makalah pelatihan esai di bangli

8
Page6 Karangan Singkat tentang Cara Menulis Esai Oleh I Wayan Artika (dosen Undiksha, Penulis, Pekerja Pendidikan) Saya menulis makalah ini dalam bentuk esai, sesuai dengan pendapat Ignas Kleden (2004) dan Agus R. Sarjono (2004). Kalau para pembaca biasa dengan makalah yang taat tata tulis karya ilmiah, makalah ini terasa aneh. Saya tulis makalah ini dalam bentuk esai dengan maksud atau tujuan, para peserta bisa belajar secara langsung melalui makalah ini. Demikialah kiranya kata permakluman saya. Semoga para pembaca mengerti maksud saya. Hujan Desember menjadikan hari-hari terasa “basah” di Batungsel, desa saya, di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, tepatnya di sebelah Barat Gunung Batukaru. Lihat saja, jendela-jendela rumah saya “muram”, membuat pandangan saya ke perkebunan kopi di kakai gunung, kabur. Inilah hujan itu, bertepatan dengan Penampahan Galungan 2010 Masehi, ketika senja saya kehilangan cahaya matahari; esai ini saya tulis. Sebelum memutuskan menulis, saya telah membaca beberapa sumber. Dari bahan bacaan tersebut, saya tarik simpulan: esai itu karangan personal (memuat hal-hal yang pribadi dan tidak penting atau tidak berhubungan langsung dengan pokok maslah), jujur, mengalir lancar, karena gerak hati yang kuat; mengenai apa saja. Inilah

Upload: sigit-artika

Post on 27-Jun-2015

48 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Makalah ini telah saya presentasikan dalam pelatihan penulisan esai di Bangli, di FMG (Forum Guru Mandiri)

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

Karangan Singkat tentang Cara Menulis EsaiOleh I Wayan Artika (dosen Undiksha, Penulis, Pekerja Pendidikan)

Saya menulis makalah ini dalam bentuk esai, sesuai dengan pendapat Ignas Kleden (2004) dan Agus R. Sarjono (2004). Kalau para pembaca biasa dengan makalah yang taat tata tulis karya ilmiah, makalah ini terasa aneh. Saya tulis makalah ini dalam bentuk esai dengan maksud atau tujuan, para peserta bisa belajar secara langsung melalui makalah ini. Demikialah kiranya kata permakluman saya. Semoga para pembaca mengerti maksud saya.

Hujan Desember menjadikan hari-hari terasa “basah” di Batungsel, desa saya, di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, tepatnya di sebelah Barat Gunung Batukaru. Lihat saja, jendela-jendela rumah saya “muram”, membuat pandangan saya ke perkebunan kopi di kakai gunung, kabur. Inilah hujan itu, bertepatan dengan Penampahan Galungan 2010 Masehi, ketika senja saya kehilangan cahaya matahari; esai ini saya tulis.

Sebelum memutuskan menulis, saya telah membaca beberapa sumber. Dari bahan bacaan tersebut, saya tarik simpulan: esai itu karangan personal (memuat hal-hal yang pribadi dan tidak penting atau tidak berhubungan langsung dengan pokok maslah), jujur, mengalir lancar, karena gerak hati yang kuat; mengenai apa saja. Inilah yang akan saya tulis dengan cara saya. Selama saya menulis, hal inilah saya lakukan. Saya menulis untuk mendapatkan rasa puas. Dibutuhkan ketekunan dan memelihara minat agar tetap membaca dan menulis.

Page 2: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

Menulis harus memberi kita rasa puas. Menulis harus kita pilih untuk mencapai tujuan kita. Misalnya, ketika saya tidak bisa menerima pembangunan prpyek peternakan ayam di desa saya karena alasan lingkungan dan adat; saya berjuang agar saya menghasilkan tulisan tentang “protes” saya. Protes ini akan ditanggapi jika dimuat di koran. Perjuangan kedua saya: bikin tulisan yang pas “selera” koran. Lewat usaha pikiran/otak/emosi/hati saya menghasilkan tulis dan dimuat di Bali Post. Tulisan itu bikin heboh di desa dan nama saya tiba-tiba dibicarakan, baik oleh pihak yang setuju proyek maupun oleh pihak yang menentang proyek.

