makalah ppok.docx

32
Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan Penatalaksanaanya Fitriani 102013018 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1151 Pendahuluan Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran napas bagian atas (supraglotik/di atas pita suara), tengah (intraglotik), atau bawah (infraglotik/di bawah pita suara). Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh karena asma dan PPOK, sedangkan di bagian tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses maligna dan benigna. 1 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang memiliki karakteristik berupa hambatan aliran udara, terkait dengan inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas berbahaya di saluran napas yang bersifat progresif, tidak reversibel atau sebagian reversibel. Gejala yang ditemukan antara lain batuk kronik, produksi sputum, dan sesak napas. Faktor risiko utama PPOK adalah usia >40 tahun dan merokok. Diagnosis PPOK ditegakkan apabila nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP) berbanding kapasitas vital paksa (KVP) 1 pada spirometri <70% setelah inhalasi bronkodilator. 2 Anamnesis 3 Page 1 | 32

Upload: fitrianimpit

Post on 12-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah PPOK.docx

Penyakit Paru Obstruksi Kronik

dan Penatalaksanaanya

Fitriani 102013018

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1151

Pendahuluan

Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran

napas bagian atas (supraglotik/di atas pita suara), tengah (intraglotik), atau bawah

(infraglotik/di bawah pita suara). Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh

karena asma dan PPOK, sedangkan di bagian tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses

maligna dan benigna.1 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru

kronik yang memiliki karakteristik berupa hambatan aliran udara, terkait dengan inflamasi

abnormal paru terhadap partikel atau gas berbahaya di saluran napas yang bersifat progresif,

tidak reversibel atau sebagian reversibel. Gejala yang ditemukan antara lain batuk kronik,

produksi sputum, dan sesak napas. Faktor risiko utama PPOK adalah usia >40 tahun dan

merokok. Diagnosis PPOK ditegakkan apabila nilai volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP) berbanding kapasitas vital paksa (KVP)1 pada spirometri <70% setelah inhalasi

bronkodilator.2

Anamnesis3

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),

infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

Pemeriksaan FisikP a g e 1 | 21

Page 2: Makalah PPOK.docx

Secara umum. Penampilan pink puffer/blue bloater yaitu gambaran khas pada

bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di

basal paru, sianosis sentral dan perifer. Pernapasan pursed-lips adalah sikap seseorang

yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini

terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi

sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal

napas kronik. Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah terjadi

gagal jantung kanan. Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit

kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing.3

Toraks. Inspeksi: barrel chest, penggunaan otot bantu napas, peleburan sela iga.

Perkusi: hipersonor pada emfisema. Auskultsi: suara napas vesikuler normal,

meningkat atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa

atau dengan ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Rutin

Faal paru. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP). Obstruksi ditentukan oleh

nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred)

< 80% VEP1% (VEP1/KVP) <75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila

spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang

tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore,

tidak lebih dari 20%.3

Uji bronkodilator. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20% nilai

awal dan <200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.3

Darah rutin. Hb, Ht, leukosit.3

Radiologi. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.

Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,

diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop

appearance). Pada bronkitis kronik terlihat normal, corakan bronkovaskuler bertambah

pada 21% kasus.3

P a g e 2 | 21

Page 3: Makalah PPOK.docx

Pemeriksaan Khusus/Tidak Rutin

Faal paru. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru

Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat. DLCO menurun pada emfisema. Raw

meningkat pada bronkitis kronik. Sgaw meningkat. Variabiliti Harian APE kurang

dari 20%.3

Uji latih kardiopulmoner. Sepeda statis (ergocycle), jentera (treadmill), jalan 6 menit,

lebih rendah dari normal.3

Uji provokasi bronkus. Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian

kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.3

Uji coba kortikosteroid. Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu

yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK

umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.3

Analisis gas darah. Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil, dan gagal napas

akut pada gagal napas kronik.3

Radiologi. CT-Scan resolusi tinggi. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta

derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos. Scan ventilasi

perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru.3

Elektrokardiografi. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.3

Ekokardiografi. Menilai fungsi jantung kanan.3

Bakteriologi. Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik

yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi

akut pada penderita PPOK di Indonesia.3

Kadar alfa-1 antitripsin. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter

(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di

Indonesia.3

Epidemiologi

WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat didunia yaitu

akan menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%. Selain itu WHO

juga menyebutkan bahwa sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK dan 3 juta meninggal

karena PPOK pada tahun 2005.4 P a g e 3 | 21

Page 4: Makalah PPOK.docx

Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka

1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun

20001, dan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8)

pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8). Estimasi dengan

pemodelan di 12 negara Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan

prevalensi maksimum ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%). Hasil Penelitian lain

dari Bold Study pada 12 negara di dunia dengan jumlah sampel total sebesar 9425 responden

yang telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala

respirasi, status kesehatan dan faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK

menurut jenis kelamin secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki-

dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan menunjukkan prevalensi

PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kota Lexington di Amerika

Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua pada kelompok perempuan namun pada laki-laki

hanya menunjukan prevalensi kelima dari 12 negara yang diteliti.4

Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992,

PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam.1 Menurut Riset Kesehatan

Dasar RI tahun 2013 PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia. PPOK lebih tinggi

pada laki-laki dibandingkan perempuan. PPOK lebih tinggi dipedesaan dibanding perkotaan.

PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan indeks

kepemilikan terbawah. Lima provinsi dengan angka PPOK tertinggi adalah NTT 10,0%,

Sulawesi Tengah 8,0%, Sulawesi Selatan 6,7%, dan Papua 5,4%.5

Definisi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di

saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.3

Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-

tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang

tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.3

Faktor Risiko

Pajanan dari partikel antara lain :

Merokok

Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. P a g e 4 | 21

Page 5: Makalah PPOK.docx

Perokok aktif dapat meng-alami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik.

Dilaporkan ada hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok12. Studi di China menghasilkan

risiko relative merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94). Derajat berat merokok dengan Indeks

Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan

lama merokok dalam tahun, Ringan: 0-200, Sedang: 200-600, Berat: >600. Perokok pasif

juga menyumbang terhadap simptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan

kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada

saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi

pertumbuhan paru-paru-nya.4

Polusi Indoor

Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan

asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi

sampai 35%13. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah

(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan.

Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari

memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat,

karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta

perokok pasip15. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap

kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunya16. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan

di Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK

(adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2–9,1).4

Polusi Outdoor

Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat

menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap

pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendara-an sepeda

motor di jalan raya pada dekade terakhir ini18,19,20 saat ini telah meng-khawatirkan

sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara

dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan

cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan

sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardiorespiratory,

khususnya pada perempuan yang tidak merokok PPOK adalah hasil interaksi antara P a g e 5 | 21

Page 6: Makalah PPOK.docx

faktor genetik individu dengan pajanan lingkung-an dari bahan beracun, seperti asap

rokok, polusi indoor dan out door. Di Mexico, Tellez–Rojo et al, menemukan bahwa

peningkatan materi partikel 10μg/m3 dikaitkan dengan peningkatan penyakit saluran

napas 2,9% (95% CI 0,9–4,9) dan kematian PPOK 4,1% (95% CI 1,3–6,9 ),

respectively.4

Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin). Faktor risiko dari genetik memberikan

kontribusi 1–3% pada pasien PPOK.4

Riwayat infeksi saluran napas berulang. Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut

yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi

saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit

saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai

pada masa dewasa, di mana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.4

Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang dewasa di

Cina didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-

2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI :

1,45–2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34–3,02).4

Patofisiologi & Patogenesis

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel

goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema

ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding

alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:1

1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,

terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.

2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan

terbanyak pada paru bagian bawah.

3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus

dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan

struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan

hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.1

P a g e 6 | 21

Page 7: Makalah PPOK.docx

Tipe PPOK

Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)

tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam:4

PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum

dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan spirometrinya

me-nunjukkan VEP1 ≥80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP <70%.

PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau

produksi sputum dan sesak napas dengan derajat dua. Sedangkan pemeriksaan

spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥70% dan VEP1/KVP <80% prediksi.

PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat

dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor

pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP

<70%, VEP1< 30% prediksi atau VEP1 >30% dengan gagal napas kronik. Hal ini

ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia

dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.

Tabel 1. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 20066

Sumber: Prosiding simposium; current diagnosis and treatment in internal medicine 2007. FKUI 2007. hal.113.

Stadium PPOK Hasil Pemeriksaan Spirometri Post Bronkodilator

(I) RinganFEV1/FVC <0,70

FEV1 >80% prediksi

(II) SedangFEV1/FVC <0,70

50%< FEV1 <80% prediksi

(III) BeratFEV1/FVC <0,70

30%< FEV1 <50% prediksi

(IV) Sangat Berat

FEV1/FVC <0,70

FEV1 <30% prediksi atau FEV1 <50%

Prediksi + gagal nafas kronik

P a g e 7 | 21

Page 8: Makalah PPOK.docx

Tingkat Keparahan PPOK

Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut American Thoracic

Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan,

sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada penderita yang

dirinci sebagai berikut:4

1. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.

2. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki nilai 1

skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjuk-kan nilai VEP1 ≥ 50 %.

3. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak napas, atau harus

berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala

sedang.

4. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan nilai 3 skala

berat.

5. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak napas saat

menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat.

Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat

serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.

Penatalaksaan

Tujuan dari manajemen PPOK adalah sebagai berikut:6

Membebaskan gejala.

Mencegah progresifitas penyakit.

Meningkatkan toleransi latihan.

Meningkatkan status kesehatan.

Mencegah dan mengobati komplikasi.

Mencegah dan mengobati eksaserbasi.

Mengurang angka kematian.

Manajemen PPOK berdasarkan GOLD 2006 dibagi dalam 4 komponen:6

Penilaian dan evaluasi penyakit.

Pengurangan faktor risiko.

Manajemen PPOK stabil.

Manajemen eksaserbasi. P a g e 8 | 21

Page 9: Makalah PPOK.docx

EDUKASI3

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.

Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit

kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan

aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih

bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi

atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK:

Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.

Melaksanakan pengobatan yang maksimal.

Mencapai aktiviti optimal.

Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang

pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat

diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di

rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena

memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan

dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan

keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus

disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan

kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:

Pengetahuan dasar tentang PPOK.

Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya.

Cara pencegahan perburukan penyakit.

Menghindari pencetus (berhenti merokok).

Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala

prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

Berhenti merokok. Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis

PPOK ditegakkan.

Pengunaan obat - obatan, seperti: macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang

benar (oral, MDI atau nebuliser), waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan P a g e 9 | 21

Page 10: Makalah PPOK.docx

selangwaku tertentu atau kalau perlu saja), dosis obat yang tepat dan efek

sampingnya.

Penggunaan oksigen. Kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui

efek samping kelebihan dosis oksigen.

Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Tanda eksaserbasi: Batuk atau

sesak bertambah, sputum bertambah, sputum berubah warna.

Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi.

Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke

pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan

berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena

PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.

OBAT-OBATAN3

Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan

inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat

diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long

acting). Macam-macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping

sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

Golongan agonis beta-2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,

peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.

Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan

untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2. Kombinasi kedua golongan obat ini akan

memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang

berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan

mempermudah penderita.P a g e 10 | 21

Page 11: Makalah PPOK.docx

Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan

jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau

puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan

kadar aminofilin darah.

Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,

berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.

Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif

yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 mg.

Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:

Lini I: Amoksisilin, makrolid.

Lini II: Amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru.

Perawatan di Rumah Sakit: dapat dipilih Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin

generasi II & III injeksi, Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas,

Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per injeksi, Sefalosporin generasi IV per injeksi.

Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan

sebagai pemberian yang rutin.

Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan

eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi

eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

Antitusif

Diberikan dengan hati - hati

Vaksinasi

Vaksin influenza dapat mengurangi komplikasi terhadap infeksi dan P a g e 11 | 21

Page 12: Makalah PPOK.docx

direkomendasikan pada pasien dengan usia >65 tahun dan usia <65 tahun dengan FEV1

<40% prediksi.

TERAPI OKSIGEN3

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun

organ-organ lainnya. Manfaat oksigen adalah mengurangi sesak, memperbaiki aktiviti,

mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit,

memperbaiki fungsi neuropsikiatri, meningkatkan kualiti hidup. Indikasi pada:

PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%.

PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P

pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru

lain.

Macam terapi oksigen:

Pemberian oksigen jangka panjang.

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.

Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen

di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.

Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat

daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat

di rumah dibedakan :

Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT ).

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama

bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan

nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia

yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan P a g e 12 | 21

Page 13: Makalah PPOK.docx

meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau

pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu

pemberian oksigen seperti nasal kanul, sungkup venturi, sungkup rebreathing, sungkup

nonrebreathing. Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan

kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

VENTILASI MEKANIK3

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,

gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas

kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi, dan

ventilasi mekanik tanpa intubasi.

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik

dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah

Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi volume control, pressure control, bilevel

positive airway pressure (BiPAP), continous positive airway pressure (CPAP).

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/Long

Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada analisis gas darah,

kualiti dan kuantiti tidur, kualiti hidup. Indikasi penggunaan NIPPV pada:

1. Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal

paradoksal.

