuk pada bagaimana sanksi berlaku pada orang-orang
yang melanggar kode etik, maka akhlak akan jauh melampaui lingkup seluruh kode
etik.
Dalam pelanggaran kode etik, sanksi ditetapkan bertahap dalam pembuktian
yang juga rawan penyimpangan. Akibatnya pelanggaran kode etik, hingga kini sulit
diberikan sanksi sebab pembuktian sendiri menjadi ajang yang dapat
diperjualbelikan. Berbeda dengan akhlak, pelanggaran dalam akhlak sepenuhnya
ada dalam kuasa Illahi. Meskipun tak dapat dibuktikan secara ilmiah dan empiris,
namun penyimpangan terhadap akhlak member efek yang cukup luar biasa bagi
perkembangan jiwa manusia.
Realitasnya, akhlak dan etika adalah benteng, aturan bagi perilaku manusia.
Akhlak berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, akan memiliki
cakupan yang lebih luas dari etika. Dengan sanksi yang jauh mengarah kepada jiwa
manusia, akhlak memberi efek lebih personal. Etika yang berlekatan dengan nilai
dan moral, selalu memiliki kecenderungan yang lebih fleksibel.
Dengan kapitalistik, kebebasan individu yang diagung-agungkan menjadi sah
ketika hak asasi lebih diprioritaskan disbanding kepentungan masyarakat. Dengan
komunisme, Negara menjadi sah berlaku tidak adil pada kebutuhan masyarakat.
Akhlak menjadi pilar yang paling seimbang bagi perilaku manusia.
Nilai Ibadah dalam Akhlak
Esensi spiritual Islam adalah realisasi dan keEsaan, sebagaimana terungkap
dalam Al-Quran, berdasarkan teladan kenabian. Tujuan dari spiritualitas ini adalah
memperoleh sifat-sifat Ilahidengan jalan meraih kebaikan-kebaikanyang dimiliki
kadar sempurna oleh Nabi. Kehidupan spiritual didasarkan pada rasa takut yang
disertai oleh penghormatan kepada Allah serta kepatuhan pada kehendak-Nya,
kecintaan kepada-Nya, dan pengetahuan tentang Allah yang merupakan wujud
tertinggi penciptaan-Nya.
Islam melalui Al-Quran menegaskan bahwa, manusia dihadirkan ke dunia untuk
menyembah Allah SWT (QS. Al-Dzariyat 51-56). Menurut Islam, menyembah atau
ibadah merupakan upaya mengenal Allah. Menyembah Allah adalah mengetahui
siapa Tuhan dan siapa hamba, siapa yang absolute dan siapa yang relative. Siapa
pencipta dan siapa ciptaan. Ibadah merupakan upaya mengenal Dia yang memiliki
hak penuh atas eksistensi dan sifat-sifat yang berlimpah, dan siapa sesungguhnya
yang hanya memiliki sifat reseptivitas. Akhlak adalah amal ibadah yang
mengantarkan kita pada ‘ubudiyyah, kesadaran spiritual. Amal akan mengantarkan
kita pada ujung jalan, yaitu ‘ubudah, kesadaran spiritual akan ketergantungan radikal
hamba pada Allah,
Islam meyakini bahwa beragama adalah fitrah manusia yang akan mengarahkan
manusia pada upaya mencari Tuhan. Karena fitrahnya, manusia akan selalu merasa
“gelisah” saat melakukan perbuatan buruk. Maunusia pada hakikatnya adalah ingin
berbuat baik, jika ia berbuat buruk, maka dipastikan seterusnya akan merasa tidak
tenag dan gelisah.
‘Abd (hamba) mengacu pada kualitas semangat Nabi dalam mengungkapkan
kepasrahan ontologism dan moral dari makhluk terhadap penciptanya, yakni “rasa
takut”. Setingkat lebih tinggi dari ‘Abd adalah Habib, yang dilandaskan kepada Nabi
Muhammad Saw atas sikap menghamba-nya yang bukan hanya sekedar hubungan
antara Tuhan dengan Budak-Nya. Habib lahir dari pemikiran bahwa manusia adalah
makhluk yang benar-benar dipercaya oleh Sang Khalik.
Akhlak berasal dari kata khalaqa yang artinya diciptakan. Akhlak adalah
berperilaku seperti apa yang diharapkan oleh Sang Maha Pencipta. Itu sebabnya,
dalam akhlak ada nuansa ibadah, pengabdian terhadap apa yang diberikan oleh
Allah.
Bagi para sufi, akhlak adalah ekspresi persahabatan yang dekat dengan Tuhan.
Persahabatan ini begitu dekat, hingga berakhlak dimaknai para sufi dengan
berperilaku seperti apa yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana Tuhan
mengekspresikan cinta-Nya di alam semesta.