Saya tidak memulai dari teori atau definisi tentang esai. Mari kita bersama berangkat dari pandangan bahwa “menulis adalah cara kita menyampaikan isi hati/isi pikiran”. Kita belajar bahasa ibu tanpa teori dan tanpa sekolah; kita bisa berbahasa ibu. Dalam “sekolah bahasa ibu” kita bebas belajar dan tidak ada kata “salah”. Semuanya “boleh”, semuanya “benar”. Tiada evaluasi dari siapa saja. Semuanya berjalan tanpa campur tangan orang lain. Dalam kehidupan nyata, belajar terjadi abadi dan penuh otoritas/rasa bebas diri kita.

Hanya itulah yang bisa saya tulis senja itu karena saya lebih tertarik kaki-kaki gerimis, menjadi air di daun-daun pepohonan, bagi saya sangat agung. Ini adalah manis galungan, kami (saya dan istri) menikmati mendung pagi, dari ruang makan, depan dapur; saya akan menceritakan sedikit sejarah esai di Indonesia.

Esai semula dikenal terbatas; di kalangan dunia sastra Indonesia. Yang mengenalkan adalah H.B. Jassin, lewat bukunya Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritk dan Esai. Menurut Agus R. Sarjono, pengertian “kritik” dalam buku H.B. Jassin sangat jelas (pembicaraan baik/buruk karya sastra). Tidak begitu jelas apa

Page 3: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

pengertian “esai” dalam buku tersebut. Agus R. Sarjono dan Ignas Kleden sepakat bahwa esai di Indonesia mula-mula muncul dalam sastra, seni, dan kebudayaan. Hal ini dibuktikan oleh penulis-penulis esai pada masa awal seperti Asrul Sani, Sitor Situmorang, Wiratmo Sukito, Iwan Simatupang, Senato Yuliman, Nono Anwar Makarim, Goenawan Muhamad.

Mengapa esai ditulis oleh para sastrawan dan bukan oleh para ilmuwan Indonesia? Menurut Ignas Kleden, hal ini terjadi karena ilmuwan yang tidak mampu menulis esai berarti ia tidak mampu menghayati dan mengkomunikasikan ilmunya secara personal, indah, populer, bebas, dan kontemplatif. Menurut saya, para ilmuwan yag tahu banyak teori tidak memiliki kemampuan menulis kreatif (menulis sebagai karya seni, tulisan yang membangkitkan gairah membaca, mengundang selera/rasa; dan tidak hanya tulisan yang memberi kita informasi dan logika) dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh para penulis. Penulis melahirkan tulisan yang khas, enak dibaca.

Jika dua hari lalu, jendela kamar saya ini buram karena air hujan melapisinya, melewati tengah hari ini, sangat bersih. Walaupun ada pola, bekas tetesan yang telah mengering, seminggu atau dua minggu silam, pastilah kotoran burung atau kupu-kupu, sahabatku di desa, tapi aku sama sekali tidak terganggungu melihat pangkal gunung itu, seperti tumbuhan raksasa, menyembul dari bawah permukaan tanah. Di bawah cuaca cerah desaku, aku akan mengisahkan di mana pada mulanya esai, sebagai satu jenis/bentuk/genre karangan (sebagaimana puisi atau prosa) pertama kali muncul. Saya harus mengutip pendapat Ignas Kleden (2004: 33). Esai muncul pertama kali di Perancis pada abad ke-16, diperkenalkan oleh seorang sastrawan, filsuf, Michel

Page 4: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

Eyquem de Montaigne (1533-1592). Istilah “esai” muncul dari dua judul bukunya Essais (kumpulan esai). Kata “essai” masuk ke dalam kamus bahasa Inggris menjadi “essay” dan bentuk jamaknya “essays”

Karya-karya Montaigne dalam Essais-nya mengandung berbagai pemikiran yang menarik. Saya berpijak pada “pemikiran” dan “yang menarik”. Inilah yang selama ini saya lakukan ketika menulis esai (yang lebih populer disebut “opini” atau “artikel” dalam tradisi jurnalistik). Ketika saya menulis, saya telah siap dengan “pikiran” yang saya sampaikan kepada pembaca atau kepada diri saya. Hal itu tidak hanya terjadi dalam karangan esai saya. Ketika menulis cerpen saya memulai dari “pikiran” apa yang akan saya sampaikan/tulis. Demikian juga pada waktu saya menulis novel saya.

Saya sering katakan kepada murid-murid menulis saya bahwa menulis tidak hanya persoalan bahasa, ejaan, tata bahasa tulis, kerapian, pilihan kata; tetapi adalah aktivitas berpikir. Kita gagal menulis bukan karena kita tidak bisa menulis. Gagal menulis karena kita tidak mampu berpikir atau kita tidak memiliki satu pikiran yang ingin kita sampaikan kepada pembaca atau kepada diri kita.