2. Asidosis sedang sampai berat pH <7,30-7, 35.

3. Frekuensi napas >25 kali per menit.

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,

disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit

bila ditemukan keadaan sebagai berikut:P a g e 13 | 21

Page 14: Makalah PPOK.docx

Gagal napas yang pertama kali.

Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat

diperbaiki, misalnya pneumonia.

Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif:

Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan

abdominal paradoksal.

Frekuensi napas >35 permenit.

Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHg).

Asidosis berat pH <7,25 dan hiperkapni (PaO2 < 60 mmHg).

Henti napas.

Samnolen, gangguan kesadaran.

Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung).

Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,

barotrauma, efusi pleura masif).

Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai

berikut:

PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya.

Terdapat komorbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan.

Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik:

VAP (ventilator acquired pneumonia).

Barotrauma.

Kesukaran weaning.

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan:

Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi.

Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat.

Nutrisi seimbang.P a g e 14 | 21

Page 15: Makalah PPOK.docx

Dibantu dengan NIPPV

NUTRISI3

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan

energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan

hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah

mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan

analisis gas darah

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:

Penurunan berat badan.

Kadar albumin darah.

Antropometri.

Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi).

Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi

masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi

akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn

kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal

feedings) dengan pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.

Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit

oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada

PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.

Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi

muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang

terjadi adalah hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi. Gangguan ini dapat

mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang,

yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

REHABILITASI PPOK3

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki

kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi

adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:P a g e 15 | 21

Page 16: Makalah PPOK.docx

Simptom pernapasan berat.

Beberapa kali masuk ruang gawat darurat.

Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program

rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis

yang baik akan menghasilkan :

Peningkatan VO2 max.

Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik.

Peningkatan cardiac output dan stroke volume.

Peningkatan efisiensi distribusi darah.

Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery.

Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan:

Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan. Latihan ini diprogramkan bagi

penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak

dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi

maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan

mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti

hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak mampu melakukan

latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua

bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik.

Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila

ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan

diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi

pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

Endurance exercise. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot

pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup

untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot

pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,

memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak

mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar P a g e 16 | 21

Page 17: Makalah PPOK.docx

manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita,

hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat

individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan

otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan

peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.

Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada

orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya

toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja

maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan

merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi

terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan

penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah

kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan

faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.

Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot

skeletal. Imobilitasasi selama 4-6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot,

diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat

tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol

kardiovaskuler. Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :

Di rumah. Latihan dinamik, menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging,

sepeda. Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah

adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging.

Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup

untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan

sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya

diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai

20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur

dalam tahun.

Rumah sakit. Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu.

Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan

subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting

daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 P a g e 17 | 21

Page 18: Makalah PPOK.docx

minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang beban

latihan yang sudah dilaksanakan.

Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.

walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,

dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan:

Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan.

Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan.

Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau

pusing latihan segera dihentikan.

Pakaian longgar dan ringan.

Psikososial

Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat

diberikan obat.3

Latihan Pernapasan

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan

meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan

menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih

ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.3

STOP MEROKOK1

Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha

yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien

dapat berhenti merokok maka progresivitas penurunan FEV1 nya dapat diperkecil. Pasien

PPOK yang merokok akan mengalami penurunan FEV1 >50 ml per tahun, pada orang normal

yang tidak merokok, penurunan FEV1 hanya 18 ml per tahun. Bila pasien dapat

menghentikan merokok, maka penurunan FEV1 yang drastis ini dapat dicegah seperti

penurunan orang yang tidak merokok. Strategi yang dianjurkan oleh Public Health Service

Report USA adalah:

Ask: lakukan identifikasi perokok pada setiap kunjungan.

Advice: terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak mau

berhenti merokok.P a g e 18 | 21

Page 19: Makalah PPOK.docx

Assess: yakinkan pasien untuk berhenti merokok.

Assist: bantu pasien dalam program berhenti merokok.

Arrange: jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intensif, bila usaha pertama

masih belum memuaskan.

Beberapa usaha untuk berhenti merokok seperti pemakaian nikotin gum, patch,

spray/inhaler, obat-obat klonidin, bupropion tidak salahnya untuk dicoba.

Komplikasi

Gagal napas. Gagal napas kronik bila hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan

PCO2 >60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan berupa jaga keseimbangan PO2

dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan

atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing. Gagal

napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa

sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.3

Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan

terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi

kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit

darah.3

Kor pulmonal. Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dapat disertai

gagal jantung kanan.3

Prognosis

Status kesehatan sangat penting digunakan untuk menilai keberhasilan terapi PPOK.