Soal “yang menarik”, dalam berpikir, nanti dulu. Pikiran kita tidak harus besar. Bisa terhadap apa saja.

Tentang hidup sehari-hari yang tampak remeh dan tidak ada maknanya. Saya sering “membaca” atau mencoba mengerti kejadian-kejadian sehari-hari dengan menggunakan teori-teori yang saya pelajari. Apa pikiran kita terhadap corat-coret anak-anak sekolah di bangku, di dinding, atau di tembok wc sekolah? Apa benar itu iseng dan tanpa tujuan? Apakah pihak sekolah harus “tutup mata”? Ketika saya makan malam di Hardys Singaraja, saya berjumpa sepasang remaja, tetap di depan meja

Page 5: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

saya. Mereka tampak sangat mesra, romantis, saling menjaga, saling menghormati. Saya akan menyatap bakso. Saya tertarik dengan kesan yang dipancarkan oleh sepasang remaja ini. Lebih menarik lagi ketika dua gelas jus jeruk telah siap di hadapan mereka. Saya bisa merasakana, betapa kuat daya cinta di antara mereka. Hal ini tampak dari cara si laki-laki menggerakkan bibirnya saat bicara: pelan, penuh nafsu, dengan tetap tampil kuat, dan jantan. Sementara itu, si perempuan berusaha tampil istimewa dan tampak seksi/anggun tetapi tetap segenit “Barby”, mengedipkan mata dalam irama mekanik, seperti telah diprogram di atas perhitungan yang cermat. Saya berpikir oleh adegan itu. Mereka sedang berimajinasi besar tentang cinta, rumah tangga, pernikahan, keluarga bahagia (suci, tulus, siap berkorban, setia, dll, seperti dongeng-dongeng cinta). Pikiran ini memiliki alasan/landasan ketika saya tahu bahwa hari ini, adalah Valentine. Pikiran saya: O, begitu rupanya makna Valentine bagi keduanya? Valentine memberi ruang bagi remaja berimajinasi tentang cinta. Makna yang dibangun lewat: minum bersama di suatu tempat makan umum, yang biasa dan murahan, dengan menu yang juga tidak spesial, juga disajikan dengan cara ceroboh: dua gelas jus jeruk; tetapi keduanya menjadikan cinta itu besar melampaui realitas pusat perbelanjaan di kota kecil.

Peristiwa itu biasa dan remeh. Di hadapan penulis esai, akan menjadi tulisan yang memikat. Akan menjadi bahan pikiran.

Sebelum saya menulis, saya telah menemukan pikiran dasar, materi atau substansi yang akan saya sampaikan/tulis kepada pembaca atau untuk diri saya. Saya biasanya mencatat dimana saja: agar saya tidak lupa, agar saya terkontrak untuk mewujudkannya: tulisan.

Page 6: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

Di bawah ini saya kemukakan cara untuk menulis esai.

1. Tentukan objek pikiran (bisa apa saja, yang membuat berpikir, selalu muncul dalam benak/hati)

2. Sadari, emosi yang muncul: a. Ibab. Sedihc. Bencid. Banggae. Kesalf. Jengkelg. Menuduhh. Mengritiki. Memujij. Bangga

3. Rumuskan a-j secara tertulis (semampu saja, jika tidak sanggup pasti ada masalah dalam hal “berpikir” dan beremosi)

4. Tulis dengan jujur, bebas, tulis sesuai dengan perasaan pribadi, jangan pikirkan kebenaran umum/kebenaran ilmu atau jangan ukur perasaan dengan kriteria “benar” dan “salah”; yang penting “ini adalah perasaan/pendapat/pikiran saya pribadi”

Karangan yang dihasilkan mengandung beberapa hal berikut ini: “fakta” dari objek pikiran kita (angka, jarak, tinggi gunung, nama hari perayaan); mengandung “sikap” penulis (mendukung, menolak, suka, tidak suka); berisi “opini/pendapat” (rumusan-rumusan verbal/rumusan-rumusan dalam bentuk bahasa); mengandung “renungan” (kata hati yang dalam, pemahaman, pengertian); mengandung alasan/argumen (jawaban pertanyaan dengan kata tanya “mengapa”).

Page 7: Makalah Pelatihan Esai Di Bangli

Page

6

Apakah saya harus memberi simpulan di akhir karangan ini? Saya kira tidak perlu.

Batungsel Manis Galungan 2010