St. George's respiratory questionnaire (SGRQ) merupakan salah satu kuesioner untuk

mengevaluasi status kesehatan yang dihubungkan dengan kualitas hidup pasien PPOK,

kuesioner SGRQ berisikan pertanyaan tentang gejala, aktivitas dan dampak penyakit

kemudian nilainya dijumlahkan. Semakin tinggi nilai SGRQ menunjukkan kualitas hidup

yang semakin rendah. Kuesioner SGRQ sangat banyak dan terlalu komplek, sehingga

membutuhkan waktu yang lama dalam pengisiannya.7

Saat ini sedang dikembangkan kuesioner yang lebih mudah yaitu CAT (COPD

assessment test). COPD assessment test mempunyai delapan pertanyaan mengenai gejala dan

kondisi penyakit PPOK. Setiap pertanyaan mempunyai nilai kemudian dijumlahkan, nilai

yang didapat menunjukan kualitas hidup, semakin tinggi nilai yang didapat semakin rendah

kualitas hidupnya.7

P a g e 19 | 21

Page 20: Makalah PPOK.docx

Sistem penderajatan indeks BODE (body mass index, obstructive of airway, dyspneu,

exercise capacity) sebagai suatu skala multidimensi telah digunakan dalam mengukur lama

tahan hidup pasien PPOK dan kerentanan terhadap terjadinya eksaserbasi. Makin tinggiskor

indeks BODE maka makin buruk prognosisnya, karena mengindikasikan lebih banyak

perburukan multidimensional.7

Penilaian kualitas hidup dengan kuesioner SGRQ

Kualitas hidup merupakan tingkat keadaan individu dalam lingkup kemampuan,

keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang

diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Penilaian kualitas hidup

dengan menggunakan kuesioner SGRQ terdiri atas gejala, aktivitas dan dampak. Dari ketiga

komponen tersebut dijumlahkan. Skor SGRQ berkisar antara 0-100 dengan skala terendah

menyatakan fungsi terbaik.7

Penilaian prognosis PPOK dengan indeks BODE

Indeks BODE merupakan penjumlahan nilai total dari keempat komponen yaitu

indeks masa tubuh berdasarkan berat badan dibagi tinggi badan dalam meter persegi,

obstruksi aliran napas melalui pengukuran VEP, sesak napas berdasarkan skala 1 MMRC dan

kapasitas latihan berdasarkan uji jalan 6 menit, telah terbukti dalam memprediksi risiko

kematian. Makin tinggi skor indeks BODE maka makin buruk karena mengindikasikan lebih

banyak perburukan multidimensional. Hasil tersebut dikategorikan dengan nilai kuartil.7

Penilaian kualitas hidup dengan kuesioner CAT

Pada penghitungan nilai kuesioner CAT semua nilai pertanyaan nomor 1 sampai

dengan nomor 8 dijumlahkan kemudian dibuatkan kategori. Dari pembagian kategori itu

didapatkan nilai CAT dengan kategori ringan (0–10), kategori sedang (11–20), kategori berat

(21–30), dan kategori sangat berat (31–40).7

Kesimpulan

Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas

khsususnya saat beraktivitas. Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor,

outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik,

gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik.

P a g e 20 | 21

Page 21: Makalah PPOK.docx

Daftar Pustaka

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal.

994.

2. Permatasari A, Gemiana D, Nur F, Ardi R, Permatasari W, Zaini J. Peranan symptom-

based questionnaire untuk diagnosis penyakit paru obstruktif kronik. laporan kasus

berbasis bukti. J Respir Indo Oktober 2013; Vol. 33 (4): 258-263.

3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK pedoman diagnosis & penatalaksanaan di

indonesia. Jakarta: PDPI; 2003. hal. 2-27.

4. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik. Media Litbangkes Juni

2013; Vol. 23 (2): 82-88.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar,

Riskesda 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. hal. 120.

6. Uyainah AZN. Penatalaksanaan mutakhir penyakit paru obstruksi kronik. Dalam:

Sukrisman L, Syam AF. Prosiding simposium; current diagnosis and treatment in

internal medicine 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hal.

113-9.

7. Yuarsa TA, Yunus F, Antariksa B. Korelasi penilaian kualitas hidup dan prognosis

penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan CAT, SGRQ dan BODE di rumah sakit

persahabatan jakarta. J Respir Indo Januari 2013; Vol. 33 (1): 8-15.

P a g e 21 | 21